Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
ABSTRAK
Kontribusi sektor minyak dan gas bumi mempunyai peran penting dalam
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi secara global, regional maupun nasional
khususnya Indonesia. Tetapi kondisi minyak dan gas bumi Indonesia telah mengalami
penurunan terutama dalam hal eksportir bahan mentah minyak semenjak Indonesia
mengalami krisis moneter.
PENDAHULUAN
Secara empiris, resesi perekonomian dunia selalu dipicu oleh kenaikan harga
minyak. Salah satu contoh yang riil ialah saat ini di New York, dimana harga minyak
mentah melonjak tajam menjadi 41,56 US$ per barrel (Jum’at, 14 Mei 2003), setelah
sebelumnya selalu berkisar antara 25 US$ - 30 US$ per barrel. Kenaikan harga minyak
tersebut dipicu laporan mengenai persediaan minyak Amerika Serikat yang ternyata tidak
sebesar perkiraan sebelumnya. Kenaikan harga minyak mentah tersebut secara perlahan
bias memicu inflasi dan menurunkan kinerja bursa saham di Amerika Serikat. Hal serupa
bisa terjadi di Negara-negara lain. Oleh karena itu, minyak memegang peranan vital di
dalam menjaga stabilitas perekonomian dunia. Perseteruan atau sengketa soal minyak
telah terbukti melahirkan peperangan di berbagai negara, sehingga komoditas ini selalu
menjadi titik sentral dari pertumbuhan dan pengembangan ekonomi secara global,
regional, maupun nasional. Kinerja seluruh bursa saham dunia selalu terpengaruh oleh
fluktuasi harga minyak mentah dunia.
Indonesia sebagai salah satu Negara produsen minyak mentah dunia memiliki
ketergantungan yang besar terhadap fluktuasi harga minyak. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada periode 1970-1980 bergantung kepada harga minyak mentah dunia yang
meningkat tajam seiring dengan krisis minyak dunia akibat perang Arab-Israel dan
embargo Negara Arab terhadap Amerika Serikat, yang sering dosebut sebagai Oil
Bonanza. Tetapi kontribusi sektor minyak dan gas bumi menurun seiring dengan
persediaan minyak bumi yang semakin menipis di Indonesia dan Pertumbuhan sektor riil
yang lain di luar minyak dan gas bumi. Dalam kontribusinya terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional. Tahun 2000, kontribusi sub-sektor industri pengolahan bukan minyak
dan gas mencapai 22,10 persen dan Produk Domestik Bruto Indonesia dan tahun 2001
mencapai 21,96 persen. Sementara itu, sumbangan sub sektor industri migas tahun 2000
dan 2001 sama, yaitu sebesar 4,15%.
Seiring dengan kondisi makroekonomi Indonesia yang masih belum stabil sejak
krisi ekonomi tahun 1998, kontribusi sektor minyak dan gas pun mengalami fluktuasi.
Hal ini terlihat dari tingkat inflasi tahun 1998 sebesar 77,63%, tahun 1999 sebesar 2,01%,
tahun 2000 sebesar 9,35% dan tahun 2001sebesar 7,70%, sementara kontibusi sektor
minyak tahun 1998 sebesar 7,84%, tahun 1999 sebesar 6,59%, tahun 2000 sebesar
10,22% dan tahun 9,60%. Secara sepintas terlihat ada hubungan linier antara tingkat
inflasi dan kontribusi sektor migas terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi
yang menjadi pertanyaan ialah apakah hubungan tersebut juga terdapat pada kierja saham
minyak dan gas.
R2 = 0,24
Di mana:
X1 = Default Risk
X2 = Time Premium
X3 = Deflation
X4 = Change In Expected Sales
Sorensen, Menrich dan Thun Chee (1989) melakukan penelitian dengan membuat
model untuk Solomon Brother Risk Index Model yang menyatakan bahwa terdapat tujuh
fkator penting yang mempengaruhi returns saham, yaitu:
1. Economic growth
2. Business Cycle
3. Long Term Interest
4. Short Term Interest
5. Inflation
6. Currency Fluctuastion
7. Market Index Securities
Untuk kondisi Amerika Serikat, variabel oil price dikeluarkan karena variabel
tersebut tidak signifikan. Tetapi di Jerman, Prancis dan Jepang, variabel oil price
mempengaruhi secara signifikan terhadap variasi return sekuritas.
Riskianto (1992) menggunakan data di BEJ dari tahun 1984 sampai dengan tahun
1988 menguji Capital Asset Pricing Model (CAPM) dan Arbitrage Pricing Theory
(APT), dimana di dalam pengujian APT digunakan 2 faktor yaitu return pasar dan inflasi.
Baik CAPM maupun Apt menunjukkan tidak adanya pola yang jelas antara beta dari
return pasar maupun beta dari inflasi.
Kubota dan Takehara (1994) melakukan peneltian terhadap return bulanan kurang
lebih 1100 perusahaan pabrikan dan non pabrikan yang telah listing di Tokyo Stock
Exchange pada periode penelitian September 1981 sampai dengan Juni 1993. Hasil dari
penelitiannya menolak penggunaan single risk dari CAPM. Hal ini di karenakan beta
tidak bisa menjelaskan variasi cross section return dari sekuritas, baik untuk sample
portofolio maupun individu. Hubungan beta dengan realisasi return rata-rata adalah datar.
Erb, Harvey dan Vsikanta (1995) meneliti hubungan antara inflasi dan return
asset di 41 negara yang terdiri dari Negara manju dan Negara berkembang dengan hasil
sebagai berikut:
1. Secara Time series hubungan antara inflasi actual dan return asset memiliki
hubungan yang negatif.
2. Return pasar Negara berkembang berkorelasi lebih tinggi terhadap inflasi
dibandingkan di pasar modal Amerika Serikat dan dunia.
3. Dengan menggunakan inflasi yang diharapkan sebagai proxy Country Credit
ratings ditemukan bahwa credit rating rata-rata memiliki korelasi yang tinggi
dengan inflasi di masa dating.
4. Perbedaan tingkat inflasi antar Negara memiliki kemapuan untuk membedakan
expected return dan volatilitasnya.
5. Penggunaan country credit rating bisa membedakan antara Negara yang memiliki
expected return tinggi dan rendah.
Kandell dan Offer (1996) menggunakan metode untuk mengukur ex ante tingkat
bunga riil dengan menggunakan harga dari index dan nominal onligasi. Penggunaan
metode ini dan data yang terbaru untuk menguji Hipotesis Fisher bahw tingkat bunga riil
adalah independen dari tingkat inflasi yang diharapkan.
Karolyi dan Stulz (1996) meneliti mengenai faktor fundamental yang
mempengaruhi korelasi return saham antar Negara. Mereka menemukan bahwa besaran
ekonomi makro di As berpengaruh terhadap nilaitukar Yen terhadap Dollar As dan return
T-bills serta tidak terukurnya efek industri yang mempengaruhi terhadap korelasi return
antara AS dan Jepang. Namun demikian, pengaruh yang kuat terhadap indeks pasar
saham (Nikkei 225 dan S&P 500) yang secara positif mempengaruhi besaran dan
kontinuitas korelasi return.
Ajayi dan Mongone (1996) meneliti hubungan intertemporal antara indeks harga saham
dan kurs mata uang di 8 negara yang telah naju dengan ECM dari 2 variabel yang
digunakan untuk mengestimasi secara simultan baik jangka pendek maupun jangka
panjang. Hasil tersebut menunjukkan bahwa harga saham domestik secara agregat
berhubungan negatif dengan nilai kurs mata uang domestik dalam jangka pendek. Tetapi
dalam jangka panjang memiliki pengaruh positif. Depresiasi mata uang berpengaruh
negative terhadap pasar modal baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Erb, Harvey dan Viskanta (1996) meneliti mengenai expected return dan
volatilitas saham di 135 negara dangan menggunakan country credit risk exposure untuk
kelompok Negara berkembang. Model yang diperoleh adalah expected return dapat
diprediksi dengan country credit risk.
Kerangka Pemikiran
Secara garis besar, konsep dasar dari penelitian ini ialah pengujian pengaruh variabel-
variabel makroekonomi terhadap kinerja saham perusahaan minyak dan gas di Bursa
Efek Jakarta. Alur dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut:
Tingkat Inflasi
Dimana :
Sesuai dengan tujuan dari penelitian, yaitu untuk menguji pengaruh dari variabel
makroekonomi terhadap kinerja saham perusahaan minyak di Bursa Efek Jakarta (BEJ),
maka hipotesis yang dikemukakan di dalam penelitian adalah:
H1,0 : Tingkat bunga SBI tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H1,1 : Tingkat bunga SBI berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian
saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H2,0 : Inflasi tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H3,0 : Perubahan uang beredar tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H4,0 : Kurs Dolar AS tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian
saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H4,1 : Kurs Dolar AS berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H5,0 : Variabel makro ekonomi tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
ANALISA DATA
b0, b2, b3, b4, ……, bk, dugaan 0, 1., 2, 3, ……., k
Berdasarkan pengambilan sample yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya,
dimana sample yang diambil hanya dua jenis saham yaitu saham MEDCO dan BUMI,
maka model yang dibentuk dalam penelitian ini hanya dua model. Dan setiap model
menggambarkan kondisi ekonomi makro ekonomi terhadap masing-masing saham.
Sebelum melangkah lebih jauh bagaiman model yang akan dibentuk, terlebih
dahulu harus mengetahui tahapan-tahapan dalam penyusunan model regresi berganda.
Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Menentukan variabel bebas (independent) dan variabel terikat (dependent).
2. Menentukan metode penyusunan model regresi
3. Mengamati ada tidaknya data yang ekstrim (outlier)
4. Menguji asumsi-asumsi pada regresi berganda, seperti Normalitas,
Autokorelasi, Heterokedastisitas, dan Multikolinearitas
5. Menguji signifikansi model
6. Intepretasi hasil model regresi berganda.
Variabel Bebas
1. Nilai tukar dollar As terhadap rupiah (KURS)
2. Suku bungan SBI
3. Uang beredar
4. Inflasi
Uji Multikolinearitas
Secara implisit, intepretasi model (persamaan regresi berganda) bergantung pada
asumsi bahwa variabel-variabel bebas dalam persamaan tersebut tidak saling berkorelasi.
Jika dalam model yang dibentuk terdapat korelasi antara variabel bebas, maka
permasalahan multikolinearitas (hubungan yang linear) antara regresor akan muncul.
Model regresi yang benar semestinya tidak mengandung unsure multikolinearitas (tidak
ada korelasi antara variabel bebas), karena akan mengakibatkan intepretasi terhadap
permasalahan yang ada menjadi tidak benar.
Uji Heterokedastisitas
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model
bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) adalah variansi dari residunya sama
dari setiap pengamatan. Suatu model yang memiliki variansi tetap untuk setiap
pengamatan disebut Homoskedastis, sebaliknya jika variansi residu untuk setiap
pengamatan tidak sama maka model tersebut mempunyai sifat heteroskedastis dan model
regresi yang baik berdasarkan BLUE adalah model yang mempunyai sifat
Homoskedastis.
Karena bukti yang menunjukkan apah suatu model regresi linear berganda bersifat
heteroskedastis/homoskedastis, maka titik utama yang harus diuji adalah variansinya.
Jika variansi residu konstan, maka model regresi linear berganda tersebut bersifat
homoskedastis. Dengan kata lain, parameter-parameter yang telah ditaksir dalam model
regresi linear berganda tersebut bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Begitu
juga sebaliknya, jika variansi residu tidak konstan, maka model regresi linear berganda
tersebut bersifat heteroskedastis (parameter-parameter taksirannya bersifat bias).
H0 : var(ui) = 2 ( konstan )
H1 : var(ui) 2 ( tidak_konstan )
Berdasarkan hipotesis tersebut diatas, H0 ditolak jika nilai Probability dalam White
Heteroskedasticity Test ( E-Views) lebih kecil atau sama dengan 10%. Artinya model
regresi linear berganda yang terbentuk bersifat heteroskedastis. Begitu juga sebaliknya,
H0 tidak ditolak jika nilai Probability dalam White Heteroskedasticity Test ( E-Views)
lebih besar dari 10%. Artinya model regresi linear berganda yang terbentuk bersifat
homoskedastis, dengan kata lain taksiran parameter-parameter yang terbentuk bersifat
BLUE.
Uji Otokorelasi
Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar taksiran parameter dalam model
tersebut bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimator) adalah tidak adanya korelasi
antara residu satu dengan residu lainnya. Jadi otokorelasi adalah adanya korelasi antara
variabel itu sendiri, pada pengamatan yang berbeda waktu atau individu. Cara yang
digunakan untuk mendeteksi adanya otokorelasi dalam suatu model regresi linear
berganda yaitu Uji Durbin-Watson (Nachrowi, 2002). Adapun batasan-batasan yang
digunakan adalah sebagai berikut:
Angka d di bawah –2 berarti ada otokorelasi positif
Angka d diantara –2 sampai +2 berarti tidak ada otokorelasi
Angka d di atas +2 berarti ada otokorelasi
Agar lebih jelas batasan-batasan otokorelasi dengan tidak adanya otokorelasi yang
digunakan, perhatikan batasan-batasan dibawah ini:
Dampak yang timbul akibat adanya otokorelasi adalah taksiran yang diperoleh dengan
menggunakan OLS (Ordinary Least Square) tidak lagi BLUE, namun masih tidak bias,
dan konsisten. Oleh karenanya interval kepercayaan menjadi lebar, dan uji signifikansi
kurang kuat. Akibatnya uji-t dan uji F tidak dapat dilakukan, atau hasinya tidak akan
baik.
Model yang digunakan dalam penelitian ini merupakan model regresi linear
berganda dengan menggunakan 4 variabel bebas ( variabel ekonomi makro) dan 1
variabel tak bebas (imbal saham pertambangan minyak dan gas bumi). Adapun model
regresi tersebut adalah sebagai berikut:
Dimana :
Y : Imbal saham pertambangan minyak dan gas bumi
X1 : Tingkat Inflasi
X2 : Kurs rupiah terhadap US$
X3 : Suku bungan SBI
X4 : Jumlah uang beredar
Dalam model regresi linear berganda yang telah terbentuk akan ditemukan
berbagai permasalahan heteroskedastisitas, multikolinearitas dan otokorelasi. Cara yang
tepat menanggulangi permasalahan-permasalahan tersebut adalah transformasi dengan
menggunakan Natural Log. Agar lebih jelas bagaimana proses pembentukan model
regresi linear berganda (parameter-parameternya bersifat BLUE) tersebut, perhatikan
kerangka proses pembentukan model dibawah ini.
Proses Transformasi
R-Squares
Multikolinearitas Tidak
sesuai
Otokorelasi
H1,0 : Variabel Makro ekonomi tidak berpengaruh secara simultan terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H1,1 : Variabel makro ekonomi berpengaruh secara simultan terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H2,0 : Inflasi tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H2,1 : Inflasi berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H3,0 : Kurs tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H3,1 : Kurs berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian saham
pertambangan minyak dan gas bumi.
H4,0 : Tingkat bunga SBI tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H4,1 : Tingkat bunga SBI berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian
saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H5,0 : Perubahan uang beredar tidak berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
H5,1 : Perubahan uang beredar berpengaruh secara parsial terhadap tingkat
pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi.
Model terbaik saham BUMI yang dihasilkan merupakan model awal yang tidak
perlu dilakukan transformasi lagi dikarenakan model tersebut telah bebas dari gejala
heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan otokorelasi. Dan juga, model yang dihasilkan
memiliki signifikansi yang cukup baik. Adapun penjelasan masing-masing uji tersebut
adalah sebagai berikut :
o Uji Heteroskedastis
Model yang telah terbentuk harus terbebas dari gejala heteroskedastisitas
(homokedastis), artinya variansi semua residu pada setiap waktu tidak mengalami
perubahan (konstan). Karena nilai prob(Obs*R-squared) lebih besar dari = 10%
(table uji heteroskedastis),
maka dapat disimpulkan bahwa H0 diterima, artinya model terbaik tersebut tidak
signifikan pada = 10%. Dan hal tersebut untuk menunjukkan bahwa model
terbaik tersebut tidak mengandung gejala heteroskedastis (Bab 3.7.3).
o Uji Multikolinearitas
Gejala multikolinearitas menggambarkan adanya hubungan yang erat (lebih besar
0.5) antara variabel bebas. Sedangkan model yang baik berasumsikan bahwa antar
variabel bebas harus saling independen (tidak saling berkorelasi)
o Uji Otokorelasi
Uji Otokorelasi dapat diuji dengan menggunakan table Durbin-Watson ( Bab
3.7.4). Dan berdasarkan output (table model yang diperoleh, nilai Durbin-Watson
stat (1.840817) yang dihasilkan berada dalam kondisi tidak ada korelasi ( 1.72 < d
< 2.28 ). Jadi telah terbukti bahwa model yang dihasilkan tidak memiliki gejala
otokorelasi.
atau H0 diterima, artinya model terbaik tersebut tidak signifikan pada = 10%.
Kesimpulan tersebut memberikan gambaran bahwa model terbaik tersebut
mengandung gejala homoskedastisitas.
o Uji Multikolinearitas
Dalam pengujiannya, model yang baik selalu berasumsikan bahwa antar variabel
bebas harus saling bebas (tidak saling berkorelasi). Gejala tidak adanya
multikolinearitas dalam model tersebut digambarkan oleh adanya hubungan yang
erat (lebih kecil dari 0,5), sedangkan hubungan yang tidak erat diekspresikan
dalam bentuk r yang lebih besar dari 0,5.
o Uji Otokorelasi
Berdasar table Durbin-Watson (Bab 3.7.4) dan output (table model) yang
dihasilkan, nilai Durbin-Watson stats (2.248052) berada dalam kondisi tidak ada
korelasi ( 1.72 < d < 2.28 ) positif dan negatif. Dan ini menyimpulkan bahwa
model terbaik yang dihasilkan tidak memiliki gejala otokorelasi.
Secara bersama-sama signifikan secara statistik, dengan kata lain hipotesis H1,0
ditolak. Artinya variabel makro ekonomi (inflasi, kurs, sbi, dan jumlah uang
beredar) secara simultan berpengaruh terhadap tingkat pengembalian saham
MEDCO.
Dan besarnya R2 yang dihasilkan menunjukkan angka yang cukup, yaitu sebesar
23.2%. Berarti model tersebut dapat menerangkan saham MEDCO sebesar 38.8%
dan 61.2% saham MEDCO dijelaskan oleh faktor-faktor lain (selain faktor makro
ekonomi).
Kesimpulan
Analisa yang dihasilkan dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab semua pokok
permasalahan kondisi pertambangan minyak dan gas bumi dan hubungannya dengan
kondisi ekonomi makro di Indonesia. Adapun kesimpulan pengaruh variabel makro
ekonomi terhadap tingkat pengembalian saham pertambangan minyak dan gas bumi
adalah sebagai berikut:
1. Secara Simultan;
Variabel makro ekonomi (inflasi, kurs, suku bunga, dan uang beredar)
berpengaruh secara simultan terhadap tingkat pengembalian saham BUMI dan
MEDCO. Adapaun besar pengaruh variabel makro ekonomi tersebut terhadap
masing-masing saham sebagai berikut :
o Saham BUMI
Variabel makroekonomi dapat menjelaskan tingkat pengembalian saham
BUMI sebebsar 38.7%, sedangkan 61.3% tingkat pengembalian saham
BUMI dijelaskan oleh variabel-variabel lain (selain inflasi, kurs, suku
bunga, dan uang beredar).
o Saham MEDCO
Variabel makro ekonomi dapat menjelaskan tingkat pengemablian saham
MEDCO sebesar 23%, sedangkan 77% tingkat pengembalian saham
MEDCO dijelaskan oleh variabel-variabel lain (selain inflasi, kurs, suku
bunga, dan uang beredar).
2. Secara Parsial;
o Variabel Inflasi;
Variabel inflasi berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian
saham BUMI. Besar pengaruh yang dihasilkan adalah setiap kenaikan 1%
tingkat inflasi, mengakibatkan turunnya tingkat pengembalian saham
BUMI sebebsar 6.87%. Sedangkan saham MEDCO tidak dipengaruhi
variabel inflasi secara parsial.
o Variabel Kurs;
Variabel kurs berpengaruh secara parsial terhadap tingkat pengembalian
saham BUMI dan MEDCO. Besar pengaruh variabel kurs terhadap saham
BUMI adalah setiap kenaikan 1 rupiah nilai tukar dolar, mengakibatkan
tingkat pengembalian saham BUMI turun sebesar 3.94%, sedangkan besar
pengaruh variabel kurs terhadap tingkat pengembalian saham MEDCO
yang dihasilkan adalah setiap kenaikan 1 rupiah nilai tukar dolar akan
mengakibatkan penurunan kurs sebesar 0.72%. Secara umum, besar
pengaruh variabel kurs terhadap saham BUMI dan MEDCO menyebabkan
terjadinya penurunan terhadap tingkat pengembalian masing-masing
saham.
o Variabel Suku Bunga dan Uang Beredar
Variabel suku bunga dan uang beredar tidak berpengaruh secara parsial
terhadap tingkat pengembalian saham BUMI dan MEDCO. Hal ini
dikarenakan nilai yang dihasilkan tidak signifikan secara statistik.
Saran
1. Variabel makro ekonomi yang dilibatkan dalam penelitian ini hanya 4 faktor yang
dilibatkan, oleh karena itu perlu ditambahkan faktor-faktor lain baik yang
termasuk kategori makro ekonomi maupun diluar makro ekonomi agar hasil
penelitian yang dilakukan lebih komprehensif.
2. Periode pengamatan yang dilakukan terhadap kondisi pertambangan minyak dan
gas bumi diperbesar sehingga data-data yang akan dianalisa lebih banyak. Selain
menguntungkan para perusahaan, rentang data yang semakin besar juga bisa
memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap kondisi pertambangan minyak
dan gas bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur J. Keown, et al, Dasar-dasar Manajemen Keuangan, alih bahasa oleh Chaerul D.
Djakman, Salemba Empat, Jakarta, 1999, halaman 14.
Farah Dewi, Siti Nurfitria & Sibarani Maurits, Peranan MuliNasional Corporation di
Indonesia, Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 2000.
Lipsey, Richard D, et, al, Pengantar Makroekonomi, 19th ed, alih bahasa oleh Agus
Maulana dan Kirbrandoko, cetakan pertama, Binarupa Aksara, Jakarta, 1992.
Indikator Ekonomi Bulanan Indonesia, Badan Pusat Statistik, Januari 1999- Desember
2003
International Financial Statistics, Official Data base International Monetary Fund (IMF),
2003
Kelana, Said, Teori Ekonomi Makro, cetakan pertama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996.
Levin, Richard & Rubin, David, Statistics For Managements, Prentice Hall Internatinal
Inc, 1998
Pindyck, Robert & Rubinfeld, Daniel, Econometric Models and Economic Forecast, 4th
edition, McGraw-Hill International Editions, Singapore, 1997.
Samuelson, Paul & D. Nordhaus, William, ekonomi, alih bahasa oleh : Drs. A. Djaka
Wasana, MSM, jilid 1, edisi ke-12, Penerbit erlangga, Jakarta, 1986.
Zvi Bodie, Alex Kane, Alan J Marcus, Investment, McGraw-Hill, New York, 2002.