Anda di halaman 1dari 19

Demam berdarah dengue pada dewasa

Mawar Makmaker
102013144
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna No.06 Jakarta Barat
E-mail : mmakmaker@yahoo.com

Pendahuluan
Demam dangue (DF) dan demam berdarah dangue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dangue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/nyeri sendi
yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dangue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.1
Anamnesis
Anamnesis adalah pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan cara
melakukan serangkaian wawancara dengan pasien (autoanamnesis), keluarga pasien atau
dalam keadaan tertentu dengan penolong pasien (alloanamnesis). Berbeda dengan wawancara
biasa, anamnesis dilakukan dengan cara yang khas, yaitu berdasarkan pengetahuan tentang
penyakit dan dasar-dasar pengetahuan yang ada di balik terjadinya suatu penyakit serta
bertolak dari masalah yang dikeluhkan oleh pasien.2
Anamnesis yang baik terdiri dari:1
a) Identitas pasien: identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang
dihadapi adalah memang benar pasien yang dimaksud, selain itu juga bisa digunakan
untuk data penelitian, asuransi dll.
b) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien sehingga membawa pasien pergi ke
dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus disertai
dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.

c) Riwayat penyakit sekarang: merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas
mengenai keadaan kesehatan pasien sebelum sakit sampai pasien datang berobat
d) Riwayat penyakit dahulu: bertujuan mengetahui kemungkinan adanya hubungan
antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.
e) Riwayat obstetri: harus ditanyakan pada setiap pasien wanita
f) Anamnesis sistem organ: bertujuan mengumpulkan data-data positif atau negatif yang
berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan sistem organ yang
terkena.
g) Riwayat penyakit keluarga: penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familia, atau penyakit infeksi.
h) Riwayat pribadi: meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, kebiasaan,
lingkungan tempat tinggal.
Dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan mendapatkan data-data berikut:1
a) Waktu dan lamanya keluhan berlangsung
b) Sifat dan beratnya serangan
c) Lokasi dan penyebarannya
d) Hubungannya dengan waktu
e) Hubungan dengan aktivitas
f) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan
g) Apakah keluhan baru pertama kami atau sudah berulang kali
h) Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor-faktor yang memperberat atau
meringankan serangan
i) Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang menderita keluhan yang sama
j) Riwayat perjalanan ke daerah yang endemis untuk penyakit tertentu
k) Perkembangan penyakit, kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa
l) Upaya yang telah dilakukan dan hasilnya.
Setelah semua terkumpul, usahakan untuk membuat diagnosis sementara atau diagnosis
banding. Selain pengetahuan kedokterannya, seorang dokter diharapkan juga mempunyai
kemampuan untuk menciptakan dan membina komunikasi dengan pasien dan keluarganya
untuk mendapatkan data yang lengkap dan akurat dalam anamnesis. Lengkap artinya
mencakup semua data yang diperlukan untuk memperkuat ketelitian diagnosis, sedangkan
akurat berhubungan dengan ketepatan atau tingkat kebenaran informasi yang diperoleh.2
2

Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan keadaan umum dan tanda tanda vital (kesadaran, tekanan darah,
nadi, dan suhu).4
2. Observasi kulit dan konjungtiva untuk mengetahui tanda perdarahan. Observasi
kulit meliputi wajah, lengan, tungkai, dada, perut, dan paha.3
3. Penekanan pada ulu hati (epigastrium). Adanya rasa sakit / nyeri pada ulu hati
dapat disebabkan karena adanya perdarahan di lambung.3
4. Perabaan hati. Hati yang lunak merupakan tanda pasien DBD yang menuju fase
kritis.3
5. Uji Tourniquet (Rumple Leede).4
6. Munculnya bintik-bitik merah lebih dari 10 pada luas 2,5x2,5 cm pada lengan
bawah bagian palmar.4
Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus flavivirus, keluarga flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30
nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat
menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ini ditemukan
di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West
Nile virus. 1
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada hewan ternak didapatkan
antobodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi, dan babi. Penelitian pada artropoda
menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes dan Toxorhynchites.
Menurut WHO, Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes
(Ae.) dari subgenus Stegomyia. Ae. Aegypti (kota) merupakan vektor epidemi yang paling
utama, namun spesies lain seperti Ae. Albopictus (pedesaan), Ae. polynesiensis, anggota dari
Ae. Scutellaris complex, dan Ae. (Finlaya) niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder.
Kecuali Ae. aegypti semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang
3

terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus Dengue, biasanya
mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Ae. aegypti. 3-6

Ae. aegypti sama seperti juga nyamuk Anopheleni lainnya mengalami metamorphosis
sempurna. Nyamuk betina meletakkan telurnya diatas permukaan air dalam keadaan
menempel pada tempat dinding perindukannya Seekor nyamuk betina dapat meletakkan ratarata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur. Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi
larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan
akhirnya menjadi dewasa. Pertumbuhan dari telur sampai dewasa memerlukan waktu kirakira 9 hari. 6
Ciri-ciri nyamuk aedes aegypti: 6
a) Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris putih,(lyre form).
b) Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC,
tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban
bekas, pot tanaman air, tempat minum burung, dan lain-lain.
c) Jarak terbang 100 m.
d) Nyamuk betina bersifat multiple biters (menggigit beberapa orang karena
sebelum nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat).
e) Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.berduri lateral.

Telur Ae.Aegypti mempunyai dinding yang bergaris dan membentuk bangunan menyerupai
bangunan kain kasa. Larva Ae. Aegypti mempunyai pelana yang terbuka dan gigi sisir yang
berduri lateral. 6

Nyamuk dewasa betina menghisap darah manusia pada siang hari yang dilakukan baik di
dalam rumah ataupun di luar rumah. Pengisapan darah dilakukan dari pagi sampai petang
dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00) dan sebelum matahari
terbenam (15.00-17.00). Tempat istirahat Ae.aegypti berupa semak dan tanaman rendah
termasuk rerumputan yang terdapat di halaman/kebun/pekarangan rumah, juga berupa bendabenda yang tergantung di dalam rumah seperti pakaian, sarung, kopiah dan sebagainya. Umur
nyamuk dewasa betina di alam bebas kira-kira 10 hari, sedangkan di Laboratorium mencapai
umur dua bulan, Ae.aegypti mampu terbang sejauh 2 kilometer, walaupun umumnya jarak
terbangnya adalah pendek yaitu kurang dari 40 meter. 6

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989-1995), dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.1
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue
yaitu:1
a) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain.
b) Penjamu: Terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi, paparan terhadap
nyamuk, usia, dan jenis kelamin.
c) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
Patofisiologis
Patofisiologis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.1
Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu kelompok monoklonal reaktif yang tidak
mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus dan antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus. Antibody yang
dibentuk pada infeksi primer akan meyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi
sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat
bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe berbeda cenderung menyebabkan
manifestasi yang berat.7
Reaksi immunologi yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD sebagai berikut:
a. Sel fagosit mononuclear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer merupakan
tempat terjadinya infeksi virus dengue primer. Sel ini berperan dalam fagositosis virus
dengan opsonisasi antibodi. Namun, proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan
replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; 1,7
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun
seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T-helper yaitu TH1 akan memproduksi
5

interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH-2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi berbagai
mediator inflamasi seperti TNF-, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, dan
histamin yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran
plasma.1
c. Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis
ini disebut antibody dependent enchancement (ADE).1
d. Virus ini kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear yang telah
terinfeksi. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks inmin akan menyebar
ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Parameter perbedaan terjadinya BD dengan
atau tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.1,7
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral
dan sistem komplemen. Aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya mediator (C3a dan C5a) yang akan memperngaruhi permeabilitas
kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi.1,7
Permeabilitas kapiler yang meninggi mengakibatkan terjadinya hemokonsentrasi sehingga
aliran darah lambat. Kemudian terjadi hipoksia dan asidosis metabolik. Trombositopenia pada
infeksi dengue terjadi melalui mekanisme: 1) supresi sumsum tulang dan 2) destruksi dan
pemendekan massa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5
hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir
tercapai akan terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan,
hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui peningkatan fragmen
C3g. Koagulapati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV.1

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Rutin


Pemeriksaan ini yang mencakup: eritrosit (hemoglobin, jumlah sel, hematokrit, dll), leukosit,
dan trombosit. Hemoglobin merupakan zat protein yang ditemukan dalam sel darah merah
SDM yang memberikan warnah merah pada darah. Hemogloblin berisi zat besi yang
membawa oksigen. Kadar hemoglobin tinggi karena ada nya hemokonsenstrasi akibat
kehilangan cairan. Hematokrit adalah volume sel darah merah dalam 100 ml darah yang
dihitung dalam presentase. Hematokrit rendah pada kondisi anemia dan leukemia dan tinggi
pada keadaan hemokonsentrasi akibat penurunan volume cairan dan peningkatan SDM.
Sementara leukosit berpengaruh pada proses imunitas dan trombosit pada pembekuan darah.8

Pemeriksaan Serologi
Uji HI (hemagglutination inhibition test)
Uji serologi yang paling banyak dipakai secara rutin karena lebih sederhana, mudah, murah
serta sensitif. Antibodi HI ini dapat berada dalam kurun waktu yang sangat lama hingga lebih
dari 50 tahun begitu seseorang mendapatkan infeksi demam berdarah. Antibodi ini timbal
pada kadar yang terdeteksi yaitu titer 10 pada hari kelima hingga hari keenam dari jalannya
penyakit. Kadarnya akan meningkat bila demam berdarah terus berlanjut (dapat mencapai
640 pada infeksi primer dan 10240 pada infeksi sekunder). Pada infeksi akut, kadar titer yang
mencapai 1280 dapat mengarahkan diagnosis pada dugaan adanya infeksi baru. Titer HI yang
tinggi ini akan bertahan hingga tiga bulan sesudah infeksi dengan gejala penurunan yang
tampak mulai pada hari ke 30.9

a) Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui

limfositosis

relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15%
dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
b) Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8
c) Hematokrit: kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3 demam.
d) Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, ataua FDP
pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e) Protein/albumin: dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
f) SGOT/SGPT: dapat meningkat
7

g) Ureum, kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal


h) Elektrolit : sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
i) Golongan darah dan cross match (uji cocok serasi) : bila akan diberikan transfuse
darah atau komponen darah
j) Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue
IgM

: terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke -3 ,

menghilang setelah 60-90 hari


IgG

: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada

infeksi sekunder IgG muali terdeteksi hari ke 2.


k) Uji HI : dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama, serta saat pulang dari
perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
l) NS1

: antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam pertama sampai hari ke

delapan. Sensitivitas NS1 berkisar 63-93,4% dengan spesifisitas gold standart kultur
virus.
Gambaran klinis
Infeksi virus dengue dapat bersifat asimptomatik atau mengakibatkan penyakit demam biasa,
demam dengue, atau demam berdarah dengue (DHF) termasuk sindrom syok dengue. Infeksi
terhadap salah satu serotipe virus dengue memberikan imunitas seumur hidup khusus untuk
serotipe tersebut, tetapi tidak ada perlindungan silang serotipe terhadap serotipe yang lain.
Penampilan klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan strain virus.10

Kasus tipikal DHF ditandai dengan demam tinggi, fenomena pendarahan, hepatomegali, dan
sering kali disertai kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang hingga berat yang disertai
hemokonsentrasi dapat dibedakan dengan hasil temuan laboratorium klinis. Perubahan
patofisiologi utama yang menentukan tingkat keparahan penyakit DHF dan membedakan
dengan DF adalah hemostatis yang abnormal dan kebocoran plasma yang dimanifestasikan
dengan trombositopenia dan jumlah hematokrit yang meningkat. DHF umumnya dimulai
dengan peningkatan suhu secara tiba-tiba yang disertai dengan kemerahan pada wajah serta
gejala fisik non spesifik lain yang menyerupai demam dengue, misalnya anoreksia, muntah,
sakit kepala, dan nyeri otot serta sendi. Beberapa pasien DHF mengeluh sakit tenggorokan,
dan faring merah mungkin ditemukan pada pemeriksaan. Ketidaknyamanan pada epigastrik,
nyeri tekan di tepi rusuk kanan, serta nyeri perut yang biasa terjadi. Suhu tubuh biasanya
tinggi dan pada kebanyakan kasus akan tetap tinggi selama dua hari atau tujuh hari
8

berikutnya, baru kemudian turun kembali menjadi normal atau subnormal. Kadang-kadang
suhu tubuh dapat mencapai 40Oc, dan dapat terjadi kejang. Fenomena pendarahan yang
paling umum ditunjukkan melalui uji turniket positif. Mudah memar dan berdarah pada sisi
infeksi juga dapat ditemukan pada kebanyakan kasus. Petekia yang sangat kecil menyebar
mulai dari anggota gerak, ketiak, wajah, dan palatum lunak mungkin akan tampak selama
fase awal demam. Pertemuan ruam petekia dengan karakteristik yang ditandai area berbentuk
bulat kecil pada kulit normal terkadang muncul selama masa pemulihan setelah suhu kembali
normal. Ruam makulopapular atau ruam seperti rubbela dapat terlihat di awal atau akhir
perjalanan penyakit. Epitaksis dan gusi berdarah sering terjadi. 10

Hati biasanya teraba sejak fase awal demam, bervariasi mulai dari hanya teraba sampai
berada 2-4 cm di bawah tepi rusuk kanan. Ukuran hati tidak berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit, tetapi hepatomegali lebih sering ditemukan pada kasus-kasus syok.
Nyeri tekan hati terasa, tetapi biasanya ikhterik tidak tampak, bahkan pada pasien yang
hatinya membesar dan nyeri. Hasil rotgen dada menunjukkan adanya efusi pleura terutama di
bagian kanan dan ini merupakan temuan konstan. 10

Pada kasus ringan ataupun sedang, semua tanda dan gejala berkurang setelah demam mereda.
Peredaan ini ditandai dengan keluarnya keringat berlebih dan sedikit perubahan denyut nadi
maupun tekanan darah, dan mendinginnya anggota gerak serta kongesti kulit. Perubahan ini
menandakan adanya gangguan ringan dan sementara pada sirkulasi akibat kebocoran plasma.
Pasien biasanya pulih baik dengan sendirinya ataupun setelah terapi cairan elektrolit. Pada
kasus berat, kondisi pasien memburuk secara tiba-tiba beberapa hari setelah awitan demam.
Pada saat itu atau lebih tepat setelah suhu tubuh turun, antara tiga sampai tujuh hari setelah
awitan, tanda-tanda kegagalan sirkulasi mulai muncul. Tahap awal syok ditandai dengan
denyut yang lemah dan cepat disertai tekanan denyut nadi turun, hipotensi, kulit menjadi
lembab dan pasien menjadi gelisah. Pasien yang syok kemungkinan dapat meninggal jika
tidak segera mendapatkan penanganan yang tepat. Pasien mungkin akan memasuki tahap
syok yang lebih berat dan tekanan darah dan tekanan nadi menjadi tidak nyata. Syok
berlangsung singkat, pasien dapat meninggal 12-24 jam kemudian, atau pulih dengan cepat
setelah diberikan terapi pengganti volume cairan yang sesuai. Sebaliknyanya, syok yang tidak
ditangani dapat mengakibatkan situasi yang semakin rumit mulai dari asidosis metabolik,
pendarahan yang parah dari saluran gastrointestinal juga dari organ lainnya, dan prognosisnya
menjadi buruk. Pasien yang mengalami pendarahan dalam otak dapat terserang kejang yang
9

berlanjut ke koma. Ensepalopati dapat terjadi berhubungan dengan gangguan elektrolit dan
metabolik. 10

Masa pemulihan penyakit DHF dengan maupun tanpa syok berlangsung singkat dan tanpa
meninggalkan gejala sisa. Kembalinya nafsu makan merupakan tanda prognosis yang baik.
Temuan umum dalam masa pemulihan mencakup brakikardi atau aritmia dan penyatuan
petekia dan ruam pada dengue.
Derajat beratnya DBD secara klinis dibagi sebagai berikut:1
1. Derajat I (ringan), terdapat demam mendadak selama 2-7 hari disertai gejala klinis
lain yang tidak spesifik, dengan manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji turniket
yang positif atau mudah memar.
2. Derajat II (sedang), gejala yang ada pada tingkat I ditambah pula dengan perdarahan
kulit dan manifestasi perdarahan lain dengan ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
3. Derajat III, ditemukan tanda-tanda renjatan dan pendarahan spontan Pendarahan bisa
terjadi di kulit atau tempat lain.
4. Derajat IV, syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diperiksa, hal ini biasa disebut dengue shock syndrome atau biasa disingkat DSS. Fase
kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Setelah demam selama 2 - 7
hari, penurunan suhu biasanya disertai dengan tanda-tanda gangguan sirkulasi darah.
Penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, dan mengalami perubahan
tekanan darah dan denyut nadi.
Diagnosis klinis perlu disokong pemeriksaan serologi. Serologi dan reaksi berantai
polymerase tersedia untuk memastikan diagnose demam berdarah jika terindikasi secara
klinis.1
Diagnosis Banding
Demam Typhoid
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan
penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot,
anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan
epitaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat. Sifat demam
10

adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu
kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relative, lidah yang
berselaput, hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen,
stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseole jarang terjadi pada orang Indonesia.1

Malaria
Malaria mempunyai gambaran karateristik demam periodic, anemia dan splenomegali. Masa
inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi
sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa
dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan anoreksia, perut tak enak, diare
ringan dan kadang-kadang dingin. Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara
berurutan: periode dingin (15-60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas:
penderita muka merah, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan
keadaan berkeringat; kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan
temperature turun, dan penderita merasa sehat. Anemia dan splenomegali juga merupakan
gejala yang sering dijumpai pada malaria.1

Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demem dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume carian sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.1
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersana dengan Divisi
Penyakit Trofik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria:1

Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas
indikasi.

11

Praktis dalam pelaksanaannya.

Mempertimbangkan cost effectiveness.

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok


Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalansi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.1
Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila:1

Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 150.000 pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht Lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Instalansi Gawat Darurat.

Hb, Ht normal tetapi trombosit < 100.000 dianjurkan untuk dirawat.

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif tanpa syok maka di ruang
rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:1
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan : 1500 + {20 x (BB dalam kg - 20)}
Setelah pemberian cairan, dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:1

Bila Hb, Ht meningkat 10 20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Ht trombosit dilakukan tiap 12 jam.

Bila HB, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit > 20%


Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak 5%.
Pada keadan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6 7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3 4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi
menjadi 5 ml/kg/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24 - 48 jam kemudian.1
12

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 7ml/kgBB/jam tadi keadaan tetap tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekanan darah menurun ,
20mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBb/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15
ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan
tanda tanda syok maka pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindroma syok
dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti
terapi pemberian cairan awal.1

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa


Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan hidung /
epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria),
perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht, dan trombosit serta hemostase
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit sebaiknya diulangi setiap 4
6 jam.1

Pemberian heparin dilakukan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
koagulasi intravaskulat diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit
hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah
trombosit < 100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.1

Protokol 5. Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada Dewasa


Bila kita berhadapan dngan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
13

sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.1
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2 4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan yang
harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.1
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10 20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah
15 30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mHg
dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan
volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat disertai diuresis 0,5 1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 120
menit kemudian tetap stabil pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60
120 menit kemudian keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24
- 48 jam setelah renjatan teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis
cukup maka pemberian cairan perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma
yang mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus
terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi.1

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang terus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis penyakit masih
berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluih darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan naps, pembesaran hati, nyeri tekan
daerah hipokondrium kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis.diuresis diusahak 2
ml/kgBB/jam. Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat
dipergunakan untuk pemantauan perjalanan penyakit.1

Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka pemberian
cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20 30 ml/kgBB/jam dan kemudian dievaluasi
setelah 20 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai hematokrit.
14

Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berati
terjadi perdarah (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10
ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.1

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat cairan
tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10 - 20ml/kgBB
dan dievaluasi setelah 10 - 30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk memantau
kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid dapat
ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1 - 1,51/hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18 cm H20. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID,
infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi
renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan obat inotropik / vasopresor.1

Pencegahan
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk
Aedes aegypti. Pemberantasan nyamuk dibagi menjadi pemberantasan nyamuk dewasa dan
pemberantasan jentik nyamuk serta pencegahan gigitan nyamuk.
Pemberatasan nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara melakukan fogging atau membunuhan
nyamuk dewasa dengan mengunakan insektisida (malation, losban). Pemberantasan jentik
nyamuk, dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat baik secara fisik ,
biologis maupun secara kimiawi yaitu:8
1. Fisik
Cara ini dikenal denga kegiatan 3 M yaitu adalah tindakan yang dilakukan secara teratur
untuk memberantas jentik dan menghindari gigitan nyamuk Demam Berdarah dengan
cara:
a. Menguras
Menguras tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, ember,
vas bunga, tempat minum burung dan lain-lain seminggu sekali.
b. Menutup
Menutup rapat semua tempat penampungan air seperti ember, gentong, drum, dan
lain-lain.
c. Mengubur
15

Mengubur semua barang-barang bekas yang ada di sekitar rumah yang dapat
menampung air hujan.
2. Biologis
Pengendalian secara biologis adalah pengandalian perkambangan nyamuk dan jentiknya
dengan menggunakan hewan atau tumbuhan. seperti memelihara ikan yang memakan
jentik-jentik nyamuk (ikan kepala timah, ikan guppy).
3. Kimiawi
Pengendalian secara kimiawi merupakan cara pengandalian serta pembasmian nyamuk
serta jentiknya dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Cara pengendalian ini antara
lain dengan cara memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan
air seperti gentong air, vas bunga, kolam dan lain-lain.
Komplikasi
Sindrom Syok Dengue
Keadaan ini merupakan keadaan dimana kondisi pasien berkembang kearah syok tiba-tiba.
Keadaan ini menyimpang dimana terjadi selama 2-7 hari. Penyimpangan ini terjadi pada
waktu, atau segera setelah, penurunan suhu antara hari ketiga dan ketujuh sakit. Terdapat
tanda-tanda khas dari gagal sirkulasi, seperti:8

Kulit menjadi dingin

Bintil-bintil

Kongesti sinosispun (sering terjadi, dimana keadaan denyut nadi semakin cepat)

Pada umumnya pasien dapat mengalami letargi, kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat
memasuki tahap kritis dari shok.1
DSS biasanya ditandai dengan nadi yang semakin cepat dan lemah, tekanan darah turun (
20mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah.. Dimana pasien yang shok bila tidak segera ditangani akan dapat berakibat pada
kematian. Biasanya bila tidak ditangani 12-24 jam maka akan menimbulkan kematian. 1

Edem paru
Edema paru kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan
hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema
Paru Kardiogenik menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial
16

paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran
ventrikel kiri.11
Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Kecuali kejang,
gejala ensefalopati lain tidak atau jarang menyertai DBD. Tingginya presentasi enselopati
dengue pada golongan umur 1-4 tahun memerlukan peningkatan kewaspadaan. Pada
ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi cairan
diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa
(5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8
jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan.
Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari,
kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obatobat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat
diberikan asam amino rantai pendek.11

Prognosis
Manajemen kasus DHF yang efektif memerlukan keterlibatan dokter dan perawat yang
terlatih, fasilitas laboratorium yang mutakir dan dapat diandalkan, serta sistem persediaan
darah yang adekuat dan persediaan obat-obat fungsional. Diagnosis dini terhadap penyakit
dan dirawatnya pasien di rumah sakit sangat penting untuk guna menurunkan angka fatalitas.
Prognosis DHF bergantung pada diagnosis dini, pengenalan dini syok, observasi klinis yang
cermat, dan penggantian volume yang mengacu pada hasil uji sederhana di laboratorium. 10

Kesimpulan
Demam dangue (DF) dan demam berdarah dangue (DBD) adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dangue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/nyeri sendi
17

yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dangue (dengue
shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue. Dalam:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi ke-6. Jakarta : InternaPublishing; 2014. h. 539-48
2. Gleadle, Jonathan. Pengambilan anamnesis. Dalam : At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta : Penerbit Erlangga; 2007. h. 1-17.
3. Satari, Hindra I., Meiliasari,Mila. Demam berdarah. Jakarta: Puspa Swara, 2004.h.2831.
4. Nadesul, Handrawan. Cara mudah mengalahkan demam berdarah. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas; 2007.h.7-8.
5. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2001. h.428-433
6. Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku
Nyamuk. Dalam : Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h.250.
7. Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed ke 2. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2002.h.155-75.
8. Sudiono H, Iskandar I, Edward H. Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik.
Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida; 2007.h.42,59-61.
9. Widyastuti, Palupi. Pencegahan dan pengendalian dengue dan demam berdarah
dengue:panduan lengkap. Jakarta: EGC; 2005.h.41-5.
10. WHO. Panduan lengkap pencegahan & pengendalian dengue & demam berdarah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h 13-23.
11. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Hipoksia. Dalam : Prinsipprinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2002. h.207.

18

19

Anda mungkin juga menyukai