Anda di halaman 1dari 68

MEDIA

KESEHATAN MASYARAKAT
INDONESIA

ISSN 0216-2482

The Indonesian Journal of Public Health


Volume 9, Nomor 1, 2013
Studi Perilaku Siswa SMA Ronevan Tual Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kelurahan
Dullah Selatan Kota Tual Tahun 2011
Methilda Meische Sambono
Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011
Ludia Fin Laipeny
Strategi Positioning Dalam Rangka Mempertahankan Dan Meningkatkan Pangsa Pasar
Pada RSIA St Fatimah Makassar
Nurbani Bangsawan, Abd. Rahman Kadir, Rasyidin Abdullah
Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Merkuri Pada Masyarakat Kecamatan Bulawa
Kabupaten Bone Bolangoprovinsi Gorontalo
Siprianus Singga, Anwar Daud, Ida Leida M.Thaha
Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011
Nisgunawan Sidiq, Wahiduddin, Dian Sidik
Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Higiene Menstruasi Pada Siswi SMA Negeri 1
Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012
Mariene W. Dolang, Rahma, Muhammad Ikhsan
Persepsi Staf Manajemen Tentang Manajemen Pemasaran Rumah Sakit Di RSUP DR.
Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012
Nurhikmah, Indahwaty Sidin
Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Asuransi Kesehatan Di PT.
Asuransi Jiwa Inhealth Makassar Tahun 2012
Muhammad Rizki Ashari, Nurhayani
Introducing A Smokeless Community In the Bone-Bone Area the District Of Enrekang Indonesia
Mappeaty Nyorong

MKMI

Volume 9

Diterbitkan oleh Media Kesehatan Masyarakat Indonesia

No. 1

Hal. 1 - 62

Makassar
ISSN
Januari 2013 0216-2482

MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesian Journal of Public Health
Volume 9, Nomor 1, Januari 2013

ISSN 0216-2482

Media Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah publikasi ilmiah yang menerima setiap tulisan ilmiah di bidang
kesehatan, baik laporan penelitian (original article research paper), makalah ilmiah (review paper)
maupun laporan kasus (case report) dalam bahasa Indonesia atau Inggris.

Penanggung Jawab
M. Alimin Maidin (Dekan FKM UNHAS)
Pemimpin Redaksi
Ida Leida M. Thaha
Wakil Pemimpin Redaksi
Wahiduddin
Redaksi Pelaksana
Lalu M.Saleh
Devintha Virani
Redaksi Kehormatan
Veni Hadju (Ketua)
A. Razak Thaha
Amran Razak
Asiah Hamzah
Ridwan Thaha
Hasanuddin Ishak
Tahir Abdullah
Mitra Bestari
Peter Davey (Griffith University)
Tomoyuki Shibata (Northern lllinois University)
Umar Fahmi Achmadi (FKM Universitas Indonesia)
Bambang Sutrisna (FKM Universitas Indonesia)
Kuntoro (FKM Universitas Air Langga)
Purnawan Djunadi (FKM Universitas Indonesia)
Irawan Yusuf (FK Universitas Hasanuddin)

Penerbit
Jurnal ini diterbitkan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 4 kali setahun (Triwulan)
(Maret, Juni, September, Desember). Surat menyurat menyangkut naskah, langganan dan sebagainya dapat
dialamatkan ke:
Sekretariat
Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697) d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108
Kampus UNHAS Tamalanrea 90245 (0411) 585 658, Fax (0411) 586 013 E-mail: jurnal.mkmi@gmail.com

MKMI
MEDIA KESEHATAN MASYARAKAT INDONESIA
The Indonesian Journal of Public Health
Volume 9, Nomor 1, Januari 2013

ISSN 0216-2482

DAFTAR ISI
Studi Perilaku Siswa Sma Ronevan Tual Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kelurahan
Dullah Selatan Kota Tual
Methilda Meische Sambono
Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011
Ludia Fin Laipeny
Strategi Positioning Dalam Rangka Mempertahankan Dan Meningkatkan Pangsa Pasar Pada
RSIA St. Fatimah Makassar
Nurbani Bangsawan, Abd. Rahman Kadir, dan Rasyidin Abdullah
Analisis Risiko Kesehatan Pajanan Merkuri Pada Masyarakat Kecamatan Bulawa Kabupaten
Bone Bolango Gorontalo
Siprianus Singga, Anwar Daud, Ida Leida M.Thaha
Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011
Nisgunawan Sidi1, Wahiduddin1 Dian Sidik
Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Hygiene Menstruasi Pada Siswi Sma Negeri 1
Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012
Mariene W. Dolang, Rahma, Muhammad Ikhsan
Persepsi Staf Manajemen Tentang Manajemen Pemasaran Rumah Sakit di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012
Nurhikmah, Indahwaty Sidin
Permintaan (Demand) Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Asuransi Kesehatan Di PT.
Asuransi Jiwa Inhealth Makassar Tahun 2012
Muhammad Rizki Ashari, Nurhayani
Memperkenalkan Komunitas Anti Rokok Di Daerah Bone- Bone Kawasan EnrekangIndonesia
Mappeaty Nyorong

1-6

7 - 14

15 20

21 - 29

30 - 34

35 - 42

43 - 50

51 - 57

58 62

PEDOMAN UNTUK PENULIS

Pengiriman Naskah
Makalah yang dikirimkan untuk dimuat dalam Media Kesehatan Masyarakat Indonesia belum pernah dipublikasikan dan tidak dikirimkan ke penerbitan lain pada waktu
yang bersamaan. Naskah diketik dalam format *.doc/
*.docx (Microsoft Office Word) dan dikirimkan dalam
bentuk Print Out sebanyak rangkap 2 (dua), dengan file
yang tersimpan dalam CD.
Persiapan Teknis Makalah
Naskah diketik pada kertas berukuran 8,27 x 11,69 (A4),
dengan batas tepi (margin) 1 (2,5 cm), huruf (font) Times
New Roman, besar huruf (font size) 12 point dan menggunakan spasi 2 (double space). Setiap bagian/ komponen
dari naskah dimulai pada halaman baru, dengan urutan sebagai berikut: halaman judul, abstrak, kata kunci (key
words), teks keseluruhan, ucapan terima kasih, daftar
pustaka, table dan gambar (setiap tabel dan gambar pada
halaman terpisah). Nomor halaman dicantumkan secara
ber-urutan dimulai dari halaman judul pada sudut sebelah
kanan bawah.
Halaman Judul
Halaman judul (halaman pertama) harus mencakup:
a. Judul makalah yang dibuat sesingkat mungkin, spesifik
dan informatif
b. Nama dan alamat setiap penulis, nama departement
dan lembaga afiliasi penulis
c. Nama dan alamat penulis untuk korespondensi serta
nomor telpon, nomor faximile dan alamat e-mail.
Abstrak dan Kata Kunci (Key Word)
Halaman kedua memuat abstrak yang tidak terstruktur
dalam 1 (satu) paragraph dan tidak lebih dari 200 kata
yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Abstrak laporan penelitian harus berisi latar belakang,
tujuan penelitian, metode, hasil dan kesimpulan. Abstrak
dibuat singkat, informative dengan menekankan aspek
baru dan penting dari laporan penelitian. Kata kunci (key
word) dicantumkan dibawah abstrak pada halaman yang
sama sebanyak 3 10 kata. Gunakanlah kata-kata yang
sesuai dengan daftar pada Index Medicus.
Teks
Teks makalah laporan penelitian dibagi dalam beberapa
bagian dengan judul sebagai berikut: Pendahuluan (Introduction), Bahan dan Metode (materials and Methods),
Hasil (Result), dan Diskusi (Discussion). Uraikan teknik
statistic secara rinci pada metode untuk memudahkan para
pembaca memeriksa kembali hasil yang dilaporkan. Teks
makalah ilmiah dibagi dalam Pendahuluan, Isi, Pembahasan dan Kesimpulan.
Ucapan Terima Kasih
Terutama ditujukan kepada 1) pihak-pihak yang memberikan bantuan dana dan dukungan, 2) dukungan dari

bagian dan lembaga, 3) para professional yang memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah.
Daftar Pustaka
Daftar pustaka ditulis sesuai dengan cara penulisan menurut Vancouver dan hanya mencantumkan kepustakaan
yang dipakai dan relevan. Rujukan diberi nomor urut dengan menggunakan angka arab dan dalam teks nomor urut
dituliskan dengan tanda kurung. Table dan gambar diberi
nomor sesuai dengan urutan penampilannya dalam teks
dengan menggunakan angka arab. Hindari penggunaan
abstrak sebagai rujukan. Rujukan yang telah diterima suatu
jurnal tetapi belum dipublikasikan harus di tambah perkataan in press
a. Artikel dalam Jurnal
1. Artikel Standar
Hadju V. Hubungan Helminthiasis Dengan Belajar
pada Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Mariso,
Ujungpandang. Jurnal Medika Nusantara 1997;
18:115-22
2. Organisasi sebagai penulis
The Cardiac Society of Australia and New Zealand.
Clinical Exercise Stress Testing. Safety and Performance Guidelines. Medical Journal of Australia
1996 ; 164:282-4
3. Tanpa nama penulis
Management of Acute Diarrhea (editorial).Lancet
1983;1:623-5
b. Buku atau Monografi Lainnya
1. Penulis Perorangan
Notoatmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan.
Cetakan ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2002
2. Editor sebagai penulis
Tawali A, Dachlan DM, Hadju V, dan Thaha Ar,
editors. Pangan dan Gizi: Masalah, Program Intervensi dan Teknologi Tepat Guna. Makassar: DPP
pergizi Pangan dan Pusat Pangan, Gizi dan Kesehatan; 2002.
3. Organisasi sebagai penulis
World Health Organisation (WHO). Measuring Change in Nutritional Status; Guidelines for Assessing
the Nutritional Impact of Vulnerable Groups. Genewa: World Health Organization;1983
4. Bab dalam buku
Lewis BA. Structure and Properties of Carbohydrates. In: Biochemical and Physiological Aspects of
Human Nutrition. Philadelphia: W. B. Saunders
Company; 2000. P.3-18.
5. Prosiding konferensi
Jalal F dan Atmojo SM. Peranan Fortifikasi dalam
Penanggulangan Masalah Kekurangan Zat Gizi
Mikro. Prosiding Widya Karya Nasional Pangan
dan Gizi VI; Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 1998.

6. Makalah dalam konferensi


Hadju V, abadi K dan Zulfikar. Effect of Deworing
on Growth and Appetite in Schoolchildren in
Ujungpandang. Dibawakan pada 7th World Federation of Public Health Association International
Congress, Hotel Nusa Dua Bali, Indonesia, 4-8 desember 1994.
7. Laporan ilmiah atau teknis
Badan Pusat Statistic. Laporan Hasil Survey Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga. Jakarta:
Badan Pusat Statistic;2003
8. Skripsi, thesis atau disertasi
Rochimiwati SN. Dampak Pemberian Produk Ma-kanan Kaya Protein Kedelai Terhadap Perubahan
Status Gizi Penderita TB di BP4 Makassar (thesis).
Makassar: Universitas Hasanuddin;2003
9. Artikel dalam Koran
Yahya M. Sulsel Lumbung Pangan, tapi Kekurangan Gizi. Fajar, selasa 14 September 1999

c. Materi Elektronik
Rosenthal S, Chen R, Hadler, S. The Safety of Acellular Pertusis Vaccine vs Whole Cell Pertussin Vaccine. Arch Pediart Adolesc Med. 1996; 150:457-60.
Available at: http://www.amu.assn.org/sci_pubs/journals/arcive/ajdc/vol150/no5/abstract/httm diakses pada 10 November, 1996
Tabel, Gambar dan Grafik
Cetak setiap table pada halaman terpisah dan diketik spasi
2 (double space). Nomor urut table dan gambar sesuai
urutan penampilannya dalam teks. Untuk catatan kaki
(footnotes) pada table gunakan symbol dengan urutan
sebagai berikut *, , , , , , **, , .
Naskah yang diterima redaksi akan dibahas oleh pengasuh
dan redaksi berhak memperbaiki susunan bahasa tanpa
mengubah isinya. Penggunaan istilah asing non medis sedapat mungkin dihindari atau disertai terjemahan penjelasannya. Usulan perbaikan naskah (terutama menyangkut
substansi) akan disampaikan kepada penulis yang bersangkutan.

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 1-6

Artikel I

STUDI PERILAKU SISWA SMA RONEVAN TUAL TERHADAP


PENCEGAHAN HIV/AIDS DI KELURAHAN DULLAH
SELATAN KOTA TUAL
Behavioral Studies Ronevan Tual High School Students Against Hiv / Aids In Sub-District
Of South Dullah Tual
Methilda Meische Sambono
Dinkes Kabupaten Tual Provinsi Maluku
(meychuansambono@yahoo.co.id)
ABSTRAK
Kecepatan penyebaran virus HIV/AIDS terutama dipengaruhi oleh perilaku tanpa
menggunakan kondom, pengguna alat suntik bersama untuk napza dan upaya pencegahannya
terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku antara lain mencakup peningkatan
penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seks di luar nikah serta penurunan
pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakaian narkoba. Tujuan
penelitian ini untuk diperoleh informasi tentang pengetahuan, sikap dan tindakan siswa SMA
Ronevan Terhadap Pencegahan HIV/AIDS Di Kecamatan Dullah Selatan Kota Tual. Metode
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Populasi dari penelitian ini yaitu
seluruh siswa kelas XI dan XII SMA Roneva Tual yang berjumlah 140 responden dan sampel
penelitian yaitu 140 responden. Selanjutnya data diolah, dan dianalisa secara univariat. Hasil
penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang cukup
terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 87 orang (62,1%) responden yang memiliki
pengetahuan yang cukup sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak
53 orang (37,9%). Sebanyak 91 orang (65,0%) yang memiliki sikap positif terhadap
pencegahan HIV/AIDS, sedangkan 49 orang lainnya (35,0%) memiliki sikap yang negatif.
Terdapat 78 orang (55,7%) yang tindakannya positif dan 62 orang (44,3%) yang tindakannya
negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS. Menyarankan kepada kepala sekolah SMA Ronevan
Tual beserta staf agar senantiasa memberikan penyuluhan kepada siswa SMA tentang
pencegahan dini tentang penyakit infeksi menular seperti HIV/AIDS.

Kata kunci : Pengetahuan, Sikap, Tindakan, HIV/AIDS


ABSTRACT
The increasing of HIV distribution is influence by behavior that has not use condom,
and needle uses. Prevention to change the habit which is use condom and decreasing of
sexsual partner they change of needle that has been use before and consum of drugs.Velocity
spread of HIV / AIDS is primarily affected by the behavior without the use of condoms,
syringes users together to drugs and prevention efforts are also directed primarily at
behavior change include the increased use of condoms and reduction in the number of
sexual partners outside marriage as well as decrease the use of joint or alternate means /
syringes in drug use. The purpose of this study is to obtain information about knowledge,
attitudes and actions of high school students Ronevan Against HIV / AIDS in the District of
South Dullah Tual. The research method used is descriptive research. The population of this
study are all students in grade XI and XII SMA Roneva Tual totaling 140 respondents and
the sample is 140 respondents. Once the data is collected, then the data is processed, edited,
and tabulated and analyzed in univariate data. The results showed that most respondents
have sufficient knowledge on the prevention of HIV - AIDS is 87 people (62.1%) of
respondents who have sufficient knowledge while respondents who have less knowledge of as
many as 53 people (37.9%). A total of 91 people (65.0%) having a positive attitude towards
prevention of HIV / AIDS, whereas 49 others (35.0%) had a negative attitude. There are 78
people (55.7%) of positive actions and 62 people (44.3%) of negative actions on the
prevention of HIV / AIDS. Suggested to the school principal and his staff Ronevan Tual to
always provide counseling to high school students about the early prevention of infectious
diseases such as hiv/aids.
Keyword : Knowledge, Behavior, Action, HIV/AIDS
1

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

tahun belum pernah mendengar tentang HIV/AIDS


(KPA,2009).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
melaporkan 20.564 kasus HIV/AIDS di 32 provinsi
pada 300 kabupaten/kota hingga 31 Maret 2010.
Rasio kasus HIV/AIDS yang di laporkan tersebut
adalah 3 banding 1 antara laki-laki dan perempuan,
dengan penularan terbanyak heteroseksual 50,3%,
pecandu napza suntik (penasun) 40,2%, dan lelaki
hubunan seks dengan lelaki(LSL) 3,3%. Proporsi
kumulatif kasus HIV/AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok 20-29 tahun (49,07%), 30-39 tahun
(30,14%), dan 40-9 tahun (8,82%).
Seks bebas adalah salah satu faktor utama yang
membuat peningkatan penularan HIV/AIDS. Survei
terbaru Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN), mengungkap fakta bahwa
separuh remaja perempuan lajang di Jakarta, Bogor,
Tangerang, dan Bekasi disebut tidak perawan karena
melakukan hubungan seks pranikah dan tidak sedikit
yang hamil di luar nikah. Selain di Jabodetabek, data
yang sama juga diperoleh di wilayah lain di
Indonesia. Di Surabaya, remaja perempuan lajang
yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54%,
Medan 52%, Bandung 47%, dan Yogyakarta 37%
(BKKBN, 2010)
Menurut data Dinkes Provinsi Maluku kasus
HIV/AIDS data yang diperoleh dari Kabupaten/Kota
Jumlah penderita HIV 124 orang, AIDS 92 orang dan
IMS tercatat 232 kasus (Dinkes Provinsi Maluku,
2007). Data Dinkes kota Tual jumlah penderita
HIV/AIDS dari tahun 1994-2010 sebanyak 199
orang, pada umur 20-29 tahun. Menurut jenis
kelamin terdapat 71 orang dengan kasus yang paling
banyak terjadi pada perempuan 37 orang dan lakilaki 34 orang dan paling banyak berprofesi sebagai
ibu rumah tangga. Sedangkan jumlah yang
meninggal akibat HIV/AIDS sebanyak 17 orang
(Dinkes Kota Tual, 2010).
Pemilihan lokasi penelitian di SMA Ronevan
Tual karena merupakan sekolah yang diunggulakan
atau difavoritkan oleh masyarakat Kota Tual .
Karena hal diatas, maka peneliti tertarik untk melihat
gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan siswa
SMA Ronevan Tual tentang HIV/AIDS, baik dari
segi penularan maupun pencegahan.

PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)
merupakan kumpulan gejala penyakit yang
disebebkan oleh Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Penyakit ini merupakan endemik yang
menyerang seluruh dunia dan menjadi pembunuh
nomor tiga di dunia setelah TB dan Malaria (Ditjen
PPM dan PL Depkes RI, 2009).
Data UNAIDS/WHO 2006 dalam AIDS
Epidemic Update, diperkirakan 39,5 juta orang hidup
dengan HIV. Terhitung sebanyak 4,3 juta infeksi
baru pada tahun 2006 dengan 2,8 juta (65%) dari
Sub-Sahara Afrika dan peningkatan pesat di Eastern
Europe and Central Asia, ada indikasi bahwa infeksi
tersebut telah meningkat lebih dari 50% sejak 2004.
Tahun 2006 sebanyak 2,9 juta orang meninggal
karena AIDS. UNAIDS memperkirakan 8,3 juta
orang meninggal pada tahun 2005. Di India sekitar
5,1 juta penduduk yang terinfeksi dimana kalangan
wanita lebih banyak tertular oleh suaminya.
Prevalensi HIV di negara-negara Asia-Pasifik
yang paling tinggi adalah Kamboja, Thailand,
Myanmar dan beberapa bagian negara India.
Prevalensi HIV meningkat pada IDU dialami di
sebagian China, Napel, Indonesia, Malaysia dan
Vietnam. Di Asia, para pasien AIDS lebih banyak
ditemukan di kalangan pekerja seks, kaum
homoseksual dan pengguna obat suntik.
Statistik kasus HIV/AIDS di Indonesia oleh
Ditjen PPM dan PL Depkes RI secara kumulatif
pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS dari tahun
1987 sampai 2005 berjumlah 9565 yang terdiri dari
4244 HIV dan 5321 AIDS di seluruh propinsi di
Indonesia. Tahun 2005 berjumlah 13.424 kasus yang
terdiri dari 5.230 HIV dan 8.194 HIV/AIDS di
seluruh provinsi di Indonesia Sebanyak 1.871 orang
meninggal akibat HIV/AIDS. Ibukota Jakarta
menduduki peringkat tertinggi 33% kasus, Papua
menduduki peringkat kedua, kemudian Jawa Timur,
Jawa Barat-Banten dan Bali. Kalau dilihat dari
jumlah kasus per penduduk maka Papua sangat
tinggi, 51% dari 100 ribu penduduknya mengidap
HIV/AIDS. Data terakhir Dinas Kesehatan Propinsi
Papua 30 September 2005, menyebutkan angka
HIV/AIDS di Papua mencapai 2.134 kasus.
Sebanyak 1202 kasus HIV dan 932 kasus AIDS,
serta 289 diantaranya sudah meninggal. Satu hal
yang mengkhawatirkan adalah kasus HIV/AIDS
terbanyak justru ada pada usia produktif ( 1539
tahun ), yakni sekitar 79%, pada kelompok umur 20
29 tahun yaitu 879 kasus, umur 3039 tahun 530
kasus dan umur 1519 tahun 189 kasus.
Pada tahun 20022003 Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) menemukan sekitar
34% remaja putri dan 21% remaja pria berusia 1524

BAHAN DAN METODE


Lokasi penelitian yaitu SMA Ronevan Tual
yang berada di kota Tual Kepulauan Provinsi
Maluku. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa kelas XI dan XII. Sampel dalam
penelitian ini adalah sebanyak 140 responden dengan
teknik pengambilan sampel adalah total sampling.
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung
2

Jurnal MKMI, Januari 2013, 1-6

kepada responden pada saat penelitian dengan


menggunakan kuesioner penelitian. Data sekunder
didapat dari kantor Dinas Kesehatan kota Tual yang
digunakan sebagai data pendukung dan pelengkap
dari data primer untuk keperluan penelitian.
Pengolahan
menggunakan
program
aplikasi
komputer SPSS dan disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi

komunitas. Banyak kelompok berisiko yang dapat


tertular maupun terpapar HIV/AIDS.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan
bahwa dari 140 responden yang diteliti terdapat
62,1% yang mempunyai pengetahuan cukup terhadap
penceghan HIV/AIDS dan 37,9% yang memiliki
Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden
Siswa SMA Ronevan Tual Tahun
2011
Karakteristik
n
%
Responden
Umur
14-15
25
17,9
16-17
92
65,7
18-19
23
16,4
Jenis kelamin
Laki-laki
75
53,6
Perempuan
65
46,4
Kelas
Kelas XI IPA1
35
25,0
Kelas XI IPA2
35
25,0
Kelas XII IPA1
35
25,0
2
Kelas XII IPA
35
25,0

HASIL
Jumlah responden terbanyak berada pada umur
16-17 tahun yaitu 92 responden (65,7%), responden
laki-laki lebih banyak yaitu 53,6% di banding jumlah
responden perempuan 46,4%. Kelas XI IPA1, XI
IPA2, XII IPA1 dan XII IPA2 memiliki jumlah
responden yang sama, yaitu sebanyak 35 responden
(25%) dari tiap kelas. Tabel 2 menunjukan bahwa
responden yang memiliki pengetahuan yang cukup
tentang pencegahan HIV/AIDS yaitu sebanyak 87
responden (62,1%) dan yang memiliki pengetahuan
yang kurang sebanyak 53 responden (37,9%).
Responden pada umumnya memiliki sikap positif
mengenai pencegahan HIV/AIDS sebesar 91
responden (65,0%) sedangkan sikap negatif hanya 49
responden (35,0%). Responden umumnya memiliki
tindakan positif dalam pencegahan HIV/AIDS yaitu
78 responden (55,7%) sedangkan yang mempunyai
tindakan negatif sebanyak 62 responden (44,3%).

Total

140

100

Sumber: Data Primer


Tabel 2. Distribusi Pengetahuan, Sikap dan
Tindakan Responden Terhadap
Pencegahan HIV/AIDS di Siswa
SMA Ronevan Tual Tahun 2011

PEMBAHASAN
Pengetahuan
Salah satu sifat dari manusia adalah
keingintahuan tentang sesuatu dorongan untuk
memenuhi keingintahuan tersebut menyebabkan
seseorang melakukan uapaya-upaya pencaharian
serangkaian pengalaman-pengalaman selama proses
interaksi dengan lingkungannya yang intinya akan
menghasilkan suatu pengetahuan.
Pengetahuan pada dasarnya adalah sesuatu yang
diketahui setelah melihat, menyaksikan, mengalami
atau diajarkan. Tindakan seseorang biasanya
didasarkan pada apa yang telah diketahuinya terlebih
lagi jika keterangan itu dianggap bermanfaat baginya
(Notoatmodjo, 2003).
Penelitian Rogers (1974) bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di
dalam diri orang tersebut terjadi proses yang
berurutan, yakni awareness (kesadaran), interest
(merasa tertarik), evaluation (menimbang-nimbang),
trial dan adoption (Efendi dan Makhfudli, 2009).
Penyakit HIV/AIDS yang belakangan ini telah
menjadi pusat perhatian dunia kesehatan oleh karena
merupakan pandemik global, telah menyerang orang
dari berbagai tingkatan umur, pekerjaan, profesi dan

Variabel
Pengetahuan
Cukup
Kurang
Sikap
Positif
Negatif
Tindakan
Positif
Negatif
Total

87
53

62,1
37,9

91
49

65,0
35,0

78
62

55,7
44,3

140

100

Sumber: Data Primer


pengetahuan kurang terhadap HIV/AIDS. Data ini
memperlihatkan bahwa masih ada 37,9% responden
yang dalam hal ini adalah siswa-siswi yang
merupakan generasi bangsa, yang kurang mengetahui
tentang HIV/AIDS ini. Gambaran pengetahuan ini
hanya pada segelintir masyarakat yang jumlahnya
jauh dari populasi masyarakat kita, dimana pada
sampel penelitian ini ada sekitar 37,9% responden
3

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

yang kurang mengetahui penyakit mematikan ini.


Begitu banyak korban jiwa yang nantinya akan
terjangkit penyakit ini jika tidak sedini mungkin
tidak dibekali dengan pengetahuan yang jelas, apa
dan bagimana HIV/AIDS itu. Perbedaan pengetahuan
ini dipengeruhi oleh daya penyerapan informasi
antara masing-masing responden baik melalui media
maupun penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan
secara langsung baik di sekolah-sekolah ataupun
dilingkungan sekitar
mereka
tumbuh
dan
berkembang.
Hasil penelitian yang yang telah dilakukan oleh
Marola (2003) tentang pengetahuan dan sikap siswa
SMU Negeri 1 Barru mendapatkan pengetahuan
responden dengan ketegori cukup sebanyak 96,3%
tentang defenisi, gejala, cara penularan, resiko
terpapar, pecegahan dan pengobatan. Hasil tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang
diperoleh dalam penelitian ini dimana responden
yang memiliki pengetahuan cukup sebesar 62,1 %
tentang defenisi, gejala, cara penularan, resiko
terpapar, pecegahan dan pengobatan. Hal ini tentu
disebabkan karena kurangnya sumber informasi yang
di dapatkan oleh siswa.
Dalam tingkatan pengetahuan yang menjadi
tingkatan dasar atau tingkatan pertama adalah tahu.
Kata tahu ini diartikan sebagai mengingat suatu
materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk
dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) suatu spesifik dari seluruh bahan
yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterma,
sehingga suatu pengetahuan tentang sesuatu dalam
hal ini mengenai kesehatan yang dapat terganggu
oleh berbagai macam penyakit yang berasal dari
lingkungan maupun berasal dasi diri sendiri, akan
selalu diingat apabila pengetahuan yang diperoleh
selalu diingat kembali melalui pengulanganpengulangan materi. Hal ini sejalan dengan
akumulasi yang di peroleh dari sekolah yang
merupakan lokasi penelitan.
Untuk meningkatkan dan mempertahankan
pengetahuan siswa
yang cukup mengenai
pencegahan HIV/AIDS maka diperlukan keterlibatan
dari berbagai pihak terutama bagi Dinas Kesehatan
dan Dinas Pendidikan agar melakukan sosialisasi
tentang penyakit HIV/AIDS bagi seluruh pihak
sekolah (pegawai, guru dan siswa) agar dapat
terhindar dari penularan penyakit ini.
Tingginya tingkat pengetahuan responden
tentang pencegahan penularan HIV/AIDS diharapkan
akan mampu menghasilkan perilaku-perilaku positif.
Perubahan pengetahuan diharapkan akan merubah
sikap dan bila sikap telah dirubah ini merupakan
modal untuk merubah perilaku, dan bekal
pengetahuan yang cukup, besar kemungkinan orang
bersikap positif terhadap suatu objek.

Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi
tindakan suatu perilaku dan sikap juga merupakn
efek positif atau negatif terhadap objek psikologis
(Notoatmodjo, 2003).
Sikap seseorang terhadap suatu objek atau
subjek dapat positif atau negatif. Manifestasi sikap
terlihat dari tanggapan seseorang apakah ia menerima
atau menolak, setuju atau tidak setuju terhadap objek
atau subjek. Sikap tidak sama dengan perilaku dan
perilaku tidak selalu mencerminkan sikap seseorang,
sebab seringkali terjadi seseorang melakukan
tindakan yang bertantangan dengan sikap.
Hasil penelitian yang didapatkan menunjukan
responden yang mempunyai sikap positif tehadap
pencegahan HIV/AIDS yaitu 65,0% dan responden
yang mempunyai sikap negatif terhadap pencegahan
HIV/AIDS yaitu 35,0%. Bloom dan Notoatmodjo
(2003),
mengemukakan
bahwa
pengetahuan
memegang peranan penting dalam memberikan
wawasan terhadap sikap dan perbuatan seseorang.
Sikap seseorang lebih banyak dipengaruhi melalui
proses belajar dibandingkan dengan proses
pembawaan atau hasil perkembangan dan
kematangan.
Pada dasarnya seseorang yang mempunyai
pengetahuan yang cukup seharusnya juga
memberikan respon atau sikap yang positif terhadap
suatu permasalahan. Karena dengan pengetahuan
yang cukup seseorang sudah dapat memahami
dengan baik pokok permasalahan yang ada, sehingga
sudah dapat memikirkan baik buruknya sikap yang
di ambil . Hal ini dapat disimpulkan bahwa
responden nyang mempunyai pengetahuan cukup
cenderung bersikap positif dan sebaliknya responden
dengan pengetahun kurang cenderung bersikap
negatif.
Responden yang mempunyai pengetahuan
cukup cenderung bersikap positif terhadap
pencegahan HIV/AIDS, karena dengan bekal
pemahaman yang baik maka mereka sudah dapat
memperkirakan bahwa sikap yang diambilnya tidak
menimbulkan efek negatif bagi dirinya maupun
lingkungan sekitarnya. Berbeda halnya dengan
mereka yang berpengetahaun kurang bersikap negatif
dengan alasan yang lebih mengarah pada faktor
pribadi.
Sikap reponden biasanya terkait dengan
keuntungan diri sendiri, jika merugikan diri maka
tidak akan setuju, tetapi jika menguntungkan maka
cenderung sikapnya setuju. Dalam rangka
meningkatkan sikap siswa terhadap pentingnya
4

Jurnal MKMI, Januari 2013, 1-6

pencegahan HIV/AIDS, maka perlu dilakukan


pemberian informasi dan motivasi dengan cara
melakukan penyuluhan yang melibatkan seluruh
warga sekolah secara aktif agar mereka tetap
memiliki keterbukaan dan tanggapan positif terhadap
program-program kesehatan guna terhindar dari
bahaya HIV/AIDS.
Tindakan
Tindakan manusia pada hakikatnya merupakan
aktivitas dari manusia itu sendiri. Tindakan adalah
perbuatan yang nyata sebagai perwujudan sikap
seseorang terhadap suatu hal. Tindakan mempunyai
tingkatan-tingkan yaitu presepsi, respon terpimpin,
mekanisme adaptaasi.
Tindakan dimaksudkan untuk melihat respon
atau reaksi individu terhadap stimulus yang berasal
dari dirinya. Pengetahuan yang cukup pada seseorang
tentu saja dapat melakukan tindakan yang positif dan
sebaliknya. Tetapi bisa saja seseorang yang
mempunyai pengetahuan yang cukup dapat bertindak
negatif (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Foster dan Anderson (1978) dan Salita
Sarwono(1993) bahwa melakukan suatu tindakan
seseorang terlebih dahulu mengkomunikasikan
rangsangan yang diterimanya dengan keadaan dalam
diri yang dimaksud adalah pengetahaun, kepercayaan
dan sikap. Selanjutnya komunikasi ini yang disebut
sebagai proses mental dan hasil dari proses mental
tersenut akan terwujud pada apakah ia melakukan
suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan
(Notoatmodjo, 1993)
Responden dalam penelitian ini pada umumnya
mempunyai tindakan positif terhadap pencegahan
HIV/AIDS yaitu 55,7% dibandingkan tindakan
negatif terhadap pencegahan HIV/AIDS yaitu 44,3%.
Hal ini menunjukan bahwa dengan pemahaman yang
mereka ketahui dapat memotivasi mereka untuk
bertindak positif terhadap pencegahan HIV/AIDS,
namun pemahaman tersebut bukanlah jaminan untuk
bertindak positif, karena dengan pemahaman yang
kurang namun pengaruh lingkungan sekitar
membawa efek yang positif maka akan memotivasi
seseorang untuk bertindak positif pula terutama bagi
diri mereka secara pribadi. Tindakan positif yang
dilakukan dengan dasar pengetahuan yang kurang
sebenarnya bukan karena mereka paham atau dengan
kata lian bahwa seseorang kadang melakukan
tindakan positif atau berperilaku sehat tetapi mereka

tidak tahu bahwa tindakan yang dilakukanya adalah


perilaku yang sehat.
Seseorang yang mempunyai pengetahuan yang
cukup tentunya akan mencerminkan pula tindakan
yang positif. Sebab, dengan pengetahun yang cukup
mereka sudah tahu bahwa tindakan yang
dilakukannya benar atau salah. Jika apa yang
dilakukannya merupakan tindakan yang salah dengan
pengetahuan yang baik mereka berusaha untuk
merubahnya dan apabila tindakan yang mereka
lakukan selama ini sudah benar, maka dengan
pengetahuan yang baik pula mereka berusaha untuk
mempertahankan dan bahkan meningkatkan lagi
menjadi lebih baik.
Dalam suatu perilaku terdapat pengetahuan yang
cukup tetapi melakukan tindakan negatif, sebenarnya
mereka tahu bahwa tindakan yang dilakukan adalah
salah. Namun, tindakan tersebut sudah menjadi
kebiasaan yang susah untuk dirubah. Dan harus
diakui bahwa unutk melakukan suatu perubahan
perilaku bukanlah hal yang mudah. Secara teori
memang untuk menadopsi perilaku baru atau
melakukan perubahan perilaku tentunya harus
diawali oleh perubahan sikap, pengetahuan, tindakan.
Hal ini diperkuat juga oleh teori Lawrence Green
yang mengatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh
tiga faktor yaitu faktor predisposisi, faktor
pemungkin dan faktor penguat.

DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul dan Joedo Prihartono.2003.
Metodologi Penelitian Kedokteran Dan
Kesehatan Masyarakat. Binapura Akara :
Jakarta.

BKKBN.2010. Seks Bebas di Kalangan Remaja.


Available at http://www.kepri.bkkbn.go.id.
Diakses tanggal 8 Maret 2011.
Ditjen PPM dan PL Depkes RI. Statistik Kasus
HIV/AIDS di Indonesia 2009. Available at
http://spiritia.or,id/Stats/Ststcurr.pdf. Diakses
pada tanggal 14 Agustus 2010.

KESIMPULAN DAN SARAN


Sebagian besar siswa SMA Ronevan Tual
mempunyai
pengetahuan
cukup
mengenai
pencegahan HIV/AIDS, sikap mengenai pencegahan
HIV/AIDS positif, mempunyai tindakan positif
mengenai HIV/AIDS. Kepala sekolah SMA Ronevan
Tual beserta staf, kiranya dapat memberikan arahan
dan nasehat kepada siswa tentang bahaya dari
pergaulan bebas serta membuka diri dalam
berpartisipasi dengan pihak kesehatan dalam
meningkatkan dan mencegah penyebaran penularan
HIV/AIDS. Petugas kesehatan dalam hal ini petugas
Puskesmas setempat agar senantiasa memberikan
pendidikan kesehatan kepada siswa SMA, khususnya
tentang penyakit HIV/AIDS yang merupakan
penyakit infeksi yang dapat ditularkan oleh virus
melalui perantaran manusia yang terinfeksi HIV
positif.

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Efendi, Ferry dan Makhfudli.2003. Keperawatan


Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Salemba Medika :
Jakarta.
KPA. Data HIV dan AIDS. Available at
http://www.aidsindonesis.or.id.
Diakses
pada tanggal 31 Oktober 2009.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Pengantar Pendidikan
Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. PT. Rineka
Cipta : Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.

Kemenkes RI. Penuntun Hidup Sehat Edisi Keempat.


Kementerian
Kesehatan
Republik
Indonesia.
Dinkes Maluku Tenggara. Provil Kesehatan Provinsi
Maluku
Tahun
2007.
http://dinkesmaluku@depkes.go.id. Diakses
tanggal 02 Maret 2011.
Dinkes Maluku Tenggara. Profil Kesehatan
Kabupaten Maluku Tenggara tahun 2010.
Diakses pada tanggal 26 Februari 2011.
WHO.2006. Global AIDS Epidemic Continues To
Grow. Available at http.WHO.com. Diakses
pada tanggal 18 September 2010.

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, januari 2013, hal 7-14

Artikel II

HUBUNGAN TINDAKAN PENCEGAHAN MASYARAKAT DENGAN


KEJADIAN MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WAIHOKA
KECAMATAN SIRIMAU KOTA AMBON TAHUN 2011
Relations With Public Event Precautions Malaria In Sub Area Working Puskesmas
Waihoka Sirimau Ambon City 2011
Ludia Fin Laipeny
Dinas Kesehatan Kota Ambon
(fin_loudia@yahoo.com)
ABSTRAK
Propinsi Maluku yang tergolong daerah endemis malaria tinggi kemudian diperparah
dengan merebaknya konflik sosial yang mengakibatkan sebagian daerah / desa ditinggalkan
oleh penduduknya dan menjadi eksodus ke daerah lain sehingga dalam waktu tersebut, daerah
yang di tinggal menjadi sarang berbagai vektor penyakit terutama nyamuk malaria. Diantara
kemungkinan yang menjadi penyebab tingginya angka kejadian malaria di Kota Ambon
adalah perilaku masyarakat yang memberikan probabilitas besar terhadap penyebaran
penyakit malaria. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tindakan
pencegahan masyarakat dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka
Kecamatan Sirimau Kota Ambon tahun 2011. Jenis penelitian yang digunakan adalah metode
cross sectional dan menggunakan uji square dimaksudkan untuk mengidentifikasi
karakteristik umum dan variable yang relevan dengan tujuan penelitian, dengan jumlah
sampel sebanyak 94 kepala keluarga. Ada hubungan antara kebiasaan berada di luar rumah
pada malam hari dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai
p= 0,035. Ada hubungan antara Penggunaan kawat kasa dengan kejadian malaria di wilayah
kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,036. Ada hubungan antara penggunaan obat anti
nyamuk dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,022.
Ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan kejadian malaria di wilayah kerja
Puskesmas Waihoka dengan nilai p= 0,036. Ada hubungan antara membersihan semak
belukar dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas Waihoka dengan nilai p=0,011
Kata Kunci
: Tindakan, Pencegahan Malaria, Puskesmas
ABSTRACT
Maluku province is considered malaria-endemic areas of high and aggravated by
widespread social conflicts that resulted in some areas / villages to be abandoned by its
inhabitants and the exodus to other regions so that in time, in the living area into a den of
various vector-borne diseases, especially malaria mosquitoes. Among the possibilities is the
cause of the high incidence of malaria in the city of Ambon is the behavior of people who give
great probability to the spread of malaria. The purpose of this study was to determine the
relationship with the community preventive measures of malaria incidence in the region of
sub-district health centers Sirimau Waihoka Ambon City in 2011. This type of study is a cross
sectional method with the descriptive approach is intended to identify common characteristics
and variables that are relevant to the purpose of the study, a sample of as many as 94 people.
There is a relationship between habits are out of the house at night with the incidence of
malaria in the region of Waihoka health center. There is a relationship between habits are
out of the house at night with the incidence of malaria in the region of Waihoka health center
with a value of p = 0.035. There is a relationship between the use of wire netting with the
incidence of malaria in the region of Waihoka health center with a value of p = 0.036. There
is a relationship between the use of anti-mosquito with malaria incidence in the region of
Waihoka health center with a value of p = 0.022. There is a relationship between the use of
bed nets by the malaria incidence in the region of Waihoka health center with a value of p =
0.036. There is a relationship between the wash scrub with the incidence of malaria in the
region of Waihoka health center with a value of p = 0.011.
Keywords: Measures, Prevention of Malaria, Health Center
7

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

perlu penanganan secara serius dan semua itu


merupakan peran serta yang aktif dari masyarakat.

PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh pararasit dari jenis Plasmodium
(Klas Sporozoa) yang menyerang sel darah merah. Di
Indonesia dikenal 4 (empat) macam spesies parasit
malaria yaitu P. vivax sebagai penyebab malaria
tertiana, P. falciparum sebagai penyebab malaria
tropika yang sering menyebabkan malaria otak
dengan kematian, P. malariae sebagai penyebab
malaria quartana, P.ovale sebagai penyebab malaria
ovale yang sudah sangat jarang ditemukan.
Kasus malaria pada tahun 2006 terdapat 2 juta
kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi
1,7 juta kasus. Berdasarkan The World Malaria
Report 2005, di seluruh dunia setiap tahunnya
ditemukan 500 juta kasus malaria yang
mengakibatkan lebih dari 1 juta orang termasuk
anak-anak setiap tahun meninggal dunia, di mana
80% kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia
(termasuk Eropa Timur). Secara keseluruhan terdapat
3,2 miliar penderita malaria di dunia yang terdapat di
107 negara ( Depkes RI, 2008).
Propinsi Maluku yang tergolong daerah endemis
malaria tinggi kemudian diperparah dengan
merebaknya konflik sosial tahun 1999 2003 yang
mengakibatkan sebagian daerah / desa ditinggalkan
oleh penduduknya dan menjadi eksodus ke daerah
lain sehingga dalam waktu tersebut, daerah yang di
tinggal menjadi sarang berbagai vektor penyakit
terutama nyamuk malaria. Tahun 2003 tercatat kasus
malaria klinis 52.106 kasus dengan AMI: 37,4 % dan
meningkat pada tahun 2005 sebesar 62.296 kasus
dengan AMI: 45,92 % dan sampai pada tahun 2009
tercatat malaria klinis 66.499 kasus dengan AMI:
48,4%. (Profil Dinkes Propinsi Maluku Tahun 2010).
Diantara kemungkinan yang menjadi penyebab
tingginya angka kejadian malaria di Kota Ambon
adalah perilaku masyarakat yang memberikan
probabilitas besar terhadap penyebaran penyakit
malaria. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian
ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji tindakan
pencegahan masyarakat yang berhubungan dengan
kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas
Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon.
Puskesmas Waihoka terletak di Kota Ambon,
tepatnya di wilayah waihoka dengan wilayah kerja
meliputi 2 daerah, yaitu Ahuru dan waihoka. Dari
data yang diperoleh pada tahun 2009 dan 2010 di
wilayah kerja Puskesmas waihoka mengalami
peningkatan. Pada tahun 2009 AMI 24,37 per seribu
dan API 26,36 per seribu sedangkan pada tahun
2010 meningkat menjadi AMI 25,97 per seribu dan
API 28,16 per seribu. (Dinkes Kota Ambon
Puskesmas Waihoka tahun 2010). Dari data di atas,
terlihat bahwa wilayah kerja Puskesmas Waihoka

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kerja
Puskesmas Waihoka Kota Ambon, pada tanggal 9-21
Mei 2011. Jenis penelitian ini adalah menggunakan
metode cross sectional dan menggunakan uji square
dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik
umum dan variable yang relevan dengan tujuan
penelitian. Metode yang di gunakan untuk
memperoleh data adalah teknik wawancara dengan
menggunakan kuesioner dipadukan dengan observasi
untuk memperoleh informasi yang lebih akurat.
Populasi dalam penelitian adalah kepala keluarga
yang berada di wilayah kerja Puskesmas Waihoka
pada tahun 2010 sebanyak 1.493 KK. Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara random sampling
(secara acak).
Pengumpulan data ini akan diperoleh melalui
pengumpulan langsung dari hasil wawancara
terhadap responden yaitu dengan menggunakan
instrument penelitian berupa kuesioner. Data primer
yang dikumpulkan adalah semua data yang termasuk
variable independent dan dependent. Data sekunder
diperoleh dari Puskesmas Waihoka berupa rekapan
laporan malaria tahun 2009-2010. Pengolahan data
dilakukan secara elekronik dengan bantuan computer
program SPSS versi 15,00 dan disajikan dalam
bentuk table yang disertai penjelasannya.
HASIL
Karakteristik Responden
Hasil analisis data menunjukan bahwa frekuensi
responden berdasarkan jenis kelamin, persentase
jenis kelamin laki-laki sebesar 53 orang (56.4%) dan
perempuan 41 orang (43.6%.). Selanjutnya frekuensi
jumlah responden berdasrkan kelompok umur
terbesar berada pada kelompok umur muda sebanyak
88 responden. sedangkan yang terendah adalah
kelompok umur tua sebanyak 6 responden. Hasil
pembagian umur ini sesuai dengan standar WHO
pada suatu penelitian yaitu dapat dibagi berdasarkan
tingkat kedewasaan antara usia 15-49 tahun dimana
berada pada tahap dewasa (muda), dan usia >50
tahun termasuk kelompok umur tua.
Hasil penelitian mengenai distribusi responden
menurut Tingkat Pendidikan pada wilayah Kerja
Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota
Ambon
menunjukan
responden
terbanyak
berpendidikan tamat SMA yakni 53 orang (56.4%),
sedangkan yang tidak sekolah atau tidak tamat SD
sebanyak 1 orang (1,1%). Kemudian distribusi
responden bedasarkan pekerjaan terbanyak bekerja
sebagai PNS dan Wiraswasta yaitu sebanyak 24
orang (25,5%), sedangkan responden yang bekerja
8

Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14

sebagai TNI/Polri dan Petani sebanyak 3 orang


(3,2%) dan 11 responden (11,7%) bekerja sebagai

buruh kasar, honorer dan pegawai swasta.

Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Umum di wilayah kerja Puskesmas


Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011
Karakteristik
n
%
Jenis Kelamin
laki-laki
53
56,4
perempuan
41
43,6
Kelompok Umur
tua
6
6,4
muda
88
93,6
Tingkat Pendidikan
tamat SD
1
2,2
tamat SMP
18
19,1
tamat SMA
53
56,4
tamat PT
22
23,4
Pekerjaan
PNS
24
25,5
TNI/POLRI
3
3,2
pedagang
10
10,6
petani
3
3,2
wiraswasta
24
25,5
IRT
19
20,2
lainnya
11
11,7
Total
Sumber : Data Primer

94

100

sebanyak 27 responden (28.7%) sedangkan yang


tidak menggunakan kelambu sebesar 67 responden
(71.3%). Berdasarkan distribusi pembersihan semak
belukar, diketahui bahwa jumlah responden yang
selalu membersihkan semak belukar di sekitar
rumahnya sebanyak 83 responden (88.3%)
sedangkan yang tidak rutin melakukan pembersihan
semak belukar sebesar 11 responden (11.7%).
Distribusi responden bedasarkan kejadian
malaria diketahui bahwa jumlah responden yang
menderita/pernah menderita malariasebanyak 42
responden (44.7%) sedangkan yang tidak pernah
menderita malaria sebesar 52 responden (55.3%).
Sedangkan distribusi responden berdasarkan hasil
observasi yang diperoleh bahwa dinyatakan tidak
terlalu jauh berbeda dengan apa yang disampaikan
responden. Seperti pada hasil observasi obat anti
nyamuk, 74 responden (78.4%) yang memilikinya
tetapi yang rutin menggunakan hanya 60 responden
(63.8%). Dari 29 responden (30.9%) yang memiliki
kelambu, hanya 27 responden yang biasa
memakainya setiap malam menjelang tidur. Dan dari
hasil observasi semak belukar, 92 responden (97.9%)
yang ada semaknya tetapi hanya 83 responden
(88.3%) yang biasa membersihkan.

Analisis Univariat
Variabel yang diteliti dalam penelitian ini
mencangkup 7 aspek yaitu kebiasaan berada diluar
rumah malam hari, yang dimana diketahui bahwa
jumlah responden yang selalu beraktivitas di luar
rumah pada malam hari sebanya 17 responden
(18.1%) sedangkan yang tidak beraktivitas sebesar
77 responden (81.9%).
Penggunaan kawat kasa, Dari tabel 2 diketahui
bahwa jumlah responden yang memasang kawat kasa
di rumahnya sebanya 46 responden (48.9%)
sedangkan yang tidak memiliki kawat kasa sebesar
48 responden (51.1%). Penggunaan obat anti
nyamuk, diketahui bahwa jumlah responden yang
selalu menggunakan obat anti nyamuk sebanyak 60
responden (63.8%) sedangkan yang tidak
menggunakan obat anti nyamuk sebesar 34
responden (36.2%). Berdasarkan penggunaan obat
anti nyamuk, diketahui bahwa jumlah responden
yang selalu menggunakan obat anti nyamuk
sebanyak 60 responden (63.8%) sedangkan yang
tidak menggunakan obat anti nyamuk sebesar 34
responden
(36.2%).
Berdasarkan
kebiasaan
penggunaan kelambu, diketahui bahwa jumlah
responden yang selalu menggunakan kelambu
9

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan variabel penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas


Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011
Variabel
Kebiasaan Berada Di Luar Rumah Pada Malam
Hari
ya
tidak
Penggunaan Kawat Kasa
ya
tidak
Obat Anti Nyamuk
ya
tidak
Penggunaan Kelambu
ya
tidak
Kebisaan Membersihkan Semak Belukar
ya
tidak
Kejadian Malaria
ya
tidak
Total
Sumber : Data Primer

17
77

18,1
81,9

46
48

48,9
51,5

60
34

63,8
36,2

37
67

28,7
71,3

83
11

88,3
11,7

42
52
94

44,7
55,3
100

wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan


Sirimau Kota Ambon Tahun 2011.
Hubungan antara penggunaan kelambu dengan
riwayat penyakit malaria pada tabel 3 menunjukan
bahwa dari 35 responden (52.2%) yang tidak
menggunakan kelambu pernah/menderita malaria
sedangkan 7 responden (25.9%) yang menggunakan
kelambu pernah/menderita malaria. Dari hasil uji chisquare diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa
ada hubungan antara penggunaan kelambu dengan
kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas
Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun
2011.
Hubungan antara membersihkan semak belukar
dengan riwayat penyakit malaria menunjukan bahwa
9 responden (81.8%) yang tidak membersihkan
semak belukar pernah/menderita malaria sedangkan
33 responden (39.8%) yang menggunakan rutin
membersihkan semak belukar di sekitar rumah
pernah/menderita malaria. Dari hasil uji chi-square
diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti bahwa ada
hubungan antara membersihkan semak belukar
dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas
Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun
2011.

Analisis Bivariat
Tabel 3 tentang hubungan antara kebiasaan
keluar rumah pada malam hari dengan riwayat
penyakit malaria menunjukkan bahwa dari 94
responden yang biasa keluar rumah pada malam hari,
ada 12 orang (70.6%) yang pernah menderita malaria
dan 30 orang (39.0%) menderita malaria tetapi tidak
pernah keluar rumah pada malam hari. Dari hasil
uji chi-square diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti
bahwa ada hubungan antara kebiasaan keluar rumah
pada malam hari dengan kejadian malaria di wilayah
kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota
Ambon Tahun 2011.
Selanjutnya hubungan antara penggunaan kawat
kasa pada ventilasi kamar tidur dengan riwayat
penyakit malariapada Tabel 3 menunjukan bahwa 27
responden (56.2%) yang tidak menggunakan kawat
kasa pada ventilasi tidur pernah/menderita malaria
sedangkan 15 responden (32.6%) yang menggunakan
kawat kasa pernah/menderita malaria.Dari hasil uji
chi-square diperoleh nilai p < 0.05 yang berarti
bahwa ada hubungan antara penggunaan kawat kasa
ada ventilasi tidur dengan kejadian malaria di

10

Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14

Tabel 3. Hubungan Tindakan Pencegahan Masyarakat Dengan Kejadian Malaria Di Wilayah Kerja
Puskesmas Waihoka Kecamatan Sirimau Kota Ambon Tahun 2011
Pernah menderita
penyakit malaria

Variabel Independen

Ya
Kebiasaan Keluar
Rumah
ya
tidak
Penggunaan Kawat Kasa
ya
tidak
Penggunaan Kelambu
ya
tidak
Membersihkan Semak
Belukar
ya
tidak
Penggunaan Obat Anti
Nyamuk
ya
tidak
Total
Sumber : Data Primer

Tidak
n
%

12
30

70,6
39,0

5
47

15
27

32,6
56,2

35
7

Jumlah
n

29,4
61,0

17
17

100
100

31
21

67,4
43,8

46
48

100
100

52,2
25,9

32
20

47,8
74,1

67
27

100
100

6
33

81,8
39,8

2
50

18,2
60,2

11
83

100
100

21
21
42

61,8
35,0
44,7

13
39
52

38,2
65,0
55,3

34
60
94

100
100
100

p value

0,035

0,036

0,036

0,011

0,022

tidak mempunyai kebiasaan keluar rumah pada


malam hari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 17
responden (18,1 %) yang berada di luar rumah pada
malam hari dan yang tidak berada di luar rumah pada
malam hari adalah 77 (81,9%) hasil ini lebih rendah
di bandingkan Hasil penelitian Lamaka (2005) di
wilayah kerja Puskesmas Momunu Kecamatan
Momunu Kabupaten
Buol
sebesar
84,2%
responden yang berada di luar rumah pada malam
hari.
Dari hasil analisis statistik melalui uji chi
square menunjukkan bahwa ada hubungan antara
kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan
kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas
waihoka pada = 0,05 dengan p (value) = 0,035.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Thaharuddin, dkk tahun 2004 di Sabang yang
menyatakan bahwa variable keluar rumah pada
malam hari mempengaruhi angka kejadian penyakit
malaria.
Melakukakan aktifitas di luar rumah pada
malam ataupun subuh hari merupakan pilihan hidup
sebagaian masyarakat yang tidak dapat dihalangkan
sama sekali, namun demikian upaya pencegahan

PEMBAHASAN
Kebiasaan Berada di Luar Rumah pada Malam
Hari
Menurut Harijanto (2000), Kebiasaan berada di
luar rumah untuk beraktifitas misalnya untuk bekerja
di kebun ataupun melaut dan aktifitas lainnya, sangat
logis sebagai factor resiko kejadian malaria karena
aktifitas nyamuk Anopheles dalam mencari darah dan
mengeluarkan sporozoit pada manusia lain terjadi
pada malam hari.
Kebiasaan berada di luar rumah pada malam
hari di wilayah kerja Puskesmas Waihoka Kecamatan
Sirimau Kota Ambon pada 94 responden,
memperlihatkan kelompok umur muda yang paling
banyak berada di luar rumah. Praktek masyarakat ini
menunjukan resiko digigit nyamuk malaria karena
masyarakat di lokasi tersebut banyak melakukan
aktifitas di malam hari. Contoh: mereka yang kerja
pulang sampai malam hari, jaga malam karena
bekerja sebagai TNI/Polri, berjualan di pasar, ojek,
berbincang-bincang di luar rumah dan kegiatan
keagamaan. Sunarsih dkk (2009) memprediksi bahwa
seseorang yang mempunyai kebiasaan keluar malam
pada malam hari mempunyai resiko terkena malaria
4,4 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
11

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

untuk mengurangi kontak dengan manusia sangat


penting untuk di lakukan. Orang yang terpaksa keluar
pada malam hari untuk berjualan ataupun ojek, bisa
menggunakan pakaian yang menutup lengan dan kaki
secara sempurna, seperti baju lengan panjang dan
celana panjang untuk mencegah gigitan nyamuk
Penggunaan Kawat Kasa
Adanya kejadian malaria disebabkan rumah
yang tidak terpasang kawat kasa akan mempermudah
masuknya nyamuk ke dalam rumah. Pemasangan
kawat kasa pada setiap lubang yang ada dirumah
bertujuan agar nyamuk tidak masuk kedalam rumah
dan menggigit manusia sebagai host (Lestari
dkk,2007).
Pemasangan kawat kasa pada jendela dan
ventilasi rumah merupakan salah satu upaya
pencegahan dalam menghindari gigitan nyamuk
malaria, Prabowo (2004). Rumah penduduk yang
dilengkapi lubang angin atau ventilasi namun tidak
dipasang kawat kasa atau lainya memungkinkan
celah-celah rumah dapat di masuki nyamuk dan
mengigit manusia yang sedang tidur hal ini dapat
menimbulkan kejadian malaria.
Kondisi ventilasi rumah yang tidak terpasang
kawat kasa seperti pada Tabel 13 menunjukkan
bahwa kejadian malaria pada rumah dengan kondisi
ventilasi yang tidak terpasang kawat kasa sebesar
56.2% dan 32.6% pada responden yang
pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik
melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada
hubungan antara ventilasi rumah yang tidak
terpasang kawat kasa dengan kejadian malaria di
wilayah kerja puskesmas waihoka pada = 0,05
dengan p (value) = 0,036.
Keadaan ini sesuai dengan penelitian Darmadi
(2002) di Desa Buaran Kecamatan Mayong
Kabupaten Jepara menunjukkan bahwa kondisi
ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa mempunyai
kecenderungan untuk terjadinya penyakit malaria
dengan p (value) = 0,021. Sesuai juga dengan
pernyataan subdit malaria bahwa pemasangan kawat
kasa pada ventilasi rumah akan memperkecil kontak
dengan nyamuk.
Upaya penggunaan kawat kasa pada responden
yang diteliti baru mencapai 46 responden (48,9 %)
sedangkan yang tidak menggunakan kawat kasa
adalah 48 (51,5 %) hal ini lebih baik jika di
bandingkan dengan hasil penelitian Rieke Uloli di
gorontalo pada tahun 1999 dengan hasil 5,91 % yang
menggunakan kawat kasa.
Kurangnya pemakaian kawat kasa ini
disebabkan oleh karena pengetahuan masyarakat
tentang kegunaan/fungsi tersebut untuk mencegah
masuknya nyamuk ke dalam rumah. Namun sebagian
reponden juga mengakui bahwa penggunanan kawat
kasa adalah merusak pemandangan. Selain itu

kondisi rumah responden, sebagian terbuat dari


papan sehingga jendela di kamar merekapun tidak
dipasang kawat kasa karena tidak ada ventilasi.
Penggunaan Obat Anti Nyamuk
Perilaku responden mengenai penggunaan obat
anti nyamuk seperti pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa kejadian malaria pada rumah dimana
responden yang tidak menggunakan obat anti
nyamuk sebesar 61.8% dan 35.0% pada responden
yang menggunakan obat anti nyamuk tetapi
pernah/menderita malaria.
Dari hasil analisis
statistik melalui uji chi square menunjukkan bahwa
ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk
dengan kejadian malaria di wilayah kerja puskesmas
waihoka pada = 0,05 dengan p (value) = 0,022.
Dari hasil penelitian di wilayah Puskesmas Waihoka
diketahui bahwa proporsi responden yang
mempunyai kebiasaan tidak menggunakan obat anti
nyamuk lebih besar pada kelompok penderita
(61.8%) dibanding yang menggunakan obat anti
nyamuk tetapi merupakan penderita juga (35.0 %).
namun tidak cukup bukti adanya hubungan antara
kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk yang
berisiko dengan kejadian malaria. Alasan yang dapat
diberikan adalah berdasarkan hasil wawancara di
lapangan, dimana responden biasanya menggunakan
obat anti nyamuk bakar yang diletakkan di dalam
kamar tidur. Sedangkan peluang terjadinya kontak
antara nyamuk dengan orang sehat tidak hanyadi
dalam kamar tidur tetapi juga diruangan lain.
Keadaan ini sesuai dengan penelitian Kholis
Ernawati Tahun 2010 yang terkait dengan
penggunaan obat anti nyamuk, pada penelitian ini
menunjukkan bahwa makin rendah tingkat
penggunaan obat nyamuk, semakin besar risiko
untuk terinfeksi malaria. Hasil penelitian Masra,
kebiasaan tidak memakai obat nyamuk setiap malam
memberikan risiko mendapatkan malaria 1,75 kali
dibandingkan mereka yang memakai obat nyamuk
setiap malam.
Efek yang biasa ditimbulkan oleh obat anti
nyamuk ini sangat bervariasi yaitu dari sesak nafas,
batuk-batuk, sakit kepala, iritasi mata dan pusing hal
ini yang umumnya dirasakan oleh masyarakat sesuai
dengan hasil wawancara yang berlangsung selama
penelitian.
Walaupun
demikian,
disadari
bahwa
keberadaan obat anti nyamuk secara bebas dengan
berbagai jenis dan wujudnya di masyarakat tidak
selalu
aman
untuk
digunakan,
terkadang
mengandung bahan-bahan aktif yang tidak
diperkenankan sehingga dapat berpengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kesehatan masyarakat.
Untuk itu, pengawasan dan penertiban dari
instansi terkait perlu di maksimalkan, guna memberi
12

Jurnal MKMI, Januari 2013, 7-14

jaminan keamanan bagi masyarakat dalam rangka


mengurangi dan menanggulangi penyakit malaria
yang begitu berbahaya.
Penggunaan Kelambu
Perilaku responden mengenai penggunaan
kelambu seperti pada Tabel 3 menunjukkan bahwa
kejadian malaria pada rumah dimana responden yang
tidak menggunakan kelambu sebesar 52.2% dan
25.9% pada responden yang menggunakan kelambu
tetapi pernah/menderita malaria.
Dari hasil analisis statistik melalui uji chi
square menunjukkan bahwa ada hubungan antara
penggunaan kelambu dengan kejadian malaria di
wilayah kerja puskesmas waihoka pada = 0,05
dengan p (value) = 0,036.
Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan
upaya yang efektif untuk mencegah dan menghindari
kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan orang
sehat disaat tidur malam, disamping pemakaian obat
penolak nyamuk. Karena kebiasaan nyamuk
Anopheles untuk mencari darah adalah pada malam
hari, dengan demikian selalu tidur menggunakan
kelambu yang tidak rusak atau berlubang pada
malam hari dapat mencegah atau melindungi dari
gigitan nyamuk Anopheles spp.
Hasil wawancara diperoleh alasan responden
tidak memakai kelambu antara lain dikarenakan
kondisi ekonomi yang rendah, kelambu terasa panas
dan gerah, kelambunya rusak dan sudah memakai
obat nyamuk pada waktu tidur. selain itu walaupun
terdapat kelambu pada rumah mereka tetapi kondisi
dan cara memasangnya tidak baik dan berpeluang
untuk masuknya nyamuk. Walaupun demikian,
pemakaian kelambu masih jauh lebih baik dari pada
tidak memakai kelambu, hal ini merupakan salah satu
cara yang efektif karena tidak menggunakan bahan
kimia jadi tidak menyababkan resistensi dari nyamuk
juga tidak mengganggu kesehatan selain itu
pemakaian kelambu juga sangat efisien karena cukup
hemat dengan membeli satu kali saja dapat di pakai
dalam jangka waktu yang relaif lama.
Hasil penelitian yang dilakukan Neal Alexander
(et al) di Colombia menunjukkan bahwa
menggunakan kelambu berinsektisida saat tidur
malam hari mampu mencegah risiko terkena malaria
dibanding yang tidak menggunakan dengan nilai OR
(95% CI ) = 0,44 (0,20-0,98). Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Estifanos B. Shargie (et al) di
Ethiopia juga menunjukkan bahwa penggunaan
kelambu mampu menurunkan kejadian malaria. Pada
awal (2005) insidens malaria sebesar 8/1000/tahun
(wilayah Oromia dan 32,2/1000/tahun (wilayah
SNNPR) menjadi 5/1000/tahun (wilayah Oromia)
dan 28/1000/tahun (wilayah SNNPR). Menurunnya
insidens malaria ini terjadi karena adanya intervensi
distribusi kelambu dari UNICEF sebanyak 2 juta

kelambu (tahun 2005), kemudian pada tahun 2006


The
Global
Fund
memprioritaskan
untuk
meningkatkan cakupan pemakaian kelambu oleh
masyarakat. Dengan program tersebut, maka proporsi
orang yang tidur menggunakan kelambu meningkat
10 kali dari 3,5% (tahun 2005) menjadi 35% (tahun
2007).
Hasil penelitian ini sesuai juga dengan
penelitian Husin (2007) menyatakan kebiasaan tidur
menggunakan kelambu pada malam hari mempunyai
hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria di
wilayah Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai
Serut, dimana risiko terkena malaria pada orang yang
tidak memakai kelambu saat tidur malam 5,8 kali
dibandingkan dengan yang mempunyai kebiasaan
memakai kelambu saat tidur malam. Hasil ini
diperkuat lagi dari penelitian Munawar (2004) di
Desa Sigeblog Wilayah Puskesmas Banjarmangu I
Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah, dimana orang
yang tidur malam tidak menggunakan kelambu
punya risiko terkena malaria 8,09 kali lebih besar
dari orang yang tidur menggunakan kelambu pada
malam hari. Untuk membiasakan suatu hal agar
menjadi kebiasaan yang melekat di masyarakat
membutuhkan waktu yang relative lama. Tetapi hal
ini tidak berarti tidak bisa sama skali diterapkan.
Untuk itu, pemakaian kelambu yang pada awalnya
masih dianggap tidak nyaman dan panas bagi
sebagian masyarakat, harus selalu mendapat
sosialisasi yang selalu intensif dari pihak-pihak
terkait, disamping dukungan ketersediaan di pasaran
sehingga
memudahkan
masyarakat
dalam
memperolehnya.
Pembersihan Semak Belukar
Perilaku responden mengenai membersihkan
semak secara rutin seperti pada Tabel 3 menunjukkan
bahwa 81.8% yang tidak membersihkan semak
belukar tetapi pernah/menderita malaria dan 39.8%
yang membersihkan semak belukar tetapi
pernah/menderita malaria. Dari hasil analisis statistik
melalui uji chi square menunjukkan bahwa ada
hubungan antara keberadaan semak dengan kejadian
malaria di wilayah kerja puskesmas waihoka pada
= 0,05 dengan p (value) = 0,011. Hasil penelitian ini
sejalan dengan hasil penelitian Sarah Hustache di
French Guinea menyatakan bahwa pembersihan
vegetasi/semak di sekitar rumah mempunyai asosiasi
yang kuat dengan penurunan risiko kejadian malaria.
Keberadaan semak (vegetasi) yang rimbun akan
mengurangi sinar matahari masuk/ menembus
permukaan tanah, sehingga lingkungan sekitarnya
akan menjadi teduh dan lembab. Kondisi ini
merupakan tempat yang baik untuk beristirahat bagi
nyamuk dan juga tempat perindukan nyamuk yang di
bawah semak tersebut terdapat air yang tergenang.
13

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Hasil observasi di wilayah kerja Puskesmas


Waihoka menunjukkan hampir semua rumah
responden terdapat semak, dimana responden
rumahnya yang ada semak (97.9%). Dan dari hasil
wawancara, yang tidak membersihkan semak di
sekitar rumah ini dikarenakan responden mengaku
repot, sibuk dan tidak sempat sebagai alasan padahal
semak belukar merupakan tempat peristirahatan
nyamuk atau sebagai tempat perindukan nyamuk
Anopheles.

obat anti nyamuk (p= 0,022), penggunaan kelambu


(p= 0,036), membersihan semak belukar (p=0,011)
dengan kejadian malaria di wilayah kerja Puskesmas
Waihoka.
SARAN
Hasil
penelitian
menyarankan
perlunya
peningkatan upaya pencegahan terhadap gigitan
nyamuk Anopheles khususnya pada saat berada
diluar rumah pada malam hari dengan menggunakan
baju lengan panjang dan celana panjang untuk
menghindari gigitan nyamuk serta masyarakat
diminta agar tetap mempertahankan kebiasaan
membersihkan semak belukar di sekitar rumah untuk
menghindari tempat berkembang biaknya nyamuk.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat
disimpulkan ada hubungan antara kebiasaan berada
di luar rumah pada malam hari (p= 0,035),
penggunaan kawat kasa (p= 0,036 ), penggunaan

Pencegahan dengan Kejadian Malaria di


Desa
Buaran
Kecamatan
Mayong
Kabupaten Jepara. Semarang.
Harijanto, P.N. 2000. Malaria Epedemiologi,
Patogenesis,
Manifestasi
Klinis
&
Penanganan
Penerbit Buku Kedokteran
EGC : Jakarta.
Hasan, husin. 2007. Analisis factor resiko kejadian
malaria. Bengkulu
Hustache, Sarah. 2007. Malaria resk factor in
Amerindian children in French Guinea.
Am.J.Trop. meg. Hyg, 76(4), pp.619-625.
Kholis, Ernawati. 2010. Hubungan factor resiko
individu dan lingkungan rumah dengan
malaria. Lampung
Lestari, EW., Sukowati S., Soekidjo., dan Wigati.
Vektor Malaria di Daerah Bukit Menoreh,
Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Vol. 17. No.
1. 2007:30-35.
Masra, F. 2002. Hubungan Tempat Perindukan
Nyamuk Dengan Kejadian Malaria Di
Kecamatan Teluk Betung Barat. Bandar
Lampung.
Ermi, Ndoen Ml. 2006. Pembunuh Terbesar
Sepanjang
Abad.
http:www.freelist.org/achivest/ppi/05.2006m
s00201.html.Diakses tanggal 29 Desember
2010
Notoatmodjo, S. 2005. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Rineka Cipta Jakarta.
Prabowo, Arlan. 2004. Malaria , Mencegah dan
Mengatasinya. Puspa Swara. Jakarta
Shargie E.B,et al.2008. malaria prevalence and
musquito nets coverage in oromia and
SNNPR region of Ethiopia.
Thaharuddin, Soeyoko, dan Adi Heru Sutomo, 2004.
Manusia
dan
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
Fahmi, Achmadi Umar. 2008. Horison Baru
Kesehatan Masyarakat Indonesia. Rineka
cipta : Jakarta.
Munawar, Akhsin. 2005. Faktor-Faktor Risiko
Kejadian Malaria di Desa Sigeblog, Jawa
Tengah.
Alexander N, et al. 2005. Case-control study of
mosquito nets against malaria in the Amazon
region of Colombia. Am J. Trop. Med. Hyg.,
73(1), pp. 140-148.
Anies. 2006. Manajement berbasis lingkungan,
solusi mencegah dan menanggulangi
penyakit
menular, seri lingkungan dan
penyakit. Elex Media Komputindo : Jakarta
Depkes RI. 2004. Profil Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM
& PL) Tahun 2003. Departemen Kesehatan :
Jakarta.
Depkes RI, 2006. Modul Parasitologi Malaria.
Salatiga: B2P2VRP.
Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. 2009. Profil
Kesehatan Provinsi Maluku.
Dinas Kesehatan, 2009. Profil Kesehatan Puskesmas
Waihoka Kota Ambon.
Elvi Sunarsih, Nurjasuli, Sulistyani. 2009. Faktor
Risiko Lingkungan Dan Perilaku yang
Berkaitan Dengan Kejadian Malaria
Pangkalbalam. Pangkalpinang.
Gunawan. 2000. Epidemiologi Malaria Dalam
Malaria
Epidemiologi,
Patogenesis,
Manisfestasi Klinis dan Penanganan.
Jakarta: EGC
Laihad, F. 2005. Malaria Di Indonesia Dalam
Malaria
Epidemiologi,
Pathogenesis,
Manisfestasi Klinis Dan Penanganan.
Jakarta:EGC
Darmadi. 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan
Lingkungan Sekitar Rumah serta Praktik
14

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 15-20

Artikel III

STRATEGI POSITIONING DALAM RANGKA MEMPERTAHANKAN


DAN MENINGKATKAN PANGSA PASAR PADA
RSIA ST FATIMAH MAKASSAR
Positioning Strategy In The Framework Of Sustaining And Improving Market
Share In Mother And Child Hospital St. Fatimah Makassar
Nurbani Bangsawan1, Abd. Rahman Kadir2, dan Rasyidin Abdullah3
1
RSIA Sitti Fatimah Makassar
2
Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin
3
Dinas Kesehatan Kota Makassar
ABSTRAK
Positioning RSIA St Fatimah cenderung untuk pasien rawat inap dibawah program
perlindungan sosial daripada pasien rawat inap umum. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi positioning RSIA St Fatimah. Desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei cross sectional yang bertujuan untuk
mengetahui respon terhadap tujuan penelitian dari responden yang berjumlah 150 pasien.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat variabel independen yaitu strategi pelayanan,
strategi promosi, strategi harga dan strategi proses yang mempengaruhi secara signifikan dan
serentak untuk positioning RSIA St Fatimah Makassar. Strategi layanan dan strategi proses
mempengaruhi sebagian positioning RSIA St Fatimah Makassar, variabel yang
mempengaruhi dominan adalah strategi pelayanan. Berdasarkan hasil penelitian, maka
disarankan agar manajemen rumah sakit meningkatkan sumber daya manusia serta sarana dan
prasarana di RSIA St Fatimah dan diharapkan dapat meningkatkan positioning RSIA St
Fatimah Makassar.
Kata Kunci: positioning, strategi pelayanan, strategi promosi, strategi harga dan
strategi proses
ABSTRACT
Positioning of RSIA St. Fatimah tended for staying overnight care patient in Social
Protection Program than public staying overnight care patient. This research aimed to know
the factors affecting to positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar.
The used research design in this research was cross sectional method by using survey that
aims to know response for the research objects from respondents that amounts of 150
patients. The research results showed that the four independent variables those are service
strategy, promotion strategy, price strategy and process strategy affecting significantly and
simultaneously to positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of Makassar. Service
strategy and process strategy had affected partially to the positioning of St. Fatimah Child
and Mother Hospital of Makassar, the dominant affecting variable was service strategy.
Based on research result, so it was suggested in order to the hospital management to increase
human resources and facility and infrastructure in St. Fatimah Child and Mother Hospital
and it is expected to increase the positioning of St. Fatimah Child and Mother Hospital of
Makassar.
Key Words : Positioning, Service Strategy, Promotion Strategy, Price Strategy And Process
Strategy
meningkatkan profitabilitas organisasi. Positioning
memiliki peran penting dalam sebuah organisasi
(Tandirering, 2005). Hal senada dikemukakan oleh
Lamb, dkk (2001) yang menyatakan bahwa
penempatan posisi (positioning) di pasaran suatu
perusahaan ataupun organisasi memiliki peran
penting dalam mempertahankan dan meningkatkan
pangsa pasar. Yang tentunya akan bermanfaat dalam

PENDAHULUAN
Pada hakikatnya setiap organisasi yang
berorientasi profit maupun nonprofit saat ini tidak
dapat memandang remeh mengenai positioning
dirinya di hati pelanggan. Karena dengan positioning
yang tepat maka organisasi tersebut dapat
mempertahankan dan mampu mengembangkan
pangsa pasarnya, yang pada akhirnya juga akan
15

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

dunia persaingan saat ini. Positioning merupakan


pengembangan bauran pemasaran spesifik untuk
mempengaruhi keseluruhan persepsi pelanggan
potensial terhadap merek, lini produk, atau organisasi
secara umum. Sementara itu posisi adalah tempat
sebuah produk, merek atau kelompok produk dalam
benak konsumen, dibandingkan dengan penawaran
dari para pesaing (Tjiptono, 2009).
Masalah positioning di era informasi saat ini
yang didukung perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang berkembang sangat pesat menjadi
sesuatu hal yang sangat urgen, dikarenakan alih
informasi yang cepat sehingga penyebaran informasi
untuk kepentingan strategi positioning dapat dengan
mudah diakses oleh rumah sakit pesaing. Tantangan
inilah yang memicu kinerja dalam positioning
senantiasa dipertahankan dan ditingkatkan untuk
menjalankan dan mencapai visi rumah sakit
(Rangkuti, 2004).
Untuk merespon tantangan ini tentunya pihak
manajemen
harus
mengantisipasi
dengan
meningkatkan kemampuan individu-individu dalam
rumah sakit tersebut, sehingga dengan adanya
peningkatan individu maka akan memudahkan pihak
manajemen dalam mengarahkannya dalam strategi

positioning yang diharapkan (Suprihanto,1997).


Realita saat ini RSIA. St. Fatimah Makassar sudah
mendapatkan tempat bagi masyarakat Kota Makassar
hal ini dapat dilihat berdasarkan data kunjungan
pasien mulai tahun 2005 sampai dengan 2007 seperti
yang terlihat pada Tabel 1.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode cross
sectional dengan survei yang dilaksanakan di RSIA
ST Fatimah Makassar selama empat bulan (AgustusNovember 2008), dengan jumlah responden
sebanyak 150 pasien yang diambil menggunakan
teknik probability sampling. Analisa data dilakukan
dengan menggunakan analisis univariat yang
dilakukan terhadap tiap-tiap variabel penelitian untuk
melihat tampilan distribusi frekuensi, analisis bivariat
yang dilakukan terhadap tiap-tiap variabel
independen dan dependen dengan menggunakan chi
square, dan analisis multivariat menggunakan
analisis regresi logistik yang dimaksudkan untuk
mengetahui
faktor-faktor
independen
yang
berpengaruh terhadap strategi positioning RSIA ST
Fatimah Makassar. Pengolahan data dalam penelitian
ini menggunakan program SPSS versi 15.0.

Tabel 1. Data Kunjungan Tahun 2005-2007 RSIA ST Fatimah Makassar


2005
2006
RAWAT
RAWAT
IRJ
IRJ
URAIAN
INAP
INAP
n
%
n
%
n
%
N
%
569
23.3 7669 85.3
644
22.3
9234
80.5
Umum
384
15.7
898
10
850
29.5
850
7.4
Askes

2007
RAWAT
IRJ
INAP
n
%
n
%
1266
36
5681
72.7
344
9.8
875
11.2

JPS

1493

61

421

4.7

1388

48.2

1388

12.1

1903

54.2

1255

16.1

Total

2446

100

8988

100

2882

100

11472

100

3514

100

7811

100

Sumber : Data base kunjungan pasien RSIA ST Fatimah Makassar


antara strategi layanan dengan positioning RSIA ST
Fatimah berdasarkan nilai p = 0,000 < 0,05 pada CI
(95 %) = 8,393 250,462 dengan nilai chi square
41,784 yang lebih besar dari nilai chi square tabel
sebesar 3,841.
Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas
responden atas strategi promosi tinggi
dalam
positioning yang tinggi adalah sebanyak 128 orang
atau 85,3% dan yang paling sedikit adalah pada
strategi layanan rendah dalam postioning yang tinggi
dan strategi promosi rendah dalam positioning yang
rendah masing-masing sebanyak 5 orang atau 3,3%.
Selanjutnya pada variabel strategi promosi yakni
dengan indikator jalur informasi promosi perorangan,
ekuitas merek yang memiliki total skor yang tinggi
(>47,5) berpotensi meningkatkan positioning RSIA
ST Fatimah sebesar 10,667 kali dibandingkan dengan

HASIL
Analisis Bivariat
Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas
responden atas strategi layanan tinggi
dan
positioning yang tinggi adalah sebanyak 131 orang
atau 87,3% dan yang paling sedikit adalah pada
strategi layanan rendah dalam positioning yang tinggi
hanya 2 orang atau 1,3%. Berdasarkan hasil analisis
pada tabel 2 memperlihatkan bahwa strategi layanan
(yang terdiri dari layanan antenatal, intranatal, dan
post natal) yang tinggi yakni dengan skor >47,5 akan
meningkatkan positioning RSIA ST Fatimah 45,850
kali dibandingkan dengan strategi layanan yang
rendah yakni dengan nilai skor <47,5, hal ini
didasarkan pada hasil bivariat dengan nilai Odds
Ratio (OR) = 45,850. Analisis lebih lanjut
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
16

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 15-20

strategi promosi yang rendah (<47,5). Dari hasil


analisis bivariat lebih lanjut memperlihatkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara variabel strategi
promosi dengan positioning RSIA ST Fatimah

berdasarkan nilai p = 0,002 < 0,05 pada CL (95 %)


2,701 42,128 dengan nilai chi square 15,835 yang
lebih besar dari nilai chi square tabel sebesar 3,841.

Tabel 2.

Hubungan Variabel Strategi Layanan, Promosi, Harga dan Proses Terhadap Positioning
RSIA ST Fatimah Makassar tahun 2008
Positioning
Jumlah
OR
Variabel
Tinggi
Rendah
CI95%
n
%
n
%
N
%
LL-UL = 8,393-250,462
Strategi layanan
Tinggi
131 87,3
10
6,7
141
94,0
X2=41,784
Rendah
2
1,3
7
4,7
9
6,0
P = 0,000
OR =45,850
LL UL = 2,701 - 42,128
Strategi promosi
Tinggi
128 85,3
12
8,0
140
93,3
X2=15,835
Rendah
5
3,3
5
3,3
10
6,7
P = 0,002
OR = 10,667
LL UL =2,257 - 25,027
Strategi harga
Tinggi
124 82,7
11
7,3
135
90,0
X2=13,539
Rendah
9
6,0
6
4,0
15
10,0
P =002
OR =7,515
LL UL = 6,433 - 198,426
Strategi proses
Tinggi
131 87,3
11
7,4
142
94,7
X2=33,861
Rendah
2
1,3
6
4,0
8
5,3
P =0,000
OR = 35,727
Jumlah
133 88,7
17
11,3
150
100,0
Sumber: Data Primer

Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas


responden atas strategi harga tinggi
dalam
positioning yang tinggi adalah sebanyak 124 orang
atau 82,7% dan yang paling sedikit adalah pada
strategi harga yang rendah dalam postioning yang
rendah sebanyak 6rang orang atau 4,0%. Strategi
harga (penetapan posisi harga dan sasaran) yang tinggi
atau yang memiliki nilai skor >15 mempunyai
kecenderungan untuk meningkatkan positioning RSIA
ST Fatimah sebesar 7,515 kali dibandingkan dengan
strategi promosi yang rendah, hal ini diperoleh dari
hasil analisis secara bivariat dengan OR sebesar 2,566.
Hasil analisis lebih lanjut diperoleh nilai p = 0,009 <
0,05 pada CI (95 %) = 2,257- 25,027 dengan nilai chi
square 13,539 yang lebih besar dari nilai chi square
tabel sebesar 3,841 menunjukkan ada hubungan yag
signifikan antara strategi harga dengan positioning
RSIA ST Fatimah Makassar.
Tabel 2 menunjukkan jawaban mayoritas
responden atas strategi proses tinggi
dalam
positioning yang tinggi adalah sebanyak 131 orang
atau 87,3% dan yang paling sedikit adalah pada
strategi prose yang rendah dalam postioning yang
tinggi hanya 2 orang atau 1,3%. Strategi proses yang
terdiri dari prosedur penerimaan pasien dan prosedur
pelayanan pasien yang memiliki nilai skor tinggi

(>25) merupakan faktor yang mempunyai potensi


besar untuk meningkatkan positioning RSIA ST
Fatimah yang dengan berdasarkan hasil analisis Odds
Ratio (OR = 35,727). Hal ini menunjukkan bahwa
strategi proses mampu meningkatkan sebesar 35,727
kali terhadap positioning RSIA ST Fatimah
dibandingkan dengan strategi proses yang rendah
(dengan nilai skor <25). Dari hasil analisis lebih
lanjut dimana diperoleh nilai p = 0,000 < 0,05 pada
CI (95 %) = 6,433 198,426 dengan nilai chi square
33,861 yang lebih besar dari nilai chi square tabel
sebesar 3,841 menunjukkan ada hubunga yang
signifikan antara strategi proses positioning RSIA ST
Fatimah. Dari hasil analisis bivariat di atas
menunjukkan bahwa hipotesis pertama yang
menyatakan bahwa semua variabel bebas secara
signifikan berhubungan dengan positioning RSIA
Siti Fatimah dapat diterima.
Analisis Multivariat
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa semua
variabel bebas berpengaruh secara signifikan
terhadap positioning RSIA ST Fatimah tidak terbukti
dalam penelitian ini karena hanya ada dua variabel
yang signifikan yaitu strategi layanan dan proses.
Dari hasil analisis secara multivariat yang
menggunakan regresi logistic pada tabel 3 di atas
17

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

untuk 4 variabel independen terlihat bahwa variabel


yang paling berpengaruh terhadap positioning RSIA
ST Fatimah adalah strategi layanan dengan tingkat
signifikansi nilai p = 0,007 < 0,05 yakni sebesar
3,435 hal ini berdasarkan pada koefisien regresinya.
Variabel independen lainnya yang berpengaruh
signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah
Tabel 3.

adalah strategi proses yakni dengan tingkat


signifikansi nilai p = 0,15 yakni sebesar 2,632 yang
berdasarkan nilai koefisien regresinya. Sementara
variabel strategi promosi dan harga tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan karena
tingkat signifikansinya >0,05.

Analisis Multivariat yang berpotensi meningkatkan Positioning RSIA ST Fatimah


Makassar Tahun 2008

Variabel
Strategi Layanan
Strategi Promosi
Strategi Harga
Strategi Proses
Constant
Sumber: Data Primer

95 % CI

Koefisien Regresi

Kemaknaan (nilai
p)

OR

3,435
-1,271
0,258
2,632
-7,767

0,007
0,456
0,808
0,015
0,000

31,022
0,281
1,295
13,898
0,000

Variabel strategi promosi dan harga tidak


berpengaruh signifikan, hal ini ditunjukkan dengan
nilai nilai p = 0,456 untuk strategi promosi dan p =
0,808 untuk strategi harga yang lebih besar dari 0,05.
Pada analisis multivariat ini terjadi perubahan nilai
OR untuk kedua variabel independen yang
berpengaruh signifikan (strategi layanan dan strategi
proses). Nilai OR untuk strategi layanan dari OR
=45,850 menjadi OR = 31,022 yang menunjukkan
bahwa variabel strategi layanan yang terdiri dari
layanan antenatal, intranatal dan post natal yang
memiliki nilai skor >47,5 merupakan faktor yang
mampu
memberikan
peningkatan
terhadap
positioning RSIA ST Fatimah sebesar 31,022 kali
lebih besar dibandingkan strategi layanan yang
rendah (nilai skor <47,5). Hal ini juga ditandai
dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %) = 2,594 371,033 dengan nilai p = 0,007 <0,05 menunjukkan
bahwa hubungan tersebut bermakna bila dilakukan
pengujian secara bersama-sama variabel lainnya.
Nilai OR untuk strategi proses dari OR = 35,727
menjadi OR = 13,898 yang menunjukkan bahwa
variabel strategi proses yang terdiri dari layanan
prosedur penerimaan pasien dan prosedur pelayanan
pasien yang memiliki nilai skor >25 merupakan
faktor yang mampu memberikan peningkatan
terhadap positioning RSIA ST Fatimah sebesar
13,898 kali lebih besar dibandingkan strategi proses
yang rendah (nilai skor <25). Hal ini juga ditandai
dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %) = 1,655
116,683 dengan nilai p = 0,015 < 0,05 menunjukkan
bahwa hubungan tersebut bermakna bila dilakukan
pengujian secara bersama-sama variabel lainnya.

Lower

Upper

2,594
0,010
0,161
1,655

371,033
7,911
10,391
116,683

PEMBAHASAN
Pengaruh Strategi Layanan Terhadap Positioning
RSIA ST Fatimah Makassar
Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa jika
dilihat dari nilai konversi kesemua indikator
menunjukkan nilai 4 yang berarti rata-rata jawaban
responden setuju dengan pertanyaan dan atau
pernyataan yang diberikan melalui kuesioner. Jadi
hal ini dapat dikatakan bahwa layanan antenatal,
intranatal dan postnatal sudah dirasakan positif oleh
pasien RSI ST Fatimah.
Analisis bivariat menunjukkan bahwa strategi
layanan (yang terdiri dari layanan antenatal,
intranatal, dan post natal) yang tinggi yakni dengan
skor >47,5 akan meningkatkan positioning RSIA ST
Fatimah 45,850 kali dibandingkan dengan strategi
layanan yang rendah yakni dengan nilai skor <47,5,
hal ini didasarkan pada hasil bivariat dengan nilai
Odds Ratio (OR) = 45,850. Analisis lebih lanjut
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
antara strategi layanan terhadap positioning RSIA ST
Fatimah berdasarkan nilai p = 0,000 < 0,05 pada CI
(95 %) = 8,393 250,462.
Selanjutnya
setelah
dilakukan
analisis
multivariat dengan menggunakan regresi logistik
menunjukkan bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap positioning RSIA ST Fatimah
adalah strategi layanan dengan tingkat signifikansi
nilai p = 0,007 < 0,05 yakni sebesar 3,435 hal ini
berdasarkan pada koefisien regresinya. Pada analisis
multivariat ini terjadi perubahan nilai OR untuk
kedua variabel independen yang berpengaruh
signifikan (strategi layanan dan strategi proses). Nilai
OR untuk strategi layanan dari OR =45,850 menjadi
18

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 15-20

OR = 31,022 yang menunjukkan bahwa variabel


strategi layanan yang terdiri dari layanan antenatal,
intranatal dan post natal yang memiliki nilai skor
>47,5 merupakan faktor yang mampu memberikan
peningkatan terhadap positioning RSIA ST Fatimah
sebesar 31,022 kali lebih besar dibandingkan strategi
layanan yang rendah (nilai skor <47,5). Hal ini juga
ditandai dengan analisis lebih lanjut pada CI (95 %)
= 2,594 - 371,033 dengan nilai p = 0,007 <0,05
menunjukkan bahwa hubungan tersebut tetap
bermakna bila dilakukan pengujian secara bersamasama variabel lainnya.
Hasil temuan dalam penelitian menunjukkan
bahwa layanan yang merupakan jasa RSIA ST
Fatimah yang diberikan kepada pasien yang terdiri
dari layanan antenatal, intranatal dan postnatal
adalah faktor utama yang harus dipertahankan dan
ditingkatkan. Karena tiga layanan ini termasuk
sebagai core business dari RSIA ST Fatimah yang
selama ini memang sudah dikenal sebagai rumah
sakit yang melayanai pelayanan ibu dan anak dengan
tiga jenis pelayanan tersebut bagi masyarakat
Makassar. Ketiga jenis pelayanan ini sudah melekat
atau sudah dipersepsikan dibenak para pasien yang
sulit untuk dilepaskan
Temuan ini sejalan dengan teori yang
dikemukakan Ries, et al (1982) tentang positioning,
yang menyatakan bahwa posotining dalam konteks
pemasaran adalah cara produk (jasa), merek atau
organisasi perusahaan dipersepsikan secara relatif
oleh pelanggan maupun calon pelanggan dibanding
dengan pesaing saat ini (Kotler, 1997).
Pengaruh Strategi Promosi Terhadap Positioning
RSIA ST Fatimah Makassar
Setelah
dilakukan
analisis
univariat
menunjukkan bahwa penelitian ini menemukan
bahwa jawaban rata-rata responden lebih bervariasi
dibandingkan dengan strategi layanan, yang mana
dari 19 indikator, 5 sub indikator yang memiliki nilai
rasio (1) Layanan di ruang perawatan merupakan
kategori layanan yang paling saya ingat karena saya
pernah mengalami layanan tersebut (EK3); (2) RSIA
ST Fatimah menjadi pertimbangan saya sebagai
pilihan untuk berobat, mendapatkan pelayanan ibu
dan anak karena sudah dikenal cukup lama (EK4),
(3) Kualitas interaksi saya dengan para dokter, bidan
dan perawat RSIA ST Fatimah adalah bagus sekali
(EKU1); (4) Dokter RSIA ST Fatimah Makassar
bersikap bersahabat terhadap saya (EKU2); (5) Bidan
dan perawat RSIA ST Fatimah Makassar bersikap
bersahabat terhadap saya (EKU3) memiliki nilai
konversi 3 yang berarti responden menanggapi ke
lima indikator ini dengan netral dan 14 sub indikator
lainnya memiliki nilai konversi 4 yang berarti
responden menjawab setuju atas pertanyaan dalam
kuesioner.

Hasil temuan ini memperlihatkan bahwa strategi


promosi memperoleh tanggapan yang beragam dari
responden sehingga secara multivariat variabel ini
tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan yang
ditandai dengan nilai p = 0,456. Kondisi nyata di
rumah sakit menunjukkan bahwa promosi masih
kurang dilakukan oleh pihak manajemen rumah sakit.
Hasil temuan ini ini didukung oleh Tura (2003) yang
menyatakan bahwa kurangnya promosi layanan
RSIA ST Fatimah dapat dilihat dari kurangnya
sosialisasi kepada masyarakat mengenai sarana dan
prasarana serta sumber daya manusia rumah sakit
yang ada saat ini. Namun penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Adiwijaya
(2005).
Pengaruh Strategi Harga Terhadap Positioning
RSIA ST Fatimah Makassar
Analisis univariat menunjukkan bahwa rata-rata
jawaban responden setuju atas pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner yang ditunjukkan dengan
hasil analisi nilai konversi 4. Sikap setuju responden
ini membuktikan bahwa penetapan tarif dan sasaran
tarif layanan RSIA ST Fatimah sudah tepat bagi
pasien yang selama ini berobat. Hal ini juga
menunjukkan bahwa pasien sudah memaklumi
bahwa posisi harga dan sasaran harga saat ini sudah
tepat bagi pasien yang ada saat ini. Jika dilihat dari
hasil temuan deskripsi karakteristik responden
menunjukkan penghasilan keluarga kurang dari
750.000 per bulan sebanyak 86 orang atau 57,6%.
Keluarga yang berpenghasilan 750.000 sampai
dengan 1.500.000 per bulan sebanyak 51% atau 34%
sementara keluarga yang berpenghasilan lebih dari
1.500.000 per bulan sebanyak 13 atau 8,7%.
Keadaan ini membuktikan bahwa mayoritas
pasien RSIA ST Fatimah adalah pasien yang
berpenghasilan menengah ke bawah. Dari hasil
univariat ini juga mendukung analisis multivariat
yang menguatkan kurang baiknya posisitioning
rumah sakit terhadap pesaing lainnya. Hal ini juga
dibuktikan bahwa strategi harga tidak berpengaruh
signifikan terhadap positioning RSIA ST Fatimah
dengan nilai kemaknaan p = 0,808. Hasil ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah
(2007).
Pengaruh Strategi Proses Terhadap Positioning
RSIA ST Fatimah Makassar
Rata-rata tanggapan responden atas pertanyaan
mengenai strategi proses pada nilai konversi 4, hal
ini menunjukkan bahwa responden setuju dengan
proses penerimaan dan pelayanan yang ada saat ini.
Secara analisis multivariate menunjukkan bahwa
strategi proses yang terdiri dari (1) prosedur
penerimaan dan (2) proses pelayana mampu
memberikan pengaruh secara signifikan terhadap
positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai p=0,015.
19

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Walaupun secara multivariate hanya dua varaibel


(strategi layanan dan proses) yang berpengaruh
signifikan, namun analisis secara bivariat keempat
variabel
independen
dalam
peneltian
ini
menunjukkan ada hubungan yang signifikan terhadap
positioning RSIA ST Fatimah.
Hasil temuan ini sejalan dengan Bahren (2006)
dalam penelitian mengenai analisis strategi
positioning
untuk
mempertahankan
dan
meningkatkan pangsa pasar dalam memenangkan
persaingan dalam studi kasus PT. Telkom Kawasan
Timur Indonesia yang menyatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi positioning adalah
strategi produk/jasa, distribusi, harga, promosi,
pelayanan dan orang yang diberikan kepada
pelanggan. Temuan peneltian ini juga memperkuat
teori yang ditulis Staton (1984) dalam Bahren (2006)
tentang bauran pemasaran yakni 4P (product, price,
place dan promotion) dijadikan strategi oleh para
pemasar untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen terhadap produk-produk yang dimiliki
oleh suatu persuhaan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Keempat variabel independen yakni strategi


layanan dengan nilai p = 0,000 strategi promosi
dengan nilai p = 0,002 strategi harga dengan nilai p =
0,002 dan strategi proses dengan nilai p = 0,000
berhubungan positif dan signifikan dengan
positioning RSIA St. Fatimah Makassar. Strategi
promosi tidak berpengaruh signifikan terhadap
positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai p=0,456.
Strategi harga tidak berpengaruh signifikan dengan
nilai p=0.808. Strategi proses berpengaruh signifikan
terhadap positioning RSIA ST Fatimah dengan nilai
p=0,015 dan besar pengaruh 2,632. Variabel yang
dominan berpengaruh terhadap positioning RSIA ST
Fatimah Makassar adalah strtaegi layanan dengan
nilai p = 0,007 dan besar pengaruhnya adalah 3,435
atau 34%. Diharapkan dapat meningkatkan
positioning rumah sakit pada tingkatan masyarakat
menengah keatas yang senantiasa akan memilih
RSIA St. Fatimah sebagai pilihan pertama untuk
mendapatkan layanan. Perlu adanya upaya yang
sinergi dari keempat strategi tersebut sehingga
diharapkan dapat menaikkan posisi RSIA St. Fatimah
Makassar yang sejajar dengan posisi rumah sakit
pesaing lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Nusratuddin. 2007. Hubungan Bauran
Pemasaran
Jasa
Terhadap
Minat
Memanfaatkan Kembali Poli Kebidanan
RSU Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar.
Tesis
tidak
diterbitkan.
Magister
Administrasi
Rumah
Sakit-Program
Pascasarjana Unhas
Adiwijaya. 2005. Analisis Hubungan Antara
Marketing Mix Dengan Keputusan Pasien
Memanfaatkan Rawat Jalan Rumah Sakit Dr.
Wahidin Sudiro Husodo Makassar Tesis
tidak diterbitkan. Magister Administrasi
Rumah Sakit-Program Pascasarjana Unhas.
Bahren, Zul. 2006. Analisis Faktor-Faktor Penentu
strategi Positioning untuk Mempertahankan
dan Meningkatkan Pangsa Pasar PT. Telkom
Divre VII. Disertasi tidak diterbitkan.
Makassar: Universitas Hasanuddin
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran,
Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan
Kontrol. Edisi Kesembilan. Terjemahan.
Prenhalindo: Jakarta

Lamb, Hair, dkk. 2001. Pemasaran. Terjemahan.


Salemba Empat: Jakarta
Rangkuti, Freddy. 2004. The power of Brands Teknik
Mengelola Brand Equity dan Strategi
Pengembangan Merek, Plus Analisis Kasus
dengan SPSS. PT. Gramedia Utama: Jakarta
Suprihanto, John. 1997. Marketing for Health Care
Organization. Terjemahan. Yogyakarta:
Magister Administrasi Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada
Tandirerung, Erwina. 2005. Hubungan Brand Equity
Dengan Keputusan Pemanfaatan Jasa
Pelayanan Perawatan Paviliun Sawit Rumah
sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar.
Tesis
tidak
diterbitkan.
Magister
Administrasi
Rumah
Sakit-Program
Pascasarjana Unhas.
Tjiptono, Fandy. 2009. Pemasaran Jasa. Bayumedia:
Malang
Tura. 2003. Upaya Pemasaran Instalasi Rawat Inap
Di Rumah Sakit Bersalin Siti Fatimah
Makassar. Tesis. Universitas Airlangga
Surabaya.

20

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 21-28

Artikel IV

ANALISIS RISIKO KESEHATAN PAJANAN MERKURI PADA MASYARAKAT


KECAMATAN BULAWA KABUPATEN BONE BOLANGO GORONTALO
Health Risk Analysis Of Mercury Exposure Of District Bulawa District Regency Bone
Bolango Province Gorontalo
Siprianus Singga1, Anwar Daud2, Ida Leida M.Thaha 3
1
Poltekkes Kupang
2
Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS
3
Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran risiko kesehatan pajanan merkuri pada
masyarakat dan manajemen risiko yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kesehatan akibat
pajanan merkuri tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional dengan
rancangan analisis risiko kesehatan lingkungan. Sampel dalam penelitian ini diambil sebanyak 100
sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling. Selain wawancara, juga dilakukan
pengambilan darah dan rambut, serta pengambilan sampel air minum dan ikan dari sumber yang
dikonsumsi. Data dianalisa dengan formula analisis risiko kesehatan lingkungan. Hasil penelitian
menunjukan, nilai median konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut adalah 101,665 g/L dan
4,0750 g/g. Rata-rata konsentrasi merkuri dalam sampel ikan dan air minum adalah 0,0298 mg/kg
dan 0,000478 mg/L. Nilai median laju konsumsi ikan 0,2098 kg/hari. Nilai median durasi pajanan 30
tahun. Nilai median RQ untuk pajanan 30 tahun dan 70 tahun adalah 1,1477 dan 0,4919. Jumlah
responden yang berisiko terhadap efek non karsinogen dan karsinogen adalah 55 orang dan 5 orang.
Secara deskriptif, laju konsumsi ikan dan durasi pajanan berpengaruh pada tingkat risiko kesehatan
responden.
Kata Kunci : Analisis Risiko Kesehatan, Merkuri, Masyarakat.
ABSTRACT
This study aims to obtain a description of health risk of mercury exposure in the community and
find out the risk management that can be conducted to reduce the health risk. The method used in this
research was the observational study method with an analysis design of environmental health risk.
There were 100 sampels selected by using the purposive sampling technique. Beside interviews, the
researcher took samples of blood and hair, as well as samples of drinking water and fish from sources
that were consumed. The data were analyzed by using the formula of environmental health risk
analysis. The results revealed that the median values of mercury concentration in blood and hair were
101.665 /L and 4.0750 g/g respectively, while the average of mercury concentration in the samples
of fish and drinking water were 0.0298 mg/kg and 0.000478 mg/L respectively. Furthermore, the
median value of fish consumption rate rate was 0.0298 kg/day, while the median value exposure
duration was 30 years. The values of median RQ were 1.1477 for exposure of 30 years and 0.4919 for
exposure of 70 years. The numbers of respondents at risk for non-carcinogenic and carcinogenic
effects were 55 and 5 persons respectively. Descriptively, fish consumption rate and exposure duration
affect the level of respondents health risk level.
Key words : health risk analysis, mercury, society.
ribuan ton limbah yang mengandung merkuri ke
pantai Minamata Jepang (WHO,2006).
Senyawa merkuri ini lalu berubah methyl
merkuri oleh bakteri dan masuk ke laut serta
mencemari ikan di teluk Minamata yang dikonsumsi
oleh penduduk di wilayah tersebut. Dampaknya pada
penduduk yang mengkonsumsi ikan dari wilayah
tersebut adalah kematian, tuli, penglihatan kabur,
wicara tidak jelas dan cacat lahir pada anak yang

PENDAHULUAN
Merkuri adalah salah satu logam berat yang
sangat berbahaya bagi kesehatan. Bahaya merkuri
bagi kesehatan secara luas diketahui manusia sejak
terkuaknya kasus Minamata di Jepang pada 19531960 yang lebih dikenal dengan sebutan Minamata
disease. Penyakit minamata ini disebabkan oleh
pembuangan limbah industri Nihon Cisso Co. Sejak
tahun 1920-1960-an, perusahaan ini membuang
21

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

ibunya terpapar merkuri dari ikan tersebut (Alfian,


2006).
Secara teoritis, manusia dapat terpapar merkuri
dari lingkungan melalui tiga jalan masuk yaitu kontak
kulit, oral atau saluran pencernaan dan inhalasi atau
saluran pernapasan. Paparan melalui kulit dan
inhalasi merupakan jalur terpenting secara
okupasional, terutama untuk merkuri anorganik
(Malaka, 1996). Sedangkan paparan merkuri organik
lebih sering terjadi melalui saluran pencernaan,
dimana kandungan merkuri organik masuk
bersamaan dengan makanan yang dikonsumsi. Dasar
biologik pengaruh merkuri terhadap kesehatan adalah
kemampuannya untuk menghambat kerja enzim
dalam mitokondria dan kromosom (WHO, 2003).
Walaupun deposit Hg banyak didapati pada ginjal,
tetapi gangguan utamanya tercermin dari gangguan
sistem saraf. Gejala utama keracunan merkuri adalah
erethism (irritability dan memory loss), tremordan
gingivitis.
Selain gangguan pada sistem saraf,
psikomotor dan memori, terdapat juga gangguan pada
organ lain yaitu mata, kulit dan ginjal (ATSDR,
1999)
Pencemaran merkuri banyak ditemukan pada
daerah penambangan emas tradisional dan tanpa izin.
Dalam memisahkan emas dari kotoran lainnya, para
penambang melakukan proses amalgamasi yang
menggunakan merkuri. Tailing atau sisa tambang
yang mengandung merkuri sering dibuang ke aliran
sungai yang digunakan dalam proses pendulangan
emas. Jumlah merkuri yang digunakan setiap unit
pengolahan (tromol) adalah 1 kg merkuri untuk setiap
120 kg batuan, dengan jumlah merkuri yang jumlah
terbuang ke lingkungan dari tiap tromol tersebut
mencapai 30 kg/bulan. Bila di Provinsi Gorontalo
menurut data tahun 2008 mempunyai lebih dari 200
tromol pengolahan emas tanpa ijin, maka jumlah
merkuri yang dibuang ke lingkungan mencapai lebih
dari
6.000 kg/bulan (Balistri,2006). Sedangkan
menurut UNEP, jumlah merkuri yang dibuang ke
lingkungan dari seluruh pertambangan emas
tradisional di Indonesia mencapai 1.400 ton/tahun
(UNEP,2008)
Data Balihristi Gorontalo menyatakan bahawa
pada tahun 2008, jumlah penambang emas tanpa izin
di Provinsi Gorontalo mencapai 6.300 orang yang
tersebar pada kurang lebih 9 lokasi penambangan.
Data Balihristi Gorontalo tahun 2008 juga
menyatakan bahwa jumlah penambang emas tanpa
izin di Bone Bolango mencapai 1.550 orang yang
tersebar di tiga lokasi penambangan yaitu desa
Tambulilato Kecamatan Bone Raya, desa Mopuya
Kecamatan Bulawa dan lokasi Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone di Kecamatan Suwawa
Timur.

Kegiatan
pertambangan
emas
tersebut
diindikasikan telah memberikan dampak negatif
terhadap penurunan kualitas air sungai di Provinsi
Gorontalo.Untuk wilayah Kabupaten Bone Bolango
sendiri dari pantauan Dinas Kesehatan Kabupaten
Bone Bolango, diketahui terdapat beberapa titik
pencemaran pada empat sungai di kabupaten Bone
Bolango, yaitu tiga titik pencemaran merkuri di
sungai Tulabolo, satu titik di sungai Mohutango, tiga
titik di sungai Bone dan satu titik di sungai Tapa Daa
satu titik. Dari hasil pantauan BLH Provinsi
Gorontalo diketahui bahwa kualitas air sungai-sungai
tersebut dari tengah sampai hilir tercemar merkuri.
Hal ini dapat terlihat dari hasil pengujian konsentrasi
merkuri padaSungai Mopuya (Bone Bolango),
konsentrasi merkuri dalam air sungai di lokasi
tambang 2,6522 ppm, dan meningkat menjadi 5,8737
ppm di muara (Balihistri, 2008).
Kecamatan Bulawa termasuk salah satu
kecamatan dengan potensi bahaya pencemaran
merkuri. Potensi bahaya merkuri di kecamatan
Bulawa berasal dari adanya kagiatan penambangan
emas tanpa izin (PETI) di desa Kaidundu,
Mopuya,Bunga Hijau, Mamungaa dan Mamungaa
Timur. Posisi lokasi penambangan yang terletak pada
hulu
sungai-sungai
yang
melewati
desa,
menyebabkan desa-desa yang ada dibawahnya
berpotensi untuk tercemar merkuri dari kegiatan
PETI tersebut. Rembesan merkuri melalui air tanah
tanah, dapat mencemari air sumur warga, sedangkan
merkuri yang terbawa aliran air sungai akan berubah
menjadi methyl merkuri dan mencemari laut dan ikan
dipesisir Kecamatan Bulawa. Hal inilah yang
menyebabkan masyarakat Kecamatan Bulawa
berisiko terpapar merkuri baik dari air minumnya,
maupun dari ikan yang dikonsumsi sehari-hari.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini bersifat observasional dengan
menggunakan rancangan Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan. Secara analitik, data hasil pengukuran
variabel dilakukan analisis menggunakan formula
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan untuk
mengetahui tingkat risiko dari pencemaran merkuri
terhadap kesehatan masyarakat di Kecamatan Bulawa
dan manajemen risiko dari pencemaran merkuri
tersebut.
Lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Bulawa
Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo. Lokasi
penelitian ini terdiri atas 9 desa, yaitu desa Bukit
Hijau, Nyiur Hijau, Kaidundu Barat, Kaidundu,
Mopuya, Bunga Hijau, Patoa, Mamungga dan
Mamungaa Timur. Lamanya waktu penelitian
dilakukan adalah 4 bulan yaitu dari bulan April
sampai dengan Juli 2011.
22

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28

Jumlah Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh


masyarakat
Kecamatan
Kecamatan
Bulawa
Kabupaten Bone yang terpajan merkuri baik melalui
air minum maupun melalui ikan. Sedangkan sampel
dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kecamatan
Bulawa yang menggunakan air sungai dan air tanah
yang tercemar merkuri sebagai sumber air minum dan
mengkonsumsi ikan yang ditangkap dari perairan
Bulawa, dengan kriteria penduduk yang telah tinggal
di daerah tersebut minimal 1 (satu) tahun serta
menggunakan air sungai dan air tanah untuk sebagai
sumber air minum dan mengkonsumsi makanan ikan
yang ditangkap di perairan Bulawa.
Jumlah sampel dalam penelitian adalah 100
orang dengan total sampel dalam penelitian ini dibagi
80
70
60
50
40
30
20
10
0

secara merata ke semua desa dalam wilayah


penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive sampling, Unit analisis dalam penelitian ini
adalah kadar merkuri pada air minum dan ikan laut
yang dikonsumsi oleh masyarakat.
Pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri
atas data pemeriksaaan laboratorium untuk
konsentrasi merkuri dalam darah dan rambut serta
konsentrasi merkuri pada ikan dan air minum. Selain
data lab juga dikumpulkan data berat badan
responden dan data wawancara kuesioner berupa data
karakteristik responden, frekwensi pajanan, durasi
pajanan dan laju konsumsi. Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua yaitu :
metode analisis risiko kesehatan lingkungan
73
57

52
33

28

12

Darah

Rambut

Darah dan atau Rambut

Kandungan merkuri
dibawah standar

melebihi standar

Gambar 1. Distribusi Konsentrasi Merkuri Pada Darah dan Rambut


Responden Menurut Kategori Standar WHO
menunjukan konsentrasi rata-rata merkuri dalam
darah responden adalah 125,4939g/L dengan nilai
median 101,665 g/L. Konsentrasi merkuri dalam
darah minimum adalah 2,92 g/L dan maksimum
adalah 378,90 g/L. Standar konsentrasi merkuri
dalam darah adalah 8,0 g/L.
Konsentrasi Merkuri Pada Ikan dan Air Minum
Rata-rata konsentrasi merkuri pada ikan yang
selalu dikonsumsi penduduk kecamatan Bulawa
adalah 0,0298 mg/kg. Distribusi konsentrasi merkuri
tertinggi terdapat pada ikan Laligo pealii yaitu
0,04103 mg/kg dan terendah terdapat pada ikan
Decapterus muroadsi yaitu 0,01880 mg/kg. Dari hasil
ini diketahui bahwa konsentrasi merkuri pada ikan
yang dikonsumsi responden dan masyarakat di
kecamatan Bulawa masih dibawah standar nasional
untuk kosentrasi merkuri pada ikan yaitu 0,3 mg/kg
(BSN,2009). Rata-rata konsentrasi merkuri dalam air
minum responden di kecamatan Bulawa adalah
0,000478 mg/L. Rata-rata konsentrasi tertinggi

HASIL
Karakteristik Umum Responden
Responden yang digunakan dalam penelitian ini
berjumlah 100 orang dengan karakteristik sebagai
berikut : umur responden antara 15-60 tahun, dengan
jenis kelamin laki-laki 91 orang dan perempuan 9
orang. Pendidikan responden antara tidak sekolahperguruan tinggi dengan jumlah terbanyak
berpendidikan SD yaitu 74 orang. Pekerjaan
responden terdiri atas wiraswasta, nelayan, petani,
penambang dan pekerjaan lainnya, dengan jumpah
terbanyak adalah penambang yaitu 62 orang.
Sebanyak 85 orang dari 100 responden bersedia
diambil darah dan rambutnya untuk pemeriksaan
merkuri.
Konsentrasi Merkuri Pada Darah dan Rambut
Biomarker digunakan untuk mengetahui pajanan
risk agent pada kesehatan. Biomarker yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrasi
darah dan rambut responden. Hasil penelitian
23

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

terdapat di Kaidundu Barat yaitu 0,00065 mg/L dan


terendah terdapat di desa Mamungaa yaitu 0,000285
mg/L.
Durasi Pajanan
Hasil perhitungan RQ total diketahui, responden
dengan nilai durasi pajanan besar mempunyai nilai
RQ yang lebih tinggi dari pada responden dengan
nilai durasi pajanan yang kecil. Perbandingan nilai
RQ pajanan 30 tahun berikut ini, responden asal desa
Nyiur Hijau dengan rata-rata durasi pajanan 6 tahun
mempunyai rata-rata nilai RQ 0,2113, responden dari
desa Mamungga dengan rata-rata durasi pajanan
27,36 tahun mempunyai rata-rata RQ 1,0138, serta
responden dari desa Kaidundu dengan rata-rata durasi
pajanan 37,45 tahun mempunyai rata-rata nilai RQ
1,5429.
Laju Konsumsi Ikan dan Air Minum
Hasil analisa diperoleh nilai median laju
konsumsi ikan responden adalah 0,2 kg/hari. Laju
konsumsi ikan berpengaruh terhadap nilai RQ
responden. Perbandingan pada rata-rata nilai RQ
pajanan 30 tahun berikut ini. Pada responden yang
mengkonsumsi ikan sebanyak 0,12 kg/hari
mempunyai rata-rata nilai RQ 0,7114, pada
responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak 0,2
kg/hari mempunyai rata-rata nilai RQ 1,0749, dan
pada responden yang mengkonsumsi ikan sebanyak
0,32 kg/hari mempunyai rata-rata nilai RQ 1,3093.
Tingkat Risiko
RQ pada penelitian ini secara umum terbagi atas
2 bagian yaitu RQ gabungan ikan dan air minum
untuk efek non karsinogen (pajanan 30 tahun) dan
RQ gabungan ikan dan air minum untuk efek
karsinogen (pajanan 70 tahun). Responden dengan
RQ 1 dikategorikan dalam kelompok yang aman
dari efek pajanan, sedangkan responden dengan RQ >
1 dikategorikan dalam kelompok yang berisiko
terhadap efek dari pajajan US-EPA,1997).
Rata-rata nilai RQ untuk pajanan 30 tahun pada
seluruh responden adalah 1,1422 dengan nilai median
1,1477. Nilai RQ pajanan 30 tahun terendah adalah
0,0783 dan tertinggi 3,1754. Dari analisa diketahui
sebanyak 45 responden (45%) mempunyai nilai RQ
1. Sedangkan 55 responden lainnya (55%)
mempunyai nilai RQ > 1.
Rata-rata nilai RQ untuk pajanan 70 tahun pada
seluruh responden adalah 0,4895 dengan nilai median
0,4919. Nilai RQ pajanan 70 tahun terendah adalah
0,0336 dan tertinggi adalah 1,3609. Dari analisa
diketahui sebanyak 95 responden (95%) mempunyai
nilai RQ 1. Sedangkan 5 responden lainnya (5%)
mempunyai nilai RQ > 1. Dengan demikian, 95
responden dinyatakan aman dari efek karsinogen,
sedangkan 5 responden lainnya berisiko terhadap

efek karsinogen dari pajanan merkuri di kecamatan


Bulawa.
Manajemen Risiko
Pengendalian terhadap nilai RQ dalam penelitian
ini dilakukan dengan 3 cara yaitu menurunkan
konsentrasi merkuri dalam ikan, mengurangi laju
konsumsi ikan dan membatasi durasi pajanan dengan
jenis-jenis ikan tersebut. Dalam penelitian ini,
pengendalian terhadap nilai intake dan nilai RQ dari
ikan lebih diperhatikan karena dari hasil perhitungan
diketahui bahwa ikan lebih berisiko dari air minum.
Hasil perhitungan manajemen risiko diketahui
bahwa konsentrasi merkuri dalam ikan maksimal
yang dapat dikonsumsi responden dengan berat badan
40 kg adalah 0,01350 mg/kg. Sedangkan pada
responden dengan berat badan 70 kg, konsentrasi
merkuri dalam ikan maksimal yang dapat dikonsumsi
adalah 0,02800 mg/kg
Manajemen risiko diketahui bahwa, jenis ikan
yang paling besar risikonya dalam penelitian ini
adalah Laligo pealii. Sedangkan jenis ikan yang
paling kecil risikonya adalah ikan Decapterus
muroadsi, dimana laju konsumsi yang diperbolehkan
untuk orang dengan berat badan 40 kg adalah 0,160
kg/hari, dan orang dengan berat badan 70 kg
sebanyak 0,316 kg/hari.
Manajemen risiko juga diketahui bahwa, durasi
pajanan yang aman dari efek non karsinogen paling
sedikit terdapat pada ikan Laligo pealii yaitu
maksimal adalah 13 tahun pada orang dengan berat
badan 40 kg dan 22 tahun untuk orang dengan berat
badan 70 kg. Durasi pajanan aman yang paling lama
dari efek non karsinogen terdapat pada ikan
Decapterus muroadsi, yaitu 25 tahun untuk orang
dengan berat badan 40 kg dan 43 tahun untuk orang
dengan berat badan 70 kg.
PEMBAHASAN
Konsentrasi Merkuri pada Darah dan Rambut
Nilai rata-rata dan median konsentrasi merkuri
dalam darah responden telah melewati standar yang
ditetapkan. Sedangkan konsentrasi rata-rata merkuri
dalam rambut responden adalah 5,0480g/g dengan
nilai median 4,0750 g/g. Konsentrasi merkuri dalam
rambut konsentrasi minimum adalah 0,48 g/g dan
konsentrasi maksimum adalah 260,20 g/g. Standar
konsentrasi merkuri pada rambut adalah 2,0 g/g4. Ini
berarti bahwa nilai rata-rata dan median konsentrasi
merkuri pada rambut responden juga telah melewati
standar yang ditetapkan. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa, nilai median konsentrasi merkuri
pada rambut 40,083 kali lebih tinggi dari nilai median
konsentrasi merkuri pada darah.
Dari hasil analisa dengan menggunakan standar
WHO, diketahui sebanyak 52 responden memiliki
24

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28

kandungan merkuri dalam darah yang melebihi


standar. Serta sebanyak 57 responden memiliki
kandungan merkuri pada rambut yang melebihi
standar. Bila perbandingan standar konsentrasi
merkuri dalam darah dan rambut digabung, diketahui
bahwa sebanyak 73 responden memiliki kandungan
merkuri pada darah dan atau rambut yang melebihi
standar. Dari perbandingan ini diketahui bahwa hanya
12 responden yang kandungan merkurinya sesuai
standar baik pada darah maupun rambutnya.
Menurut WHO, pada pemaparan dalam jangka
waktu yang lama, konsentrasi merkuri pada rambut
sekitar 250 kali lebih tinggi dari konsentrasi merkuri
dalam darah. Individu yang biasa mengkonsumsi ikan
dalam jangka waktu yang lama dengan asupan
merkuri 200 g/hari, dalam darahnya akan terdapat
merkuri dengan konsentrasi sekitar 200 g/L atau
setara dengan 50 g/g merkuri pada rambut.
Konsentrasi Merkuri Pada Ikan dan Air Minum
Pengukuran konsentrsi merkuri dalam ikan dan
air minum bertujuan untuk mengetahui penyebaran
merkuri di lingkungan. Merkuri yang tersebar di
lingkungan dan masuk dalam rantai makanan seperti
ikan dan air minum dengan sendirinya akan

mempengaruhi
kesehatan
masyarakat
yang
mengkonsumsi ikan dan air minum tersebut.
Konsentrasi merkuri pada air minum ini masih
dibawah standar konsentrasi merkuri untuk air
minum yaitu 0,001 mg/L (Depkes,2002). Konsentrasi
merkuri pada ikan laut sangat ditentukan oleh beban
pencemar yang masuk ke laut tersebut. Daerah yang
banyak industri atau penambangan menggunakan
merkuri dan limbahnya dibuang kelaut, cenderung
akan tinggi konsentrasi merkuri pada air minum dan
ikannya bila dibanding dengan ikan pada daerah yang
bebas dari pencemaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Hartono di teluk
Buyat dan teluk Ratatotok Kabupaten Minahasa
Selatan yang berdekatan dengan tambang PT NMR,
mendapatkan hasil rata-rata konsentrasi merkuri
dalam ikan berkisar antara 0,02 0,6 mg/kg, dengan
konsentrasi merkuri pada air minum antara 0,0001
mg/L sampai 0,012 mg/L. Penelitian ini juga
menyimpulkan bahwa konsentrasi merkuri pada ikan
dan air minum berhubungan secara positif terhadap
nilai RQ responden, hal ini berarti semakin tinggi
konsentrasi merkuri dalam ikan semakin tinggi pula
tingkat risiko untuk terjadinya gangguan kesehatan
(Hartono,2006).

Tabel 1. Durasi Pajanan yang Aman Bagi Responden Untuk Mengkonsumsi Ikan
Sejumlah 0,2 kg/hari Dengan Konsentrasi Merkuri 0,0298 mg/kg dan
Frekuensi Pajanan 363 Hari/Tahun
Berat badan
Durasi pajanan aman dari
Durasi pajanan aman dari
(kg)
efek non karsinogen (tahun)
efek karsinogen (tahun)
40
17
40
45
19
45
50
21
50
55
23
55
60
25
60
65
27
65
70
29
70
Sumber: Data Primer
semakin besar tingkat risiko kesehatan yang akan
dialaminya.
Hal ini sesuai dengan penelitian Hartono pada
masyarakat teluk Buyat dan Ratatotok menunjukan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara lama
tinggal (durasi pajanan) dengan nilai RQ responden
dan mempunyai pola hubungan yang positif. Hal ini
juga berarti semakin lama responden tinggal di lokasi
penelitian tersebut, semakin tinggi pula tingkat risiko
kesehatan yang akan dialami responden tersebut
(Hartono,2006).
Namun pada penelitian Sukman pada
masyarakat desa Ratatotok Kecamatan Belang

Durasi Pajanan
Durasi pajanan diartikan sebagai lama tinggal
responden dilokasi penelitian dalam hitungan
tahun.Nilai mediandurasi pajanan responden adalah
30 tahun. Besar nilai median durasi pajanan ini sesuai
dengan nilai default durasi pajanan (tavg) yang
ditetapkan oleh US-EPA untuk risiko non karsinogen
yaitu 30 tahun (US-EPA,1997).
Secara keseluruhan, nilai RQ responden juga
sangat dipengaruhi oleh berat badan, laju konsumsi
dan frekwensi pajanan responden. Dengan kata lain,
semakin lama responden tinggal dilokasi tersebut,

25

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Minahasa, menyatakan bahwa tidak ada hubungan


antara lama tinggal (durasi pajanan) dengan
konsentrasi merkuri dalam darah Sukman,2003). Hal
ini dapat dipahami karena menurut penelitian
Sheerlock et al dalam WHO disebutkan bahwa
seseorang yang mendapat intake merkuri dari ikan
akan mempunyai kandungan merkuri dalam darahnya
selama 42-70 hari dengan rata-rata masa paruh waktu
sekitar 52 hari dari awal terpapar merkuri
(WHO,1990)
Laju Konsumsi Ikan dan Air Minum
Laju konsumsi ikan dan air minum responden
sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi. Semakin
banyak ikan yang dikonsumsi responden, semakin
tinggi pula risiko kesehatan responden tersebut.
Hal ini sejalan dengan penelitian Hartono pada
masyarakat teluk Buyat dan Ratatotok, diperoleh
hasil bahwa pola makan berhubungan dengan nilai
RQ total. Hartono menyimpulkan bahwa semakin
banyak ikan yang dimakan, maka semakin tingkat
risiko yang dialami penduduk. Kolluru dalam
Hartono (2006) mengungkapkan teori bahwa semakin
besar asupan atau intake suatu risk agent, semakin
besar tingkat risiko yang dihasilkan.
Pada penelitian Sukman yang meneliti pada
penduduk Ratatotok, dari hasil uji statistik
mkenunjukan ada hubungan yang bermakna antara
pola konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri
dalam darah penduduk. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa semakin banyak jumlah ikan yang dikonsumsi
responden, maka semakin tinggi konsentrasi merkuri
dalam darah responden tersebut (Sukman,2003).
Demikian pula dengan penelitian Sudarmaji yang
meneliti pada nelayan di pantai Kenjeran
Surabayapada variabel yang sama, dari hasil uji
statistik diperoleh nilai p 0,05. Hal ini menunjukan
adanya hubungan yang bermakna antara laju
konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri pada
rambut responden (Sudarmaji,2004). Dalam hal ini,
keakuratan informasi tentang laju konsumsi ikan oleh
responden dan adanya sumber pemajanan lain yang
tidak diteliti akan sangat berpengaruh terhadap
konsentrasi merkuri dalam darah maupun rambut
responden.
Tingkat Risiko
Tingkat risiko (RQ) merupakan karakterisasi
risiko yang mungkin dialami responden sebagai
akibat dari mengkonsumsi ikan dan air minum yang
mengandung merkuri. Hasil penelitian menunjukkan
45 responden dinyatakan aman dan 55 responden
lainnya dinyatakan berisiko terhadap efek non
karsinogen dari pajanan merkuri di kecamatan
Bulawa.
Secara deskriptif, terlihat bahwa tidak ada
hubungan antara nilai RQ responden dengan

konsentrasi merkuri pada darah dan rambut. Hal ini


dapat terlihat pada, responden dengan nilai RQ >1
mempunyai konsentrasi merkuri dalam darah dan
rambut hampir sama dengan responden yang
mempunyai nilai RQ 1. Hal ini sejalan dengan
penelitian Hartono di teluk Buyat dan Ratatotok,
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
nilai RQ dengan konsentrasi merkuri dalam darah.
Dalam penelitian ini juga disimpulkan bahwa RQ
responden dipengaruhi secara positif oleh konsentrasi
merkuri pada ikan, konsentrasi merkuri pada air
minum, laju konsumsi ikan dan durasi pajanan atau
lama tinggal responden (Hartono,2006)
Manajemen Risiko
Manajemen risiko untuk pengendalian nilai RQ
pada dasarnya dilakukan dengan cara menyamakan
nilai intake dengan Rfd (Rahman,2007). Manajemen
risiko diketahui bahwa, jenis ikan yang paling besar
risikonya dalam penelitian ini adalah Laligo pealii.
Sehingga laju konsumsi yang disarankan hanya 0,145
kg/hari pada orang yang memiliki berat badan 70 kg
dan 0,073 kg/hari untuk orang yang memiliki berat
badan 40 kg. Sedangkan jenis ikan yang paling kecil
risikonya adalah ikan Decapterus muroadsi, dimana
laju konsumsi yang diperbolehkan untuk orang
dengan berat badan 40 kg adalah 0,160 kg/hari, dan
orang dengan berat badan 70 kg sebanyak 0,316
kg/hari.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis
ikan yang paling berisiko dan disarankan untuk
dikurangi laju dan frekuensi konsumsinya adalah ikan
Laligo pealii. Sedangkan jenis ikan yang paling aman
untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menyimpulkan rata-rata
konsentrasi merkuri pada rambut responden di
Kecamatan Bulawa adalah 125,4939 g/L dengan
nilai median 101,6650g/L dan rata-rata konsentrasi
merkuri pada rambut responden adalah 5,0480 g/g
dengan
nilai
median4,0750g/g.
Rata-rata
konsentrasi merkuri dalam ikan yang dikonsumsi
responden adalah 0,0298 mg/kg dan dalam air minum
adalah 0,000478 mg/L.
Rata-rata laju konsumsi ikan oleh responden
adalah 0,2098 kg dengan nilai median 0,200 kg/hari,
sedangkan laju konsumsi air digunakan angka standar
yaitu 2 L/hari.Secara deskriptif, laju konsumsi ikan
berpengaruh terhadap tingkat risiko kesehatan
responden. Rata-rata durasi pajanan responden adalah
26,62 tahun dengan nilai median 30 tahun. Secara
deskriptif, durasi pajanan berpengaruh terhadap
tingkat risiko kesehatan responden. Rata-rata RQ
pajanan 30 tahun adalah 1,1422 dengan nilai median
1,1477, dengan jumlah responden berisiko terhadap
26

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 21-28

efek non karsinogen adalah 55 orang. Sedangkan


rata-rata RQ pajanan 70 tahun adalah 0,4895 dengan
nilai median 0,4919, dengan jumlah responden
berisiko terhadap efek karsinogen adalah 5 orang.
Manajemen pengurangan yang dapat dilakukan
adalah menurunkan konsentrasi merkuri pada ikan,
mengurangi laju konsumsi ikan dan membatasi durasi
pajanan. Jenis ikan yang disarankan untuk dikurangi
laju konsumsi dan durasi pajanannya adalah ikan
Laligo peali, sedangkan jenis ikan yang paling aman
untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi.

kesehatannya dapat dikurangi. Dan bagi pemerintah


dan instansi terkait dapat melakukan pangawasan
yang ketat terhadap kegiatankegiatan di lokasi
penambangan emas yang dapat mencemari
lingkungan, melakukan pemantauan secara rutin
tentang konsentrasi merkuri dalam air minum dan
ikan yang dikonsumsi masyarakat serta melakukan
penyuluhan secara rutin tentang bahaya merkuri dan
dampaknya bagi kesehatan, sehingga masyarakat
mengetahui dan menyadari bahaya yang dihadapinya.
Manajemen pengurangan yang dapat dilakukan
adalah menurunkan konsentrasi merkuri pada ikan,
mengurangi laju konsumsi ikan dan membatasi durasi
pajanan. Jenis ikan yang disarankan untuk dikurangi
laju konsumsi dan durasi pajanannya adalah ikan
Laligo peali, sedangkan jenis ikan yang paling aman
untuk dikonsumsi adalah ikan Decapterus muroadsi.

SARAN
Penelitian ini menyarankan kepada masyarakat
kecamatan Bulawa, agar membatasi laju konsumsi
dan frekwensi konsumsi ikan laut terutama ikan
Laligo pealii yang ditangkap di perairan Bulawa,
sehingga
risiko pajanan
merkuri
terhadap

Malaka

T.1996.Biomonitoring,
Proceeding
Simposium Pemantauan Biologik Dalam
Proteksi Kesehatan Tenaga Kerja. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rahman A. 2007.PUBLIC HEALTH ASSESSMENT:
Model Kajian Prediktif Dampak Lingkungan
dan Aplikasinya untuk Manajemen Risiko
Kesehatan. Jakarta: Pusat Kajian Kesehatan
Lingkungan dan Industri Universitas
Indonesia.
Sukman. 2003. Hubungan Pola Konsumsi Ikan
Dengan Kadar Merkuri Dalam Darah
Masyarakat Desa Ratatotok Kecamatan
Belang Kabupaten Minahasa Utara Provinsi
Sulawesi
Utara.
Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sudarmaji. 2004.Konsumsi Ikan Laut, Kadar Merkuri
Dalam Rambut, dan Kesehatan Nelayan di
Panati Kenjeran Surabaya. Jurnal Manusia
dan Lingkungan November 2004;XI(3).
UNEP. 2008. Mercury Fate and Transport in the
Global Atmosphere : Measurements, Models
and Policy Implications. Italy: United Nation
Environment Programme
US-EPA.1997.Exposure Factor Handbook: National
Center for Environmental Assesment United
States Environmetal Protection Agency.
WHO. 1990.Environmental Health Criteria 101 :
Methyl Mercury Geneva: International
Programe on Chemical Safety (IPCS) World
Heath Organization.
WHO. 2003.Elemental Mercury and Inorganic
Mercury Compounds : Human Health
Aspects. Geneva: International Programe on

DAFTAR PUSTAKA
Alfian Z.2006 Merkuri : Antara Manfaat dan Efek
Penggunaannya Bagi Kesehatan Manusia
dan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Kimia
Analitik Fakultas MIPA; Universitas
Sumatera Utara.
ATSDR. 1999.Toxicological Profile for Mercury.
Atlanta: U.S. Departement of Health and
Human Sevices : Public Health Services
Agency for Toxic Substances and Disease
Registry;
1999.
Available
from:
http://www.atsdr.cdc.gov/ToxProfiles/TP.asp
?id=115&tid=24.
Balihristi. 2008a.Profil Sungai Gorontalo. Gorontalo:
Badan Lingkungan Hidup, Riset dan
Teknologi Informasi (Balihristi) Provinsi
Gorontalo
Balihristi.2008b.Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan
Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di
Provinsi Gorontalo. Gorontalo: Badan
Lingkungan Hidup, Riset dan Teknologi
Informasi (Balihristi) Provinsi Gorontalo.
BSN. 2009.Standar Nasional Indonesia : Batas
Maksimus Cemaran Logam Berat Dalam
Pangan.
Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional.
Depkes. 2002. Permenkes 907 tahun 2002 :
Persyaratan Kualitas Air Minum. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hartono B. 2006. Distribusi Risiko Kesehatan Logam
Merkuri di Lokasi Pertambangan Emas
Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi
Sulawesi Utara Tahun 2004. Jakarta:
Universitas Indonesia.
27

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Chemical Safety (IPCS) World Health


Organization.
WHO. 2006.Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan
Manusia dan Lingkungan (Hazardous

Chemicals in Human and Environmental


Health). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

28

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 29-34

Artikel V

FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN


TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SOMBA OPU
KABUPATEN GOWA TAHUN 2011
Enviromental Risk Factors For Incident Pulmonary Tuberculosis In The Working Area
Of Local Goverment Clinic Of Somba Opu, Gowa Regency 2011
Nisgunawan Sidiq1, Wahiduddin1 Dian Sidik1
1
Jurusan Epidemiologi FKM Unhas, Makassar
(nawank88@yahoo.co.id)
ABSTRAK
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kejadian TB paru.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko kondisi lingkungan terhadap kejadian
TB paru di Kabupaten Gowa. Kabupaten Gowa, khususnya Puskesmas Somba Opu mencatat
dari tahun 2009 mengalami BTA positif sebanyak 84 orang. Tahun 2010 mengalami BTA
positif sebanyak 101 orang. Sedangkan tahun 2011 tercatat dari Januari sampai September
jumlah penderita TB paru dengan BTA positf sebanyak 116 orang. Jenis penelitian yang
digunakan adalah observasional dengan pendekatan Case Control Study. Populasinya adalah
penderita TB paru yang tercatat di kartu registrasi pasien di Puskesmas Somba Opu Tahun
2011. Sampel penelitian ini adalah penderita TB paru dan tetangga pasien TB paru yang
pernah berkunjung ke Puskesmas Somba Opu. Pengambilan sampel pada kelompok kasus
menggunakan Exhaustive Sampling dan pada kelompok kontrol menggunakan Purposive
sampling dengan besar sampel 130. Perbandingan kasus dengan kontrol 1 : 1. Analisis data
yang dilakukan adalah univariat dan bivariat dengan uji odds ratio (OR). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari 4 variabel yang diteliti rumah yang padat bukan merupakan faktor
risiko (OR = 0.775), kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko
(OR= 2.974), pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat bukan merupakan faktor risiko
(OR= 1.070),ventilasi rumah yang kurang bukan merupakan faktor risiko (OR= 1.220).
Disarankan perbaikan ventilasi udara guna mengurangi risiko dari faktor lingkungan lainnya
(kelembaban, pencahayaan, kepadatan hunian rumah), khususnya kelompok kasus yang tidak
memenuhi syarat kesehatan terhadap kejadian TB paru di wilayah Puskesmas Somba Opu
Kabupaten Gowa.
Kata Kunci
: Tuberkulosis, Lingkungan Rumah dan Ventilasi.
ABSTRACT
Environment is one factors that led to the cases of pulmonary TB. This research
aimed to determine the risk of environmental conditions on the case of pulmonary
tuberculosis in Gowa. Gowa Regency, especially in Local Government of Sombu Opu
reported that from 2009 it had been 85 people with BTA positive. In 2010, there were 101
people with BTA positive. While in 2011, it was reported that from January to September
there were 116 people with BTA positive. This study used observational method with Case
Control Study. Populations of research were pulmonary tuberculosis patients registered in
the patient registration card at the Local Government Clinic of Somba Opu in 2011. Samples
of this research were pulmonary tuberculosis patients and their neighbors who had been to
the Local Government Clinic of Somba Opu. Samples were selected through Exhaustive
Sampling for the case group and Purposive Sampling for the control group with 130 samples.
Ratio between both groups were 1:1. Data analysis was done through univariate and
bivariate analysis with Odds Ratio (OR) test. The result of research shows that 4 variables
observed, a house with high density is not included as a risk factor (OR=0775), house
humidity does not qualify as a risk factor (OR=2974), home lighting is not a risk factor
(OR=1070), and the lack of home ventilation is not a risk factor (OR=1220). This research
suggest the reparation of air ventilation in order to decrease other environmental factors
(humidity, lighting, house density), especially for case group that dont fulfill the health
condition for pulmonary tuberculosis case in Local Government Clinic of Somba Opu, Gowa
Regency.
Keyword : Tuberculosis, Residential Environment and Ventilation
29

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

= 4,921), jenis lantai (OR = 2,890), dan kontak


dengan penderita (OR = 4,957).
Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah
faktor risiko lingkungan tersebut berperan dalam
peningkatan kejadian TB paru di wilayah yang
berbeda.

PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh kuman Mycobaterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman tuberkulosis
menyerang paru-paru, namun dapat juga menyerang
organ lain yang ada pada tubuh manusia. Sumber
penularan adalah dahak dari penderita yang
mengandung kuman TB dengan BTA positif. Bila
tidak segera ditangani akan menyebabkan penderita
meninggal dunia. Di Indonesia, penanganan sejak
dini sudah dilakukan dengan memberikan paket
imunisasi BCG pada balita.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor
yang memberikan pengaruh besar terhadap status
kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003).
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang
berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis.
Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam
bahkan sampai beberapa hari hingga bermingguminggu tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan
kepadatan penghuni rumah (Nurhidayah dkk., 2007).
Kabupaten Gowa, khususnya Puskesmas Somba
Opu mencatat dari tahun 2009 jumlah suspek TB
sebanyak 825 orang dan yang mengalami BTA
positif sebanyak 84 orang dengan jumlah kematian
(mortaliti) sebanyak 2 orang. Tahun 2010 dari hasil
pencatatan dan pelaporan jumlah suspek TB
sebanyak 1.021 orang namun yang mengalami BTA
positif sebanyak 101 orang dan meninggal sebanyak
3 orang. Sedangkan tahun 2011 tercatat dari bulan
Januari sampai September jumlah penderita TB paru
dengan BTA positf sebanyak 116 orang dengan
jumlah yang sembuh sebanyak 37 orang, drop out 4,
meninggal dunia sebanyak 2 orang dan masih dalam
tahap pengobatan sebanyak 73 orang.
Hasil penelitian Firdiana (2007) di wilayah kerja
Puskesmas Kedungmundu Kecamatan Tembalang
Semarang menyatakan bahwa ada hubungan yang
signifikan terhadap luas ventilasi keluarga (OR =
2,33), luas ventilasi ruang tidur (OR = 3),
pencahayaan ruang tidur ( OR = 4). Pada penelitian
Simbolom (2006) di Kabupaten Rejang lebong
menyatakan bahwa adanya sumber kontak (OR =
2,263), luas ventilasi rumah kurang dari 10% luas
lantai (OR = 4,907), tidak adanya pencahayaan yang
masuk ke rumah (OR = 5,008). Sedangkan pada
penelitian Ruswanto (2010) dalam tinjauan TB paru
dari faktor lingkungan dalam dan luar rumah di
Kabupaten Pekalongan menyatakan hasil analisis
multivariat menunjukkan faktor risiko tuberkulosis
paru yaitu kepadatan penghuni (OR = 2,989), suhu
dalam rumah (OR = 3,471), pencahayaan alami (OR

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai
Januari 2012. Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian
observasional
analitik
dengan
menggunakan rancangan case control study. Populasi
dalam penelitian ini adalah pasien yang berkunjung
ke Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa. Jenis
penarikan sampel pada penelitian ini terdiri atas dua
penarikan, dimana kelompok kasus dengan
menggunakan penarikan sampel Exhaustive sampling
dan kelompok kontrol dengan menggunakan
Purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini
adalah 130 responden yang terdiri atas 65 kasus dan
65 kontrol dengan perbandingan 1 : 1.
Data Primer diperoleh dengan melakukan
wawancara langsung terhadap sampel yang terpilih
baik untuk kasus maupun kontrol dengan
menggunakan kuesioner yang tersedia. Selain itu
dilakukan pengukuran kelembaban dan pencahayaan
rumah penderita TB paru dengan alat Hygrometer
dan Luxmeter. Data sekunder berupa identitas pasien,
diagnosis awal pasien, lama pengobatan dan riwayat
pengobatan pasien diperoleh dari rekam medik atau
kartu pengobatan penderita TB paru di Puskesmas
Somba Opu. Pengolahan data dilakukan secara
elektronik dengan menggunakan komputer program
SPSS (Statistical Package and Social Siences).
Model analisis data yang dilakukan adalah analisis
univariat dan bivariat. Data yang telah dianalisis
disajikan dalam bentuk tabel distribusi, grafik dan
narasi untuk mengetahui besar risiko kondisi
lingkungan rumah penderita TB paru terhadap
kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Somba
Opu.
HASIL
Pada penelitian ini ada perubahan jumlah sampel
yang awalnya 146 (kasus dan kontrol) menjadi 130
jumlah sampel, hal ini disebabkan karena 8 respon
kasus mengalami Drop Qut (DO) dengan alasan 2
orang yang meninggal, 1 orang yang pindah, 2
responden kasus bertempat tinggal dalam satu rumah
serta 3 orang responden tidak diketahui alamatnya
dan tidak melakukan pengobatan dengan berkunjung
ke Puskesmas tersebut.

30

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 29-34

orang (53,8%) dibandingkan perempuan yaitu 60


orang (46,2%). Dari responden yang diwawancarai
baik yang TB Paru Positif dan yang tidak TB Paru
sebagian diantaranya berada pada rentang umur 4044 tahun sebanyak 20 orang (15,4%) dan terendah
yaitu rentang umur 15-19 tahun sebanyak 3 orang
(2,3%). tingkat pendidikan terakhir responden yang
diwawancarai paling banyak SLTA yaitu sebanyak
58 orang atau 44,6 % sedangkan paling sedikit yang
berpendidikan tidak tamat SD yaitu 4 orang atau
3,1%.
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari beberapa
responden baik kasus dan kontrol terhadap kejadian
TB Paru menunjukkan kebanyakan tidak bekerja
yaitu 51 orang (39.2%). Diikuti oleh wiraswasta
sebanyak 21 orang (16.2%) dan paling sedikit jenis
pekerjaannya sebagai petani sebanyak 2 orang
(1.5%). sebagian besar responden memiliki jenis
rumah permanen sebanyak 126 orang (96,9%) terdiri
dari 62 orang (95.4%) responden kasus dan 64 orang
(98.5%) responden kontrol. Dan diikuti jenis rumah
semi permanen sebanyak 4 orang (3.1%) yang
dimana kasus sebanyak 3 orang (4.6%) dan kontol
sebanyak 1 orang (1.5%). Sebagian Responden telah
lama tinggal di rumahnya selama lebih dari 10 tahun
sebanyak 97 orang (74.6%) yang dimana terdiri dari
48 orang (73.8%) responden kasus dan 49 orang
(75.4%) responden kontrol. 8 sebagian besar
responden memiliki jumlah kamar sebanyak dua
yakni sebesar 85 orang (66.2%) terdiri 39 orang
(60.0%) responden kasus dan 47 orang (72.3%)
responden kontrol. Sedangkan yang paling sedikit
adalah jumlah kamar sebanyak satu yaitu 1 orang
(0.8%) dan 1 orang (0.8%) tidak memiliki
kamar,semuanya merupakan responden kasus.
Analisis Univariat
Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus hampir sebagian besar memilki hunian yang
padat yaitu 48 orang (73.8%) dan memiliki hunian
tidak pada yaitu sebanyak 17 orang (26.2%). Pada
kelompok kontrol hampir sama dengan kelompok
kasus sebagian besar memiliki hunian yang padat
yaitu 51 orang (78.5%) dan memiliki hunian tidak
padat sebanyak 14 orang (21.5%). Menunjukkan
bahwa paling banyak responden yang tinggal pada
rumah dengan kelembaban ruangan yang memenuhi
syarat kesehatan sebanyak 95 orang (73.1%).
Terdapat 35 (26.9%) yang tidak memenuhi syarat
dimana kelompok kasus sebanyak 24 orang (36.9%)
dan kelompok kontrol sebanyak 11 orang (16.9%)
yang dimaksudkan tidak memenuhi syarat jika
kelembaban kurang dari 40% atau lebih dari 70%.
menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki intensitas pencahayaan rumah yang kurang
sebanyak 85 orang (65.4%). Dimana kelompok kasus
sebanyak 43 (66.2%) dan kelompok kontrol sebanyak

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden di


Wilayah Kerja Puskesmas Somba Opu
Kabupaten Gowa Tahun 2011
Karakteristik
n
%
Kelompok Umur (Tahun)
15-19
3
2.3
20-24
9
6.9
25-29
15
11.5
30-34
14
10.8
35-39
13
10.0
40-44
20
15.4
45-49
11
8.5
50-54
13
10.0
55-59
15
11.5
60-64
10
7.7
> 65
7
5.4
Jenis Kelamin
Laki-laki
70
53.8
Perempuan
60
46.2
Pendidikan
Tidak Tamat SD
4
3.1
Tamat SD
14
10.8
SLTP
34
26.2
SLTA
58
44.6
Perguruan Tinggi
20
15.4
Pekerjaan
PNS
16
12.3
Pegawai Swasta
14
10.8
Wiraswasta
21
16.2
Pensiunan
15
11.5
Pelajar/Mahasiswa
7
5.4
Petani
2
1.5
Buruh
3
2.3
Tidak kerja
51
39.2
Lainnya
1
0.8
Jenis Rumah
Panggung
Permanen
Semi Permanen
Lama Tinggal
< 5 tahun
5-10 tahun
> 10 tahun
Jumlah Kamar
Tidak Ada
Satu
Dua
Tiga
Empat

0
126
4

0
96.9
3.1

1
32
97

0.8
24.6
74.6

1
1
85
36
6

0.8
0.8
66.2
27.7
4.6

Sumber : Data Primer, 2011


Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah responden
yang diwawancarai lebih banyak laki-laki yaitu 70
31

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

42 (64.6%). Maksud dari kurang yaitu ketika


intensitas cahaya yang masuk ke dalam rumah kurang
dari 60 lux.menunjukkan bahwa pada kelompok
kasus 7.7% responden memiliki ventilasi udara yang
cukup. Persentase tersebut lebih sedikit dibandingkan
dengan responden yang memiliki ventilasi yang
kurang. Begitupun pada kelompok kontrol lebih
banyak keadaan ventilasi yang kurang yaitu sebanyak
90.8%.
Analisis Bivariat
Tabel 2 menunjukkan Hasil analisis bivariat
untuk variabel kepadatan hunian terhadap kejadian
TB paru pada tingkat kepercayaan (CI) = 95%
diperoleh hasil lower limit = 0.345 dan upper limit =
1.742 (0.345<OR<1.742), dan nilai OR 0.775.
Namun secara statistik karena lower limit dan upper
limit mencakup nilai satu, maka Ho diterima,
sehingga nilai OR = 0775, sehingga nilai OR = 0.775
dianggap tidak signifikan. Dengan kata lain pada
penelitian ini rumah dengan hunian yang padat bukan
merupakan faktor risiko kejadian TB Paru.
Tabel 2 Hasil analisis bivariat untuk variabel
kelembaban terhadap kejadian TB paru pada tingkat
kepercayaan (CI) = 95% diperoleh hasil lower limit =
1.264 dan upper limit = 6.531 (1.264<OR<6.531),
dan nilai OR 2.874, sehingga variabel kelembaban
dianggap signifikan terhadap kejadian TB paru.
Dengan kata lain pada penelitian ini rumah dengan
kondisi kelembaban yang tidak memenuhi syarat
merupakan faktor risiko kejadian TB Paru.

Tabel 2 Hasil analisis bivariat untuk variabel


pencahayaan terhadap kejadian TB paru pada tingkat
kepercayaan (CI) = 95% diperoleh hasil lower limit =
0.520 dan upper limit = 2.205 (0.520<OR<2.205),
dan nilai OR 1.070. Namun secara statistik karena
nilai lower limit dan upper limit mencakup nilai satu,
maka Ho diterima sehingga nilai OR = 1.070
dianggap tidak signifikan. Dengan kata lain pada
penelitian ini rumah dengan pencahayaan yang tidak
memenuhi syarat bukan merupakan faktor risiko
kejadian TB Paru.
Tabel 2 Hasil analisis bivariat untuk ventilasi
udara dengan kejadian TB paru pada tingkat
kepercayaan (CI) = 95% diperoleh hasil lower limit =
0.353 dan upper limit = 4.217 (0.353<OR<4.217),
dan nilai OR sebesar 1.220. Secara statistik karena
nilai lower limit dan upper limit dibawah nilai satu,
maka Ho ditolak, sehingga nilai OR = 1.220
dianggap tidak signifikan. Dengan kata lain pada
penelitian ini ventilasi yang kurang bukan merupakan
faktor risiko kejadian TB Paru. Kepadatan Hunian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kepadatan hunian rumah tidak berisiko (OR = 0.775)
terhadap kejadian TB paru dan secara statistik juga
tidak signifikan karena lower limit dan upper limit
mencakup nilai satu. Hasil ini menunjukkan bahwa
ada faktor lain yang berisiko terhadap kejadian TB
paru. Faktor risiko tersebut bisa berasal dari faktor
lingkungan lainnya, perilaku maupun asupan gizi dari
penderita TB paru.

Tabel 2. Faktor Risiko Kondisi Lingkungan Rumah Terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Somba Opu Kabupaten Gowa Tahun 2011
Kejadian TB Paru Resisten
Uji Statistik
Jumlah
Variabel
Kasus
Kontrol
CI 95%
Penelitian
n
%
n
%
n
%
LL-UL
OR = 0.77
Kepadatan Hunian Rumah
Padat
48
73.8
51 78.5 99
40,0
(0.345-1.742)
Tidak Padat
17
26.2
14 21.5 31
60,0
Kelembaban Rumah
Tidak Memenuhi Syarat
24
36.9
11 16.9 35
26.9
OR= 2.874
Memenuhi Syarat
41
63.1
54 83.1
95 73.1
(1.264-6531)
Pencahayaan Rumah
Tidak Memenuhi Syarat
43
66.2
42 64.6 85
65.4
OR = 1.070
Memenuhi Syarat
22
33.8
22 35.4 45
34.6
(0,520-2.205)
Ventilasi Udara
Kurang
60
92.3
59 90.8 119 91.5
OR = 1.220
Cukup
5
7.7
6
9.2
11
8.5
(0.353-4.217)
Sumber : Data Primer, 2011
Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang
telah dilakukan oleh Sugiharto tahun 2004 yang
menemukan bahwa ada hubungan signifikan antara
kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB paru
dengan nilai OR=3.161, p=0.001. Begitupun dengan

penelitian yang dilakukan Tobing tahun 2009 di


Medan yang membuktikan bahwa kepadatan hunian
mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
peningkatan potensi penularan TB paru dimana nilai
OR sebesar 3.3 artinya potensi penularan TB paru 3.3
32

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 29-34

kali lebih besar pada penderita yang padat hunian


rumahnya.
Kelembaban Udara
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan
penderita TB paru yang lebih banyak yang tinggal
dirumah dengan kelembaban rumah yang memenuhi
syarat yaitu sebanyak 95 orang (73.1%) dimana
kelompok kasus sebanyak 41 orang (63.1%) dan
kelompok kontrol sebanyak 54 orang (83.1%). Hal
ini disebabkan karena luas rumah dan jumlah kamar
yang mempengaruhi kelembaban yang terjadi di
dalam rumah tersebut dan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian TB paru karena nilai OR > 1.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mulyadi
(2003) dalam Suarni (2009) di Kota Bogor yang
menunjukkan bahwa penghuni rumah yang memiliki
kelembaban ruang keluarga yang tidak memenuhi
syarat berisiko secara signifikan terkena TB paru
10.7 kali di banding penghuni rumah yang tinggal
pada perumahan yang memiliki kelembaban
memenuhi syarat.
Pencahayaan Rumah
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pencahayaan rumah memiliki faktor risiko (OR =
1.070) terhadap kejadian TB paru. Namun secara
statistik tidak signifikan karena nilai lower limit dan
upper limit mencakup nilai satu. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa tidak ada perbedaan
pencahayaan antara kelompok kasus dan kontrol
yang berpengaruh terhadap kejadian TB paru secara
umum. Hasil ini dipengaruhi oleh frekuensi
pengukuran yang dilakukan hanya sebanyak 3 titik
pada setiap tiap titik ruangan dengan ukuran (90 x
90) cm2. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan
kejenuhan terhadap responden ketika rumah
dilakukan pengukuran.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian
Atmosukarto
dan
Soeswati
(2000)
yang
membuktikan bahwa rumah dengan pencahayaan
yang kurang baik secara signifikan mempunyai
risiko menderita
tuberkulosis
3-7
kali
dibandingkan dengan rumah yang pencahayaan
baik. Begitupun dengan penelitian Pertiwi (2004)
dalam Adnani (2006) menunjukkan juga bahwa
penghuni rumah yang pencahayaannya tidak
memenuhi syarat secara signifikan akan mempunyai
risiko 2,5 kali terkena TB paru dibanding penghuni
yang pencahayaan rumahnya memenuhi persyaratan
di Jakarta Timur.
Ventilasi Rumah
Pada penelitian ini secara umum penderita TB
paru yang berobat ke Wilayah Puskesmas Somba

Opu Kabupaten Gowa memiliki ventilasi udara yang


cukup dengan jumlah 11 orang (8.5%) dimana
kelompok kasus 5 orang (7.7%) dan kelompok
kontrol 6
orang (9.2%).Hasil penelitian ini
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan
namun merupakan faktor risko karena nilai OR =
1.220 atau >1. Hal ini disebabkan pada waktu
dilakukan observasi langsung hampir seluruh
responden keadaan jendela rumah mereka
kebanyakan ditutupi oleh gorden dan sebagainaya,
meskipun secara pengukuran luas ventilasi telah
memenuhi syarat.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten
Banjarnegara mendapatkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara ventilasi rumah dengan
kejadian TB paru diperoleh nilai OR = 6,176,
p=0,003 (Tobing, 2009). Penelitian lain yang telah
dilakukan Tobing tahun 2009 di Tapanuli juga
mendapatkan bahwa ventilasi yang kurang berisiko
2,4 kali lebih besar untuk potensi penularan TB.

DAFTAR PUSTAKA
Adnani, H dan Asih Mahastuti. Hubungan Kondisi
Rumah dengan Penyakit TBC Paru di

Wilayah Kerja Puskesmas Karangmojo II


Kabupaten Gunungkidul Tahun 2003-2006.
Yogyakarta: Jurnal Kesehatan Surya Medika.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian beberapa faktor
risiko kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas
Somba Opu Kabupaten Gowa tahun 2011, maka
dapat disimpulkan bahwa rumah yang padat bukan
merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru,
kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat
merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB paru,
pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat
bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian TB
paru,ventilasi rumah yang kurang bukan merupakan
faktor risiko terhadap kejadian TB paru.
Pentingnya penyuluhan tentang ventilasi yang
cukup terutama penderita TB paru yang tinggal
dirumah yang padat huniannya, pencahayaan dan
kelembaban yang tidak memenuhi syarat guna
mencegah terjadinya keparahan penyakit TB paru
yang dapat mengakibatkan pengobatan yang
berlangsung lama atau menyebabkan kematian.
Selain itu ventilasi atau jendela harus selalu terbuka
setiap harinya terutama pagi hari agar cahaya
matahari dapat masuk ke dalam rumah guna
membunuh kuman-kuman TB. . Penderita TB paru
harus menjaga kontak terhadap keluargannya yang
sehat yaitu mengurangi kontak dengan keluarga
lainnya untuk sementara selama pengobatan terutam
kelompok yang rentan terhadap penularan yaitu bayi
dan lansia.

33

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Afnal.

2007. Analisis Faktor-faktor yang


Berhubungan dengan Keberhasilan Program
TB Paru Melalui Strategi DOTS di Wilayah
Kerja Puskesmas Caile Kecamatan Ujung
Bulu Kabupaten Bulukumba. Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Ashari. 2011. Analisis Kondisi Lingkungan Rumah
Penderita Tuberkulosis Paru Resisten di
Kota Makassar. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2000. Pengaruh
Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran
Tuberkulosis. Jakarta : Media Litbang
Kesehatan, Vo. 9 (4), Depkes RI.
Depkes RI. 1989. Pedoman petugas Pelaksanaan
pengobatan dalam program pemberantasan
penyakit TB paru. Jakarta: Dep. Kes RI,
Ditjen PPM & PLP.
Depkes RI. 1994. Pedoman pemeriksaan kuman TB
paru secara Mikroskopis dalam Program
Pemberantasan Penyakit TB paru. Jakarta:
Dep.Kes RI, Dirjen PPM & PLP.
Depkes
RI.
2000.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Depkes
RI.
2001.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Depkes
RI.
2002.
Pedoman
Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Dinkes Sulawesi Selatan. 2010. Profil
Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2009.
Dinkes Propinsi Jawa Tengah. 2000. Faktor Risiko
yang
Mempengaruhi
Kesembuhan
Pengobatan Penderita TB Paru di Jawa
Tengah, Laporan hasil penelitian (tahap II),
Dinkes Prop, Jawa tengah : Semarang.
Fatimah, Siti. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan
Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru di Kabupaten Cilacap (Kecamatan :
Sidareja, Cipari, Kedungreja, Patimuan,
Gandrungmangu, Bantasari). Semarang:
Program
Pascasarjana
Universitas
Diponegoro.
Firdiana, Cahyati Hary W. 2007. Hubungan Antara
Luas Ventilasi dan Pencahayaan Rumah
dengan Kejadian Tuberculosis Paru Anak di

Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu


Kecamatan
Tembalang.
Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Karno. 2010. Studi Tentang Keadaan Sanitasi Rumah
Penderita TB Paru di Desa Banjarejo
Kecamatan Panekan Kabupaten Magetan.
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes
Volume 1 Nomor 2.
Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Prinsip-prinsip Dasar. Rineka Cipta : Jakarta
Nurhidayah, Ikeu. Lukman, Mamat. Rakhmawaty,
Windy.
2007.
Hubungan
antara
Karakteristik Lingkungan Rumah dengan
Kejadian Tuberkulosis pada Anak di
Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang.
Bandung: Universitas Padjajaran.
Rusnoto, Rahmatullah P., Udiono A. 2006. FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Tb Paru pada Usia Dewasa. Kabupaten Pati:
Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit
Paru (BP4).
Ruswanto, Bambang.
2010. Analisis Spasial
Sebaran Kasus Tuberkulosis Paru Ditinjau
Dari Faktor Lingkungan Dalam dan Luar
Rumah di Kabupaten Pekalongan. Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro :
Semarang.
Suarni, Helda. 2009. Faktor Risiko Lingkungan
terhadap
Kejadian
Tuberkulosis
di
Kecamatan Pancoran Mas Tahun 20082009. Universitas Indonesia. Jakarta
Teguh, M, dkk. 2008. Pengkajian Faktor Risiko
Lingkungan Perumahan Penderita TB Paru
di Kecamatan Peterongan Kabupaten
Jombang Tahun 2007. Surabaya: Buletin
Human Media Vol. 03 Nomor 01.
Tobing, Tonny Lumban. 2009. Pengaruh Perilaku
Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah
terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB
Paru pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli
Utara Tahun 2008. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
WHO, 1998. Global Tuberculosis Control, WHO
Report, Geneva.

34

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 35-42

Artikel VI

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRAKTIK HYGIENE


MENSTRUASI PADA SISWI SMA NEGERI 1 SESEAN KABUPATEN
TORAJA UTARA TAHUN 2012
Related Factors To Menstrual Hygiene Practices On Students In Sesean High
School North Toraja Regency 2012
Mariene W. Dolang 1, Rahma1 , Muhammad Ikhsan1
1
Bagian Biostatistik/KKB FKM Unhas Makassar
(Email : whiwiekdoll@yahoo.co.id)
ABSTRAK
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak dan masa
dewasa. Pada masa ini banyak perubahan yang terjadi, salah satunya menstruasi. Praktik
hygiene menstruasi yang baik perlu dilakukan ketika remaja mengalami menstruasi agar dapat
terhindar dari penyakit yang dapat mengganggu organ reproduksi. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan praktik hygiene menstruasi. Jenis
penelitian adalah penelitian Observational Analitik dengan rancangan Cross Sectional Study.
Sampel penelitian ini adalah siswi SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara sebanyak
174 siswi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proporsional stratified random
sampling. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 50,6% yang memiliki praktik hygiene yang
cukup dan yang memiliki praktik hygiene kurang sebanyak 49,4%. Terdapat hubungan antara
tingkat pendidikan ibu (p=0,000; =0,528), pengetahuan (p=0,000; =0,444), peran media
massa (p=0,010; =0,207), dan status sosial ekonomi (p=0,000; = 0,488) dengan personal
praktik hygiene menstruasi, sedangkan faktor jenis pembalut (p=1,000) dan usia menarche
(p=0,954) tidak memiliki hubungan dengan praktik hygiene menstruasi. Penelitian ini
menyarankan agar para remaja dapat meningkatkan praktik hygiene saat menstruasi dengan
cara membekali diri sebanyak-banyaknya dengan pengetahuan yang diperoleh baik dari
pencarian informasi melalui media massa, orang tua, keluarga, buku. Bagi orang tua (ibu)
untuk memberikan informasi mengenai praktik hygiene menstruasi saat anak memasuki usia
menarche.
Kata kunci : Remaja, Praktik Hygiene, dan Menstruasi
ABSTRACT
Teenage period is a phase of development from child period become mature period.
On this period many changing happened, one of that is menstruation. Good hygiene practice
of menstruation heed to applied when the teenager having menstruation so the disease which
can disturb the reproductive organs will be spared. This aim of the study to know the factors
which have a relation with the menstrual hygiene practices of students in sma negeri 1 sesean
District Sesean Regency North Toraja. Types of research is analytical observational with
cross sectional study. Samples are 174 students of sesean high school north toraja regency.
Sampling method of proporsional stratified random sampling. The result from research show
that 50,6% have sufficient hygiene practice and 49,4% have less hygiene practice. There is a
relation between level of mother education (p=0,000; =0,528), knowledge
(p=0,000; =0,444), the role of advertisement (p=0,010; =0,207), and socio economic
status (p=0,000; = 0,488) with the personal menstrual hygiene practices, while the factors
like kind of sanitary pad (p=1,000) and age of menarche (0,954) have no relation with the
menstrual hygiene practices. This research suggested that teenagers can increase hygiene
practices when menstruation by as much as possible to equip them selves wich knowledge
gained from searching the information the information through mass media, parents, families,
and book. For the parents (mother) to give the information about menstrual hygiene practices
when their child will be enter the age of menarche.
Keywords: Teenage, Hygiene Practices, dan Menstrual

35

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

dan kekurangan yang berpengaruh terhadap praktik


kebersihan saat menstruasi.
Informasi tentang menstruasi dan praktik
hygiene menstruasi sangat penting bagi seorang
reamaja putri. Anak perempuan yang tidak diajari
untuk menganggap menstruasi sebagai fungsi tubuh
normal dapat mengalami rasa malu dan dapat
menganggap bahwa hal tersebut adalah kotor sampai
masa dewasa (Ariyani, 2009). Banyak cara yang
dapat kita gunakan untuk mendapatkan informasi
tentang menstruasi dan praktik hygiene saat
menstruasi, salah satunya media massa. Dengan
adanya informasi yang diperoleh dari media massa
maka sangat mempengaruhi praktik hygiene
menstruasi. Maka perlu dilakukan penelitian dengan
judul faktor yang berhubungan dengan praktik
hygiene menstruasi pada siswi SMA Negeri 1 Sesean
Kecamatan Sesean Kabupaten Toraja Utara.

PENDAHULUAN
Masa
remaja
merupakan
suatu
fase
perkembangan antara masa kanak dan masa dewasa
yang berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun.
Pada masa ini banyak perubahan yang terjadi, seperti
perkembangan biologis, psikologis, moral, agama,
kognitif, dan sosial (Sarwono, 2011).
Hasil sensus penduduk, jumlah penduduk
Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.326, sedangkan
jumlah penduduk yang tergolong remaja adalah
43.548.576 atau 18,33% dari seluruh penduduk
Indonesia. Sedangkan untuk Pulau Sulawesi jumlah
penduduknya 17.371.782 dengan jumlah penduduk
yang tergolong remaja sebanyak 3.380.547 atau
19,46% dari seluruh penduduk Sulawesi (BPS,
2011).
Menstruasi/haid adalah keluarnya darah dari
kemaluan. Pada saat menstruasi, pembuluh darah
dalam rahim sangat mudah terkena infeksi. Di daerah
yang cukup panas membuat tubuh berkeringat,
keringat ini meningkatkan kadar kelembaban tubuh,
terutama pada organ seksual dan reproduksi yang
tertutup dan berlipat. Akibatnya bakteri mudah
berkembang biak dan ekosistem vagina terganggu
sehingga menimbulkan bau tak sedap dan infeksi
(Sari, 2009). Menjaga kesehatan organ reproduksi
pada wanita diawali dengan menjaga kebersihan
organ kewanitaan (Wardhani, 2011). Masalah
kebersihan yang terkait dengan menstruasi umumnya
lebih parah terjadi di negara-negara berkembang.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan, dapat
diketahui bahwa kurangnya kebersihan saat
menstruasi banyak terjadi pada negara di Afrika dan
Asia (Ten, 2007).
Sampai saat ini fenomena praktik hygiene
menstruasi pada remaja masih tergolong rendah. Hal
tersebut terjadi karena banyak masyarakat yang
masih menganggap bahwa menstruasi adalah hal
yang sangat pribadi dan jarang dibahas di depan
umun atau diajarkan secara terbuka (Aniebue, 2009).
Praktik hygiene saat menstruasi yang buruk dapat
meningkatkan kerentanan terjadinya Infeksi saluran
reproduksi dan dapat timbul penyakit-penyakit yang
berkaitan dengan infeksi alat reproduksi, seperti
kandidosis, vaginitis, trichomoniasis, leukorea,
pedikulosis, dan toxic syok syndrome (TSS).
Penggunaan kain bekas yang tidak tepat sebagai
bahan penyerap yang digunakan saat menstruasi juga
mempengaruhi infeksi pada alat reproduksi wanita
(Dhingra, 2009).
Pembalut adalah alat untuk yang digunakan
untuk menampung darah yang keluar dari dalam
organ reproduksi yang terdiri dari dua jenis pembalut
tradisional dan pembalut modern (Wardhani, 2011).
Kedua jenis pembalut tersebut memiliki kelebihan

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1
Sesean Kabupaten Toraja Utara. Jumlah siswa
sebanyak 457 Siswa, dimana jumlah perempuan
sebanyak 304 dan laki-laki sebanyak 153 siswa.
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari tanggal 3
Februari sampai dengan 13 Februari 2012. Penelitian
ini merupakan penelitan observational analitik
dengan rancangan Cross Sectional Study. Populasi
dari penelitian ini adalah seluruh siswi SMA Negeri
1 Sesean Makassar masih aktif mengikuti proses
belajar-mengajar, yaitu sebesar 304 siswi. Penarikan
sampel dengan metode proporsional stratified
random sampling, yaitu teknik yang digunakan bila
populasi mempunyai anggota/unsur yang tidak
homogen dan berstrata secara proporsional.
Menentukan jumlah sampel untuk masing-masing
tingkatan kelas, yaitu sebesar 174 siswi. Model
analisis data yang dilakukan adalah analisis univariat
dan bivariat. Data yang telah dianalisis disajikan
dalam bentuk tabel distribusi dan komparatif dua
sampel dengan data berskala nominal dalam bentuk
tabulasi silang yang dihitung dengan menggunakan
rumus Yates Correction (Hasan, 2010).
HASIL
Karakteristik Responden
Karakteristik responden dalam penelitian ini
mencakup, umur, tingkatan kelas, pekerjaan orang
tua. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel
1 yang menunjukkan bahwa distribusi responden
berdasarkan sebaran umur dengan persentase
tertinggi berada pada umur 16 tahun yaitu sebanyak
53 siswi sedangkan yang terendah berada pada umur
16 dan 19 tahun yaitu sebanyak 1 siswi. Untuk
tingkatan kelas didapatkan bahwa responden
36

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33

terbanyak terdapat di kelas XI sebesar 35,6% dan


Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan
Karakteristik Umum di SMA Negeri 1
Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun
2012
Karakteristik
n
%
Umur Responden
(Tahun)
7
4,0
14
50
28,7
15
53
30,5
16
46
26,4
17
17
9,8
18
1
0,6
19
Tingkatan Kelas
X
60
34,5
XI
62
35,6
XII
52
29,9
174
100
Total
Sumber: Data Primer 2012

tersedikit pada kelas XII sebesar 29,9%.


Menarche adalah usia saat pertama kali
mendapatkan menstruasi. Usia menarche pada setiap
remaja berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang
lambat. Remaja yang mengalami menarche di usia
reamaja awal dan mempunyai pengetahuan yang
masih kurang tentang menstruasi dapat menyebabkan
kurangnya kesadaran mengenai pentingnya perilaku
hygiene menstruasi. Sedangkan Remaja yang
mengalami menarche di usia lebih tua dan mungkin
sudah mendapatkan pengetahuan dan informasi
mengenai hygiene menstruasi dapat menyebabkan
perilaku hygiene menstruasi yang lebih baik. Tabel 3
menunjukkan bahwa dari 56 responden yang
memiliki usia menarche cepat/normal terdapat
sebesar 51,8% yang memiliki praktik hygiene
menstruasi yang cukup dan hasil ini hampir sama
dengan responden yang memiliki usia menarche
lambat dan praktik hygiene menstruasi yang cukup,
yaitu sebesar 50,0% dari 118 responden.
Dari hasil analisis untuk melihat hubungan
antara praktik hygiene mestruasi dengan usia
menarche menggunakan uji statistik dengan tes
Continuity Correction dengan nilai p = 0,954. Karena
nilai p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak.
Artinya tidak ada hubungan antara usia menarche
yang digunakan dengan praktik hygiene menstruasi.
Tingkat pendidikan ibu dalam penelitian ini
adalah menyelesaikan jenjang pendidikan di suatu
sekolah sampai akhir dan mendapatkan tanda tamat
atau ijazah. pendidikan yang dimiliki oleh seorang
ibu dapat mempengaruhi banyaknya informasi yang
dapat diberikan kepada remaja tentang praktik
hygiene tentang menstruasi.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 58 responden
yang mempunyai tingkat pendidikan ibu yang tinggi
terdapat sebanyak 89,7% yang memiliki praktik
hygiene menstruasi cukup dibandingkan dengan
responden yang mempunyai tingkat pendidikan ibu
yang rendah hanya terdapat sebesar 31,9% yang
memiliki praktik hygiene menstruasi cukup dari 116
responden.
Hasil analisis untuk melihat hubungan antara
praktik hygiene menstruasi dengan tingkat
pendidikan ibu menggunakan uji statistik dengan tes
Continuity Correction diperoleh nilai p = 0,000.
Karena nilai p < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha
diterima. Artinya ada hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi.
Untuk mengetahui kekuatan hubungan antara tingkat
pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi
diperoleh nilai = 0,528 (52,8%) yang berarti
hubungan kuat.
Pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh responden yang berhubungan dengan
menstruasi, hygiene menstruasi, dan akibat jarang

Analisis Univariat
Tabel 2 menunjukkan bahwa responden
memiliki praktik hygiene menstruasi yang cukup
(50,6%). Berdasarkan jenis pembalut yang digunakan
oleh responden, yang paling banyak adalah
menggunkan pembalut modern (86,8%). Usia
menarche terbanyak adalah usia menarche lambat
(67,8%). Pada tingkat pendidikan ibu lebih dari
setengah responden memiliki ibu dengan tingkat
pendidikan yang rendah (66,7%). Kebanyakan
responden memiliki tingkat pengetahuan yang
kurang (58,0%). Berdasarkan peran media massa,
responden yang memiliki peran media massa yang
kurang (51,1%) hampir sama dengan responden yang
memiliki peran media massa yang cukup (48,9%).
Sedangkan untuk tingkat sosial ekonomi keluarga,
lebih banyak responden berasal dari keluarga dengan
tingkat sosial ekonomi rendah (73,6%).
Analisis bivariat
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari dari 151
responden yang menggunakan pembalut modern
terdapat sebesar 50,3% yang memiliki praktik
hygiene menstruasi yang cukup dan hasil yang tidak
jauh beda dengan responden yang menggunakan
pembalut tradisional/kombinasi dan memiliki praktik
hygiene menstruasi yang cukup, yaitu sebesar 52,2%
dari 23 responden. Hasil analisis untuk melihat
hubungan antara praktik hygiene mestruasi dengan
jenis pembalut menggunakan uji statistik dengan
Continuity Correction dengan nilai p = 1,000. Karena
nilai p > 0,05 maka Ho diterima dan Ha ditolak.
Artinya tidak ada hubungan antara jenis pembalut
yang digunakan dengan praktik hygiene menstruasi.
37

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

mengganti pembalut. Sebuah teori diketahui bahwa


memungkinkan orang tersebut melakukan hal-hal
pengetahuan mempunyai kontribusi yang besar
yang menguntungkan dan mendatangkan manfaat
dalam mengubah perilaku seseorang untuk berbuat
bagi dirinya dari informasi yang didapatkannya.
sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Deskriptif Variabel Penelitian
Pada Siswi di SMA Negeri 1 Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun
2012
Deskriftif Variabel Penelitian
Jumlah
Persen
Praktik Hygiene Menstruasi
Cukup
88
50,6
Kurang
86
49,4
Jenis Pembalut yang Digunakan
Pembalut Modern
151
86,8
Pembalut Tradisional
4
2,3
Pembalut Kombinasi
19
10,9
Usia Menarche
Cepat
1
0,6
Normal
55
31,6
Lambat
118
67,8
Tingkat Pendidikan Ibu
Tinggi
58
33,3
Rendah
116
66,7
Pengetahuan
Cukup
73
42
Kurang
101
58
Peran Media Massa
Cukup
85
48,9
Kurang
89
51,1
Status Sosial Ekonomi Keluarga
Tinggi
46
26,4
Rendah
128
73,6
Sumber: Data Primer 2012
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 73 responden
yang mempunyai tingkat pengetahuan yang cukup
terdapat sebesar 76,7% memiliki praktik hygiene
menstruasi yang cukup sedangkan dari 101
responden yang mempunyai tingkat pengetahuan
yang kurang hanya terdapat sebesar 31,7% memiliki
praktik hygiene menstruasi yang cukup.
Hasil analisis untuk melihat hubungan antara
praktik hygiene menstruasi dengan pengetahuan
menggunakan uji statistik dengan tes Continuity
Correction diperoleh nilai p = 0,000. Karena nilai p <
0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada
hubungan antara pengetahuan responden dengan
praktik hygiene menstruasi. Untuk mengetahui
kekuatan hubungan antara pengetahuan dengan
praktik hygiene menstruasi diperoleh nilai = 0,444
(44,4%) yang berarti hubungan sedang.
Media massa adalah media yang digunakan oleh
responden untuk mendapatkan informasi-informasi
mengenai praktik hygiene menstruasi serta
dampaknya terhadap kesehatan reproduksi, baik yang
dibaca, ditonton maupun yang didengar. Jenis media
massa ini adalah radio, televisi, internet, dan media

cetak (majalah, tabloid, koran, buku, dll). Tabel 3


menunjukkan bahwa dari 85 responden yang
mempunyai peran media massa yang cukup terdapat
sebesar 61,2% yang memiliki praktik hygiene
menstruasi yang cukup dan hasil ini lebih besar dari
responden yang mempunyai peran media massa yang
kurang dan memiliki praktik hygiene menstruasi
yang cukup, yaitu sebesar 40,4% dari 89 responden.
Hasil analisis untuk melihat hubungan antara
praktik hygiene mestruasi dengan peran media massa
menggunakan uji statistik dengan tes Continuity
Correction diperoleh nilai p = 0,010. Karena nilai p <
0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya ada
hubungan antara peran media massa dengan praktik
hygiene menstruasi. Untuk mengetahui kekuatan
hubungan antara peran media massa dengan praktik
hygiene menstruasi diperoleh nilai = 0,207
(20,7%) yang berarti hubungan lemah.
Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang
keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang
ditinjau dari segi sosial ekonomi. Status sosial
ekonomi memegang peran penting dalam kempuan
38

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33

untuk memenuhi kebutuhan keluaraga, khususnya


kebutuhan saat menstruasi
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 46 responden
yang mempunyai status sosial ekonomi keluarga
yang tinggi terdapat sebesar 91,3% yang memiliki
praktik hygiene menstruasi yang cukup dibandingkan

dengan responden yang mempunyai status sosial


ekonomi keluarga yang rendah hanya terdapat
sebesar 35,9% yang memiliki praktik hygiene
menstruasi yang cukup dari 128 responden.

Tabel 3. Hubungan Antara Variabel Dengan Praktik Hygiene Menstruasi di SMA Negeri 1
Sesean Kabupaten Toraja Utara Tahun 2012
Praktik Hygiene
Jumlah
Variabel
Cukup
Kurang
Uji Statistik
Jenis Pembalut
Modern
Tradisional/kombinasi
Usia Menarche
Cepat/normal
Lambat
Tingkat Pendidikan Ibu
Tinggi
Rendah
Pengetahuan
Cukup
Kurang
Peran Media Massa
Cukup
Kurang
Status Sosial Ekonomi
Keluarga
Tinggi
Rendah
Sumber : Data Primer, 2012

nnn

nnn

76
12

50,3
52,2

75
11

49,7
48,7

151
23

100
100

p = 1,000

29
59

51,8
50,0

27
59

48,2
50,0

56
118

100
100

p = 0,954

51
37

87,9
31,9

7
79

12,1
68,1

58
116

100
100

p = 0,000
phi = 0,528

56
32

76,7
31,7

17
69

23,3
68,3

73
101

100
100

p = 0,000
phi= 0,444

52
36

61,2
40,4

33
53

38,8
59,6

85
89

100
100

p = 0,010
phi= 0,207

42
46

91,3
35,9

4
82

8,7
64,1

46
128

100
100

p = 0,000
phi= 0,488

bahwa dari 387 responden 49,35% menggunakan


pembalut softex, 45,74% menggunakan kain lama,
dan 4,90% yang menggunakan kain baru saat
menstruasi. Demikian juga pada penelitian yang
dilakukan oleh Allah (2011) didapatan bahwa 24,0%
anak perempuan yang menggunakan kain hanya
selama menstruasi dan 32,0% yang menggunakan
pembalut selama menstruasi.
Dari hasil penelitian juga didapatkan bahwa
masih terdapat beberapa responden yang masih
menggunakan pembalut tradisional atau kain pada
saat menstruasi. Mereka masih menggunakan
pembalut tradisional tersebut dengan beberapa
alasan, yaitu karena lokasi tempat tinggal yang tidak
memungkinkan menggunakan pembalut modern,
penggunaan pembalut tradisional dapat menghemat
biaya karena dapat dipakai kembali, dan penggunaan
pembalut modern dampat berdampak kepada
kesehatan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
El-Gilany (2005) mengatakan bahwa penggunaan
pembalut yang terbuat dari bahan yang dapat

Hubungan Antara Jenis Pembalut Dengan


Praktik Hygiene Menstruasi
Jenis pembalut pada penelitian ini adalah jenis
pembalut yang digunakan responden pada saat
mengalami menstruasi. Pembalut merupakan alat
untuk yang digunakan untuk menampung darah yang
keluar dari dalam organ reproduksi setiap bulannya.
Pembalut terdiri atas dua yaitu pembalut modern dan
tradisonal. Pembalut tradisional merupakan pembalut
yang terbuat dari kain sedangkan pembalut modern
merupakan pembalut sekali pakai.
Adapun hasil analisis yang diperoleh bahwa
tidak ada hubungan antara jenis pembalut yang
digunakan dengan praktik hygiene menstruasi. Hal
ini menunjukkan bahwa jenis pembalut yang
digunakan tidak dapat menentukan praktik hygiene
menstruasi seseorang.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Thakre (2011), yang
mengatakan bahwa ada hubungan antara jenis
pembalut dengan sikap terhadap menstruasi dan
praktek kebersihan. Dalam penelitian ini didapatkan
39

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

digunakan kembali, bisa mengakibatkan infeksi jika


cara membersihkan dan menyimpannya salah.
Hubungan Antara Usia Menarche Dengan
Praktik Hygiene Menstruasi
Usia menarche dalam penelitian ini adalah usia
responden saat pertama kali mendapatkan
haid/menstruasi. Menarche adalah siklus haid
pertama bagi seorang wanita. Menarche merupakan
hal yang sangat penting bagi seorang wanita dan
perlu mendapat perhatian khusus karena menarche
merupakan hal yang menandai awal kedewasaan
biologis seorang wanita. Usia menarche dapat
bervariasi pada setiap individu tergantung faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhinya.
Adapun hasil analisis yang diperoleh bahwa
tidak ada hubungan antara usia menarche dengan
praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan
bahwa usia menarche seseorang tidak dapat
menentukan praktik hygiene menstruasinya.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Anibue (2009) yang melihat
hubungan antara usia menarche dengan praktek
menstruasi dan kebersihan. Dan hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Omdivar (2010) di India Selatan yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara usia menarche dengan
praktik kebersihan saat menstruasi.
Hasil penelitian Indriastuti (2009) pendidikan
seputar menstruasi disarankan untuk diterapkan bagi
anak remaja perempuan yang belum mengalami
menstruasi sebagai salah satu cara untuk
menumbuhkan kesiapan menghadapi menarche.
Demikian juga pada penelitian yang dilakukan oleh
Dasgupta (2008) yang mengatakan bahwa
pengetahuan mengenai kebersian saat menstruasi
sebaiknya diberikan kepada remaja putri sebelum
mereka memasuki usia menarche.
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Ibu
Dengan Praktik Hygiene Menstruasi
Tingkat pendidikan ibu pada penelitian ini
adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh
ibu responden. Pendidikan sangatlah penting
peranannya dalam kehidupan bermasyarakat karena
pendidikan bertujuan untuk mengubah pengetahuan,
pendapat, sikap dan persepsi. Pendidikan juga sangat
mempengaruhi daya nalar seseorang sehingga
memungkinkan untuk menanggapi informasi yang
ada. Dengan memiliki pendidikan yang cukup maka
seseorang akan mengetahui mana yang baik dan
mana yang dapat menjadikan seseorang menjadi
berguna baik untuk dirinya sendiri maupun untuk
orang lain yang membutuhkannya.
Untuk itu pendidikan yang dimiliki oleh ibu
sangat dibutuhkan oleh anak, khususnya yang baru
memasuki usia remaja. Sebab orang tua dianggap
sebagai panutan bagi remaja dalam menghadapi

kehidupan ke depan dan juga dapat memberikan


berbagai pengetahuan dan juga informasi kepada
anak-anaknya mengenai praktek kebersihan saat
menstruasi.
Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa
ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan
praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan ibu dapat menentukan
praktik hygiene menstruasi anaknya. Selain itu,
terdapat juga hubungan yang kuat antara tingkat
pendidikan ibu dengan praktik hygiene menstruasi
Kuatnya hubungan antara praktik hygiene
menstruasi dengan tingkat pendidikan ibu karena
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang ibu
dapat mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki
seorang anak karena ibu dianggap sebagai orang
yang paling dekat, sehingga menyebabkan praktik
hygiene menstruasi menjadi baik.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Oche (2012) yang mengatakan
bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu
dengan kebersihan saat menstruasi. Dan tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Basir (2011),
yang melihat faktor yang berhubungan dengan
personal hygiene tentang menstruasi pada anak usia
menarche di SMP Negeri 8 Makassar. Dalam
penelitian ini dijelaskan bahwa setengah dari jumlah
responden memiliki ibu yang mempunyai tingkat
pendidikan yang cukup (52,8%). Akan tetapi hal
tersebut tidak berhubungan dengan personal hygiene
tentang menstruasi yang dimiliki responden.
Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Praktik
Hygiene Menstruasi
Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah segala sesuatu yang diketahui dan
dipahami oleh responden yang berhubungan dengan
menstruasi, hygiene menstruasi, dan akibat jarang
mengganti pembalut. Pengetahuan adalah hasil
pengindraan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya.
Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh
melalui indra pendengaran dan indra penglihatan.
Pengetahuan
seseorang
terhadap
objek
mempunyai intensitas atau tingkat yang berbedabeda. Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang
merupakan ukuran dalam memulai suatu tindakan.
Selain itu, pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh
pengalaman seseorang. Pengetahuan juga dapat
dipengaruhi oleh pengalaman seseorang. Berbagai
faktor- baik fisik maupun non fisik yang kemudian
pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan,
diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk
bertindak dan bersikap sehingga pada akhirnya
terjadi perwujudan niat berupa perilaku. Untuk itu,
pengetahuan mempunyai kontribusi yang besar
dalam mengubah perilaku seseorang untuk
40

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 28-33

melakukan sesuatu. Pengetahuan yang dimiliki


seseorang memungkinkan orang tersebut akan
melakukan hal yang bermanfaat bagi dirinya dari
informasi yang didapatkannya.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan
dengan menggunakan kuesioner, kebanyakan siswa
menjawab salah pada peranyaan mengenai apakah
pernah mendengar tentang praktik hygiene
menstruasi, pengertian praktik hygiene menstruasi,
frekuensi mengganti pembalut pada hari deras,
frekuensi mengganti pembalut pada hari terakhir, dan
pembersih apa digunakan untuk membasuh vagina
saat menstruasi.
Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa
ada hubungan antara tingkat pengetahuan dengan
praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan
pengetahuan yang dimiliki oleh responden dapat
menentukan praktik hygiene menstruasinya. Selain
itu, terdapat juga hubungan yang sedang antara
tingkat pendidikan ibu dengan praktik hygiene
menstruasi. Sedangnya kekuatan hubungan yang
dimiliki kerena kebanyakan para responden hanya
tahu tentang praktik hygiene menstruasi dan belum
memahami serta mengaplikasikannya pada saat
terjadinya menstruasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Egong (2005) yang mengatakan
bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan
praktik hygiene menstruasi. Pada penelitianya
disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan yang
dimiliki, maka semakin baik hygiene menstruasinya.
Hubungan Antara Peran Media Massa Dengan
Praktik Hygiene Menstruasi
Media massa dalam penelitian ini adalah media
yang digunakan oleh responden untuk mendapatkan
informasi-informasi mengenai praktik hygiene
menstruasi serta dampaknya terhadap kesehatan
reproduksi, baik yang dibaca, ditonton maupun yang
didengar. Jenis media massa ini adalah radio, televisi,
internet, dan media cetak.
Era globalisasi informasi saat ini, media massa
tidak dapat ditinggalkan untuk ikut serta dalam
menyampaikan informasi penting kepada masyarakat
umumnya dan remaja khususnya. Media massa
sangat efektif untuk menyampaikan informasi,
terutama juga untuk mempromosikan hal-hal yang
bersifat spesifik (Duarsa dalam Soetjiningsih, 2004).
Hasil analisis yang diperoleh didapatkan bahwa
ada hubungan antara peran media massa dengan
praktik hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan
bahwa peran media massa dapat menentukan praktik
hygiene menstruasi responden. Selain itu, terdapat
juga hubungan yang lemah antara peran media massa
dengan praktik hygiene menstruasi
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Egong (2005) yang melihat

hubungan antara sumber informasi dari media masa


dengan praktik hygiene menstruasi. Dalam
penelitiannya juga disimpulkan semakin sering
responden mendapatkan informasi dari media masa
maka hygiene menstruasinya akan lebih baik pula.
Begitu juga pada penelitian yang dilakukan oleh
Basir (2011) yang melihat hubungan antara
pemanfaatan media massa terhadap personal hygiene
tentang menstruasi pada anak usia menarche. Iya
juga mengatakan bahwa semakin semakin banyak
media massa yang dimanfaatkan oleh responden
maka semakin cukup pula personal hygiene
mengenai menstruasi yang dimiliki oleh responden.
Lemahnya kekuatan hubungan antara praktik
hygiene mestruasi dengan peran media massa
disebabkan karena letak lingkungan responden yang
berada di pedesaan sehingga mengakibatkan
kurangnya responden yang memanfaatkan media
massa sebagai sumber informasi mengenai praktik
hygiene menstruasi.
Media massa dapat membentuk karakter
seseorang yang dapat memuaskan rasa ingin tahu
dan minat terhadap media, memberikan pembelajaran
dan pendidikan, menemukan model perilaku,
memperoleh penetahuan dan perubahan sikap
(Nurrachmwati, 2011). Jadi dapat disimpulkan
bahwa media massa merupakan sumber informasi
yang sangat berperan dalam praktik hygiene saat
menstruasi.
Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi
Keluarga Dengan Praktik Hygiene Menstruasi
Status sosial ekonomi dalam penelitian ini
adalah kondisi/keadaan ekonomi keluarga yang dapat
dilihat dari pendapatan orang tua dalam memenuhi
kebutuhan anaknya (responden) pada saat ini. Status
sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi
seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi
adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau
suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial
ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan,
pekerjaan, dan pendapatan. Status sosial ekonomi
pada suatu keluarga akan mempengaruhi perilaku
anak saat menstruasi.
Hasil analisis untuk melihat hubungan antara
praktik hygiene mestruasi dengan tingkat pendidikan
ibu menggunakan uji statistik dengan tes Continuity
Correction diperoleh bahwa ada hubungan antara
status sosial ekonomi keluarga dengan praktik
hygiene menstruasi. Hal ini menunjukkan bahwa
status sosial ekonomi keluarga dapat menentukan
praktik hygiene menstruasi responden. Selain itu,
juga terdapat hubungan yang sedang antara status
sosial ekonomi dengan praktik hygiene menstruasi.
Sedangnya kekuatan hubungan disebabkan karena
status sosial ekonomi keluarga responden
kebanyakan dari status sosial ekonomi yang rendah,
41

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

sehingga sehingga berdampak pada jrnis dan


banyaknya pembalut yang digunakan pada saat
menstruasi.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Omdivar dan Begum (2010)
yang mengatakan bahwa ada hubungan antara status
sosial ekonomi dengan praktik kebersihan saat
menstruasi dan tidak sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Kurniasih (2001) yang mengatakan bahwa
tidak ada hubungan antara pendapatan perkapita
keluarga dengan praktik hygiene menstruasi.
Menurut Notoatmodjo (2007) sosial ekonomi
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Tingkat
sosial ekonomi yang rendah menyebabkan
keterbatasan biaya untuk memenuhi seluruh
kebutuhan hidup dan juga dapat menyebabkan
rendahnya pengetahuan yang dimiliki.

ekonomi keluarga dengan praktik hygiene menstruasi


pada siswi SMA Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean
Kabupaten Toraja Utara. Tidak ada hubungan antara
jenis pembalut yang digunakan dan usia menarche
dengan praktik hygiene menstruasi pada siswi SMA
Negeri 1 Sesean Kecamatan Sesean Kabupaten
Toraja Utara.
Praktik hygiene menstruasi pada remaja dapat
lebih ditingkatkan dengan cara membekali diri
sebanyak-banyaknya dengan pengetahuan yang
diperoleh baik dari pencarian informasi melalui
media massa, orang tua, keluarga, dan buku.
Diharapkan kepada orang tua untuk memberikan
informasi mengenai menstruasi dan praktik hygiene
menstruasi sebelum anak memasuki usia menarche.
Diharapkan kepada ibu untuk banyak belajar
mengenai kesehatan reproduksi khususnya praktek
kebersihan saat menstruasi sehingga dapat diberikan
kepada anak disarankan bagi remaja untuk dapat
memilih media informasi yang lebih bermanfaat
sehingga dapat meningkatkan praktik hygiene saat
menstruasi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Terdapat hubungan antara tingkat pendididkan
ibu, pengetahuan, peran media massa, status sosial

http//www.krepublishers.com, diakses tanggal


2 November 2012.
Hasan, Iqbal. 2010. Analisis Data Penelitian Dengan
Statistik. PT. Bumi Aksara : Jakarta.
Omdivar, Shabnam dan Khyrunnisa Begum. 2010.
Factors Influencing Hygienic Practices
During Menses Among Girls From South
India. International Journal of Collaborative
Research on Internal Medicine & Public
Health. Vol. 2 No. 2 : pp. 411-423.
Sari, Indah Dewi. 2009. Pengetahuan remaja Putri
Tentang Kebersihan Alat Kelamin Saat
Menstruasi di SMA Al- Washliyah 3 Medan.
Karya Tulis Ilmiah Program D-IV Bidan
Pendidik Fakultas Keperawatan USU.
Sarwono, Sarlito W. 2011. Psikologi Remaja. PT.
Grafindo Persada : Jakarta.
Ten, Variana Tjon A. 2007. Menstrual Hygiene.
EEPA (Europe External Policy Advisors),
available at http://www.who.int, diakses
tanggal 26 Januari 2011.
Wardhani, Ernawati Heru dan Ana Bilana. 2011.
Remaja Puber Remaja Super. PT. Tiga
Serangaki Pustaka Mandiri : Solo.

DAFTAR PUSTAKA
Aniebue, Uzochukwu Uzoma. et al. 2009. The impact
of pre-menarcheal training on menstrual
practices and hygiene of Nigerian School
Girl. Pan Afrika Medical Journal. Vol. 2:
Edisi
9.
Available
at
http//www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses tanggal
11 November 2011.
Ariyani, Irmatri. 2009. Aspek Biopsikososial Hygiene
Menstruasi Pada Remaja di Pesantren Putri
As-Syafi'iyah Bekasi. Skripsi diterbitkan
FKM UI. Available at http//lontar.ui.ac.id
BPS. 2011. Perkembangan Beberapa Indikator
Utama Sosial-Ekonomi Indonesia. Kalatog
Badan Pusat Statistik Indonesia. Jakarta.
Dasgupta, Aparajita dan M. Sakar. 2008. Menstrual
Hygiene: How Hygienic is the Adolescent
Girl. Indian Journal Of Community
Medicine. Vol. 33 (2). Available at
http//www.ncbi.nlm.nih.gov, diakses tanggal
2 November 2012.
Dhingra. et al., 2009. Knowledge and Practices
Related to Menstruation Among Tribal
(Gujjar) Adolescent Girl. Etno-Med, 1(3) :
hal.
43-48.
Available
at

42

Jurnal MKMI, Vol 9No.1, Januari 2013, hal 43-50

Artikel VII

PERSEPSI STAF MANAJEMEN TENTANG MANAJEMEN PEMASARAN


RUMAH SAKIT DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
TAHUN 2012
Perception Of Management Staff About Marketing Management At Dr. Wahidin
Sudirohusodo Public Central Hospital Makassar 2012
Nurhikmah1, Indahwaty Sidin1
1
Bagian Manajemen Rumah Sakit FKM Universitas Hasanuddin Makassar
(nurhikmahpinky@yahoo.com)
ABSTRAK
Persepsi merupakan faktor psikologis yang mempunyai peranan penting dalam
mempengaruhi perilaku seseorang. Manajemen pemasaran merupakan salah satu kegiatan
yang sangat penting bagi rumah sakit, karena manajemen pemasaran merupakan salah satu
solusi terbaik rumah sakit dalam menghadapi dampak globalisasi dan persaingan. Manajemen
pemasaran terdiri atas riset pasar, strategi pemasaran, bauran pemasaran, implementasi
pemasaran, dan kontrol pemasaran. Kegiatan pemasaran RSUP Dr. Wahidin Sudirohusudo
selama tiga tahun terakhir berorientasi pada kegiatan promosi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran persepsi staf manajemen tentang manajemen pemasaran rumah sakit.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Data primer diperoleh dengan menggunakan
kuesioner pada 111 orang responden dan wawancara dengan beberapa responden. Dari hasil
penelitian diperoleh bahwa sebagian besar riset pasar dipersepsikan secara positif oleh middle
management yaitu sebanyak 14 orang (73.7%). Untuk strategi pemasaran yang terdiri atas
segmentasi dan target pasar yang dipersepsikan secara positif oleh middle management
sebanyak 84.2% sedangkan posisi produk sebagian besar dipersepsikan negatif oleh frontline
people sebanyak 51.1%. Bauran pemasaran yang terdiri atas produk, harga, lokasi, promosi,
orang, proses, dan penampilan fisik telah dipersepsikan secara positif oleh middle
management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan negatif seperti
produk (52.2%), harga, lokasi dan orang (50%), serta promosi (51.1%). Demikian halnya
dengan implementasi dan kontrol sebagian besar telah dipersepsikan secara positif oleh
middle management, namun sebagian besar frontline people masih mempersepsikan secara
negatif yaitu masing-masing sebanyak 52.2% dan 51.1%. Disarankan agar RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusudo untuk melaksanakan sosialisasi dan pelatihan pemasaran kepada seluruh staf
manajemen (frontline people) dan memanfaatkan persepsi dan pengetahuan middle
management untuk meningkatkan kegiatan pemasaran di rumah sakit.

Kata Kunci

: Persepsi, Staf Manajemen, Pemasaran

ABSTRACT
Perception is a psychological factor whose plays an important role in influencing of
person behavior. Marketing management is one of the most essential activities for hospitals,
because of it is one of the best solution for hospitals in facing the globalization effects and
the impacts of the hospitals competition. Marketing management consists of market research,
marketing strategies, marketing mix, marketing implementation, and marketing control. The
marketing activities at Public Central Hospital (RSUP) Wahidin Sudirohusudo since last
three years only oriented in promotional activities. The aim of this research, to know the
description of the management staff perceptions of hospital marketing management. The
research was conducted descriptively. The primary data were obtained use a questionnaire
to 111 respondents and the results of interviews with some respondents. Furthermore, the
data were analyzed descriptively. The results of this research, obtained that from 111
respondents which the majority of market research are perceived positively by the middle
management as many as 14 people (73.7%). For marketing strategy consists of segmentation
and target market is positively perceived by middle management positions as much as 84.2%
while the majority of products are perceived negatively by the frontline people as much as
51.1%. Marketing mix consists of product, price, location, promotion, people, processes, and
physical appearance was perceived positively by middle management, but most of the
43

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

frontline people still perceive as negative as the product (52.2%), price, location and people
(50 %), and promotion (51.1%). So it is with the implementation and control have largely
been perceived positively by middle management, but most people still perceive frontline
negatively respectively as much as 52.2% and 51.1%. It is recommended to the Public
Central Hospital (RSUP) Dr. Wahidin Sudirohusudo to do socialization and marketing
training to all management staff (frontline people) and take the advantage of the perception
and knowledge of middle management to improve marketing activities in the hospital.

Keywords

: Perception, Staff Management, Marketing


pandangan atau persepsi yang keliru tidak hanya
tentang kegiatan pemasaran, tetapi juga tentang tugas
seorang tenaga pemasaran (Assauri, 2011).
Salah satu rumah sakit di Makassar yang telah
melaksanakan kegiatan pemasaran adalah Rumah
Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Wahidin
Sudirohusodo. Hal ini terlihat dari struktur organisasi
rumah sakit yang telah memiliki bidang pemasaran
dan dari buku tahunan RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo telah melaksanakan berbagai program
pemasaran yang sebagian besar adalah kegiatan
promosi rumah sakit.

PENDAHULUAN
Perkembangan dunia kesehatan terus mengalami
peningkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas
dan didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang semakin canggih. Hal ini
membuat instansi atau pihak yang berhubungan
dengan dunia kesehatan, salah satunya rumah sakit
mengalami perkembangan yang pesat.
Era globalisasi saat ini rumah sakit sebagai
institusi pelayanan kesehatan yang mempunyai misi
sosial, dituntut pula untuk mempunyai misi bisnis
yang berorientasi pada keuntungan (profit oriented)
karena kemampuan mendanai kegiatan-kegiatan
pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh
pendapatan yang dihasilkannya.
Semakin banyaknya jumlah rumah sakit dengan
layanan beragam yang menawarkan bermacam
keunggulan, baik dari segi teknologi, harga maupun
pelayanan membuat rumah sakit harus memiliki
strategi yang efektif dalam menciptakan nilai unggul.
Disamping itu, tuntutan masyarakat terhadap kualitas
pelayanan kesehatan rumah sakit telah menjadi
masalah mendasar yang dihadapi sebagian besar
rumah sakit di berbagai Negara (Utama, 2003). Oleh
karena itu, rumah sakit memerlukan pemasaran untuk
menciptakan nilai ungul. Hal ini disebabkan karena
rumah sakit harus menggunakan analisis pemasaran
agar posisi organisasinya dapat lebih baik dan bisa
mempertahankan eksistensinya di lingkungan yang
sangat kompetitif (Mursid, 1997). Disamping itu,
beberapa pakar pemasaran menyatakan dalam
pengelolaan rumah sakit dari waktu ke waktu
semakin terasa akan kebutuhan pentingnya
pemasaran rumah sakit (Supriyanto dan Ernawaty,
2010).
Namun, kenyataan yang terjadi saat ini
kebanyakan pemasaran di rumah sakit masih
dianggap sebagai proses penjualan atau hanya
diartikan sebagai sebuah proses kegiatan promosi.
Timbulnya penafsiran yang tidak tepat tentang
pemasaran disebabkan karena masih banyaknya yang
belum mengetahui dengan tepat definisi dari
pemasaran. Kesalahan pengertian ini menimbulkan

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini akan dilakukan di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar pada bulan februari
Mei 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah staf
manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar, Tahun 2012 sebanyak 155 orang.
Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan
rumus Lameshow yang diperoleh sebanyak 111
sampel yang penarikan sampelnya dilakukan dengan
teknik accidental sampling. Jenis penelitian yang
dipilih adalah penelitian deskriptif. Metode penelitian
deskriptif adalah suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat
gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara objektif (Notoatmodjo, 2002).
Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara,
yakni data primer (melalui pengisian kuesioner oleh
responden, dan wawancara langsung terhadap
beberapa responden) dan data sekunder berupa data
jumlah staf manajemen RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo, struktur organisasi rumah sakit serta
data lainnya yang terkait dengan penelitian. Teknik
analisis data yang digunakan adalah statistik
deskriptif. Statistik deskriptif hanya berhubungan
dengan hal yang menguraikan atau memberikan
keterangan-keterangan mengenai suatu data atau
keadaan. Penarikan kesimpulan pada statistik
deskriptif hanya ditujukan pada kumpulan data yang
ada (Husain, 1997).

44

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan karakteristik di


RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012
Karakteristik
n
%
Jenis kelamin
Laki-laki
46
41,4
Perempuan
65
58,6
Kelomok Umur
20 29
23
20,7
30 39
44
39,6
40 49
34
30,6
50 59
10
9,0
Pendidikan Terakir
S3
3
2,7
S2
15
13,5
S1
63
56,8
D3
11
9,9
SMA
19
17,1
Tingkat Manajemen
Middle Management
19
17,1
Frontline People
92
82,9
Masa Kerja
1-5
17
15,3
6-10
40
36
>10
54
48,6
Pelatihan
Belum
97
87,4
Ya
14
12,6
Total
Sumber : Data Primer, 2012

111

100

middle management yang terdiri atas kepala bidang,


kepala bagian, kepala seksi dan kepala sub bidang
dan sub bagian. Frontline people sebanyak 92 orang
(82.9%) dan middle management sebnyak 19 orang
atau 17.1%.
Adapun berdasarkan masa kerja responden yang
masa kerjanya > 10 tahun lebih banyak yaitu 54
orang (48.6%) dibandingkan dengan yang memiliki
masa kerja 1-5 tahun yaitu 17 orang ( 15.3%).
Sedangkan untuk pelatihan pemasaran yang pernah
diikuti hanya terdapat 14 orang (12.6%) responden
yang telah mengikuti pelatihan pemasaran dari 111
responden dan 97 atau 87.4 % responden belum
pernah mengikuti pelatihan pemasaran.
Analisis Univariat
Riset Pasar
Pada tabel 2 diketahui bahwa tingkat middle
management yang memiliki persepsi positif lebih
banyak yaitu 73.7% dibandingkan dengan yang
mempersepsikan secara negatif sedangkan untuk
frontline people, responden yang mempersepsikan
positif sebanding dengan yang mempersepsikan
secara negatif yaitu sebanyak 50 %.

HASIL
Karakteristik Responden
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden,
yaitu kelompok umur, jenis kelamin responden,
tingkat pendidikan, tingkat manajemen, masa kerja,
dan pelatihan pemasaran yang pernah diikuti. Untuk
distribusi responden menurut kelompok umur yang
paling banyak berada pada kelompok umur 30 39
tahun, yaitu sebanyak 44 orang (39.6%) dan yang
paling sedikit berada pada kelompok umur 50 59
tahun sebanyak 10 orang (9%).
Adapun jumlah responden dengan jenis kelamin
perempuan lebih banyak dari jumlah responden
dengan jenis kelamin laki-laki. Responden yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 65 orang
(58.6%), sedangkan responden dengan jenis kelamin
laki-laki sebanyak 46 orang (41.4%).
Responden berdasarkan tingkat pendidikannya
lebih banyak yang S1 yaitu sebanyak 63 orang
(56.8%) dan yang paling sedikit adalah S3 yaitu 3
orang (2.7%). Berdasarkan tingkatan manajemen,
responden dengan tingkat manajemen frontline
people atau staf lebih banyak dibandingkan dengan
45

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

management
menunjukkan
sebagian
besar
mempersepsikannya secara positif yaitu sebanyak 15
orang atau 78.9% dan 45 orang atau 48.9% yang
mempersepsikan positif pada tingkat frontline
people.
Bauran Pemasaran
Menurut Zeithaml (2000), bauran pemasaran
jasa dibedakan atas 7P yaitu produk, harga, lokasi,
promosi, orang, proses dan penampilan fisik.
Pada Tabel 4, tingkat middle management lebih
banyak mempersepsikan bauran produk secara positif
dibandingkan dengan yang mempersepsikan secara
negatif yaitu sebanyak 12 orang atau 63.2%
sedangkan untuk frontline management lebih banyak
yang mempersepsikan secara negatif dibandingkan
dengan yang positif yaitu sebanyak 48 orang atau
52.2%.
Tingkat middle management lebih banyak
mempersepsikan harga secara positif yaitu 16 orang
atau 84.2% sedangkan frontline management,
responden yang mempersepsikan secara positif dan
negatif masing-masing sebanyak 46 orang atau 50 %.
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat
sebanyak 13 orang atau 68.4% yang mempersepsikan
secara positif. Sedangkan responden frontline people
mempersepsikan bauran lokasi secara positif yaitu
sebanyak 46 orang atau 50%.
Terdapat perbedaan persepsi antara tingkat
middle management dan frontline people pada tabel
4.
Sebagian
besar
middle
management
mempersepsikan secara positif tentang bauran
promosi sedangkan sebagian besar frontline people
mempersepsikan secara negatif tentang bauran
promosi yaitu 47 orang atau 51.1 %.

Strategi Pemasaran
Strategi pemasaran menurut kotler (2001)
menyatakan bahwa strategi pemasaran terdiri atas
tiga langkah yaitu segmentasi pasar, target pasar dan
posisi produk (Rustiati dan Rochmah, 2005).
Tabel

2. Distribusi Persepsi Riset Pasar


Berdasarkan Tingkat Manajemen di
RSUP Dr.
Wahidin
Sudirohusodo
Makassar Tahun 2012
Tingkat Manajemen
Middle
Frontline
Persepsi Riset
Management
People
n
%
n
%
Positif
14
73,7
46
50
Negatif
5
26,3
46
50
Total
19
100
92
100
Sumber : Data Primer, 2012
Pada tabel 3 diketahui bahwa responden middle
management
lebih
banyak
mempersepsikan
segmentasi pasar secara positif dibandingkan dengan
yang mempersepsikannya secara negatif yaitu
sebanyak 16 orang atau 84.2%. Demikian pula untuk
frontline people, responden yang mempersepsikan
positif lebih banyak dibandingkan dengan yang
mempersepsikan segmentasi pasar secara negatif
yaitu 54 orang atau 58.7%.
Untuk persepsi tentang target pasar, tingkat
middle management dan frontline people sebagian
besar mempersepsikannya secara positif yaitu 84.2 %
atau 16 orang untuk middle management dan 49
orang atau 53.3% untuk fronline people. Pada tabel 3
diketahui bahwa responden yang mempersepsikan
posisi produk (positioning) pada tingkat middle

Tabel 3. Distribusi Strategi Pemasaran Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP


Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar Tahun 2012
Tingkat Manajemen
Strategi Pemasaran
Middle Management Frontline People
Persepsi Segmentasi Pasar
Positif
Negatif
Persepsi Target Pasar
Positif
Negatif
Persepsi Posisi Produk
Positif
Negatif
Total
Sumber : Data Primer, 2012
46

16
3

84,2
15,8

54
38

58,7
41,3

16
3

84,2
15,8

49
43

53,3
46,7

15
4
19

78,9
21,1
100

45
47
92

48,9
51,1
100

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50

Pada tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar


middle management mempersepsikan bauran orang
secara positif yaitu sebanyak 11 orang atau 57.9%
sedangkan untuk frontline people responden yang
mempersepsikan positif sama banyak dengan yang
mempersepsikan secara negatif yaitu 46 orang atau
50%. Sedangkan responden middle management dan
frontline people sebagian besar mempersepsikan
bauran proses secara positif yaitu masing-masing
68.4% atau 13 orang dan 53.3% atau 49 orang. Dan
untuk bauran bukti fisik sebagian besar tingkat
middle management mempersepsikan penampilan
fisik secara positif yaitu sebanyak 11 orang atau
57.9%. Demikian pula untuk frontline people
sebagian besar mempersepsikannya secara positif
yaitu sebanyak 49 orang atau 53.3%.

Implementasi Pemasaran
Pada tabel 5 diketahui bahwa terdapat gap
persepsi antara middle management dan frontline
people. Sebagian besar middle management
mempersepsikan implementasi pemasaran secara
positif yaitu sebanyak 14 orang atau 73.7%
sedangkan
frontline
people
lebih
banyak
mempersepsikan secara negatif yaitu sebanyak 48
orang atau 52.2%. Serta untuk kontrol pemasaran
diketahui bahwa sebagian besar responden middle
management mempersepsikan secara positif yaitu
sebanyak 15 orang atau 78.9% sedangkan frontline
people sebagian besar mempersepsikan kontrol
pemasaran secara negatif yaitu 47 orang atau 51.1%.

Tabel 4. Distribusi Bauran Pemasaran Berdasarkan Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar Tahun 2012
Bauran Pemasaran

Tingkat Manajemen
Middle Management
Frontline People

Persepsi Bauran Produk


Positif
Negatif
Persepsi Bauran Harga
Positif
Negatif
Persepsi Bauran Lokasi
Positif
Negatif
Persepsi Bauran Promosi
Positif
Negatif
Persepsi Bauran Orang
Positif
Negatif
Persepsi Bauran Proses
Positif
Negatif
Persepsi Bauran Bukti Fisik
Positif
Negatif
Total

12
7

63,2
36,8

44
48

47,8
52,2

16
3

84,2
15,8

46
46

50
50

13
6

68,4
31,6

46
46

50
50

12
7

63,2
36,8

45
47

48,9
51,1

11
8

57,9
42,1

46
46

50
50

13
6

68,4
31,6

49
43

53,3
46,7

11
8

57,9
42,1

49
43

53,3
46,7

19

100

92

100

Sumber : Data Primer, 2012


rumah sakit tersebut dapat dilihat dari kegiatan
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo yang telah
melaksanakan riset pasar. Hal ini sesuai dengan hasil
wawancara yang dilakukan diperoleh informasi
bahwa rumah sakit pada dasarnya telah melakukan
kegiatan riset pasar yang dilaksanakan bersamaan
dengan survei kepuasan pasien. Pelaksanaan riset

PEMBAHASAN
Riset Pasar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar middle management memiliki persepsi yang
baik tentang riset pasar. Persepsi baik dari middle
management tersebut sebagai pihak yang banyak
berperan dalam pengambilan keputusan kegiatan
47

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

pasar yang dilakukan di RSUP Dr.Wahidin


Sudirohusodo masih dilakukan oleh pihak ketiga.
Pelaksanaan riset pasar yang dilakukan di rumah
sakit tersebut ditujukan sebagai bahan dasar dalam
pembuatan renstra rumah sakit. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hapsawati
Taan dalam Anditasari (2010) tentang peran riset
pemasaran
dalam
pengambilan
keputusan
manajemen. Dalam penelitian tersebut dinyatakan
bahwa riset pemasaran sangat membantu pihak
manajemen untuk mendukung suatu pengambilan
keputusan dalam bidang manajemen pemasaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa middle
management
lebih
banyak
mempersepsikan
segmentasi pasar secara positif. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan diperoleh informasi
bahwa pada dasarnya RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo tidak melakukan kegiatan segmentasi
pasar secara umum. Hal ini disebabkan karena rumah
sakit tersebut adalah rumah sakit rujukan yang pada
dasarnya harus memberikan pelayanan kepada
seluruh pasien yang datang berobat di rumah sakit
tersebut. Adapun segmentasi yang terbentuk adalah
segmentasi yang terbentuk secara alami berdasarkan
jenis rujukan pasien yang memanfaatkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit tersebut. Hal ini sejalan
dengan
penelitin
yang
dilakukan
oleh
Darmawansyah, dkk (2009) yang menyatakan bahwa
segmen pasar yang terbentuk di rumah sakit Stella
Maris berdasarkan karakteristik pengguna pelayanan
yang memanfaatkan pelayanan di rumah sakit
tersebut.
Strategi Pemasaran
Segmentasi Pasar
Target Pasar

dalam pengambilan keputusan rumah sakit. Rumah


sakit saat ini ingin membangun citra di mata
masyarakat sebagai rumah sakit yang berstandar
internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari visi
rumah sakit yaitu menjadi rumah sakit dengan
standar layanan internasional. Dalam pembuatan visi
rumah sakit tersebut responden dalam kelompok
frontline people tidak dilibatkan dalam pembuatan
visi rumah sakit. Hal ini menyebabkan masih
banyaknya responden frontline people yang
mempersepsikan negatif tentang pembentukan posisi
produk rumah sakit.
Bauran Pemasaran
Bauran Produk
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
yang lebih banyak mempersepsikan produk secara
positif adalah kelompok middle management. Hal ini
disebabkan karena peran serta responden kelompok
middle management dalam menetapkan produk
rumah sakit lebih besar dibandingkan dengan
Frontline people. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Soemanagara (2006) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi persepsi adalah partisipasi atau peran
seseorang terhadap objek tersebut. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan diperoleh informasi
bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
konsumen rumah sakit telah menyediakan berbagai
produk unggulan, diantaranya adalah Intensive Care
Center, Mother and Child Center, Cardiac Center
dan Private Care Center.
Bauran Harga
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden telah mempersepsikan bauran harga
secara positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
harga merupakan salah satu bauran yang
dipersepsikan penting bagi responden di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo. Hal ini sejalan dengan
pendapat Kotler dalam Zeithalm dan Bitner (2000)
yang menyatakan bahwa penentuan harga merupakan
hal penting dalam bauran pemasaran jasa karena
harga menentukan pendapatan dari suatu usaha.
Selain itu, Adiwijaya (2005) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara harga
pelayanan kesehatan di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dengan minat masyarakat dalam
memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit
tersebut
Bauran Lokasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden mempersepsikan bauran lokasi
secara positif. Artinya bahwa sebagian responden
telah menganggap lokasi sebagai salah satu bauran
yang penting. Hal ini sejalan dengan pendapat Ratih
Hurriyati dalam bukunya yang berjudul Bauran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian


besar responden mempersepsikan positif tentang
target pasar. Persepsi tersebut berpengaruh terhadap
keputusan rumah sakit dalam menetapkan pelayanan
kesehatan di rumah sakit. Berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa meskipun rumah sakit
tidak melakukan segmentasi pasar, namun rumah
sakit tetap mempertimbangkan target pasar dengan
mempertimbangkan peluang dan hambatan rumah
sakit. Salah satu strategi yang ditempuh rumah sakit
untuk meraih target pasar rumah sakit membangun
PCC (Private Care Center) dan menyiapkan
beberapa produk unggulan lainnya seperti Cardiac
Center, Infection Center, Intensive Care Center, dan
Gastro enterohepatology Center
Posisi Produk
Hasil penelitian menunjukkan diketahui bahwa
terdapat perbedaan persepsi antara middle
management dan frontline people. Hal ini sesuai
dengan peran dari responden yang lebih terlibat
48

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 43-50

Pemasaran (2005) yang menyatakan bahwa lokasi


berhubungan dengan keputusan konsumen dalam
memanfaatkan pelayanan. Disamping itu, Adiwijaya
(2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
tempat
mempengaruhi
konsumen
dalam

memanfaatkan fasilitas rawat jalan di RSUP Dr.


Wahidin Sudirohusodo. Oleh karena itu, rumah sakit
menganggap lokasi sebagai salah satu bauran yang
penting untuk diperhatikan

Tabel 5. Distribusi Implementasi dan Kontrol Pemasaran Berdasarkan


Tingkat Manajemen di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo
Makassar Tahun 2012
Tingkat Manajemen
Variabel
Middle Management Frontline People
Implementasi Pemasaran
Positif
Negatif
Kontrol Pemasaran
Positif
Negatif
Total
Sumber : Data Primer, 2012

14
5

73,7
26,3

44
48

47,8
52,2

15
4
19

78,9
21,1
100

45
47
92

48,9
51,1
100

Sehingga peran serta responden mempengaruhi


persepsinya terhadap proses pemasaran. Persepsi staf
tersebut sangat berpengaruh terhadap kegiatan
pemasaran rumah sakit. Berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan diperoleh pula informasi
bahwa untuk memudahkan proses pelayanan,
manajemen rumah sakit menyediakan alur pelayanan
Bauran Penampilan Fisik
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar responden telah memiliki persepsi yang positif
tentang penampilan fisik rumah sakit. Hal ini
disebabkan karena penampilan fisik mempengaruhi
rumah sakit dalam memanfaatkan pelayanan
kesehatan serta membutuhkan kondisi dan situasi
yang nyaman membuat rumah sakit perlu
memperhatikan suhu ruangan untuk memberikan
kenyamanan pada pasien.
Implementasi Pemasaran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa middle
management
mempersepsikan
implementasi
pemasaran secara positif. Sedangkan frontline people
sebagian besar mempersepsikan negatif tentang
implementasi pemasaran. Hal ini disebabkan karena
dipengaruhi oleh keterlibatan dan pemahaman yang
baik tentang implementasi pemasaran. Hal ini
didukung oleh hasil wawancara yang menyatakan
bahwa rumah sakit telah melaksanakan berbagai
kegiatan pemasaran meskipun pada umumnya
kegiatan pemasaran yang dilakukan masih
berorientasi pada kegiatan promosi.
Kontrol Pemasaran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan persepsi antar kelompok middle

Bauran Promosi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar middle management mempersepsikan secara
positif tentang bauran promosi sedangkan untuk
frontline people sebagian besar mempersepsikan
bauran promosi secara negatif. Hal ini didukung
oleh hasil wawancara dan data sekunder yang
diperoleh yang menunjukkan bahwa RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo telah banyak melakukan
berbagai kegiatan promosi baik melalui media cetak
maupun media elektronik. Dari Buku tahunan rumah
sakit diketahui bahwa sebagian besar kegiatan
pemasaran yang dilakukan rumah sakit adalah
promosi, diantaranya pembuatan leaflet PCC, press
release kegiatan rumah sakit, melakukan wawancara
live di media elektonik, dan lain-lain.
Bauran Orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden
dengan
kelompok
middle
management
mempersepsikan penampilan karyawan rumah sakit
sebagai sesuatu yang penting. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ratih Hurriyati (2005) yang menyatakan
bahwa semua sikap dan tindakan karyawan, cara
berpakaian dan penampilannya berpengaruh terhadap
persepsi konsumen dalam memanfaatkan pelayanan
kesehatan.
Bauran Proses
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian
besar staf baik middle management dan frontline
people mempersepsikan secara positif tentang proses
manajemen pemasaran. Hal ini disebabkan karena
proses pemasaran yang berlangsung di rumah sakit
melibatkan seluruh pelanggan internal rumah sakit.
49

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

management dengan kelompok frontline people Hal


ini didukung oleh wawancara yang dilakukan
diperoleh informasi bahwa staf rumah sakit dalam
hal ini kepala bidang dan kepala bagian serta kepala
sub bidang melakukan pertemuan rutinan setiap
bulannya dalam rangka membahas kegiatan
pemasaran yang akan dan telah dilaksanakan di
rumah sakit.

penampilan fisik telah dipersepsikan secara positif


oleh middle management, namun sebagian besar
frontline people masih mempersepsikan negatif
seperti produk (52.2%), harga, lokasi dan orang
(50%), serta promosi (51.1%). Demikian halnya
dengan implementasi dan kontrol sebagian besar
telah dipersepsikan secara positif oleh middle
management, namun sebagian besar frontline people
masih mempersepsikan secara negatif yaitu masingmasing sebanyak 52.2% dan 51.1%.
Disarankan kepada pihak manajemen Rumah
Sakit Wahidin Sudirohusodo hendaknya memberikan
sosialisasi dan pelatihan tentang pemasaran kepada
seluruh staf rumah sakit dan sebaiknya
memanfaatkan persepsi yang positif akan manajemen
pemasaran pada kelompok middle manajemen untuk
meningkatkan kegiatan pemasaran rumah sakit
sehingga tidak hanya berorientasi pada kegiatan
promosi.

KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa
sebagian besar riset pasar dipersepsikan secara positif
oleh middle management yaitu sebanyak 14 orang
(73.7%). Untuk strategi pemasaran yang terdiri atas
segmentasi dan target pasar yang dipersepsikan
secara positif oleh middle management sebanyak
84.2% sedangkan posisi produk sebagian besar
dipersepsikan negatif oleh frontline people sebanyak
51.1%. Bauran pemasaran yang terdiri atas produk,
harga, lokasi, promosi, orang, proses, dan

Robbins. 2001. Psikologi Organisasi, Edisi Ke


delapan, PT. Prenhellindo, Jakarta.
Rustiati dan Rochmah. 2005. Strategi dan Taktik
Pemasaran dalam Rangka Peningkatan BOR
Ruang Utama Puri Rahayu RSU Negara
Kabupaten Jembrana Bali, diakses 1
Desember
2011,
<http://skp.unair.ac.id/repository/jurnal_pdf/j
urnal_362.pdf>.
Soemanegara, R. 2006. Persepsi Peran, Konsistensi
Peran
dan
Kinerja,
Jurnal
Ilmu
Administrasi, Desember, p.280-294.
Supriyanto, S dan Ernawaty. 2010. Pemasaran
Industri Jasa Kesehatan, Edisi I, Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Thoha. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Penerbit PT. Mandar Maju, Bandung
Utama. Surya. 2003. Memahami Fenomena
Kepuasan Pasien Rumah Sakit, Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra
Utara.
Zeithaml, Valarie A. dan Bitner. 2000. Service
Marketing 2nd edition : Integrating Customer
Focus. New York : Mc Graw Hill Inc.

DAFTAR PUSTAKA
Anditasari, P. 2010. Hubungan Antara Persepsi
Terhadap Konflik Peran Dengan Semangat
Kerja Karyawan Divisi Teknik Pt. Indonesia
Power Unit Bisnis Pembangkitan Mrica
Banjarnegara, Skripsi Sarjana, Universitas
Diponegoro, Fakultas Psikologi, , Semarang.
Assauri, Sofjan. 2011. Manajemen Pemasaran, Edisi
XI, Penerbit PT Rajagrafindo, Jakarta.
Hurriyati, Ratih Dr. 2008. Bauran Pemasaran dan
Loyalitas Konsumen, Penerbit Alfabeta,
Bandung.
Husain, Umar. 1997. Metodologi Penelitian, PT.
Gramedia Pustaka, Jakarta.
Kotler, Philip. 1996. Manajemen Pemasaran:
Analisa Perencanaan dan Pengendalian,
Edisi Kelima, PT Indeks, Jakarta.
Mursid, M. 1997. Manajemen Pemasaran, Edisi II,
Bumi Aksara, Jakarta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan, Cetakan III, Rineka Cipta,
Jakarta.

50

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 51-57

Artikel VIII

PERMINTAAN (DEMAND) MASYARAKAT TERHADAP PEMANFAATAN


ASURANSI KESEHATAN DI PT. ASURANSI JIWA INHEALTH
MAKASSAR TAHUN 2012
Public Demand On Health Insurance Utility In Pt. Asuransi Jiwa Inhealth
Makassar 2012
Muhammad Rizki Ashari 1, Nurhayani1
1
Bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan FKM Unhas
(Aiiyrizki@yahoo.com)
ABSTRAK
Salah satu indikator pengembangan sistem asuransi kesehatan adalah jumlah atau
proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor formal, Makassar mempunyai porsi tenaga kerja
sektor formal yang cukup tinggi yaitu di atas 70% dari semua tenaga kerja. Namun demikian
cakupan atau kepesertaan masyarakat terhadap berbagai jaminan kesehatan masih sangat
rendah, masyarakat (tenaga kerja) yang tercakup jaminan pembiayaan kesehatan baru
11,35%, sebagian besar tercakup dalam askes, kemudian kartu sehat, Jamsostek dan Askes
lain. Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui hubungan permintaan (demand) masyarakat
terhadap pemanfaatan asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Sampel adalah
karyawan PT. Catur Putra Harmonis yakni sebanyak 95 responden yang ditentukan dengan
simple random sampling. Pengumpulan data penelitian dengan menggunakan kuesioner. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan premi asuransi, (p=0,020), tingkat
pendapatan (p=0,000), besar kerugian finansial (p=0,022), persepsi terhadap risiko sakit
(p=0,002), perilaku terhadap risiko sakit (p=0,025) dengan permintaan (demand) asuransi
kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth. Disarankan pihak PT. Asuransi Jiwa InHealth
kiranya memberi informasi yang jelas pada peserta asuransi kesehatan tentang penggunaan
asuransi kesehatan agar peserta yang sudah berobat tidak mendapati bahwa jenis pengobatan
yang dijalani tidak ditanggung asuransi.
Kata Kunci : Permintaan, Asuransi Kesehatan
ABSTRACT
One indicator of the health insurance system development is the number or
proportion of workers who work in the formal sector, Makassar has a share of formal sector
employment is high at over 70% of all workersHowever, coverage or membership in the
community on various health insurance is still very low, people (labor) are covered by the
new health financing 11.35%, mostly covered by health insurance and health cards, Social
Security and other Askes. This study aims to find out the relationship of demand of public
against health insurance utilization in the PT. InHealth Life Insurance. This type of study is a
quantitative research with cross sectional study. Samples were employees of PT. Chess is as
much as 95 respondents was determined by simple random sampling. Research data
collection using questionnaires. The results showed that there is a relationship of insurance
premiums, (p = 0.020), income level (p = 0.000), large financial loss (p = 0.022), perception
of risk of illness (p = 0.002), behavior on the risk of illness (p = 0.025 ) with a demand of
health insurance in PT. InHealth Life Insurance. Through this study suggested the PT.
InHealth Life Insurance would provide clear information to participants about the use of
health insurance health insurance for participants who are treated do not have that kind of
treatment is doing is not covered by insurance.
Keywords: Demand, Health Insurance

51

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

semakin berat bagi penduduk miskin dibandingkan


penduduk yang tergolong ekonomi menengah ke atas
karena dapat berdampak tidak meratanya atau
kesenjangan dalam perolehan pelayanan kesehatan
antara masyarakat miskin dengan masyarakat
ekonomi menengah ke atas. Untuk mengatasi hal
tersebut , porsi pendanaan publik atau asuransi
kesehatan publik. (Thabrany dalam Sistem Kesehatan
Adisasmito, 2010 )
Kelambatan perkembangan asuransi kesehatan
dan jaminan pemeliharaan kesehatan di indonesia
dapat ditinjau dari beberapa aspek seperti aspek
masyarakat, penyedia layanan kesehatan, organisasi
penyelenggara asuransi kesehatan (JPKM), dan
pemerintah. Dari aspek masyarakat, asuransi
dihadapkan dengan permasalahan pengetahuan
kesehatan masyarakat yang masih jauh dari cukup,
kesehatan masih bukan merupakan prioritas utama
masyarakat, budaya masyarakat dalam menghadapi
risiko sakit yang masih kurang menguntungkan, dan
diperparah dengan keterbatasan kondisi kemampuan
ekonomi masyarakat. Dari aspek pemberi layanan
kesehatan dapat dilihat bahwa penyelenggara
pelayanan kesehatan di indonesia masih belum
efisien ,komitmen para pemberi layanan kesehatan
masih belum memuaskan, dan mutu pelayanan
kesehatan masih di pertanyakan. Sementara itu dari
aspek organisasi asuransi kesehatan (JPKM) belum
ditemukan rancangan besar tentang jumlah, sifat, dan
bentuk badan penyelenggara asuransi kesehatan
(JPKM) yang lebih efisien dan efektif dalam
memberikan
jaminan
pelayanan
kesehatan
masyarakat yang sekaligus mempercepat dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, oleh
karena itu, perlu dilakukan perbaikan sistem
pembiayaan pelayanan kesehatan agar permasalahan
tersebut dapat diminimalisasi atau diatasi. (
Adisasmito, 2010)
Pada tahun 2010, total anggaran program
kesehatan gratis Sulawesi selatan sebesar Rp 240
miliar. Sikap pemerintah kabupaten/kota itu
dinilainya melanggar Nota Kesepahaman (MOU)
tentang pembiayaan kesehatan gratis 40 persen
ditanggung kabupaten dan 40 persen ditanggung
provinsi. (kompas.com). Namun demikian cakupan
atau kepesertaan masyarakat terhadap berbagai
jaminan kesehatan masih sangat rendah, masyarakat
(tenaga kerja) yang tercakup jaminan pembiayaan
kesehatan baru 11,35%, sebagian besar tercakup
dalam askes, kemudian kartu sehat, Jamsostek dan
Askes lain. (Lembaga kajian pembangunan
Kesehatan, 2009). Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia pada
tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa
(BPS,2010) sedangkan jumlah penduduk yang
bekerja di Indonesia mencapai 109,7 juta jiwa

PENDAHULUAN
Salah satu kunci utama dalam sistem kesehatan
dari berbagai negara adalah pendanaan kesehatan.
Sistem pendanaan kesehatan yang adil dan merata
(equity) mempunyai arti bahwa beban pembiayaan
kesehatan
yang
dikeluarkan
dari
kantong
perseorangan tidak memberatkan masyarakat.
Sebagian besar negara maju telah menerapkan
konsep adil dan merata tersebut pada seluruh
penduduknya
berdasarkan
sistem
pelayanan
kesehatan nasional (National Health Service, NHS),
sistem asuransi kesehatan nasional atau sosial, atau
melalui sistem jaminan sosial. (Thabrany dalam
Sistem Kesehatan Adisasmito, 2010).
Berbagai belahan dunia, belanja pemerintah atau
belanja sektor publik termasuk melalui suatu sistem
asuransi sosial untuk kesehatan rakyatnya, baik
dalam bentuk belanja untuk program kesehatan
masyarakat maupan belanja untuk pelayanan
kesehatan perorangan, merupakan bagian terbesar
dari dari belanja kesehatan suatu negara. Adapun
alasan pemerintah untuk mengambil peran yang lebih
besar adalah karena sifat pelayanan kesehatan yang
merupakan pelayanan dasar dari sebuah negara, sifat
kebutuhan pelayanan kesehatan yang tidak bisa
dipastikan besar biayanya, dan kebijakan publik yang
memihak rakyat yang telah lama berkembang.
(Pujiyanto, 2005).
Kenyataannya bahwa sering tidak tersedianya
uang tunai ketika seseorang jatuh sakit menjadi
bahan pemikiran yang serius. Menghadapi
permasalahan ini, banyak negara terutama justru
negara maju memanfaatkan sistem asuransi
sedemikian rupa sehingga setiap warga negara atau
bahkan setiap penduduk dijamin oleh asuransi untuk
keperluan pelayanan medisnya. Sekarang hampir
semua negara Eropa sudah menganut sistem asuransi
meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Amerika
serikat juga menganut sistem asuransi, namun sesuai
dengan prinsip hidup mereka bahwa setiap individu
boleh memilih perusahaan asuransi sendiri dan setiap
orang jika mampu boleh mendirikan perusahaan
asuransi. Jepang dan Singapura juga menganut
sistem asuransi yang berbeda dengan yang lain.
Korea selatan juga sudah menganut sistem asuransi
dan Thailand pun demikian. Indonesia sendiri juga
sudah menganut asuransi, tetapi baru bagi sebagian
kecil dari warganya. (Basuki dalam Sistem
Kesehatan Adisasmito, 2010)
Pemerintah berkontribusi sekitar 20% - 30%
untuk pendanaan kesehatan secara keseluruhan.
Sementara itu, pendanaan oleh sektor swasta yang
pada umumnya merupakan pengeluaran dari kantong
yang di bayar langsung (Out of pocket/OOP) kepada
pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60% 70%. Tingginya pengeluaran OOP ini dirasakan
52

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57

(Agustus 2011) dari 111,3 juta jiwa (Februari 2011).


Sehingga jumlah tenaga kerja di Indonesia yang
hanya tercakup asuransi kesehatan sebanyak
12.450.950 jiwa (11,35%) yang seharusnya seluruh
tenaga kerja tersebut dilindungi oleh asuransi
kesehatan (UUD 1945 pasal 28 H-Amandemen ke 2
tentang Jaminan sosial).
Salah satu indikator pengembangan sistem
asuransi kesehatan adalah jumlah atau proporsi
tenaga kerja yang bekerja di sektor formal, Makassar
mempunyai porsi tenaga kerja sektor formal yang
cukup tinggi yaitu di atas 70% dari semua tenaga
kerja (www.bappenas.go.id , 20 November 2011).
UU No 13 Tahun 2003 menggunakan sistem
outsorcing dan kontrak. Hingga saat ini jumlah
tenaga kerja di Indonesia yang menjadi pekerja
outsourcing dan kontrak kerja mencapai 65% dari
total pekerja formal.
Menurut hasil penelitian Rabiah (2002) di
Kelurahan Togo Togo dan Desa Camba Camba
Kecamatan
Batang
Kabupaten
Jeneponto
mengatakan terdapat hubungan antara tingkat
pendapatan dengan permintaan (demand) masyarakat
terhadap program JPKM, yakni semakin tinggi
pendapatan maka demand mereka terhadap JPKM
akan tinggi.
Hasil penelitian Rasyidah (2008) menyimpulkan
ada lima faktor yang berhubungan dengan
permintaan terhadap asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Takaful perwakilan Makassar yaitu premi
asuransi, persepsi terhadap risiko sakit, besarnya
kerugian finansial, pendapatan, dan perilaku terhadap
risiko sakit.
Menurut data yang di peroleh dari PT. Asuransi
Jiwa InHealth saat ini jumlah pengguna asuransi
InHealth di Makassar telah mengalami peningkatan
dalam kurun waktu 2 tahun terakhir yaitu pada Tahun
2009 sebanyak 24.000 orang dan pada tahun 2010
sebanyak 3100 orang. Faktor faktor tersebut di atas
merupakan faktor penting yang berhubungan secara
langsung dan mempengaruhi permintaan asuransi
kesehatan termasuk pada PT. Asuransi Jiwa
InHealth.

Teknik ini dipilih karena seluruh populasi


mempunyai kualitas relevansi yang sama untuk
dijadiikan sampel. Alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuesioner. Pengolahan dan
analisis data menggunakan program SPSS yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan narasi. Uji
analisis menggunakan uji Chi-square dengan tingkat
signifikansi () = 0,05.
HASIL
Tabel 1. Distribusi Petani Binaan Dan Non
Binaan Menurut Variabel Yang Diteliti
Total
Variabel
Kategori
n
%
Umur
20-29 thn
20
10.1
30-39 thn
56
28.3
> 40 thn
122
61.6
Pengetahuan
Kurang
109
55.1
Cukup
89
44.9
Penggunaan
Tidak lengkap
150
75.8
Alat Pelindumg
Lengkap
48
24.2
Diri (APD)
Cara
Salah
40
20.2
Penyemprotan
Benar
158
79.8
Masa Kerja
Lama
198
100
Baru
0
0
Lama Kerja
Memenuhi
163
82.3
syarat
Tidak
memenuhi
35
17.7
syarat
Sumber : data primer
Karakteristik Responden
Sebagian besar responden berusia 31-40 tahun
sebanyak 34,7% dan yang terendah responden yang
berumur 51-60 tahun sebanyak 7,4%. Berdasarkan
jenis kelamin responden terbanyak adalah berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 51 orang (53,7%) dan
yang berjenis kelamin perempuan sebesar 44 orang
yaitu 46,3%. Berdasarkan tingkat pendidikan
responden terbanyak adalah SMA sebanyak 67 orang
(70,5%) dan terendah adalah SMP sebanyak 3 orang
(3,2%).Berdasarkan lama kerja responden terbanyak
sudah bekerja 11 20 tahun yaitu 49 responden
(51,5%) dan yang paling sedikit responden yang
sudah bekerja > 30 tahun yaitu 1 orang (1,1%).
Analisis Univariat
Tabel 6 menujukkan bahwa umumunya
responden memiliki permintaan (demand) asuransi
kesehatan tinggi yaitu sebanya 74 orang (77,9%)
sedangkan permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang rendah sebanyak 22 orang (33,1%).
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa umumnya
responden menyatakan premi asuransi kesehatan
rendah yaitu 59 responden (62,1%) sedangkan

BAHAN DAN METODE


Jenis penelitian yang digunakan adalah survey
analitik dengan pendekatan cross sectional study
yang menggunakan kuisioner sebagai instrumen
pengumpulan data. Penelitian ini dilaksanakan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth. Populasi penelitian adalah
peserta asuransi kesehatan PT.Asuransi jiwa InHealth
di PT.Catur Puta Harmonis sebanyak 127 orang.
Sampel penelitian merupakan bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi yaitu
sebanyak 95 orang. Pemilihan sampel dengan
menggunakan teknik simple random sampling.
53

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

responden yang menyatakan premi asuransi


kesehatan tinggi yaitu 36 responden (37,9%). Pada
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden memiliki tingkat pendapatan tinggi yaitu
54 responden (56,8%). Sedangkan 41 responden
(43,2%) memiliki tingkat pendapatan rendah.
Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar
responden menganggap kerugian finansial yang
dialami ketika sakit tinggi yaitu 79 responden
(83,2%). Sedangkan 16 responden (16,8%)
menganggap kerugian finansial yang dialami ketika
sakit rendah. Pada Tabel 10 menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai persepsi yang
baik terhadap risiko sakit yaitu 85 responden
(89,5%). Sedangkan sebagian kecil responden
mempunyai persepsi yang buruk terhadap risiko sakit
yaitu 100 responden (10,5%).
Pada Tabel 11 Menunjukkan bahwa sebagian
besar responden mempunyai perilaku yang baik
terhadap risiko sakit yaitu 57 responden (60,05).
Sedangkan sebagian kecil responden mempunyai
perilaku yang buruk terhadap risiko sakit yaitu 38
responden (40,0%).
Analisis Bivariat
Tabel 12 diperoleh hasil bahwa responden
yang memiliki permintaan (demand) asuransi
kesehatan yang tinggi lebih banyak menyatakan
harga premi rendah yaitu 51 responden (86,4%).
Sedangkan responden yang mempunyai permintaan
(demand) asuransi kesehatan yang rendah lebih
banyak menyatakan harga premi tinggi yaitu 13
responden (36,1%).
Hasil uji statistik dengan menggunakan chisquare diperoleh nilai p = 0.020, Karena nilai p
tersebut lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan
antara premi asuransi dengan permintaan (demand)
asuransi kesehatan
Tabel 13 diperoleh hasil bahwa responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang tinggi lebih banyak menyatakan tingkat
pendapatannya tinggi yaitu 51 responden (94,4%).
Sedangkan responden yang mempunyai permintaan
(demand) asuransi kesehatan rendah lebih banyak
menyatakan tingkat pendapatannya rendah yaitu 18
responden (43,9%). Hasil uji statistik dengan
menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.000,
Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata
0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti
ada hubungan antara tingkat pendapatan dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan.
Tabel 14 diperoleh hasil bahwa responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang tinggi lebih banyak menyatakan kerugian
finansial ketika sakit tinggi yaitu 65 responden
(82,3%). Sedangkan responden yang mempunyai

permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah


lebih banyak menyatakan kerugian finansial ketikka
sakit rendah yaitu 7 responden (43,8%). Hasil uji
statistik dengan menggunakan chi-square diperoleh
nilai p = 0.022, Karena nilai p tersebut lebih kecil
dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan Ha
diterima yang berarti ada hubungan antara besar
kerugian finansial dengan permintaan (demand)
asuransi kesehatan.
Tabel 15 diperoleh hasil bahwa responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang tinggi lebih banyak mempunyai persepsi
terhadap risiko sakit yang baik yaitu 70 responden
(82,4%). Sedangkan responden yang mempunyai
permintaan asuransi kesehatan rendah lebih banyak
mempunyai persepsi terhadap risiko sakit yang buruk
yaitu 6 orang (60,0%). Hasil uji statistik dengan
menggunakan chi-square diperoleh nilai p = 0.002,
Karena nilai p tersebut lebih kecil dari taraf nyata
0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti
ada hubungan antara persepsi terhadap risiko sakit
dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan.
Tabel 16 diperoleh hasil bahwa responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang tinggi lebih banyak mempunyai perilaku yang
baik terhadap risiko sakit yaitu 49 responden
(86,0%). Sedangkan responden yang mempunyai
permintaan (demand) asuransi kesehatan yang rendah
lebih banyak mempunyai perilaku yang buruk
terhadap risiko sakit yaitu 13 responden (34,2%).
Hasil uji statistik dengan menggunakan chi-square
diperoleh nilai p = 0.025, Karena nilai p tersebut
lebih kecil dari taraf nyata 0,05, maka Ho ditolak dan
Ha diterima yang berarti ada hubungan antara
perilaku terhadap risiko sakit dengan permintaan
(demand) asuransi kesehatan.
PEMBAHASAN
Hubungan Premi Asuransi Dengan Permintaan
(Demand) Asuransi Kesehatan.
Premi asuransi adalah sejumlah uang yang
harus dibayar secara berkala oleh seseorang setelah
mendaftarkan diri sebagai peserta. Jumlah dan waktu
pembayarannya ditetapkan atas dasar kesepakatan
antara peserta dan badan penyelenggara asuransi.
Terdapat hubungan antara premi asuransi dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang tinggi lebih banyak menyatakan harga premi
rendah yaitu 51 responden (86,4%). Hal ini
disebabkan karena karyawan di PT. Catur Putra
Harmonis mempunyai perbandingan dengan asuransi
kesehatan lain di perusahaan tersebut. Karena
perusahaan memberi dua macam asuransi kesehatan
untuk dipilih. Sedangkan responden yang
54

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57

mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehatan


yang rendah lebih banyak menyatakan harga premi
tinggi yaitu 13 responden (36,1%). Hal ini karena
umumnya responden mempunyai tingkat pendapatan
yang rendah sehingga paket pemeliharaan yang
didapatkan tidak selengkap karyawan yang
mempunyai jabatan di perusahaan.
Premi yang terjangkau dengan sistem
pembayaran yang mudah tidak akan membuat
karyawan segan untuk ikut asuransi kesehatan.
Begitupula sebaliknya, premi yang telalu tinggi akan
membuat orang enggan
untuk ikut asuransi
kesehatan. Mereka juga kemungkinan tidak akan lagi
meneruskan kepesertaan asuransi pada tahun
berikutnya jika mendapati harga premi yang dibayar
tidak sesuai dengan pelayanan baik dari rumah sakit
rekanan maupun dari perusahaan penyelenggara
asuransi.
Salah satu hal yang menjadi keunggulan dari
sistem pembayaran premi di PT. Asuransi jiwa
InHealth adalah kemudahan pembayarannya. Namun,
peserta mengeluhkan pihak rumah sakit rekanan yang
hanya mau menerima paket pemeliharaan tertentu
saja. Premi yang tidak terlalu tinggi dan pendapatan
cukup untuk pembayaran premi mempengaruhi
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi jiwa InHealth.
Hubungan
Tingkat
Pendapatan
Dengan
Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan.
Tingkat Pendapatan adalah sejumlah nilai
yang diperoleh dari usaha, kerja, atau imbalan dari
hasil usaha yang biasanya dapat diukur pada
tingkatan tertentu. Tingkat pendapatan suatu keluarga
banyak ditentukan oleh mata pencaharian keluarga
tersebut, disamping kecakapan (skill) yang dimiliki.
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pendapatan dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang
mempunyai permintaan(demand) asuransi kesehatan
yang tinggi sebagian besar menyatakan tingkat
pendapatannya tinggi yaitu 51 responden (94,4%).
Sedangkan responden yang mempunyai permintaan
(demand) asuransi kesehatan rendah menyatakan
tingkat pendapatannya rendah yaitu 18 responden
(43,9%).
Seseorang dengan tingkat pendapatan yang
tinggi akan cenderung memilih pelayanan apa yang
digunakan. Namun tidak demikian dengan responden
yang mempunyai tingkat pendapatan rendah.
Kebutuhan pokok adalah yang utama dan menjadikan
asuransi kesehatan adalah kebutuhan yang dipenuhi
setelah kebutuhan pokok tertutupi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Rasyidah
(2002) di kecamatan Batang Kabupaten Jeneponto
yang menunjukkan bahwa ada hubungan tingkat

pendapatan dengan permintaan (demand) masyarakat


terhadap
jaminan
pemeliharaan
kesehatan
masyarakat (JPKM).
Hal ini pula sejalan dengan
penelitian Rabiah (2002) di PT. Asuransi Takaful
Makassar yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara tingkat pendapatan dengan
Permintaan (demand) asuransi kesehatan.
Menurut Murti (2000), peningkatan pendapatan
meningkatkan kemampuan membayar (ability to pay)
dengan harga lebih tinggi untuk kualitas permintaan
yang sama. Sebaliknya meningkatnya pendapatan,
makin rendah permintaan akan barang inferior pada
semua tingkat harga. Di sektor kesehatan, contoh
barang inferior adalah pelayanan kesehatan di
Puskesmas.
Hubungan Besar Kerugian Finansial Dengan
Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan
Besar kerugian finansial adalah suatu kuantitas
untuk mengukur jumlah kerusakan atau kerugian
materil/ekonomi yang ditimbulkan oleh peristiwa
sakit atau kecelakaan yang terjadi. Dalam penelitian
ini di definisi operasionalkan menjadi perkiraan
peserta terhada risiko-risiko finansial yang harus
ditanggung ketika sakit.
Hasil analisis diketahui bahwa terdapat
hubungan antara besar kerugian finansial dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang
mempunyai permintaan (demand) asuransi kesehtan
yang tinggi lebih banyak menyatakan besar kerugian
finansial ketika sakit tinggi yaitu 65 responden
(82,3%). Hal ini disebabkan karena pengalaman
responden yang telah mengalami tingginya biaya
pengobatan tanpa asuransi. Sedangkan responden
yang mempunyai permintaan (demand) asuransi
kesehatan yang rendah lebih banyak menyatakan
besar kerugian finansial ketika sakit rendah yaitu 7
responden (43,8%). Sebagian besar responden yang
memperkirakan kerugian finansial mereka rendah
ketika sakit karena sakit yang biasa mereka alami
hanya memperbesar pengeluaran saja, tidak sampai
harus menguras tabungan apalagi harus menjual aset.
Dan juga tidak adanya sistem potong gaji jika tidak
masuk kantor saat sakit.
Biaya yang dikeluarkan untuk perawatan rumah
sakit akan terasa berat jika tidak mempunyai
persediaan uang atau orang yang ditempati untuk
meminjam. Responden yang sadar akan hal itu
memperkirakan kerugian finansial mereka saat sakit
tinggi. Dan karena pengalaman mereka atau salah
satu anggota keluarga yang mengalami jenis
pengobatan rawat inap atau operasi dan rawat jalan di
dokter ahli.
Hubungan Persepsi Terhadap Risiko Sakit
Dengan
Permintaan
(Demand)
Asuransi
Kesehatan
55

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

Persepsi terhadap risiko sakit adalah persepsi


individu tentang kemungkinan atau ketidakpastian
seseorang mengalami sakit yanag mendorongnya
untuk melakukan tindakan antisipatif dengan
memanfaatkan jasa asuransi.
Hasil analisis diketahui bahwa terdapat
hubungan antara persepsi terhadap risiko sakit
dengan permintaan (demand) asuransi kesehatan di
PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden
yang memiliki permintaan (demand) asuransi
kesehatan yang tinggi lebih banyak mempunyai
persepsi terhadap risiko sakit yang baik yaitu 70
responden (82,4%). Sedangkan respoonden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang rendah lebih banyak mempunyai persepsi
terhadap risiko sakit yang buruk yaitu 6 responden
(60,0%). Sebagian persepsi responden terhadap
risiko sakit cukup baik. Hal ini disebabkan karena
mereka memahami risiko sakit yang bisa terjadi
kapan saja dan dimana saja yang bisa menyebabkan
berbagai kerugian (fisik, waktu, aktivitas, finansial,
pekerjaan, dsb. Juga karena faktor umur dengan
kelompok terbanyak antara 30 50 tahun yang
merupakan umur produktif dan sudah mulai mudah
terserang penyakit degeneratif seperti diabetes,
kolesterol, hipertensi, dll.
Sedangkan responden yang mempunyai persepsi
terhadap risiko sakit yang buruk sehingga permintaan
(demand) terhadap asuransi kesehatannya rendah
disebabkan karena jarangnya penggunaan asuransi
kesehatan (jarang mengalami jenis pengobatan
seperti rawat inap/operasi) dan kebiasaan menguras
tabungan saat berobat. Umur yang masih muda, tidak
mempunyai tanggungan, dan status yang masih
lajang terkadang tidak terlalu memperdulikan risiko
sakit. Jika selama menjadi peserta karyawan menilai
asuransi kesehatan memberi manfaat lebih banyak
dari uang yang dikeluarkan maka mereka memilih
untuk meneruskan kepesertaan mereka tahun
berikutnya. Namun disini perusahaan memberikan
kebebasan kepada karyawan untuk memilih mau
mengambil/meminta jasa asuransi kesehatan
InHealth atau hanya menggunakan Jamsostek saja.
Hubungan Perilaku Terhadap Risiko Sakit
Dengan
Permintaan
(Demand)
Asuransi
Kesehatan.
Perilaku terhadap risiko sakit adalah sikap
individu terhadap hal-hal merugikan dan tidak
diharapkan yang terjadi akibat sakit. Perilaku ini
menunjukkan bagaimana individu menyikapi
kemungkinan risiko yang terjadi setelah sakit. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara perilaku terhadap risiko sakit dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth Makassar. Responden yang

memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan


tinggi lebih banyak mempunyai perilaku terhadap
risiko sakit yang baik yaitu 49 responden (86,0%).
Pada umumnya responden memilih asuransi
kesehatan untuk mengatasi risiko yang ditimbulkan
sewaktu waktu ketika sakit. Juga kecenderungan
apabila sakit langsung berobat ke dokter daripada
mengobati diri sendiri dengan cara tradisional atau
membeli obat di apotek.
Makin besar bersifat penghindar risiko, makin
besar biaya risiko murni, dan makin besar kemauan
membayar premi asuransi. Karena dengan membeli
asuransi, seorang penghindar risiko tidak hanya
mengubah kondisi yang tak pasti menjadi pasti
berkenaan dengan peristiwa sakit, tetapi juga
memperoleh kepuasan yang lebih tinggi daripada
tidak telindungi asuransi.(Bhisma murti, 2000).
Kesibukan dan aktivitas yang terganggu ketika sakit
membuat mereka berusaha untuk cepat sembuh. Bagi
karyawan swasta, secara profesional ketidakhadiran
di kantor satu hari membuat pekerjaan menumpuk.
Permintaan (Demand) Asuransi Kesehatan
Permintaan (demand) asuransi kesehatan adalah
kemauan dan kemampuan peserta untuk membayar
harga asuransi kesehatan sehingga tetap terdaftar
sebagai peserta aktif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa umumnya responden memiliki permintaan
(demand) asuransi kesehatan yang tinggi yaitu 74
responden (77,9%). Sedangkan responden yang
memiliki permintaan (demand) asuransi kesehatan
yang rendah yaitu 21 responden (22,1%). Hal ini
menunjukkan bahwa peserta asuransi kesehatan di
PT. Asuransi Jiwa InHealth sadar dan berminat akan
asuransi kesehatan yang ditawarkan oleh perusahaan
asuransi tersebut. Tingginya permintaan (demand)
asuransi kesehatan di PT. Asuransi Jiwa InHealth
sendiri karena sebagian besar responden penelitian
ini adalah karyawan PT. Catur Putra Harmonis
dimana untuk asuransi kesehatan disubsidi oleh
perusahaan. Tunjangan kesehatan ini disatukan
paketnya dengan total keseluruhan gaji. Hal ini juga
tak lepas dari kebijakan perusahaan untuk mengikat
kontrak atau melepas kontrak dengan perusahaan
asuransi tersebut. Namun dalam hal ini karyawan
diberi kebebasan memilih untuk mengambil/meminta
jasa asuransi kesehatan InHealth atau hanya
menggunakan Jamsostek saja. Seorang pasien yang
telah memutuskan untuk membeli produk asuransi
kesehatan sebelumnya telah melalui suatu proses
yaitu proses pengambilan keputusan pembelian
preoduk asuransi kesehatan. Proses pembelian yang
spesifik terdiri dari pengenalan masalah kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, keputusan
pembelian, dan perilaku pasca pembelian.

56

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 51-57

KESIMPULAN
Hasil penelitian menyimpulkan terdapat
hubungan antara Premi asuransi, tingkat pendapatan,
besar kerugian financial, persepsi terhadap risiko
sakit, perilaku terhadap risiko sakit dengan
permintaan (demand) asuransi kesehatan di PT.
Asuransi Jiwa InHealth.

SARAN
Pihak PT. Asuransi Jiwa InHealth Makassar
kiranya memberi informasi yang jelas pada peserta
asuransi kesehatan tentang penggunaan asuransi
kesehatan. Perlu adanya evaluasi kontinyu mengenai
kualitas pelayanan rumah sakit
rekanan yang
ditunjuk oleh pihak perusahaan asuransi.

DAFTAR PUSTAKA
Adisasmito wiku. 2010 Sistem Kesehatan. Jakarta :
Rajagrafindo Persada.
Ahmad,
Rasyidah.2007.Analisis
Permintaan
Asuransi Kesehatan Oleh Peserta Asuransi
Kesehatan PT.Asuransi Takaful Perwakilan
Makassar. Makassar : Skripsi Tidak
Diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin.
Tjiptoherjanto, Prijono dan Budhi Soestoyo. 2008
Ekonomi Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Rahardja,Prathama dan Manurung. 2002 Pengantar
Ilmu Ekonomi, Edisi Pertama. Jakarta :
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Profil Kesehatan Kota Makassar. 2008. Data dan
Informasi Kesehatan. Diakses Tanggal 25
November 2011 Melalui Data Kesehatan.2010.
Program Pelayanan Kesehatan Gratis.
Diakses tanggal 28 November 2011 melalui
http://datinkessulsel.files.wordpress.com/2009/
01/profil-makassar-07.pdf
Murti, Bhisma. 2000. Dasar-dasar Asuransi
Kesehatan. Yogyakarta : Kanisius.
Rabiah. 2002. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Demand Masyarakat Terhadap
Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Di Kecamatan Batang Kabupaten

Jeneponto,
Skripsi
Tidak
Diterbitkan.
Makassar : Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin.
Pujiyanto, 2005. Strategi Pemasaran dalam Iklan.
Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Razak Amran. 2010. Asuransi Kesehatan (Health
Insurance). Makassar : Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin.
TribunNews.2011.Jumlah Angkatan Kerja di
Indonesia Turun 2 Juta Orang.Diakses tanggal
29
November
2011
melalui
http://www.tribunnews.com/bisnis
Bappenas.2007. Deputi Bidang Evaluasi Kinerja
Pembangunan.
Online:Http://www.Bappenas.go.id.
2007.
Diakses tanggal 20 November 2011
Inhealth.2011.
Media
Inhealth.Online:Http://www.Inhealth.Co.id .
2010. Diakses Tanggal 20 November 2011
LKPK.2009. Program Sistem Penjaminan Biaya
Pelayanan Medik seharusnya Menjadi Fokus
Kegiatan
Depkes
5
tahun
mendatang.Online:Http://www.
LembagakajianPembangunankesehatan . 2009.
Diakses Tanggal 28 November 2011

57

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, Januari 2013, hal 58-62

Artikel IX

MEMPERKENALKAN KOMUNITAS ANTI ROKOK DI DAERAH BONEBONE KAWASAN ENREKANG- INDONESIA


Introducing A Smokeless Community In The Bone-Bone Area The District Of
Enrekang - Indonesia
Mappeaty Nyorong
Tenaga Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas Makassar
ABSTRAK
Perilaku merokok masyarakat Indonesia sudah menjadi hal yang umum, sehingga
seolah-olah tidak ada lagi ruang atau komunitas yang bebas asap rokok. Namun, dalam
kenyataannya bahwa terdapat sebuah desa yang komunitasnya tidak ada satupun orang yang
merokok. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperkenalkan desa bebas asap rokok yang
melibatkan seluruh penduduk. Desa Bone-Bone Bebas Asap Rokok lahir dari seorang
penduduk bernama Idris yang memulai melakukan pendekatan kepada pemangku adat di
Bone-Bone agar berhenti merokok. Lama-kelamaan gagasan itu merambah ke seluruh warga
dan akhirnya diterima gagasan itu sebagai sebuah perilaku berhenti merokok.
Kata kunci : Merokok, Indonesia
ABSTRACT
Indonesians people smoking behavior has become a coomon thing, that as if there
no more room or community were smokeless. However, in reality there is a village with none
smoker. This research aims to introduce smokeless village that involved all of the population.
Bone- bone smokeless village born from a resident named Idris who approach the indigenous
stakeholder in Bone- bone so that they could stop smoked. By time, that idea became
overspread among those population and finally accepted as stop smoking behavior.
Key Words : Smoking, Indonesia
INTRODUCTION
According to Reid (1985) tobacco was
introduced in Indonesia in the 16th century. In
traditional Indonesian society, being offered a
cigarette during wedding party, or celebration.
Tobacco use has been identified as an important risk
factor for many non-communicable diseases both in
developed and developing countries.
To date, about one-third of the worlds
population smokes, mostly in China, India and
Indonesia. These three Asian countries with large
populations have been the main target for tobacco
companies expansion. The three leading tobacco
company in Indonesia, Gudang Garam, Ji Sam Su
and Bentoel, produced 146 billion cigarettes in 2004.
The acquisition of 97 % of HM Sampoerna,
Indonesias third largest tobacco company in 2004,
by Philip Morris International in 2005 intensifies the
threat to tobacco control efforts in Indonesia.
Indonesian Government Regulation
Indonesian government under Megawati
Soekarnoputris
administration,
declared the
Government Regulation No. 19/2003, that smoking
was banned in such areas as (1) childrens areas, (2)
schools, (3) places of worship, and (4) public

transportation stations. The regulation has not


worked because most of those areas have many
smokers. For example, in childrens areas, when
someone wants to pick up his child, he will smoke a
cigarette while waiting to ease the boredom. In
schools, many teachers are smokers and will smoke
while teaching class. At school, students often see the
teachers smoking in their offices, in the schoolyard
or even in the classroom. In places of worship, such
as mosques, many Imams and others mosques
officers are smokers. In public transportation, many
bus drivers are smokers.
Smoking is culturally accepted
Let see, if you visit to the Indonesian house,
especially in rural areas, you will find on the table
guest lay of an ash tray, and very common people
with their guest engaged in speaking while they are
smoking in the guest room.
Male villagers smoke during social gatherings
and during the traditional dance or musical shows
that are occasionally performed in villages, for
example during birth and wedding ceremonies, as
well as religious festivals. In grieving ceremonies,
villagers come together and spend the night praying
58

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 58-62

and sharing feelings, snacks, coffee, and cigarettes.


In addition, cigarettes were often used as a gift to
friend, visitors, or guests In traditional or religious
ceremonies. Many people shared the same social
norms as the community as whole; when you are
offered a gift, it is impolite to refuse it.
Meet with a friend by chance at any places, they
offered cigarette, as a greeting, to be friendly.
Cigarettes were used to increase the boys social
status among their friends. If they smoked a good
expensive and popular cigarette brand, they felt more
confident, more mature and richer than their peers.
For them, tobacco and smoking play important roles
in making friends. Smoking is reflection of being in a
group and being a smoker among their smoking peers
is a sign of solidarity.
The overwhelming majority of smokers begin
tobacco use before they reach adulthood. Among
those young people who smoke, nearly one-quarter
smoked their first cigarette before they reached the
age of ten. Several factors increase the risk of youth
smoking. These include tobacco industry advertising
and promotion, easy access to tobacco products, and
low prices. Peer pressure plays an important role
through friends and siblings smoking. Other risk
factors associated with youth smoking include having
a lower self-image than peers, and perceiving that
tobacco use is normal or cool . Many studies show
that parental smoking is associated with higher youth
smoking. While the most serious effects of tobacco
use normally occur after decades of smoking, there
are also immediate negative health effects for young
smokers. Most teenage smokers are already addicted
while in adolescence.
According to F. Moeloek (2002), the majorities
of smoker families spent about 10 % of their income
for cigarettes. While in Sukabumi, West of Java
found that about 13% of the total income was spent
for cigarettes.
People known cigarettes as either white
cigarette, or clove cigarette. The white cigarette
includes Marlboro, Salem, U mild, and clove
cigarette, like Bentoel, Ji Sam Su, Gudang Garam.
the factory of that cigarette in Java. In fact that a lot
of people use clove cigarette for smoking it might be
cause of the availability of cigarettes in the all
countries of Indonesia.
Tobacco is an important part of the society
Global consumption of cigarettes has been rising
steadily since manufactured cigarettes were
introduced at the beginning of the 20th century.
While consumption is leveling off and even
decreasing in some countries, worldwide more
people are smoking, and smokers are smoking more
cigarettes. The numbers of smokers will increase
mainly due to expansion of the worlds population

Smoking takes on particular meaning during


culturally significant life events such as wedding
party, circumcision of boys aged 10-12 years in rural
areas. In traditional Indonesian society, being offered
a cigarette during circumcision ceremonies signal a
young mans entry into adulthood and maturity. This
is a symbolic act that also serves to introduce
smoking as a normative behavior among adult males.
the height of the relationship between respectable
masculinities and smoking. Male smokers saw
themselves as having self-control and as being
connoisseurs. Smoking brought men of different
backgrounds together. It gave odour and visible
shape to spaces socially constructed as male.
Women who entered such space not only risked
infusing their clothes with its smell; they put their
respectability into question. As the immediate preFirst World War period saw increasing challenges
from women's groups who demanded citizenship
rights, smoking was more and more used as a ritual
to exclude women from the public sphere and fuller
rights. Yet even during this period when smoking by
women was culturally outlawed, an emergent group
of women appropriated the liberal symbolism of the
ritual to challenge the limits that separate spheres
ideology placed on female citizenship and demanded
the "right" to smoke. Greater acceptance of women
smoking occurred after the war as they gained more
citizenship rights and increasingly worked in public
places. Though the concepts were often inseparable,
class and gender related differently to notions of the
liberal individual.
Once again, smoking provides insights. In the
late nineteenth century, tobacco was inexpensive
enough that almost all men could smoke, regardless
of class. However, not all men could afford to smoke
highly esteemed tobacco, and the value placed on the
tobacco reflected on the character of the smoker. The
symbolic consequences of smoking poorly regarded
tobacco worked differently for the rich and the poor.
A wealthy man could smoke a low-quality tobacco
and in the end still be rich, whereas for a poor man to
smoke an inferior tobacco was seen as a reflection of
his character and a cause of his class position.
Similarly, there were considerable material barriers
to following the gender prescriptions of space around
smoking. Not everyone could provide a separate
space for male smokers, and the consequences of
being unable to segregate the sexes by smoking
reflected on the character of the smoker and any
women present. Yet men could demonstrate their
class by exhibiting self-control in public situations
and refraining from smoking when in the presence of
women. Self-control also became a class issue since
the amount of time a man could spend smoking was
limited by his job, making it difficult for him to live
59

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

up to the ideal of the leisurely, self-controlled


smoker. Conversely, working-class poverty could be
blamed on a man's excessive smoking.
Religious Views On Smoking
In most major religions in Indonesia, Islam,
Christian, Hinduism, Buddhist and Confucianism,
tobacco smoking is not specifically prohibited,
although it may be discouraged as an immoral habit.
The major countries of Southeast Asia,
However, in some areas like in Brunei, Indonesian
neighbor, the majority of Islamic leaders stated that
smoking is prohibited for the Muslim; therefore,
smoking in Brunei is banned.
To day, the Islamic leaders of Indonesia still
debated about smoking in Islamic view. Whether
smoking is discouraged or prohibited for Muslims
remains debatable worldwide. I read Kompas
yesterday; stated that the Indonesian Islamic Council
meeting on January 23-26, 2009, finally makes a
decision dealing with cigarette smoking. The
conclusion of that meeting was that smoking is
banned for children, youth and pregnant women.
Therefore, Islamic followers will not be confused in
the next coming year.
The community of Bone-Bone
The community under examination is a
community of people who are located in Bone-Bone.
This is one of the villages in the sub district of
Baraka, in the District of Enrekang. This community,
some time ago, was not yet known as a community,
which had special characteristics. However, as the
thoughts of individuals have developed in modern
times, the social behavior of its citizens is changing.
Approaching the sub village of Bone-Bone,
there is a sign on the left hand side of the road that
states Dusun Bone-Bone Dusun Sehat (The BoneBone sub village is a healthy sub village). And also
Enjoy the beautiful scenery and the fresh of air of
our sub village. This sign made of a big billboard.
Another billboard states that Thank you for not
smoking at Bone-Bone area. Those billboards
placed at about 2 km away from the Bone-Bone,
which also as place for everyone who want to
smoking. As usually visitor comes to this place to
have smoking and back again to Bone-Bone. This
area marked as the border between smoker and non
smoker people.
Before 2001, only a portion of the village
inhabitants in the Bone-Bone sub district of Baraka
Kabupaten Enrekang smoked, with various reasons
and views about smoking. Various Psychological
aspects also go along in coloring the reasons for
smoking. Such as smoking has its own enjoyment,
one appears manly and looks macho. The boys
emphasized that smoking is common everywhere
among men and that this has been the case ever since

tobacco was first smoked. At home at least one of


their family members smoked and in their social life
of their friends were smokers. However, it seems as
if the non-smokers perceived fewer smoker around
them, whereas the smokers stressed that everybody
smokes.
The people of Bone-Bone who smoked at that
time started from school kids to old people. There is
no choice place to smoke, one can smoke anywhere
except the Mosque. There is smoking in village
meetings, if there is a ceremony such as a wedding, a
death, or a circumcision. The point is one can smoke
anywhereat the house, in the garden or in the rice
fields. When smoking, also there is no choice time, a
person starts in the morning, continues through the
afternoon and into the evening. Smoking is
something that cannot be left behind in everyday life,
many people smoke after they eat, drink coffee, or
work in the rice fields. This theme reflect the norms
and values relating to smoking in most Indonesian
society as described by the boys, the reasons for their
smoking, their perceptions of health risks and their
beliefs on addiction and on quitting.
The rise of the changing behavior
In 2000, there emerged a new tendency about
smoking, that issmoking causes more harm than
goodwas born out of a religious lecture during the
month of Ramadan by Chairuddin, the imam at the
Al Hamra Cakke Mosque. It was evident that the
citizens were struck with this view, and then Idris the
village head took initiatives to survey the opinions of
some of the citizens concerning smoking.
After planning with various community leaders,
an announcement was made saying Dusun BoneBone Bebas Asap Rokok or The village of BoneBone is Smoke-Free. On Friday, where all the male
citizens were at the Nurul Huda Mosque for Friday
prayer, there was not one male who did not hear this
announcement.
People who smoke of course had other opinions
about the agreement of the announcement. Various
views in opposition or support arose; however, it has
become clear that currently, not one person in the
village of Bone-Bone smokes. If there is a person
who must smoke, especially visitors, they may
smoke outside of the village, under the billboard that
says Dusun Bone-Bone, Dusun Sehat or the Sub
Village of Bone-Bone is a Healthy Sub Village. This
billboard was brought by the Republic of Indonesias
Department of Health, to begin promoting health.
The cold weather in Bone-Bone makes many
people chase away the feeling of coldness by taking
cigarettes because of the cold weather. In 2000, Surip
Mawardi, a researcher from Jember, East Java and
Blair Krueger from Hayward California USA a
coffee specialist from Atlantic specially Coffee
60

Jurnal MKMI, Januari 2013, hal 58-62

Incorporated, measured Bone-Bones sea level and


confirmed that Bone-Bone is 1.500 meter above sea
level. Currently there are over 600 people in BoneBone and about 108 households.
The Bone-Bone settlement, in terms of the local
governments stance, is a sub-village; however, in
2007 its status rose, so the local government became
a village. In 2008, there was a village level election
to choose a leader. The majority of Bone-Bone voters
elected Idris as the village head. The village of BoneBone covered three areas: Buntu Billa, BunginBungin and Pendokesan, with a total number of 134
households.
In 1999, Idris, the head of sub-village, before the
risen status as a village, graduated from the State
Islamic Religious Institute Alauddin in Makassar,
from the faculty of Ushuluddin, Department of
Dawah appointed by the Bone-Bone villager as the
head of the sub-village. He always paid close
attention to the every-day lives of the population of
Bone-Bone, particularly to the aspects of education
and Islamic life.
All the inhabitants of the village of Bone-Bone
are from the religion of Islam and adhere to the five
daily prayer schedules. Moreover, villagers also
follow the Islamic code. For women who have
matured and even female children, it is necessary to
wear the jilbab, like a hat which covered the whole
head, on their heads, according to the villagers, if
women is not wearing jilbab, then she must be from
outside the village.
The people of Bone-Bone are Muslims and must
memorize at least ten short verses from the AlQuran. The children must memorize at least the last
part of the Al-Quran so it is certain that the entire
population is not illiterate in terms of reading the AlQuran. The whole populations are literate in Latin
character; therefore all citizens can read both Al
Quran and reading materials in Latin character.
The emerging of smoke-free village
Chairuddin is an Imam in two Mosques; the
Alhamra Mosque and the Haji Andi Liu Mosque,
both are located in Cakke. While he holds his Imam
positions, he is also a teacher at a secondary school,
who had come to Bone-Bone to give lectures in
2000.
His lectures discussed the importance of fasting
during Ramadan in 2000 and also gave lectures about
the dangers of smoking on the last fasting day. Those
religious lectures are what inspired Idris to
implement a Free-smoking sub-village. In fact, Idris
was not alone, one by one friends and colleagues
came to Idris to discuss the smoking issue.
Discussions dealing with smoking were held at the
Nurul Huda Mosque in Bone-Bone after completing
the 6 pm prayer. Not long after the process of

convincing the population of the dangers of smoking,


the sub village became smoke free because the
population, schoolteachers, and Imams also
supported the notion of dusun bebas rokok. It is
clear who was supporting Idriss ideas, who came to
be called the Idriss team: Firdaus, imam of Nurul
Huda Mosque, Bone-Bone; Amiruddin, Community
Leader; Abdul Wahid; Aris; Idris, Village Head;
Darwis; Tamrin, a Islamic schoolteacher; Arifin, a
grade school teacher .These eight people pushed the
program to the population and influenced the entire
community.
In 2001, the announcement in the Nurul Huda
Mosque in Bone-Bone said that Bone-Bone would
become smoke-free for the following reasons:
Smoking impedes on ones education; Smoking is
harmful to your health and others; Smoking is not a
productive way to spend your money and time;
Verses in the Al-Quran forbid smoking, according to
Ibn Taimiyahs interpretation, an Islamic scholar.
The risen of problem
The commitment has been announced and there
has been a positive response from the villagers,
which was fine for those who do not smoke.
However, what about those who do smoke? What are
their views? Theoretically, according to Aditama
(1997: 62) it is not easy for a person to stop smoking
because, there is an addiction to the nicotine in
cigarette smoke and a psychological factor that
leaves a sense of loss, if the person is not smoking.
For those who are smokers, there were a variety of
reactions to the announcement Bone-Bone dusun
bebas asap rokok; most of the reactions were light.
Although smokers did not agree, some remained
silent while others protested.
In fact, in the year of 2005, all of the inhabitants
were no longer smoking, that means the program of
the village head was successful. Today he tries to
improve his village by using skills training, such as
how to grow coffee beans properly, instead of
traditionally.
The overarching question is why are all the
citizens in Bone-Bone submissive to the nonsmoking commitment agreement? More specific my
questions include: What is the role of the Idris teams
as charismatic leaders? Are non-smoking people in
Bone-Bone the norm of the village system? What is
the punishment for those who decide to smoke?
The last, finally
Let me telling you a story, in the year of 2007,
when the Head of the District of Enrekang, let say,
named La Tinro, he was a heavy smoker. One day,
while speaking to his staffs about Bone-Bone, the
staff said that you couldnt go to the Bone-Bone sir.
Why? he asked, because you are a heavy smoker, in
fact people of Bone-Bone banned smoking in their
61

Jurnal MKMI, Vol 9 No.1, 2013

area. Ok, the Head of the District says, I quit


smoking right now. He putts his butt and order to
clean up off his office, take out all of my cigarettes.
Now, it seems like hypnosis, as Mettlins consider,
one of the techniques for modifying smoking
behavior. The success of La Tinro, quit smoking
should be a model, or become a local government

tobacco control policy should emphasize a smoking


free society as norm, especially (1) childrens area
(2) schools, (3) place of worship and (4) public
transportation station and regulations regarding the
banning of smoking should be enforced at all levels
and areas of community. Of course, it will be risen a
protest.

DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga, (1997). Rokok dan
Kesehatan. Edisi ketiga. Jakarta: Universitas
Indonesia Press
Basyir, Abu Umar, (2005), Mengapa Ragu
Tinggalkan Rokok?, Jakarta: Pustaka AtTazkia
Bouman, P. J. (1980). Ilmu Masyarakat Umum:
Pengantar Sosiologi. Cetakan ke 16. Jakarta:
P.T. Pembangunan.
Hans H. Gerth dan C. Wright Mills (1946). Max
Weber: Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Henslin, James M. (2006), Sosiologi: dengan
Pendekatan Membumi. Jilid 1. Edisi 6.
Jakarta: Penerbit Erlangga.
Jarrett, Rudy. (2005). Freedom to Smoke.
Worldwide, PQ, CAN: McGill-Queen's
University Press
Mackay, Judith and Eriksen, Michael (2002). The
Tobacco Atlas. Geneva: WHO

Kompas, (2009), Fatwa Majelis Ulama Indonesia


tentang merokok. Surat Kabar Harian
Kompas, Jakarta, tgl. 27 Januari 2009.
Reid A., (1985), From betel-chewing to tobacco in
Indonesia. J Asian Stud 1985; 44: 529-547.
Strauss, Anselm and Corbin, Juliet, (1990). Basis of
qualitative research: Grounded Theory
Procedures and Techniques. Newbury Park:
Sage Publications
Wolinsky, Fredric D. (1988). The Sociology of
Health: Principles, Practitioners, and Issues.
Belmont: Wadsworth Publishing Company.
Traquet, Claire Chollat. (1996). Evaluating Tobacco
Control Activities: Experiences and Guiding
Principles.
Geneva:
World
Health
Organization
Twaddle, Andrew C. and Hessler, Richard M.
(1987). A Sociology of Health. 2th edition.
New York: Macmillan Publishing Company.

62

FORMULIR BERLANGGANAN
JURNAL MKMI
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama

: ..

Alamat

: ..
..
..

Wilayah
*lingkari

: 1. Dalam Kota Makassar


2. Luar Kota Makassar

Telepon

: ..

Email

: ..

bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia (MKMI)
dengan biaya berlangganan (pilih salah satu) :
Rp. 200.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Luar Kota Makassar, ongkos kirim)
Rp. 150.000,- / tahun (Jurnal 4 edisi, Dalam Kota Makassar)

.,2013

()

Pembayaran ditransfer ke:


NO. Rek BNI. 0277269148
a.n. Ibu Ida Leida Maria, SKM
Bukti transfer berikut formulir ini dikembalikan ke:
Sekretariat
Redaksi Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia
Kasman (085226549077) dan Laila Qadrianti (085656099697)
d.a. Ruang Jurnal FKM Lt.1Ruang K108 Kampus UNHAS Tamalanrea 90245
(0411) 585 658, Fax (0411) 586 013.
E-mail: jurnal.mkmi@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai