Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang

Gonore merupakan penyakit menular seksual tertinggi kedua di US. Insidennya cukup
tinggi baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di US ditemukan penderita
gonorrhea sebanyak 309.341 kasus pada tahun 2010 dan angka kejadiannya 100,8 dari
100.000 populasi. Gonore pada wanita ditemukan sedikit lebih banyak dengan rata-rata usia
15-24 tahun dibandingkan pada pria dengan rata-rata usia 20-24 tahun (gambar 1). Di
Indonesia sendiri angka kejadian gonore cukup tinggi hanya saja pengumpulan data penderita
gonore sulit ditentukan karena banyaknya penderita gonore yang berobat sendiri atau datang
ke praktek swasta dan data tersebut tidak dilaporkan.1
DI RSU DR Soetomo Surabaya pernah dilakukan penelitian untuk mengetahui jumlah
pasien baru dengan gonore pada tahun 2002 sampai 2006. Jumlah penderita gonore dari tahun
2002 sampai 2006 sebanyak 321 orang dengan usia paling banyak antara 25-44 tahun. Lakilaki lebih banyak 10x dibandingkan wanita. Dari penelitian ini juga didapatkan 138 penderita
sudah menikah dan 182 penderita belum menikah.2 Penularan gonore lebih mudah terjadi dari
pria ke wanita dibandingkan sebaliknya. Penularan pada wanita pada saat unprotected sex
dengan pria yang terinfeksi sebesar 40-60%. Orofaringeal gonore terjadi 20% pada saat
fellatio dengan pria terinfeksi dan jarang pada keadaan sebaliknya. Gonore tidak hanya
menyerang genital saja tetapi juga ekstragenital.3
Terapi yang diberikan pada pasien dengan gonorrhea juga mengalami perubahan
karena resistensi antibiotik pada gonorrhea. Contohnya penicillinase producing neisseria
gonorrhoeae (PPNG) dan tetracycline resistance neisseria gonorrhoeae (TTNG) di mana
bakteri gonorrheae resisten terhadap penisilin dan tetracyclin. Ditemukan juga resistensi pada
quinolon sehingga sejak April 2007 quinolon tidak direkomendasikan sebagai terapi pada
gonore. Oleh karena resistensi penggunaan antibiotik pada penderita gonore maka berbagai
macam antibiotik diteliti untuk terapi gonore (gambar 2). 1

Gambar 1. Angka kejadian gonore berdasarkan jenis kelamin di US, 2010

Gambar 2. Antimikrobial resisten N.gonorrhoeae

Definisi
Gonore adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonorrhoeae yang
termasuk grup Neisseria dan dikenal ada 4 spesies yaitu N. gonorrhoeae dan N.meningiditis
yang bersifat patogen serta N.catarrhalis dan N.pharyngis sicca yang bersifat komensal.
Gonokok termasuk

golongan dipolokok berbentuk biji kopi berukuran lebar 0,8 dan

panjang 1,6 bersifat tahan asam, gram negatif, dan dapat hidup intra maupun ekstraseluler
(gambar 3). Secara morfologik gonokok terdiri atas 4 tipe yaitu tipe 1 dan 2 yang mempunyai
pili bersifat virulen, serta tipe 3 dan 4 yang tidak mempunyai vili dan tidak virulen. Pili
melekat pada daerah dengan mukosa epitel kuboid atau lapis gepeng yang belum immatur
dan menimbulkan reaksi radang.4

Gambar 3. Neisseria gonorrhoeae

Gonore pada laki-laki3,4


Uretritis
Gonore pada laki-laki paling sering berupa uretritis akut. Masa inkubasinya sekitar 27 hari, walaupun intervalnya bisa lebih lama dan asimtomatik. Manifestasi klinisnya berupa
adanya duh tubuh dari uretra dan nyeri saat berkemih (disuria), tanpa disertai frekuensi atau
urgensi. Selain itu juga sering terasa panas di distal uretra dekat orifisium uretra eksterna
(OUE). OUE tampak eritema dan edema. Pada awalnya duh tubuh sedikit dan mukoid,
dalam 1 atau 2 hari akan berubah menjadi tebal dan bernanah (gambar 3).

Gambar 3. Uretritis gonore

Epididimitis
Epididimitis jarang terjadi. Biasanya unilateral dan disertai deferentitis. Epididimis
tampak membengkak dan teraba panas, juga testis, sehingga menyerupai hidrokel sekunder.
Pada saat ditekan terasa nyeri sekali dan jika mengenai kedua epididimis dapat menyebabkan
infertilitas (gambar 4).

Gambar 4. Epididimitis akibat gonore

Prostatitis
Prostatitis juga sudah jarang terjadi. Prostatitis ditandai dengan perasaan tidak enak
pada daerah perineum dan suprapubis, malaise, demam, nyeri saat berkemih hingga hematuri,
retensi urin, konstipasi. Prostat teraba membesar disertai nyeri tekan pada pemeriksaan rectal
touche. Bila sudah menjadi kronis gejala ringan dan intermiten dan pada pemeriksaan rectal
touche prostat teraba kenyal, berbentuk nodus, sedikit nyeri pada saat ditekan.
Cowperitis
Dapat asimtomatik jika duktus yang terkena. Kalau infeksi terjadi pada kelenjar dapat
terjadi abses dan menyebabkan nyeri, adanya benjolan pada perineum yang terasa panas,
nyeri saat berkemih dan defekasi.
Vesikulitis
Radang akut yang mengenai vesikula seminalis dan duktus ejakulatorius, dapat timbul
menyertai prostatitis akut atau epididimitis akut. Gejalanya mirip prostatitis akut seperti
demam, polakisuria, hematuria terminal, nyeri saat ejakulasi.

Gonore pada wanita3,4


Servisitis
Servisitis merupakan gejala yang paling sering terjadi pada wanita yang terinfeksi
N.gonorrhoeae (gambar 5). Bakteri ini menyerang epitel kolumnar dari serviks. Dapat terjadi
asimptomatik sehingga penderita datang sudah dengan komplikasi. Gejala yang timbul
berupa sekret mukopurulen dari serviks dan serviks tampak meradang, disuria (dapat disertai
frekuensi) yang disebabkan terjadinya uretritis. Masa inkubasinya sekitar 10 hari dan gejala
yang timbul biasanya akut dan lebih berat dibandingkan servisits akibat infeksi clamidia. Bila
infeksi sudah menyebar dapat menyebabkan nyeri pada perut bagian bawah atau punggung
serta nyeri pada saat berhubungan seks. Infeksi yang tidak diobati dapat menyebabkan pelvic
inflammatory disease (PID).

Gambar 5. Servisitis gonokokal


Vaginitis
Mukosa vagina pada wanita sehat terdiri atas sel epitel skuamosa sehingga jarang
terinfeksi oleh N. gonorrhoeae. Infeksi dapat terjadi pada wanita pada masa prepubertal dan
postmenopause di mana lapisan sel skuamosanya tipis. Pada pemeriksaan dengan spekulum
dan bimanual terasa sangat nyeri. Mukosa vagina tampak merah dan edema, juga terdapat
duh tubuh dari vagina. Selain itu terjadi juga infeksi pada uretra, kelenjar Skene, dan kelenjar
Bartolin.

Proktitis3,4
Proktitis pada wanita dan pria pada umumnya asimtomatik. Pada wanita dapat terjadi
karena kontaminasi dari vagina atau hubungan seksual. Keluhan pada wanita biasanya lebih
ringan daripada pria seperti nyeri minimal atau gatal pada daerah anorektal, tenesmus, duh
tubuh dari rektal yang purulent, perdarahan rektal. Pada pria risiko lebih tinggi ditemukan
pada pria homoseksual. Bakteri gonokok yang diisolasi dari rektal ditemukan lebih resisten
terhadap antibiotik.

Orofaringits3,4
Biasanya asimtomatik atau gejala ringan. Kadang dapat dijumpai limfadenitis
servikal. Dapat terjadi karen hubungan seksusal orogenital. Biasanya gejala hilang sendiri.

Konjungtivitis3,4
Pada dewasa terjadi karen autoinokulasi dari area genital. Keluhan berupa fotofobi,
konjungtiva bengkak, merah, dan terdapat eksudat mukopurulen. Bila tidak diobati dapat
terjadi ulkus kornea dan panoftalmitis. Dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir dari ibu
dengan gonore (gambar 6). Gejala akut dan muncul 2-5 hari setelah lahir. Gejala mirip seperti
pada dewasa dan ditemukan orofaringitis (batuk) pada 35% bayi yang terkena konjungtivitis.

Gambar 6. Gonore ophtalmia neonatorum

Gonore diseminata3,4
Sekitar 1% kasus gonore dapat menjadi kasus gonore diseminata. Kasus ini ditemukan
lebih banyak pada wanita dan biasanya pada penderita gonore asimtomatik. Gejala dapat
berupa artritis, miokarditis, endokarditis, perikarditis, meningitis, dan dermatitis.

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan klinis
Perlu ditanyakan faktor-faktor resiko pada penderita infeksi menular seksual (IMS)
seperti :
1. Pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir
2. Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir
3. Mengalami 1/ lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir
4. Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi
Perlu ditanyakan bagaimana penderita melakukan hubungan seksual seperti jenis
kelamin pasangan, caranya (genito-genital), riwayat pemakaian kondom. Pertanyaan seperti
ini dapat dilakukan dengan membina kepercayaan dari pasien sehingga data yang didapat
akurat. Riwaya penyakit yang pernah diderita pasien juga ditanyakan baik yang berhubungan

dengan IMS ataupun penyakit sistemik lainnya. Untuk pemeriksaan klinisnya diperhatikan
gejala- gejala yang timbul sesuai dengan manifestasi pada bagian tubuh yang terserang.5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk memastikan diagnosa gonore dari penyakit
IMS lainnya. Pemeriksaan sediaan langsung dengan pewarnaan Gram akan ditemukan bakteri
gonokok intra dan ekstraseluler. Bahan duh tubuh dari uretra pada pria diambil dari daerah
fosa navikularis dengan sengkelit atau swab berukuran kecil. Bila duh tubuh tidak keluar
dapat dilakukan milking.4 Pada wanita sediaan diambil dari serviks, forniks posterior, dinding
vagina, dan dari uretra dengan menggunakan spekulum dan swab Dacron. Pada wanita yang
masih perawan tidak dimasukkan spekulum sehingga sediaan hanya diambil dari uretra dan
dinding vagina dengan swab. Pemeriksaan Gram ini memiliki sensitivitas >90% dan
spesifisitas >95%. Suatu penelitian mencoba membandingkan pewarnaan Gram ini dengan
pewarnaan menggunakan methylen blue (MB) atau gentian violet (GV). Pewarnaan dengan
menggunakan MB/GV memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang hampir sama dengan
pewarnaan Gram. Keuntungannya ialah hasil lebih cepat didapat dibandingkan dengan
pewarnaan Gram. Kerugiannya dengan MB adalah sulit untuk menentukan apakah bakteri
gonokok tersebut berada intra atau ekstraseluler.6
Untuk kultur digunakan dua macam media yaitu media transport dan media
pertumbuhan. Media transport yang dapat digunakan adalah media Transgrow. Media ini
selektif dan nutritif untuk N.gonorrhoeae dan N.meningiditis, dapat bertahan selama 96 jam
dan dapat berfungsi sebagai media pertumbuhan. Media pertumbuhan yang sering digunakan
adalah media Thayer Martin. Media ini mengandung vankomisin, colistin, dan nistatin. Pada
media modifikasi Thayer Martin ditambahkan trimetoprim untuk mencegah pertumbuhan
kuman Proteus spp. Beberapa tes lain dapat dilakukan seperti tes oksidasi, tes fermentasi, tes
beta laktamase, dan tes Thomson.4 Di Amerika dilakukan pemeriksaan NAAT ( nucleic acid
amplification test) untuk menunjang diagnosa gonore. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan
polymerase chain reaction (PCR) dan transcription mediated amplification (TMA). Test ini
memerlukan urin dari penderita ataupun darah dari daerah yang terinfeksi.7

Terapi untuk Gonore


Terapi untuk gonore menjadi masalah karena semakin berkembangnya resistensi
terhadap antibiotik tertentu. Terapi yang adekuat diperlukan untuk mencegah resistensi
terhadap antibiotik lain yang belum resisten. Resistensi terjadi melalui 2 mekanisme yaitu
resistensi yang diperantarai kromosomal dan plasmid.8
Penisilin
Dahulu penicilin digunakan sebagai terapi untuk gonore. Penisilin bekerja pada
penicilin binding protein (PBP), enzim yang berperan pada metabolisme dinding sel.
Perubahan pada PBP ini menyebabkan berkurangnya afinitas penggunaan penisilin.
Perubahan kromosomal pada N. gonorrhoeae (NG) terjadi pada lokus mtr dan penB.
Perubahan ini menyebabkan berkurangnya permeabilitas dinding sel terhadap antibiotik. NG
yang resisten karena perubahan kromosomal ini disebut

chromosomally resistant NG

(CMRNG).
Resistensi terhadap penisilin juga diperantarai plasmid, menghasilkan TEM-1
tipe -Lactamase. Enzim ini menghidrolisis cincin -Lactamase dari penisilin dan
menginaktivasi penisilin tersebut. Resitensi ini disebut penicilin producing NG (PPNG).
PPNG dan CMRNG dapat terjadi secara bersamaan.8
Spektinomisin dan aminoglikosida
Resistensi terhadap spektinomisin dan aminoglikosida terjadi karena mutasi
kromosom yang menyebabkan resistensi tinggi.8
Tetrasiklin
Pemberian tetrasiklin tidak dianjurkan karena untuk terapi gonore diperlukan dosis
yang tinggi selama beberapa hari. Dahulu pernah digunakan karena harganya murah.
Mekanisme resisternsi terjadi melalui perantara kromosom dan plasmid di mana resistensi
paling tinggi diperantarai oleh plasmid. Kejadian ini pertama ditemukan tahun 1986.8
Quinolon
Tahun 1993 CDC merekomendasikan pemberian quinolon yaitu ciprofloksasin 500mg
per oral atau ofloksasin 400mg single dose sebagai terapi terhadap gonore. Tetapi pada tahun
1995 ditemukan resistensi terhadap quinolon di US, UK, Australia, dan Hongkong. Beberapa

penelitian menguji pemberian quinolon dengan strain dari NG dan didapatkan strain NG yang
resiten terhadap quinolon di beberapa negara.9,10 Oleh karena itu quinolon sudah tidak
diberikan lagi sebagai lini pertama untuk pengobatan gonore. Target dari quinolon adalah
topoisomerase, termasuk DNA gyrase. Mutasi terjadi karenap perubahan gen gyrA dan gen
parC (gen yang berperan dalam produksi topoisomerase IV). Quinolon generasi 4 seperti
klinafloksasin efektif terhadap NG dengan mutasi gen parC tetapi tidak efektif terhadap
mutasi gen gyrA. Resistensi quinolon paling sering terjadi diperantarai kromosomal.
Resistensi yang diperantarai plasmid ditemukan pada bakteri Shigella dan Klebsiella.8,10
Oleh karena resistensi terhadap berbagai antibiotik maka CDC memberikan guideline
untuk terapi gonore. Untuk infeksi gonore pada serviks, uretra, dan rektum diberikan seperti
gambar 7.

Gamabr 7. Terapi NG untuk infeksi serviks, uretra, dan rektum.


Ceftriaxone injeksi tunggal mempunyai efek bakterisidal tinggi di dalam darah.
Pemberiannya efektif dan aman untuk penderita gonore, efektivitasnya 99,2% pada daerah
urogenital dan anorektal dan efektivitas 98,9% untuk infeksi orofaringeal. Alasannya
diberikan 250mg dan bukan 125mg seperti yang dulu karena kerentanan NG terhadap
sefalosporin yang berkurang dan luas, efikasi pemberian ceftriaxone 250mg untuk infeksi
orofaringeal, dan efek samping yang minimal.
Pemberian cefixime oral 400mg tidak memiliki efek bakterisida setinggi ceftriaxone
dengan efektivitas 97,5% untuk uro dan anogenital dan efektivitas 92,3% untuk orofaring.
Untuk infeksi orofaring lebih efektif diberikan ceftriaxone. Pemberian regimen lain seperti
cefotaxime 500mg IM, ceftizoxime 500mg IM memeliki efek yang mirip dengan ceftriaxone.

Azithromycin 2g PO lebih efektif untuk pengobatan gonore. Karena kemudahannya


untuk resistensi maka pemberian makrolid harus dibatasi. Pemberian 1g sudah cukup
memenuhi kriteria tetapi karena pernah ditemukan kegagalan terapi dan kecenderungan NG
untuk resistensi lebih tinggi maka sebaiknya diberikan dalam dosis 2g. Untuk infeksi
orofaring dapat diberikan ceftriaxone 250mg IM dosis tunggal ditambah azithromycin 1g
atau doxycycline 100mg PO 2 kali sehari selama 7 hari. Untuk konjungtivitis neonatorum
dapat diberikan ceftriaxone dengan dosis 25-50mg/kg IV atau IM dosis tunggal dan tidak
melebihi 125mg. Untuk profilaksis dengan ibu yang menderita gonore dapat diberikan
ceftriaxone dengan dosis yang sama seperti untuk kongjungtivitis neonatorum.11
Untuk di Indonesia sendiri menurut departemen kesehatan dapat diberikan terapi
sebagai berikut5 :

Ciprofloxacine dan ofloxacine sudah tidak diberikan kembali karena menunjukkan angka
resistensi yang tinggi. Untuk epididimitis diberikan :

Untuk servisitis diberikan terapi sebagai berikut :

Sedangkan untuk konjungtivitis neonatorum :

Cefixime merupakan satu-satunya obat oral golongan sefalosporin yang diberikan untuk
penderita gonore. Ditemukan resistensi NG terhadap pemberian cefixime di beberapa negara
barat seperti Kanada, Austria, dan UK.12,13 Hal ini disebabkan karena pemberian cefixim 400
mg per oral tidak cukup untuk membunuh strain NG yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan
pemberian cefixim per oral hanya sebagai alternatif jika tidak tersedia ceftriaxone dan harus
kontrol kembali 1 minggu setelah pemberian terapi untuk kontrol.
Alternative terapi yang dapat diberikan untuk NG pada uretra, serviks, dan rektum
adalah ceftriaxone 500mg IM dosis tunggal jika tidak tersedia azithromycin atau
spectinomycin 2g IM dosis tunggal dengan azithromycin 2g PO dosis tunggal jika ada curiga
penderita alergi terhadap sefalosporin. Selain itu dapat diberikan gentamycin 240mg IM dan
azithromycin 2g PO atau gemifloxacin 320mg PO dengan azithromycin 2g PO.14

DAFTAR PUSTAKA
1. Stoner B dan Rother D. Current Epidemiology of Selected STDs. CDC Division of
STD Prevention. 2012; 16-31.
2. Jawas FA dan Murtiastutik D. Penderita Gonore di Divis Penyakit Menular Seksual
Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya
Tahun 2002-2006. SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin RSU DR Soetomo. 2008; 20:
217-28.
3. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, dkk. Harrisons Principles
of Internal Medicine. Ed ke-18. USA: McGraw-Hill; 2012.
4. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed ke-6.
Cetakan ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011.
5. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Penanganan Infeksi Menular Seksual
2011. Kementerian Kesehatan RI; 2011.
6. Taylor SN, DiCarlo RP, dan Martin DH. Comparison of Methylene Blue/ Gentian
Violet Stain to Grams Stain for the Rapid Diagnosis of Gonococcal Urethritis in
Men. Sexually Transmitted Disease. 2011; 38(11): 995-6
7. Zakher B, Cantor AG, Pappas M, Daegas M, Nelson HD. Screening for Gonorrhea
and Chlamydia : An Update for the US Preventive Services Task Force. Ann Intern
Med. 2014; 10: 1-11
8. Tapsall J. Antimicrobial Resistance in Neisseria gonorrhoeae WHO. 2001
9. Knapp JS, Fox KK, Trees DL, dan Whittington WL.Floroquinolone Resistance in
Neisseria gonorrhoeae. Centers for Disease Control and Prevention. 1997; 3(1): 33-9
10. Fox KK, Knapp JS, Holmes KK, Hook EW, Judson FN, Thompson SE, dkk.
Antimicrobial Resistance in Neisseria Gonorrhoeae in the United States,1988-1994:
The Emergence of Decreased Susceptibility to the Floroquinolones. Centers for
Disease Control and Prevention. 1997; 175: 1396-403.
11. Workowski AK dan Berman S. Sexually Transmitted Disease Guideline 2010.
Centers for Disease Control and Prevention. 2010: 59; 49-55
12. Golparlan D, Stary A, dan Elgentler A. First Neisseria gonorrhoeae Strain with
Resistance to Cefixime Causing Gonorrhoea Treatment Failure in Austria 2011. Euro
Serveill. 2011; 16(43): 1-3

13. Allen VG, Mitterni L, Seah C, Rebbapragada A, Martin IE, dkk. Neisseria
Gonorrhoeae Treatment Failure and Susceptibility to Cefixime in Toronto, Canada.
JAMA. 2013; 309(2): 163-70
14. Bignell C dan Unemo M. 2012 European Guideline on the Diagnosis and Treatmen of
Gonorrhoea in Adults. Int J STD AIDS. 2013; 24: 85-92

Anda mungkin juga menyukai