Anda di halaman 1dari 6

Komunikasi publik merupakan salah satu jenis komunikasi

yang terjadi antara pembicara

kepada orang banyak yang berisikan sejumlah pesan, ide, gagasan informasi atau ajakan.
Terdapat tiga karakteristik dalam komunikasi publik, yang pertama yaitu komunikasi publik
dilakukan di ruang publik, bukan ruang privat, Erving Goffman(1963) mendefinisikan publik :
sebagai layaknya sekumpulan daerah dalam sebuah komunitas dmana terdapat keseluruhan akses
atas anggota komunitas itu sendiri. Contoh ; jalan, taman, restoran, bioskop, toko. private
adalah tempat khusus dimana hanya ada anggota atau kumpulan yang diundang. Contoh kantor,
pabrik, dapur dan ruang keluarga, yang kedua yaitu komunikasi publik terdiri dari pembicara,
publik, dan event, dan yang terakhir yaitu adanya norma sosial yang mengatur perilaku dalam
melakukan komunikasi publik.
Efek dari sebuah pidato atau public speaking dapat terjadi dalam dua domain yaitu
diantara pembicara dengan audiens dan diantara para audiens itu sendiri. Terdapat dua respon
terhadap pembicara yaitu reaksi positif dengan menjadikan opini mereka sebagai contoh dan
reaksi negatif ditunjukan dengan pembicara memberikan waktu kepada opinion leader di tengah
sesi pidato.
Sebelum memahami siapa publik kita, maka kita perlu memahami diri kita terlebih
dahulu dengan melihat pada komponen seperti dari beberapa hal yang terdapat didalam diri kita
seperti past experience, status, values, roles, reference group, norma, self-image dan social
image. Kedelapan komponen ini merupakan hal penting dan cukup kompleks, karena hal tersebut
menentukan siapa diri kita, bagaimana menempatkan diri ketika berhadapan dengan orang lain,
dan apa yang bias kita lakukan. Seperti pengalaman, peran, dan kesukaan yang kita bisa bagikan
ke orang lain guna menciptakan pemahaman orang lain atas diri kita.
Setelah kita membentuk impresi manajemen atas diri kita, maka kita perlu memahami
siapa publik kita dengan memetakan mereka, karena tidak sedikit para pembicara yang
mengalami rasa takut dan cemas ketika menghadapi publiknya (communication apprehension).
Untuk mengatasi situasi semacam ini dibutuhkan pengetahuan untuk memahami berbagai macam
situasi dan orang yang terlibat didalamnya, serta pengalaman yang menjadikan seseorang akan
menjadi terbiasa untuk berbicara didepan umum. Didalam memiliki pengetahuan dan mengenali
publik, seorang pembicara harus menerima perbedaan setiap individu yang terlibat didalam suatu
pidato. Untuk menerima perbedaan, seorang pembicara dapat melihat kesamaan yang dimiliki

atau yang disebut perceptual world, dimana kita berusaha untuk berempati dengan siapa lawan
bicara kita sehingga kita dapat membuat persamaan persepsi dengan mereka.
Untuk mendapatkan feedback atas sebuah impresi manajemen seorang pembicara, maka
pembicara dapat melihat bagaimana orang lain melihat dia. Publik akan melihat seorang
pembicara dengan melihat kredibilitas berdasarkan informasi yang mereka miliki tentang
pembicara, sikap dan pengetahuan pembicara dari waktu ke waktu, pembicara yang dipandang
baik di mata masyarakat, pendapat orang yang lain yang secara sengaja membantu
mempromosikan pembicara serta penampilan dan tindakan dari pembicara, seperti penampilan
fisik, sopan santun, dan tanggap dengan kondisi sekelilingnya. Kredibilitas terbentuk melalui
proses yang panjang. Seorang pembicara tidak langsung begitu saja memiliki penilaian positif
oleh audience. Karena pada dasarnya kredibilitas terbentuk melalui interaksi.
Untuk meningkatkan kredibilitas sumber, terdapat sejumlah cara yang bisa digunakan
yaitu dengan mengetahui apa yang audiensi pikirkan mengenai kita sebagai pembicara dan untuk
mengetahui citra kita di hadapan audiens. Selain pengetahuan tersebut, hal lain seperti
kekuasaan, kompetensi, itikad baik, kepercayaan, kesamaan, idealisme dan dinamisme juga
menjadi faktor berpengaruh.
Tetapi tidak jarang komunikasi publik sering mengalami kegagalan ketika komunikator
memiliki pemikiran yang salah tentang audiensnya, sehingga dalam beberapa kasus, para
komunikator cukup kaget dengan pernyataan atau ungkapan yang tidak sesuai dengan ekspektasi.
Terdapat 4 tipe bagian dalam ranah komunikasi publik : (1)Dimensi Analisa Audiens, (2) Sifat
komunikasi publik, (3)Efek audiens dalam komunikasi publik, (4) Potensi respon pendengar.
Memetakan dimensi dan menganalisa siapa audiens adalah hal yang penting dilakukan
sebelum melakukan komunikasi publik. Walaupun nampaknya sama saja dengan komunikasi
yang dilakukan pada umumnya di lingkungan sosial, namun ada perbedaan tujuan dan setting
komunikasi yang dilakukan oleh komunikator. Terdapat 3 proses dalam menganalisa audiens
yang dilakukan oleh komunikator yaitu (1)Saat sebelum komunikasi terjadi-komunikator
menemukan karakteristik audiensnya sehingga Ia siap untuk menerima respon penerimaan atau
penolakan pesan yang akan disampaikannya; (2) Saat komunikasi berlangsung-komunikator
melakukan kontrol dan monitoring dalam percakapan untuk bisa melakukan modifikasi
komunikasi yang tepat; (3) Saat setelah komunikasi-saat dimanakomunikator berusaha
menemukan apakah pesan yang disampaikan berhasil atau tidak diterima.

Sebelum mulai memetakan dimensi dan menganalisa audiensnya, komunikator perlu


mempertanyakan 4 hal berikut. (1)Apakah nilai dan perilaku yang dilakukan audiens?, (2)
Apakah saya sudah memiliki keyakinan yang sama dalam situasi yang akan terbangun dalam
percakapan? (3) Kira-kira pengalaman apa sebelumnya yang sudah audiens alami dan seperti
apakah dampaknya kelak? (4) Seperti apa kebutuhan audiens agar mereka dapat beradaptasi
dalam situasi tertentu?. Bilamana komunikator sudah mempertanyakan hal diatas, maka Ia siap
untuk membuat list percakapan yang akan disampaikannya kepada public.
Dalam proses menganalisa audiens, komunikator bisa melakukan penelitian kecil
terhadap audiensnya dengan proses identifikasi gesture. Apabila identifikasi respon ini dilakukan
dengan benar, maka komunikator bisa dengan sigap memperbaiki atau melakukan hal-hal yang
lebih menarik.
Ketika seorang pembicara telah selesai berbicara, rata-rata mereka ingin tahu efek dari
pesan yang telah disampaikan. Analisa Post-Audience berisi mengenai kumpulan bukti seperti ;
tepuk tangan, pertanyaan,pujian, dan kritik dapat mengindikasikan poin mana yang tidak
dimengerti dan mana yang dipahami. Kuesioner, wawancara dengan audiens, percakapan
lanjutan kadang kala dapat memberikan data yang lebih tepat. Ketika berhadapan dengan audiens
yang sama pada beberapa waktu, analisa post audiens dapat menyarankan pilihan-pilihan cara
komunikasi.
Dengan melihat siapa publik dan sasaran yang akan dituju, maka pembicara akan
mengetahui bagaimana cara menyusun pesan yang efektif. Pembicara harus menunjukkan
komitmen

terhadap

pesan

dan

khalayaknya.

Kemudian

sebisa

mungkin

untuk

menyeimbangkannya, agar pembicara dapat mengetahui kapasitasnya sebagai seorang yang


menyampaikan pesan, dan kapasitas orang yang mendengarkan atau publik.
Untuk memiliki komitmen terhadap isi pesan, maka seorang pembicara dapat
menceritakan unsur pengalaman pribadi, dengan demikian khalayak akan meperlakukan
pengalaman pribadi pembicara sebagai salah satu indikator terbaik dari komitmen pesan yang
disampaikan. Tetapi untuk menceritakan pengalaman ini, seorang pembicara harus
mengevaluasi, apakah pengalaman tersebut relevan dengan topik yang akan disampaikan. Selain
menggunakan pengalaman pribadi, pembicara juga dapat mengintensifkan pesan, dengan
mengajak khalayak untuk berinteraksi, sehingga pembicara akan lebih mengetahui isi pesan
secara mendalam.

Study Case:
Untuk menjadi pembicara ulung didepan publik, Ia bukan hanya memperhatikan siapa publik
dan pesannya tetapi bagaimana pesan tersebut dapat dipahami dan dimengerti oleh publik.
Bahkan seorang raja Inggris didalam film King Speech (berdasarkan kisah nyata), membutuhkan
waktu yang tidak sebentar untuk terus berlatih hingga akhirnya mampu berbicara di depan
publiknya dengan baik. Sama seperti seorang raja, seorang walikota yang memiliki peran sebagai
kepala eksekutif di suatu kota, tidak hanya melaksanakan tugas pemerintahan, tetapi bagaimana
cara berkomunikasi dengan publiknya juga akan menentukan keberhasilan pemerintahannya.
Seperti halnya ketika menjadi seorang walikota Semarang ketika menghadapi
permasalahan yang ada. Salah satu isu yang selalu menarik untuk dibahas adalah isu lingkungan,
karena masalah lingkungan sudah ada sejak dahulu kala tetapi dampaknya lebih luas jika tidak
ditangani secara baik. Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, maka Semarang sebagai kota
terbesar di Jawa Tengah mengalami jumlah peningkatan penduduk 2,3% setiap tahunnya,
sehingga menjadikan lahan pemukiman Semarang semakin sempit dan berkurangnya lahan hijau.
Seorang walikota harus syarakat, private sector, dan birokrat, baik yang berasal dari
dalam atau luar kepemerintahan. Selain memperhatikan siapa publiknya, seorang walikota juga
harus memiliki kredibilitas yang didapatkan dari pengalaman dan menjaga penampilan fisik,
sopan santun, dan tanggap dengan kondisi sekelilingnya.
Ketika berbicara mengenai persoalan lingkungan dan ruang terbuka hijau, maka walikota
Semarang harus mampu merangkul seluruh publiknya tanpa membedakan siapa mereka atau
darimana mereka berasal. Publik dari seorang walikota adalah mereka yang terlibat didalam isu
lingkungan seperti Badan Lingkungan Hidup, NGO seperti WWF, Earth Hour, Walhi, dan
masyarakat Semarang yang menjadi sasaran utama dalam menciptakan lingkungan yang lebih
baik. Tentunya ketika ingin menyampaikan hal tersebut tidak terlepas dari kompetensi,
komitmen mereka didalam memberikan pelayanan yang baik terhadap seluruh pihak, dan
bagaimana mereka membangun komunikasi yang baik dan efektif.
Kepemimpinan merupakan bentuk akumulasi berbagai hal positif dalam diri seseorang
atau beberapa individu dalam kelompok. Adanya kemampuan, kekuatan, keunggulan, kebajikan,
kharisma, pengetahuan dan sebagainya sebagai figur penggerak, pendorong, motivator,
agregator, integrator, perumus sekaligus pelaksana ide atau kebijakan menjadi spirit bagi seorang
walikota untuk mencapai tujuan.

Tetapi dalam beberapa hal, kredibilitas dan kompetensi bukanlah satu-satunya hal
terpenting yang menjadi indikator seorang walikota dapat berhasil melaksanakan tugasnya.
Walikota Semarang mungkin juga perlu berbenah diri dan belajar dari walikota yang terlah
berhasil mengembangkan daerahnya.
Seiring dengan perkembangan jaman, pola komunikasi politik seorang pemimpin juga
mengalami perubahan, dimana seorang pemimpin bukan hanya memiliki kompetensi tetapi juga
mampu menampilkan diri secara apa adanya, jujur dan terbuka. Publik mungin sudah terlalu
bosan dengan beberapa pemimpin yang memiliki pola komunikasi yang cenderung dibuat-buat
atau pencitraan, dan tidak menjaga komitmen isi pesan mereka, sehingga seorang pemimpin
yang memiliki otentitas diri dan memiliki komitmen terhadap isi pesan mereka, merupakan
cermin kualitas kepemimpinan yang sebenarnya sangat dirindukan oleh publik.
Kita dapat melihat beberapa contoh kasus dimana seorang pemimpin seperti Risma
(Walikota Surabaya) dan Ahok (Gubernur Jakarta) yang selalu menampilkan otentitas diri
mereka dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap apa yang sudah mereka katakan. Mungkin
beberapa orang akan berpikir bahwa Risma dan Ahok memiliki tingkat kematangan rendah
sebagai pemimpin. Sikap Risma ataupun Ahok yang seingkali marah dan gaya komunikasi yang
meledak-ledak menunjukkan indikator kurang mampu mengontrol diri dalam situasi tertentu,
seperti saat Risma mendamprat panitia bagi-bagi gratis es krim Wall's atau dalam kasus kebun
binatang Surabaya, Ahok yang seringkali mendamprat reporter, pemilik rusun, hingga aparat
yang bekerja sama dengannya, tak tanggung-tanggung Ahok mengeluarkan kata-kata kasar untuk
menegur mereka.
Tapi soal pemimpin dengan politik galak, publik DKI Jakarta juga pernah memiliki
pengalaman dengan pemerintahan Ali Sadikin. Dibawah kepemerintahannya, Ia menciptakan
budaya tertib birokrasi dengan cara blak-blakan, dengan cara keras. Bahkan seorang presiden
Soekarno juga mengakui bahwa Ali merupakan orang yang keras dan hal itulah yang paling
ditakuti oleh Soekarno.
Gaya komunikasi politik seperti ini tentunya sangat bertentangan dengan gaya
komunikasi politikus atau birokrat yang sering kita lihat di televisi. Politisi lagak memiliki semua
hal yang disebutkan didalam komunikasi publik. Tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya,
beberapa dari mereka kurang bisa menjaga komitmen terhadap pesan/ janji yang pernah

disampaikan pada saat kampanye, sehingga mereka tidak mampu melakukan pekerjaan secara
produktif, dan pada akhirnya publiklah yang dibuat kecewa.
Perubahan gaya komunikasi kepemimpinan pasca modernisme, menjadikan seorang
pemimpin bukan lagi hanya sekedar kredibel, dan menjaga citra dengan bersikap santun,
dianggap memahami publik, ataupun mampu beretorika dengan baik, tetapi seorang pemimpin
juga harus memiliki otentitas diri yang menjadikannya berbeda dari pemimpin yang lain, lebih
dari itu mereka juga dituntut untuk bisa mempertanggungjawabkan isi pesan mereka. Dengan
begitu mereka bisa dicintai oleh publiknya dan menjadi seseorang yang bukan hanya the right
man in the right place tetapi juga the right mind in the right time dan the right communication in
the right public.

Anda mungkin juga menyukai