Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Mola Hidatidosa

Pembimbing :
dr. Rachmat Soebarna, SpOG
Disusun Oleh :
Jessica Lawrence
112013128

Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RS Rajawali, Bandung
17 November 2014 24 Januari 2015
1

Pendahuluan
Pada umumnya kehamilan normal berakhir dengan lahirnya bayi yang cukup bulan
dan sempurna secara fisik. Tetapi kenyataannya

tidak selalu demikian, sebagian

kehamilan mengalami kegagalan, tergantung pada tahap dan jenis gangguan yang terjadi.
Kehamilan tersebut dapat berakhir dengan abortus, kehamilan ektopik, prematuritas,
kematian janin dalam rahim atau bayi lahir dengan cacat bawaan. Salah satu bentuk
kegagalan kehamilan yang berkembang tidak normal yaitu mola hidatidosa, kehamilan
ini tidak disertai janin namun hanya berupa gelembung-gelembung seperti buah anggur
berasal dari vili korialis dengan sel-sel trofoblasnya.
Lima belas sampai dua puluh persen penderita mola hidatidosa dapat berubah
menjadi ganas dan dikenal dengan tumor trofoblas gestasional. Jadi yang dimaksud
dengan penyakit trofoblas gestasional adalah mola hidatidosa yang jinak dan tumor
trofoblas gestasional yang ganas. Penyakit trofoblas adalah suatu istilah umum yang
digunakan bagi sekumpulan penyakit yang ditandai dengan adanya proliferasi dengan
adanya proliferasi berlebihan dari sel-sel trofoblas. Penyakit ini dibagi menjadi 2
kelompok berdasarkan asalnya, yaitu :
1. Penyakit trofoblas gestasional yang berasal dari jaringan trofoblas kehamilan
2. Penyakit trofoblas non gestasional yang berasal dari jaringan embrional
Penyakit trofoblas gestasional adalah sekumpulan penyakit yang berkaitan dengan
vili korialis, terutama sel trofoblasnya dan berasal dari suatu kehamilan, terdiri dari mola
hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial yang bersifat jinak dan mola invasif,
koriokarsinoma, placental site trophoblastic tumor yang bersifat ganas.
Hingga saat ini penyakit trofoblas gestasional masih merupakan masalah obstetri
yang cukup serius, karena menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Morbiditas yang dapat timbul dari penyakit ini umumnya karena penyulit yang
menyertainya, seperti perdarahan, preeklamsi berat dan tiroktosikosis dan bila terlambat
ditangani dapat menyebabkan kematian. Selain itu bila koriokarsinoma atau mola invasif
terjadi pada pasien usia muda yang masih memerlukan fungsi reproduksi, upaya
pengobatannya dapat menyebabkan pasien tersebut kehilangan fungsi reproduksinya
karena tindakan histerektomi. Hal ini berarti PTG selain merupakan masalah karena
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi angka mortalitas dan morbiditas ibu, juga
2

menjadi masalah bagi kesehatan reproduksi. Dengan demikian diperlukan upaya yang
menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan untuk menurunkan insidensi penyakit ini,
mulai dari upaya prefensi, deteksi dini dan pengobatan yang rasional, termasuk registrasi
dan pemantauan kasus yang cermat.
Mola Hidatidosa
Mola hidatidosa suatu istilah umum untuk dua bentuk yang berbeda yaitu mola
hidatidosa komplit dan mola hidatidosa parsial. Merupakan suatu kegagalan reproduksi
yang secara histopatologis merupakan hiperplasia jaringan trofoblas yang sebagian atau
seluruh jaringan ikat vilinya menunjukan degenerasi hidropik. Persamaan keduanya
adalah gambaran hidropik pada sebagian atau seluruh vili korialis dan adanya hyperplasia
trofoblas. Perbedaannya, pada mola hidatidosa komplit tidak didapatkan janin, sedangkan
pada mola hidatidosa parsial terdapat janin yang cenderung mati secara dini. Mola
hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar, tidak ditemukan embrio
dan hampir seluruh vili korialisnya mengalami perubahan hidropik. Keadaan ini disebut
sebagai mola hidatidosa komplit (complete mole/true mole/complete mole). Bila diantara
gelembung mola ditemukan embrio disebut mola hidatidosa parsialis (transtitional
mole/incomplete mole).
Kelainan yang sudah dikenal sejak abad keenam ini telah mengalami berbagai
perkembangan, baik dalam pengertian teori, istilah, klasifikasi, maupun cara
penanggulangannya. Namun, masih banyak aspek yang belum terungkap secara jelas
ataupun kontroversial, seperti perbedaan insidensi secara geografis, etiologi, patogenesis
dan faktor resiko.
Walaupun sebagian besar penderita mola hidatidosa dapat sembuh spontan, namun
bila diagnosis dan pengelolaannya terlambat, penderita dapat meninggal karena
perdarahan, infeksi maupun akibat tumor trofoblas gestasional pasca mola hidatidosa.
Ada kalanya pada sediaan abortus atau plasenta aterm, ditemukan beberapa bagian
yang mengalami degenerasi hidropik. Keadaan semacam ini tidak dimasukan ke dalam
mola hidatidosa, tetapi disebut sub molaire. Baru setelah diadakan penelitian sitogenik
pada tahun 1970-an oleh antara lain Kajii, Vassilokos, Szulman dan lain-lain, dicapai
kesepakatan bahwa mola hidatidosa itu terdiri dari dua jenis
3

1. Mola hidatidosa komplit (MHK)


2. Mola hidatidosa parsialis (MHP)
Mola hidatidosa komplit (MHK)
Merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili korialisnya
mengalami degenerasi hidropik yang menyerupai anggur hingga sama sekali tidak
ditemukan unsur janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi
disertai hyperplasia dari kedua lapisan trofoblas.
Secara Sitogenetik umumnya bersifat diploid 46 XX, sebagai hasil pembuahan satu
ovum, tidak berinti atau intinya tidak aktif, dibuahi oleh sperma yang mengandung 23 X
kromosom, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya MHK
bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak (androgenetik).
Kadang kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y
(dispermi) sehingga terjadi 46 XX atau 46 XY. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi
tetap androgenetik dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar
dizigotik yang terdiri dari satu bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista
atau gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm,
berdinding tipis, kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau
edema. Kalau ukurannya kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar
tampak seperti serangkaian buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK disebut
juga kehamilan anggur. Tangkai tersebut melekat pada endometerium. Umumnya seluruh
endometerium dikenai, bila tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang
gelembung-gelembung tersebut diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah
mengering. Sebelum ditemukan USG, MHK dapat mencapai ukuran besar sekali dengan
jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.
Faktor Resiko
MH dapat terjadi pada semua wanita dalam masa reproduksi, pasien termuda yang
pernah dilaporkan berusia 12 tahun (Bobrow) dan tertua 57 tahun (A Pearson). Di RSHS
yang termuda 15 tahun dan yang tertua 53 tahun.
4

Di samping umur, faktor gizi juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian MH.
Acosta Sison, menganggap bahwa MH adalah suatu kehamilan patologis, sedangkan
faktor yang menyebabkan ovum patologis ini adalah defisiensi protein kualitas tinggi
(highclass protein). Acosta Sison mengaitkan dengan kenyataan bahwa di Asia banyak
sekali ditemukan MH, yang penduduknya sebagian termasuk golongan sosioekonomi
rendah yang kurang mengkonsumsi protein.
Reynold mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke-13 dan ke21, mengalami asam folat dan histidine akan mengalami gangguan pembentukan
thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA. Akibat kekurangan gizi ini akan
menyebabkan kematioan embrio dan gangguan angiogenesis, yang pada gilirannya akan
mengalami perubahan hidropik.
WHO Scientific Group, 1983 berkesimpulan bahwa selain usia dan gizi, riwayat
obstetri juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian MH dan kehamilan kembar tetapi
multiparitas tidak merupakan faktor resiko.
Laporan dari Amerika Serikat (1970 1977) mengatakan bahwa insidensi MH pada
kulit hitam hanya setengahnya dari wanita kulit lainnya. Menurut Teoh, di Singapura,
insidensi MH pada wanita Euroasian, dua kali lebih tinggi dari China, Melayu dan India.
Di Indonesia yang terdiri dari berpuluh-puluh etnis, sampai sekarang belum ada yang
melaporkan adanya perbedaan insidensi antar suku bangsa. Yang ada hanya laporan dari
pusat pendidikan.
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil penelitian Kajii et
al dan Lawler et al, menunjuakn bahwa pada kasus MH lebih banyak ditemukan kelainan
Balance translocation dibandingkan dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada
kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak
mengalami gangguan proses meosis berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak
terjadi ovum yang kosong atau yang intinya tidak aktif.
Etiologi
Walaupun MH sudah dikenal sejak abad keenam, sampai sekarang masih belum
diketahui apa yang menjadi penyebabnya, oleh karena itu pengetahuan tentang faktor

resiko menjadi penting agar dapat menghindarkan terjadinya MH, seperti tidak hamil
pada usia yang ekstrim dan memperbaiki gizi.
Patogenesis
Banyak teori yang telah dilontarkan tentang patogenesis MHK ini, antara lain teori
hertig dan teori park.
Hertig et al menganggap bahwa pada MH terjadi insufisiensi peredaran darah akibat
matinya embrio pada minggu ke 3 5 (missed abortion), sehinggga terjadi penimbunan
cairan dalam jaringan mesenhin vili dan terbentukah kista kista yang makin lama makin
besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola, sedangkan proliferasi trofoblas
merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi.
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan trofoblas
yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun neoplasi. Bentuk yang abnormal
ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah,
yang akhirnya menyebabkan kematian embrio.
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Secara sitogenetik umumnya
kehamilan MHK terjadi karena sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang
intinya tidak berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X, terjadilah
hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian mengadakan duplikasi menjadi
46 XX. Jadi umumnya MHK bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak
(androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut Diploid Androgenetik

Teori Diploid Androgenetik (modifikasi dari buku Novaks Gynecology)

Ovum
Kosong

23 X

endoreduplikasi

46 XX
Homozigot

Ovum
Kosong

23 X
46 XX
23 X

Heterozigot

23 X
Ovum
Kosong

46 XY
23 Y

46 YY

Nonviable

Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan
membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk
bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada
unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian
7

ekstraembrional yang paologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik
seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses
meosis, yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa
yang disebut nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada
MHK ovum inilah yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi pada
kelainan struktural kromosom, berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus
(dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu haploid 23Y.
Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak
terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan
dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya berbeda, karena yang pertama
berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma
(heterozigot). Ada yang menganggap bahwa 46XX heterozigot mempunyai potensi
keganasan lebih besar. Pembuahan dispermi dengan dua haploid 23 Y (46 YY) dianggap
tidak pernah bisa terjadi (nonviable)
Gambaran Klinis
MHK adalah suatu kehamilan, walaupun bentuknya patologis. Oleh karena itu, pada
bulan-bulan pertama, tanda-tandanya tidak berbeda dengan kehamilan biasa, yaitu
dimulai dengan amenorea, mual dan muntah. Ada beberapa laporan yang mengatakan
bahwa MHK, lebih sering terjadi hiperemesis, dan keluhannya lebih hebat dari kehamilan
biasa. Kemudian perkembangannya mulai berbeda. Pada kehamilan biasa pembesaran
uterus terdai melalui dua fase, yaitu fase aktif, sebagia akibat pengaruh hormonal, dan
fase pasif, akibat hasil pembesaran kehamilan. Pada MHK tidak demikian, vili korialis
yang mengalami degenerasi hidropik, berkembang dengan cepat mengisi kavum uteri.
Akibatnya uterus ikut membesar pula, sehingga ukuran uterus lebih besar dari tuanya
kehamilan atau lamanya amenorea.
Pada kehamilan biasa , segmen bawah rahim (SBR baru terbentuk pada kehamilan
yang sudah besar (semester tiga). Pada MHK, karena pengisian kavum uteri oleh
gelembung mola berlangsung cepat, maka pembentukan SBR, sudah terjadi pada
8

kehamilan yang lebih muda (24 minggu). Kemudian karena kehamilan ini abnormal
badan akan berusaha untuk mengeluarkannya, terjadilah perdarahan pervaginam.
Bedanya dengan abortus biasa adalah pada abortus biasa besarnya uterus sama dengan
lamanya amenorea. Perdarahan pada MHK dapat berupa bercak bercak sedikit
intermiten atau sekaligus banyak, sehingga dapat menyebabkan syok hipovolemik.
Adakalanya perdarahan disertai dengan gelembung mola sehingga mempermudah
diagnosis
Di samping uterus yang lebih besar, pada MHK ditemukan peningkatan kadar hCG
(human choriogonadotrophin). Pada kehamilan biasa kadarnya naik terus sampai usia
kehamilan 60-80 hari, kemudian turun lagi setelah mencapai umur 85 hari. Pada MHK
seluruh kavum uteri diisi oleh jaringan trofoblas. Oleh karena itu, berbeda dengan
kehamilan biasa, pada MHK tidak ada penurunan kadar hCG. Selama ada pertumbuhan
trofoblas atau sebelum

gelembung mola keluar atau dikeluarkan, hCG akan terus

meningkat, sampai bisa mencapai di atas 5.000.000 mIU/ml


Sudah lama diketahui bahwa MHK kadang-kadang ditemukan perubahan pada
kelenjar tiroid, baik anatomis maupun fungsional. Walaupun ada peningkatan kadar
plasma tiroksin, tetapi gejala klinik yang ditimbulkan tidak selalu disertai dengan
tiroktosikosis.
Pada kehamilan normal, plasenta membentuk Thyroid Stimulating Peptide yang
disebut Human Chorionic Thyrotropin (hCT). Pada trimester pertama, T4 meningkat
antara 7 12 ng/100 ml, sedangkan T3 peningkatannya tidak terlalu banyak. Karena
pengaruh estrogen, terjadi peningkatan kadar TBG sehingga tidak terjadi tirotoksikosis.
Pada mola hidatidosa terjadi perubahan kadar hormon tiroid. Kadar T4 dalam
serum biasanya melebihi 12 ng/100 ml, tetapi TBG sendiri rendah, akibatnya T4 dan T3
bebas lebih tinggi. Karena itu pada mola terjadi tirotoksikosis.
Pada mola, kadar hCG (human chorionic gonadotropin) dalam darah sangat tinggi
yang dan ini mempunyai efek stimulasi terhadap tiroid. Pada kehamilan biasa puncak
hCG biasanya tidak melebihi 100.000 mUI/ml yang tercapai antara minggu 8-12 dan
kemudian menurun kembali dan bertahan sekitar 10.000-20.000 mIU/ml sampai waktu
melahirkan. Pada mola hidatidosa kadar hCG, sebagian besar diatas 300.000mIU/ml

bahkan dapat mencapai kadar diatas 12.000.000 mIU/ml. Berbagai penelitian


menunjukkan adanya korelasi positif antar kadar hCG dan tingginya fungsi tiroid.
Dalam suatu penelitian dikatakan bahwa terjadinya hiperfungsi tiroid terjadi
akibat adanya stimulator yang dibentuk dalam jaringan trofoblas. Hershman
menyebutnya sebagai molar thyrotropin. Yang masih kontroversial adalah substansi zat
tersebut. Yang jelas ada korelasi positif antara tingginya kadar hCG dengan
meningkatnya kadar T3 dan T4. Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar hCG akan
menurun secara drastis. Hali ini diikuti dengan turunnya T4 dan T3 sampai kembali ke
kadar normal. 6
Sehubungan dengan fenomena ini banyak pakar yang menganggap bahwa
stimulator itu adalah hCG sendiri. Molar thyrotropin secara imunologis berbeda dari
TSH, hCT dan LATS.
Adanya Aktivitas Stimulasi Tiroid (AST) dari hCG serta ciri-ciri stimulatornya
telah dibuktikan melalui penelitian invitro maupun in vivo. Dikatakan bahwa struktur dan
reseptor hCG dan TSH adalah homolog, sedangkan derajat AST-nya dipengaruhi
metabolisme hCG sendiri. Yang lebih poten adalah hCG varian yang kehilangan gugusan
beta CTP-nya yang merupakan hasil proses deglikosiasi atau desialisasi.
Hasil penelitian di atas dapat menerangkan mengapa pada kehamilan biasa tidak
terjadi tirotoksikosis. Pada kehamilan biasa kadar hCG yang rendah akan meningkatkan
sedikit T4 dan menekan TSH, tetapi tidak cukup untuk menyebabkan tirotoksikosis.
Dasar Diagnosis
Kita harus memikirkan adanya MHK bila ditemukan hal-hal seperti di bawah ini:
1. Anamnesis
Wanita mengeluh :
a. terlambat haid (amenorea)
b. adanya perdarahan pervaginam
c. perut merasa lebih besar dari lamanya amenorea
d. walaupun perut besar, tidak merasa adanya pergerakan anak
2. Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaaan ditemukan
10

a. uterus lebih besar dari tuanya kehamilan


b. tidak ditemukan tanda pasti kehamilan, seperti detak jantung anak,
balotemen atau gerakan anak.
3. Laboratorium
Kadar B-hCG lebih tinggi dari normal
4. USG
Tampak gambaran vesikuler di kavum uteri
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil pemeriksaan patologi anatomi.
Terapi
Terdiri dari 4 tahap, yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
2. Evakuasi jaringan
3. Profilaksis
4. Follow up
Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita
harus distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita harus
diberikan :
1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik
2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia
3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan
penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin
Ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum

11

Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan


dengan kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase berikutnya
harus ada indikasi.
b. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak hidup
tiga atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis tidak
selalu tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena
jaringan mola belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak
sebagai stimulator.
Profilaksis
Ada dua cara :
1. histerektomi totalis
2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau
wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan.
Caranya :
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5
hari berturut-turut.
Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote
ataupun hepatoprotektor.
Follow Up
Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa mengalami transformasi
keganasan menjadi TTG. Menurut hertig, keganasan bisa dalam waktu satu minggu
sampai tiga tahun pasca evakuasi.
Tujuan dari follow up ada dua :

12

1. untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG dan
kembalinya fungsi haid.
2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada tingkat yang
sangat dini.
Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi, penderita diminta datang untuk kontrol setiap
2 minggu. Kemudian, dalam tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan, selanjutnya enam
bulan terakhir, kontrol tiap dua bulan.
Prognosis
Setelah dilakukan evakuasi jaringan mola secara lengkap, sebagian besar penderita
MHK akan sehat kembali, kecuali 15 20% yang mungkin akan mengalami keganasan
(TTG).
Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :
1. umur diatas 35 tahun
2. besar uterus di atas 20 minggu
3. kadar -hCG di atas 105 mIU/ml
4. gambaran PA yang mencurigakan

Mola Hidatidosa Parsialis


MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang
mendasar, baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun
gambaran PA-nya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik
sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya
plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan
akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus
MHP yang janinnya hidup sampai aterm.

13

Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui dengan
tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana penyebaran
penyakitnya.
Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi
secara dispermi. Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y atau
dua haploid 23 Y. Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69
YYY tidak pernah ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid
ayah sehingga disebut Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu, ditemukan bayi.
Tetapi komposisi unsur ibu dan unsur ayah tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur
ayah yang tidak normal itu menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang
merupakan gabungan dari vili korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi
hidropik. Oleh karena itu fungsinya pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa
bertahan sampai besar. Biasanya kematian terjadi sangat dini.

Teori Diandro Triploid

Ovum
Kosong

23 X
69 XXX
23 X

Homozigot

23 X
Ovum
Kosong

69 XXY
23 Y

Heterozigot

14

23 Y
Ovum
Kosong

69 XYY
23 Y
69 YY

Nonviable

Gejala-Gejala
Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun
tanda-tanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa. Kalau
ada perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan MHP
dengan besar uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih kecil.
Dalam hal terakhir disebut Dying Mole.
Gambaran USG tidak selalu khas, tapi dapat didiagnosis bila ditemukan hal-hal
sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang menyerupai kista-kista
kecil disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Kadar -hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini mungkin
disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang tidak terlalu
tinggi ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP jarang sekali
ditemukan kista lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai penyulit seperti PEB,
tiroktosikosis atau emboli paru.
Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat
diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat

15

ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas di
samping kantong janin, dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan
diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai
berikut.
1. Vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk, kavitasi, dan
hiperplasia trofoblas
2. Scalloping yang berlebihan dari vili
3. Inklusi stroma trofoblas yang menonjol
4. Ditemukan jaringan embrionik atau janin

Terapi
Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya
evakuasi dilakukan dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa.
Histerektomi dan upaya profilaksis lainnya tidak dianjurkan.

Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan
oleh tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Walupun demikian,
dalam kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke
tempat lain. Penderita pasca-MHP harus difollow up sama ketatnya seperti MHK.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham FG, et al. Williams obstetrics. Edisi ke-23. Jakarta: EGC;


2013.h.271-9.
2. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah F. Ilmu kesehatan reproduksi:
obstetri patologi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;2004.h.28-33.
3. Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional.
Jakarta: EGC;2005.h.7-42.
4. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis Pada
Penderita Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
5. http://en.wikipedia.org/wiki/Hydatidiform_mole
6. http://adln.lib.unair.ac.id/

17

Anda mungkin juga menyukai