Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN
A.

Latar belakang
Hidung merupakan organ tubuh yang seharusnya mendapat
perhatian lebih dari biasanya, salah satu organ pelindung tubuh terpenting
terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Rongga hidung kaya
dengan pembuluh darah. Pada rongga hidung bagian depan, tepatnya pada
sekat yang membagi rongga hidung menjadi dua, terdapat anyaman
pembuluh darah yang disebut Pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang
cukup besar antara lain dari arteri sfenopalatina.1
Epistaksis adalah suatu keadaan perdarahan dari hidung yang
keluar melalui lubang hidung. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 210 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering.
Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk.
Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita.
Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. 2
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian
anterior dan bagian posterior. Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus
Kiesselbach atau dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada epistaksis
anterior dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana. Sedangkan epistaksis posterior dapat berasal dari
arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior. Perdarahan biasanya
hebat dan jarang berhenti spontan.3
Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang hampir 90% dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung
dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu. Faktor etiologi dapat
lokal atau sistemik. Epistaksis yang berat juga walaupun jarang,
merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak
segera ditangani. Pada epistaksis yang berat dapat terjadi syok dan anemia.
1

Sumber perdarahan harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis


secara efektif. Epistaksis merupakan kompetensi 4A bagi dokter umum,
sehingga merasa perlu untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan
epistaksis secara tepat. 1
Dalam peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014,
epistaksis merupakan salah satu masalah kesehatan dengan katagori 4 A,
sehingga merasa perlu dalam pengetahuan tentang penanganan epistaksis
yang tepat secara mandiri dan tuntas.
B.

Rumusan Masalah
Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat pada
epistaksis sesuai dengan standart yang harus dikuasai oleh dokter umum
menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014?

C.

Tujuan
Untuk mengetahui penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang
tepat pada epistaksis sesuai dengan standart yang harus dikuasai oleh
dokter umum menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 tahun 2014?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Hidung


a) Anatomi Hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus frontalis os maksila,dan
prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior,sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior
kartilago septum.(1,10,20)
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding. Dinding
medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang
rawan dan dan periosteum pada bagian tulang sedangkan di luarnya
dilapisi oleh mukosa hidung.(10,20)
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka
inferior,media,superior,dan suprema yang biasanya rudimenter. Di
antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus.Ada 3 meatus yaitu meatus inferior,media,dan
superior. Di meatus nasi bermuara sinus-sinus paranasalis. Dan yang di
inferior bermuara duktus nasolakrimalis Dinding inferior rongga
hidung dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis.(20)

Gambar 1 : Dinding Nasi Lateral(10)


b) Vaskularisasi Hidung
Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna
(AKI) dan karotis eksterna (AKE).

Gambar 1. Pembuluh darah di daerah septum nasi.

Gambar 2. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.

Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua


menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar
dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga
hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral
hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri
fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.
Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri
sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri
sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media,
memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian
anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor,
ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk
plexus Kiesselbach atau Littles area.3
Perdarahan pada lokasi yang bersumber dari pleksus Kiesselbach (little
area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior
tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari
bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat
erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan
udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik
lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan. Pleksus Kiesselbach

memiliki ciri vaskuler dan tempat anatomis yang memudahkan terjadinya trauma
fisik pada cavum nasi sehingga anatomosis ini menjadi penyebab tersering
terjadinya epistaksis anterior.16
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri
etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan
sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau
pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81%
epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.16
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika
media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang
yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis
memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah
ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.16
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui :
a) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga
perempat posterior dan dinding lateral hidung.
b) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor,
yang berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai
bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri
oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior
yang mendarahi septum dan dinding lateral superior. (22)

Gambar 2 : Vaskularisasi hidung(10)

Gambar 3 : Pleksus Kiesselbach(22)


c) Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan
sensoris dari nervus etmoidalis anteior, yang merupakan cabang dari
nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (N. V1).
Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan
sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan
sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk
mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari
nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus

profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di


atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini
turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

d) Fisiologi Hidung
1) Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi
oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui hidung diatur
sehingga

berkisar

370C.

Fungsi

pengatur

suhu

ini

dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel


dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel
debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh : rambut (vibrissae) pada
vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan
melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan
dikeluarkan dengan reflex bersin.(7,22)
2) Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan
pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi
dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam
bahan.(7)

Gambar 4 : Regio mukosa(7)


3) Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara
ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan
menyebabkan

resonansi

berkurang

atau

hilang,sehingga

terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia


yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis
atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat
sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor,
benda asing) yang menyumbat.(2,7)
4) Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan
pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex
bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.(2)

B. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung,
rongga hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan merupakan suatu
penyakit melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90% dapat
berhenti sendiri(20).

C. Klasifikasi Berdasarkan Sumber Perdarahan


Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior
dan posterior.(2)
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga
berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri
(spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana(2,7,20).

Gambar 7: Epistaksis anterior(2)


2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri
ethmoid posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang
berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan
syok.

Sering

kardiovaskular

ditemukan

pada

pasien

dengan

penyakit

(2,7,20)

Gambar 8. Epistaksis posterior(2)

10

D. Faktor Resiko
Epistaksis Anterior
-

Trauma

Suhu dan kelembapan udara

Kelainan konginetal Rendu-Osler-Weber disease.

Deviasi Septum

Neoplasma

Anak-anak

Epistaksis Posterior
-

Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia dan leukemia)

Hipertensi

Artherosklerosis

Diabetes Melitus

Sirosis Hepatis

Infeksis Akut DBD

Kelainan Hormonal(peningkatan esterogen dan progesteron)

Alkoholisme

E. Patofisiologi
Epistaksis Anterior
1. Trauma
Perdarahan pada hidung dapat terjadi karena trauma, seperti trauma
ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, mengeluarkan
ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat yaitu
akibat pukulan, jatuh dan kecelakaan lalu lintas. Selain itu perdarahan
hidung atau epistaksis bisa terjadi akibat benda tajam atau trauma saat
pembedahan. Mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan dimukosa bagian septum anterior. Epistaksis bisa terjadi
karena spina septum yang tajam atau terdapat pembengkakan konka
yang mukosa konka saling berhadapan. Bagian anterior septum nasi
bila mengalami deviasi atau perforasi akan terpapar aliran udara
pernafasan yang akan mengeringkan sekresi hidung. Selanjutnya akan

11

membentuk krusta yang keras sehingga ada usaha diri dengan jari
untuk melepaskan dan terjadi trauma digital. Pengeluaran krusta
berulang tersebut menyebabkan erosi mukosa septum sehingga terjadi
perdarahan (1,10,20).
Epistaksis yang terjadi setelah trauma kraniofasial merupakan
kondisi yang serius. Fraktur yang terjadi pada hidung dapat
mengakibatkan kerusakan tulang ethmoid disertai laserasi arteri
ethmoidal anterior. Fraktur ethmoidal memberikan gejala dengan
warna kehitaman pada mata, fraktur hidung dengan perluasan sampai
ke dorsum dan episode epistaksis yang dapat terjadi berat tetapi
intermiten setelah cedera (13).

2. Kelembaban udara
Kelembapan udara lingkungan yang rendah dapat menyebabkan iritasi
pada mukosa hidung. Udara yang kering dan saat musim dingin sering
menyebabkan epistaksis yang disebabkan karena dehumidifikasi
mukosa nasal. Selain itu juga bisa disebabkan oleh zat-zat yang
bersifat korosif yang dapat menyebabkan keringnya mukosa sehingga
pembuluh darah mudah pecah (7,22).

3. Faktor Kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah
perdarahan

telangiektasis

telangiectasia/Osler's

heriditer

disease).

Juga

(hereditary
sering

terjadi

hemorrhagic
pada

Von

Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah


kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang
bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan (2).
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan
akan menyebabkan kebocoran darah melalui lubang pada dinding
pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat
terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi
memar atau perdarahan dalam. (8)

12

Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk


bekuan darah yang normal.(8)

Gambar 5a. Pembekuan darah

Gambar 5b. Pembekuan darah tidak

normal

normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah
yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar
melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga
akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang
terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat
terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam
darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan
fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von
Willebrand ) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut
cascade.

13

Gambar

6a.

cascade

normal(8)

koagulasiGambar

6b.

cascade

koagulasi

hemophilia(8)

VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.(2,8)
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup
Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut
tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak
sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding
pembuluh darah.
Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah
salah satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat.
Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam jumlah yang normal maka proses
pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF
tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di
sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
Diagnosis untuk menegakkan penyakit ini dapat dilihat dari tanda
klinis yaitu ada telangiectasis permukaan mukosa rongga mulut dan bibir.
Pasien juga mengalami anemia akibat kehilangan darah secara
tersembunyi dari telangiectases di saluran pencernaan. Pasien juga sering
mengalami epistaksis.

14

Pasien dengan mimisan berulang dan menunjukkan tanda-tanda


Perdarahan telangiectasia herediter.(13)

4. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi
dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh.
Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara

yang dapat

menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur


bahkan oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok
hidung (10,20).

5. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit
dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda
darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis
berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan
pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang
bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.(2,7)

15

Epistaksis Posterior
1. Kelainan Darah
a. Trombositopenia
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak
berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk
pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh
darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A
(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh
darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang
hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan
menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang
rusak danmembentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas
ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan
agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia
adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ l.
Trombositopenia

akan

memperlama

waktu

koagulasi

dan

memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah


kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada
keadaan trombositopenia. (7,22)

b. Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang
diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi
atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak dapat
membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan
darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya
epistaksis(2,7,22)

16

c. Leukimia
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel
darah putih yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow).
Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih
(berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah
merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit
(bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah).
Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit
sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan
sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit.
Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan
perdarahan mudah terjadi.

2. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis
sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh
darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah
kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah
pecahnya pembuluh darah yang tipis.(7,17)

3. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari
pembuluh darah.(7)

4. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis

17

fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk


pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan.
Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.(2)

5. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi
dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil
glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak
glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal
membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah
menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.(6,17)

6. Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks
antigen-antibodi

selain

mengaktivasi

sistem

komplemen,

juga

menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi


melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada
membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di
phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan
menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial
system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product)
sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu
epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.(7,20,22)

18

7. Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang
tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di
tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan
rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.(22)

8. Alkoholisme
Induksi alkohol berlokasi pada area perisentral dan perisinusoida.
Hepatosit yang rusak melepaskan ROS dan mediator fibrogenik dan
menginduksi perekrutan sel darah putih oleh sel inflamasi. Apoptosis
dari sel hepatosit yang rusak menstimulasi aktivitas fibrogenik dari
miofibroblas hepar. Sel inflamasi, baik limfosit ataupun sel
polimorfonuklear, mengaktivasi HSC untuk mensekresikan kolagen.
HSC teraktivasi mensekresikan kemokin inflamasi, mengekspresikan
molekul adesi sel dan memodulasi aktivasi limfosit sehingga,
lingkaran nyata dimana sel inflamasi dan fibrogenik menstimulasi satu
sama lain mungkin terjadi. Fibrosis dipengaruhi oleh subset T helper
yang berbeda, respon Th2 dikaitkan dengan lebih banyak fibrogenesis
aktif. Sel Kupffer merupakan makrofag tetap yang memainkan peranan
utama pada inflamasi hati dengan melepaskan ROS dan sitokin. Pada
kelainan kolestasis kronis (seperti primary biliary cirrhosis [PBC] dan
kolangitis sklerosis primer), sel epitel menstimulasi akumulasi
miofibroblas portal untuk memulai deposisi kolagen di sekitar duktus
biliaris yang rusak. Akhirnya perubahan komposisi ECM dapat secara
langsung

menstimulasi

fibrogenesi.

Terjadinya

sirosis

hepatis

mengganggu fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang


dibutuhkan untuk pembekuan darah sehingga mudah terjadinya
perdarahan.(24)

F. Manifestasi Klinis

Perdarahan spontan lewat hidung, mulut atau keduanya. Perdarahan


dapat terjadi terus menerus atau berhenti sendiri.

19

Kadang disertai muntah

G. Diagnosis
Anamnesis sistem : menanyakan durasi perdarahan, frekuensi
perdarahan, dan jumlah perdarahan. Jika tidak dalam situasi darurat,
juga penting untuk menentukan sisi perdarahan dan situs utama
asalnya dan aliran: keluar depan hidung, di bagian belakang hidung
atau kombinasi dari keduanya. Riwayat penyebab perdarahan, seperti
trauma, operasi, sejarah koagulopati atau riwayat pengobatan.

Pemeriksaan fisik : Setelah menstabilkan pasien, pemeriksaan awal


hidung harus dilakukan untuk menemukan situs asal perdarahan oleh
rhinoskopi

anterior

setelah

pengangkatan

bekuan

darah

dan

meminimalkan edema menggunakan decongestant, menggunakan


sumber cahaya yang memadai untuk memvisualisasikan rongga hidung
secara

keseluruhan.

Jika

pendarahan

telah

berhenti

setelah

penghapusan bekuan, pengobatan segera tambahan tidak diperlukan.


Tampon dari rongga hidung tanpa bukti perdarahan terus-menerus
dapat merusak mukosa hidung dan menyebabkan epistaksis daripada
menghentikannya. Temuan yang paling mungkin adalah kapal dangkal
yang telah terkikis pada septum anterior hidung, atau bagian medial
konka pada pasien dengan tidak ada penyebab spesifik.(12)

20

H. Tata Laksana
1) Tata Laksana Umum

Flowchart diagnosis dan penatalaksanaan epistaksis (19)


Penatalaksanaan epistaksis secara umum mengurangi perdarahan dan
melihat risiko aspirasi sebelum penyebab dan lokasi dapat ditegakkan. Untuk
pentalaksanaan awal :
-

Tenangkan penderita, jika penderita khawatir perdarahan akan bertambah


hebat, sumbat hidung dengan kapas dan cuping hidung dijepit sekitar 10
menit.

Pasien diedukasi untuk tidak menelan darah yang mengalir di faring.


21

Penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang, aliran


darah kekepala dan menghambat darah ditelan.

Kompres dingin pada daerah tengkuk leher dan juga pangkal hidung untuk
induksi reflek vasokonstriksi.

Pemberian cairan elektrolit pada perdarahan hebat, dan keadaan pasien lemah
Turunkan tekanan darah pada penderita hipertensi.

Hentikan pemakaian antikoagulan. (4,18,23)


Terapi lokalis, ada beberapa cara :

1.

Kauter perak nitrat lokal dapat dilakukan pada epistaksis ringan di daerah
perdarahan kiesselbach.

Cauterization of Littles area with silver nitrate sticks


Kauter ini sudah tidak dilakukan karena ada resiko perforasi pada septum
hidung.
2.

Tampon anterior
-

Pasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan


lidokain atau pantokain untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi
rasa nyeri.

22

Setelah perdarahan berhenti, dilakukan penyumbatan sumber perdarahan


dengan menyemprotkan larutan perak nitrat 20-30% (atau asam
trikloroasetat 10%), atau dengan elektrokauter. Bila terdapat pertemuan
pembuluh darah septum anterior dan lokasi perdarahan ditemukan, maka
terbaik mengkauterisasi bagian pinggirnya dan tidak benar-benar di
pembuluh darah itu sendiri karena kauterisasi langsung pada pembuluh
darah tersebut biasanya akan menyebabkan perdarahan kembali. Harus
hati-hati agar tidak membuat luka bakar yang luas dan nekrosis jaringan
termasuk kartilago dibawahnya sehingga terjadi perforasi septum nasi.

Cara yang paling baik untuk mengontrol epistaksis anterior (setelah


dekongesti dan kokainisasi) dengan suntikan 2 ml lidokain 1% di regio
foramen incisivum pada dasar hidung. Pengontrolan perdarahan anterior
dengan cara ini dapat menghindari masalah perforasi septum, karena
elektrokauterisasi diberikan ke tulang dasar hidung dan bukan pada
septum.

Bila dengan cara tersebut perdarahan masih terus berlangsung, maka


diperlukan pemasangan tampon anterior yang telah diberi vaselin atau
salep antibiotika agar tidak melekat sehingga tidak terjadi perdarahan
ulang saat tampon dilepaskan. Tampon dibuat dari lembaran kasa steril
bervaselin, berukuran 72 x inci, dimasukkan melalui lubang hidung
depan, dipasang secara berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga
hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipasang selama
1-2 hari, sebagian dokter juga melapisi tampon dengan salep antibiotik
untuk mengurangi bakteri dan pembentukan bau.

Dapat juga digunakan tampon balon intranasal yang dirancang untuk


menekan regio septum anterior (pleksus kiesselbach) atau daerah
etmoidalis. Cara ini lebih mudah diterima pasien karena lebih
nyaman.(10,18,21)

23

Tampon anterior dengan vaselin (24)

Tampon balon intranasal

Pemasangan tampon anterior tidak boleh lebih dari 2-3 hari. Begitu juga
dengan kateter balon harus dikempiskan pada hari ke 2 karena dapat
menyebabkan nekrosis jaringan yang irreversible. Untuk jangka panjang
setelah tampon diambil kebersihan mukosa harus diperhatikan.

3.

Tampon Posterior
-

Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau


tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran 3x2x2 cm dan
24

mempunnyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi
pada sisi lainnya. Tampon harus menutupi koana.
-

Dengan bantuan kateter yang ujungnya di ikatkan 2 buah benang


tampon Bellocq, kateter masuk melalui hidung, ke orofaring hingga
benang dapat keluar dan dapat ditarik.

Tampon didorong dengan menggunakan telunjuk melewati palatum


mole masuk ke nasofaring.

Kedua benang yang keluar dari hidung, diikat dengan kasa di depan
nares anterior agar tampon di fiksasi di tempatnya.

Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar di pipi
pasien.(10)

Tampon posterior / tampon bellocg

Komplikasi dari tampon anterior dan tampon posterior :


-

Hipoksia arteri : menyebabkan disfungsi tekanan parsial oksigen yang


berhubungan dengan paru-paru karena adanya gagguan mekanisme
refluk nasopulmonary.

Syok toksis : infeksi stafilokokus dapat terjadi dalam waktu 24 jam


setelah tampon dipasang, syok merupakan gejala umum yang
disebabkan oleh racun dibakteri (19)

25

4.

Ligasi pembuluh darah atau embolisasi


Dilakukan apabila perdarahan hebat dan tidak berhenti setelah pemasangan
tampon. Paling umum terjadi apabila sumber perdarahan ada dibagian
posterolateral dari rongga hidung yaitu arteri sphenopalatina (cabang arteri
maksilaris) yang dapat dipotong dibawah kontrol endoskopi. Ligasi atau
embolisasi angiografi dari arteri dianggap merupakan jalan terakhir. Hal ini
dilakukan apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi secara akurat.

Ligasi vascular (19)

Medika Mentosa
Pada pasien yang dipasang tampon anterior, berikan antibiotik
profilaksis.
Vasokontriktor topikal : Oxymetazoline 0,05%.

Menstimulasi reseptor alfa-adrenergik sehingga terjadi


vasokonstriksi.

Dosis : 2-3 spray pada lubang hidung setiap 12 jam.

Kontraindikasi : hipersensitivitas

Hati-hati pada hipertiroid, penyakit jantung iskemik,


diabetes melitus, meningkatkan tekanan intraokular.

Anestesi lokal : lidokain 4%

Digunakan bersamaan dengan oxymetazoline

Menginhibisi depolarisasi, memblok transmisi impuls saraf

26

Kontraindikasi : hipersensitivitas.

Salep antibiotik : mopirocin 2% (Bactroban Nasal)

menghambat pertumbuhan bakteri.

Dosis : 0,5 g pada setiap lubang hidung selama 5 hari.

Kontraindikasi : hipersensitivitas.

Intervensi radiologi, angiografi dengan embolisasi percabangan arteri


karotis intema. Hal ini dilakukan jika epistaksis tidak dapat dihentikan
dengan tampon. (4)

2) Tata Laksana Khusus


a) Trauma
Epistaksis yang disebabkan trauma ringan dapat dilakukan
tindakan seperti hidung dipencet sampai perdarahan berhenti, dapat
juga dilakukan tatalaksana umum seperti posisi duduk tegap,
kompres dengan es dan jika perdarahan masih dapat dipasang
tampon anterior.

Perdarahan yang terjadi pasca trauma berat perlu dilakukan


penilaian awal dan sering dilakukan operasi ligasi perdarahan.
Apabila terjadi fraktur pada nasal dapat dilakukan tindakan
pembedahan untuk fraktur tersebut. Apabila perdarahan gagal
dihentikan dapat dilakukan ligasi arteri sphlenopalatina. (13)

b) Suhu dan Kelembapan udara


Penatalaksanaan epistaksis karena suhu dan kelembapan udara
rendah sehingga mukosa kering dapat dilakukan dengan tampon
atau kapas yang diberikan salep vaselin agar licin dan menekan
serta mengistirahatkan perdarahan. Apabila perdarahan minimal
dilakukan penekanan pada hidung.(7,22)

27

c) Kelainan congenital
Perdarahan

telangiektasis

heriditer

(hereditary

hemorrhagic

telangiectasia/Osler's disease) dapat menyebabkan epistaksis


berulang yang parah. Hidung berdarah jadi lebih sering. Hal
tersebut memerlukan intervensi bedah laser koagulasi atau skin
graft pada septum. Dalam kasus parah dapat dilakukan
pembedahan penutupan rongga hidung (prosedur Young) menjadi
efektif akan tetapi hanya dilakukan pada kasus berat.(13)

d) Deviasi Septum
Apabila perdarahan minimal dapat dilakukan penatalaksanaan
umum seperti cuping hidung dijepit sekitar 10 menit, pasien
diedukasi untuk tidak menelan darah yang mengalir di faring,
penderita sebaiknya duduk tegak agar tekanan vaskular berkurang,
aliran darah kekepala dan menghambat darah ditelan. Dapat
diberikan es pada pangkal hidung.

Untuk mencegah terjadinya perdarahan ulang dapat dilakukan


koreksi dari septum deviasi. Koreksi septum deviasi dapat
dilakukan dengan metode septoplasti. Septoplasti dilakukan jika
terdapat keluhan akibat deviasi septum nasi seperti hidung
tersumbat, untuk memperbesar akses ke meatus media pada saat
melakukan bedah sinus endoskopi fungsional, sakit kepala akibat
kontak dengan septum deviasi, epistaksis dan sebagai akses untuk
melakukan tindakan operasi tertentu dan alasan kosmetik. Teknik
septoplasti dengan endoskopi yaitu dengan melakukan infiltrasi
epinefrin 1:200.000 pada sisi cembung septum yang paling
mengalami deviasi menggunakan endoskopi kaku. Dilakukan insisi
hemitransfiksi, insisi tidak diperluas dari dorsum septum nasi ke
dasar kelantai kavum nasi, tidak seperti insisi konvensional yang
diperluas sampai bagian superior dan inferior. Pada septoplasti
endoskopi hanya dibutuhkan pemaparan pada bagian yang paling

28

deviasi saja. Flap submukoperikondrial dipaparkan dengan


menggunakan endoskopi, tulang yang patologis dan bagian septum
yang deviasi dibuang. Kemudia bekas insisi ditutup dan tidak
dijahit kemudian dipasang tampon. Sedangkan teknik septoplasti
dengan metode open book , dimana insisi dibuat secara vertikal
tepat di daerah anterior deviasi kemudian insisi horizontal sesuai
aksis deviasi paling menonjol.(3)

e) Neoplasma
Perdarahan akan sulit untuk dikontrol sampai penyebab yang
mendasari telah ditangani. Konsultasikan dengan hematologist dan
koreksi kelainan apapun dari hemostatis (misalnya dengan
transfusi trombosit) akan diperlukan. Penggunaan warfarin harap
dikonsultasikan dengan cardiologist.(15)

f) Kelainan Darah

Trombositopenia
Setelah perdarahan ditagani menggunakan tampon maka
Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati
penyakit yang mendasarinya. Apabila terjadi gangguan
produksi trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikkan
angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah
perdarahan

intracranial.

Apabila

terjadi

penghancuran

trombosit yang esksesif, trombosit yang ditransfusikan juga


akan dihancurkan dan tidak akan menaikkan angka trombosit.

Terapi untuk mengurangi proses imun sehingga mengurangi


perusakan trombosit.
a)

Terapi kortikosteroid untuk menekan aktivitas makrofag,

mengurangi pengikatan IgG oleh trombosit, dan untuk


menekan

sintesis

antibody

sehingga

Steroid

dapat

memperlambat kerusakan trombosit.

29

b)

Jika dalam 3 bulan tidak memberi respon pada

kortikosteroid

(trombosit

<30109/l)

atau

perlu

dosis

pemeliharaan yang tinggi maka diperlukan splenektomi, atau


obat-obatan

immunosupresif

lain

seperi

vincristine,

cyclophospamide, atau azathiprim.


c) Terapi suportif , terapi untuk mengurangi pengaruh
trombositopenia.
- Pemberian androgen (danazol).
- Pemberian high dose immunoglobulin untuk menekan fungsi
makrofag (9)

Hemofilia
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara
komprehensif meliputi pemberian faktor pengganti yaitu F VIII
untuk hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B, perawatan dan
rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi dan dukungan
psikososial bagi penderita dan keluarganya.

(2,8,22)

Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis


0.5 x BB (kg) x kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan
tiap 12 jam sedangkan F IX diberikan tiap 24 jam untuk
hemofilia B. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan tergantung
pada lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot,
mukosa mulut dan hidung kadar 30-50% diperlukan. Lama
pemberian tergantung pada beratnya perdarahan atau jenis
tindakan. Untuk pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan
selama 2-5 hari, Kriopresipitat juga dapat diberikan untuk
hemofilia A dimana satu kantung kriopresipitat mengandung
sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan obat antifibrinolitik
seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat.
Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid harus dihindari
karena dapat mengganggu hemostasis. (2,8,22)

30

Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada


penderita hemofilia berat dengan tujuan mengurangi kejadian
hemartrosis

dan

kecacatan

sendi.

WHO

dan

WFH

merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1-2


tahun dan dilanjutkan seumur hidup.(2,8,22)

Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1deamino-8-arginine

vasopressin,

DDAVP)

suatu

anolog

vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII


endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk
hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum
jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari
tempat

simpanannya

(Weibel-Palade

bodies)

sehingga

menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara


intravena, subkutan atau intranasal (2,8,22)

Leukemia
Penatalaksanaan medis
Kemoterapi
Tujuan dari tahap pertama pengobatan adalah untuk
membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah
dan sumsum tulang (2,8,22)
Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk
membunuh sel-sel leukemia. Sinar berenergi tinggi ini
ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh
tempat menumpuknya sel leukemia. (2,8,22)
Transplantasi sumsum tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti
sumsum tulang yang rusak dengan sumsum tulang yang
sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh

31

dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu,


transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk mengganti
sel-sel darah yang rusak karena kanker (2,8,22),

g) Hipertensi
Penanganan epistaksis dengan hipertensi pada prinsipnya sama
dengan

penanganan

epistaksis

yang

lain

yakni

dengan

memperbaiki kondisi umum pasien, mencari letak perdarahan,


menghentikan perdarahan dan mencari penyebab perdarahan. Salah
satu manifestasi klinis yang tersering adalah epistaksis yang
berulang hingga memerlukan transfusi darah. Bila perlu dengan
pemasangan suatu tampon hidung anterior atau posterior dan
transfusi plasma kriopresipitat, faktor VIII atau faktor pembekuan
lain.

Menurut Schwartzbauer dkk (2003), ligasi terhadap arteri


sfenopalatina dan nasalis posterior dengan menggunakan metode
endoskopi berhasil menghentikan epistaksis yang berulang.

Berdasarkan pedoman dari European Society of Hypertension


(ESH) & European Society of Cardiology (ESC)-2003 membagi
hipertensi dalam 3 tingkatan sedangkan JNC-7 membagi dalam 2
stadium. Menurut ESH & ESC-2003 dan JNC-7 pengobatan
farmakologik dimulai pada hipertensi tingkat 1 atau TD 140159/90-99 mmHg, sedangkan menurut

British

Society of

Hypertension (BSH-IV 2004) memulai pada tekanan darah


160/100 mmHg. Pengobatan farmakologik dapat diberikan pada
tekanan darah 140-159/90-99 mmHg bila terdapat kerusakan organ
target, penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, atau risiko
kardiovaskuler dalam 10 tahun mencapai 20%.

32

Menurut JNC-7 diuretik tiazid (DT) merupakan pilihan awal


pengobatan hipertensi stadium 1 tanpa indikasi memaksa
(compelling indications). Penggunaan obat antihipertensi golongan
angiotensin converting enzyme inhibor inhibitors (ACE-i),
angiotensin receptor II blockers (ARB), beta blokers (BB), atau
calcium channel blocker (CCB) dapat dipertimbangkan sebagai
obat tunggal atau kombinasi. Hipertensi stadium 2 membutuhkan
kombinasi DT dengan obat antihipertensi yang lain.(11)

h) Aterosklerosis
Penanganan epistaksis pada prinsipnya yakni dengan memperbaiki
kondisi umum pasien, mencari letak perdarahan, menghentikan
perdarahan dan mencari penyebab perdarahan. (11)

Pada penderita aterosklerosis bisa diberikan obat-obatan untuk


menurunkan lemak dan kolesterol dalam darah. Contohnya
colestyramin, kolestipol, asam nikotinat, lovastatin. Obat anti
koagulan dapat diberikan untuk mengurangi risiko terjadinya
bekuan darah.(17)

i) Sirosis hepatis
Penanganan epistaksis pada prinsipnya yakni dengan memperbaiki
kondisi umum pasien, mencari letak perdarahan, menghentikan
perdarahan dan mencari penyebab perdarahan.(11) Sirosis hepatis
karena alkohilisme, harus menghentikan kebiasaannya dan
mengubah gaya hidupnya.
Pengobatan sirosis hepatis pada prinsipnya berupa :
1. Simtomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang;
misalnya : cukup kalori, protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin

33

c. Pengobatan berdasarkan etiologi

Misalnya pada sirosis hati akibat infeksi virus C dapat dicoba


dengan interferon. Sekarang telah dikembangkan perubahan
strategi terapi bagian pasien dengan hepatitis C kronik yang belum
pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a) kombinasi IFN
dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap hari

A) Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit
3 x seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat
badan (1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang
diberikan untukjangka waktu 24-48 minggu.

B) Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan


dosis yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu
yang dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48
minggu dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.

C) Terapi dosis interferon setiap hari. Dasar pemberian IFN dengan


dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-RNA negatif di
serum dan jaringan hati.(14)

j) Diabetes Mellitus
Penanganan epistaksis pada prinsipnya yakni dengan memperbaiki
kondisi umum pasien, mencari letak perdarahan, menghentikan
perdarahan dan mencari penyebab perdarahan.(11)

Pada penatalaksanaan diabetes mellitus, langkah pertama yang


harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa
pengaturan diet dan olah raga. Apabila dalam langkah pertama ini
tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasi dengan

34

langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat


hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya.(6)
k) DBD (5)
Protokol 2
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet
positif petekie, purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan)
dan tanpa syok di ruang rawat ; pemberian cairan Ringer laktat
merupakan pilihan pertama.

Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa


5% dalam ringer laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam
NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam,
pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan
berat badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus
sebanyak 3.000 cc dalam waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan
kurang dari 50 kg pemberian cairan infuse dapat dikurangi dan
diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan
lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000
cc/ 24 jam. Jumlah cairan infus

yang diberikan harus

diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa dengan


kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada
pasien dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia
lanjut serta pada pasien dengan riwayat epilepsi. Pada pasien
dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan elektrokardiografi
merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus
dilakukan.

Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari


berikutnya setiap harinya tetap sama dan pada saat mulai
didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu tubuh mulai

35

turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar


dua liter dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda
hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai meningkat lebih
dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai
dikurangi.

Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD


dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah
memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya
setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/p 1, sedangkan untuk pasien DBD dewasa dengan jumlah
trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan setiap 24 jam.

Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan


jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien
semakin memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka
pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus lebih diperketat.

Pasien dapat dipulang apabila Keadaan umum /kesadaran


danhemodinamik baik, serta tidak demam. Pada umumnya Hb, Ht
dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil dalam 24
jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit
belum mencapai normal (diatas 50.000) pasien sudah dapat
dipulangkan.

Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa


sakitnya atau trombosit belum dalam batas normal, maka diminta
kontrol ke poiliklinik dalam waktu 1x24 jam atau bila kemudian
keadaan umum kembali memburuk agar segera dibawa ke UGD
kembali.

36

Protokol 3
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah
diberi tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan
melena

atau

hematoskesia),

perdarahan

saluran

kencing

(hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan


jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan
seperti inijumlah dan kecepatan pemberian cairan ringer laktat
tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya 500 ml setiap 4
jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin
dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tandatanda syok sedini mungkin.

Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera


dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya
diulang setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai
indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan
defisiensi

faktor-faktor

pembekuan

(PT

dan

PTT

yang

memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb


kurang dari 10 g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD
dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit
kurang dari 100.OOOipldisertai atau tanpa KID.

Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam


kemudian sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan
hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD
dengan

gejaia-gejala

tersebut

diatas,

apabila

dijumpai

di

Puskesmas perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan


plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia,
dapat digunakan cairan kristaloid.

37

Protokol 4

I. Prognosis
Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang adekuat
dan kontrol penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami
perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh
spontan tanpa pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan
pengobatan yang lebih agresif.(4)

38

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Epistaksis adalah suatu keadaan perdarahan dari hidung yang
keluar melalui lubang hidung. Pada umumnya terdapat dua sumber
perdarahan yaitu dari bagian anterior dan bagian posterior. Epistaksis
anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri etmoidalis
anterior Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan dengan tindakan sederhana dan epistaksis posterior dapat
berasal dari arteri sfenopalatina atau arteri etmoidalis posterior Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Penyebab epistaksis berdasarkan suember perdarahan terbagi atas:
Epistaksis Anterior disebabkan oleh: Trauma, Suhu dan kelembapan
udara, Kelainan konginetal Rendu-Osler-Weber disease, Deviasi Septum,
Neoplasma, Anak-anak. Sedangkan Epistaksis Posterior disebabkan oleh :
Kelainan darah (trombositopenia, hemofilia dan leukemia), Hipertensi,
Artherosklerosis, Diabetes Melitus, Sirosis Hepatis, Infeksis Akut DBD,
Kelainan

Hormonal

(peningkatan

esterogen

dan

progesteron),

Alkoholisme. Diagnosis epistaksis dapat ditegakan berdasarkan anamnesis


dan pemeriksaan fisik hidung menggunakan rhinoskopi anterior untuk
menemukan sumber perdarahan.
Prinsip dalam penatalaksanaan epistaksisyaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksi
disertai dengan terapi umum yaitu terapi simtomatik, terapilokal
menggunakan tampon serta terapi medikamentosa menggunnakan
antibiotic dan vasokontriktor topical juga terapi pebedahan berupa ligasi
arteri dan septal dermatoplasty dna juga terapi khusus tergantung penyakit
yag mendasarinya. Untuk komplikasi epistaksis dapat berasal dari
epistaksis sendiri atau usaha penanganannya. Prognosis epistaksis pada
umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan control yang teratur.
39

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor

Effendi H.

Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC, 1997.


2. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2014
Juli 31 Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
3. Budiman, BJ dan Asyari, A. 2012. Pengukuran Sumbatan Hidung pada
Deviasi Septum Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1)
4. Cody D, Thane R, et.al. Epistaksis, Dalam Penyakit Telinga Hidung
dan Tenggorokan. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran, EGC, 1991. Hal. 245-50.
5. Depkes. 2013. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue. Available at
http://www.depkes.go.id/downloads/Tata%20Laksana%20DBD.pdf 05
Agust-14
6. Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005.Diabetes mellitus. Jakarta
7. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities
2007

Nov

28

[cited

2014

Juli

31]

Available

from:

http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
8. (Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007
Feb 2 [di akses 2014 Juli 31] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epis
taxis.aspx)
9. How Is Thrombocytopenia Treated. 2012. National institute health.
http://www.nhlbi.nih.gov/health/healthtopics/topics/thcp/treatment.html
10. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.
11. Jaka Budiman, B. 2011. Epistaksis dan Hipertensi. Bagian Ilmu
Kesehatan Hidung Tenggorok Bedah kepala Leher. Fakultas
kedokteran universitas andalan

40

12. Jin Hee Cho and Young Ha Kim (2012). Epistaxis, Otolaryngology,
Prof. Balwant Singh Gendeh. InTech Europe. Croatia.
13. Ludman, Halord and Bradley J Patrick. 2013. ABC of Ear, Nose and
Throat (Sixth edition). Blackwell Publishing Ltd : USA
14. Maryani S. 2013. Sirosis Hepatis. Fakultas Kedokteran Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Sumatera Utara.
15. McGarry G.W. 2013. Epistaxis in ABC of The Ear Nose and Throat.
Ludman H & Patrick J.B. Blackwell Publishing Ltd. UK.
16. Munir D., Haryono Y., Rambe R., Epistaksis. Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok, Bedah Kepala leher Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2006.
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 5 tahun 2014.
Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas pelayanan kesehatan
primer.
18. Rifki, Nusjirwan, Mangunkusumo, Endang. Epistaksis. Dalam :
Iskandar Nurbaiti. Helmi, Editor : Panduan Penatalaksanaan Gawat
Darurat Telinga Hidung Tenggorokan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2004. Hal. 61-4.)
19. Rudolf Probst, Gerhard Grevers, Heinrich .Iro. 2006. Basic
otorhinolaryngology A step by step learning guideline. Georg thieme
verlag Stuttgart New York
20. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial
online]

2009

feb

19

[cited

2014

Juli

31]

Available

at

http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
21. Shaheen OH. Epistaxis. In: Ballantyne J, Groves J et al editors. Scotts
Browns Diseases of the Ear, Nose & Throat, 4th ed vol 3. London :
1984. 147-62
22. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2014 Juli
31]

Available

from:

http://fkuii.org/tiki-

download_wiki_attachment.php

41

23. Syamsuhidajat R, Wim de Jong. Epistaksis. Dalam Buku ajar Ilmu


Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. EGC, 2004. Hal .
364-5.
24. Tjok Istri Anom S, I Dewa Nyoman Wibawa. Pendekatan Diagnosis
dan Terapi Fibrosis Hati. Denpasar J Peny Dalam, Volume 11 Nomor 1
Januari 2010 57-67
25. T. Metin onerci. 2009. Diagosis in otorhinolyngology. Springer
Dordrecht Heidelberg London New York

42

Anda mungkin juga menyukai