Pemikiran 'masyarakat Jogja keras terhadap pendatang' secara khusus memiliki dampak sistemik
yang buruk. Pemikiran ini mengaburkan identitas Florence dari 'penyerobot antrian yang pretentious'
menjadi 'seorang pendatang'. Masyarakat Jogja kemudian dianggap entitas rasis yang memarahi
Florence karena dia 'orang luar', bukan karena dia menghina Jogjakarta. Pemikiran seperti ini bisa
memecah keharmonisan Jogjakarta dan menumbuhkan prasangka tidak adil di hati para pendatang.
Antitesis lain yang relatif unik muncul adalah 'Apabila Florence dibully, bukankah pendatang Jakarta
yang mengeluh atas kemacetan juga bisa dibully'. Pengikut pemikiran ini, menurut penulis, memiliki
kesalahan deduksi akibat kegagalan membaca data. Florence melakukan kesalahan dengan
menyerobot antrian spbu (x) lalu menghina masyarakat Jogjakarta secara pribadi dengan
menggunakan kata tolol, miskin dan tidak berbudaya (y) maka dia dibully (z). Dalam kasus pendatang
Jakarta yang mengeluh atas kemacetan, unsur kesalahan (x) dan hinaan pribadi (y) sama-sama tidak
muncul sehigga bully (z) tentu tidak mungkin terlaksana.
Tinjauan Hukum
Perkembangan hukum kasus FS terhitung cepat dan mengejutkan. Dimulai ketika sebuah LSM
(Jatisura) mengadukan FS dengan dasar hukum UU ITE. FS merespon dengan menyewa kuasa
hukum tanpa mencoba upaya damai. Pihak kepolisian kemudian membawa kasus ini ke tahap
penyidikan. Pada awalnya, banyak pihak yang menganggap FS tidak akan terkena hukuman pidana
karena kesalahannya tidak diatur oleh UU ITE. Kenyataannya, polisi menetapkan status FS sebagai
tersangka dan langsung menahan FS. Pihak kepolisian menyatakan bahwa FS ditahan karena tidak
kooperatif serta kekhawatiran melarikan diri, mengulangi pidana dan menghilangkan barang bukti.
Ini berarti sifat pretentious FS sekali lagi menjerumuskannya. Seharusnya bila FS bertindak baik
selama pemeriksaan, polisi tidak perlu menahannya karena yang berhak menentukan putusan dan
hukuman adalah hakim saat pengadilan. Kenyataannya, FS berlaku sedemikian buruknya saat
pemeriksaan hingga kepolisian terpaksa menahannya.
Menyambut keputusan ini, reaksi lini masa tercampur aduk. Meskipun secara teknis tindakan
kepolisian tidak salah, ada kelompok arus utama lini masa yang menentang penahanan FS. Argumen
kelompok penentang ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup dimana ketiganya tidak memiliki
bobot logis yang cukup, yaitu:
1. 'Tidak seharusnya FS ditahan atas dasar UU ITE' - argumen ini salah karena FS ditahan karena
dikhawatirkan mengganggu proses hukum dengan cara melarikan diri atau menghilangkan barang
bukti, serta kekhawatiran FS akan mengulangi hinaannya terhadap masyarakat Jogjakarta dengan
dampak sosial yang lebih buruk. Penahanan FS saat ini tidak ada kaitannya dengan UU ITE.
2. 'Banyak kasus lain yang lebih parah mengapa mengusut kasus FS' - argumen ini salah karena
besar kecilnya kasus tidak berkaitan dengan kekebalan di muka hukum. Apa karena banyak
pembunuhan, kasus pencurian tidak perlu diusut?
3. 'Kepolisian hanya sigap di kasus yang ngehits seperti ini' - menurut penulis argumen ini muncul
karena beberapa golongan netizen hanya mengikuti kasus yang hits tapi tidak mengakses informasi
kasus-kasus yang tidak ngehits. Sehingga generalisasi yang salah akibat tidak cukupnya data
diambil.
Kesimpulan
Menurut hemat penulis, kemarahan masyarakat Jogjakarta terhadap FS dapat dijustifikasi dan
penahanan FS telah sesuai dengan proses hukum. Penulis tidak membenci FS secara pribadi tetapi
FS perlu mendapatkan konsekuensi agar nilai-nilai 'pretentiousness' tidak menyebar lebih jauh.
Akhir-akhir ini kita diresahkan dengan informasi bahwa seorang mahasiswa Pascasarjana
UGM Fakultas Hukum, memposting sebuah tulisan yang menjelek-jelekkan suatu kelompok
masyarakat dengan kata-kata yang sangat tidak sopan sehingga banyak pihak yang berusaha
menuntut beliau dengan tuduhan pencemaran nama baik, provokasi, dan sebagainya. Tidak
sedikit juga kalangan masyarakat yang merasa iba dan kemudian beranggapan bahwa masa
sih, hanya dengan kicauan seperti itu, seseorang dapat di tuntut, bahkan denda hingga 1
Milliar rupiah. Sebelum kita memvonis dia (Florence Sihombing) itu bersalah, ada baiknya
kita mengetahui hukum yang berlaku atas perbuatannya tersebut, agar informasi yang
diterima masyarakat tidak simpang siur terkait dengan hukum tersebut.
Sebelumnya, perlu dibedakan antara diseminasi informasi yang bermuatan pencemaran nama
baik, serta yang berkaitan dengan SARA. Dalam UU ITE, ketentuan penghinaan dan
pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 27 ayat (3), sedangkan ketentuan SARA diatur
dalam Pasal 28 ayat (2). Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU ITE, delik-delik tersebut dapat
dilaporkan kepada Penyidik POLRI atau kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Informasi
dan Transaksi Elektronik (PPNS ITE) Kementerian Komunikasi dan Informatika. Laporan
kepada PPNS ITE juga dapat disampaikan melalui emailcybercrimes@mail.kominfo.go.id.
Sanksi dapat dijatuhkan apabila pelaku memenuhi seluruh unsur dan telah melalui proses
peradilan pidana.
Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Sedangkan bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Penerapan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah dibahas pada topik Legalitas Hasil
Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan.Sedangkan, penerapan ketentuan Pasal 28
ayat (2) UU ITE mengenai SARA telah dibahas pada topik Pasal untuk Menjerat Penyebar
Kebencian SARA di Jejaring Sosial.
Perlu dibahas pada topik ini bahwa banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE
merupakan delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari segi esensi delik
penghinaan dan dari sisi historis.
Pertama, Secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang
kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau
rusak.
Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan
konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya
nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan
kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana
dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama
baiknya. Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang
sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada
korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian
korban.
Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai obyektif terhadap konten. Pemahaman
akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan
Erry Supriyono Dwi Saputro, Kuasa Hukum LSM Jati Sura mengatakan alasan tidak mencabut
laporan karena mengaku memiliki konsep menjaga Jogja sebagai kota budaya, ramah tamah
dan pariwisata. Namun kami mengharapkan juga Jogja taat hukum, katanya.
Menurut dia, biarkan peristiwa tersebut justru menjadi pijakan kelembagaan DPR untuk mengkaji
UU ITE. Mengkaji masih relevan tidak UU ITE dalam masyarakat modern saat ini, ujarnya.
Berita Terkait
Jogja (Antara Jogja)- Kepolisian serta Kejaksaan dinilai perlu memanfaatkan kewenangan "diskresi" terhadap
penanganan kasus yang tidak memiliki nilai kemanfaatan secara moral ketika dilakukan penindakan secara
hukum.
Pendapat itu dikatakan pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Arief Setiawan dalam diskusi
"Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Pencemaran Nama Baik di Media Sosial; Studi Kasus Florence Sihombing"
di Yogyakarta, Senin.
"Ketika suatu kasus dibawa ke ranah hukum tidak ada manfaatnya, maka sesungguhnya Kepolisian atau
Kejaksaan punya wewenang diskresi guna menghentikan penindakan," kata Arief.
Diskresi, kata dia, merupakan kewenangan yang diberikan kepada aparat penegak hukum untuk menggunakan
akal budi atau hati nuraninya dalam memutuskan menghentikan atau meneruskan penanganan kasus tertentu
yang tidak memiliki kemanfaatan secara moral dan hukum apabila diteruskan ke Pengadilan.
"Diskresi merupakan upaya mencapai keadilan, selain terpaku untuk membawa suatu kasus ke ranah hukum,"
kata dia.
Mengacu kasus penghinaan di media sosial yang dilakukan oleh Florence Sihombing beberapa waktu lalu,
menurut Arief, Kepolisian layak menggunakan kewenangan tersebut. Sebab, ia menilai kasus penghinaan yang
dilakukan Florence patut untuk ditindak sebatas untuk memberikan pembelajaran pada yang bersangkutan serta
masyarakat, namun tidak harus diteruskan ke ranah hukum lebih lanjut.
"Tersangka cukup dipanggil untuk diperkisa, diberikan sanksi untuk pembelajaran namun tidak harus
dihubungkan dengan upaya-upaya hukum pidana lebih lanjut," kata Arief.
Kewenangan itu, menurut dia, sebetulnya pernah dilakukan oleh Kepolisian saat menangani kasus perang
antarsuku di Mimika, Papua. Kepolisian, kata dia, tidak menindak para pelaku kejahatan perang ke ranah hukum,
namun lebih memilih berinisiatif mendorong diselenggarakannya upacara bakar batu, sebagai upaya perdamaian
sekaligus mengakhiri peperangan tersebut. "Upacara bakar batu yang dinisiasi kepolisian itu merupakan bagian
dari upaya diskresi," kata dia.
Menurut dia, upaya diskresi terhadap perkara tertentu, akan membawa dampak pada perbaikan citra penegakan
hukum di Indonesia, khususnya di tubuh Polri.
Meski demikian, kewenangan tersebut juga perlu mendapatkan pertimbangan dan dasar yang matang sebelum
diterapkan. "Bukan berarti kasus korupsi, serta kasus kriminal lainnya bisa didiskresikan dengan suap," kata dia.
Komunikasi Wimar
Witoelar sebagai
narasumber
dari
perspektif
media
komunikasi, sedang analisis dari sisi hukum disampaikan olehProf. Edward O.S.
Hiariej. Seminar yang disertai dengan perlombaan live tweetramai dihadiri oleh
civitas akademika UGM.
Moderator acara ini, Linda Yanti Sulistiawati, PhD, memulai acara dengan
menanyakan seberapa persen dari peserta dialog yang akrab dengan Facebook,
Twitter, Path, Line, dan media social lainnya. Hampir 100% peserta dialog mengaku
aktif ber-sosmed. Dengan menyitir kasus lampau yang dialaminya Wimar menyatakan
bahwa dunia maya/social media adalah jauh lebih sensitive dibandingkan dengan
dunia nyata, karena kita tidak tahu berhadapan dengan siapa saja sebagai audience
kita.
Beberapa hal yang dipetik dari dialog ini adalah: Pertama, bahwa etika sosial media
tidak jauh berbeda dengan etika di dunia nyata, dan kebanyakan norma-norma yang
berlaku dalam sosialisasi sehari-hari harus juga diterapkan dalam dunia maya. Sebagai
pengguna sosial media, kita selayaknya harus dapat menjaga perasaan orang lain.
Jikalau konflik terpaksa muncul, lawan bicara tetap harus dihadapi dengan hormat.
Kejujuran harus selalu dijunjung tinggi.
Kedua, kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan utama kita adalah kehidupan di dunia
nyata. Jangan sampai sosial media dianggap kehidupan seluruhnya, apalagi dijadikan
sarana satu-satunya untuk mengekspresikan persona kita masing-masing. Sosial media
sebaiknya digunakan sebagai pendukung aktivitas keseharian dan bukan sebagai media
substitusi.
Ketiga, pada dasarnya ketentuan dalam Pasal 27 dan 28 Undang Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU No. 11/2008) yang antara lain mengatur tentang penghinaan
dan pencemaran nama baik, serta berita bohong, menyesatkan maupun menyebarkan
kebencian, sebenarnya sudah terkandung dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Walaupun kontruksi pasalnya tidak spesifik layaknya dalam UU ITE, pasal-pasal dalam
KUH Pidana sudah cukup untuk dapat menangani penyalahgunaan sosial media.
Sehingga, meskipun UU ITE dicabut/tidak berlaku lagi, apabila KUHPidana masih
berlaku, hal-hal yang ada di dunia maya masih tetap bisa dikenakan pidana.
Walaupun, melihat dan belajar dari kasus-kasus yang lampau (Kasus Prita Mulyasari
2011, Kasus Florence 2014) kita dapat mengerti bahwa tidak setiap pelanggaran pidana
harus dipidana penjara.
Sebagai individu yang sewajarnya sudah mengerti norma-norma pergaulan sehari-hari,
kita semua seharusnya dapat menerjemahkan etika sosialisasi dunia riil ke dalam
dunia maya. Ilusi bahwa dunia maya adalah dunia tanpa aturan dan tanpa etika sama
sekali tidak benar. Anonimitas yang ditawarkan oleh berbagai sosial media bukanlah
sebuah izin untuk bertingkah tanpa etika. Tetapi di akhir hari, permasalahan ini
kembali
pada
diri
kita
masing-masing,
bagaimana
memilah
antara
batasan private dan public sphere. Khususnya ketika sepak terjang kita terbuka untuk
seluruh dunia.
---
Florence ditangkap oleh polisi setelah tulisannya pada akun Path miliknya dianggap
menyebarkan kebencian. Jogja miskin, tolol, dan tak berbudaya. Teman-teman
Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja, tulisnya.
Walau mungkin sepele untuk sebagian orang, namun menurut saya kasus ini
menarik untuk dibahas karena ini sebetulnya menyangkut kepentingan kita semua.
Seberapa jauh kita dapat dipidanakan hanya karena tulisan kita di internet? Siapa
yang jadi penentu baik atau buruknya tulisan kita di dunia maya?
Reaksi warga Yogya berlebihan?
Satu hal yang mengganggu pikiran saya adalah soal sebagian elemen masyarakat
Yogyakarta yang bereaksi berlebihan atas kasus ini. Caci-maki bertubi-tubi
dilancarkan kepada Florence, tanpa ampun. Bukankah hal tersebut justru sedikit
membenarkan tulisan yang dibuat oleh Florence di akun Path miliknya?
Patut pula disayangkan bahwa polisi tetap melanjutkan kasus ini saya. Padahal,
Florence sudah meminta maaf atas perbuatannya kepada seluruh masyarakat
Yogyakarta.
Fakultas Hukum UGM juga sudah bersedia membina Florence. Dalam waktu dekat,
UGM akan menjalankan proses penyelidikan etis terhadap Florence. Saya kira
usaha-usaha tersebut sudah lebih dari cukup. Kita tidak perlu membakar dendam
dan mengumbar kecaman lebih jauh.
Semangat Yogyakarta sebagai kota yang berbudaya dan sarat akan nilai-nilai luhur
justru diuji ketika menghadapi situasi seperti ini. Alangkah eloknya jika pendapat
Florence dibalas dengan pendapat lainnya. Opini dibalas dengan opini. Biarkanlah
masyarakat yang menilainya.
Lunturnya hak berekspresi di dunia maya
Kita semua sepakat bahwa ucapan Florence tidak pantas. Oleh karenanya ia juga
pantas mendapatkan sanksi sosial. Namun apakah ia juga layak untuk mendapatkan
sanksi hukum?
Setiap hari, saya membaca keluh kesah teman-teman saya soal kemacetan Jakarta,
soal banjir ibukota dan soal perilaku masyarakatnya yang menyebalkan. Tidak
jarang sebagian dari mereka bahkan mencaci, menuliskan kata-kata yang cukup
keras.
Apakah mereka juga harus ditangkap karena telah menyebar kebencian?
Apabila Florence dianggap telah melanggar hukum karena menyebarkan kebencian
di dunia maya, lalu kenapa polisi tidak pernah menangkap orang-orang yang selama
sebulan penuh memasang status-status bernada penghinaan bahkan fitnah selama
masa pemilihan presiden yang lalu? Bukankah hal ini adalah sebuah ironi?
SOCIAL MEDIA SAVVY. Indonesia has 69 million Facebook users and more than 15 million
Twitter users. Photo by Bay Ismoyo/AFP
Selain itu, undang-undang ini juga terkesan tumpang tindih apabila dibandingkan
dengan peraturan lainnya. Terkait masalah penghinaan dan pencemaran nama baik,
misalnya, hal tersebut sudah ada di KUHP. Perbedaannya hanya saja hukuman
yang tercantum di UU ITE lebih berat.
Usaha untuk menguji beberapa pasal di dalam UU ITE sudah pernah dilakukan di
Mahkamah Konstitusi (MK), namun gagal. Mudah-mudahan kasus Florence
mendorong publik untuk kembali mengangkat diskusi mengenai apakah UU ITE
telah membantu meningkatkan kualitas iklim demokrasi kita atau malah sebaliknya.
Ini penting karena kebebasan berpendapat adalah hak yang harus diperjuangkan.
Rappler.com
Tasa Nugraza Barley adalah seorang konsultan komunikasi yang pernah menjadi
jurnalis selama dua tahun di sebuah koran berbahasa Inggris di Indonesia. Ia suka
membaca buku dan berpetualang, dan ia sangat menikmati cita rasa kopi tubruk
yang bersahaja. Silakan follow akun Twitter-nya, @barleybanget
Negeri 1/2 Gila
Pras
31 Aug 2014 | 10:42
Disela-sela hiruk pikuk pemberitaan soal kenaikan BBM, sebagian publik tersita
perhatiannya atas pernyataan seorang mahasiswi S2 di jejaring sosialnya. Lewat
akun path miliknya, Florence Sihombing melampiaskan kemarahannya karena
anterian BBM di salah satu SPBU di Yogyakarta.
Pelampiasan Florence berbuntut panjang. Status pathnya tersebar ke jejaring sosial lainnya.
Dari twitter, facebook hingga kemudian jadi pemberitaan media. Warga Yogyakarta marah,
terusik karena apa yang dikatakan Florence sudah keterlaluan dan menghina kota dan
masyarakat Yogyakarta.
Ramai-ramai masyarakat lewat dunia maya melampiaskan kemarahan kepada Florence.
Pemilihan kata untuk melampiaskan dari masyarakat ini pun tidak jauh berbeda dengan status
path Florence. Kasar, sarkas bahkan ada juga yang mengancam. Universitas Gajah Mada
(UGM) tempat Florence melaksanakan studi S2nya pun tidak mau ketinggalan untuk
mengomentari hal ini. Katanya, Florence akan disidang kode etik UGM.
Belum cukup sampai disitu, pemberitaan menyebutkan sejumlah masyarakat juga menggelar
aksi demo untuk mengusir Florence dari Yogyakarta, bahkan ada LSM yang kemudian
melaporkan Florence ke kepolisian.
Florence hancur. Meski sudah menyadari kesalahannya dan mengatakan permohonan maaf
secara terbuka, laporan di kepolisian sudah di proses dan dengan kerja yang sangat cepat,
Florence harus masuk ke hotel prodeo. Dari situasi sosial ini, ada banyak hal menarik yang
bisa dikedepankan dan mungkin jadi bahan tertawaan kepada diri kita sendiri.
Pertama, apa yang tertulis di status path Florence memang keterlaluan. Menyandang
mahasiswi magister S2 hukum UGM, pemilihan kata Florence untuk melampiaskan
kekesalan terhadap situasi yang ia hadapi sangat tidak elok. Mungkin jika Florence hanyalah
anak SMA yang masih labil, hal itu bisa termaafkan dan dimaklumi.
Kedua, reaksi berlebihan -menurut pendapat penulis. Dari segelintir masyarakat Yogyakarta
atas hal ini. Florence menjadi target cyber bullying yang dilakukan secara berjamaah. Tidak
tanggung-tanggung cacian, hinaan, hujatan sampai ancaman terhampar di jejaring sosial. Di
facebook bahkan ada segelintr akun yang membuat fanpage untuk mengusir Florence dari
Yogyakarta.
Sejak kapan masyrakat Yogyakarta menjadi masyarakat yang 'beringas'? Sejak kapan
Yogyakarta menjadi kota yang intoleran? Sebagai masyarakat di luar Yogyakarta, penulis
menganggap kota ini penuh dengan kedamaian, diisi oleh masyrakat yang paham arti
perbedaan, masyarakat yang memandang masalah dari pelbagai sudut.
Fenomena apa yang sedang terjadi di Yogyakarta saat ini? Hal apa juga yang mendorong
masyarakat Yogyakarta menjadi sangat pemarah karena kasus ini? Yang terakhir, apakah
yang dilakukan Florence ialah cermin bobroknya kualitas orang berpendidikan di negeri ini?
Tiga pertanyaan yang saling berkaitan jika ingin menalaah secara jernih kasus Florence. Kota
Yogyakarta ialah kota yang diisi pelbagai macam suku dari negeri ini. Menyandang sebagai
kota pelajar, tidak heran jika banyak orang dari macam-macam suku tinggal dan menuntut
ilmu disini.
Keberagaman dan akulturasi budaya pun tercipta di Yogyakarta. Sepengetahuan penulis
gesekan karena perbedaan budaya antar masyaraka pendatang dan masyarakat asli jarang
terjadi di Yogyakarta. Jika terjadi pun tidak sampai menjadi perhatiaan nasional.
Mungkin baru dua atau tiga tahun kebelakang, gesekan sosial di Yogyakarta menjadi sorotan
nasional. Pelbagai kasus muncul. Yogyakarta seperti kota yang penuh dengan percikan
masalah sosial yang sewaktu-waktu bisa meledak. Mengapa itu terjadi? Apa yang
menyebabkan? Tentu itu menjadi kajian sosiologi tersendiri.
Apakah bisa disebut masalah sosial ini karena didorong faktor kemiskinan? Kemiskinan,
khususnya kemiskinan di kota erat kaitannya dengan langkanya peluang kerja yang produktif.
Namun bukankah masarakat Yogyakarta ialah masyarakat dengan tingkat kreatifitas tinggi.
Banyak hal yang bisa mereka ciptakan dari segala keterbatasan dan mendatangkan materi.
Lantas apa yang mendasari ini semua? Menurut penulis, hal ini erat kaitannya dengan
fenomena secara nasional. Ketidakberdayaan, ketidakadilan, tindakan bodoh dan tak
manusiawi pejabat yang terpelajar, praktek diskriminasi, praktek curang dan banyak hal
buruk lainnya menjadi santapan sehari-sehari masyarakat di negeri ini, menjalar cepat ke
sudut-sudut kota dan desa di negeri ini. Pemberitaan di media mengenai kondisi sosial ini
menjadi sekam dalam masyarakat.
Saat mereka sudah memupuk kebencian terhadap hal ini namun tidak berdaya melakukan
kritik dan perlawanan, pengalihan kebencian itu tersalurkan saat kasus Florence menyeruak
ke permukaan. Florence jadi 'tumbal'.
Ini fenomena sosial yang marak terjadi di negeri 1/2 gila, negeri ngeri yang sewaktu-waktu
menjadi negeri yang penuh dengan kemarahan dan kebencian. Apa yang dialami Florence
tidak jauh berbeda dengan yang dialami para pencuri ayam, penjambret, pencopet yang jadi
bulan-bulanan massa yang beringas dan pemarah, namun nasibnya sedikit lebih 'baik'.
Dibaca : 17 kali
digital yang belum lama menjadi bagian dari masyarakat kita, semacam situs jejaring
sosial. Ia dibentuk oleh situasi sosial dan politik serta kondisi ekonomi masyarakat
yang rentan. Situasi ini membuat masyarakat kita lebih menyukai pembedaan
ketimbang merayakan perbedaan secara bijaksana. Perbedaan agama, suku, ras
dan termasuk pemikiran sepertinya lebih mudah diselesaikan secara emosional dan
pada banyak kasus bahkan berujung kekerasan, ketimbang dengan penalaran dan
hati yang jernih.
Mengapa? Ini rupanya karena identitas kultural sedang dihayati secara ideologis:
menjadi simbol pembeda dengan orang lain. Sementara cara kerja situs jejaring
sosial sangatlah datar dan kering emosi. Ia tidak akan pernah mau tahu bagaimana
kondisi psikologis manusia-manusia yang menggunakannya dan kondisi sosiokultural masyarakat atau subjek yang diperbincangkan di dalamnya.
Situs jejaring sosial bekerja dengan kode-kode digital yang matematis, sementara
manusia adalah makhluk simbolik yang selalu melibatkan emosi/perasaan dalam
memproduksi maupun menanggapi simbol-simbol yang hadir di hadapannya.
Konteks di mana seseorang hidup sangat memengaruhi dalam dia memahami,
memaknai serta merespon kode-kode digital yang tidak pernah utuh menyampaikan
pesan itu. Kepingan-kepingan realitas yang disampaikan melalui situs jejaring sosial
berhadapan dengan kerentanan psikologis masyarakat, dengan mudah dapat
membuahkan kebencian dan kemarahan bahkan kekerasan (fisik dan verbal).
Maka, ini sesungguhnya adalah persoalan kebudayaan di era digital ini. Yaitu
bagaimana strategi kultural kita untuk mensiasati zaman. Caranya adalah
mentransformasi emosi personal yang subjektif menjadi kesadaran kultural yang
lebih terbuka, dan mampu menggunakan kode-kode digital media sosial yang
matematis untuk pesan-pesan kemanusiaan bagi keadilan dan perdamaian.
Penulis adalah Dosen Fakultas Teologi UKIT, Tomohon, dan aktivis di Mawale
Cultural Center