BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Farmakokinetik dan Farmakodinamik
Farmakokinetik adalah nasib obat didalam tubuh, atau efek tubuh terhadap obat.
Farmakonkinetik mencakup 4 proses, yaitu absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M),
dan ekskresi (E). Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yaitu di membran endoplasmic
reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu.
Obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya pada sel organisme. Reseptor
obat merupakan komponen makromolekul fungsional; hal ini mencakup 2 konsep penting.
Pertama, obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh. Kedua, obat tidak
menimbulkan fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada. (Ganiswara et.al.,
2001).
B. Hasil Pemeriksaan dan Manifestasi Klinis
Ikterus adalah penimbunan pigmen empedu dalam tubuh yang menyebabkan perubahan
warna jaringan menjadi kuning. SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan
SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) adalah enzim intrasel yang terutama berada
di jantung, hati, dan jaringan skeleton. (Dorland, 2002).
C. Faktor Pengaruh Respon Tubuh Terhadap Kerja Obat
Adanya perbedaan kerja obat karena farmakogenetik disebabkan karena :
1. Adanya perbedaan individual baik jumlah reseptor maupun affinitas obat untuk dapat
terikat pada reseptor tersebut.
2. Adanya perbedaan pola absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi obat, hingga
dosis yang sama dapat menyebabkan berbedanya kadar obat dalam plasma pasien
bersangkutan. Perbedaan genetik ini biasanya disebabkan polimorfismus enzim-enzim
tertentu, di mana terbentuk isoenzim dengan aktivitas enzim yang berbeda.
Selain farmakogenetik, aspek farmakokinetik, makanan dan minuman, keadaan penyakit, dan
kontak dengan senyawa kimia tertentu juga mempengaruhi perbedaan respon tubuh terhadap
kerja obat yang berbeda terhadap masing-masing individu. (Widianto, 1985).
D. Farmakoterapi
1. Isoniazid (INH)
INH menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan
metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. INH dapat menimbulkan ikterus dan
kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penderita yang mendapat
INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau perlu
dilakukan pemeriksaan SGOT. Efek nonterapi INH dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasan yang cermat. Untuk tujuan terapi, INH harus diberikan dengan
obat lain. Untuk pencegahan, dapat diberikan tunggal.
2. Rifampicin
Rifampicin aktif terhadap sel yang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA
polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain. Rifampicin jarang menimbulkan
efek nonterapi, namun pada penderita penyakit hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut
insidensi ikterus bertambah. Rifampicin tampaknya meningkatkan hepatotoksisitas INH
terutama pada asetilator lambat. (Ganiswara, et.al, 2001).
Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning (icterus),
terutama bila dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksis bagi hati. Pada penggunaan
lama, dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini agak sering juga
menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati, kejang perut dan
diare, begitu pula gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitasi (Tjay, 2003)
3. Etambutol
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek nonterapi, biasanya berupa
gangguan penglihatan, dan peningkatan kadar asam urat darah. Efek nonterapi ini mungkin
diperkuat oleh INH dan piridoksin.
4. Pirazinamid
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama adalah
peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan pirazinamid
harus dihentikan. (Ganiswara et.al., 2001).
BAB III
PEMBAHASAN
Obat yang masuk ke dalam tubuh harus melalui proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi. Setelah mengalami absorpsi dan distribusi, obat disalurkan dalam sel dengan
melalui reseptor obat. Adanya perbedaan kerja reseptor dapat mempengaruhi metabolisme
obat.
Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT dalam darah berfungsi sebagai indikator berbagai
penyakit. Pada intinya, enzim-enzim tersebut (oksaloasetat dan piruvat transaminase) sulit
masuk ke jaringan, sehingga tertimbun di dalam peredaran darah.
Ikterus terjadi akibat paduan terapi berbagai obat TB primer. INH mempunyai efek samping
ikterus. Rifampicin dapat menimbulkan ikterus apabila dikombinasikan dengan INH yang
bersifat agak hepatotoksis, walaupun jarang terjadi. Sedangkan etambutol mempunyai efek
nonterapi yang diperkuat oleh INH dan piridoksin. Pirazinamid dapat menimbulkan
gangguan hati. Secara umum, semua obat TB primer efektif dalam mengahambat bakteri TB,
namun bersifat hepatotoksis.
Pada kasus diatas, permasalahan terdapat pada proses farmakokinetik obat pada masingmasing individu. Walaupun dosis Ny. S dengan tetangganya sama, namun respon tubuh dapat
berbeda, dikarenakan penyerapan, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya tidak sama.
Adanya perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan polimorfisme genetik, sehingga
akibatnya respon tubuh juga akan berbeda. Ny. S mengalami ikterus, sedangkan tetangganya
tidak.
Penatalaksanaan pasien yang mengalami efek nonterapi (efek samping), sebaiknya dimulai
dengan menangani efek samping tersebut. Obat yang digunakan mungkin dapat digantikan
dengan obat lain yang sejenis. Untuk pirazinamid, jika terbukti terjadi kerusakan hati, maka
harus dihentikan penggunaannya. Kedua efek (efek terapi dan efek nonterapi) masing-masing
harus dipertimbangkan. Jika memang manfaat (keuntungannya) lebih banyak dibandingkan
kerugiannya, maka terapi dapat diteruskan. Pengobatan dapat diteruskan dengan
memperhitungkan toksisitas hati dan efek terapi.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Obat dalam tubuh mengalami proses absorpsi (A), distribusi (D),
metabolisme/biotransformasi (M), dan ekskresi (E).
2. Ikterus merupakan efek samping yang timbul dari penggunaan paduan obat TB primer
yang digunakan dalam terapi.
3. Faktor farmakogenetik, farmakokinetik, makanan dan minuman, keadaan penyakit, dan
kontak dengan senyawa kimia tertentu mempengaruhi perbedaan respon tubuh terhadap kerja
obat
4. Pada dasarnya obat TB primer yang digunakan sangat efektif menghambat bakteri TB,
namun bersifat hepatotoksis, sehingga penggunaannya harus didasarkan pada kondisi
penderita.
B. Saran
Tidak semua terapi obat harus dihentikan, mungkin yang perlu dihentikan hanya pirazinamid,
dan mungkin dapat diberikan obat pengganti pirazinamid. Penatalaksanaannya dapat berupa
penanganan efek samping, dan mempertimbangkan keadaan penderita. Sehingga terapi
mendatangkan keuntungan yang lebih besar daripada kerugiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Ganiswara, Sulistia G. Setiabudi, Rianto. Suyatna, Frans D. Purwantyastuti. Nafrialdi. 2001.