Oleh:
Rizka Rahmaharyanti, S.Kep
G4D014001
A. Definisi
Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan
adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat
menyebabkan kematian (Mansjoer, 2000).
Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus demam berdarah dengue disertai dengan
manifestasi kegagalan sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Syok Syndrome (DSS) adalah
sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Demam
Berdarah Dengue (DBD).
B. Etiologi
1. Virus dengue
Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus
(Arthropodborn virus) group B, tetapi dari empat tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3 dan 4
keempat tipe virus dengue tersebut terdapat di Indonesia dan dapat dibedakan satu dari
yang lainnya secara serologis virus dengue yang termasuk dalam genus flavivirus ini
berdiameter 40 nonometer dapat berkembang biak dengan baik pada berbagai macam
kultur jaringan baik yang berasal dari sel-sel mamalia misalnya sel BHK (Babby Homster
Kidney) maupun sel-sel Arthropoda misalnya sel aedes Albopictus (Soedarto, 1990).
2. Vektor
Virus dengue serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor yaitu nyamuk
aedes aegypti, nyamuk aedes albopictus, aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain
merupakan vektor yang kurang berperan.infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe jenis yang lainnya (Mansjoer & Suprohaita, 2000).
Nyamuk Aedes Aegypti maupun Aedes Albopictus merupakan vektor penularan
virus dengue dari penderita kepada orang lainnya melalui gigitannya nyamuk Aedes
Aegyeti merupakan vektor penting di daerah perkotaan (Viban) sedangkan di daerah
pedesaan (rural) kedua nyamuk tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes
berkembang biak pada genangan Air bersih yang terdapat bejana-bejana yang terdapat di
dalam rumah (Aedes Aegypti) maupun yang terdapat di luar rumah di lubang-lubang
pohon di dalam potongan bambu, dilipatan daun dan genangan air bersih alami lainnya
(Aedes Albopictus). Nyamuk betina lebih menyukai menghisap darah korbannya pada
siang hari terutama pada waktu pagi hari dan senja hari (Soedarto, 1990).
3. Host
Jika seseorang mendapat infeksi dengue untuk pertama kalinya maka ia akan
mendapatkan imunisasi yang spesifik tetapi tidak sempurna, sehingga ia masih mungkin
untuk terinfeksi virus dengue yang sama tipenya maupun virus dengue tipe lainnya.
Dengue Haemoragic Fever (DHF) akan terjadi jika seseorang yang pernah mendapatkan
infeksi virus dengue tipe tertentu mendapatkan infeksi ulangan untuk kedua kalinya atau
lebih dengan pula terjadi pada bayi yang mendapat infeksi virus dengue untuk pertama
kalinya jika ia telah mendapat imunitas terhadap dengue dari ibunya melalui plasenta.
(Soedarto, 1990).
C. Patofisiologi
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami keluhan dan gejala
karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal seluruh badan, hiperemi
di tenggorokan, timbulnya ruam dan kelainan yang mungkin muncul pada sistem
retikuloendotelial seperti pembesaran kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam
pada DHF disebabkan karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit.
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DD
dan DBD ialah meningginya permeabilitas dinding kapiler karena pelepasan zat
anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem kalikrein yang berakibat
ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat berkurangnya volume plasma, terjadinya
hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan renjatan.
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan ditemukannya
cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum, pleura dan perikard. Renjatan
hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan plasma, bila tidak segera teratasi akan
terjadi anoxia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Sebab lain kematian pada DBD
adalah perdarahan hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia,
gangguan fungsi trombosit dan kelainan fungsi trombosit.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah
trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai
gambaran limfosit plasma biru. Parameter laboratori yang dapat diperiksa:
a.
b.
c.
d.
Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
e.
Imunoserologi
- Pemeriksaan anti-dengue IgG, IgM
IgM
IgG
Interpretasi
+
Infeksi primer
+
+
Infeksi sekunder
+
Riwayat terpapar/ dugaan infeksi sekunder
Bukan infeksi Flavivirus, ulang 3-5 hari bila curiga.
- Uji HI: 1: 2560 Infeksi sekunder Flavivirus
f.
g.
h.
i.
Gas darah: terdapat gangguan pada konsentrasi gas darah sesuai dengan keadaan
pasien.
j.
k.
Golongan darah dan cross match: dilakukan sebelum tindakan tranfusi darah untuk
keamanan pasien.
2. Pemeriksaan Radiologis
a. Pemeriksaan foto roentgen dada, bisa didapatkan efusi pleura terutama pada
hemitoraks kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto dada sebaiknya dalam posisi
lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto dada dilakukan atas indikasi dalam
keadaan klinis ragu-ragu dan pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan.
b. USG: untuk mendeteksi adanya asites dan juga efusi pleura.
F. Pathway
G. Penatalaksanaan
Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi (Depkes RI, 2005).
Tatalaksana DBD dibagi atas 3 fase berdasarkan perjalanan penyakitnya (Hardiono,
2005):
1. Fase Demam terapi simptomatik dan suportif.
a.
Parasetamol
10
mg/kgBB.dosis
setiap
4-6
jam
(aspirin
dan
ibuprofen
Terapi suportif yang dapat diberikan antara lain larutan oralit, jus buah atau susu dan
lain-lain.
c.
fase kritis. Sebagian pasien sembuh setelah pemberian cairan intravena, sedangkan kasus
berat akan jatuh ke dalam fase syok.
2. Fase Kritis (berlangsung 24-48 jam), sekitar hari ke-3 sampai dengan hari ke-5 perjalanan
penyakit. Umumnya pada fase ini pasien tidak dapat makan dan minum oleh karena
anoreksia atau dan muntah.
a. Tatalaksana umum
- Rawat di bangsal khusus atau sudut tersendiri sehingga pasien mudah diawasi.
Catat tanda vital, asupan dan keluaran cairan dalam lembar khusus.
- Berikan oksigen pada kasus dengan syok.
- Hentikan perdarahan dengan tindakan yang tepat.
b. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada pasien dengan risiko tinggi, seperti:
- Bayi.
- DBD derajat III dan IV.
- Obesitas.
- Perdarahan masif.
- Penurunan kesadaran.
- Mempunyai penyulit lain, seperti Thalasemia dll.
c. Tatalaksana cairan
Indikasi pemberian cairan intravena:
- Trombositopenia, peningkatan Ht 10-20%, pasien tidak dapat makan dan
minum melalui oral.
- Syok.
- Jenis cairan pilihan:
- Kristaloid (jenis cairan pilihan diantaranya: ringer laktat dan ringer asetat
terutama pada fase syok)
- Koloid (diindikasikan pada keadaan syok berulang atau syok berkepanjangan)
- Jumlah Cairan:
- Selama fase kritis pasien harus menerima sejumlah cairan rumatan ditambah
defisit 5-8% atau setara dehidrasi sedang.
- Pasien dengan berat badan (BB) lebih dari 40kg, total cairan intravena setara
dengan 2 kali rumatan.
- Pada pasien obesitas,perhitungkancairan intravena berdasar atas BB ideal.
- Tetesan:
- Pada kasus non syok
- BB < 15 kg 6-7 ml/kgBB/jam
- BB 15-40 kg 5 ml/kgBB/jam
- BB > 40 kg 3-4 ml/kgBB/jam
- Pada kasus DBD derajat III mulai dengan tetesan 10 ml/kgBB/jam.
- Pada kasus DBD derajat IV, untuk resusitasi diberikan cairan RL 10 ml/kgBB
dengan tetesan lepas secepat mungkin (10-15 menit) kalau perlu dengan
tekanan positif, sampai tekanan darah dan nadi dapat diukur, kemudian
turunkan sampai 10 ml/kgBB/jam.
d. Pemantauan
Pemantauan terhadap syok dilakukan dengan ketat selama 1-2 jam setelah
resusitasi. Apabila pemberian cairan tidak dapat dikurangi menjadi 10 ml/kg/jam,
oleh karena tanda vital tidak stabil (tekanan nadi sempit, nadi teraba cepat dan
lemah), syok belum teratasi, maka segera diberikan cairan koloidal 10 ml/
kgBB/jam.
Pada kasus-kasus dengan syok persisten, yang tidak bisa diatasi dengan
pemberian cairan kristaloid maupun koloidal, maka perlu dicurigai adanya
perdarahan internal. Untuk keadaan ini diberikan transfusi darah segar.
Pada kasus-kasus DBD derajat IV (DSS) yang pada waktu masuk rumah sakit
nilai awal hematokritnya rendah, dipikirkan kemungkinan perdarahan internal,
sehingga pemantauan nilai Ht harus lebih sering.
Apabila Ht tetap rendah, berikan transfusi darah segar, koreksi gangguan
metabolit dan elektrolit, seperti hipoglikemia, hiponatremia, hipokalsemia dan
asidosis. Apabila terjadi asidosis, cairan infus sebaiknya diberikan Ringer Acetate.
Enam sampai 12 jam pertama setelah syok, tekanan darah dan nadi merupakan
parameter penting untuk pemberian cairan selanjutnya. Akan tetapi kemudian,
semua parameter sekaligus harus diperhatikan sebelum mengatur jumlah cairan
yang akan diberikan.
- Parameter pemberian cairan yang harus diperhatikan adalah :
Hematokrit
Jumlah urine
Kehilangan darah bermakna, yaitu > 10% volume darah total. (Total
volume darah = 80 ml/kg). Berikan darah sesuai kebutuhan. Apabila
packed red cell (PRC) tidak tersedia, dapat diberikan sediaan darah
segar.
3. Fase penyembuhan
Setelah
masa
kritis
terlampaui
maka
pasien
akan
masuk
dalam
fase
maintenance/penyembuhan, pada saat ini akan ada ancaman timbul keadaan overload
cairan. Sehingga pemberian cairan intravena harus diberikan dalam jumlah minimal
hanya untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi intra vaskuler, sebab apabila jumlah cairan
yang diberikan berlebihan, akan menimbulkan kebocoran ke dalam rongga pleura,
abdominal, dan paru yang akan menyebabkan distres pernafasan yang berakibat fatal.
Secara umum, sebagian besar pasien DBD akan sembuh tanpa komplikasi dalam
waktu 24-48 jam setelah syok. Indikasi pasien masuk ke dalam fase penyembuhan
adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Diuresis cukup
4. Indikasi Pulang
a. 24 jam tidak pernah demam tanpa antipiretik
b. Secara klinis tampak perbaikan
c. Nafsu makan baik
d. Nilai Ht stabil
e. Tiga hari sesudah syok teratasi
f. Tidak ada sesak nafas atau takipnea
g. Trombosit 50.000/l.
H. Pengkajian
Pengkajian merupakan suatu pendekatan yang sistematis untuk mengumpulkan data atau
informasi dan menganalisa sehingga dapat diketahui kebutuhan penderita tersebut.
1. Data Biografi
Identitas : Umur, Alamat (daerah endemis, lingkungan rumah / sekolah ada yang terkena
DB)
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama (keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian) : panas, muntah,
epistaksis, pendarahan gusi.
b. Riwayat kesehatan sekarang (riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk rumah
sakit) : kapan mulai panas
c. Riwayat kesehatan yang lalu (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh pasien)
d. Riwayat kesehatan keluarga (riwayat penyakit yang sama atau penyakit lain yang
pernah diderita oleh anggota keluarga yang lain baik bersifat genetik atau tidak)
e. Riwayat tumbuh kembang: adakah keterlambatan tumbuh kembang
f. Riwayat imunisasi
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : kesadaran, vital sign, status nutrisi (berat badan, panjang badan,
usia)
b. Pemeriksaan per sistem
-
Sistem kardiovaskuler : takikardi, nadi lemah dan cepat/tak teraba, kapilary refill
lambat, akral hangat/dingin, epistaksis, sianosis perifer, nyeri dada
Sistem gastrointestinal :
Mulut : membrane mukosa lembab/kering, pendarahan gusi
Perut : turgor, kembung/meteorismus, distensi, nyeri, asites, lingkar perut
BAB : warna (merah, hitam), volume, bau, konsistensi, darah, melena
perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan atau mudah memar, trombositopeni
dan hemokonsentrasi.
J. Fokus Intervensi
1. Penatalaksanaan demam
a.
Treatmen Demam
b.
Regulasi suhu
c.
Managemen nutrisi
b.
Monitoring nutrisi
c.
Managemen cairan
d.
Monitoring cairan
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2005). Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di sarana pelayanan kesehatan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik.
WHO Indonesia. (2008). Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat
pertama di kabupaten/kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Hardiono, dkk. (2005). Standar pelayanan medis kesehatan anak. Ed.I. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
NANDA International. (2012). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012 - 2014.
(M. Ester, Ed., M. Sumarwati, D. Widiarti, & E. Tiar, Trans.) Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif & Suprohaita. (2000). Kapita Slekta Kedokteran Jilid II. Fakultas Kedokteran UI
: Media Aescullapius : Jakarta.
Soedarto. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi. F.K. Universitas Airlangga :Surabaya.
Sutaryo. (2004). Dengue. Medika Fak.Kedokteran UGM : Yogyakarta.