Kasbes Geriatri
Kasbes Geriatri
Pembimbing :
dr. Bambang Joni K., Sp.PD, K-Ger
Disusun oleh:
Dewinta Widianingtyas
22010113210132
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Dewinta Widianingtyas
NIM
: 22010113210132
Bagian
Judul Kasus
Semarang, Januari2014
Pembimbing,
BAB I
ASSESMENT GERIATRI
IDENTITAS PENDERITA
Nama
: Tn. MZ
Formatted: Indonesian
No. CM
:C463444
Formatted: Indonesian
Umur
:72 tahun
Agama
: Islam
Pendidikan
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
Masuk RSDK
:8 Februari 2013
Status
: BPJS
I. DAFTAR MASALAH
Masalah Aktif
Tanggal
1. CKD Stage V
6-1-2014
2. Infiltrat Paru
6-1-2014
3. Hipertensi Stage I
6-1-2014
4. Anemia Normositik
6-1-2014
Normokromik
5. Hipoalbuminemia
6-1-2014
6. Hiperuricemia
6-1-2014
7. Immobilitas
6-1-2014
6-1-2014
6-1-2014
Masalah Pasif
Tanggal
Formatted: Indonesian
Anak 2
Anak 3
Anak 4
Anak 5
Kesan
Biaya
: BPJS
Riwayat Fungsional
Sebelum masuk RS
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan di dalam dan sekitar rumah
masih baik. Untuk buang air kecil dan buang air besar penderita dapat melakukannya
dengan mandiri tanpa bantuan, kecuali saat sakit. Untuk aktivitas seperti makan, mandi
dan berpakaian pasien juga masih dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.
Saat dirawat di RS
2.
3.
4.
5.
6.
Aktivitas
Bathing
Dressing
Toilletting
Transfering
Continence
Feeding
Mandiri
Tergantung
Memerlukan
bantuan
dalam mandi lebih dari 1
bagian tubuh dan saat
masuk serta keluar dari
bak mandi / tidak dapat
mandi sendiri
Tidak dapat memakai
pakaian sendiri atau
tidak
berpakaian
sebagian
Menaruh
pakaian
&
mengambil
pakaian,
memakai pakaian, brace, &
menalikan sepatu dilakukan
sendiri
Pergi ke toilet, duduk berdiri
dari
kloset,
memakai
pakaian
dalam,
membersihklan
kotoran
(memakai bedpan pada
malam hari saja & tidak
memakai
penyangga
mekanik)
Berpindah dari dan ke
tempat tidur & berpindah
dari dan ke tempat duduk
(memakai
atau
tidak
memakai alat bantu)
BAK & BAB baik
6-1-2014
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Tergantung
Mandiri
fungsi lain
Pada saat dirawat di RS, pasien masih dapat berubah posisi tidur, dari telentang ke
miring kanan dan miring kiri. Pasien juga terkadang duduk di ranjang, tidak selalu
tiduran. Berikut adalah skor untuk mengukur risiko dekubitus pada pasien.
6-1-2014
Skor total : 20
Kategori : Skor 16-20 : kecil sekali/tak terjadi
12-15 : kemungkinan kecil terjadi
< 12 : kemungkinan besar terjadi
Hasil skor : 20
Kesan :kemungkinan kecil terjadi dekubitus
Riwayat Gizi
-
Pasien biasanya makan 3x/hari dengan nasi 1 piring dan habis. Lauk sayur dan
tempe tahu, ikan asin,udang, ayam, telur. Masakan di rumah sehari-hari sering masak
sendiri, masih menggunakan MSG dan garam.
Pasien minum air putih sekitar 3/4 botol aqua besar per hari. Hampir setiap pagi
pasien minum teh manis setiap hari 1 gelas dengan 1 sendok teh gula pasir.
Riwayat Psikiatri
Sebelum masuk RS, kegiatan sehari-hari pasien hanya dirumah. Pasien jarang melakukan
aktivitas di luar rumah. Hubungan dengan tetangga masih baik. Waktu luang digunakan
untuk menonton TV, mengobrol dengan keluarga, tetangga, dan mengurus cucu.
Pemeriksaan Status Mental
Keadaan umum
: normoaktif
Kesadaran
: jernih
Sikap
Mood
: eutimik
Afek
: serasi
Gangguan Persepsi
Bentuk Pikir
: realistik
Proses Pikir
: lancar
Isi Pikir
: waham (-)
Apakah..
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
10
Ya
Tidak
11
Ya
Tidak
12
Ya
Tidak
13
Ya
Tidak
14
Ya
Tidak
15
Anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada anda?
Ya
Tidak
DAFTAR PERTANYAAN
Tanggal berapakah hari ini? (bulan, tahun)
Hari apakah ini
Apakah nama tempat ini?
Berapa nomor telepon atau alamat rumah Bapak/Ibu?
Berapa umur Bapak/Ibu?
Kapan Bapak/Ibu lahir?
Siapakah nama presiden kita sekarang
Siapakah nama presiden sebelum ini?
Siapakah nama gadis ibu Anda?
Hitung mundur 3-3 dari 20!
JAWABAN
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
0 2 kesalahan = baik
3 4 kesalahan = gangguan intelek ringan
5 7 kesalahan = gangguan intelek sedang
8 10 kesalahan = gangguan intelek berat
Bila penderita tidak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di atas
Hasil =0kesalahan
Kesan =Baik
Nilai
5
5
( 5)
(5)
( 3)
( 5)
(3)
(9)
ORIENTASI
Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
Sekarang kita berada dimana? (Nama rumah sakit, jalan, nomor rumah, kota
kabupaten, provinsi)
REGISTRASI
Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda,misalnya : satu detik untuk
tiap benda. Kemudian mintalah respon mengulang ketiga nama benda
tersebut. Ulangi hingga benar
menyebutkan. Hitung jumlah percobaan dan catat : 2 kali.
ATENSI DAN KALKULASI
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan.
RECALL
Tanyakan kembali nama tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai
1 untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
a. Apakah nama benda ini? Perlihatkan pensil atau arloji (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut : JIKA TIDAK, DAN ATAU TAPI (1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini: Peganglah selembar kertas dengan
tangan kananmu, lipatlah kertas tersebut pada pertengahan dan letakkan
di lantai (3 nilai )
d. Bacalah dan laksanakanlah perintah berikut: PEJAMKAN MATA
ANDA (1 nilai)
e. Tuliskanlah sebuah kalimat (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini (1 nilai )
Jumlah skor : 30
: Normal
17-24
0-16
Skor
: 24
Kesan
: Normal
B. DATA OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal10Februari 2014 pukul 10.00 di Bangsal Geriatri
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keadaan umum
Kesadaran
Tanda vital
: TD
: 160/100mmHg (berbaring)
RR
: 26x/menit
Status gizi
: 37,70C
:BB
: 47kg
TB
:155cm
IMT
:19,5kg/m2(normoweight)
Kepala
: mesosefal
Kulit
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
:bibir pucat (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-),
pursed lip breathing (-), gigi palsu (-), coated tongue (+)
Tenggorok
Leher
Thorax
Pulmo depan
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pulmo belakang
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Cor
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Ekstremitas :
Ssuperior
inferior
Refleks fisiologis
+N/+N
+N/+N
Refleks Patologis
-/-
-/-
Tonus
N/N
N/N
Kekuatan
5-5-5/5-5-5
5-5-5/5-5-5
Sensibilitas
+N/+N
+N/+N
Edema
-/-
-/-
Akral Dingin
-/-
-/-
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi (08/02/2014)
Pemeriksaan Hasil
Satuan
Nilai rujukan
Hemoglobin
10,9
g/dL
9.5 19.60
Hematokrit
33,4
35 47
Eritrosit
4,1
10 /uL
4.4 59
MCH
26,4
Pg
27,00 32,00
MCV
81,1
fL
76 96
MCHC
32,6
g/dL
29.00 36.00
Leukosit
11,8
3.6 11.0
10 /uL
Trombosit
351,1
10 /uL
150 400
RDW
14,67
11,60 14,80
MPV
GDS
9,18
128
fL
mg/dl
4,00 11,00
80 - 140
28
mg/dl
1539
Creatinin
0.94
mg/dl
0.51.5
Natrium
135
mmol/l
136 145
Kalium
3.7
mmol/l
3.5 5.1
Chlorida
101
mmol/l
98 107
Ureum
(
(
Klasifikasi PGK stadium III, LFG = 47,22 (LFG 30-59 ml/mnt/1,73 m2)
Hasil
Satuan
Normal
Warna
Kuning
Kejernihan
Jernih
Berat jenis
1.020
1.003 1.025
pH
5,5
4,8-7,4
Protein
100
mg/dl
NEG
Reduksi
NEG
mg/dl
NEG
0,2
mg/dl
NEG
Bilirubin
NEG
mg/dl
NEG
Aseton
NEG
mg/dl
NEG
Nitrit
NEG
Uroblinigen
NEG
Sedimen
Epitel
1-2
/LPK
Leukosit
2-5
/LPK
Eritrosit
0-1
/LPB
Granula Kasar
NEG
/LPK
NEG
Granula Halus
0-1
/LPK
NEG
Sil. Hyalin
1.06
u/L
0,00-1,20
Sil. Epitel
NEG
/LPK
NEG
Sil. Eritrosit
NEG
/LPK
NEG
Sil. Lekosit
NEG
/LPK
NEG
NEG
u/L
NEG
Bakteri
Irama
: sinus
HR
: 64x/menit, reguler
Axis
: LAD
Gel. P
: P terminal force (+); P pulmonal (-), P mitral (-)
PR interval : 0.16 detik
Komplek QRS: 0.08 detik
ST segmen : ST-T changes V1-V4
Gel T
: inverted (-), tall T(-)
Q patologis : (-)
Lain-lain
: R di V5/V6+S V1/V2> 35 mm R/S di V1<1
Poor R progression (+), S persisten (-)
Kesan
: LAD, LVH, iskemik anteroseptal
Hasil Konsul mata: ODS retoinopati hipertensi grade II dengan aterosklerosis grade II
Kesan :
Kardiomegali (LV)
Jatuh (-)
Konfusio (-)
Dekubitus (-)
Inkontinensia (+)
13. AKS
Insomnia
Iatrogenic
Infection
Incontinence
Immobility
Intelectual impairment
Isolation
Inanition
Impaction
Insomnia
Impotence
Incontinence
Immuno-deficiency
Impecunity
Instability
Problem Medis
1. Sindroma geriatrik: incontinence, infection, impecunity
2. Hipertensi (terkontrol)
3. Hipertensive heart disease
4. Diare akut
5. Anemia (Hb: 10,9)
RENCANA PEMECAHAN MASALAH
PROBLEM I
CKD Stage V
Assesment :Atasi kegawatan
- Ensefalopati uremikum
- Asidosis metabolik
- Overhidrasi
Ip Dx :BGA
Ip Tx:
Hemodialisa
Ip Mx
Ip EX
PROBLEM II
Infiltrat Paru
Assessment
: CAP, TB Pulmonum
Ip Dx
Ip Tx:
Ambroxol 3x30 mg
Ip Mx
Ip Ex
: tampung dahak, edukasi cara menutup mulut dan batuk yang benar, kompres
bila suhu tubuh naik
PROBLEM III
Hipertensi Stage I
Assessment
: - Etiologi primer
- Etiologi sekunder
- Faktor resiko penyakit jantung lainnya
- Komplikasi
Ip Dx
: Profil lipid, GD I/II, asam urat, konsul mata,EKG, ureum creatinin serum
Ip Rx
:Captopril 3x12.5 mg
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM IV
Anemia Normositik Normokromik
Assessment
Ip Dx
Ip Tx
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM V
Hipoalbuminemia
Assesment
Ip Dx
Ip Tx
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM VI
Hiperuricemia
Assesment
Ip Dx
Ip Tx
Ip Mx
:-
Ip Ex
PROBLEM VII
Immobilitas
Assesment
IP Dx
IP Rx
IP Mx
: Indeks Katz dan skor Norton, keadaan umum dan tanda vital
IP Ex
:
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan pasien tentang
pembatasan aktivitas kegiatan sehari-harinya supaya keluarga membantu bila pasien
tidak dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien tidak terlalu banyak
melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan beban kerja jantung
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk merubah posisi tidur miring
ke kanan dan kiri setiap 2 jam sekali untuk mengurangi risiko terjadinya luka di
punggung
PROBLEM VIII
Gangguan Kognitif Ringan
Assessment
Ip Dx
: ulangi pemeriksaan saat kondisi pasien lebih stabil (kuesioner status mental,
MMSE), Clock Drawing Test
Ip Rx
:-
Ip Mx
Ip Ex
PROBLEM IX
Katarak Senilis Immature
Assesment
:-
Ip Dx
:-
Ip Rx
Ip Mx
Ip Ex
: menjelaskan kepada pasien bahwa terdapat kekeruhan pada lensa mata dan
penatalaksanaan lebih lanjut akan diberikan oleh dokter spesialis mata.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)1,2
I. Teori Proses Menua
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Populasi lansia (usia 60 tahun) semakin meningkat. Diperkirakan
600 juta di tahun 2000 dan diramalkan menjadi 2 milyar di tahun 2050. Dengan semakin
berkembangnya teknologi kesehatan, populasi lansia akan semakin meningkat dan demikian
berpengaruh pada angka ketergantungan. Demikian juga problem kesehatan yang ditemui
pada populasi lansia semakin banyak.
Ada beberapa teori proses menua, antara lain:
1. Teori genetic clock
Setiap spesies memiliki jam genetik yang akan berhenti sesuai waktunya. Usia harapan
hidup dipengaruhi pula oleh jenis kelamin.
2. Mutasi somatik (error catastrophe)
Faktor lingkungan (radiasi, zat kimia) yang toksik atau karsinogenik menyebabkan
kesalahan transkripsi dan translasi DNA sehingga timbul kesalahan yang menyebabkan
metabolit berbahaya (mutasi)
3. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi berulang menyebabkan kemampuan sistem tubuh mengenal diri sendiri sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang mengenai berbagai macam jaringan.
4. Teori menua akibat metabolisme
Semakin banyak metabolisme, akan semakin cepat timbul proses degenerasi
5. Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas sebagai produk sampingan respirasi aerob dihasilkan menumpuk melebihi
kapasitas anti radikal bebas tubuh (SOD, katalase, glutation peroksidase) sehingga
menimbulkan kerusakan sel
Menua atau menjadi tua merupakan proses yang dialami oleh semua orang dan tidak
dapat dihindari. Yang dapat diusahakan adalah tetap sehat ada saat menua Healthy Aging.
Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko
penyakit degeneratif.
II.
Perubahan dalam penuaan terdiri dari perubahan anatomi, patologi, dan psikososial
akibat proses menua. Pada panca indra didapatkan perubahan degeneratif otot akomodasi,
jaringan ikat periorbita, fungsi kelenjar lakrimalis, perubahan elastisitas lensa, degenerasi
neuron kortikal sehingga visus dapat terganggu. Fungsi telinga juga menurun akibat
hilangnya sel rambut pada organ corti. Dalam sistem pencernaan terjadi atrofi mukosa,
penurunan aliran darah, turunnya elastisitas otot dan tulang rawan laring sehingga timbul
gangguan pengecapan turunnya refleks batuk dan menelan, kesulitan mencerna makanan,
perubahan nafsu makan, malabsorbsi makanan. Dengan ini lansia akan mudah tersedak dan
mengalami kekurangan gizi. Sistem kardiovaskuler berubah di mana terjadi penebalan dan
kekakuan dinding pembuluh darah, degenerasi katup jantung sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan mempengaruhi aliran darah otak. Sistem respirasi berubah di mana
elastisitas alveolus menurun, terjadi degenerasi epitel, dan kelemahan otot pernapasan
sehingga kapasitas vital menurun dan refleks batuk menurun. Dengan ini lansia peka terhadap
pneumonia dan mudah mengalami gagal respirasi.
Perubahan T4 menjadi T3 menurun sehingga metabolisme menurun pada lansia.
Hormon seksual menurunkan fertilitas, estrogen yang menurun mempengaruhi metabolisme
tulang sehingga mudah timbul osteoporosis. Transmisi asetilkolin, dopamin, dan noradrenalin
terganggu sehingga lansia mudah mengalami hipotensi postural dan kesulitan regulasi suhu.
Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia akibat perubahan degeneratif.
Kulit menjadi atrofi dan mengalami penipisan lemak subkutan sehingga elastisitasnya
menurun. Hal ini menyebabkan lansia mudah terkena abrasi dan infeksi kulit. Degenerasi
tulang rawan, ligamen, dan jaringan sendi membuat penurunan elastisitas dan mobilitas sendi
yang menimbulkan kekakuan pada lansia. Sistem imunologi menurun dengan hasil timbulnya
penyakit autoimun dan kanker. Secara umum postur tubuh lansia juga akan menjadi bungkuk
sehingga mudah terjadi nyeri punggung.
III.
Konsep kesehatan usia lanjut meliputi status fungsional individu yang bermanifestasi
pada aktivitas hidup sehari-hari (fisik, sosial, psikis), sindroma geriatrik, serta penyakit pada
usia lanjut. Penanganan geriatrik dipusatkan pada strategi pencegahan meliputi pencegahan
primer, sekunder, dan tersier lewat modifikasi perilaku dan gaya hidup.
Sifat penyakit pada lansia memiliki perbedaan mendasar dengan penyakit pada dewasa
umumnya menyangkut beberapa hal berikut:
Parameter
Usia lanjut
Usia muda
Etiologi
Tersembunyi
Jelas, nyata
Kumulatif/multipel
Spesifik, tunggal
Lama terjadi
Recent
Insidious, kronik
Tidak khas
Khas,
Awitan gejala
hukum
memenuhi
Parsimoni
Kronik/menahun,
progresif,
Self-limiting
Memberi kekebalan
menyebabkan cacat
lama
Menjadi rentan
penyakit lain
Variasi individual
Beragam
kecil
Oleh karena itu penanganan penderita geriatri harus menyeluruh (holistik) dengan model
analisis multi disiplin (asesmen geriatri). Asesmen ini bertujuan menegakkan diagnosis
kelainan yang fisiologis maupun patologis, menemukan adanya impairment, disabilitas, atau
handicap yang perlu rehabilitasi, menilai sumber daya ekonomi, sosial, dan lingkungan
pasien.
IV.
Sindroma Geriatri
Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan dengan
perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit pada lanjut usia
yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:
Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak
didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment.
Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini Mental State
Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (50-60%),
dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan
gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan mengatasi
komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada keluarga.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang berakibat
penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik, gangguan
pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg
pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit. Hal ini terjadi akibat
penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh. Biasanya
tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat
terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah
baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP
maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa
penurunan kesadaran atau jatuh. Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu
tidur.
Terapi
farmakologis
dapat
menggunakan
hormon
mineralokortikoid,
fenilpropanolamin)
untuk
tipe
stres
atau
urgensi,
estrogen
agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran
prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia 65 tahun
mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem
sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti
pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses
penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan
CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama pelvis,
kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan
identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan
keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah
pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
6. Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80 tahun
menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul dapat
berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang
terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan (colles),
dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji).
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus otot sampai
mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga
timbul gangguan sirkulasi darah setempat. Ulkus dekubitus terjadi terutama pada
tonjolan tulang. Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan
berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang.
Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul
iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban. Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus. Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya ulkus. Pencegahan
ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi gesekan dan regangan
dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga kelembaban kulit. Perlu
diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.
Kelainan patologik
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan denganatau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan olehnilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilailaju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakitginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal denganfungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunanfungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yangsedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsiginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihatpada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:3,4
Tabel 1.Klasifikasi CKD berdasarkan laju filtrasi glomerolus.
LFG
Derajat
Penjelasan
90
60-89
30-59
15-29
Gagal ginjal
(mL/menit/1,73m2)
Tabel 2.Klasifikasi CKD dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau dengan atau tanpa
peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).
GFR
(ml/min/1,73 m )
Dengan HT
Tanpa HT
Dengan HT
Tanpa HT
> 90
HT
Normal
60 89
HT dengan
Penurunan
penurunan
GFR
GFR
30 59
15 29
II. Etiologi3,6,7
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian RenalRegistry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
III. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan
bahan kimia dan lingkungan tertentu.6
IV. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang
masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.3-5
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.3,4
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.
V. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.3,4,5,10
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.3,4
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat
besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.3,4,10
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.4
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.5
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.5-6
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
VI. Penegakan Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagalginjalkronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.3,4,9
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
-
sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.3
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:3
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
VIII. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).5
IX. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulaidilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahanyang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian beratbadan.6
2.3.HIPERTENSI
I.
Definisi Hipertensi
Menurut WHO tahun 2001, secara umum hipertensi adalah suatu keadaan dimana
dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan
tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Harus dilakukan
pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan
tersebut dan pada kejadian berulang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit stroke,
gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal. Pengertian ini juga sesuai dengan
sistem klasifikasi yang ada pada saat ini, yaitu sesuai dengan JNC VII. Klasifikasi hipertensi
penting untuk penentuan diagnosis dan kebijakan para klinisi dalam penanganan yang
optimal mengingat komplikasi yang dapat ditimbulkan.13
II.
Klasifikasi Hipertensi
Menurut JNC VII, tekanan darah dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu : normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai
rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya
dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.
Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal
Pre
Hipertensi
Tekanan
Tekanan
Darah
Darah
Sistolik
Diastolik
(mmhg)
(mmhg)
<120
120 139
< 80
80 89
Obat Awal
Modifika
si Gaya
Tanpa
Dengan
Hidup
indikasi
Indikasi
Anjuran
Tidak perlu
Gunakan obat
menggunakan
yang spesifik
obat anti
dengan indikasi
hipertensi
(risiko)
Ya
Untuk semua
kasus gunakan
Hipertensi
Stage I
Hipertensi
Stage II
140 159
160
90 99
100
Ya
Ya
diuretik jenis
Gunakan obat
thiazide
yang spesifik
dengan
dengan indikasi
pertimbangan
(risiko).
ACEi, ARB,
Kemudian
tambahkan
kombinasikan
Gunakan
hipertensi
kombinasi 2
(diuretik, ACEi,
obat ( biasanya
diuretik jenis
seperti yang
thiazide) dan
dibutuhkan
ACEi/ARB/B
B/CCB
Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi
hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi
pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka
menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi gaya
hidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat
hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya
hidup yang salah.14
III.
Penyebab hipertensi
Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan
hemodinamik utama pada jenis ini adalah peningkatan resistensi perifer. Yang
menjadi penyebab jenis ini adalah faktor genetik ( terlihat dari adanya riwayat
penyakit kardiovaskuler dari keluarga, sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap
stress, peningkatan reaktivitas vaskular terhadap vasokonstriktor,
dan resistensi
insulin ) dan faktor lingkungan ( makan garam berlebihan, stress psikis, dan obesitas ).
b. Hipertensi sekunder
Prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini
dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi
endokrin), obat dan lain-lain.
IV.
Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia
yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan
menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.
Diet tinggi garam ( sodium)
Diet tinggi garam dapat menyebabkan retensi cairan tubuh yang akan
meningkatkan tekanan darah.
Diet kurang potasium
Potasium membantu menyeimbangkan kadar sodium dalam sel. Diet kurang
potasium akan menyebabkan akumulasi sodium dalam darah.
Diet kurang vitamin D
Mekanisme defisiensi vitamin D dengan peningkatan tekanan darah belum
sepenuhnya dimengerti. Vitamin D diduga berefek pada enzim yang diproduksi
oleh ginjal yang akan mempengaruhi tekanan darah.
Alkohol
Mengkonsumsi banyak alkohol dapat menyebabkan tubuh melepaskan hormon
yang dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.
Stres
Penyakit kronik
Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep
apneu berisiko untuk mengalami hipertensi15
Komplikasi target Organ ( TOD) pada hipertensi:
-
Creatinin : pria
Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam
Albumin creatinin ratio : pria 22, wanita 31mg/g
Penyakit serebrovaskular
Penyakit jantung :
Penyakit ginjal :
nefropati diabetik
Gagal ginjal
Gejala yang mengarah pada hipertensi sekunder dan obat yang dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah.
Gaya hidup seperti diet lemak hewani, garam dan alkohol, merokok, aktifitas
fisik dan penambahan berat badan sejak awal usia dewasa.
3. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan kontralateral.
Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ, faktor
risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi sekunder yaitu :
Tanda hipertensi sekunder :
terlambat dan
Kelainan funduskopi.
Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki basah, dan
udem.
Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri, ekstremitas dingin
dan lesi kulit iskemi.
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin meliputi :Gula darah, Kolesterol total, HDL, TGA puasa, asam
urat, creatinin serum, Kalium serum, Hemoglobin dan hematokrit, urinalisis, dan
elektrokardiogram.
Pemeriksaan yang direkomendasikan :Ekokardiografi, USG karotis, C-reactive
Protein, Mikroalbuminuria, proteinuria kwantitatif, funduskopi.
Pemeriksaan lebih lanjut :
-
Pemeriksaan
hipertensi
sekunder
pemeriksaan
renin,
aldosterone,
Pemberian terapi pada penderita dengan tekanan darah normal tinggi terbatas pada
penderita dengan risiko tinggi sedangkan penderita dengan risiko sedang dan rendah
hanya dilakukan pengawasan ketat dan perubahan gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan
efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular. Sebagai contoh,
perencanaan diet natrium 1600 mg mempunyai efek yang sama dengan pemberian
terapi 1 macam obat.
Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Perkiraan Penurunan
Modifikasi
Rekomendasi
Tekanan darah
sistolik
- Penurunan BB
- Perencanaan pola
makan
- Diet rendah Natrium
5-20 mmHg/ 10 kg
8-14 mmHg
rendah lemak
Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g
2-8 mmHg
Na atau 6 g NaCl
- Aktivitas Fisik
Aktifitas
aerobik
minimal
30
4-9 mmHg
2-4 mmHg
menit sehari
- Konsumsi alkohol
sedang
2 gelas sehari.
Terapi Farmakologi
Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan
obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers
(ARBs), blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan mengurangi semua
komplikasi hipertensi.
Thiazide, berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari terapi
hipertensi. Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah komplikasi
kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan efektivitas
antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai target tekanan
darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.
Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar pasien
hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.
Target Terapi
Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang dapat
menurunkan komplikasi penyakit jantung.
Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka targetnya
adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan tekanan sistolik di bawah
140 mmHg sulit dicapai. Bilaproteinuria <1g/hari maka target tekanan darah adalah
130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka targetnya adalah 125/75mmHg.
Strategi Terapi
Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan darah
dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah, tidak jarang
diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi Stage 1, terpi dimulai
dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yangmerekrut stage 1 dan 2 menunjukkan
bahwa 60% penderita tetap menggunakan monoterapi. Penelitian HOT pada Hipertensi
stage 2 dan 3 menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.Pada
penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-kurangnya 2 obat.
Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya komplikasi,
tampaknya
baik
monoterapi
maupun
kombinasi
cukup
beralasan.Keuntungan
menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata tidak toleran dengan obat
pertama maka dapat segera diketahui dan diganti obat lain. Sedangkan keuntungan terapi
kombinasi adalah lebih besar kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi,
masing-masing obat dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :
-
Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin receptor
antagonist
3. Hipertensi sistolik-diastolik
Terdapat antara 6-8%% penderita diatas usia 60 tahun lebih banyak pada wanita. Insiden
meningkat dengan bertambahnya usia.
Komplikasi
Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat sebelum
berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard, penyakit jantung
koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan organ. Keadaan
hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat antihipertensi yang
tepat yang berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis. Penanganan dengan kombinasi
obat kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan dengan penilaian pengobatan
sebelumnya, tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang harus dicapai.16,17
V.
Penatalaksanaan hipertensi16
Obat-obatan untuk
indikasi khusus
tersebut ditambah
obat antihipertensi
(diuretik ACEi, BB,
CCB)
Hipertensi tingkat I
Hipertensi tingkat II
Anemia Akibat
Defisiensi
Penyakit
Besi
Kronik
Derajat
Ringan
anemia
sampai berat
MCV
Trait
Anemia
Thalassemia
Sideroblastik
Ringan
Ringan
Ringan
Menurun
Menurun/N
Menurun
Menurun/N
MCH
Menurun
Menurun/N
Menurun
Menurun/N
Besi serum
Menurun < 30
Menurun < 50
Normal/
Normal/
Normal/
Normal/
TIBC
Meningkat >
360
sampai berat
Saturasi
Menurun < 15
Meningkat >
transferin
10 20 %
20 %
Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb
20 %
Positif dgn
Negatif
Positif
Positif kuat
ring
sideroblast
Meningkat
Meningkat
Normal
Normal
Menurun < 20
Normal 20 200
Meningkat >
Meningkat >
g/l
g/l
50 g/l
50 g/l
Hb A2
meningkat
2. Katarak juvenil
Berdasarkan stadium :
Insipien
Imatur
Matur
Hipermatur
Kekeruhan
Ringan
sebagian
Seluruh
Masif
Cairan lensa
Normal
Bertambah
Normal
Berkurang
(air masuk)
(air+massa
lensa keluar)
Iris
Normal
Terdorong
Normal
Tremulans
COA
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
Angulus
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
Shadow test
(-)
(+)
(-)
Pseudopos
Penyulit
(-)
Glaukoma
(-)
Uveitis +
iridocornealis
glaucoma
Penyebab katarak:
1. Proses penuaan
2. Infeksi intrauterine (rubella, toksoplasmosis, histoplasmosis, inklusi sitomegalik)
sistemik
seperti
galaktosemia,
diabetes
mellitus,
hipoparatiroid,
(naftalin,
dinitrofenol,
kortikosteroid,
fenotiazin,
echothiopate,
Kapsul lensa
Epitel lensa
Makin tipis
Serat lensa
katarak
dibiarkan.
2. Pada usia lanjut :
visus masih baik untuk bekerrja, dilakukan operasi juga setelah keadaan menjadi
tenang.
Bila visus meskipun sudah dikoreksi, tidak cukup untuk melakukan pekerjaan
sehari-hari. Batasnya pada orang yang buta huruf 5/50, pada orang terpelajar 5/20.
Terapi pembedahan :
1. EKEK
Dilakukan dengan merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleus dan korteks. Sebagian
kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Cara ini umumnya dilakukan pada
katarak dengan lensa mata yang sangat keruh sehingga sulit dihancurkan dengan teknik
fakoemulsifikasi. Selain itu, juga dilakukan pada tempat-tempat dimana teknologi
fakoemulsifikasi tidak tersedia. Teknik ini membutuhkan sayatan yang lebar, karena lensa
harus dikeluarkan dalam keadaan utuh. Setelah lensa dikeluarkan, lensa buatan (IOL)
dipasang untuk menggantikan lensa asli, tepat di posisi semula. Lalu dilakukan penjahitan
untuk menutup luka. Teknik ini dihindari pada penderita dengan zonulla zinii yang rapuh. 21,23
a. Keuntungan :
Luka insisi lebih kecil (8-12 mm) dibanding EKIK
Karena kapsul posterior utuh maka :
Mengurangi resiko hilangnya vitreus intra operasi
Posisi anatomis yang lebih baik untuk pemasangan IOL
sering
menimbulkan
penyulit
seperti
glaukoma,
uveitis,
endolftalmitis.
3. Fakoemulsifikasi
Pada fakoemulsifikasi, dengan menggunakan mikroskop operasi, dilakukan sayatan yang
sangat kecil (3mm) pada kornea. Kemudian, melalui sayatan tersebut dimasukkan sebuah
pipa melewati COA-pupil-kapsul lensa. pipa tersebut akan bergetar dan mengeluarkan
gelombang ultrasonik yang akan menghancurkan lensa mata. Pada saat yang sama, melalui
pipa ini dialirkan cairan garam fisiologis atau cairan lain sebagai irigasi untuk membersihkan
kepingan lensa. Melalui pipa tersebut cairan diaspirasi bersama sisa-sisa lensa.22
Teknik ini menghasilkan insidensi komplikasi luka yang lebih rendah, proses
penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat. Teknik ini membuat sistem yang relatif
Status oftalmologik
TIO normal
2.
Keadaan umum/sistemik
terkontrol.
Perawatan pasca operasi :
1. Mata dibebat beberapa hari sampai mata merasa enak
2. Diberikan tetes antibiotika dengan kombinasi antiinflamasi
3. Tidak boleh mengangkat benda berat 6 bulan
4. Kontrol teratur untuk evaluasi luka operasi
5. Bila tanpa pemasangan IOL, maka mata yang tidak mempunyai lensa lagi (afakia)
visusnya 1/60, sehingga perlu dikoreksi dengan lensa S+10D untuk melihat jauh.
Koreksi ini diberikan 3 bulan pasca operasi. Sedangkan untuk melihat dekat perlu
diberikan kacamata S+3D.
Pasien ini didiagnosis sebagai katarak senilis matur dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
1. Anamnesis:
- Penderita berusia 80 tahun
- Penglihatan mata kanan dan kiri kabur, perlahan-lahan semakin kabur dengan
kondisi mata tenang.
- Mata merah (-), cekot-cekot (-), nerocos (-), nyeri (-), keluar kotoran mata (-), silau
(-)
2. Pemeriksaan oftalmologis:
- Visus OD 1/300 visus OS 3/60
- Pada pemeriksaan lensa OD kekeruhan merata dan iris shadow (-) , OS kekeruhan
tak merata dan iris shadow (+)
BAB III
PEMBAHASAN
merupakan akibat dari berbagai keadaan penurunan fisiologik dan berbagai keadaan
patologik yang bercampur menjadi satu ditambah lagi dengan adanya pengaruh lingkungan
dan sosial-ekonomi serta gangguan psikis. Oleh karena itu untuk mendiagnosis kelainan atau
penyakit yang ada perlu diadakan analisis multidimensional, yang mencakup bukan saja
keadaan fisik, tetapi juga keadaan psikis, sosial, dan lingkungan dari penderita.
Setelah dilakukan assesment yang mencakup 3 komponen tersebut, pasien ini menderitaCKD
stage V, infiltratparu, hipertensistage I, anemianormositiknormokromik, hipoalbuminemia,
hiperuricemia, immobilitas, gangguankognitifringan, dankataraksenilisimmature. Pasien
memiliki segi pendukung yang baik. Selama ini, anak pasien selalu memperhatikan dan
merawat pasien, bahkan anak pasien yang mengantarkan pasien berobat ke Puskesmas dan
Dokter bila sakit. Dari segi lingkungan rumah pasien juga sudah mendukung untuk
kesembuhan dan keamanan pasien, karena ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Mobilitas
pasien untuk berjalan mulai terbatas karena lemas. Fungsi depresi pada pasien ini : baik /
tidak depresi; Mini Mental Score Examination : probable gangguan kognitif ; Skor Norton
(mengukur risiko dekubitus) : kemungkinan kecil terjadi dekubitus; indek Katz (menilai
AKS) : F, mandiri, kecuali bathing, dressing, toileting, transferring, & 1 fungsi lain;
kuesioner status mental : gangguan intelek ringan. Sindroma geriatri : sindroma serebral (-),
konfusio (-), gangguan otonom (-), inkontinensia (+), jatuh (-), kelainan tulang atau patah
tulang (-), dekubitus (-), AKS : Immobility (+), Impairment of vision (+), intellectual
impairment (-), impecunity (-), infection (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, terpasang infus,
dispneu(-), kesadaran komposmentis, lemas (+).TD:145/80mmHg (berbaring), RR:
26x/menit, N: 96x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup, t: 36,70C (aksiler). Pada
pemeriksaan leher didapatkan JVP R+0 cm. Pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis
teraba di SIC VI 1 cm lateral linea midclavicularis sinistra. Pada perkusi didapatkan batas
atas SIC II linea parasternal, batas kanan SIC II linea parasternalis dekstra, batas kiri SIC VI
1 cm lateral linea mid clavicularis sinistra. Pada auskultasi tidak didapatkan bising maupun
gallop. Pemeriksaan fisik paru depan didapatkan pada perkusi redup di SIC V-VI hemitorax
dextra dan redup di SIC II-III hemitorax sinistra. Pada auskultasi paru depan suara tambahan
ronkhi basah kasar setinggi SIC V hemitorax dextra,suara dasar bronkial, serta ronkhi basah
kasar di SIC II-III hemitorax sinistra, suara dasar bronkial. Suara tambahan ronkhi basah
halus di basal paru kiri depan, suara dasar vesikuler. Pada perkusi paru belakang didapatkan
redup di vertebra Th-VII hemitorax dextra dan redup di Th-IV-V hemitorax sinistra. Pada
auskultasi paru belakang didapatkan ronkhi basah kasar di V-Th-VII hemitorax dextra, suara
dasar bronkial dan ronkhi basah kasar di V-Th-IV-V hemitorax dextra, suara dasar bronkial,
serta ronkhi basah halus di basal paru kiri belakang, suara dasar vesikuler.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hemoglobin, hematokrit, eritrosit
menurun. Kadar ureum dan kreatinin meningkat. Kadar albumin menurun. Kadar asam urat
meningkat. Pemeriksaan x-foto thorax didapatkan kesankardiomegali dan terdapat infiltrat di
perikardial kanan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas
didapatkan beberapa diagnosis. Diagnosis pertama yaitu Chronic Kidney Disease (CKD)
stage V. Pada anamnesis didapatkan lemas di seluruh tubuh sejak bangun tidur. Pasien tidak
dapat melakukan aktivitas berat dengan berpindah tempat dan menjadi tergantung kepada
anaknya. Diberikan CaCO3 3x500 mg untuk pengendalian terhadap hiperfosfatemia dan
pencegahan terjadinya osteodistrofi renal, asam folat 3x400 g untuk mencegah kondisi yang
memperparah anemia, bicnat 3x2 tab untuk mengatasi asidosis metabolic dan
terapi
pengganti ginjal dengan hemodialisa karena kadar ureum > 150 mg%.
Hipertensi stage I diberikan kombinasi obat golongan ACE-inhibitor yaitu captopril
3x12,5 mg dan golongan diuretik yaitu furosemid 3x1 amp. Anemia mikrositik hipokromik
sebagai akibat dari penyakit kronis karena TIBC rendah dan kadar ferritin tinggi, diberi
transfusi PCR karena Hb < 10 gr%.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Januari 2014, didapatkan kadar Hb 8,4 gr%,
hematokrit 27%, eritrosit 3,4 juta/mmk, dan MCH 24,5 pg. Dari hasil tersebut, dapat
didiagnosa anemia pada pasien ini adalah anemia normositik normokromik. Jenis ini bisa
terdapat pada anemia penyakit kronik atau intake yang kurang. Pasien akan terus dipantau
dan dicari etiologinya apakah karena penyakit kronik atau intake yang kurang dengan
pemeriksaan gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit, Fe, Ferritin, TIBC, dengan
monitoring Hb. Anemia penyakit kronis bila retikulosit normal/menurun, serum Fe menurun,
dan ferritinnormal/meningkat. Pasien diedukasi untuk menghabiskan makanan dari RS
dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kris Pranarka. Tinjauan Umum Sindroma Geriatri. Dalam Symposium Geriatric
Syndrome : Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011.
2. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student.
Churcill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987. =
3. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
4. Editorial.
Gagal
Ginjal
Kronik.
Diunduh
dari:
http://emedicine.
and
Stratification.
Diunduh
Glomerulonefritis.
Diunduh
dari:
http://emedicine.medscape.
Tekanan
Darah
Tinggi.
Diunduh
dari:
15. Kris Pranarka. Geriatrics Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.
16. Endang Kustiowati. Patofisiologi Stroke. Dalam Symposium Geriatric Syndrome :
Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2011.
17. Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update: a
report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee.Circulation 2008;117:e25-146.
18. Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute
ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org
10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35-41.
19. Bakta I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
20. Wall M, Street A. Investigating normocytic normochromic anemia in adult.
MedicineToday: Vol 7 No 3, Maret 2006.
21. Ilyas S. Trauma mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1998
22. Bobrow JC, Mark HB, David B et al. Section 11: Lens and Cataract. Singapore :
American Academy of Ophthalmology; 2008.
23. www.wartamedika.com