Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG PRIA86 TAHUN DENGAN CKD STAGE V,HIPERTENSI STAGE I, DAN


ANEMIA NORMOSITIK NORMOKROMIK,
Diajukan untuk melengkapi persyaratan kepaniteraan Klinik Senior
di bagian Ilmu Penyakit Dalam

Pembimbing :
dr. Bambang Joni K., Sp.PD, K-Ger

Disusun oleh:
Dewinta Widianingtyas
22010113210132

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: Dewinta Widianingtyas

NIM

: 22010113210132

Bagian

: Ilmu Penyakit Dalam RSDK / FK Undip

Judul Kasus

: Seorang Pria 86 Tahun dengan CKD Stage V, Hipertensi Stage I, dan


Anemia Normositik Normokromik

Pembimbing : dr.Bambang Joni K., Sp.PD, K-Ger

Semarang, Januari2014
Pembimbing,

dr. Bambang Joni K., Sp.PD, K-Ger

BAB I
ASSESMENT GERIATRI

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Tn. MZ

Formatted: Indonesian

No. CM

:C463444

Formatted: Indonesian

Umur

:72 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamatan SR (setara SD)

Pekerjaan

: Tidak bekerja

Alamat

:Pedurungan Lor no. 337 RT 3/ RW 5, Semarang

Masuk RSDK

:8 Februari 2013

Status

: BPJS

I. DAFTAR MASALAH
Masalah Aktif

Tanggal

1. CKD Stage V

6-1-2014

2. Infiltrat Paru

6-1-2014

3. Hipertensi Stage I

6-1-2014

4. Anemia Normositik

6-1-2014

Normokromik
5. Hipoalbuminemia

6-1-2014

6. Hiperuricemia

6-1-2014

7. Immobilitas

6-1-2014

8. Gangguan Kognitif Ringan

6-1-2014

9. Katarak Senilis Immature

6-1-2014

Masalah Pasif

Tanggal

II. DATA DASAR


A. Data Subyektif
Autoanamnesis dengan penderita dan alloanamnesis dengan anak penderita pada
tanggal10Februari2014, pukul 13.30 WIB di bangsal Geriatri RSUP Dr. Kariadi Smg
Keluhan utama :Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang :

Onset dan kronologis :


Selama 1 bulan ini pasien sering merasa sesak, sesak muncul secara tiba-tiba, tidak ada
pemicunya, sesak berlangsung selama beberapa menit, kemudian sesak membaik sendiri
dengan istirahat. Saat sedang terjadi sesak, akan bertambah berat dengan aktivitas,
ketika tidur menggunakan 1 bantal, saat sesak terdapat keringat dingin (+), rasa berdebardebar (+). Pasien tidak mengobati keluhan sesak dengan obat.
1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien demam (+) tinggi, 41 C, menggigil, diukur
dengan termometer, terus-menerus. Batuk (-), pilek (-), mual (+), muntah (-) BAB diare
1x, nafsu makan turun sudah 1 minggu, BAK anyang-anyang (-), nyeri kepala (-), nyeri
sendi (-), pegal-pegal (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit kencing manis (-)

Riwayat penyakit darah tinggi (+) berobat tidak teratur

Riwyat penyakit jantung (+)

Riwayat merokok (+) 60 tahun, 1 bungkus/ 2 hari

Formatted: Indonesian

Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat penyakit hipertensi (+) kakak

Riwayat penyakit kencing manis (-)

Riwayat penyakit jantung (-)

Riwayat sakit asma (-)

Riwayat Sosial Ekonomi :


Penderita seorang laki-laki 72 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta (pembuat loster),
sering terpapar semen dan debu. Istri bekerja serabutan,mempunyai 5 orang anak.
Penderita tinggal bersama anak ke 4, anak ke 5 dan seorang cucu (dari anak ke 4).
Rumah milik pribadi, ukuran 5x11 m, tidak bertingkat, dinding tembok, lantai keramik,
atap genteng dengan eternit. Pintu keluar masuk 2 buah, jendela ada 4 ( pada masingmasing kamar tidur dan ruang tamu), terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 kamar
mandi dengan wc duduk tanpa pegangan, sirkulasi dan sinar matahari cukup baik.
Memasak menggunakan kompor gas. Sumber air minum dan aktivitas sehari-hari
menggunakan sumur pompa. Penerangan dari PLN. Lingkungan tempat tinggal di tempat
datar, tidak banjir, akses dari jalan utama 200 meter. Tembok rumah penderita
menempel dengan rumah sebelahnya. Biaya hidup saat ini merupakan tanggungan
penderita.
Penderita mempunyai 3orang anak, sbb :
Anak 1

: Laki-laki, 45 tahun, bekerja sebagai pembuat roti di Arab, istri seorang


pegawai negeri, mempunyai 1 orang anak, gaji tidak tahu

Anak 2

: Perempuan, 34 tahun, menikah, ibu rumah tangga, suami pegawai swasta,


anak 1 orang, penghasilan 2,7 juta/bulan

Anak 3

: Perempuan, 23 tahun, menikah, ibu rumah tangga, suami pegawai swasta,


anak 2 orang, penghasilan 1,5 juta/bulan

Anak 4

: Perempuan, 22 tahun, sudah menikah dan bercerai, penghasilan tidak ada.

Anak 5

: Perempuan, 10 tahun, seorang pelajar SD

Kesan

: sosial ekonomi cukup

Biaya

: BPJS

Riwayat Fungsional

Sebelum masuk RS
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti berjalan di dalam dan sekitar rumah
masih baik. Untuk buang air kecil dan buang air besar penderita dapat melakukannya

dengan mandiri tanpa bantuan, kecuali saat sakit. Untuk aktivitas seperti makan, mandi
dan berpakaian pasien juga masih dapat melakukan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Saat dirawat di RS

INDEKS KATZ ( Menilai AKS)


No
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Aktivitas
Bathing

Dressing

Toilletting

Transfering

Continence

Feeding

Mandiri

Tergantung

Memerlukan bantuan hanya


pada 1 bagian tubuh (bagian
belakang / anggota tubuh
yang terganggu) atau dapat
melakukan sendiri

Memerlukan
bantuan
dalam mandi lebih dari 1
bagian tubuh dan saat
masuk serta keluar dari
bak mandi / tidak dapat
mandi sendiri
Tidak dapat memakai
pakaian sendiri atau
tidak
berpakaian
sebagian

Menaruh
pakaian
&
mengambil
pakaian,
memakai pakaian, brace, &
menalikan sepatu dilakukan
sendiri
Pergi ke toilet, duduk berdiri
dari
kloset,
memakai
pakaian
dalam,
membersihklan
kotoran
(memakai bedpan pada
malam hari saja & tidak
memakai
penyangga
mekanik)
Berpindah dari dan ke
tempat tidur & berpindah
dari dan ke tempat duduk
(memakai
atau
tidak
memakai alat bantu)
BAK & BAB baik

Mengambil makanan dari


piring / yang lainnya &
memasukkan
ke
dalam
mulut
(tidak
termasuk
kemampuan
untuk
memotong
daging
&
menyiapkan makanan seperti
mengoleskan mentega di
roti)

Memakai bedpan atau


comode atau mendapat
bantuan pergi ke toilet
atau memakai toilet

Tidak dapat melakukan /


dengan bantuan untuk
berpindah dari & ke
tempat tidur / tempat
duduk
Tidak dapat mengontrol
sebagian / seluruhnya
dalam BAB & BAK,
dengan bantuan manual /
kateter
Memerlukan
bantuan
untuk makan atau tidak
dapat makan semuanya
atau
makan
perparenteral)

6-1-2014

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Tergantung

Mandiri

Klasifikasi menurut Indeks Katz :


A
: Mandiri, untuk 6 fungsi
B
: Mandiri, untuk 5 fungsi
C
: Mandiri, kecuali bathing & 1 fungsi lain
D
: Mandiri, kecuali bathing, dressing, & 1 fungsi lain
E
: Mandiri, kecuali bathing, dressing, toiletting & 1 fungsi lain
F
: Mandiri,kecuali bathing,dressing, toiletting, transfering & 1
fungsi lain
G
: Ketergantungan untuk semua 6 fungsi di atas
Kesan : KatzFmandiri, kecuali bathing,dressing, toiletting, transfering & 1

fungsi lain
Pada saat dirawat di RS, pasien masih dapat berubah posisi tidur, dari telentang ke
miring kanan dan miring kiri. Pasien juga terkadang duduk di ranjang, tidak selalu
tiduran. Berikut adalah skor untuk mengukur risiko dekubitus pada pasien.

SKOR NORTON ( Untuk Mengukur Risiko Dekubitus)


Penilaian
Skor
Kondisi fisik umum :
4
Baik
3
Lumayan
2
Buruk
1
Sangat buruk
Kesadaran :
4
Komposmentis
3
Apatis
2
Konfus/soporus
1
Stupor/koma
Aktivitas :
4
Ambulan
3
Ambulan dengan bantuan
2
Hanya bisa duduk
1
Tiduran
Mobilitas :
4
Bergerak bebas
3
Sedikit terbatas
2
Sangat terbatas
1
Tak bisa bergerak
Inkontinensia :
4
Tidak ada
3
Kadang-kadang
2
Sering inkontinensia urin
1
Inkontinensia alvi & urin

6-1-2014

Skor total : 20
Kategori : Skor 16-20 : kecil sekali/tak terjadi
12-15 : kemungkinan kecil terjadi
< 12 : kemungkinan besar terjadi
Hasil skor : 20
Kesan :kemungkinan kecil terjadi dekubitus
Riwayat Gizi
-

Pasien biasanya makan 3x/hari dengan nasi 1 piring dan habis. Lauk sayur dan
tempe tahu, ikan asin,udang, ayam, telur. Masakan di rumah sehari-hari sering masak
sendiri, masih menggunakan MSG dan garam.

Pasien minum air putih sekitar 3/4 botol aqua besar per hari. Hampir setiap pagi
pasien minum teh manis setiap hari 1 gelas dengan 1 sendok teh gula pasir.

Riwayat Psikiatri
Sebelum masuk RS, kegiatan sehari-hari pasien hanya dirumah. Pasien jarang melakukan
aktivitas di luar rumah. Hubungan dengan tetangga masih baik. Waktu luang digunakan
untuk menonton TV, mengobrol dengan keluarga, tetangga, dan mengurus cucu.
Pemeriksaan Status Mental
Keadaan umum

: Seorang laki-laki 72tahun, tampak sesuai umur, berkulit sawo matang,


penampilan cukup bersih, rambut berwarna putih, terpasang infus

Perilaku & Aktivitas Psikomotor

: normoaktif

Kesadaran

: jernih

Sikap

: kontak psikis + wajar, dapat dipertahankan.

Mood

: eutimik

Afek

: serasi

Gangguan Persepsi

: halusinasi (-), ilusi (-)

Bentuk Pikir

: realistik

Proses Pikir

: lancar

Isi Pikir

: waham (-)

SKALA DEPRESI GERIATRI.


Pilihan jawaban yang sesuai dengan perasaan anda dalam satu minggu terakhir:
No

Apakah..

Ya

Tidak

Anda sebenarnya puas dengan kehidupan anda?

Ya

Tidak

Anda telah meninggalkan banyak kegiatan / minat / kesenangan anda?

Ya

Tidak

Anda merasa kehidupan anda kosong?

Ya

Tidak

Anda merasa sering bosan?

Ya

Tidak

Anda mempunyai semangat yang baik setiap saat?

Ya

Tidak

Anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda?

Ya

Tidak

Anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda?

Ya

Tidak

Anda sering merasa tidak berdaya?

Ya

Tidak

Anda lebih senang tinggal di rumah daripada keluar dan mengerjakan


sesuatu yang baru?

Ya

Tidak

10

Anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda


dibanding kebanyakan orang?

Ya

Tidak

11

Anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan?

Ya

Tidak

12

Anda merasa tidak berharga seperti perasaan anda saat ini?

Ya

Tidak

13

Anda merasa anda penuh semangat?

Ya

Tidak

14

Anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada harapan?

Ya

Tidak

15

Anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya daripada anda?

Ya

Tidak

Keterangan : Jawaban pasien yang bergaris bawah.


Skor : Diitung dari jumlah jawaban yang bercetak tebal dan huruf besar
Tiap jawaban bercetak tebal dan bergaris bawah mempunyai nilai 1
Skor antara 1-4 menunjukkan keadaan baik/tidak depresi
Skor antara 5-9 menunjukkan kemungkinan besar depresi
Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
Hasil Skor = 4
Kesan: keadaan baik/ tidak depresi.
KUESIONER STATUS MENTAL
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

DAFTAR PERTANYAAN
Tanggal berapakah hari ini? (bulan, tahun)
Hari apakah ini
Apakah nama tempat ini?
Berapa nomor telepon atau alamat rumah Bapak/Ibu?
Berapa umur Bapak/Ibu?
Kapan Bapak/Ibu lahir?
Siapakah nama presiden kita sekarang
Siapakah nama presiden sebelum ini?
Siapakah nama gadis ibu Anda?
Hitung mundur 3-3 dari 20!

JAWABAN

B
B
B
B
B
B
B
B
B
B

0 2 kesalahan = baik
3 4 kesalahan = gangguan intelek ringan
5 7 kesalahan = gangguan intelek sedang
8 10 kesalahan = gangguan intelek berat
Bila penderita tidak pernah sekolah, nilai kesalahan diperbolehkan +1 dari nilai di atas
Hasil =0kesalahan
Kesan =Baik

MINI MENTAL STATE EXAMINATION.


Max

Nilai

5
5

( 5)
(5)

( 3)

( 5)

(3)

(9)

ORIENTASI
Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
Sekarang kita berada dimana? (Nama rumah sakit, jalan, nomor rumah, kota
kabupaten, provinsi)
REGISTRASI
Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda,misalnya : satu detik untuk
tiap benda. Kemudian mintalah respon mengulang ketiga nama benda
tersebut. Ulangi hingga benar
menyebutkan. Hitung jumlah percobaan dan catat : 2 kali.
ATENSI DAN KALKULASI
Kurangi 100 dengan 7. Nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar. Hentikan
setelah 5 jawaban. Atau disuruh mengeja terbalik kata WAHYU (nilai
diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan.
RECALL
Tanyakan kembali nama tiga benda yang telah disebut di atas. Berikan nilai
1 untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
a. Apakah nama benda ini? Perlihatkan pensil atau arloji (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut : JIKA TIDAK, DAN ATAU TAPI (1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini: Peganglah selembar kertas dengan
tangan kananmu, lipatlah kertas tersebut pada pertengahan dan letakkan
di lantai (3 nilai )
d. Bacalah dan laksanakanlah perintah berikut: PEJAMKAN MATA
ANDA (1 nilai)
e. Tuliskanlah sebuah kalimat (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini (1 nilai )

Jumlah skor : 30

Kategori : Skor 25-30

: Normal

17-24

: Probable cognitive impairment

0-16

: Definite cognitive impairment

Skor

: 24

Kesan

: Normal

B. DATA OBJEKTIF
1. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Fisik dilakukan tanggal10Februari 2014 pukul 10.00 di Bangsal Geriatri
RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Keadaan umum

:Tampak Lemah, terpasang infus

Kesadaran

: Komposmentis, Lemas (+), GCS E4V5M6=15

Tanda vital

: TD

: 160/100mmHg (berbaring)

RR

: 26x/menit

Status gizi

: 92/menit,reguler, isi dan tegangan cukup

: 37,70C

:BB

: 47kg

TB

:155cm

IMT

:19,5kg/m2(normoweight)

Kepala

: mesosefal

Kulit

: turgor cukup, pucat (-)

Mata

:konjungtiva palpebra pucat(-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva


suffusion (-)

Telinga

: discharge (-/-), tinitus (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Hidung

: epistaksis (-/-),discharge (-/-), nafas cuping hidung (-/-)

Mulut

:bibir pucat (-), bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi berdarah (-),
pursed lip breathing (-), gigi palsu (-), coated tongue (+)

Tenggorok

: T1-1, faring hiperemis (-)

Leher

: trakeaditengah, pembesaran nnll -/-, JVP R+1cm

Thorax

: normal, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-),


sela iga melebar (-)

Pulmo depan
Inspeksi

: simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi

:Suara dasar vesikuler, Suara tambahan (-/-)

Pulmo belakang
Inspeksi

: Simetris saat statis dan dinamis

Palpasi

: Stem fremitus kanan = kiri

Perkusi

: Sonor Seluruh lapangan paru

Auskultasi

:Suara dasar vesikuler, suara tambahan (-/-)

Cor
Inspeksi

:Ictus cordis tampak

Palpasi

:ictus cordis teraba di SIC VI2cm lateral LMCS, bergeser ke kaudo


lateral, kuat angkat (+), pulsasi parasternal (-) pulsasi epigastrial (-),
sternal lift (-), thrill (-)

Perkusi

:Batas atas: SIC II linea parasternal


Batas kiri: SIC IV2 cm lateral LMCS
Batas kanan: linea parasternal dekstra

Auskultasi

: BJ I-II normal , bising (+) sistolik 3/6 dijalarkan ke axilla, gallop(-)

Abdomen
Inspeksi

: datar, venektasi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal


Perkusi : timpani,pekak sisi (+) normal, pekak alih (-), area traube
Timpani, liver span 8 cm, nyeri ketok costovertebra (-)
Palpasi :supel, hepar dan lien tak teraba, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :

Ssuperior

inferior

Refleks fisiologis

+N/+N

+N/+N

Refleks Patologis

-/-

-/-

Tonus

N/N

N/N

Kekuatan

5-5-5/5-5-5

5-5-5/5-5-5

Sensibilitas

+N/+N

+N/+N

Edema

-/-

-/-

Akral Dingin

-/-

-/-

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hematologi (08/02/2014)
Pemeriksaan Hasil

Satuan

Nilai rujukan

Hemoglobin

10,9

g/dL

9.5 19.60

Hematokrit

33,4

35 47

Eritrosit

4,1

10 /uL

4.4 59

MCH

26,4

Pg

27,00 32,00

MCV

81,1

fL

76 96

MCHC

32,6

g/dL

29.00 36.00

Leukosit

11,8

3.6 11.0

10 /uL

Trombosit

351,1

10 /uL

150 400

RDW

14,67

11,60 14,80

MPV
GDS

9,18
128

fL
mg/dl

4,00 11,00
80 - 140

28

mg/dl

1539

Creatinin

0.94

mg/dl

0.51.5

Natrium

135

mmol/l

136 145

Kalium

3.7

mmol/l

3.5 5.1

Chlorida

101

mmol/l

98 107

Ureum

(
(

Klasifikasi PGK stadium III, LFG = 47,22 (LFG 30-59 ml/mnt/1,73 m2)

Pemeriksaan Urin Rutin (tanggal 9 Februari 2014)


Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Normal

Warna

Kuning

Kejernihan

Jernih

Berat jenis

1.020

1.003 1.025

pH

5,5

4,8-7,4

Protein

100

mg/dl

NEG

Reduksi

NEG

mg/dl

NEG

0,2

mg/dl

NEG

Bilirubin

NEG

mg/dl

NEG

Aseton

NEG

mg/dl

NEG

Nitrit

NEG

Uroblinigen

NEG

Sedimen
Epitel

1-2

/LPK

Leukosit

2-5

/LPK

Eritrosit

0-1

/LPB

Granula Kasar

NEG

/LPK

NEG

Granula Halus

0-1

/LPK

NEG

Sil. Hyalin

1.06

u/L

0,00-1,20

Sil. Epitel

NEG

/LPK

NEG

Sil. Eritrosit

NEG

/LPK

NEG

Sil. Lekosit

NEG

/LPK

NEG

NEG

u/L

NEG

Bakteri

Hasil Pemeriksaan EKG(1Januari2014)

Irama
: sinus
HR
: 64x/menit, reguler
Axis
: LAD
Gel. P
: P terminal force (+); P pulmonal (-), P mitral (-)
PR interval : 0.16 detik
Komplek QRS: 0.08 detik
ST segmen : ST-T changes V1-V4
Gel T
: inverted (-), tall T(-)
Q patologis : (-)
Lain-lain
: R di V5/V6+S V1/V2> 35 mm R/S di V1<1
Poor R progression (+), S persisten (-)
Kesan
: LAD, LVH, iskemik anteroseptal
Hasil Konsul mata: ODS retoinopati hipertensi grade II dengan aterosklerosis grade II

X-Foto Thorax PA (31 Desember 2013)?

Kesan :

Kardiomegali (LV)

Infiltrat parakardial kanan

IV. DAFTAR ABNORMALITAS


1. Sesak nafas
2. Bising sistolik
3. Kardiomegali
4. Hipertensi
5. Diare
6. TD : 160/100mmHg
7. Riwayat Keluarga Hipertensi (+) Kakak
8. Pemeriksaan jantung
Batas jantung kiri : SIC VI 1 cm lateral LMCS
9. X Foto thorax (31/12/2013)
- Kardiomegali (LV)
10. EKG (8/2/2014)Kesan : LAD, LVH, iskemik anteroseptal
11. Hasil Konsul Mata (9/2/2014) : ODS retoinopati hipertensi grade II dengan
aterosklerosis grade II
12. Sindroma Geriatri
Sindroma serebral (-)

Jatuh (-)

Konfusio (-)

Kelainan tulang dan patah tulang (-)

Gangguan otonom (-)

Dekubitus (-)

Inkontinensia (+)
13. AKS
Insomnia

Iatrogenic

Impairment of vision and hearing

Infection

Incontinence
Immobility

Intelectual impairment

Isolation

Inanition

Impaction

Insomnia

Impotence

Incontinence

Immuno-deficiency

Impecunity

Instability
Problem Medis
1. Sindroma geriatrik: incontinence, infection, impecunity

2. Hipertensi (terkontrol)
3. Hipertensive heart disease
4. Diare akut
5. Anemia (Hb: 10,9)
RENCANA PEMECAHAN MASALAH

PROBLEM I
CKD Stage V
Assesment :Atasi kegawatan
- Ensefalopati uremikum
- Asidosis metabolik
- Overhidrasi
Ip Dx :BGA
Ip Tx:

O2nasal kanul 3 lpm bila sesak nafas

Asam folat 1 x 1000 g p.o.

Diet rendah ureum 1700 kkal/45 gr protein

Hemodialisa

Ip Mx

: RR, Nadi, Balance cairan/24 jam, ureum, creatinin serum

Ip EX

: - Batasi minum sesuaikan dengan volume urin


- Memberitahukan kepada pasien untuk mengikuti diet dari rumah sakit
- Memotivasi pasien untuk rutin hemodialisa

PROBLEM II
Infiltrat Paru
Assessment

: CAP, TB Pulmonum

Ip Dx

: BTA 3x, pengecatan gram, jamur, kultur sputum

Ip Tx:

Ceftriaxon2 gr i.v per 24 jam

Ambroxol 3x30 mg

Paracetamol 3 x 500mg bila t>38o

Ip Mx

: KU, tanda vital, ronkhi, X-Foto thorax ulang PA/Lateral

Ip Ex

: tampung dahak, edukasi cara menutup mulut dan batuk yang benar, kompres
bila suhu tubuh naik

PROBLEM III

Hipertensi Stage I
Assessment

: - Etiologi primer
- Etiologi sekunder
- Faktor resiko penyakit jantung lainnya
- Komplikasi

Ip Dx

: Profil lipid, GD I/II, asam urat, konsul mata,EKG, ureum creatinin serum

Ip Rx

:Captopril 3x12.5 mg

Ip Mx

: Keadaan umum dan tanda vital

Ip Ex

: - Menjelaskan kepada penderita tentang penyakitnya dan kemungkinan


komplikasi yang dapat timbul
- Perlunya mengontrol asupan garam makanan

PROBLEM IV
Anemia Normositik Normokromik
Assessment

: Penyakit kronik sekunder problem I

Ip Dx

: Darah rutin, gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit.

Ip Tx

: Eritropoeitin, transfusi PRC

Ip Mx

: Kadar Hb 6 jam post transfusi, reaksi transfusi

Ip Ex

: Menjelaskan kepada pasien penyebab dari kurang darahnyadisebabkan


karena penyakit ginjalnya.

PROBLEM V
Hipoalbuminemia
Assesment

: Penyakit kronik sekunder problem I

Ip Dx

: Kadar Albumin Serum

Ip Tx

: Koreksi albumin (3.5-2.3)x0.8x57=54.7~2 fl albumin 100 cc, 20%

Ip Mx

: Albumin post koreksi

Ip Ex

: - Habiskan makanan dari RS


- Menjelaskan kepada pasien penyebab dari kurangnya albumin
disebabkan karena penyakit ginjalnya

PROBLEM VI
Hiperuricemia
Assesment

: Penyakit kronik sekunder problem I

Ip Dx

: Kadar Asam Urat serum

Ip Tx

: - Allopurinol 1 x 200 mg (setelah makan)


- Diet rendah purin 1700 kkal/45 gr protein

Ip Mx

:-

Ip Ex

: - Habiskan makanan dari RS


- Menjelaskan kepada pasien penyebab dari tingginya asam urat
disebabkan karena penyakit ginjalnya dan asupan makanan

PROBLEM VII
Immobilitas
Assesment

:pneumonia, thrombosis, dekubitus

IP Dx

: profil lipid darah (kolesterol, LDL, HDL, trigliserida), darah rutin,


GD I / II, HbA1c, X-foto thoraks ulang, PTT/PTTK, d-dimer

IP Rx

: Konsul rehabilitasi medik untuk mobilisasi bertahap

IP Mx

: Indeks Katz dan skor Norton, keadaan umum dan tanda vital

IP Ex

:
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan pasien tentang
pembatasan aktivitas kegiatan sehari-harinya supaya keluarga membantu bila pasien
tidak dapat melakukan aktivitasnya secara mandiri
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien tidak terlalu banyak
melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan beban kerja jantung
- Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk merubah posisi tidur miring
ke kanan dan kiri setiap 2 jam sekali untuk mengurangi risiko terjadinya luka di
punggung

PROBLEM VIII
Gangguan Kognitif Ringan
Assessment

: Mild Cognitive Impairment, Dementia


Etiologi : vaskuler, mixed, degenerative primer.

Ip Dx

: ulangi pemeriksaan saat kondisi pasien lebih stabil (kuesioner status mental,
MMSE), Clock Drawing Test

Ip Rx

:-

Ip Mx

: Progresivitas penyakit, skor MMSE

Ip Ex

: memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga bahwa pasien


mengalami gangguan kognitif ringan yang terjadi akibat proses degenerasi
(penuaan) dan akan dilakukan penilaian ulang saat kondisi pasien lebih
stabil.

PROBLEM IX
Katarak Senilis Immature
Assesment

:-

Ip Dx

:-

Ip Rx

: sesuai dengan penatalaksanaan dari Bagian Mata

Ip Mx

: visus, keluhan gangguan penglihatan

Ip Ex

: menjelaskan kepada pasien bahwa terdapat kekeruhan pada lensa mata dan
penatalaksanaan lebih lanjut akan diberikan oleh dokter spesialis mata.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASPEK KESEHATAN LANJUT USIA (GERIATRI)1,2
I. Teori Proses Menua
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki/ mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi
normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Populasi lansia (usia 60 tahun) semakin meningkat. Diperkirakan
600 juta di tahun 2000 dan diramalkan menjadi 2 milyar di tahun 2050. Dengan semakin
berkembangnya teknologi kesehatan, populasi lansia akan semakin meningkat dan demikian
berpengaruh pada angka ketergantungan. Demikian juga problem kesehatan yang ditemui
pada populasi lansia semakin banyak.
Ada beberapa teori proses menua, antara lain:
1. Teori genetic clock
Setiap spesies memiliki jam genetik yang akan berhenti sesuai waktunya. Usia harapan
hidup dipengaruhi pula oleh jenis kelamin.
2. Mutasi somatik (error catastrophe)
Faktor lingkungan (radiasi, zat kimia) yang toksik atau karsinogenik menyebabkan
kesalahan transkripsi dan translasi DNA sehingga timbul kesalahan yang menyebabkan
metabolit berbahaya (mutasi)
3. Rusaknya sistem imun tubuh
Mutasi berulang menyebabkan kemampuan sistem tubuh mengenal diri sendiri sehingga
terjadi reaksi antigen antibodi yang mengenai berbagai macam jaringan.
4. Teori menua akibat metabolisme
Semakin banyak metabolisme, akan semakin cepat timbul proses degenerasi
5. Kerusakan akibat radikal bebas
Radikal bebas sebagai produk sampingan respirasi aerob dihasilkan menumpuk melebihi
kapasitas anti radikal bebas tubuh (SOD, katalase, glutation peroksidase) sehingga
menimbulkan kerusakan sel
Menua atau menjadi tua merupakan proses yang dialami oleh semua orang dan tidak
dapat dihindari. Yang dapat diusahakan adalah tetap sehat ada saat menua Healthy Aging.
Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko
penyakit degeneratif.

II.

Perubahan dalam Proses Penuaan

Perubahan dalam penuaan terdiri dari perubahan anatomi, patologi, dan psikososial
akibat proses menua. Pada panca indra didapatkan perubahan degeneratif otot akomodasi,
jaringan ikat periorbita, fungsi kelenjar lakrimalis, perubahan elastisitas lensa, degenerasi
neuron kortikal sehingga visus dapat terganggu. Fungsi telinga juga menurun akibat
hilangnya sel rambut pada organ corti. Dalam sistem pencernaan terjadi atrofi mukosa,
penurunan aliran darah, turunnya elastisitas otot dan tulang rawan laring sehingga timbul
gangguan pengecapan turunnya refleks batuk dan menelan, kesulitan mencerna makanan,
perubahan nafsu makan, malabsorbsi makanan. Dengan ini lansia akan mudah tersedak dan
mengalami kekurangan gizi. Sistem kardiovaskuler berubah di mana terjadi penebalan dan
kekakuan dinding pembuluh darah, degenerasi katup jantung sehingga terjadi penurunan
curah jantung dan mempengaruhi aliran darah otak. Sistem respirasi berubah di mana
elastisitas alveolus menurun, terjadi degenerasi epitel, dan kelemahan otot pernapasan
sehingga kapasitas vital menurun dan refleks batuk menurun. Dengan ini lansia peka terhadap
pneumonia dan mudah mengalami gagal respirasi.
Perubahan T4 menjadi T3 menurun sehingga metabolisme menurun pada lansia.
Hormon seksual menurunkan fertilitas, estrogen yang menurun mempengaruhi metabolisme
tulang sehingga mudah timbul osteoporosis. Transmisi asetilkolin, dopamin, dan noradrenalin
terganggu sehingga lansia mudah mengalami hipotensi postural dan kesulitan regulasi suhu.
Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia akibat perubahan degeneratif.
Kulit menjadi atrofi dan mengalami penipisan lemak subkutan sehingga elastisitasnya
menurun. Hal ini menyebabkan lansia mudah terkena abrasi dan infeksi kulit. Degenerasi
tulang rawan, ligamen, dan jaringan sendi membuat penurunan elastisitas dan mobilitas sendi
yang menimbulkan kekakuan pada lansia. Sistem imunologi menurun dengan hasil timbulnya
penyakit autoimun dan kanker. Secara umum postur tubuh lansia juga akan menjadi bungkuk
sehingga mudah terjadi nyeri punggung.
III.

Asesmen Kesehatan dan Penyakit Pada Usia Lanjut

Konsep kesehatan usia lanjut meliputi status fungsional individu yang bermanifestasi
pada aktivitas hidup sehari-hari (fisik, sosial, psikis), sindroma geriatrik, serta penyakit pada
usia lanjut. Penanganan geriatrik dipusatkan pada strategi pencegahan meliputi pencegahan
primer, sekunder, dan tersier lewat modifikasi perilaku dan gaya hidup.
Sifat penyakit pada lansia memiliki perbedaan mendasar dengan penyakit pada dewasa
umumnya menyangkut beberapa hal berikut:

Parameter

Usia lanjut

Usia muda

Etiologi

Endogen (dari dalam)

Eksogen (dari luar)

Tersembunyi

Jelas, nyata

Kumulatif/multipel

Spesifik, tunggal

Lama terjadi

Recent

Insidious, kronik

Florid (jelas sekali)

Tidak khas

Khas,

Awitan gejala

hukum

memenuhi
Parsimoni

(gejala dan tanda khas


untuk masing-masing
penyakit)
Perjalanan penyakit

Kronik/menahun,
progresif,

Self-limiting
Memberi kekebalan

menyebabkan cacat
lama
Menjadi rentan
penyakit lain
Variasi individual

Beragam

kecil

Oleh karena itu penanganan penderita geriatri harus menyeluruh (holistik) dengan model
analisis multi disiplin (asesmen geriatri). Asesmen ini bertujuan menegakkan diagnosis
kelainan yang fisiologis maupun patologis, menemukan adanya impairment, disabilitas, atau
handicap yang perlu rehabilitasi, menilai sumber daya ekonomi, sosial, dan lingkungan
pasien.
IV.

Sindroma Geriatri

Dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan dengan
perubahan akibat proses patologis. Beberapa problema klinik dari penyakit pada lanjut usia
yang sering dijumpai. Sindroma geriatri antara lain adalah:

the O complex : fall, confusion, incontinence, iatrogenic disorders, impaired


homeostasis

the big three

: intelectual failure, instability, incontinence

the 14 I : Imobility, Impaction, Instability, Iatrogenic, Intelectual Impairment,


Insomnia, Incontinence, Isolation, Impotence, Immunodefficiency, Infection, Inanition,
Impairment of Vision, smelling, hearing, Impecunity

Menurut Brocklehurst, Allen et al dikenal istilah geriatric giants sebagai berikut:


1. Sindroma serebral
Pada lanjut usia terjadi penurunan aliran darah otak sekitar 30 mL/100gram jaringan
otak/menit. Metabolisme otak juga menurun karena terjadi atrofi neuron. Normal pada
dewasa nilainya 50 mL/100 gram/menit. Penurunan aliran darah otak hingga 23 mL/100
gram/menit dapat menimbulkan sindroma serebral, yaitu perubahan patologik pembuluh
darah otak. Gejala yang timbul dapat berupa gejala umum (rigiditas, peningkatan refleks,
tendensi condong ke belakang, sulit berjalan) gejala klinis daerah yang diperdarahi
karotis (TIA, stroke, arteritis) dan vertebrobasiler (drop attack, TIA).
Penurunan aliran darah otak pada lansia dapat disebabkan oleh sebab mekanik maupun
akibat perubahan autoregulasi aliran darah otak. Secara mekanik didapatkan bahwa pada
lansia terbentuk osteofit pada vertebra sehingga menimbulkan jepitan pada arteri
vertebralis yang menyuplai darah ke otak lewat susunan vertebrobasiler. Selain itu
degenerasi diskus intervertebralis membuat arteri vertebralis menjadi berkelok-kelok
dengan akibat turunnya aliran darah menuju ke otak. Dengan demikian gerakan leher
dapat membuat lansia kekurangan sirkulasi darah otak dan tiba-tiba terjatuh.
Karena autoregulasi sebagai mekanisme proteksi otak mengalami penurunan, sedikit
perubahan tekanan darah atau diameter arteri otak akan mengurangi aliran darah otak
yang sulit dikompensasi oleh lansia. Kelainan vaskuler arteriosklerosis mengurangi
perfusi otak yang menimbulkan infark lakuner. Hipoksemia akibat gangguan respirasi
atau kardiovaskuler (gagal jantung, bronkopneumonia, interaksi obat) juga menurunkan
aliran darah otak. Diabetes dan hipertensi menurunkan aliran darah otak dengan
timbulnya angiopati.
2. Konfusio Akut dan Dementia
Konfusio akut adalah gangguan menyeluruh fungsi kognitif yang ditandai oleh
memburuknya secara mendadak derajat kesadaran dan kewaspadaan dan proses berpikir
yang berakibat terjadinya disorientasi. Penyebab konfusio dapat akibat penyebab
intraserebral, penurunan nutrisi serebral, penyebab toksik, kegagalan mekanisme
homeostatik, dan lain-lain seperti nyeri, depresi, perubahan lingkungan, obat-obatan.

Dementia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
ingatan sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari-hari.
Perjalanannya bertahap dan tidak ada gangguan kesadaran. Biasanya dementia tidak
didiagnosis karena dianggap wajar oleh masyarakat. Gangguan memori yang menurun
tanpa perubahan fungsi kognitif dan ADL dinamakan Mild Cognitive Impairment.
Sebagian keadaan ini akan berkembang menjadi dementia.
Diagnosis dementia ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan Mini Mental State
Examination dan penyebab pastinya dengan pemeriksaan patologi.
Dementia dibagi menjadi 4 golongan: dementia degeneratif primer/Alzheimer (50-60%),
dementia multi infark (10-20%), dementia reversibel/sebagian reversibel (20-30%), dan
gangguan lain (5-10%).
Penyebab dementia yang reversibel dapat dibuat matriks jembatan keledai berikut:
D : drugs
E : emotional (emosi, depresi)
M : metabolik/endokrin
E : eye and ear (mata dan telinga)
N : nutrisi
T : tumor trauma
I : infeksi
A : arteriosklerosis
Prinsip tatalaksana dementia adalah optimalisasi fungsi pasien, mengenali dan mengatasi
komplikasi, rawat berkelanjutan, informasi pada keluarga, dan nasihat pada keluarga.
3. Gangguan otonom
Pada lansia terjadi penurunan kolin-esterase dan aktivitas reseptor kolin yang berakibat
penurunan fungsi otonom. Beberapa gangguannya adalah hipotensi ortostatik, gangguan
pengaturan suhu, kandung kemih, gerakan esofagus dan usus besar.
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan sistolik/diastolik sebanyak 20 mmHg
pada saat berubah dari posisi tidur ke posisi tegak setelah 1-2 menit. Hal ini terjadi akibat
penurunan isi sekuncup jantung dan perpindahan darah ke posisi bawah tubuh. Biasanya
tidak menimbulkan gejala karena mekanisme kompensasi. Namun pada lansia dapat
terjadi adanya penurunan elastisitas pembuluh darah, gangguan barorefleks akibat tirah
baring lama, hipovolemia, hiponatremia, pemberian obat hipotensif, atau penyakit SSP
maupun neuropati lain (parkinson, CVD, diabetes mellitus). Gejala bisa berupa
penurunan kesadaran atau jatuh. Penatalaksanaannya adalah meninggikan kepala waktu

tidur.

Terapi

farmakologis

dapat

menggunakan

hormon

mineralokortikoid,

simpatomimetik, atau vasokonstriktor lainnya seperti fluorokortison, kafein, pindolol.


Gangguan regulasi suhu juga ditemukan pada lansia sehingga mereka rentan mengalami
hipertermia maupun hipotermia. Hipertermia adalah suhu inti tubuh > 40,6oC, disfungsi
saraf pusat hebat (psikosis, delirium, koma). Sementara itu hipotermia adalah penurunan
suhu inti tubuh di bawah 35oC.
4. Inkontinensia
Inkontinensia adalah pengeluaran urin (atau feses) tanpa disadari, dalam jumlah dan
frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial.
Ini bukan konsekuensi normal dari pertambahan usia. Penyebab inkontinensia berasal
dari kelainan urologik (radang, batu, tumor), kelainan neurologik (stroke, trauma medula
spinalis, dementia), atau lainnya (imobilisasi, lingkungan). Inkontinensia dapat akut di
saat timbul penyakit atau yang kronik/lama.
Inkontinensia akut yang biasanya reversibel dapat diformulasi dengan akronim DRIP
yang merupakan Delirium, Restriksi mobilitas retensi, Infeksi inflamasi impaksi feses,
Pharmasi poliuri. Juga dengan akronim DIAPPERS : Delirium, Infection, Atrophic
vaginitis/uretheritis, Pharmaceuticals, Physiologic factor, Excess urine output,
Restricted mobility, Stool impaction.
Inkontinensia menetap dapat terjadi akibat aktivitas detrusor berlebih (over active
bladder), aktivitas detrusor yang menurun (overflow), kegagalan uretra (stress type), atau
obstruksi uretra.
Tatalaksana inkontinensia urin meliputi behavioral training (bladder training, pelvic
floor exercise), farmakologis, pembedahan. Obat yang digunakan dapat meliputi
antikolinergik antispasmodik (imipramin) untuk tipe urgensi/stres, -adrenergik agonis
(pseudoefedrin,

fenilpropanolamin)

untuk

tipe

stres

atau

urgensi,

estrogen

agonis(oral/topikal) untuk tipe stres atau urgensi, kolinergik agonis (betanekol), arendergik antagonis (terasozine) untuk tipe overflow atau urgensi karena pembesaran
prostat. Pembedahan meliputi juga kateterisasi sementara (2-4 kali sehari) atau menetap.
5. Jatuh
Jatuh adalah kejadian tidak diharapkan dimana seorang jatuh dari tempat yang lebih
tinggi ke tempat yang lebih rendah atau sama tingginya. Sebanyak 30% lansia 65 tahun
mengalami jatuh. Kondisi jatuh dipengaruhi stabilitas badan yang ditunjang oleh sistem
sensorik (penglihatan, pendengaran, vestibuler, proprioseptif), susunan saraf pusat,
kognisi, dan fungsi muskuloskeletal. Ia juga dipengaruhi faktor ekstrinsik seperti

pengaruh obat dan kondisi lingkungan. Penyebab jatuh ada beragam, antara lain
kecelakaan, nyeri kepala dan atau vertigo, hipotensi ortostatik, obat-obatan (diuretik,
antihipertensi, antidepresan trisiklik, sedatif, antipsikotik, hipoglikemk, alkohol), proses
penyakit (aritmia, TIA, stroke, parkinson), idiopatik, dan sinkop (drop attack, penurunan
CBF).
Jatuh menimbulkan komplikasi perlukaan jaringan lunak dan fraktur (terutama pelvis,
kolum femoris), imobilisasi, disabilitas, risiko meninggal. Jatuh perlu dicegah dengan
identifikasi semua faktor risiko intrinsik maupun ekstrinsik, penilaian pola berjalan dan
keseimbangan (tes romberg), dan pemeriksaan rutin. Setiap lansia selalu harus
ditanyakan riwayat jatuh dan evaluasi status kesehatan. Tatalaksana jatuh adalah
pencegahan sesuai dengan etiologi yang dirasa memberi risiko terjadinya jatuh.
6. Kelainan tulang dan patah tulang
Setiap tahun 0,5-1% dari berat tulang wanita pasca menopause dan pria > 80 tahun
menurun. Penurunan ini timbul di bagian trabekula. Kelainan tulang yang timbul dapat
berupa osteoporosis, osteomalasia, osteomielitis, dan keganasan tulang.
Patah tulang/fraktur pada usia lanjut terutama akibat osteoporosis, ada 3 jenis yang
terutama, yaitu fraktur sendi koksa (collum femoris), fraktur pergelangan tangan (colles),
dan kolumna vertebralis (crush, multipel, atau baji).
7. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan kulit sampai jaringan di bawah kulit, menembus otot sampai
mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga
timbul gangguan sirkulasi darah setempat. Ulkus dekubitus terjadi terutama pada
tonjolan tulang. Usia lanjut memiliki potensi dekubitus karena jaringan lemak subkutan
berkurang, jaringan kolagen dan elastis berkurang, efisiensi kapiler pada kulit berkurang.
Pada penderita imobil, tekanan jaringan akan melebihi tekanan kapiler, sehingga timbul
iskemi dan nekrosis. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan, daya regang, gesekan, dan
kelembaban. Semua pasien lansia yang imobil harus dinilai skala Norton untuk risiko
dekubitus. Skor di bawah 14 berkaitan dengan risiko tinggi timbulnya ulkus. Pencegahan
ulkus dapat dilakukan dengan membersihkan kulit, mengurangi gesekan dan regangan
dengan berpindah posisi, asupan gizi yang cukup, menjaga kelembaban kulit. Perlu
diingat komplikasi ulkus dekubitus adalah sepsis.

2.2 CHRONIC KIDNEY DISEASE3


I. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal sepertiproteinuria.
Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronikditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m.Batasan penyakitginjal kronik:3-5
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal,dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

Kelainan patologik

Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan padapemeriksaan


pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan denganatau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan olehnilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilailaju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakitginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal denganfungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunanfungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yangsedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsiginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihatpada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:3,4
Tabel 1.Klasifikasi CKD berdasarkan laju filtrasi glomerolus.
LFG

Derajat

Penjelasan

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29

Gagal ginjal

(mL/menit/1,73m2)

<15 atau dialisis

Tabel 2.Klasifikasi CKD dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan atau dengan atau tanpa
peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).
GFR

Dengan Kerusakan Ginjal


2

Tanpa Kerusakan Ginjal

(ml/min/1,73 m )

Dengan HT

Tanpa HT

Dengan HT

Tanpa HT

> 90

HT

Normal

60 89

HT dengan

Penurunan

penurunan

GFR

GFR
30 59

15 29

< 15 (atau dialisis)

II. Etiologi3,6,7
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian RenalRegistry
(IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik
(10%).
III. Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau
hipertensi, penyakit autoimun, batu ginjal, sembuh dari gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, berat badan lahir rendah, dan faktor sosial dan lingkungan seperti obesitas atau
perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga, berpendidikan rendah, dan terekspos dengan
bahan kimia dan lingkungan tertentu.6
IV. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang

masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif,
walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.3-5
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh
growth factor seperti

transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah


albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual
untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.4
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.4
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.4
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya

menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.3,4
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi empat stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium-stadium tersebut.
V. Gambaran klinik
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.3,4,5,10
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.3,4
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat
besi total / Total Iron binding Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.3,4,10
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.4
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.

Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
protein dan antibiotika.5
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.5-6
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
f. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering
dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
VI. Penegakan Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagalginjalkronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.3,4,9
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional

5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
-

sesuai dengan penyakit yang mendasari;

sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic
frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah


jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
chlorida).3

b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi
proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.3
c. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:3
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak bisa
melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksisk oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, klasifikasi

5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.


VII. Penatalaksanaan3-6,8,10-12
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status
nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila
pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga kali
dalam seminggu.10
Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-12 gr/dL.

c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint)
dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut
sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai studi
terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan antiproteinuria.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang
diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi, dislipidemia, hiperfosfatemia, dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal,
dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia,


muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi
non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal

VIII. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari, keberhasilan
terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani dialisis kronik akan
mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium
akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%), infeksi (14%),
kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%).5

IX. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulaidilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahanyang telah terbukti
bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi
(makin rendah tekanan darah makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula
darah, lemak darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian beratbadan.6

2.3.HIPERTENSI
I.

Definisi Hipertensi
Menurut WHO tahun 2001, secara umum hipertensi adalah suatu keadaan dimana

dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan
tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Harus dilakukan
pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan
tersebut dan pada kejadian berulang dapat meningkatkan risiko terhadap penyakit stroke,
gagal jantung, serangan jantung, dan kerusakan ginjal. Pengertian ini juga sesuai dengan
sistem klasifikasi yang ada pada saat ini, yaitu sesuai dengan JNC VII. Klasifikasi hipertensi
penting untuk penentuan diagnosis dan kebijakan para klinisi dalam penanganan yang
optimal mengingat komplikasi yang dapat ditimbulkan.13
II.

Klasifikasi Hipertensi

Menurut JNC VII, tekanan darah dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu : normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai
rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya
dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.

Klasifikasi
Tekanan
Darah
Normal
Pre
Hipertensi

Tekanan

Tekanan

Darah

Darah

Sistolik

Diastolik

(mmhg)

(mmhg)

<120
120 139

< 80
80 89

Obat Awal

Modifika
si Gaya

Tanpa

Dengan

Hidup

indikasi

Indikasi

Anjuran

Tidak perlu

Gunakan obat

menggunakan

yang spesifik

obat anti

dengan indikasi

hipertensi

(risiko)

Ya

Untuk semua
kasus gunakan

Hipertensi
Stage I

Hipertensi
Stage II

140 159

160

90 99

100

Ya

Ya

diuretik jenis

Gunakan obat

thiazide

yang spesifik

dengan

dengan indikasi

pertimbangan

(risiko).

ACEi, ARB,

Kemudian

BB, CCB, atau

tambahkan

kombinasikan

dengan obat anti

Gunakan

hipertensi

kombinasi 2

(diuretik, ACEi,

obat ( biasanya

ARB, BB, CCB)

diuretik jenis

seperti yang

thiazide) dan

dibutuhkan

ACEi/ARB/B
B/CCB

Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi
hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi
pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka
menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi gaya
hidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat
hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya
hidup yang salah.14
III.

Penyebab hipertensi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan hipertensi


sekunder.
a. Hipertensi esensial ( primer/idiopatik ).

Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan
hemodinamik utama pada jenis ini adalah peningkatan resistensi perifer. Yang
menjadi penyebab jenis ini adalah faktor genetik ( terlihat dari adanya riwayat
penyakit kardiovaskuler dari keluarga, sensitivitas pada natrium, kepekaan terhadap
stress, peningkatan reaktivitas vaskular terhadap vasokonstriktor,

dan resistensi

insulin ) dan faktor lingkungan ( makan garam berlebihan, stress psikis, dan obesitas ).
b. Hipertensi sekunder
Prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi ini
dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi
endokrin), obat dan lain-lain.
IV.

Faktor risiko hipertensi


Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut :
Usia
Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia
pertengahan tahun, laki laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan
wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause.
Ras
Hipertensi lebih sering terjadi pada ras hitam, seringkali terjadi pada usia muda jika
dibandingkan dengan ras kulit putih putih. Komplikasi serius, seperti stroke dan
serangan jantung, lebih sering terjadi pada ras kulit hitam.
Riwayat keluarga
Overweight atau obesitas
Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami
hipertensi. Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah
yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring
dengan peningkatan volume yang melalui pembuluh darah, maka tekanan pada
dinding kapiler pun meningkat.
Kurang aktif bergerak.
Individu yang kurang aktif secara fisik memiliki kecenderungan memiliki denyut
jantung lebih tinggi. Semakin tinggi detak jantung, semakin berat jantung harus
bekerja di setiap kontraksi dan semakin kuat tekanan pada arteri. Selain itu, kurang
aktivitas fisik meningkatkan risiko kegemukan.
Merokok

Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia
yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan
menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.
Diet tinggi garam ( sodium)
Diet tinggi garam dapat menyebabkan retensi cairan tubuh yang akan
meningkatkan tekanan darah.
Diet kurang potasium
Potasium membantu menyeimbangkan kadar sodium dalam sel. Diet kurang
potasium akan menyebabkan akumulasi sodium dalam darah.
Diet kurang vitamin D
Mekanisme defisiensi vitamin D dengan peningkatan tekanan darah belum
sepenuhnya dimengerti. Vitamin D diduga berefek pada enzim yang diproduksi
oleh ginjal yang akan mempengaruhi tekanan darah.
Alkohol
Mengkonsumsi banyak alkohol dapat menyebabkan tubuh melepaskan hormon
yang dapat meningkatkan tekanan darah dan detak jantung.
Stres
Penyakit kronik
Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep
apneu berisiko untuk mengalami hipertensi15
Komplikasi target Organ ( TOD) pada hipertensi:
-

Hipertrofi ventrikel kiri

Penebalan dinding arteri atau plag aterosklerosis

Creatinin : pria

> 1,3-1,5 mg/dl

Wanita > 1,2-1,4mg/dl


-

Mikroalbuminuria : 30-300mg/24jam
Albumin creatinin ratio : pria 22, wanita 31mg/g

Penyakit Penyerta pada hipertensi :

Penyakit serebrovaskular

Penyakit jantung :

infark miokard, Angina


Revaskularisasi koroner
Gagal jantung kongestif

Penyakit ginjal :

nefropati diabetik
Gagal ginjal

Penyakit Vaskular perifer

Retinopati lanjut : perdarahan, eksudat dan papil edema

Langkah diagnosis diambil untuk mengetahui :


1. Tingkat tekanan darah yang tetap
2. Mengidentifikasi hipertensi sekunder.
3. Mengevaluasi faktor risiko lainnya, kerusakan target organ dan penyakit penyerta
Langkah- langkah pemeriksaan meliputi :14
1. Pengukuran tekanan darah berulang.
Tekanan darah mengalami variasi yang besar baik dalam sehari maupuin di
antara hari yang berbeda sehingga pengukuran tekanan darah harus dilakukan
beberapakali pada keadaan yang berbeda. Jika tekanan darah hanya meningkat
ringan maka pengukuran diulang selama beberapa bulan. JNC 7 menyebutkan
bahwa diagnosis hipertensi ditegakkan berdasarkan rata-rata dari 2 atau lebih
pengukuran posisi duduk pada setiap 2 atau lebih kunjungan.
2. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang seharusnya dicari adalah :
-

Lama dan level tekanan darah sebelumnya.

Gejala yang mengarah pada hipertensi sekunder dan obat yang dapat
menyebabkan naiknya tekanan darah.

Gaya hidup seperti diet lemak hewani, garam dan alkohol, merokok, aktifitas
fisik dan penambahan berat badan sejak awal usia dewasa.

Riwayat penyakit dahulu : penyakit jantung koroner, gagal jantung, diabetes


melitus, gout, dislipidemi, bronkospasme, atau penyakit lainnya dan obat yang
dipakai.

Terapi antihipertensi sebelumnya.

Riwayat pribadi, keluarga dan lingkungan.

3. Pemeriksaan fisik
Pengukuran tekanan darah juga dilakukan pada lengan kontralateral.
Pemeriksaan fisik harus mencari adanya tanda kerusakan target organ, faktor
risiko ( obesitas sentral) dan kemungkinan penyebab hipertensi sekunder yaitu :
Tanda hipertensi sekunder :

Tanda sindroma Cushing

Stigmata kulit neurofibromatosis ( feokromositoma)

Palpasi pembesaran Ginjal ( ginjal polikistik)

Murmur abdomen ( hipertensi renovaskular)

Murmur precordial ( Koartasio aorta)

Tekanan darah femoral yang berkurang dan denyut yang

terlambat dan

mengurang ( koartasio aorta)


Tanda kerusakan organ :
-

Otak : murmur di arteri leher, defek motorik dan sensorik.

Kelainan funduskopi.

Jantung : tanda pembesaran jantung, irama jantung, gallop, ronki basah, dan
udem.

Arteri perifer : pulsasi yang hilang, berkurang atau asimetri, ekstremitas dingin
dan lesi kulit iskemi.

4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin meliputi :Gula darah, Kolesterol total, HDL, TGA puasa, asam
urat, creatinin serum, Kalium serum, Hemoglobin dan hematokrit, urinalisis, dan
elektrokardiogram.
Pemeriksaan yang direkomendasikan :Ekokardiografi, USG karotis, C-reactive
Protein, Mikroalbuminuria, proteinuria kwantitatif, funduskopi.
Pemeriksaan lebih lanjut :
-

Hipertensi komplikasi: pemeriksaan fungsi otak, jantung dan ginjal.

Pemeriksaan

hipertensi

sekunder

pemeriksaan

renin,

aldosterone,

kortikosteroid, katekolamin, arteriografi, USG ginjal dan adrenal, MRI otak.


Terapi
Pedoman untuk memulai terapi anti hipertensi berdasarkan dua kriteria yaitu :
1. Total risiko kardiovaskuler
2. Level tekanan sistolik dan diastolik.
Rekomendasi terapi WHO/ISH tidak lagi terbatas pada hipertensi stage 1 dan 2
tetapi juga penderita dengan tekanan darah normal tinggi. Bukti- bukti penelitian
menunjukkan bahwa penderita dengan tekanan darah < 140/90 dengan riwayat stroke,
TIA, jika tidak diterapi memiliki insiden kejadian Kardiovaskular 17% dalam 4 tahun,
dan risiko turun24%dengan penurunan tekanan darah (PROGRESS Study), demikian
juga pada HOPE study terhadap penderita normotensi dengan risiko koroner tinggi.

Pemberian terapi pada penderita dengan tekanan darah normal tinggi terbatas pada
penderita dengan risiko tinggi sedangkan penderita dengan risiko sedang dan rendah
hanya dilakukan pengawasan ketat dan perubahan gaya hidup.
Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, meningkatkan
efektifitas obat antihipertensi dan menurunkan risiko kardiovaskular. Sebagai contoh,
perencanaan diet natrium 1600 mg mempunyai efek yang sama dengan pemberian
terapi 1 macam obat.
Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Perkiraan Penurunan
Modifikasi

Rekomendasi

Tekanan darah
sistolik

- Penurunan BB

Pertahankan BMI 18,5-24,9

- Perencanaan pola

Konsumsi kaya buah, sayur dan

makan
- Diet rendah Natrium

5-20 mmHg/ 10 kg
8-14 mmHg

rendah lemak
Diet Natrium tidak lebih dari 2,4 g

2-8 mmHg

Na atau 6 g NaCl
- Aktivitas Fisik

Aktifitas

aerobik

minimal

30

4-9 mmHg

Konsumsi alkohol tidak lebih dari

2-4 mmHg

menit sehari
- Konsumsi alkohol
sedang

2 gelas sehari.

Terapi Farmakologi
Bukti-bukti penelitian terbaru menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah dengan
obat Angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blockers
(ARBs), blocker, calcium chanel blocker dan thiazhide akan mengurangi semua
komplikasi hipertensi.
Thiazide, berdasarkan hasil beberapa penelitian , merupakan dasar dari terapi
hipertensi. Diuretik merupakan terapi hipertensi yang dapat mencegah komplikasi
kardiovaskuler yang tak tertandingi. Diuretik dapat meningkatkan efektivitas
antihipertensi dari berbagai jenis obat, dan bermanfaat dalam mencapai target tekanan
darah dan lebih baik dari golongan antihipertensi lain.

Thiazide seharusnya digunakan sebagai terapi awal bagi sebagian besar pasien
hipertensi, baik tunggal maupun kombinasi dengan obat lain.
Target Terapi
Target penurunan tekanan darah adalah kurang 140/90mmHg yang dapat
menurunkan komplikasi penyakit jantung.
Pada penderita hipertensi dengan diabetes dan penyakit ginjal maka targetnya
adalh kurang dari 130/80mmHg. Pada lanjut usia penurunan tekanan sistolik di bawah
140 mmHg sulit dicapai. Bilaproteinuria <1g/hari maka target tekanan darah adalah
130/85mmHg dan bila > 1g/hari maka targetnya adalah 125/75mmHg.
Strategi Terapi
Pada kebanyakan pasien, terapi dimulai bertahap, dan target tekanan darah
dicapai dalambeberapa minggu.Untuk mencapai target tekanan darah, tidak jarang
diperlukan kombinasi dengan beberapa obat.Pada Hipertensi Stage 1, terpi dimulai
dengan monoterapi. Penelitian ALLHAT, yangmerekrut stage 1 dan 2 menunjukkan
bahwa 60% penderita tetap menggunakan monoterapi. Penelitian HOT pada Hipertensi
stage 2 dan 3 menunjukkan hanya 25-40% penderita yang tetap monoterapi.Pada
penderita diabetes, kebanyakan penderita memerlukan sekurang-kurangnya 2 obat.
Berdasarkan tingkat tekanan darah awal dan ada atau tidaknya komplikasi,
tampaknya

baik

monoterapi

maupun

kombinasi

cukup

beralasan.Keuntungan

menggunakan monoterapi adalah bila penderita ternyata tidak toleran dengan obat
pertama maka dapat segera diketahui dan diganti obat lain. Sedangkan keuntungan terapi
kombinasi adalah lebih besar kemungkinan mengontrol tekanan darah dan komplikasi,
masing-masing obat dapat diberi dengan dosis kecil sehingga efek samping minimal.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :
-

Diuretik dan blocker

Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist

Calcium antagonist dan diuretik

Calcium antagonist dan B Blocker

Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis

blocker dan blocker

Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin receptor
antagonist

Hipertensi pada Lanjut Usia16,17,18


Dua pertiga penderita lanjut usia (>65 tahun) menderita hipertensi. Patofisiologi
hipertensi dan penyakit jantung hipertensif pada usia lanjut sedikit berbeda dengan
yang terjadi pada usia yang lebih muda :
Akibat perubahan dinding aorta dan pembuluh darah akan terjadi peningkatan tekanan
darah sistolik tanpa perubahan tekanan darah diastolik. Peningkatan TD sistolik akan
meningkatkan beban kerja jantung dan pada akhirnya akan mengakibatkan penebalan
dinding ventrikel kiri sebagai usaha kompensasi/adaptasi.
Hipertrofi ventrikel ini yang awalnya adalah untuk adaptasi lama-kelamaan malah akan
menambah beban kerja jantung dan menjadi suatu proses patologis.
Terjadi penurunan fungsi ginjal akibat penurunan jumlah nefron sehingga kadar renin
darah akan turun. Sehingga sistem renin-angiotensin diduga bukan sebagai penyebab
hipertensi pada lansia.
Terjadi perubahan pengendalian simpatis terhadap vaskular. Reseptor -adrenergik
masih berespons tapi reseptor -adrenergik menurun responsnya.
Terjadi disfungsi endotel sehingga mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh
darah perifer.
Terjadi kecenderungan labilitas tekanan darah dan mudah terjadi hipotensi postural
(penurunan tekanan darah sistolik sekitar 20mmHg atau lebih yang terjadi akibat
perubahan posisi dari tidur/duduk ke posisi berdiri). Ini terjadi akibat berkurangnya
sensitivitas baroreseptor dan menurunnya volume plasma.
Proses aterosklerosis yang terjadi juga dapat menyebabkan hipertensi.
Terapi pada lanjut usia prinsipnya sama dengan terapi hipertensi golongan usia muda
tetapi dengan dosis awal yang lebih rendah.2 Dalam beberapa penelitian menunjukkan
bahwa yang menjadi lini pertama pada terapi hipertensi sistolik terisolasi adalah
diuretik dan Calcium antagonis dihydropyridine.
Jenis-jenis hipertensi pada usia lanjut
1. Hipertensi sistolik saja
Hipertensi ini terdapat 6-12% penderita diatas usia 60 tahun, terutama pada wanita.
Insidensi meningkat dengan bertambahnya usia
2. Hipertensi diastolik
Terdapat antara 12-14% penderita diatas usia 60 tahun terutama pada pria. Insiden
meningkat dengan bertambahnya usia.

3. Hipertensi sistolik-diastolik
Terdapat antara 6-8%% penderita diatas usia 60 tahun lebih banyak pada wanita. Insiden
meningkat dengan bertambahnya usia.
Komplikasi
Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat sebelum
berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard, penyakit jantung
koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan organ. Keadaan
hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat antihipertensi yang
tepat yang berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis. Penanganan dengan kombinasi
obat kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan dengan penilaian pengobatan
sebelumnya, tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang harus dicapai.16,17

V.

Penatalaksanaan hipertensi16

Modifikasi gaya hidup

Target tekanan darah tidak terpenuhi


(<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pada
pasien DM, penyakit ginjal kronik, 3 faktor
risiko atau adanya penyakit) penyerta
tertentu)
Obat antihipertensi inisial

Dengan indikasi khusus

Obat-obatan untuk
indikasi khusus
tersebut ditambah
obat antihipertensi
(diuretik ACEi, BB,
CCB)

Tanpa indikasi khusus

Hipertensi tingkat I

Hipertensi tingkat II

(sistolik 140-159 mmHg atau


diastolik 90-99 mmHg)

(sistolik 160 mmHg


atau diastolik >100
mmHg)

Diuretik golongan Tiazide.


Dapat dipertimbangkan
pemberian ACEi, BB, CCB atau
kombinasi)

Kombinasi dua obat.


Biasanya diuretik
dengan ACEi atau BB
atau CCB

Target tekanan darah tidak


terpenuhi

Optimalkan dosis obat atau berikan


tambahan obat antihipertensi lain.
Pertimbangkan untuk konsultasi dengan
dokter spesialis.

2.4 Anemia Normositik Normokromik19,20


Anemia normositik normokromik adalah suatu bentuk anemia dimana
hemoglobinisasi sel darah merah normal ( 26-32pg/dl, equivalen dengan 1,61-1,99
fmol/l) dan rata-rata MCV normal ( 77-100 fl), hal tersebut dapat dijelaskan secara
luas oleh 3 mekanisme berikut: a. Perdarahan akut dengan sisa cadangan metabolik
yang sufficient, b. Peningkatan turnover sel yang mana besi yang dibebaskan segera
digunakan, sehingga kondisi hipokromia tidak muncul ( tipikal pada semua anemia
hemolitik kecuali thalasemia), c. Supresi produksi sel pada kondisi suplai besi normal
( jenis anemia hipoplastik-aplastik yang disebabkan oleh berbagai hal).
Penyebab anemia normositik normokromik dibagi menjadi:
a.

Peningkatan jumlah retikulosit


Perdarahan akut
Anemia hemolitik

b. Jumlah retikulosit normal atau menurun


Anemia penyakit kronik
Hipersplenisme
Penyakit endokrin
Penyakit sumsum tulang primer
Mielosupresi terkait penggunaan obat atau alkohol
Anemia fisiologis pada kehamilan
Alur diagnosis pada anemia normositik normokromik :

Diagnosis Diferensial Anemia Akibat Penyakit Kronik


Anemia

Anemia Akibat

Defisiensi

Penyakit

Besi

Kronik

Derajat

Ringan

anemia

sampai berat

MCV

Trait

Anemia

Thalassemia

Sideroblastik
Ringan

Ringan

Ringan

Menurun

Menurun/N

Menurun

Menurun/N

MCH

Menurun

Menurun/N

Menurun

Menurun/N

Besi serum

Menurun < 30

Menurun < 50

Normal/

Normal/

Menurun < 300

Normal/

Normal/

TIBC

Meningkat >
360

sampai berat

Saturasi

Menurun < 15

Menurun/Normal Meningkat >

Meningkat >

transferin

10 20 %

20 %

Besi sumsum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis
Hb

20 %

Positif dgn
Negatif

Positif

Positif kuat

ring
sideroblast

Meningkat

Meningkat

Normal

Normal

Menurun < 20

Normal 20 200

Meningkat >

Meningkat >

g/l

g/l

50 g/l

50 g/l

Hb A2
meningkat

2.5 Katarak Senilis Immature21,22,23


Katarak adalah suatu keadaan kekeruhan lensa. Penuaan adalah sebab paling umum
dari katarak, namun beberapa faktor lain dapat terlibat, termasuk trauma, toksin, penyakit
sistemik (diabetes mellitus), merokok, dan keturunan. Katarak dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa terjadi akibat kedua-duanya. Sebagian
besar kasus bersifat bilateral, walaupun kecepatan perkembangan masing-masing jarang
sama. Kekeruhan lensa tersebut dapat menyebabkan lensa menjadi tidak transparan sehingga
pupil akan berwarna putih atau abu-abu. Kekeruhan ini dapat ditemukan pada berbagai
lokalisasi di lensa seperti pada korteks, nucleus, subkapsular. Pemeriksaan yang dilakukan
pada pasien katarak meliputi pemeriksaan tajam pengelihatan, slit lamp, funduskopi, serta
tonometri bila memungkinkan.
Klasifikasi katarak
Berdasarkan usia :
1. Katarak kongenital:

umur <1 tahun

2. Katarak juvenil

umur 1-<20 tahun

3. Kataral pre senilis : umur 20-<50 tahun


4. Katarak senilis
a.

: umur >50 tahun

Berdasarkan stadium :
Insipien

Imatur

Matur

Hipermatur

Kekeruhan

Ringan

sebagian

Seluruh

Masif

Cairan lensa

Normal

Bertambah

Normal

Berkurang

(air masuk)

(air+massa
lensa keluar)

Iris

Normal

Terdorong

Normal

Tremulans

COA

Normal

Dangkal

Normal

Dalam

Angulus

Normal

Sempit

Normal

Terbuka

Shadow test

(-)

(+)

(-)

Pseudopos

Penyulit

(-)

Glaukoma

(-)

Uveitis +

iridocornealis

glaucoma

Penyebab katarak:
1. Proses penuaan
2. Infeksi intrauterine (rubella, toksoplasmosis, histoplasmosis, inklusi sitomegalik)

3. Komplikasi penyakit intraokuler lain seperti uveitis, glaukoma, myopia maligna,


ablasio retina, tumor intraocular, retinitis pigmentosa.
4. Penyakit

sistemik

seperti

galaktosemia,

diabetes

mellitus,

hipoparatiroid,

hipokalsemik, distrofi miotonik, dermatitis atopik, aminoasiduria, homosisteinuri,


5. Trauma (katarak traumatika) pada trauma fisik (trauma tembus atau tak tembus),
radiasi sinar UV, sinar rontgen, sinar neutron, elektrik shock, dan termal shock
6. Obat-obatan

(naftalin,

dinitrofenol,

kortikosteroid,

fenotiazin,

echothiopate,

pilocarpine, phospoline iodine, amiodaron, klorpromazin, busulfan, ergot, triparanol


MER-29), metal (Cu dan Fe), dan defisiensi vitamin A,B,C dan E.
7. Pasca EKEK (Katarak sekunder)
Katarak senilis
Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut, yaitu usia
diatas 50 tahun. Penyebab katarak senilis sampai sekarang tidak diketahui secara pasti.
Adapun beberapa konsep teori penuaan sebagai penyebab katarak senilis antara lain :
1. Teori a biologic clock
2. Teori imunologik
3. Teori mutasi spontan
4. Teori a free radical
5. Teori a cross link
Perubahan lensa yang terjadi pada usia lanjut :

Kapsul lensa

Menebal dan mengalami sklerosis kurang elastis (1/4 dibanding

anak) daya akomodasi pun berkurang (presbiopia)

Lamel kapsul berkurang atau kabur

Terlihat bahan granular

Epitel lensa

Makin tipis

Sel epitel (germinatif) pada ekuator bertambah besar dan berat

Bengkak dan vakuolisasi mitokondria yang nyata

Serat lensa

Rusak dan menjadi lebih ireguler, terutama pada korteks sehingga

korteks bertambah tipis

Sinar UV semakin lama akan merusak protein nukleus (histidin,

triptifan, metionin, sistein dan tirosin) membentuk brown sclerotic nucleus.


Tatalaksana katarak
Terapi utama katarak adalah pembedahan yakni dengan EKIK ataupun EKEK dengan
pemasangan IOL. Untuk katarak stadium insipien ataupun imatur dapat diberikan
medikamentosa seperti catalin, catarlen, quinax, dsb yang diharapkan dapat mencegah/
menghambat progresifitas kekeruhan lensa.
Indikasi ekstraksi katarak
1. Pada bayi (<1 tahun): bila fundus tidak terlihat. Bila masih dapat dilihat,

katarak

dibiarkan.
2. Pada usia lanjut :

Bila katarak menimbulkan penyulit seperti uveitis atau glukoma, meskipun

visus masih baik untuk bekerrja, dilakukan operasi juga setelah keadaan menjadi
tenang.

Bila sudah masuk dalam stadium matur

Bila visus meskipun sudah dikoreksi, tidak cukup untuk melakukan pekerjaan

sehari-hari. Batasnya pada orang yang buta huruf 5/50, pada orang terpelajar 5/20.
Terapi pembedahan :
1. EKEK
Dilakukan dengan merobek kapsul anterior, mengeluarkan nukleus dan korteks. Sebagian
kapsul anterior dan seluruh kapsul posterior ditinggal. Cara ini umumnya dilakukan pada
katarak dengan lensa mata yang sangat keruh sehingga sulit dihancurkan dengan teknik
fakoemulsifikasi. Selain itu, juga dilakukan pada tempat-tempat dimana teknologi
fakoemulsifikasi tidak tersedia. Teknik ini membutuhkan sayatan yang lebar, karena lensa
harus dikeluarkan dalam keadaan utuh. Setelah lensa dikeluarkan, lensa buatan (IOL)
dipasang untuk menggantikan lensa asli, tepat di posisi semula. Lalu dilakukan penjahitan
untuk menutup luka. Teknik ini dihindari pada penderita dengan zonulla zinii yang rapuh. 21,23
a. Keuntungan :
Luka insisi lebih kecil (8-12 mm) dibanding EKIK
Karena kapsul posterior utuh maka :
Mengurangi resiko hilangnya vitreus intra operasi
Posisi anatomis yang lebih baik untuk pemasangan IOL

Mengurangi insidensi ablasio retina, edema kornea, perlengketan


vitreus dengan iris dan kornea
Menyediakan barier yang menahan pertukaran beberapa molekul
antara aqueous dan vitreus
Menurunkan akses bakteri ke kavitas vitreus yang dapat menyebabkan
endofthalmitis.
b. Kerugian :
Dapat timbul katarak sekunder.
2. EKIK
Teknik ini sudah jarang digunakan setelah adanya teknik EKEK. Pada EKIK dilakukan
pengangkatan seluruh lensa, termasuk kapsul lensa. Pada teknik ini dilakukan sayatan 1214mm, lebih besar dibandingkan dengan teknik EKEK. Dapat dilakukan pada zonula zinn
yang telah rapuh/ berdegenerasi/ mudah diputus.21
a. Keuntungan :
Tidak timbul katarak sekunder
Diperlukan instrumen yang tidak terlalu canggih (lup operasi, cryoprobe,
forsep kapsul)
b. Kerugian :
Insisi yang lebih besar dapat mengakibatkan :
Penyembuhan dan rehabilitasi visual tertunda
Astigmatisma yang signifikan
Inkarserasi iris dan vitreus
lebih

sering

menimbulkan

penyulit

seperti

glaukoma,

uveitis,

endolftalmitis.
3. Fakoemulsifikasi
Pada fakoemulsifikasi, dengan menggunakan mikroskop operasi, dilakukan sayatan yang
sangat kecil (3mm) pada kornea. Kemudian, melalui sayatan tersebut dimasukkan sebuah
pipa melewati COA-pupil-kapsul lensa. pipa tersebut akan bergetar dan mengeluarkan
gelombang ultrasonik yang akan menghancurkan lensa mata. Pada saat yang sama, melalui
pipa ini dialirkan cairan garam fisiologis atau cairan lain sebagai irigasi untuk membersihkan
kepingan lensa. Melalui pipa tersebut cairan diaspirasi bersama sisa-sisa lensa.22
Teknik ini menghasilkan insidensi komplikasi luka yang lebih rendah, proses
penyembuhan dan rehabilitasi visual lebih cepat. Teknik ini membuat sistem yang relatif

tertutup sepanjang fakoemulsifikasi dan aspirasi, oleh karenanya mengontrol kedalaman


COA sehingga meminimalkan risiko prolaps vitreus.22
Persiapan operasi :
1.

Status oftalmologik

Tidak dijumpai tanda-tanda infeksi

TIO normal

Saluran air mata lancar

2.

Keadaan umum/sistemik

Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin, waktu pembekuan, waktu

perdarahan, kadar gula darah dalam batas normal

Tidak dijumpai batuk produktif

Pada penderita DM atau hipertensi, kedaan penyakit tersebut harus

terkontrol.
Perawatan pasca operasi :
1. Mata dibebat beberapa hari sampai mata merasa enak
2. Diberikan tetes antibiotika dengan kombinasi antiinflamasi
3. Tidak boleh mengangkat benda berat 6 bulan
4. Kontrol teratur untuk evaluasi luka operasi
5. Bila tanpa pemasangan IOL, maka mata yang tidak mempunyai lensa lagi (afakia)
visusnya 1/60, sehingga perlu dikoreksi dengan lensa S+10D untuk melihat jauh.
Koreksi ini diberikan 3 bulan pasca operasi. Sedangkan untuk melihat dekat perlu
diberikan kacamata S+3D.
Pasien ini didiagnosis sebagai katarak senilis matur dengan dasar pemikiran sebagai berikut:
1. Anamnesis:
- Penderita berusia 80 tahun
- Penglihatan mata kanan dan kiri kabur, perlahan-lahan semakin kabur dengan
kondisi mata tenang.
- Mata merah (-), cekot-cekot (-), nerocos (-), nyeri (-), keluar kotoran mata (-), silau
(-)
2. Pemeriksaan oftalmologis:
- Visus OD 1/300 visus OS 3/60
- Pada pemeriksaan lensa OD kekeruhan merata dan iris shadow (-) , OS kekeruhan
tak merata dan iris shadow (+)

- Pemeriksaan fundus reflek OD negatif, OS positif suram


Dalam kasus ini, pada penderita dapat dilakukan operasi Ekstraksi Katarak Ekstra
Kapsular dan pemasangan intraocular lens pada mata kanan terlebih dahulu. Untuk
operasi katarak mata kiri dilakukan setelah luka post operasi mata kanan sembuh
dahulu

BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki 86 tahun datang ke RSDK (31/12/2013) dengan keluhan lemas.


Tiga minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai merasa lemas. Lemas mendadak
muncul dan terasa di seluruh badan. Lemas dirasakan sejak bangun tidur.Lemas membuat
pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Aktivitas seperti berpindah dari satu
ruangan ke ruangan lain, makan, mandi harus dibantu oleh anggota keluarga yang lain.Lemas
dirasakan sepanjang hari. Lemas diperberat dengan aktivitas. Lemas diperingan bila
beristirahat. Gejala penyerta meliputi pusing dan mual. Buang Air Kecil (BAK) sedikitsedikit warna kuning jernih, frekuensi kurang dari 5 kali sehari. Pasien juga merasakan
anyang-anyangan dan nyeri BAK. Terdapat riwayat mondok 6 bulan yang lalu di RSDK
dikatakan sakit ginjal. Tidak terdapat riwayat sakit darah tinggi, tidak terdapat riwayat sakit
kencing manis, dan tidak terdapat riwayat sakit jantung. Kakak pasien mempunyai riwayat
sakit darah tinggi, sudah meninggal. Pasiendulu bekerja sebagai buruh serabutan (tukang
bangunan, tukang pikul barang, dll), berhenti semenjak tahun 2006. Istri 70 tahun, ibu cuci
rumah tangga. Tinggal bersama istri anak ke-3, ke-4, ke-5 dan ke-7 serta dengan 6 orang
cucu. Rumah sendiri, permanen, lantai keramik, atap genteng, tanpa loteng. Lingkungan
tempat tinggal di daerah ketinggian, tidak banjir, akses dari jalan besar 100 meter.
Hubungan penderita dengan anak2nya baik. Mempunyai usaha kos-kosan 13 kamar dari
patungan anak-anaknya. Biaya hidup dari anak ke-3 namun yang lainnya juga membantu.
Kesan sosial ekonomi cukup. Pembiayaan dengan BPJS.
Pada geriatri tidak hanya dinilai dari aspek medik saja, namun juga melakukan
assesment dari segi fisik, psikologik, dan sosial ekonomi. Interaksi dari 3 komponen tersebut
menggambarkan keadaan fungsional organ/dan atau tubuh secara keseluruhan, yang dapat
dimengerti, merupakan gambaran kesehatan secara luas pada usia lanjut. Pada usia lain hal
ini tidak terjadi, dan keadaan fisik, psikis, dan sosial ekonomi seolah-olah tidak saling
berkaitan. Penyakit pada usia lanjut berbeda tampilan dan perjalanan alamiahnya dibanding
penyakit pada golongan populasi muda. Pada populasi muda setiap penyakit pada satu organ
yang disebabkan oleh agen tertentu akan memberikan gejala dan tanda yang khas bagi
penyakit dan organ yang bersangkutan. Pada populasi usia lanjut hal tersebut tidak bisa
dilakukan, karena gejala dan tanda yang timbul adalah tidak khas dan menyelinap, karena

merupakan akibat dari berbagai keadaan penurunan fisiologik dan berbagai keadaan
patologik yang bercampur menjadi satu ditambah lagi dengan adanya pengaruh lingkungan
dan sosial-ekonomi serta gangguan psikis. Oleh karena itu untuk mendiagnosis kelainan atau
penyakit yang ada perlu diadakan analisis multidimensional, yang mencakup bukan saja
keadaan fisik, tetapi juga keadaan psikis, sosial, dan lingkungan dari penderita.
Setelah dilakukan assesment yang mencakup 3 komponen tersebut, pasien ini menderitaCKD
stage V, infiltratparu, hipertensistage I, anemianormositiknormokromik, hipoalbuminemia,
hiperuricemia, immobilitas, gangguankognitifringan, dankataraksenilisimmature. Pasien
memiliki segi pendukung yang baik. Selama ini, anak pasien selalu memperhatikan dan
merawat pasien, bahkan anak pasien yang mengantarkan pasien berobat ke Puskesmas dan
Dokter bila sakit. Dari segi lingkungan rumah pasien juga sudah mendukung untuk
kesembuhan dan keamanan pasien, karena ventilasi dan pencahayaan yang cukup. Mobilitas
pasien untuk berjalan mulai terbatas karena lemas. Fungsi depresi pada pasien ini : baik /
tidak depresi; Mini Mental Score Examination : probable gangguan kognitif ; Skor Norton
(mengukur risiko dekubitus) : kemungkinan kecil terjadi dekubitus; indek Katz (menilai
AKS) : F, mandiri, kecuali bathing, dressing, toileting, transferring, & 1 fungsi lain;
kuesioner status mental : gangguan intelek ringan. Sindroma geriatri : sindroma serebral (-),
konfusio (-), gangguan otonom (-), inkontinensia (+), jatuh (-), kelainan tulang atau patah
tulang (-), dekubitus (-), AKS : Immobility (+), Impairment of vision (+), intellectual
impairment (-), impecunity (-), infection (+).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik, terpasang infus,
dispneu(-), kesadaran komposmentis, lemas (+).TD:145/80mmHg (berbaring), RR:
26x/menit, N: 96x/menit,reguler, isi dan tegangan cukup, t: 36,70C (aksiler). Pada
pemeriksaan leher didapatkan JVP R+0 cm. Pemeriksaan jantung didapatkan ictus cordis
teraba di SIC VI 1 cm lateral linea midclavicularis sinistra. Pada perkusi didapatkan batas
atas SIC II linea parasternal, batas kanan SIC II linea parasternalis dekstra, batas kiri SIC VI
1 cm lateral linea mid clavicularis sinistra. Pada auskultasi tidak didapatkan bising maupun
gallop. Pemeriksaan fisik paru depan didapatkan pada perkusi redup di SIC V-VI hemitorax
dextra dan redup di SIC II-III hemitorax sinistra. Pada auskultasi paru depan suara tambahan
ronkhi basah kasar setinggi SIC V hemitorax dextra,suara dasar bronkial, serta ronkhi basah
kasar di SIC II-III hemitorax sinistra, suara dasar bronkial. Suara tambahan ronkhi basah
halus di basal paru kiri depan, suara dasar vesikuler. Pada perkusi paru belakang didapatkan
redup di vertebra Th-VII hemitorax dextra dan redup di Th-IV-V hemitorax sinistra. Pada
auskultasi paru belakang didapatkan ronkhi basah kasar di V-Th-VII hemitorax dextra, suara

dasar bronkial dan ronkhi basah kasar di V-Th-IV-V hemitorax dextra, suara dasar bronkial,
serta ronkhi basah halus di basal paru kiri belakang, suara dasar vesikuler.
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hemoglobin, hematokrit, eritrosit
menurun. Kadar ureum dan kreatinin meningkat. Kadar albumin menurun. Kadar asam urat
meningkat. Pemeriksaan x-foto thorax didapatkan kesankardiomegali dan terdapat infiltrat di
perikardial kanan.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang diatas
didapatkan beberapa diagnosis. Diagnosis pertama yaitu Chronic Kidney Disease (CKD)
stage V. Pada anamnesis didapatkan lemas di seluruh tubuh sejak bangun tidur. Pasien tidak
dapat melakukan aktivitas berat dengan berpindah tempat dan menjadi tergantung kepada
anaknya. Diberikan CaCO3 3x500 mg untuk pengendalian terhadap hiperfosfatemia dan
pencegahan terjadinya osteodistrofi renal, asam folat 3x400 g untuk mencegah kondisi yang
memperparah anemia, bicnat 3x2 tab untuk mengatasi asidosis metabolic dan

terapi

pengganti ginjal dengan hemodialisa karena kadar ureum > 150 mg%.
Hipertensi stage I diberikan kombinasi obat golongan ACE-inhibitor yaitu captopril
3x12,5 mg dan golongan diuretik yaitu furosemid 3x1 amp. Anemia mikrositik hipokromik
sebagai akibat dari penyakit kronis karena TIBC rendah dan kadar ferritin tinggi, diberi
transfusi PCR karena Hb < 10 gr%.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 5 Januari 2014, didapatkan kadar Hb 8,4 gr%,
hematokrit 27%, eritrosit 3,4 juta/mmk, dan MCH 24,5 pg. Dari hasil tersebut, dapat
didiagnosa anemia pada pasien ini adalah anemia normositik normokromik. Jenis ini bisa
terdapat pada anemia penyakit kronik atau intake yang kurang. Pasien akan terus dipantau
dan dicari etiologinya apakah karena penyakit kronik atau intake yang kurang dengan
pemeriksaan gambaran darah tepi, hitung jenis, retikulosit, Fe, Ferritin, TIBC, dengan
monitoring Hb. Anemia penyakit kronis bila retikulosit normal/menurun, serum Fe menurun,
dan ferritinnormal/meningkat. Pasien diedukasi untuk menghabiskan makanan dari RS
dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kris Pranarka. Tinjauan Umum Sindroma Geriatri. Dalam Symposium Geriatric
Syndrome : Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2011.
2. Broclehurst J. C., Allen, S. C. Major Geriatric Problems. Geriatric Medicine For Student.
Churcill-Livingstone, 3 RD, Ed, 35-117, 1987. =
3. Ketut Suwitra. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti
S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. hlm 570-3.
4. Editorial.

Gagal

Ginjal

Kronik.

Diunduh

dari:

http://emedicine.

medscape.com/article/238798-overview, 05Februari 2011.


5. Editorial. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation,
Classification,

and

Stratification.

Diunduh

dari:http://www.kidney.org/professionals/kdoqi/guidelines_ckd/toc.htm GGK, 05Februari


2011.
6. Editorial.

Glomerulonefritis.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.

com/article/777272-overview, 22 Agustus 2010.


7. Editorial.

Tekanan

Darah

Tinggi.

Diunduh

dari:

http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi, 05Februari 2011.


8. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Hipertensi. Azis R,
Sidartawam S, Anna YZ, Ika PW, Nafriadi, Arif M, editor. Panduan Pelayanan Medik.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. hlm 168-70.
9. Murray L, Ian W, Tom T, Chee KC. Chronic Renal failure in Ofxord Handbook of
Clinical Medicine. Ed. 7th. New York: Oxford University; 2007. 294-97.
10. Editorial. Obat Hemopoetic. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Ed. 8. Jakarta: CMP
Medica Asia Pte Ltd; 2008. Hlm. 114.
11. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta :Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI,2007.
12. Sukandar, Enday. Gagal Ginjal dan Panduan Terapi Dialisis. Bandung : Pusat Informasi
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNPAD,2000. =
13. Sindroma Geriatri. Dalam Boedhi-Darmojo. Buku Antar Geriatri, Edisi IV, 2009.
14. Kris Pranarka. Geriatrics Giants. Simposium Geriatri, F. K. Univ. Sam Ratulangi,
Manado, 1999.

15. Kris Pranarka. Geriatrics Giants. Temu Ilmiah Nasional I PERGEMI., Semarang 2002.
16. Endang Kustiowati. Patofisiologi Stroke. Dalam Symposium Geriatric Syndrome :
Revisited, Semarang 1-3 April 2011, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang,
2011.
17. Rosamond W, Flegal K, Furie K, et al. Heart disease and stroke statistics-2008 update: a
report from the American Heart Association Statistics Committee and Stroke Statistics
Subcommittee.Circulation 2008;117:e25-146.
18. Adams HP Jr, Bendixen BH, Kappelle LJ, et al. Classification of subtype of acute
ischemic stroke. Definitions for use in a multicenter clinical trial. TOAST. Trial of Org
10172 in Acute Stroke Treatment. Stroke 1993;24:35-41.
19. Bakta I Made. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
20. Wall M, Street A. Investigating normocytic normochromic anemia in adult.
MedicineToday: Vol 7 No 3, Maret 2006.
21. Ilyas S. Trauma mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1998
22. Bobrow JC, Mark HB, David B et al. Section 11: Lens and Cataract. Singapore :
American Academy of Ophthalmology; 2008.
23. www.wartamedika.com

Anda mungkin juga menyukai