Anda di halaman 1dari 10

DEMAM TIFOID

PENDAHULUAN.
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di berbagai belahan dunia dengan
jumlah kasus yang dilaporkan tiap tahunnya tinggi, khususnya negara negara
berkembang di daerah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. 1 Seringkali terjadi demam
enterik, namun dapat juga terjadi gastroenteritis dan septikemia. Kuman penyebabnya
ialah Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) A, B dan C
yang sering terdapat didalam kotoran, urine manusia, dan juga pada makanan dan
minuman yang tercemar kuman yang dibawa oleh lalat.
Dalam dunia kedokteran disebut Typhoidoid fever atau thypus abdominalis, karena
pada umumnya kuman menyerang usus, maka usus bisa jadi luka, dan menyebabkan
perdarahan, serta bisa pula terjadi kebocoran usus.4 Di Indonesia, menurut surveilans
Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian demam tifoid pada tahun 1990 sebesar
9,2 per 10.000 penduduk dan hingga tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi
menjadi 15,4 per 10.000 penduduk.2
Meskipun penderita penyakit ini sudah dinyatakan sembuh, namun penderita belum
dikatakan sembuh total karena mereka berpotensi menularkan penyakitnya kepada
orang lain (bersifat carrier). Pada perempuan kemungkinan untuk menjadi carrier 3
kali lebih besar dibandingkan pada laki-laki.
Sumber penularan utama ialah penderita demam enterik itu sendiri dan carrier, yang
mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman S. typhi dalam tinja dan tinja
inilah yang merupakan sumber pencemaran.
1. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini banyak diderita oleh anak-anak, namun tidak tertutup kemungkinan
untuk orang muda atau dewasa. Penyebaran penyakit tidak ada perbedaan dimana
laki-laki maupun perempuan akan mempunyai resiko untuk terkena penyakit ini.
Insiden yang tertinggi terjadi pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa
1

penderita sering mengalami infeksi ringan dan biasanya sembuh sendiri yang pada
akhirnya menjadi kebal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70 80 % pasien
berumur 12 30 tahun, 10 20 % berumur 31 40 tahun dan lebih sedikit pada
pasien berumur diatas 40 tahun.4 Demam tifoid terdapat diseluruh dunia dan
penyebarannya sebagai penyakit menular, tidak selalu bergantung pada iklim, tetapi
lebih banyak dijumpai di negara-negara berkembang dan daerah dengan iklim tropis.
Di Indonesia, penyakit ini dapat ditemukan sepanjang tahun, dari hasil penelitian
kemungkinan kasus ini lebih meningkat pada musim hujan, juga bisa pada musim
kemarau atau pada peralihan musim kemarau kemusim hujan.
Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia masih tinggi berkisar antara 0,7 1 %
(Depkes, 1985). Makanan dan minuman terkontaminasi merupakan mekanisme
transmisi kuman Salmonella dan carrier adalah sumber infeksi. S. typhi bisa berada
dalam air, es, debu, sampah kering yang bila organisme ini masuk ke dalam vehicle
yang cocok (daging, kerang dan sebagainya) akan berkembang bila mencapai dosis
infektif.
2. ETIOPATOGENESIS
Demam tifoid dapat disebabkan oleh kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan
Salmonella paratyphi (S. paratyphi) A, B dan C. Kuman berbentuk batang, tidak
berspora dan tidak berkapsul, namun mempunyai flagel serta fimbrae, pada
pewarnaan gram bersifat gram negatif, ukuran 2 - 4 mikrometer x 0,5 0,8
mikrometer dan bergerak. Pada biakan agar darah koloninya besar bergaris tengah 2
sampai 3 millimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan
hemolisis.
Tiga peristiwa utamanya antara lain (1) menempelnya kuman Salmonella pada sel
epitelial usus serta menginvasinya, (2) beredarnya kuman pada area area sistemik,
dan (3) keberadaan dan bereplikasinya kuman kuman tersebut di dalam tubuh kita.1
Kuman S. typhi dan S. paratyphi dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dapat dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila
2

imunitas humoral usus (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel sel
epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit, terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum
distal dan kemudian menuju kelenjar getah bening mesentrika.
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh, terutama hati
dan limpa. Di organ organ ini kuman meninggalkan sel sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya mengakibatkan
bakterimia untuk kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktifasi dan hiperaktif, maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler,
gangguan mental, dan koagulasi.
Di dalam plague Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel
sel mononuklear di dinding usus. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatri,
kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya.
3. GEJALA-GEJALA
Masa tunas bervariasi antara 3 dan 4 hari. Penyakit tidak datang dengan sekaligus
tetapi datangnya secara berangsur, didahului dengan sakit kepala, badan lesu, kadang-

kadang disertai batuk dan sakit perut. Dalam minggu pertama suhu tubuh meninggi
secara bertingkat seperti jenjang berangsur dari suhu normal sampai mencapai 38o
40o C. Suhu tubuh lebih meninggi pada sore dan malam hari dibanding dengan pagi
hari. Denyut nadi terasa perlahan, jadi pada saat ini terdapat bradikardi relatif,
sedangkan biasanya bila suhu tinggi pada penyakit panas lainnya maka nadi pun ikut
cepat juga. Buang air besar biasanya terganggu, dan terdapat lidah putih serta kotor,
tepi lidah kelihatan merah, kelihatan lidah gemetar, timbul bintik-bintik di dada dan
perut pada awal penyakit selama kira-kira 5 hari pertama, kemudian tanda-tanda ini
akan menghilang, dan bisa menimbulkan infeksi pada kelenjar usus halus.
Pada minggu kedua akan timbul pernanahan pada usus halus tersebut, dimana
penderita kelihatan menderita sakit berat, muka kelihatan pucat, lidah kering, serta
diliputi oleh lapisan lendir kental, nafsu makan berkurang, kadang-kadang ada juga
penderita yang diare disertai rasa sakit perut.
Dalam minggu ketiga gejala akan kelihatan lebih jelas lagi yaitu perut terasa sakit
sekali, tidak buang air besar, denyut nadi cepat dan lemah, kesadaran menurun dan
kadang-kadang sampai tidak sadar. Pada stadium ini dapat terjadi perdarahan usus,
lalu disusul kematian.
Bila tidak terjadi komplikasi lebih lanjut, maka penyakit berangsur sembuh. Suhu
tubuh akan menurun secara lisis yaitu dengan berangsur pada akhir minggu ketiga,
gejala-gejala lainpun akan menghilang pula. Lidah mulai kelihatan bersih. Namun
begitu pada saat ini kita harus berhati-hati juga mengingat penyakit masih bisa
kambuh kembali. Jadi penderita seharusnya jangan menghentikan pengobatan
sebelum waktunya dan juga tidak boleh bergiat dengan tiba-tiba.
4. KOMPLIKASI.
Selain pada usus, juga terjadi kelainan pada organ tubuh lainnya, kantong empedu
dapat meradang, dan membesar, limpa membesar (splenomegali), hati membesar
(hepatomegali) dan mengandung abses kecil-kecil (sarang nekrosis). Disana kuman
dapat berkumpul dan menetap pada penderita. Orang ini disebut carrier dan

merupakan sumber penyakit, karena kemana-mana ia pergi membawa kuman


penyakit, sedangkan ia dapat bebas bergaul dengan orang-orang sehat.
Komplikasi terpenting terjadi pada saat perdarahan karena adanya tukak dan perforasi
dengan peritonitis dan shock yang dapat menimbulkan kematian
5. DIAGNOSIS LABORATORIUM.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan
bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan
kuman secara molekuler.3
5.1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan
hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis
(12.5%) dan leukosit normal (65.9%).3
5.2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.
5

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan
antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media
kultur yang dipakai.3
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering
tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan
secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
5.3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
5.3.1 UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test)
atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih
rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis
dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik
serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid. Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.
5.3.2 TES TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9

yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.4
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.
Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas
100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas
sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.3
5.4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Usaha untuk melacak
DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga
saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian
6. PENATALAKSANAAN
6.1. Perawatan
Penderita perlu dirawat yang bertujuan untuk isolasi, observasi dan pengobatan,
pasien harus tetap berbaring sampai minimal 7 hari, bebas demam atau 14 hari,
keadaan ini sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus
atau perforasi usus. Pada pasien dengan kesadaran menurun diperlukan perbahanperubahan posisi berbaring untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitas.
6.2. Diet

Pada mulanya penderita diberikan bubur saring dan kemudian bubur kasar yang
bertujuan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus dan perforasi usus. Dengan
menkonsumsi makanan dalam bentuk tersebut diatas, tentu pasien kurang mau
menkonsumsinya sehingga pasien mengalami penurunan keadaan umum dan gizi dan
sekaligus memperlambat proses penyembuhan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat secara dini, yaitu
nasi, lauk pauk yang rendah sellulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat
diberikan dengan aman kepada pasien demam tifoid abdominalis.
6.3. Obat-obatan
Pemberian antibiotika yang efektif dapat mengurangi angka kematian (di Amerika
angka kematian turun menjadi 1 % bahkan kurang). Antibiotika kloramfenikol masih
dipakai sebagai obat standar dimana efektivitas obatobatan lain masih dibandingkan
terhadapnya. Untuk strain kuman yang sensitif terhadap kloramfenikol, antibiotika ini
memberikan efek klinis paling baik dibandingkan obat lain. Perlu diketahui
kloramfenikol mempunyai efek toksik terhadap sumsum tulang. Penggunaan
kloramfenikol, demam akan turun rata-rata setelah 5 hari.
Obat-obat lain seperti Ampysilin, amoksisilin dan trimetoprim sulfametoksasole dapat
dipergunakan untuk pengobatan, dimana strain kuman penyebab telah resisten
terhadap kloramfenikol, selain bahwa obat-obat tersebut kurang toksik dibandingkan
kloramfenikol.
Pengobatan carrier kronik selalu menjadi masalah, terutama carrier dengan batu
empedu. Penderita carier tanpa batu empedu, pengobatan dapat dilakukan dengan
pemberian ampisilin atau amoksisilin dan probenesit, tetapi bila disertai kolesistitis
maka diperlukan pengobatan pembedahan selain antibiotika.Imunisasi dengan vaksin
monovalen kuman Salmonella typhi memberikan proteksi yang cukup baik, vaksin
akan merangsang pembentukan serum terhadap antigen Vi, O dan H.
7. PENCEGAHAN DAN PENGAWASAN

Dengan mengetahui cara penyebaran penyakit maka dapat dilakukan pengendalian


dengan menerapkan dasar-dasar hygiene dan kesehatan masyarakat yaitu melakukan
deteksi dan isolasi terhadap sumber infeksi, perlu diperhatikan faktor kebersihan
lingkungan, pembuangan sampah dan clorinasi air minum, perlindungan terhadap
suplai makanan dan minuman, peningkatan ekonomi dan peningkatan kebiasaan
hidup sehat serta mengurangi populasi lalat (reservoir).
Selain itu yang sangat penting adalah sterilisasi pakaian, bahan dan alat-alat yang
digunakan pasien dengan memberikan antiseptik, dianjurkan pula bagi pengunjung
untuk mencuci tangan dengan sabun dan memberikan desinfektan pada saat mencuci
pakaian.
Deteksi carrier dilakukan dengan cara test darah dan diikuti dengan pemeriksaan tinja
dan urine yang dilakukan berulang. Pasien yang carrier positif diperlukan
pengawasan yang lebih ketat yaitu dengan memberikan informasi tentang hygiene
perorangan dan cara meningkatkan standar hygiene agar tidak berbahaya bagi orang
lain.
8. RINGKASAN
Demam tifoid masih merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia. Penyakit
ini terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Manifestasi klinisnya timbul
bervariasi dari ringan sampai berat, dari asimptomatik hingga simptomatik disertai
komplikasi. Pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan bakteriologis, uji serologis, dan
pemeriksaan kuman secara molekuler adalah diagnosis penunjang yang dapat
dilakukan. Dalam penatalaksanaan dilakukan dengan perawatan suportif, diet, dan
obat obatan. Adapun yang terpenting ialah pencegahan dan pengawasan terhadap
penyebaran penyakit ini.

10

Anda mungkin juga menyukai