PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang sampai saat ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang paling penting di seluruh dunia. Berdasarkan laporan
World Health Organization (WHO) tahun 2011 mengenai perkiraan kasus TB secara global
disebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat insidensi TB sebanyak 8,59,2 juta kasus per
tahun,1 sedangkan pada tahun 2009 terdapat 1,7 juta kematian akibat TB.1
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu faktor resiko paling penting dalam
terjadinya perburukan TB. Hubungan antara TB dan DM telah lama diketahui karena pada
kondisi diabetes terdapat penekanan pada respon imun penderita yang selanjutnya akan
mempermudah terjadinya infeksi oleh mikobakteri Mycobacterium tuberculosis (M.tb) dan
kemudian berkembang menjadi penyakit tuberkulosis. Pasien dengan diabetes memiliki risiko
terkena tuberkulosis sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa diabetes.2
Interaksi antara penyakit kronik seperti TB dengan DM perlu mendapatkan perhatian lebih
lanjut karena kedua kondisi penyakit tersebut seringkali ditemukan secara bersamaan yaitu
sekitar 42,1%, terutama pada orang dengan risiko tinggi menderita TB.1-2
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB serta
berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya mortalitas. Peningkatan
reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. Sebaliknya juga bahwa penyakit
tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol
glikemik pada pasien dengan DM, namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti
TB (OAT). Upaya pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat
penting untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk diketahui
bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB dapat mempengaruhi
kontrol glikemik pada penderita DM.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dan urbanisasi
menyebabkan
meningkatnya angka obesitas dan diabetes. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 171 juta orang
yang menderita diabetes yang jumlahnya akan terus meningkat menjadi 366 440 juta di
tahun 2030, tiga perempat dari jumlah penderita diabetes tersebut hidup di negara
berkembang. Sementara itu TB masih menjadi penyakit dengan angka kematian yang tinggi,
terdapatnya komorbid seperti diabetes menyebabkan penatalaksanaan dan kontrol penyakit
TB menjadi sulit. Beberapa penelitian menemukan bahwa kombinasi penyakit TB dan DM
sering ditemukan baik di negara berkembang maupun di negara maju.1
Tahun 1934, Root melakukan penelitian tentang Tuberculosis (TB) dan Diabetes
Mellitus (DM) menemukan bahwa kejadian TB pada orang dewasa dengan DM ternyata
banyak ditemukan dari yang diperkirakan serta risiko untuk terkena TB sangat tinggi pada
penderita DM anak-anak dan remaja. Penyakit TB ini lebih sering ditemukan pada penderita
DM dengan kontrol glikemik yang buruk. Root juga menyatakan bahwa pada pertengahan
abad ke-19, pasien DM yang bisa lolos dari koma diabetikum pada akhirnya akan meninggal
karena penyakit TB. Penelitian yang dilakukan di Philadelphia pada tahun 1952
mengungkapkan bahwa dari 3.106 penderita DM terdapat sekitar 8,4% yang menderita TB
paru dibandingkan dengan 4,3% penderita TB dari 71767 orang tanpa DM. Tuberkulosis
lebih banyak muncul pada penderita DM yang telah memiliki penyakit DM selama lebih dari
10 tahun yaitu sekitar 17% dibandingkan penderita DM kurang dari 10 tahun yaitu hanya
sekitar 5% saja yang menderita TB.1
II.2.
PATOGENESIS
Penelitian di Tanzania pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan asam (BTA)
positif, 9 di antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus yang didiagnosis melalui
tes toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB tambahan memberikan peningkatan
pada prevalens DM menjadi 4%. Gangguan toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien
(16,2%). Sebagai perbandingan survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan dan Shah pada
suatu komunitas mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan GTG sebesar 8,8%.
Gangguan toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi dibandingkan dengan DM. Walaupun
GTG dapat kembali normal pada sejumlah besar kasus TB dengan kemoterapi yang efektif,
namun persentase yang lebih tinggi pada GTG adalah signifikan karena menurut National
Diabetes Data Group dari National Institutes of Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG
dapat berkembang menjadi DM setiap tahunnya. Data-data yang telah ditemukan di atas
menekankan pentingnya dilakukan uji penapisan DM pada pasien TB.1
Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini
disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag)
termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam
intraselular. Hal inilah menjadi salah satu penyebab meningkatnya kepekaan pasien DM
terhadap infeksi.3
asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai panjang merupakan sumber energi penting
pada sebagian besar organisme serta berfungsi pula sebagai hormon darah yang mengatur
berbagai fungsi penting seperti metabolisme glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat
gangguan metabolisme lipid tersebut.1
Sebagian besar pasien yang diotopsi tersebut didiagnosis DM sebelum kematiannya sehingga
diduga amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas tersebut yang menyebabkan DM.
Menurut Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis pada pankreas yang menyebabkan DM
harus dianggap sebagai kelainan imunologi yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan
dengan uji laboratorium rutin, namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses
kerusakan tersebut berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun
sampai kelainan tersebut ditemukan.1
Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang pankreas yaitu
melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap TB sistemik yang disebut
sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas melalui toksin M.tb dan produk-produk
inflamasinya dalam peredaran darah sehingga meningkatkan kerentanan inflamasi (reaksi
hipersensitivitas) dan menimbulkan amiloidosis. Schwartz mengakui fakta bahwa mikroba
tidak perlu selalu ditemukan dalam jaringan pankreas akan membingungkan para ilmuwan
untuk generasi mendatang karena mereka akan menduga bahwa amiloidosis ini adalah suatu
penyakit autoimun akibat ketidakmampuan untuk mengenali infeksi TB tersebut.1
Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu serangan
mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran tuberkel bakteri dalam
darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan kelenjar getah bening abdominal yang
ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans dan epiteloid, merupakan tanda infeksi pada infeksi
TB, biasanya tidak ditemukan pada jaringan pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat
mendorong timbulnya kalsifikasi dan amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk
melaporkan bahwa ketika pankreas mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens
DM.1
TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 6
3. Faktor Pengetahuan
Secara umum Yunus dkk (1992) menyatakan bahwa faktor pengetahuan yang
kurang dari masyarakat merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tuberkulosis paru di Indonesia.4
TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 7
4. Faktor Pekerjaan
Notoatmodjo (1997) menyatakan bahwa jenis pekerjaan dapat berperan di dalam
timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, meliputi faktor lingkungan lingkungan
pekerjaan, stress kerja, aktivitas pekerjaan, dan kerumunan dalam suatu tempat
pekerjaan akan dapat terjadi proses penularan penyakit di antara para pekerja.4
6. Faktor Malnutrisi
Kejadian tuberkulosis paru pada penderita diabetes mellitus adalah faktor
malnutrisi, maka pada semua kasus diabetes mellitus terdapat beberapa derajat
malnutrisi akibat defek pada metabolisme.4
II.6. PENATALAKSANAAN
II.6.1. Interaksi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat juga
harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TB-DM. Pasien TBDM juga memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat terhadap OAT bila dibandingkan
dengan pasien non DM. Rifampisin merupakan suatu zat yang bersifat inducer kuat terhadap
enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam metabolisme suatu zat termasuk enzim sitokrom
P450. Induksi pada enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme obatobatan lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin sehingga mengurangi efek
pengobatan yang diharapkan. Rifampisin dapat menurunkan kadar OHO dalam darah pada
golongan sulfonilurea (gliklazid, gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.1
Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin besarnya
bervariasi antara 20-70%. Takayasu dkk. mengamati bahwa rifampisin menginduksi
hiperglikemia fase awal yang dihubungkan dengan peningkatan penyerapan di usus, namun
tidak ada kasus diabetes yang nyata dan dia berpendapat bahwa rifampisin tidak
diabetogenik. Efek rifampisin secara langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol
glikemik menyebabkan perlunya monitoring kadar gula disertai dengan penyesuaian dosis
OHO terutama pada pasien TB-DM. Isoniasid (INH) dapat menyebabkan toksisitas berupa
TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 10
neuropati perifer yang dapat memperburuk atau menyerupai neuropati diabetik, sehingga
harus diberikan suplemen vitamin B6 atau piridoksin selama pengobatan TB pada pasien
DM. Obat anti TB lain sangat jarang mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH
mungkin dapat menyebabkan hiperglikemia dan pada kasus yang jarang DM mungkin
menjadi sulit untuk dikontrol pada pasien yang menggunakan Pirazinamid.1
Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada farmakokinetik
OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada pasien TB-DM. Diabetes
mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan TB terutama pada pasien-pasien DM
dengan kontrol glikemik yang buruk sehingga angka kegagalan dan kekambuhan TB lebih
tinggi dibandingkan dengan pasien TB non DM. Terdapatnya DM, berat badan yang lebih
besar dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya konsentrasi rifampin
plasma. Penelitian Nijland dkk. mendapatkan kadar rifampisin plasma 53% lebih rendah pada
pasien TB-DM dibandingkan dengan pasien TB non DM. Hal ini menunjukkan bahwa pada
pasien TB-DM yang lebih berat memerlukan dosis rifampin yang lebih besar dan kontrol
glikemik yang lebih baik untuk meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. Diabetes
melitus juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan protein
dengan obat, insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan obat.1
II.6.2. Prinsip Pengobatan TB DM
Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan
terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya
yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan
makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat
badan ke BB ideal. 3
Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah
sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa
plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis
insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan
cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0-144 mg/dl,
HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150
mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi
hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan
adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk
mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai
TB Paru dengan Diabetes Mellitus | 11
obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin,
pertahankan hidrasi dan pemberian cairan intravena bila diperlukan.3
intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai
keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa, dan ketiga;
terdapatnya indikasi penggunaan insulin.3
Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang optimal
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera dimulai dengan
menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The American Association of
Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan insulin analog atau insulin modern
karena lebih sedikit menyebabkan hipoglikemia, penggunaan insulin manusia tidak
dianjurkan. Kebutuhan insulin pada awal penyakit biasanya tinggi namun akan menurun
kemudian seiring dengan tercapainya koreksi glukotoksisitas dan terkontrolnya infeksi.
Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :1
1. Infeksi TB yang berat.
2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau defisiensi endokrin
pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek anabolic.
4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.
5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.1
BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN PULMONOLOGI
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. AW
Umur
: 56 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Alamat
: Lubuk Damar
Pekerjaan
: Wiraswasta
Status
: Menikah
Suku Bangsa
: Aceh-Jawa
Agama
: Islam
Tanggal Masuk RS
: 20 Juni 2014
Tanggal Keluar RS
: 28 Juni 2014
Keluhan tambahan
: Merokok (+)
Riwayat kontak dengan tetangga yang batukbatuk (+)
III.
IV.
STATUS PRESENT
Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
: 26 x/menit, regular
Suhu
: 36,5 oC
PEMERIKSAAN FISIK
1. KEPALA
Bentuk
: Normochepali
Mata
cahaya (+/+)
Hidung
Telinga
Bibir
Rongga mulut
2. LEHER
3. THORAKS
Thoraks Anterior
Inspeksi
Ketinggalan bernafas ( - )
Palpasi
Stem fremitus
Kesan
Ka > Ki
Kanan meningkat
Ka > Ki
Kanan menigkat
Ka > Ki
Kanan meningkat
Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Suara nafas
tambahan
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kiri
Vesikuler (+)
Vesikuler (+)
Vesikuler (+)
Paru kanan
Paru kiri
Ronkhi ( +)
Ronkhi ( + )
Ronkhi ( - )
(-)
(-)
(-)
Thoraks Posterior
Inspeksi
Palpasi
Stem fremitus
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Kesan
Kanan meningkat
Kanan meningkat
Kanan meningkat
Perkusi
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Sonor memendek
Sonor memendek
Sonor memendek
Paru kiri
Sonor
Sonor
Sonor
Auskultasi
Suara nafas
Lap. Paru Atas
Lap. Paru Tengah
Lap. Paru Bawah
Paru kanan
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Vesikuler ()
Paru kiri
Vesikuler (+)
Vesikuler (+)
Vesikuler (+)
Suara nafas
tambahan
Lap. Paru atas
Lap. Paru tengah
Lap. Paru bawah
I.
Paru kanan
Paru kiri
Ronkhi ( + )
Ronkhi ( + )
(-)
(-)
(-)
(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan
Haematology
Hasil
Normal
Satuan
Erytrocyte
4,03
4,5 6,2 x 10
mm3
Haemoglobin
11,4
14 -16
g%
Leucocyte
8.900
4000 10000
mm3
Trombocyte
281.000
150000 - 350000
mm3
Hematokrit
35,8
35 - 50
Klinik Darah
Glukosa AD
359
70 140
mg/dl
Bakteriology
Pewarnaan ZNP, ZN
Negatif (-)
Foto Thorak
Interpretasi Foto :
a. Identitas Foto
Nama
: Tn. AW
Umur
: 56 tahun
Tanggal pembuatan
: 19 Juni 2014
Posisi / Marker
b. Pembacaan Foto
KV
Trakea
: Medial
Soft tissue
Klavikula
Scapula
Diafragma
Jantung
Paru
: Tampak cavitas berdinding tipis pada lapang paru kanan bagian atas
dan paru kanan bagian tengah sulit dinilai karena terdapat scapula
superposisi.
Mediastinum
Para trachea
: Tampak normal
Para hilus
Para kardial
Sinus Costoprhenikus : Tampak tajam pada sisi kanan dan kiri paru
Sinus Kardioprenikus : Tampak tajam pada sisi kanan dan kiri paru
Kesan foto :
Dari hasil foto torak ditemukan KV yang berlebih sehingga discus intervetebralis
yang terlihat sampai vetebrae thoracalis 7. Tampak adanya cavitas berdinding tipis
pada paru kanan bagian atas. Selain itu pada paru kanan dan kiri bagian tengah sulit
dinilai karena adanya scapula superposisi. Pada bagian mediastinum juga terlihat
adanya hipervaskularisasi pada para hilus dan para kardial kanan dan kiri.
V.
RESUME
Pasien laki-laki, umur 56 tahun datang dengan keluhan batuk berdarah sejak
1 bulan yang lalu. Batuk berdarah semakin memberat sejak 2 hari SMRS. Batuk
berdarah timbul sekali dalam sehari dengan warna darah merah segar sebanyak kirakira tiga tetes. . Sebelum timbul batuk berdarah, pasien sudah mengalami batuk
berdahak 1 bulan di rumah. Dahak berwarna kuning kecoklatan. Pasien juga
mengeluh sesak (+) saat batuk, keringat malam banyak (+), nafsu makan menurun (+)
dan berat badan menurun (+). Pasien mengalami keluhan yang sama sejak 1 tahun
yang lalu dan pernah mendapatkan obat paket TB pada selama 6 bulan, pasien sempat
putus obat dan tidak kembali kontrol. Pasien juga menderita DM (Diabetes Melitus)
sudah sejak 10 tahun yang lalu, namun DM tidak terkontrol dan tidak rutin minum
obat.
Pada pemeriksaan fisik: stem fremitus meningkat pada seluruh lapang paru
kanan pada thoraks anterior dan posterior. Pada perkusi didapatkan sonor memendek
pada seluruh lapang paru kanan serta pada auskultasi terdengar vesikuler meningkat
pada seluruh lapang paru kanan. Ditemukan ronkhi pada paru kanan bagian atas
sampai paru kanan bagian tengah.
Pada foto thoraks PA : ditemukan adanya cavitas berdinding tipis pada paru
kanan bagian atas. Paru kanan dan kiri bagian tengah sulit dinilai karena terdapat
scapula superposisi. Tampak hipervaskularisasi (+) pada para hilus dan para kardial
kanan dan kiri..
VI.
DIAGNOSA BANDING
1. TB Paru kategori II
2. Pneumonia
3. Bronkhitis
VII.
DIAGNOSA KERJA
TB Paru kategori II ( putus obat ) + DM tipe II
VIII. PENATALAKSANAAN
-
O2 2 - 3 liter/menit
R/H/Z/E
Curcuma tab 3 x 1
Metformin 3 x 500 mg
300/300/750/500
DAFTAR PUSTAKA
1. Prameshwari, A.I. Hubungan Tuberculosis Pada Diabetes Mellitus. 2013. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Respirasi, FKUI/RSUP Persahabatan. Jakarta; Indonesia.
3. Sidarta, P. Pengelolaan DM Tipe II yang Disertai TB Paru BTA Positif. 2009. Cited
28 Juni 2014. Available from
http://www.usebrains.wordpress.com/2009/09/29/pengelolaan-dm-tipe-II-yangdisertai-tb-paru-bta-positif.
5. Subagyo, Ahmad. TB dan DM Bila Menyerang Bersamaan. 2013. Cited 28 Juni 2013.
Available
from
http://www.klikparu.com/2013/06/tb-dan-dm-bagaimana-bila-
menyerang.html