I - NOVEMBER 2014
untuk Bangsa
DI BALIK LAYAR
KEMERDEKAAN
Mukaddimah
Syajarah
Kisah
Rekam
Berkah Kemederkaan
Bagi Dakwah Islam
di Indonesia
Merekam Ingatan
Perang Aceh
Dari
Ke
Meniti Diantara
Hati
Cinta
Hati M
&
Fakta
eninjau sejarah dengan cinta. Itulah pesan Buya Hamka yang meresap ke dalam
redaksi kami. Majalah Jejak Islam edisi pertama ini adalah sebuah ikhtiar untuk menghadirkan
penulisan sejarah Islam yang haluannya adalah pandangan hidup Islam dan bahan bakarnya
adalah cinta terhadap Islam. Dituangkannya tulisan-tulisan komunitas Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB) ke dalam bentuk majalah adalah upaya untuk lebih mendekatkan sejarah kepada umat
Islam di Indonesia, setelah sebelumnya tulisan kami lebih banyak bergeriliya di dunia maya.
Majalah Jejak Islam edisi perdana ini menyajikan mengangkat tema Di balik Layar
Kemerdekaan, sebuah perbincangan mengenai para pahlawan dan kemerdekaan. Tulisan dari
Tiar Anwar Bachtiar -sejarawan yang juga Ketua Umum PP Pemuda Persis- mengenai berkah
kemerdekaan bagi dakwah Islam, mengisi rubrik Mukaddimah; kemudian Rubrik Syajarah
diawali tulisan dari Tri Shubhi -penggiat Komunitas NuuN- yang meninjau para pahlawan,
serta telisik Susiyanto, dosen IAIN Surakarta, yang mengajak kita menatap riwayat Rahmah El
Yunusiyah, pejuang perempuan yang terpinggirkan dalam arus sejarah di Indonesia.
Tentu saja artikel-artikel lain oleh redaksi Jejak Islam turut meramaikan edisi ini. Tidak pula
tertinggal, rubrik Kisah, sebuah rubrik khas yang meracik penulisan sejarah secara sastrawi
oleh Rizki Lesus. Dalam Dialog, kami hadirkan wawancara dengan Artawijaya, penulis sejarah
Islam yang produktif. Tengok pula rubrik Dari perbendaharaan Lama, yaitu rubrik yang
mengangkat kembali tulisan-tulisan tokoh Islam dari masa silam. Foto-foto esai dalam rubrik
Rekam mencoba merogoh ingatan kita tentang Perang Aceh. Rubrik Catatan Punggung,
menutup rangkaian majalah ini, dengan mengaitkan antara realita masa kini dengan persoalan
sejarah.
Penulisan sejarah yang kami lalui dalam Jejak Islam, berupaya meniti keseimbangan antara
kecintaan terhadap Islam dan penggalian data dan fakta yang kokoh. Mudah-mudahan
Majalah Jejak Islam, yang hendak mempopulerkan sejarah Islam di Indonesia ini, diterima oleh
masyarakat, khususnya umat Islam. Sehingga umat Islam di Indonesia tak lagi asing dengan
masa lalunya sendiri di tanah air. Selamat menikmati.
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press
D A F TA R
isi
06
12
Syajarah
18
20
Halaman
30
Syajarah
44
44 Dialog
@ipotisme
Kisah
Artawijaya
Halaman
R E D A K S I
Syajarah
Arti Kemerdekaan
Beggy Rizkiyansyah
50
Syajarah
60
Buku
Takdir
Peter Carey
64
Rekam
64
Catatan
Punggung
ARTISTIK NZI
ILUSTRASI SAMPUL Qbenk
Mukaddimah
Mukaddimah
Mukaddimah
Mukaddimah
Mukaddimah
m.natsir
12
Syajarah
Tri Shubhi A.
Syajarah
Awal abad ke-20 sering dinisbati sebagai zaman mula hadirnya kesadaran nasional di tanah ini. Kesadaran dari orang-orang
yang menghuni kepulauan ini untuk bersatu dalam sebuah nation yang mandiri, terlepas dari yang kolonial. Zaman tumbuhnya
kesadaran nasional, begitu untuk mudahnya. Atau zaman di mana perasaan ke-Indonesia-an mulai tumbuh pada bangsa kita.
Sekilas ini ialah sebuah pembaharuan yang baik di tanah ini. Sebuah cara pandang baru yang dianut orang-orang, yang telah
mendorong dan kemudian melahirkan Indonesia. Akan tetapi patut direnungkan pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas
perihal ini:
Kebudayaan Barat telah menyelundupkan menyerang hati sanubari kita, jiwa kita, dan caranya menghasilkan keadaan demikian
ialah bahwa sewaktu bangsa-bangsa Barat menjajahi negara-negara kita mereka telah menjalankan dua tindakan penting yang
membawa kesan besar pada nasib kita kini:
Pertama ialah memutuskan Kaum Muslimin daripada ilmu pengetahuan mengenai Islm dengan secara lambat laun menerusi
sistem pelajaran.
Kedua ialah memasukan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu faham ilmu Barat dan unsur-unsur, nilai-nilai, dan faham
serta konsep-konsep Kebudayan Barat yang akan sedikit banyak menggantikan unsur-unsur dan nilai-nilai dan faham serta
konsep-konsep Islm, dan memutuskan hubungan kebudayaan Islm di kalangan Umat Islm seluruhnya1.
Jika kita rasa-rasai, hadirnya kesadaran nasional di awal abad ke-20 yang lalu itu memanglah berasal dari orang-orang bangsa
kita yang terdidik secara Barat. Hanya saja, bukan sekadar semangat kemerdekaan yang mereka usung. Diam-diam mereka pun
mengangkut cara pandang Barat ke negeri ini. Kaum terpelajar Barat inilah yang menggelontorkan ke-modern-an dan sekaligus
berupaya meninggalkan masa lalu. Kaum terpelajar Barat inilah yang pada mulanya hendak menciptakan suatu kebaruan pada
bangsa ini. Mereka yang hendak memisahkan diri, menarik garis tegas antara masa lalu dan masa kesadaran nasional itu.
Tuan Alisjahbana (Sutan Takdir Alsjahbana atau STA) dalam sebuah tulisan bertajuk Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru:
Indonesia-Prae Indonesia jelas menyatakan hal itu. Baginya, pahlawan-pahlawan yang telah berjuang di tanah ini sebelum abad
ke-20, bukanlah pejuang nasional, sebab ide nasionalisme saat itu pun belum ada.
Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain telah dijadikan orang Pahlawan Indonesia. Borobudur telah
menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa yang silam, musik gamelan telah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah
menjadi buku hasil kesustraan Indonesia.
Padahal ketika Dipenogoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu belum ada, belum terbau-bau
perasaan keindonesiaan. Dipenogoro berjuang demi Tanah Jawa itu pun agaknya tiada dapat kita katakan bagi seluruh Tanah
Jawa. Tuanku Imam Bonjol Bagi Minangkabau, Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa baik
Dipenogoro, baik Tuanku Imam Bonjol, atau pun Teungku Umar tidak akan melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya
mereka mendapat kesempatan dahulu?2
14
YAITU BERJUANG
DALAM GARIS
TJITA-TJITA ISLAM
Buya Hamka
Syajarah
Tri Shubhi A.
Syajarah
16
Syajarah
Tri Shubhi A.
Syajarah
1. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, (Kuala Lumpur, 2001).
2. Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4.
3. Tamar Djaya, Peringatan 51 Tahun Pergerakan Islam Indonesia 16 Oktober 1905-16 Oktober 1956, dalam Suara Masjumi edisi 20 Oktober 1956.
4.Hamka, Diponegoro Pahlawan Islam, dalam Majalah Hikmah Edisi 22 Januari 1955.
5.Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985) Cet. Ke-4.
6. ibid
7. Ibid
8. Sanusi dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4
9. Imaduddin dalam Anwar Harjono (Penyunting), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Cet Ke-2.
10. Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah (I), (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), Cet. Ke-2.
11. Hamka, Kebudayaan Islam di Indonesia, Panitia Nasional Menyambut Abad XV Hijriah, Jakarta, 1979.
18
Mohammad
Natsir
DAN PERJUANGANNYA
Serial media dakwah No.70
Islam dan modernisasi
Jum.Akhir 1400 H/April 1980
Moh. Roem
1980
Mohammad Natsir, adalah sebuah cerminan nyata jiwa seorang pahlawan. Namun ironisnya
segala daya upaya serta pengorbanannya tak mendapatkan penghargaan yang layak di Indonesia.
Pemerintah baru mengukuhkan dirinya menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2008. Menunggu
hingga 100 tahun sejak kelahirannya, padahal jasa-jasanya begitu besar kepada Indonesia. Bahkan
ia lebih dihargai di luar negeri ketimbang (pemerintah) di dalam negerinya sendiri. Tulisan Moh
Roem 34 tahun yang lalu ini kami pandang penting untuk mengenang jasa-jasa Moh. Natsir dalam
bermacam sisi, dari Pembela Islam hingga Timor-timor.
20
22
Kisah
Kisah
Elegi 10 November
Resolusi Jihad
yang Ter(di)lupakan
24
anas terik menggantung, diselingi desing pesawat yang terus berputar-putar di langit
Surabaya. Lepas kumandang adzan bersahutan, ketika bulatnya mentari tepat di atas kepala,
pesawat yang berbunyi bagai kepakan sayap jangkrik super cepat, berbising, memuntahkan
puluhan ribu selebaran, puluhan ribu kertas bergoyang-goyang, terhempas angin, memenuhi
atap, mobil, sepeda, jalan, hingga lorong-lorong Kota tua ini.
Di tepi pantai, di penghujung darmaga, puluhan Kapal Perang Divisi 5 Inggris pimpinan Mayjen
EC Mansergh bergoyang di atas Laut Jawa, bersiap meluntahkan moncong-moncongnya. Satu
persatu Tank Sherman, gress dari Perang Dunia didatangkan dari Jakarta. 24 Pesawat tempur
bersiap melesat, menjatuhkan berton-ton bom di kota tepi pantai ini. Belum lagi 24.000
pasukan darat yang siap merangsek, Surabaya Siaga Satu!
Inggris rupanya marah besar, atas kejadian sumir tewasnya Jendral Mallaby akhir Oktober
silam. Namun, rakyat Surabaya menganggap akal-akalan tentara Sekutu saja, seperti yang ada
dalam benak pemuda berusia seperempat abad bernama Soetomo, yang dikenal sebagai Bung
Tomo, seorang pemimpin Barisan Pemberontakkan Rakyat Surabaya.
Pernyataan-pernyataan Inggris berkenaan dengan tewasnya Brigjen Mallaby itu, kita hanya
anggap sebagai ulangan muslihat Jepang ketika hendak menguasai Manchuria dalam
tahun 1931, kenang Bung Tomo yang menganggap Inggris ingin merebut kemerdekaan dari
Indonesia. Ancaman Inggris sekarang memang bukan main-main. Lihat saja isi selebaran yang
berjatuhan itu.
Katanya, pukul 06.00 esok, 10 November 1945, seluruh warga Surabaya harus meninggalkan
tanah kelahiran mereka, harus menyerahkan senjata-senjata yang baru saja direngkuh dari
Jepang, menyambut riuhnya Hari Kemerdekaan silam. Semua harapan akan negeri merdeka,
berdiri di atas kaki sendiri seakan-akan akan sirna esok, menguap ke langit.
Namun, tentu saja semua itu takkan dibiarkan terjadi. Sebab, kata Bung Tomo, rakyat
Surabaya masih memiliki Allah, sang Maha Penolong. Dibacanya lamat-lamat selebaran itu,
ternyata tak hanya warga saja yang harus pergi. Sambil termenung, dibacanya pelan-pelan per
kata.
..Semua pimpinan Indonesia, termasuk pemimpin-pemimpin Pemuda, Kepala Polisi dan
Kepala Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg pada tanggal 9 November pukul
18.00. Mereka harus datang seorang demi seorang dengan membawa senjata-senjata yang
mereka punyai.
Senjata-senjata tersebut harus mereka letakkan di suatu tempat yang berjarak 100 yard (
sekitar 91,4 meter) dari tempat pertemuan. Dari situ orang-orang Indonesia yang dimaksudkan
harus menghadap dengan angkat tangan dan kemudian akan dilindungi. Mereka harus-harus
bersedia menandatangani suatu pernyataan menyerah dengan tiada bersyarat.
Sesaat, bulir bening berkumpul di sudut mata mantan wartawan Domei ini yang juga penyiar
radio ini. Menahan marah, bercampur haru, mukanya memerah, tak kuat membayangkan para
pemimpin Surabaya melakukan apa yang diperintahkan Sekutu dan NICA (Belanda).
Mendidih darah mudaku..Terlukis di depan mataku segenap keadaan, andai kata ultimatum
Inggris tersebut kita penuhi. Pembesar-pembesar Republik Indonesia berbaris, tangan diangkat
ke atas, menyerah...tanpa syarat..
..Rakyat dengan perasaan takut seorang demi seorang meletakkan senjata yang
mereka rebut dari tangan Jepang di muka kaki serdadu-serdadu Inggris....bendera putih
menggantikan sang Dwiwarna yang melambai-lambai pada ujung senjata mereka.
..Tidak jauh dari situ kaki tangan NICA tertawa kecil, mengejek, menertawakan rakyat
Indonesia yang katanya hendak mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Sejenak Bung
Tomo bertekad. Tangannya mengepal kuat, namun segera hatinya melunak. Senyum merekah,
dengan penuh ketenangan.
Tidak terhingga syukurku kepada Allah SWT selelah melihat sikap rakyat yang mengerti akan
isi serta maksud ultimatum tersebut.. guman bung Tomo.
Jihad! Ya, Tak lain ialah rakyat Surabaya tak akan mengamini ultimatum Inggris, tak sudi
bertekuk negeri ini yang baru seumur jagung. Lilhatlah ketika para pemuda berdatangan,
memenuhi Surabaya. Para ulama, ustadz, Kyai, santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah
tengah bersiaga. Ketika anak-anak kecil bersama ayah dan kakaknya tak goyah sedikitpun
untuk menyerahkan senjata.
Mata Bung Tomo semakin berlinang, melihat riuhnya para kakek, para jompo yang semangat
berkobar-kobar menyatakan sanggup bertempur; ingin mereka berhadapan laki-laki dengan
kaum imperialis yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, katanya.
Jihad, sebuah kata nan sederhana, nan membekas begitu dalam dalam lubuk Bung Tomo
Kisah
Rizki Lesus
Kisah
setelah kabar Resolusi Perang Sabil Masyumi dan Resolusi Jihad NU menjadi buah bibir
masyarakat, menjadi panduan umat Islam Indonesia melawan Sekutu.
Bung Tomo teringat beberapa waktu silam ketika berjumpa dengan para ulama yang
begitu tulus dan cinta akan negerinya, para ulama yang siap berkorban untuk Tanah Air
dan Agamanya, seperti yang ia lihat di hadapannya, ketika para Kyai dan santri pun turut
mengangkat senjata untuk berjihad. Wajah-wajah tulus mereka semua kini memenuhi
Surabaya.
Terkenang, wajah yang lama tak bersua, KH Hasyim Asyari, sang pendiri NU, yang
mengukuhkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober silam, dan mengirimkan laskar-laskar Hizbullah
dan Sabilillah, membopong bambu runcing, memenuhi lorong-lorong Surabaya.
Jihad, sebuah kata nan membanggakan mereka, dengan secuplik kata ini, berdatangan
puluhan ribu kaum muslimin mempertahankan negara.
Disertasi William Frederick, In Memoriam. Sutomo, menyebutkan bahwa profesi wartawan
Bung Tomo yang menjadi awal ia menjali hubungan dengan KH Hasyim Asyari, KH Abbas
Cirebon, KH Amin, dll.
Agungkan Allah dalam setiap pidatomu, nasihat KH Hasyim Asyari begitu berbekas di relung
hati Bung Tomo, hingga kelak dalam tiap pidatonya, bung Tomo selalu mengagungkan Engkau
ya Rabb...
Kemuning senja menyapu langit Surabaya. Nasihat Pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asyari
begitu meresap, dimulailah dengan kemantapan membaca basmallah. Mulailah kembali Bung
Tomo siaran di Radio Pemberontakkan, berpidato dengan penuh semangat, dan meneguhkan
rakyat akan kemenangan dan kebesaran Allah.
Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa
kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah saudarasaudara, bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar..Allahu akbar..!
Di penghujung senja, Takbir sungguh memekik, meramaikan gang-gang, mobil, kotak radio
seantero Surabaya. Allahu Akbar.. sebuah pengakuan bahwa bala tentara musuh di seberang
sana hanyalah kecil dibanding kekuasaaanMu ya Rabb...
Bahwa, masih ada hambaMu yang mengingatMu, membesarkanMu, memujiMu, dan berharap
akan datangnya kemenangan, yang tak lain ialah jannah (surga), kemenangan yang besar.
Mati atau Merdeka, Allahu Akbar! sebuah peneguh hati yang begitu meresap, memasuki
relung hati rakyat yang bersiap menyambut genderang perang.
Senja itu, kecemasan berubah menjadi kemantapan, menyambut seruan jihad. Resolusi
Perang Sabil dan Resolusi Jihad NU, yang dikatakan Zainul Milal Bizawe dalam Lakar UlamaSantri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia, yang menggerakkan spiritual
rakyat Surabaya lah yang bertempur melawan penjajah Inggris.
Resolusi Perang Sabil, sebuah pengukuhan atas Resolusi Jihad NU, yang baru saja diumumkan
kemarin, 8 November di Yogyakarta dalam Kongres Umat Islam yang dihadiri seluruh ormas
Islam Indonesia. Ingin sekali, para Tokoh Jawa Timur itu hadir dalam peristiwa bersejarah
tersebut, namun apa daya, panggilan Jihad di Surabaya sangat mereka cintai, hingga semua
harus bersiaga.
Dalam Kongres Umat Islam selama dua hari (7-8 November 1945) tersebut, Partai Masyumi
disetujui umat menjadi satu-satunya partai Islam. Bergabunglah semua elemen umat: NU,
Muhammadiyah, Persis, Sarikat Islam, GPII, dan seluruhnya dalam Partai Masyumi sebagai
wadah perjuangan politik menegakkan Islam di Bumi Pertiwi.
Maklumat kedua selain pendirian Partai Politik Islam, ialah menimbang situasi yang sangat
genting, maka diperlukanlah kesatuan perjuangan melawan penjajahan Inggris yang sudah tiba
di bumi Indonesia. Karenanya, dikeluarkanlah Resolusi Perang Sabil, mengukuhkan Resolusi
Jihad NU, melawan segala bentuk imperialisme.
Wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia untuk berjuang dengan segenap jiwa raganya
dalam melawan dan menghapuskan Imperialisme demi terwujudnya kemerdekaan agama
dan negara, dalam sebuah kesepakatan kemarin yang dihadiri para tokoh bangsa seperti:
KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman W, Saifuddin Zuhri, dan ratusan
Kyai dari Jawa dan Sumatra.
Saat itu pula, Laskar perjuangan umat Islam, Hizbullah dan Sabilillah dikukuhkan untuk
melawan penjajahan dengan pimpinan Kyai Zainul Arifin yang segera bertindak cepat
membentuk kesatuan Laskar di Surabaya. Para Ulama berbondong-bondong berdatangan ke
Rembang, Magelang, Kedu, Mojokerto, Surabaya, memenuhi panggilan jihad.
KH Abbas dari Cirebon jauh-jauh datang ke Jawa Timur, bersama ribuan santrinya. Bersama
KH Bisri dalam mobilnya sambil berteriak Allahu Akbar. Kalimat takbir itu menggema hingga
kemuning senja berganti dengan pekatnya malam.
Para tokoh dan pimpinan masyarakat Surabaya berkumpul, menanti balasan dari Jakarta yang
mencoba melobi Inggris. Terserah Surabaya.. berbalas suara di balik telepon sana. Maka
para tokoh pun berkumpul, Gubernur Surabaya Soeryo, Bung Tomo, KH Wahab Hasbullah,
Roeslan Abdul Gani, KH Mas Mansyur, Dul Arnowo, dan para pimpinan perlawanan.
Malam itu, semua doa berpanjat, berharap kemenangan, atau syahid menemput, di malam
yang begitu lengang melompong Malam itu, makin banyak doa diucapkan, makin keras
permohonan umat kepada Yang Maha besar, agar dilindungi tanah air dan rakyat Indonesia
dari marabahaya, kenang Bung Tomo.
Rukuk sujud pun terlakon. Dalam ruang-ruang sempit itu, para Ulama terus mendoakan rakyat
Surabaya. Bersiap kehilangan semuanya, harta, benda, keluarga, hingga jiwa mereka. Malam
itu begitu emosional, tengah malam, Gubernur Soeryo, sambil tak kuat menahan air mata yang
tiba-tiba meleleh mengguyur pipinya berpamitan dan berucap Selamat berjuang.. penghujung
pidatonya di Radio.
Hari nan dinanti pun tiba, ketika semburat merah pagi pun menyapa pucuk-pucuk Kapal
Perang Inggris di tepi pantai, menyapu pucuk-pucuk gedung yang menjulang di Ibu Kota
Jawa Timur itu. Surabaya masih lengang. Tak ada satu pun warga Surabaya sudi menyerah,
mengibarkan bendera putih dan memenuhi ultimatum Inggris.
Satu dua, nafas terhela. Bum..bum..bum.. peluru perang pertama terpental dari Kapal Perang
di Tanjung Perak, menghancurkan bangunan di Surabaya. Genderang perang pun bermula.
Nafas warga tersengal, masih bersiap membalas, masih tetap tenang dalam lautan dzikir.
Takbir pun dengan teguh menggema di Surabaya. Puluhan ribu rakyat Surabaya dan dari luar
tetap bertahan, bersiap berperang, menahan peluru menunggu komando. Langit Surabaya
menjadi bising saat pesawat itu mengitar, memuntahkan bom. Bumm.. gelegarnya begitu
dahsyat.
Tiga jam pertama, mulai pukul 06.00-09.00 Inggris sudah mulai menggempur besar-besaran
Surabaya, dengan pasukan terbesar yang dikerahkan setelah Perang Dunia II. Kapal Sussex
terus menggempur menyisakan puing-puing yang terus teronggok.
Satu per satu korban bergelimpangan. A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r.. pekik takbir Bung Tomo di
Radio menggema, menggetarkan musuh, menggerakkan massa agar mulai maju menyerang.
Pukul 09.00, ketika mentari mulai hangat, takbir menggema di seluruh penjuru kota. Allaahu
Akbar.. dorr...dorr.. Bum...Bum..Bumm.. Asap mengepul tinggi, darah merah segar
memuncrat hebat.
Satu per satu pasukan darat Inggris mulai keluar dari Kapal Sussex di Tanjung Perak.
Pesawat pun berputar-putar di langit Surabaya. Pagi itu, 10 November, Arek-arek semua
terbakar Takbir, maju tak gentar, melawan para penjajah di hadapan. Gubernur Soeryo terus
menguatkan rakyat. Seluruh elemen rakyat: GPII, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Barisan
Pemberontak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus membalas serangan Inggris.
A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r.. terus menggema. Bum... Asap semakin mengepul memenuhi
Surabaya utara. TKR Divisi VII Surabaya, Jombang, Mojokerto dan pimpinan Hizbullah KH
Abdunnafick Achyar, Husaini, Moh. Muhadjir menjadi garda terdepan di utara.
Darah-darah mengucur deras, pasukan Hizbullah dengan gagah berani bertempur melawan
26
Kisah
Rizki Lesus
Kisah
moncong tank baja yang memang tak berimbang. Bambu lawan tank? Tapi semangat jihad
begitu membara. Lihatlah ketika mereka loncat dari satu tank ke tank lain, membakar tank
dengan senjata seadanya. Darah syuhada pun bercucurah, mengalir deras di Bumi Jihad
Nusantara.
Pagi itu, debu-debu jihad menjadi saksi akan pertarungan terbesar seletah Perang Dunia
II, darahnya menjadi saksi di akhirat kelak bahwa ribuan syuhada berguguran. Ya Allah,
pekik Takbir itu kelak menjadi saksi, bahwa masih ada orang yang menyebut AsmaMu untuk
membela negeri ini.
Bahwa dulu, umatmu begitu ingat akan asmaMu, ketika para perongrong itu ingin mengambil
negeri ini. Bahwa namaMu menggema dalam hati ketika dulu negeri ini masih seumur jagung.
Bahwa masih ada yang membelaMu di tengah kecamuk perang. Bahwa para pendahulu kami
mendengar namaMu menjadi tenang.
Negeri yang dipertahankan bukan dengan leyah-leyeh, bukan dengan seucap kata, bukan
oleh para penghinaMu, tapi oleh darah para syuhada. Lihatlah ketika lebih dari 30.000 orang
menggemakan kumandang takbir di Surabaya. 10 November, ketika darah itu mengalir deras
di lorong-lorong kota, bahwa mereka sangka, akan mudah menguasai Kota ini.
Namun, lihatlah ketika mereka semua yang menyebut namaMu dengan tulus mempertahankan
negeri ini, memanggul bambu, bayonet, hingga para pria tua yang terus menembakkan bedil.
Para wanita yang terus menyiapkan logistik dan merawat korban perang, fardhu ain, begitu
fatwa KH Hasyim Asyari meresap dalam jiwa mereka.
Allahu..Akbar...Allaahu akbar.. Satu persatu anak menjadi yatim, wanita menjadi janda.
anak-anak ini yakin mereka diindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mereka percaya pada
kodrat Ilahi, Mereka berjuang atas nama keadulan dan kebenaran, teriak Gubernur Soeryo.
Tak ada harap selain kemerdekaan atau menjemput maut dalam senyum. Allahu akbar..Allahu
akbar.. detik terus berdetak. Dentuman berbalas tak hentinya menggelayut di Langit Surabaya
yang mendung tertutup asap tebal.
Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya punya mata seribu kurang seratus dan telinga
seribu kurang seratus, jawabnya jenaka.
Kami sering berucap bahwa seorang pemimpin itu harus punya seribu mata dan telinga, artinya
pemimpin harus sering sering melihat dan mendengar dari berbagai saluran yang tidak dimiliki
sembarang orang. Dan memang benar, aku kini sedang sibuk berada di wilayahku di Kedu.
Pada akhir bulan lalu, aku menyelenggarakan rapat Majelis Konsul NU daerah Kedu ditempat
kediamanku (rumah mertuaku), di Kampung Baleduno Purworejo. Hadir dalam rapat itu antara
lain:
RH Mukhtar, Kyai Raden Iskandar, Kyai Ahmad Bunyamin, KH Ahmad Syatibi (semuanya
dari Banyumas), KH Nasuha dan KH Aishom (Keduanya dari Kebumen), KH Hasbullah dan
Muhammad Ali (Keduanya dari Wonosobo), KH Nawawi, KH Mandhur dan Kyai Ali (Ketiganya
dari Parakan), KH Raden Alwi, KH Abdullah Fathani, Abdulwahab Kodri (Ketiganya dari
Magelang), dan beberapa ulama Purworejo KH Mukri, KH Marodi, KH Damanduri, Kyai Sayyid
Muhammad, KH Jamil dan lain-lain bertindak selaku tuan rumah.
Selaku pihak penyelenggara, terlebih dulu kujelaskan arti penting pertemuan tersebut, yang
bertitik tolak dari memuncaknya situasi genting di seluruh Indonesia. Selama satu hari satu
malam, pertemuan Majelis Konsul itu berlangsung dengan penilaian yang mendalam dan
merata, lewat musyawarah dan semangat tinggi. Akhirnya diputuskan dengan bulat:
1) Segenap warga NU lelaki dan perempuan wajib berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dengan niat jihad fisabilillah binizham (terorganisasi).
2) Sebagai konsul NU daerah Kedu, aku dibebani memimpin umat Nahdiyin- nahdiyat, dengan
memusatkan segenap ikhtiar lahir batin dan tawakal Alallah. Oleh sebab itu aku tidak
diizinkan meninggalkan daerah yang menjadi tanggungjawabku utama (Kedu dan Jawa
Tengah pada umumnya). Dengan lain perkataan, aku tidak diizinkan lagi berada di Jakarta
dengan alasan apapun.
3) Oleh karena aku juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia daerah Kedu, aku dibebani
tanggung jawab atas terselenggaranya kekompakan Hizbullah seluruh daerah Kedu sebagai
alat perjuangan bersenjata secara terorganisasi.
Tiga hal inilah yang akan kusampaikan dalam Muktamar Luar Biasa sekarang di Surabaya.
A-l-l-a-a-a-a-h.. hanya Engkau peneguh kami. Semua orang tumpah ruah, hanya niat
karenaMu, ..f-i-s-a-b-i-l-i-l-l-a-a-h.., hanya karenaMu ya Allah. Jihad fisabilillah, Jihad..Jihad..
Sayup-sayup suara terus menggema. Jihad, sebuah kata sarat makna, peneguh hati orangorang beriman. 10 November, kumandang jihad bersambut...
***
Bulatan merah kalender menunjuk tanggal 21 Oktober 1945. Ratusan Ulama pun berdatangan
ke sini, Surabaya. Suasana Surabaya lain dari biasanya. Dikabarkan tentara Sekutu sudah tiba
di Jakarta, dan beberapa hari lagi akan tiba di Surabaya dengan dalih melucuti Jepang yang
sebenarnya sudah mulai dilucuti oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan mereka sebenarnya tak perlu, karena rakyat Indonesia sudah merdeka dan
dapat mengurus semuanya sendiri. Namun, apa daya nafsu berkuasa para penjajah. Lihat
saja, peristiwa di Hotel Yamato September silam saat bendera Belanda berkibar. Tak ayal,
kelak akan ada tantangan besar untuk bangsa ini, karenanya seluruh ulama Rais Syuriah dan
Tanfidziyah NU seluruhnya berkumpul di Kantor Pengurus Besar NU Surabaya, termasuk aku.
Nampak di hadapanku sekarang, di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya satu persatu ulama
berdatangan: Ketua Masjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sekaligus Rais Akbar NU KH
Hasyim Asyari bersama putranya KH A Wahid Hasyim. KH M Dahlan, KH Mukhtar, KH Zuhdi,
KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdulaziz kudus, KH M Ilyas Pekalongan, KH Abdulhalim
Shiddiq Jember, dan lainnya.
Saya sengaja tidak menulis surat kepada saudara, karena saya tahu saudara sibuk dengan
tugas-tugas baru di daerah, tiba-tiba terdengan suara KH Wahid Hasyim sambil menggenggam
tanganku.
Dari mana Gus tahu aku sibuk dengan tugas baru? tanyaku. Hal itu jangan ditanyakan.
Bagaimana situasi Jawa Tengah? tiba-tiba Gus Wahid memecah lamunanku. Tak beda
dengan jakarta, Jawa Tengah bukan lagi terpanggang di atas api, tapi sudah mulai mendidih.
kataku.
Coba ceritakan peristiwa pelucutan Jepang di Magelang, semua orang bangga akan
keberanian anak cucu Syaikh Subakir... Kyai Wahid menyebut penduduk Magelang, sebagai
anak cucu Syekh Subakir.
Menurut cerita lama, pada zaman dahulu seorang Kyai turun dari Gunung Tidar untuk mengusir
setan menggoda penduduk Magelang. KH Mahfudz Siddiq, Ketua PBNU ketika Muktamar NU di
Magelang tahun 1939, menyebut RH Mukhtar (Konsul NU Jateng) dengan Syekh Subakir.
Sebenarnya, tanggal 5 Oktober 1945 Rakyat Magelang dan sekitarnya belum kompak betul
sebagai kekuatan tempur, terlalu banyak dari berbagai golongan. Tapi keberhasilan rakyat
Banyumas melucuti tentara Nipon dan semangat Arek-arek Suroboyo mengibarkan merah putih
di Hotel Yamato 19 September, membakar semangat
Ente dan anak buah mengambil kedudukan di mana? sela Kyai Wahid.
Aku cuman dengan kekuatan satu seksi Hizbullah mengambil posisi di Jalan Raya Pasar
Magelang yang dilindungi Gunung Tidar, H Said di Masjid Jamik, TKR dan Laskar mengepung
Kidobutai, Nipin menguai sekitar stasiun KA dan Jalan Ponco. Peristiwa itu latihan bertempur
dibanding peristiwa mendatang, kataku.
Yaaah, selama ini kan Cuma latihan berkelahi bukan? Kyai Wahid menyela.
Betul, makanya kami banyak yang gugup dan senewen, baru mendengar suara mitraliur
banyak yang terkecing-kencing...! Maklumlah, pengalaman pertama, kataku.
Berapa hari pertempuran dengan Nipon itu? bertanya Kyai Wahid
28
Kisah
Rizki Lesus
Kisah
Pertempuran besar pun tak terelakkan memanas, hingga puncaknya 10 November, ketika kalimat takbir itu meggema di seluruh penjuru
Surabaya. Resolusi Jihad, peneguh hati kaum mukimini, bahwa semua jihad ini hanya ditujukan hanya untuk Allah...
***
Malam hari 9 November 1951. Di depan matanya yang sendu, di atas meja kerjanya, tergolek surat-surat Kabar yang memuat gambarnya di
halaman terdepan. Bung Karno baru menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk esok.
Bung Tomo duduk terpekur. Tak tertahankan air matanya, bulirnya yang begitu bening mengalir deras, meleleh melewati dua pipinya,
membasahi kertas di meja. Di hadapan istrinya, air matanya tumpah ruah tak karuan. Cemas? Memang. Berdebar-debar hatinya.
Gambarku dimuat di halaman depan koran, namaku dibaca khalayak ramai, katanya sesenggukan sambil membayangkan peristiwa enam
tahun silam.
Sedang sesungguhnya, tidak besar arti perbuatanku pada 10 November 1945 bila dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara yang
telah tewas binasa , hancur lebur, karena ikut menyebabkan menjadi besarnya hari 10 November itu. Bisiknya.
Aku masih hidup! Aku masih diizinkan Allah menghirup hawa negara merdeka yang telah dibiayai oleh darah dan jiwa, patriot-patriot sejati
sejak enam tahun lalu. Aku telah berumah tangga, beristri, beranak, aku telah mendekati tercapainya hidup layak sebagai manusia...meskipun
sementarahanya bagi keluargaku sendiri... syukur penuh makna, dalam tangis sendu Bung Tomo.
Tetapi apakah itu tujuan patriot-pahlawan kita ketika mereka itu rela ikhlas menyerahkan jiwa-raga mereka? Untuk perseorangan belaka...?
Ya Allah...yang Mahakasih dan Penyayang, berilah HambaMu ini kekuatan guna menyelesaikan kewajiban-kewajiban kawanku yang telah gugur
itu. Larut dalam tangis Bung Tomo terus mendoakan para pahlawan.
Para manusia manusia yang memilih kematian sebagai jalan terindah hidupnya. Tak dirudung duka, jikalau hidup, maka mereka merayakan
kemenangan, jikalau pun takdir berpisah, maut menyapa, maka syahidlah dirinya, dan kemenangan di akhirat kelak menyapa, surga tanpa
hisab. Merekalah para syuhada di negeri ini. Orang-orang mengenangnya dengan Hari Pahlawan.
Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya
kepada kita, Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan keapda Allah; di antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya. (Al Ahzab: 22-23)
Pustaka:
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compass,
2014)
KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jogjakarta: LKiS, 2013)
Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)
Oooh..praktis cuma satu hari. Nipon-nipon itu sudah dapat dilucuti, tapi ada yang melarikan
diri ke arah Semarang sambil mengacau. Dengan pengalaman di Magelang itu, maka peristiwa
melucuit Kidobutai Nipon di Kota Baru Yogyakarta berlangsung lebih terkooirdinir. Hari itu juga
7 Oktober, meski rakyat korban banyak juga.
Hizbullah mengambil posisi di mana ketika itu? tanya KH Wahid.
Kami berada di sekitar Tugu Kota Yogyakarta, di simpang jalan Solo Magelang, di lain sisi
Kyai Kholil di Balokan dekat stauin KA Tugu. Ada tambahan, ada pemuda Kauman Yogyakarta,
namanya APS (Angkatan Perang Sabil), aku mengisahkan.
Allahu akbar! seru KH A Wahid Hayim.
Namanya revolusi. Umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan, mereka
mengikhlaskan nyawa mereka, apalagi yang lain. Ini harus dicatat dalam sejarah, katanya.
Cuma, namanya begitu seram..Angakatan Perang Sabil, kataku.
Tapi biar saja, itu refleksi dari semangat berjuang dan tafaul, mengharapkan berkah. Lha?
Nama Hizbullah apa tidak seram? Artinya kan tentara Allah. Di Surabaya kini muncul pasukan
baru bernama Malaikatul maut, apa kurang dahsyat? kami tertawa berbareng. Perbincangan
pun tertunda karena Hadratussyaikh Hasyim Asyari tiba dan memberikan arahan.
Dalam bahasa Arab yang fasih, beliau membuka Muktamar ini. Mata kami pun berkaca-kaca
mendengar seruannya, bahwa hanya dengan jihadlah, umat ini menjadi mulia. Haru menyeruak
dalam ruangan sempit itu, dalam suasana genting semua menyimak ucapan Hadratus Syaikh.
..Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu
ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi
sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah...
Demikianlah, maka sesungguhnya, maka pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan
kemerdekaan dan membela kedaulatannya, dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang
ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun.
Barangsiapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti
30
Syajarah
Syajarah
Mereka yang
dilumpuhkan
32
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
Pejuang Aceh
Sumber foto: Laffan, Michael. Islamic Nation
Hood and Colonial Indonesia; The Umma
Below the winds (2003), New York: Rouledge
Curzon
Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang
berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria
yang turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan
menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang
punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.
Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran
itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang
Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan.
Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya.
Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.
Jangan melakukan perundingan apa pun dengan diahanya dengan syarat pemenjaraan
seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun
juga (yang dapat diterima).1
Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan
34
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
wanita aceh
yang seperti ini
ada ratusan,
mungkin ribuan
Zentgraaf
36
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
600 triliun rupiah saat ini.10 Namun angin politik etis kemudian
berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami
kondisi umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan
kukunya, haluan kebijakan berganti menjadi halus. Dipakai
jasa orientalis semacam Christian Snouck Hugronje. Ia
membawa pemerintah kolonial untuk menceraikan Islam dari
politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan ibadah dan
kemasyarakatan semata.11 Putra-putra ningrat dibaratkan.
Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf
(Arab) Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan. Hasilnya terasa,
perlawanan tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan
memang muncul. Namun tak ada yang sedahsyat Perang Jawa,
Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai menggerakkan dirinya
dengan pendidikan dan organisasi. Sebut saja Syarekat Islam,
Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak
ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap
mengancam, seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur
lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus
kebebasan bersuara.
Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya
Jepang bersikap represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang
sudah sepuh ditangkap. Namun protes datang bergelombang.
Kiyai-kiyai dan santri ingin ditahan bersama Hadlratus Syaikh.
Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh dibebaskan. Jepang
mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa. Kebijakan ini
membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan
uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga
penculikan gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat
ulama jijik dan enggan.12 Namun keadaan memaksa mereka
untuk mengambil jalan siasat, bekerja sama dengan Jepang.
Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah satu yang
Syajarah
Percuma pemeriksaan
semacam ini. Percuma!
Sekarang begini
saja. Silakan tuantuan cabut pistolnya
dan tembaklah saya.
Tembak! Tembaak!
Tembaaak!
38
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
Catatan.
1. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
2. Ibid.
3. Hal ini diungkapkan Pangeran kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia. Tiada lagi yang tersisa
bagi dirinya di dunia ini, kecuali mati sebagai sabilillah dalam pertempuran.
4. Radjab, Muhamad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta : PN Balai Pustaka.
5. Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Alfian, Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan.
10. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
11. Suminto, H. Aqib. (1996). Politik Islam Hindia Belanda. Het Kantoor voor Indlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES
12. Zuhri, Saifudin. (1974). Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: PT AlMaarif.
13. I.N, Soebagijo. (1982). K.H. Mas Mansur. Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
14. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
15. Hamka. (2004). Tafsir Al Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
16. Ibid.
17. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
18. Ibid.
19. Nasution, Yunan. Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi di Zaman Orla. Jakarta : Bulan Bintang.
40
Dialog
Dialog
69 tahun silam, para santri dari berbagai daerah dan arek-arek Suroboyo melawan sekutu Inggris. Pekikan takbir Bung Tomo
mengudara, awali perjuangan. Telinga sekutu panas mendengarkan. Peperangan tak terhindarkan. Atas izin Allah, sekutu akhirnya angkat tangan. Indonesia kembali merebut kemerdekaan yang sebelumnya telah diperjuangkan dan diproklamasikan.
Lantas saat ini, apakah kemerdekaan itu masih dipertahankan? Bagaimana sepak terjang para pahlawan meraih kemerdekaan?
Dan apa yang harus kita perbuat untuk mengisi kemerdekaan? Berikut wawancara pegiat JIB, Andi Ryansyah dengan Artawijaya,
sejarawan muda Indonesia yang telah menulis berbagai buku, diantaranya, Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara dan
Belajar dari Partai Masjumi ini, ditemui di sela-sela kesibukannya mengedit buku-buku penerbit terkemuka di bilangan Cipinang,
Jakarta Timur
42
Dialog
Dialog
rumah jang baru kita dirikan belum memuaskan kehendak kita, apakah lantas kita bakar sadja
sampai hangus? Dalam Al-Quran ayat-ayat tentang jihad, banyak diikuti dengan kata sabar.
Sabar disini bukan berarti kita tidak kritis dan nahi munkar, akan tetapi kita tetap terus harus
berjuang sambil bersabar.
44
Arti Kemerdekaan
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
ARTI KEMERDEKAAN
tahun sudah Indonesia mengecap kemerdekaannya. 69
tahun ini mengingatkan untuk berkaca kembali, apa makna
kemerdekaan bagi kita? Apa harga yang harus dibayar untuk
kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaranlembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan
jejak islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan
perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada bahkan jauh
sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berurat dan berakar
kepada perjuangan Islam.Perjuangan para pendahulu kita
untuk merdeka bertolak dari agama Islam yang menentang
penindasan. Yang mengagungkan nama Islam. Merentang dari
barat hingga timur nusantara.Untuk menegakkan hukum Allah.
Semangat jihad rakyat aceh yang seringkali disebut perang
sabil menghujam dalam dada rakyat aceh. Maka kita dapat
melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat aceh,
sehingga didengungkanlah syair-syair Hikayat Perang Sabil
dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabil sering dibacakan
ditengah masyarakat. Didengarkan turun temurun.Maka tak
heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah
hingga 40 tahun lamanya. Bahkan ketika kesultanan Aceh
runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang.
46
Arti Kemerdekaan
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
Pada hakikatnya,
ajaran islam itu
merupakan suatu
revolusi
M. Natsir
48
Syajarah
Beggy Rizkiyansyah
Syajarah
Namun sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini. KalimatDengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.
Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai
jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu,
dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam
Islam, yaitu kalimat, Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!,sesal Buya Hamka.9
Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa ini. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada
merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka
bercerai dari badannya.Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka dihadapan Allah.
Hingga kini, Piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan
konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok
bagi kita.
Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?
Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi
penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman.Sebab dalam ajaran Islam, Islam
itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat. Bukan semata-mata ibadat, tetapi
mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan
iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka. Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita
kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan
diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan,
dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik. 10
Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan Buya Hamka,
Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban
menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi
kenyataan.11
- BUYA HAMKA -
1. Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
2. Peter Carey, Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).
3. Ahmad M Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
4. Enci Amin, Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). (Makassar: Ininnawa, 2008).
5. Ibrahim Alfian, Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992).
6. Andree Feillard, NU Vis--vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. (Yogyakarta : LKiS, 1999).
7. M. Natsir, Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008).
8. Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
9. Ibid
10. Hamka, Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
11. Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
Syajarah
Susiyanto
Syajarah
,
PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG
Oleh : Susiyanto
ituasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadi masyarakat yang
secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat Minang tidak saja menyaksikan
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan tradisional sistem surau, namun juga
tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang disemangati oleh perubahan dan modernisasi.1
Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib di Padang
Panjang dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan sejumlah ulama dari
Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal al-Munir (terbit tahun 1911-1916),
menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.2
Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya yang jauh ke depan.
Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak-anak dan keturunan
semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas.
Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya
sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya
sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam.
Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui pendidikan dan
pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitar mereka.
Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak akan berubah. Oleh karena itu Rahmah
berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan, sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan
52
Syajarah
Susiyanto
Syajarah
54
Syajarah
Susiyanto
dan menjahit merupakan keterampilan yang ia miliki. Ia juga berupaya menularkan ketrampilan ini kepada kaum perempuan yang
ada di sekitarnya. Bahkan Rahmah kemudian mendirikan sebuah sekolah kejuruan yakni,sekolah tenun pada tahun 1936. Untuk
memenuhi tenaga pengajar perempuan, Rahmah mendirikan sebuah sekolah guru untuk perempuan pada tahun 1937.
Dalam masa penjajahan Jepang ia turut menentang sejumlah kebijakan yang ditelorkan oleh Tentara Jepang. Rahmah bersama
para rekannya menggawangi berdirinya organisasi sosial politik yang dinamakan Anggota Daerah Ibu (ADI) di Sumatera Tengah.
Tujuan pendirian ADI ini adalah untuk menentang aktivitas pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah
sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) bagi tentara Jepang.
Berkat keaktifannya, nama Rahmah El-Yunusiah cepat dikenal secara luas dikalangan pergerakan di Jawa. Sampai-sampai
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memasukkan namanya sebagai Anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Namun Rahmah batal pergi ke Jakarta karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padang
Panjang
Jiwa patriot seorang Rahmah El-Yunusiah tergerak tatkala mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kebeteluan ia merupakan anggota Chuo Sang In yang diketuai Engku Syafei sehingga mudah mengakses berita-berita tentang
perubahan konstelasi politik di tanah air. Segera ia mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya.Konon ia adalah orang yang
pertama kali mengibarkan bendera merah putih untuk menyambut kemerdekaan di Sumatra Barat. Hal itu terjadi karena jaringan
komunikasi saat itu masih banyak dikuasai oleh Jepang sehingga kaum muslimin masing jarang yang bisa mengakses. Begitu
bendera berkibar di Perguruan Diniyah Puteri, lantas aktivitas ini diikuti oleh massa yang mengibarkan bendera di kantor-kantor
layanan public. Tentara Jepang tidak mampu memberi tindakan atas gerakan masyarakat Minang ini. Meski demikian masyarakat
telah siap dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.10
Syajarah
56
Syajarah
Susiyanto
Syajarah
58
Syajarah
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat di ambil berbagai kesimpulan
terkait pribadi wanita pejuang Rahmah El-Yunusiah sebagai
berikut:
Pertama, Rahmah El-Yunusiah merupakan tipologi wanita
yang pantang menyerah. Dalam kasusnya terkait akses kaum
perempuan yang terbatas untuk menikmati dunia pendidikan,
ia merupakan salah satu pendobrak tradisi yang berhasil. Ia
sendiri hanya berhasil mendapat pendidikan dasar, namun
kemauannya belajar dan keinginannya untuk memajukan
kaumnya telah mengantarkan dirinya mampu menciptakan
kesempatan bagi kaumnya untuk mendapat akses yang sama
dengan kaum lelaki dalam mereguk ilmu.
Kedua, Rahmah El-Yunusiah adalah wanita pertama yang
mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Berkat
prestasinya ini bahkan Universitas Al-Azhar tidak bisa tidak
harus mengakui kepeloporannya dan mengikuti jejaknya
dengan membuka program kulliyyt al-bant di Mesir. Ia juga
merupakan orang yang pertama mendirikan layanan kesehatan
(Rumah Sakit) khusus untuk kalangan perempuan.
Ketiga, Sebagai seorang pejuang ia memiliki jiwa dan semangat
perjuangan yang kuat. Hal ini terbukti dari keikutsertaannya
dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia juga
turut hadir dan menyumbang peran dalam berbagai aktivitas
yang bermanfaat bagi perjuangan dan hajat kaum muslimin.
Keempat, Atas kiprah dalam lapangan keilmuan dan lapangan
lainnya ia telah mendapat penghargaan yang selayaknya
diperoleh. Ia mendapat gelar (honoris causa) Syaikhah dari
Universitas Al-Azhar, Mesir atas perhatiannya dalam
Susiyanto
Syajarah
[1] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 19; Dalam catatan A.A. Navis,
pembaharuan Islam di Minangkabau terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang pertama, datang dari kalangan padri, yang diarsiteki oleh 3 serangkai haji yakni Haji
Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gelombang kedua, datang setelah gerakan kaum padri ini kandas dalam perjuangan melawan senjata modern selama 34
tahun. Gelombang pembaharuan kedua yang berasal dari Makkah ini ditandai dengan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah secara massif di bawah pimpinan Tuanku
Ismail dari Simabur, yang kemudian bergelar Syaikh Ismail Simabur. Lima puluh tahun kemudian, muncul gelombang ketiga yang lagi-lagi digagas oleh 3 serangkai
haji yang terdiri dari H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Jamil Jambek. Golongan ini menamakan diri sebagai kalangan muda yang ingin
memebrsihkan Islam dari pengaruh mistik dan tarikat. Lihat A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di Minangkabau, dalam Jurnal Analisis
Kebudayaan No. 1 Tahun III/ 1982-1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hlm. 76
[2] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam , hlm, 19-20
[3] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia
Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991, hlm. 35-37
[4] Lihat Junaidatul Munawaroh, Rahmah El Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan, hlm. 1 dalam Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang
Perempuan Islam , hlm. 19
[5] Moenawar Kholil, Nilai Wanita, Cetakan IX, Surakarta: CV. Ramadhani, 1989, hlm. 115
[6] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 10
[7] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 29; Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.),
Tentang Perempuan Islam , hlm, 18-19
[8] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah , hlm. 59
[9] Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Citra Budaya Indonesia,2010, hlm. 427
[10] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 26
[11] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 26
[12] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 30
[13] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 30
[14]Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan Ulama Sufi dalam Pembaharuan Adat, Bandung: Marja, 2007, hlm. 170
[15] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat , hlm. 172
[16] Febri Yulika, Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, Yogyakarta: Gre Publishing, 2012, hlm. 3
[17] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat , hlm. 171-172; Hal-hal terkait masalah adat seperti misalnya tentang harta pusaka yang pembagiannya lebih mengutamakan kaum perempuan juga mendapat sejumlah kritikan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam tentang pembagian harta warisan (faraid).
Diantara kritik yang paling keras terhadap masalah ini berasal dari Syaikh Akhmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia menganggap bahwa hukum warisan berdasarkan adat
semacam itu bersifat haram dan pelakunya bisa dianggap melakukan perbuatan haram. Lama-kelamaan sistem faraid Islam mulai diterima. Meskipun demikian hal ini
juga melalui proses yang panjang. Perubahan dimulai dengan mengadopsi sistem hibah. Selengkapnya baca A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam , hlm. 78-80
[18] Dilihat dari latar belakangnya, feminisme merupakan suatu gerakan yang diawali dengan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan
mengalami diskriminasi. Gerakan ini merupakan upaya untuk mengatasi diskriminasi tersebut. Lihat: Gillian Howie, Between Feminism and Materialism: A Question of
Method, New York: Palgrave Macmillan, 2010, hlm. 27-28; Mansour Fakih, et.all., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2000, hlm. 38; A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Jilid 1, Magelang: IndonesiaTera,
2004, hlm. xxviii. Gerakan feminisme yang lahir di Barat sebenarnya merupakan bentuk respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di
sana, terutama menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Gerakan ini lahir karena adanya anggapan bahwa di Barat kaum perempuan memang dipandang sebelah
mata (misogini). Pandangan ini telah diawali oleh tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles serta diikuti Gereja yang memposisikan wanita tidak setara dengan kaum
lelaki. Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-107
[19] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme , hlm. 113
[20] Studi yang dimaksud dilakukan oleh Dr. Rene Sebitern, Dr. Widdowson, dan Dr. Weidz Haitez-rolf. Lihat: Nuruddin Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa Dengan Wanita?, Yogyakarta: Bina Media, 2005, hlm. 156-157
[21] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan , hlm. 32-33
[22] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan , hlm. 33
60
Buku
Buku
Pangeran Diponegoro
Judul: Takdir. Riwayat
Pangeran Diponegoro
(1785-1855)
2013
62
Rekam
Rekam
merekam
ingatan
Korban-korban bergelimpangan di Kute Reh (Aceh Tenggara), 14 Juni 1904.
Pembantaian ini dipimpin oleh Van Daalen. Dari 516 korban, 248 adalah perempuan
dan anak-anak. Namun tampak seorang anak luput dari pembantaian.
Foto esai kali ini akan mengusung kembali kisahkisah dibalik peperangan tersebut, dari kurban
bergelimpangan, hingga gajah yang terekam dalam
potret masa silam.
64
Rekam
Rekam
66
Catatan Punggung
BUKU DAN
SANAD YANG
TERPUTUS
ketika Buya Hamka tamat mengaji sosialisme kepada
H.O.S Tjokroaminoto di pulau Jawa, rasa terima kasihnya
tidak berhenti disitu. Bersama murid-murid lainnya, ia
mempersembahkan sebuah buku berjudul Islam dan
Sosialisme. Buku itu adalah rangkuman pengajaran
Tjokroaminoto yang telah mereka terima.
Di tahun 1954, M. Natsir, Moh. Roem, Sjafruddin
Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Yusuf Wibisono
dan empat orang lainnya mempersembahkan sebuah
buku untuk guru mereka, H. Agus Salim, yang kala itu
tepat berusia 70 tahun. Lautan pikiran H. Agus Salim
yang terserak mereka kumpulkan menjadi buku dan
diberi judul Djedjak Langkah H. Agus Salim. Buku itu
sebagai persembahan para murid-murid kepada guru
mereka. Mencerminkan sebuah adab yang indah dari
murid terhadap gurunya.
Rupanya angka 70 ini menjadi sebuah tradisi bagi para
murid-murid H. Agus Salim yang kemudian menjadi
tokoh-tokoh Masyumi. Di keluarga bulan bintang
persembahan sebuah buku kepada yang genap berusia
70 tahun menjadi tradisi yang cukup konsisten di
jalani. M. Natsir, Buya Hamka, Yunan Nasution, hingga
generasi berikutnya seperti Anwar Harjono merasakan
tradisi tersebut. Buku 70 tahun tersebut utamanya berisi
riwayat hidup bersangkutan, terkadang ditambah dengan
kesaksian orang-orang terdekat.
Penulisan riwayat hidup bukan sesuatu yang asing dalam
tradisi tulis-menulis bagi para tokoh Islam. Pangeran
Diponegoro setidaknya sudah memulainya sejak ia
menjadi orang yang hidup di pengasingan. Tulisan yang
termuat lebih dari seribu halaman kertas ukuran folio ini.
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press
JIB
Jejak Islam
Untuk Bangsa