Anda di halaman 1dari 35

NO.

I - NOVEMBER 2014

Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia

untuk Bangsa

DI BALIK LAYAR
KEMERDEKAAN

Mukaddimah

Syajarah

Kisah

Rekam

Berkah Kemederkaan
Bagi Dakwah Islam
di Indonesia

Tentang Para Pahlawan


dan Masa Lalu Kita

Elegi 10 November dan


Resolusi Jihad yang
ter(di)lupakan

Merekam Ingatan
Perang Aceh

Dari
Ke

Meniti Diantara

Hati

Cinta

Hati M

&

Fakta

eninjau sejarah dengan cinta. Itulah pesan Buya Hamka yang meresap ke dalam
redaksi kami. Majalah Jejak Islam edisi pertama ini adalah sebuah ikhtiar untuk menghadirkan
penulisan sejarah Islam yang haluannya adalah pandangan hidup Islam dan bahan bakarnya
adalah cinta terhadap Islam. Dituangkannya tulisan-tulisan komunitas Jejak Islam untuk Bangsa
(JIB) ke dalam bentuk majalah adalah upaya untuk lebih mendekatkan sejarah kepada umat
Islam di Indonesia, setelah sebelumnya tulisan kami lebih banyak bergeriliya di dunia maya.
Majalah Jejak Islam edisi perdana ini menyajikan mengangkat tema Di balik Layar
Kemerdekaan, sebuah perbincangan mengenai para pahlawan dan kemerdekaan. Tulisan dari
Tiar Anwar Bachtiar -sejarawan yang juga Ketua Umum PP Pemuda Persis- mengenai berkah
kemerdekaan bagi dakwah Islam, mengisi rubrik Mukaddimah; kemudian Rubrik Syajarah
diawali tulisan dari Tri Shubhi -penggiat Komunitas NuuN- yang meninjau para pahlawan,
serta telisik Susiyanto, dosen IAIN Surakarta, yang mengajak kita menatap riwayat Rahmah El
Yunusiyah, pejuang perempuan yang terpinggirkan dalam arus sejarah di Indonesia.
Tentu saja artikel-artikel lain oleh redaksi Jejak Islam turut meramaikan edisi ini. Tidak pula
tertinggal, rubrik Kisah, sebuah rubrik khas yang meracik penulisan sejarah secara sastrawi
oleh Rizki Lesus. Dalam Dialog, kami hadirkan wawancara dengan Artawijaya, penulis sejarah
Islam yang produktif. Tengok pula rubrik Dari perbendaharaan Lama, yaitu rubrik yang
mengangkat kembali tulisan-tulisan tokoh Islam dari masa silam. Foto-foto esai dalam rubrik
Rekam mencoba merogoh ingatan kita tentang Perang Aceh. Rubrik Catatan Punggung,
menutup rangkaian majalah ini, dengan mengaitkan antara realita masa kini dengan persoalan
sejarah.

Penulisan sejarah yang kami lalui dalam Jejak Islam, berupaya meniti keseimbangan antara
kecintaan terhadap Islam dan penggalian data dan fakta yang kokoh. Mudah-mudahan
Majalah Jejak Islam, yang hendak mempopulerkan sejarah Islam di Indonesia ini, diterima oleh
masyarakat, khususnya umat Islam. Sehingga umat Islam di Indonesia tak lagi asing dengan
masa lalunya sendiri di tanah air. Selamat menikmati.

Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

D A F TA R

isi

06

M u k a d d i m a h Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia


Tiar Anwar Bachtiar

12

Syajarah

18

D a r i P e r b e n d a h a a r a a n Moh. Natsir dan Perjuangannya


Lama
Moh. Roem

20

Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita


Tri Shubhi A

Halaman

30

Syajarah

44

Elegi 10 November dan Resolusi Jihad yang ter(di)lupakan


Rizki Lesus

Mereka yang Dilumpuhkan


Beggy Rizkiyansyah

44 Dialog
@ipotisme

Kisah

Artawijaya

Halaman

R E D A K S I

PEMIMPIN REDAKSI Beggy Rizkiyansyah


REDAKTUR AHLI
KONTRIBUTOR
REDAKTUR
TIM REDAKSI

Tiar Anwar Bachtiar Alwi Alatas


Susiyanto Tri Shubhi A.
Rizki Lesus
M. Rizki Utama
Andi Ryansyah Septian Anto W.

PENERBIT Jejak Islam untuk Bangsa


Jl. Taman Malaka E No.13
Jakarta Timur
E jejakislambangsa@gmail.com
www.jejakislam.net

Syajarah
Arti Kemerdekaan
Beggy Rizkiyansyah

50

Syajarah

Rahmah El Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan


Susiyanto

60

Buku

Takdir
Peter Carey

64

Rekam

Merekam Ingatan Perang Aceh

64

Catatan
Punggung

Buku dan Sanad yang Terputus

ARTISTIK NZI
ILUSTRASI SAMPUL Qbenk

Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia

Mukaddimah

Tiar Anwar Bachtiar

Mukaddimah

Litografi Belanda tentang utusan Aceh yang menyerahkan surat Sultan


Alauddin Riayat Syah (1589-1604) kepada Prins Maurits, pendiri
dinasti Oranje, di bulan Agustus 1602
Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh
(1997). Banda Aceh: The Documentation and Information Center of Acheh

Oleh : Tiar Anwar Bachtiar


(Ketua PP Pemuda Persatuan Islam)

Sejak tanggal 1 Januari 1800 hingga sekitar tahun 1942,


sejarah mencatat wilayah seluas Indonesia dari Sabang
hingga Merauke berada di dalam kekuasaan satu negara
kecil di Eropa, yaitu Belanda. Indonesia yang saat itu disebut
belanda sebagai Nederlands Indie (Hinda Belanda) menjadi
provinsi jauh Belanda. Para raja yang ditaklukkan di berbagai
daerah statusnya diturunkan menjadi bawahan Negeri Belanda
dengan pangkat Regen (Bupati). Mereka diawasi oleh para
Residen yang berada di bawah kontrol Gubernur General
sebagai pemimpin tertinggi penguasa kolonial di negeri
jajahan. Tidak ada satupun residen atau gubernur jendral
di Hindia Belanda yang pribumi, apalagi beragama Islam.
Semuanya orang Belanda yang diangkat oleh Ratu Belanda.
Periode inilah yang sesungguhnya disebut sebagai Periode
Kolonial (penjajahan) dalam sejarah Indonesia.
Karena wilayah Kepulauan Indonesia ini dikuasai oleh penjajah
asing, kafir, danpaling pentingmenyebabkan taraf hidup
masyarakat pribumi merosot sangat tajam dibanding abadabad sebelumnya, maka alasan menjadi sangat lengkap bagi
kaum Muslimin untuk angkat senjata. Abad ke-19 akhirnya
dikenal sebagai abad perlawanan terhadap kolonialisme
Belanda. Pekik Perang Sabil alias jihad fi sabilillah terdengar
di berbagai wilayah yang dikuasai Belanda. Perang terbesar
terjadi di Jawa yang dimotori oleh Pangeran Diponegoro (18251830). Perang terlama dan paling sulit dihadapi Belanda
adalah saat para ulama dan pemimpin Aceh melancarkan
serangan balik menolak kehadiran Belanda di Bumi Rencong

Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia

itu. Di Sumatera Barat terjadi Perang Paderi. Di Banten (1888)


ada perlawanan para santri dan kyai yang sekalipun tidak
jadi meletus namun membuat pemerintah Hindia Belanda
tidak bisa tidur nyeyak. Di Banjar, Pangeran Antasari bergerak
didukung para ulama dan santri. Perlawanan-perlawanan abad
ke-19 itu selalu digerakkan oleh para ulama, kiai, dan satri.
Amat jarang di luar komunitas ini yang melakukan perlawanan
nyata kepada penguasa kolonial. Perlawanan-perlawanan itu
lahir ketika mereka ditindas oleh penguasa asing, kafir, dan
zhalim. Oleh sebab itu, perlawanan sepanjang

Mukaddimah

Tiar Anwar Bachtiar

menyerah kepada Sukutu pimpinan Amerika pada tahun 1945.


Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh pergerakan
Indonesia untuk memerdekakan negerinya. Kalangan Islam
maupun sekuler untuk sementara bersatu memperjuangkan
bebasnya negara baru dari penjajah kafir dengan diawali
Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, suatu
proklamasi berbekal kenekatan dan keberanian, namun
akhirnya bebuah hasil yang manis merdekanya wilayah
kepulauan ini dari cengkeraman penguasa kafir.

Mukaddimah

Pemungutan Suara kedua dalam


Sidang Konstituante 1 Juni 1959
Sumber foto : 30 Tahun Indonesia Merdeka
1950 - 1964 (1985) Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia

Berkah Kemerdekaan dan Dakwah Islam


Selama satu abad perlawanan meletus, giliran kemudian
generasi Muslim terdidik baru lahir pada sekitar awal abad
ke-20. Perlawanan fisik kini bermetamorfosis menjadi
perlawanan yang lebih mengandalkan kekuatan ilmu. Sejarah
menyaksikan lahirnya Sarekat Islam (1911) yang memiliki
gagasan-gagasan revolusioner untuk melepaskan rakyat
Indonesia dari kungkungan Belanda. Organisasi yang didirikan
HOS Tjokroaminoto ini menjadi katalisator politik kepentingankepentingan rakyat Indonesia yang ingin segara bebas dari
kesengsaraan akibat kolonialisme itu. Disusul kemudian
dengan gerakan-gerakan lain yang turut melengkapi hadirnya
SI. Di Yogyakarta lahir Muhammadiyah (1912). Di Bandung
lahir Persatuan Islam (1923). Di Surabaya lahir Nahdhatul
Ulama (1926). Di Sumatra lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(Perti) dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi). Di
beberapa tempat yang lain pun lahir gerakan-gerakan serupa.
Walaupun aksentuasi yang dibawa berbeda-beda, namun
semuanya memiliki cita-cita yang sama: bebaskan Indonesia
dari Belanda!
Tidak dimungkiri bahwa ada gerakan-gerakan lain yang
berhaluan sekuler seperti PKI, PNI, Indische Partij, dan
sebagainya yang ikut juga dalam pergerakan membebaskan
Indonesia. Namun hal yang tidak bisa dielakkan mereka
sebagian besarnya adalah juga umat Islam. Hanya saja, pilihan
perjuangannya bukan untuk menegakkan kedaulatan Islam,
melainkan hanya sekadar mengabdi kepada kepentingan
pragmatis, atau agak lebih tinggi sedikit demi kepentingan
kemanusiaan. Pada masanya, kedua haluan gerakan iniIslam
dan Sekulersaling bersaing untuk sama-sama menyingkirkan
penjajah dan juga saling bersaing untuk mengendalikan
negara baru nantinya.
Singkat cerita, Belanda tidak bisa mempertahankan wilayah
Indonesia lebih lama setelah kekalahan pertama Sekutu pada
Perang Pasifik. Kepulauan ini harus diserahkan kepada Jepang.
Jepang selalu berkampanye akan memberikan kemerdekaan
pada Indonesia, walaupun kelihatannya tidak sungguhsungguh. Jepang hanya mengulur waktu untuk mendapatkan
bala bantuan tentara dan logistik untuk kepentingan Perang
Pasifik yang tengah dihadapinya. Akhirnya Jepang harus

Seandainya kemerdekaan Indonesia ini tidak diperjuangkan


para santri, ulama, dan umat Islam sejak awal kolonialisme
tentu tidak akan ada jejak-jejak Islam yang nyata dalam
proses pendirian negara ini. Sidang-sidang BPUPK (Badan
Penyelidikan Urusan-Urusan Kemerdekaan) menghasilkan
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang sangat terkenal. Inilah nanti
yang menjadi cikal-bakal dasar negara Indonesia: Pancasila
dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 berisi banyak
gagasan dari para pejuang Islam hingga lahir Tujuh Kata
yang dibuang: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya dalam sila pertama Pancasila. Walaupun
pada 18 Agustus 1945 Sila ini berubah, namun semangatnya
masih sangat jelas tersisa dalam kata-kata Ketuhanan
Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo yang menandatangi
perubahan itu memastikan bahwa kata-kata itu maknanya
adalah Tauhid. Sekalipun tidak berkonsekuensi hukum
karena tidak tertuliskan sebagai ayat di dalam undang-undang,
namun siapapun tidak bisa menyangkal kenyataan sejarah
ini. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI], 2005).
Kekuatan dan andil umat Islam dalam kemerdekaan ini
juga terlihat saat dengan begitu percaya diri partai-partai
Islam, antara lain: Masyumi, NU, SI, Perti, dan politisi Muslim
independen lainnya, mengajukan proposal tentang Islam
sebagai dasar negara Indonesia dalam sidang-sidang Majelis
Konstituante tahun 1956-1959. Politik pada akhirnya bukan
selalu soal kebenaran, tapi masalah permainan belaka. Oleh
sebab itu, kekalahan politiklah yang akhirnya harus mengubur
harapan para pejuang Islam menjadikan negara baru ini
berada di bawah naungan Islam. Bahkan sejak Dekrit Presiden
5 Juli 1959, usaha-usaha menyingkirkan para pejuang Islam
dari jalur politik begitu terasa. Berbagai intrik dan fitnah terus
dilancarkan kepada gerakan-gerakan Islam agar semakin jauh
dari kekuasaan. Isu-isu seperti pemberontakan DI/TII tahun 60an, Komando Jihad tahun 70-an, Ekstrem Kanan tahun 80-an,
hingga isu terorisme tahun 2000-an terus dikerek media-media
anti-Islam untuk menjadi alasan sahih menyingkirkan Islam
dari panggung kekuasaan.

Akan tetapi, dalam situasi yang tersudut seperti itu bukan


berarti umat Islam kehilangan kreativitas dan vitalitas untuk
tetap memperjuangkan agama yang diyakini akan membawa
kamaslahatan di dunia dan akhirat. Walaupun secara politik
umat Islam secara sengaja dipinggirkan, justru ini semacam
takdir Allah mengingatkan kembali kepada umat Islam bahwa
ada tugas yang lebih penting dan harus terlebih dahulu
dibenahi sebelum umat Islam memegang tampuk kekuasaan,
yaitu dakwah. Selama hampir setengah abad, umat Islam
memang agak mengabaikan inovasi dalam dakwah. Hampir
semua tersedot perhatiannya pada perkara-perkara politik.
Menjelang kemerdekaan hampir setiap pemimpin Islam
disibukkan memikirkan bagaimana cara Indonesia terbebas
dari penguasa kafir-Belanda. Ini jihad nyata yang ada di
hadapan mereka. Selepas itu, hampir semua disibukkan
mempersiapkan negara baru agar tidak keluar dari jalur
Islam. Inipun sesungguhnya bagian dari dakwah. Hanya saja,
konsentrasinya terlalu banyak kepada kekuasaan. Banyak
garapan dakwah lain yang diabaikan, terutama dalam bidang
kaderisasi umat dan pengembangan ilmu pengetahuan
berdasarkan Islam.
Depolitisasi oleh para penguasa terhadap para politisi

Islam akhirnya membuahkan hasil cukup menggemberikan.


Pak Natsir setelah Masyumi dibubarkan dan mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam berbagai
kesempatan sering mengatakan, Dulu kita berpolitik untuk
dakwah, sekarang kita berdakwah untuk politik. Slogan ini
pun rupanya diamalkan oleh banyak aktivis politik lainnya
yang digusur dari kekuasaan. Mereka akhirnya kembali
terjun ke dunia dakwah. Perguruan-perguruan tinggi Islam
didirikan di mana-mana. Perduruan tinggi sekuler dijadikan
lahan dakwah baru menjadi kader-kader calon pemimpin
melalui gerakan LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Pesantrenpesantren diperbaiki manajemen dan performanya untuk
menyaingi lembaga-lembaga pendidikan Kristen dan sekuler.
Masjid-masjid terus disasar untuk dihidupkan. Lembagalembaga dakwah pun berdiri di mana-mana, bahkan sampai
menjangkau pelosok-pelosok negeri.
Hasilnya cukup menggembirakan. Akhir tahun 1980-an umat
Islam Indonesia mengalami kebangkitan baru setelah pada
awal abad ke-20 memelopori pergerakan politik untuk bangkit
memerdekakan Indonesia. Kali ini prestasi dakwah Islam
telah sampai pada taraf yang belum pernah dicapai selama
dua abad sebelumnya. Gelombang Islamisasi menjangkau
sampai ke berbagai elemen umat. Kaderisasi umat yang mulai

Tiar Anwar Bachtiar

Mukaddimah

Salah satu rekaman foto pertempuran 10 November 1945


Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakarta: Badan
Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

m.natsir

digarap pada era 1960-an mulai berbuah dengan lahirnya


generasi-generasi intelektual Muslim baru. Puncaknya, para
cendekiawan Muslim berkumpul dan menampilkan kekuatan
mereka dengan didirikannya Ikatan Cendeiawan Muslim
Indonesia (ICMI). Penggunaan jilbab bagi muslimah yang
sebelumnya sangat terbatas, sejak tahun 1990-an dapat
secara bebas digunakan akibat desakan dari intelektualintelektual Muslim baru ini. Intelektual muslim baru inipun
tersebar dalam berbagai keahlian hingga umat Islam kini
memiliki banyak ahli yang masuk ke hampir semua sektor
kehidupan, baik formal maupun non-formal. Lembaga-lembaga
pendidikan Islam mulai tampil bukan lagi sebagai lembaga
pendidikan kacangan, melainkan menjadi lembaga favorit dan
unggulan. Media masa yang sebelumnya tidak terlalu percaya
diri untuk mengangkat simbol-simbol Islam, kini sudah bukan
barang aneh Islam dalam berbagai aspeknya yang positif
menjadi pokok perbicangan di media massa. (Selengkapnya
lihat Riclefs, Islamisasi Jawa, 2014).
Oleh sebab itu secara performa, sejak tahun 70-an hingga

saat ini Islam di Indonesia telah kembali menjadi agama


mayoritas. Islam tidak lagi diekspresikan secara sembunyisembunyi jauh dari ruang publik seperti pada zaman Kolonial.
Perjuangan para mujahidin untuk membebaskan negeri ini
dari penguasa kafir yang sangat menindas, baik secara politik,
ekonomi, dan terutama keyakinan, buahnya sudah mulai
dirasakan saat ini. Walaupun ada yang pesimis melihat politik
Indonesia yang hingga saat ini masih belum memberi peluang
kepada gerakan-gerakan Islam untuk berkuasa sepenuhnya
dalam bidang politik, namun sesungguhnya perkara itu hanya
tinggal menunggu waktu. Kecerdikan dan kegigihan para
pejuang Islam setelah kemerdekaan untuk kembali kepada
dakwah, justru membukakan peluang besar semua bidang di
negeri ini akan dapat dikendalikan umat Islam. Sebab, dakwah
ini memang pra-syarat mutlak sebelum umat Islam berkuasa.
Politik kita tergantung pada dakwah kita, demikian ungkap
Pak Natsir lagi dalam satu tulisannya. Ini tentu patut disyukuri,
dipertahankan, dan terus ditingkatkan intensitasnya. Ini adalah
salah satu berkah dari Kemerdekaan yang diperjuangkan para
ulama dan mujahidin Islam terdahulu.Wallhu Alam.

12

Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita

Syajarah

Tri Shubhi A.

Syajarah

Awal abad ke-20 sering dinisbati sebagai zaman mula hadirnya kesadaran nasional di tanah ini. Kesadaran dari orang-orang
yang menghuni kepulauan ini untuk bersatu dalam sebuah nation yang mandiri, terlepas dari yang kolonial. Zaman tumbuhnya
kesadaran nasional, begitu untuk mudahnya. Atau zaman di mana perasaan ke-Indonesia-an mulai tumbuh pada bangsa kita.
Sekilas ini ialah sebuah pembaharuan yang baik di tanah ini. Sebuah cara pandang baru yang dianut orang-orang, yang telah
mendorong dan kemudian melahirkan Indonesia. Akan tetapi patut direnungkan pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas
perihal ini:
Kebudayaan Barat telah menyelundupkan menyerang hati sanubari kita, jiwa kita, dan caranya menghasilkan keadaan demikian
ialah bahwa sewaktu bangsa-bangsa Barat menjajahi negara-negara kita mereka telah menjalankan dua tindakan penting yang
membawa kesan besar pada nasib kita kini:
Pertama ialah memutuskan Kaum Muslimin daripada ilmu pengetahuan mengenai Islm dengan secara lambat laun menerusi
sistem pelajaran.
Kedua ialah memasukan secara halus ke dalam sistem pelajaran itu faham ilmu Barat dan unsur-unsur, nilai-nilai, dan faham
serta konsep-konsep Kebudayan Barat yang akan sedikit banyak menggantikan unsur-unsur dan nilai-nilai dan faham serta
konsep-konsep Islm, dan memutuskan hubungan kebudayaan Islm di kalangan Umat Islm seluruhnya1.
Jika kita rasa-rasai, hadirnya kesadaran nasional di awal abad ke-20 yang lalu itu memanglah berasal dari orang-orang bangsa
kita yang terdidik secara Barat. Hanya saja, bukan sekadar semangat kemerdekaan yang mereka usung. Diam-diam mereka pun
mengangkut cara pandang Barat ke negeri ini. Kaum terpelajar Barat inilah yang menggelontorkan ke-modern-an dan sekaligus
berupaya meninggalkan masa lalu. Kaum terpelajar Barat inilah yang pada mulanya hendak menciptakan suatu kebaruan pada
bangsa ini. Mereka yang hendak memisahkan diri, menarik garis tegas antara masa lalu dan masa kesadaran nasional itu.
Tuan Alisjahbana (Sutan Takdir Alsjahbana atau STA) dalam sebuah tulisan bertajuk Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru:
Indonesia-Prae Indonesia jelas menyatakan hal itu. Baginya, pahlawan-pahlawan yang telah berjuang di tanah ini sebelum abad
ke-20, bukanlah pejuang nasional, sebab ide nasionalisme saat itu pun belum ada.

dan Masa Lalu Kita


Oleh : Tri Shubhi A.
(Penggiat Komunitas NuuN)

Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain telah dijadikan orang Pahlawan Indonesia. Borobudur telah
menjadi bukti keluhuran Indonesia di masa yang silam, musik gamelan telah menjadi musik Indonesia, buku Hang Tuah sudah
menjadi buku hasil kesustraan Indonesia.
Padahal ketika Dipenogoro, Tuanku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu belum ada, belum terbau-bau
perasaan keindonesiaan. Dipenogoro berjuang demi Tanah Jawa itu pun agaknya tiada dapat kita katakan bagi seluruh Tanah
Jawa. Tuanku Imam Bonjol Bagi Minangkabau, Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa baik
Dipenogoro, baik Tuanku Imam Bonjol, atau pun Teungku Umar tidak akan melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya
mereka mendapat kesempatan dahulu?2

14

Tentang Para Pahlawan dan Masa Lalu Kita

Pendapat ini jelas berbeda dengan pandangan kaum Islm.


Bagi kaum Muslimin, siapa yang berjuang menegakkan
kebenaran dan melawan kedzaliman ialah pahalwan Islm.
Apatah lagi mereka yang menegakkan keimanan kepada
Allh Swt di tanah ini. Tak terbantahkan lagi mereka adalah
pahlawan Islm sekaligus pahlawan bangsa. Tamar Djaja,
seorang penulis dari Himpunan Pengarang Islam telah
menyatakan hal ini secara tegas pada tahun 1956.
Kita mengenal nama2 jang mewangi waktu ini dari pahlawan2
kemerdekaan Indonesia zaman lalu seperti Diponegoro dari
Djawa, Imam Bondjol di Sumatera, Sulthan Hasanuddin di
Sulawesi, Pengran Ulu Paha di Maluku, Pangeran Antasari
di Kalimantan Selatan, Pangeran Ratu Idris di Kalimantan
Barat, Teuku Tjik di Tiro, Tenku Umar di Atjeh, Sulthan Thaha
di Djambi dan lain2 jang semuanya itu adalah pahlawan2
Islam jang telah berdjasa mempertahankan tanah air dari
tjengkraman pendjadjahan3.
Buya Hamka turut serta menegaskan hal itu dalam sebuah
artikelnya berjudul Diponegoro Pahlawan Islam. Begini kata
Hamka:
Pangeran Diponegoro bersama pahlawan2 lain jang timbul
di dalam Abad Kesembilan Belas, adalah penentang2
pendjadjahan, pedjuang-pedjuang jang namanja tertulis
sebagai pembuka djalan bagi kita jang datang dibelakang
buat meneruskan perdjuangan mentjapai kemerdekaan Nusa
dan Bangsa. Sebahagian besar dari pedjuang itu mempunjai
tjita-tjita jang sama, jaitu mengusir pendjadjahan kafir dan
menegakkan pemerintahan berdasar Islam. Pangeran
Diponegoro, Imam Bondjol, Teungku Tjhik di Tiro, Pangeran
Antasari di Kalimantan, boleh dikatakan samalah tjorak
mereka, jaitu berdjuang dalam garis tjita-tjita Islam.4

YAITU BERJUANG
DALAM GARIS
TJITA-TJITA ISLAM
Buya Hamka

Syajarah

Tri Shubhi A.

Syajarah

Sentot Ali Basah , Imam Bonjol dan


Kyai Modjo. Ketiganya tampil berjuang
membela kemuliaan Islam.
Sumber foto Sentot dan Kyai Modjo:
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power
of Prohecy. Prince Dipanegara and The End
of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden:
KITLV Press
Sumber foto Imam Bondjol:
Hadler, Jeffrey (2008). A Historiography of
Violence and The Secular State in Indonesia:
Tuanku Imam Bondjol and The Use of History.
The Journal of Asian Studies vol 67 No.3
August 2008.

Perbedaan pendapat antara STA dengan HAMKA dan Tamar


Djaja di atas bukan lah hanya tentang perebutan siapa itu
pahlawan Indonesia. Lebih dari itu, perbedaan pandang itu
juga menunjukkan bahwa kedua pihak memiliki pandangan
yang berbeda tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia. Bagi
STA dan yang mengikutinya, Indonesia ialah sesuatu yang baru,
yang terlepas dari masa lalu, dari Islm dan harus mengikuti
kedinamisan Barat. Mari kita lihat pendapat Tuan Alisjahbana
itu, sengaja saya kutipkan agak panjang.
Sangat perlu dinyatakan dengan tegas, bahwa sejarah
Indonesia dalam abad kedua puluh, ketika lahir suatu generasi
yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf
hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan
negerinya. Zaman sebelum itu, zaman sehigga penutup
abad kesembilan belas, ialah zaman prae-Indonesia, zaman
jahiliah keindonesiaan, yang hanya mengenal sejarah Oost
Indische Compagnie, sejarah Mataram, sejarah Aceh, sejarah
Banjarmasin dan lain-lain.
Zaman pra-Indonesia, zaman jahiliah Indonesia itu setinggitingginya dapat menegaskan pemandangan dan pengertian
kita tentang lahirnya zaman Indonesia, tetapi jangan sekali-kali
zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang
biasa daripadanya. Sebab dalam isinya dan dalam bentuknya
keduanya berbeda: Indonesia yang dicita-citakan oleh generasi
baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan kerajaan
Banten, bukan kerajaan Minangkabau atau Banjarmasin.
Menurut susunan pikiran ini, maka kebudayaan Indonesia pun
tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan
kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau
kebudayaan yang lain5.
Hal ini ditegaskan lagi dalam tulisan beliau yang lain, yang
berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru.

Apakah semangat Indonesia itu? Semangat Indonesia ialah


kemauan yang timbul pada abad kedua puluh ini di kalangan
rakyat yang berjuta-juta ini untuk bersatu dan dengan jalan
demikian hendak berusaha bersama-sama menduduki tempat
yang layak di sisi bangsa-bangsa yang lain. Kamauan dan citacita yang dijunjung dengan insyaf dan sedar serupa ini tidak
pernah terdapat di lingkungan kepulauan ini sebelum abad
kedua puluh.6
Dasar bagi kebaruan itu tak lain, menurut STA, ialah semangat
Barat.Katanya:
Demikian saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan
Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat
sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch.
Hal ini bukan berarti suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa.
Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar:
kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab.7
Hal itu memang tidak disepakati semua pihak. Banyak
kalangan menilai bahwa semangat Barat bisa menyeret bangsa
ini kepada materialisme dan kekeringan batin. Sanusi Pane
mengusulkan agar semangat Barat itu musti dicampur dan
diimbangi dengan semangat Timur. Sebab jika Barat sangat
mencintai kebendaan, Timur memberikan kesejahteraan batin.
Perpaduan keduanya akan menghasilkan kebudayaan yang
sempurna bagi Indonesia.
Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dengan
Arjuna, memesrakan materialism, intellectualisme
dan individualism dengan spiritualisme, perasaan dan
collectivisme.8
Lalu bagaimana pendapat kaum Islm? Cukup di sini

disampaikan dua pernyataan dari Buya Mohammad Natsir dan


Tjokroaminoto. Imaduddin Abdurahman menuturkan bahwa
Buya Natsir pernah menyampaikan kepadanya tentang Barat
dan Timur itu.
Bahwa bagi kita sebagai orang Islam, tidak mengenal
alternatif Barat dan Timur dan sebagainya. Kita hanya
mengenal satu alternatif ialah yang haq dan batil. Di mana kita
harus selamanya tegak memertahankan yang hak.9
Mengenai Persatuan Indonesia. Apakah yang mendorong
umat Islm di kepulauan ini untuk bersatu? Apakah yang
seperti dikatakan oleh STA itu? Kesadaran baru akan sebuah
nation yang merdeka itu kah yang menyebabkan kita hendak
bersatu? Kaum Islm berbeda dalam hal ini. Dalam pidato
di Kongres Syarikat Islam yang pertama di Bandung, 1916,
Tjokroaminoto tegas menyatakan:
Kita cinta bangsa sendiri dan dengan kekuatan ajaran agama
kita, agama Islam, kita berusaha untuk mempersatukan
seluruh bangsa kita, atau sebagian besar bangsa kita.10
Jelas sudah di hadapan kita perbedaan-perbedaan kaum
yang murni terdidik pendidikan Barat dengan Kaum Islm
dalam persoalan ini. Bahwa Indonesia yang dikehendaki dua
pihak adalah Indonesia yang berbeda. Bahwa cara pandang
terhadap masa lalu dari keduanya adalah bertentangan.
Adapun memang secara politik itu disatukan oleh prosesproses formal semacam Sidang-Sidang PPKI, Sidang-Sidang
BPUPKI, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia hingga saat ini. Berani saya sampaikan
bahwa bersatunya kita dengan kaum sekular dalam satu
ikatan NKRI ini barulah persatuan yang diakibatkan proses-

16

Syajarah

Tri Shubhi A.

proses politik. Tentang apa itu Indonesia secara kebudayaan,


secara gagasan, kita belumlah sepenuhnya bersepakat.
Bagi kita kaum Islm Indonesia ialah sesuatu yang tak
terpisah dengan sejarah para ulama, para wali, para Sulthan
dan umat Islm di masa dahulu. Islm kita haruslah Islm
yang menyambung sampai kepada baginda Rasulllh Saw.
Kita tak dapat melupakan Teuku Umar, Pangeran Dipoegoro,
Raja Ali Haji, Hamzah Fanshuri, Abdurauf Singkel, Para Wali
sebagaimana mereka tak melupakan Imam al-Ghazl, Imam
Bukhri, Imam Syafi, Imam al-Asyari, para sahabat Nabi
dan tentu saja Rasulllh Saw. Sejarah kita di Nusantara ini
tersambung sampai kepada Baginda Nabi. Islm kita bukan
lah Islm yang baru, melainkan merupakan ajaran yang telah
dianuti kaum muslimin selama berbelas abad. Oleh karena
itu, perjungan kita bukan lah perjuangan yang terlepas dan
berdiri sendiri. Perjuangan hari ini ialah juga kelanjutan
perjuangan para ulama dan pahlawam Islm di masa lalu. Yang
kita lakukan di negeri Indonesia ini ialah menjalankan dan
melanjutkan risalah Nabi.
Sementara kaum sekular, kaum yang hendak memisahkan
agama dan negara, tak berpandangan semacam itu. STA ialah
seorang yang ekstrem, yang hendak mengajak bangsa ini
untuk berkiblat kepada Peradaban Barat. Namun pikirannya
tak lah tamat, pada masa sekarang ini, kalimat-kalimat yang
lebih halus telah diungkapkan oleh orang-orang sekular untuk
membawa negeri ini ke dalam pemisahan antara agama dan
kehidupan dunia. Kaum semacam ini akan terus menerus
memisahkan sejarah kita dari masa lalu Islm. Atau yang
seperti Sanusi Pane, menyambung-nyambungkan Indonesia ini
dengan zaman Hindu-Buddha tanpa menghiraukan peran dan
kehadiran Islm.
Orang-orang semacam itu akan terus menafsirkan Indonesia
dengan cara-cara mereka. Mereka memang menghendaki
Indonesia seperti yang mereka pikirkan. Mereka terus mengasah
gagasan-gagasan sekuler tentang Indonesia dan selalu berusaha
menerapkannya dalam berbangsa dan bernegara.
Kita tak bisa pula berpangku tangan. Ada dua hal yang

Syajarah

dapat kita perbuat. Pertama kita melanjutkan cita-cita


perjuangan para pendahulu kita. Caranya sekarang ini, ialah
dengan menafsirkan Indonesia dengan cara pandang Islm.
Menyatakan kehendak-kehendak kita atas Indonesia. Sebab
kita telah menangguk-reguk hasil perjuangan pahlawan Islm.
Kemudian mencoba mengetrapkan ajaran Islm bukan hanya
dalam kehidupan pribadi melainkan juga dalam berbangsa
dan bernegara.Kedua kita harus beradab pada para ulama
dan pahlawan Islm. Jangan kita lupakan mereka, jangan
kita tak pedulikan ikhtiar mereka. Pelajari apa yang telah
mereka ikhtiarkan dan apa yang mereka pikirkan. Lanjutkan
perjuangan mereka dan jangan merasa bahwa kita tidak
terlibat dengan mereka. Doaakan pula mereka dan para
syuhada yang telah sangat berkorban bagi bangsa ini, yang
karena pengorbanan mereka kita sekarang ini dapat menikmati
alam kemerdekaan.
Sekarang ini, perhatian kita kaum Islm terlalu tercurah pada
yang politik. Kita membalas mengkaji karya dan ikhtiar pada
ulama dan pahlawan pendahulu kita. Pada akhirnya dalam
gelanggang politik pun kita seperti kehilangan arah. Bahkan
tak jarang kalah. Tak dapat kita menyatakan pendapatpendapat kita dalam politik sebab kita pun tak tahu pasti
apa sebenarnya kehendak kebangsaan kita. Ada baiknya kita
renungkan pandangan Buya Hamka berikut ini:
Nyoto, pemimpin PKI terkenal, orang kedua sesudah Aidit,
jarang absent bila terjadi Kongres-Kongres atau Konferensi
Kebudayaan, sedang dari pihak Islam boleh dikatakan
memandang sepi saja urusan itu. Mereka telah terpelet dalam
urusan politik sehari-hari dan tidak ada yang mempunyai minat
buat memasuki urusan itu 11.
Pada akhirnya marilah kita mendoa kepada Allh Swt, semoga
para ulama, para pahlawan Islm pahlawan bangsa, para
syuhada di negeri ini mendapatkan rahmat yang sebesarbesarnya. Dan semoga kita senantiasa diberikan kekuatan
untuk tetap menyambung peradaban Nabi, sebagaimana para
pendahulu kita menyemainya di negeri ini.
Amin.

1. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, ISTAC, (Kuala Lumpur, 2001).
2. Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4.
3. Tamar Djaya, Peringatan 51 Tahun Pergerakan Islam Indonesia 16 Oktober 1905-16 Oktober 1956, dalam Suara Masjumi edisi 20 Oktober 1956.
4.Hamka, Diponegoro Pahlawan Islam, dalam Majalah Hikmah Edisi 22 Januari 1955.
5.Alisjahbana dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985) Cet. Ke-4.
6. ibid
7. Ibid
8. Sanusi dalam Achdiat K. Mihardja (Penyunting), Polemik Kebudayaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985), Cet. Ke-4
9. Imaduddin dalam Anwar Harjono (Penyunting), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) Cet Ke-2.
10. Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah (I), (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1977), Cet. Ke-2.
11. Hamka, Kebudayaan Islam di Indonesia, Panitia Nasional Menyambut Abad XV Hijriah, Jakarta, 1979.

18

Dari Perbendaharaan Lama

Dari Perbendaharaan Lama

Mohammad

Natsir
DAN PERJUANGANNYA
Serial media dakwah No.70
Islam dan modernisasi
Jum.Akhir 1400 H/April 1980
Moh. Roem

1980
Mohammad Natsir, adalah sebuah cerminan nyata jiwa seorang pahlawan. Namun ironisnya
segala daya upaya serta pengorbanannya tak mendapatkan penghargaan yang layak di Indonesia.
Pemerintah baru mengukuhkan dirinya menjadi Pahlawan Nasional pada tahun 2008. Menunggu
hingga 100 tahun sejak kelahirannya, padahal jasa-jasanya begitu besar kepada Indonesia. Bahkan
ia lebih dihargai di luar negeri ketimbang (pemerintah) di dalam negerinya sendiri. Tulisan Moh
Roem 34 tahun yang lalu ini kami pandang penting untuk mengenang jasa-jasa Moh. Natsir dalam
bermacam sisi, dari Pembela Islam hingga Timor-timor.

Pada tanggal 5 Rabiul Awal 1400 H atau 23 Januari


1980, Sekretaris Jenderal Lembaga Hadiah Internasional
Malik Faisal, Dr. Ahamad Al-Dhubaidh memberitahukan
kepada Bapak Mohammad Natsir, bahwa berdasarkan
keputusan juri, yang diangkat oleh lembaga tersebut
untuk tahun 1400 H, tanda penghargaan di bidang
penghidmatan Islam akan diberikan kepada Mohammad
Natsir dari Indonesia bersama-sama dengan Syekh
Abul Hasan An-Nadwy dari Lucknow, India. Pada tanggal
25 Rabiul Awal 1400 H (12 Februari 1980 M) dalam
suatu upacara yang khidmat di ibukota Arab Saudi
Riyadh tanda penghargaan itu diberikan kepada yang
berkepentingan.
Dalam sebuah piagam tertanggal hari itu dinyatakan,
bahwa Hadiah Internasional Malik Faisal untuk
Pengabdian pada Islam untuk tahun 1400 H
diberikan kepada Saudara Mohammad Natsir sebagai
penghargaan atas karya-karyanya yang patut mendapat
penghargaan dalam bidang pengabdian pada Islam dan
ummatnya yang berupa sebagai berikut:
1.Karya-karyanya di bidang dakwah dan mendirikan
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
2.Usaha-usahanya untuk menyelesakan persoalan kaum
muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara
mereka.
3.Kegigihannya melawan penjajah yang ada di negerinya
Indonesia sampai memperoleh kemerdekaan.
4.Karyanya yang sungguh-sungguh dalam melawan
aliran-aliran destruktif, atheisme, dan lain-lain.
5.Bimbingan yang diberikannya kepada berbagai macam

organisasi di negaranya untuk pembinaan pemuda-


pemuda Islam Indonesia.
Pada malam ini kita berkumpul di tempat yang
sederhana ini untuk bersama-sama menyatakann
berterima kasih kepada Ketua Lembaga Malik Faisal
bin Abdul Aziz, yang telah berkenan menganugerahkan
hadiah internasional kepada pemimpin kita Mohammad
Natsir.
Kita mengucap syukur Alhamdulillah, bahwa Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Penyayang telah meridloi hadiah
itu diberikan kepada pemimpin kita Mohammad Natsir.
Bersama dengan hadiah internasional Malik Faisal,
kami memohon kepada Allah Swt., semoga memberikan
taufik kepada Bapak Mohammad Natsir dalam usahausahanya, dan semoga kami yang menerima didikannya
dapat memanfaatkan pimpinannya.
Bapak Mohammad Natsir sejak masa muda memang
menunjukkan kesetiaan kepada agama yang kuat, serta
ketekunan yang tak kenal lelah.
Dalam masa remaja, ia telah bergerak dalam berbagaibagai organisasi, yang saya hanya menyebut dua saja
yaitu Jong Islamieten Bond dan Persatuan Islam, keduaduanya bergerak dalam bidang studi dan dakwah Islam.
Persatuan Islam menerbitkan majalah yang terkenal
yaitu: Pembela Islam, dimana Mohammad Natsir
mengembangkan penanya yang tajam tapi bijaksana
untuk membela Islam, yang pada waktu itu mendapat
serangan dari berbagai-bagai pihak. Persiapan itu

20

Dari Perbendaharaan Lama

membawa Mohammad Natsir dalam perjuangan


kemerdekaan, dalam mana senantiasa berdiri dan ikut
serta di baris depan.

R.I. diciptakan Belanda yang tergabung dalam Negara


Indonesia Serikat yang sudah merdeka dan berdaulat.
Tinta pengakuan kemerdekaan belum kering sudah ada
sebuah kabupaten Malang, pada tanggal 30 Januari
1950, menyatakan keluar dari Negara Jawa Timur,
ciptaan Van Mook dan menggabungkan diri dengan
Republik Jogya. Tindakan ini segera disusul oleh
Kabupaten Sukabumi, kotapraja Jakarta Raya, Sulawesi
Selatan. Kalau hal yang demikian itu dibiarkan berjalan
terus, akan menjadi kosong negara Indonesia Serikat.
Mohammad Natsir tidak mau melihat Soekarno dan
Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden dari satu
federasi yang kosong. Karena itu Natsir mengajukan
mosi agar yang sedang berjalan itu disalurkan menurut
hukum dan dihindarkan perpecahan.

Dengan melalui zaman Jepang yang sulit, maka pada


permulaan revolusi Mohammad Natsir termasuk orang
yang mendirikan dan ikut memimpin Partai Politik
Masyumi, dalam mana akhirnya ia menjadi Ketua Umum
selama bertahun-tahun.
Setelah partai politik Islam Masyumi dibubarkan oleh
Presiden Sukarno, dengan demikian baginya bidang
politik sudah tertutup, maka bersama-sama dengan
rekan-rekannya secita-cita ia mendirikan Lembaga
Dakwah yang bernama Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII).
Maka tanda penghargaan yang baru diterimanya itu,
adalah satu bukti, bahwa Allah membuka tidak hanya
satu jalan, melainkan berbagai-bagai ikhtiar, bagaimana
seorang muslim dapat berbakti kepada Tuhan, agama,
dan bangsa serta negara.
Di masa sekarang memang sudah tidak ada partai-partai
seperti di kala Mohammad Natsir mendirikan sebuah
partai politik. Masa itu dinamakan zaman demokrasi
liberal atau parlamenter, dan bangsa Indonesia dimasa
itu mencapai kemerdekaan, berkat kerjasama antara
berbagai golongan dan partai politik. Dalam zaman itu
sudah tampak kegigihan Mohammad Natsir melawan
penjajahan yang ada di negerinya Indonesia sampai
tercapai kemerdekaan.
Usaha-usahanya untuk menyelesaikan persoalan kaum
muslimin dan untuk mewujudkan solidaritas diantara
mereka, dapat digambarkan dalam sejarah yang akan
saya ceritakan di bawah ini:
Proklamasi yang dicetuskan oleh bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebenarnya tidak dimengerti
oleh kepemiminan Belanda, yang sudah mengenal
bangsa Indonesia selama 300 tahun.
Kepemimpinan Belanda melihat Proklamasi itu tidaklah
sebagai sesuatu yang tumbuh dari hati nurani bangsa
Indonesia, akan tetapi lebih banyak sebagai bom waktu
Jepang, atau pemikiran-pemikiran Sukarno dan Hatta
saja, atau digerakkan oleh pengaruh komunis. Andai
kata kepemimpinan Belanda mengerti bahwa itu benarbenar isi nurani bangsa Indonesia yang sudah dipimpin
Belanda selama 300 tahun dan yang sekarang mau
merdeka, maka penyelesaian soal Indonesia tidak
akan sampai memakan waktu lama dengan segala
kepahitannya inklusif dua aksi militer. Penyelesaian India
dan Pakistan dengan Inggris, berlainan sekali.
Karena itu Belanda meskipun lahirnya tidak dapat lain
dari melepaskan Indonesia, tapi memakai cara-cara

Dari Perbendaharaan Lama

Media Dakwah Edisi Islam dan Modernisasi


Sumber foto: Andi Ryansyah (JIB)

yang tidak tepat. Akhirnya Indonesia lepas juga dari


ikatan Belanda, tapi dengan cara yang terlalu banyak
kompromis, yang akhirnya tidak berjalan. Indonesia yang
diakui kemerdekaannya mempunyai struktur federal,
terdiri 16 negara bagian, ada ikatan Uni IndonesiaBelanda karena Belanda tidak ikhlas melepaskan Irian
Barat. Ikatan itu akhirnya semua musnah, sebelum
hubungan Belanda Indonesia menjadi baik seperti
sekarang.
Saya ingin mengutip pendapat baru di Nederland
yang meninjau lagi apa yang terjadi 30 tahun yang
lalu. Pemikir muda itu bernama Ben Van Kaam, yang
menamakan bangsanya sendiripada tahun 1949
dihinggapi oleh penyakit buta warna politik. Buta warna
politik itu sebenarnya sudah dimulai tahun 1945, waktu
Belanda tidak mengerti arti proklamasi Indonesia.
Negara Kesatuan Indonesia, yang oleh Belanda tadinya
dibagi-bagi dalam 16 negara bagian dalam struktur
federal, dalam waktu beberapa bulan saja sudah
dipulihkan kembali oleh rakyat. Dalam penyelesaian ini,
Mohammad Natsir sebagai Ketua Masyumi bekerjasama
dengan lain-lain partai, telah memberikan darma
baktinya dengan bijaksana, sehingga persoalan dapat
selesai tanpa membahayakan persatuan bangsa.
Mohammad Natsir menjalankan usaha itu dengan apa
yang dinamakan mosi integral.
Bagaimana caranya? Waktu itu ada 16 negara kecuali

Akhirnya diadakan perundingan antara Republik


Indonesia yang berpusat di Jogja dan Negara Indonesia
serikat yang bertindak juga atas nama Negara Indonesia
Timur dan Negara Sumatera Timur. Maka hasilnya
kembalinya ke Negara Kesatuan dengan UUDS 1950,
yang dalam DPR memilih Soekarno dan Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden. Maka Mohammad Natsir
mendapat kehormatan untuk mengantarkan Negara
Kesatuan Indonesia yang pulih kembali sebagai Perdana
Menteri.
Masyumi sudah tidak ada sekarang. Bapak Natsir
mengabdi kepada Tuhan Islam dan Negara melalui
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Muktamar
Alam Islami dan Majlis Tasisy Rabitah Alam Islami.
Muktamar Alam Islami, adalah badan Internasional
yang pada tahun 1926 didirikan oleh Raja Abdul Azis
Ibnu Saud bersama dengan Mufti Besar Palestina,
Muhammad Amin al Husaini di Mekah Mukarramah.
Pada saat itu hadir dari Indonesia pemimpin-pemimpin
besar kita Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Kyai Haji
Mas Mansur, Mohammad Natsir yang saat ini adalah
Wakil Presiden Muktamar Alam Islami. Kita bersyukur
dan bangga, bahwa jalan yang sudah dirintis oleh anak
moyang ummat Islam Indonesia pada saat ini diteruskan
oleh Mohammad Natsir.
Duduk dalam badan Internasional bagi Mohammad
Natsir sifatnya tidak berlainan dan bertentangan
dengan duduk dalam badan nasional. Sebab berbakti
kepada Tuhan, berdasarkan keadilan dan kebenaran
sama arahnya, apakah kita di dalam atau di luar negeri.
Demikianlah umpamanya dalam masalah penyelesaian
soal Timor Timur. Sebagaimana kita ketahui, Timor Timur
itu berada dalam penjajahan Portugis berabad-abad
lamanya. Setelah Indonesia berabad lama mengecap
kemerdekaan, maka dalam saat meninggalkan
jajahannya begitu saja dan membiarkan rakyat dikuasai
oleh golongan yang berhaluan kiri. Ribuan pengungsi
mengalir ke wilayah Indonesia. Timor Timur sendiri

merupakan daerah tak bertuan. Tentu saja Indonesia


tahu apa yang harus dikerjakan, tidak lain bersatu
dengan bagian yang dengan kekerasan dan telah wajar
telah dipisahkan itu.
Pada waktu itu ada negara-negara yang tidak kenal
persoalannya, ada negara anggota Konferensi Islamyang
ikut mengutuk Indonesia sebagai negara yang expansif
menyaplok negara lain. Negara-negara komunis tentu
anti-Indonesia. Sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam
Islami, Mohammad Natsir mengajukan satu usul resolusi
dalam konferensinya yang mendudukkan bagaimana
persoalan yang sebenarnya dan menyokong pendirian
serta langkah yang diambil oleh Indonesia. Usul resolusi
itu diterima dengan suara bulat dan dikirimkan ke PBB
dan organisasi-organisasi internasional lainnya, dan
khususnya kepada pemerintah negara anggota dari
konferensi menteri-menteri luar negeri Islam.
Selanjutnya, Mohammad Natsir mengadakan kontak
dengan pemimpin-pemimpin yang berpengaruhdi
negara-negara Islam seperti Pakistan, dan mengadakan
konferensi pers guna menghilangkan salah paham.
Salahsatu slogan yang dilancarkan Natsir dalam
konferensi persnya berbunyi We dont wont a seconder
Anggola in South East Asia (Kita tidak suka menjadi
Anggola kedua di Asia Timur Tengah), menjadi kata
bersayap dan headlinedi surat-surat kabar Pakistan.
Dengan kata yang ringkas itu, khalayak ramai mudah
menanggapi apa sebenarnya hakekat persoalan Timor
Timur itu.
Kalau ada sesuatu yang penting bagi Indonesia dalam
kesempatan apapun Mohammad Natsir akan berbuat,
diminta atau tidak, sesuai keadilan. Tidak semata-mata
soal yang besar-besar yang menarik minat Mohammad
Natsir. Ia justru di kalangan kawan-kawan yang dekat
sering mendapat sesalan, ia terlalu banyak menerima
tamu. Ia terlalu banyak memperhatikan soal-soal yang
kecil-kecil yang sebenarnya dapat diserahkan kepada
pembantu-pembantunya. Ia suka menerima siapa
saja yang ingin ketemu dengannya. Mohammad Natsir
berpendirian, ia suka menerima tamu-tamu yang
penting-penting , yang membawakan soal-soal besarbesar. Tapi bagaimana orang dapat tahu soal besar,
kalau ia tidak tahu soal kecil.
Demikianlah dalam Dewan Dakwah yang ia pimpin, ia
siapkan pemuda-pemuda Islam Indonesia yang pada
saatnya akan mengganti generasi yang sekarang sedang
menjalani bakti.
Kita doakan semoga Bapak Mohammad Natsir
dipelihara kekuatannya agar masih dapat meneruskan
pimpinannyakepada ummat yang sangat memerlukan
pimpinan itu.

22

Kisah

Kisah

Elegi 10 November

Resolusi Jihad
yang Ter(di)lupakan

Oleh : Rizki Lesus


(Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa)

Mobil hancur akibat ledakan granat tangan di Surabaya


Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).
Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

24

Elegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan

anas terik menggantung, diselingi desing pesawat yang terus berputar-putar di langit
Surabaya. Lepas kumandang adzan bersahutan, ketika bulatnya mentari tepat di atas kepala,
pesawat yang berbunyi bagai kepakan sayap jangkrik super cepat, berbising, memuntahkan
puluhan ribu selebaran, puluhan ribu kertas bergoyang-goyang, terhempas angin, memenuhi
atap, mobil, sepeda, jalan, hingga lorong-lorong Kota tua ini.
Di tepi pantai, di penghujung darmaga, puluhan Kapal Perang Divisi 5 Inggris pimpinan Mayjen
EC Mansergh bergoyang di atas Laut Jawa, bersiap meluntahkan moncong-moncongnya. Satu
persatu Tank Sherman, gress dari Perang Dunia didatangkan dari Jakarta. 24 Pesawat tempur
bersiap melesat, menjatuhkan berton-ton bom di kota tepi pantai ini. Belum lagi 24.000
pasukan darat yang siap merangsek, Surabaya Siaga Satu!
Inggris rupanya marah besar, atas kejadian sumir tewasnya Jendral Mallaby akhir Oktober
silam. Namun, rakyat Surabaya menganggap akal-akalan tentara Sekutu saja, seperti yang ada
dalam benak pemuda berusia seperempat abad bernama Soetomo, yang dikenal sebagai Bung
Tomo, seorang pemimpin Barisan Pemberontakkan Rakyat Surabaya.
Pernyataan-pernyataan Inggris berkenaan dengan tewasnya Brigjen Mallaby itu, kita hanya
anggap sebagai ulangan muslihat Jepang ketika hendak menguasai Manchuria dalam
tahun 1931, kenang Bung Tomo yang menganggap Inggris ingin merebut kemerdekaan dari
Indonesia. Ancaman Inggris sekarang memang bukan main-main. Lihat saja isi selebaran yang
berjatuhan itu.
Katanya, pukul 06.00 esok, 10 November 1945, seluruh warga Surabaya harus meninggalkan
tanah kelahiran mereka, harus menyerahkan senjata-senjata yang baru saja direngkuh dari
Jepang, menyambut riuhnya Hari Kemerdekaan silam. Semua harapan akan negeri merdeka,
berdiri di atas kaki sendiri seakan-akan akan sirna esok, menguap ke langit.
Namun, tentu saja semua itu takkan dibiarkan terjadi. Sebab, kata Bung Tomo, rakyat
Surabaya masih memiliki Allah, sang Maha Penolong. Dibacanya lamat-lamat selebaran itu,
ternyata tak hanya warga saja yang harus pergi. Sambil termenung, dibacanya pelan-pelan per
kata.
..Semua pimpinan Indonesia, termasuk pemimpin-pemimpin Pemuda, Kepala Polisi dan
Kepala Radio Surabaya harus melaporkan diri di Bataviaweg pada tanggal 9 November pukul
18.00. Mereka harus datang seorang demi seorang dengan membawa senjata-senjata yang
mereka punyai.
Senjata-senjata tersebut harus mereka letakkan di suatu tempat yang berjarak 100 yard (
sekitar 91,4 meter) dari tempat pertemuan. Dari situ orang-orang Indonesia yang dimaksudkan
harus menghadap dengan angkat tangan dan kemudian akan dilindungi. Mereka harus-harus
bersedia menandatangani suatu pernyataan menyerah dengan tiada bersyarat.
Sesaat, bulir bening berkumpul di sudut mata mantan wartawan Domei ini yang juga penyiar
radio ini. Menahan marah, bercampur haru, mukanya memerah, tak kuat membayangkan para
pemimpin Surabaya melakukan apa yang diperintahkan Sekutu dan NICA (Belanda).
Mendidih darah mudaku..Terlukis di depan mataku segenap keadaan, andai kata ultimatum
Inggris tersebut kita penuhi. Pembesar-pembesar Republik Indonesia berbaris, tangan diangkat
ke atas, menyerah...tanpa syarat..
..Rakyat dengan perasaan takut seorang demi seorang meletakkan senjata yang
mereka rebut dari tangan Jepang di muka kaki serdadu-serdadu Inggris....bendera putih
menggantikan sang Dwiwarna yang melambai-lambai pada ujung senjata mereka.
..Tidak jauh dari situ kaki tangan NICA tertawa kecil, mengejek, menertawakan rakyat
Indonesia yang katanya hendak mempertahankan kemerdekaan tanah airnya. Sejenak Bung
Tomo bertekad. Tangannya mengepal kuat, namun segera hatinya melunak. Senyum merekah,
dengan penuh ketenangan.
Tidak terhingga syukurku kepada Allah SWT selelah melihat sikap rakyat yang mengerti akan
isi serta maksud ultimatum tersebut.. guman bung Tomo.
Jihad! Ya, Tak lain ialah rakyat Surabaya tak akan mengamini ultimatum Inggris, tak sudi
bertekuk negeri ini yang baru seumur jagung. Lilhatlah ketika para pemuda berdatangan,
memenuhi Surabaya. Para ulama, ustadz, Kyai, santri dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah
tengah bersiaga. Ketika anak-anak kecil bersama ayah dan kakaknya tak goyah sedikitpun
untuk menyerahkan senjata.
Mata Bung Tomo semakin berlinang, melihat riuhnya para kakek, para jompo yang semangat
berkobar-kobar menyatakan sanggup bertempur; ingin mereka berhadapan laki-laki dengan
kaum imperialis yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, katanya.
Jihad, sebuah kata nan sederhana, nan membekas begitu dalam dalam lubuk Bung Tomo

Kisah

Rizki Lesus

Kisah

setelah kabar Resolusi Perang Sabil Masyumi dan Resolusi Jihad NU menjadi buah bibir
masyarakat, menjadi panduan umat Islam Indonesia melawan Sekutu.
Bung Tomo teringat beberapa waktu silam ketika berjumpa dengan para ulama yang
begitu tulus dan cinta akan negerinya, para ulama yang siap berkorban untuk Tanah Air
dan Agamanya, seperti yang ia lihat di hadapannya, ketika para Kyai dan santri pun turut
mengangkat senjata untuk berjihad. Wajah-wajah tulus mereka semua kini memenuhi
Surabaya.
Terkenang, wajah yang lama tak bersua, KH Hasyim Asyari, sang pendiri NU, yang
mengukuhkan Resolusi Jihad NU 22 Oktober silam, dan mengirimkan laskar-laskar Hizbullah
dan Sabilillah, membopong bambu runcing, memenuhi lorong-lorong Surabaya.
Jihad, sebuah kata nan membanggakan mereka, dengan secuplik kata ini, berdatangan
puluhan ribu kaum muslimin mempertahankan negara.
Disertasi William Frederick, In Memoriam. Sutomo, menyebutkan bahwa profesi wartawan
Bung Tomo yang menjadi awal ia menjali hubungan dengan KH Hasyim Asyari, KH Abbas
Cirebon, KH Amin, dll.
Agungkan Allah dalam setiap pidatomu, nasihat KH Hasyim Asyari begitu berbekas di relung
hati Bung Tomo, hingga kelak dalam tiap pidatonya, bung Tomo selalu mengagungkan Engkau
ya Rabb...
Kemuning senja menyapu langit Surabaya. Nasihat Pendiri NU Hadratussyaikh Hasyim Asyari
begitu meresap, dimulailah dengan kemantapan membaca basmallah. Mulailah kembali Bung
Tomo siaran di Radio Pemberontakkan, berpidato dengan penuh semangat, dan meneguhkan
rakyat akan kemenangan dan kebesaran Allah.
Slogan kita tetap sama: Merdeka atau Mati. Dan kita tahu, Saudara-saudara, bahwa
kemenangan akan ada di pihak kita, karena Tuhan ada di sisi yang benar. Percayalah saudarasaudara, bahwa Tuhan akan melindungi kita semua. Allahu Akbar..Allahu akbar..!

Bung Tomo, Pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) di markasnya.


Sumber foto: Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)

Di penghujung senja, Takbir sungguh memekik, meramaikan gang-gang, mobil, kotak radio
seantero Surabaya. Allahu Akbar.. sebuah pengakuan bahwa bala tentara musuh di seberang
sana hanyalah kecil dibanding kekuasaaanMu ya Rabb...
Bahwa, masih ada hambaMu yang mengingatMu, membesarkanMu, memujiMu, dan berharap
akan datangnya kemenangan, yang tak lain ialah jannah (surga), kemenangan yang besar.
Mati atau Merdeka, Allahu Akbar! sebuah peneguh hati yang begitu meresap, memasuki
relung hati rakyat yang bersiap menyambut genderang perang.
Senja itu, kecemasan berubah menjadi kemantapan, menyambut seruan jihad. Resolusi
Perang Sabil dan Resolusi Jihad NU, yang dikatakan Zainul Milal Bizawe dalam Lakar UlamaSantri dan Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia, yang menggerakkan spiritual
rakyat Surabaya lah yang bertempur melawan penjajah Inggris.
Resolusi Perang Sabil, sebuah pengukuhan atas Resolusi Jihad NU, yang baru saja diumumkan
kemarin, 8 November di Yogyakarta dalam Kongres Umat Islam yang dihadiri seluruh ormas

Percayalah saudarasaudara, bahwa Tuhan


akan melindungi kita
semua. Allahu Akbar..
Allahu akbar..!
Bung Tomo

Islam Indonesia. Ingin sekali, para Tokoh Jawa Timur itu hadir dalam peristiwa bersejarah
tersebut, namun apa daya, panggilan Jihad di Surabaya sangat mereka cintai, hingga semua
harus bersiaga.
Dalam Kongres Umat Islam selama dua hari (7-8 November 1945) tersebut, Partai Masyumi
disetujui umat menjadi satu-satunya partai Islam. Bergabunglah semua elemen umat: NU,
Muhammadiyah, Persis, Sarikat Islam, GPII, dan seluruhnya dalam Partai Masyumi sebagai
wadah perjuangan politik menegakkan Islam di Bumi Pertiwi.
Maklumat kedua selain pendirian Partai Politik Islam, ialah menimbang situasi yang sangat
genting, maka diperlukanlah kesatuan perjuangan melawan penjajahan Inggris yang sudah tiba
di bumi Indonesia. Karenanya, dikeluarkanlah Resolusi Perang Sabil, mengukuhkan Resolusi
Jihad NU, melawan segala bentuk imperialisme.
Wajib bagi setiap orang Islam di Indonesia untuk berjuang dengan segenap jiwa raganya
dalam melawan dan menghapuskan Imperialisme demi terwujudnya kemerdekaan agama
dan negara, dalam sebuah kesepakatan kemarin yang dihadiri para tokoh bangsa seperti:
KH Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, M. Natsir, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman W, Saifuddin Zuhri, dan ratusan
Kyai dari Jawa dan Sumatra.
Saat itu pula, Laskar perjuangan umat Islam, Hizbullah dan Sabilillah dikukuhkan untuk
melawan penjajahan dengan pimpinan Kyai Zainul Arifin yang segera bertindak cepat
membentuk kesatuan Laskar di Surabaya. Para Ulama berbondong-bondong berdatangan ke
Rembang, Magelang, Kedu, Mojokerto, Surabaya, memenuhi panggilan jihad.
KH Abbas dari Cirebon jauh-jauh datang ke Jawa Timur, bersama ribuan santrinya. Bersama
KH Bisri dalam mobilnya sambil berteriak Allahu Akbar. Kalimat takbir itu menggema hingga
kemuning senja berganti dengan pekatnya malam.
Para tokoh dan pimpinan masyarakat Surabaya berkumpul, menanti balasan dari Jakarta yang
mencoba melobi Inggris. Terserah Surabaya.. berbalas suara di balik telepon sana. Maka
para tokoh pun berkumpul, Gubernur Surabaya Soeryo, Bung Tomo, KH Wahab Hasbullah,
Roeslan Abdul Gani, KH Mas Mansyur, Dul Arnowo, dan para pimpinan perlawanan.
Malam itu, semua doa berpanjat, berharap kemenangan, atau syahid menemput, di malam
yang begitu lengang melompong Malam itu, makin banyak doa diucapkan, makin keras
permohonan umat kepada Yang Maha besar, agar dilindungi tanah air dan rakyat Indonesia
dari marabahaya, kenang Bung Tomo.
Rukuk sujud pun terlakon. Dalam ruang-ruang sempit itu, para Ulama terus mendoakan rakyat

Surabaya. Bersiap kehilangan semuanya, harta, benda, keluarga, hingga jiwa mereka. Malam
itu begitu emosional, tengah malam, Gubernur Soeryo, sambil tak kuat menahan air mata yang
tiba-tiba meleleh mengguyur pipinya berpamitan dan berucap Selamat berjuang.. penghujung
pidatonya di Radio.
Hari nan dinanti pun tiba, ketika semburat merah pagi pun menyapa pucuk-pucuk Kapal
Perang Inggris di tepi pantai, menyapu pucuk-pucuk gedung yang menjulang di Ibu Kota
Jawa Timur itu. Surabaya masih lengang. Tak ada satu pun warga Surabaya sudi menyerah,
mengibarkan bendera putih dan memenuhi ultimatum Inggris.
Satu dua, nafas terhela. Bum..bum..bum.. peluru perang pertama terpental dari Kapal Perang
di Tanjung Perak, menghancurkan bangunan di Surabaya. Genderang perang pun bermula.
Nafas warga tersengal, masih bersiap membalas, masih tetap tenang dalam lautan dzikir.
Takbir pun dengan teguh menggema di Surabaya. Puluhan ribu rakyat Surabaya dan dari luar
tetap bertahan, bersiap berperang, menahan peluru menunggu komando. Langit Surabaya
menjadi bising saat pesawat itu mengitar, memuntahkan bom. Bumm.. gelegarnya begitu
dahsyat.
Tiga jam pertama, mulai pukul 06.00-09.00 Inggris sudah mulai menggempur besar-besaran
Surabaya, dengan pasukan terbesar yang dikerahkan setelah Perang Dunia II. Kapal Sussex
terus menggempur menyisakan puing-puing yang terus teronggok.
Satu per satu korban bergelimpangan. A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r.. pekik takbir Bung Tomo di
Radio menggema, menggetarkan musuh, menggerakkan massa agar mulai maju menyerang.
Pukul 09.00, ketika mentari mulai hangat, takbir menggema di seluruh penjuru kota. Allaahu
Akbar.. dorr...dorr.. Bum...Bum..Bumm.. Asap mengepul tinggi, darah merah segar
memuncrat hebat.
Satu per satu pasukan darat Inggris mulai keluar dari Kapal Sussex di Tanjung Perak.
Pesawat pun berputar-putar di langit Surabaya. Pagi itu, 10 November, Arek-arek semua
terbakar Takbir, maju tak gentar, melawan para penjajah di hadapan. Gubernur Soeryo terus
menguatkan rakyat. Seluruh elemen rakyat: GPII, Hizbullah, Sabilillah, Barisan Pelopor, Barisan
Pemberontak, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terus membalas serangan Inggris.
A-l-l-a-a-a-a-h-u-A-k-b-a-r.. terus menggema. Bum... Asap semakin mengepul memenuhi
Surabaya utara. TKR Divisi VII Surabaya, Jombang, Mojokerto dan pimpinan Hizbullah KH
Abdunnafick Achyar, Husaini, Moh. Muhadjir menjadi garda terdepan di utara.
Darah-darah mengucur deras, pasukan Hizbullah dengan gagah berani bertempur melawan

26

Kisah

Rizki Lesus

Kisah

Kiyai Wahab Hasbullah dan Kiyai Bisri


Sumber foto: Aboebakar, H (2011). Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta:
Mizan.

moncong tank baja yang memang tak berimbang. Bambu lawan tank? Tapi semangat jihad
begitu membara. Lihatlah ketika mereka loncat dari satu tank ke tank lain, membakar tank
dengan senjata seadanya. Darah syuhada pun bercucurah, mengalir deras di Bumi Jihad
Nusantara.
Pagi itu, debu-debu jihad menjadi saksi akan pertarungan terbesar seletah Perang Dunia
II, darahnya menjadi saksi di akhirat kelak bahwa ribuan syuhada berguguran. Ya Allah,
pekik Takbir itu kelak menjadi saksi, bahwa masih ada orang yang menyebut AsmaMu untuk
membela negeri ini.
Bahwa dulu, umatmu begitu ingat akan asmaMu, ketika para perongrong itu ingin mengambil
negeri ini. Bahwa namaMu menggema dalam hati ketika dulu negeri ini masih seumur jagung.
Bahwa masih ada yang membelaMu di tengah kecamuk perang. Bahwa para pendahulu kami
mendengar namaMu menjadi tenang.
Negeri yang dipertahankan bukan dengan leyah-leyeh, bukan dengan seucap kata, bukan
oleh para penghinaMu, tapi oleh darah para syuhada. Lihatlah ketika lebih dari 30.000 orang
menggemakan kumandang takbir di Surabaya. 10 November, ketika darah itu mengalir deras
di lorong-lorong kota, bahwa mereka sangka, akan mudah menguasai Kota ini.
Namun, lihatlah ketika mereka semua yang menyebut namaMu dengan tulus mempertahankan
negeri ini, memanggul bambu, bayonet, hingga para pria tua yang terus menembakkan bedil.
Para wanita yang terus menyiapkan logistik dan merawat korban perang, fardhu ain, begitu
fatwa KH Hasyim Asyari meresap dalam jiwa mereka.
Allahu..Akbar...Allaahu akbar.. Satu persatu anak menjadi yatim, wanita menjadi janda.
anak-anak ini yakin mereka diindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, mereka percaya pada
kodrat Ilahi, Mereka berjuang atas nama keadulan dan kebenaran, teriak Gubernur Soeryo.
Tak ada harap selain kemerdekaan atau menjemput maut dalam senyum. Allahu akbar..Allahu
akbar.. detik terus berdetak. Dentuman berbalas tak hentinya menggelayut di Langit Surabaya
yang mendung tertutup asap tebal.

Meski saya bukan pemimpin besar, tetapi saya punya mata seribu kurang seratus dan telinga
seribu kurang seratus, jawabnya jenaka.
Kami sering berucap bahwa seorang pemimpin itu harus punya seribu mata dan telinga, artinya
pemimpin harus sering sering melihat dan mendengar dari berbagai saluran yang tidak dimiliki
sembarang orang. Dan memang benar, aku kini sedang sibuk berada di wilayahku di Kedu.
Pada akhir bulan lalu, aku menyelenggarakan rapat Majelis Konsul NU daerah Kedu ditempat
kediamanku (rumah mertuaku), di Kampung Baleduno Purworejo. Hadir dalam rapat itu antara
lain:
RH Mukhtar, Kyai Raden Iskandar, Kyai Ahmad Bunyamin, KH Ahmad Syatibi (semuanya
dari Banyumas), KH Nasuha dan KH Aishom (Keduanya dari Kebumen), KH Hasbullah dan
Muhammad Ali (Keduanya dari Wonosobo), KH Nawawi, KH Mandhur dan Kyai Ali (Ketiganya
dari Parakan), KH Raden Alwi, KH Abdullah Fathani, Abdulwahab Kodri (Ketiganya dari
Magelang), dan beberapa ulama Purworejo KH Mukri, KH Marodi, KH Damanduri, Kyai Sayyid
Muhammad, KH Jamil dan lain-lain bertindak selaku tuan rumah.
Selaku pihak penyelenggara, terlebih dulu kujelaskan arti penting pertemuan tersebut, yang
bertitik tolak dari memuncaknya situasi genting di seluruh Indonesia. Selama satu hari satu
malam, pertemuan Majelis Konsul itu berlangsung dengan penilaian yang mendalam dan
merata, lewat musyawarah dan semangat tinggi. Akhirnya diputuskan dengan bulat:
1) Segenap warga NU lelaki dan perempuan wajib berjuang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia dengan niat jihad fisabilillah binizham (terorganisasi).
2) Sebagai konsul NU daerah Kedu, aku dibebani memimpin umat Nahdiyin- nahdiyat, dengan
memusatkan segenap ikhtiar lahir batin dan tawakal Alallah. Oleh sebab itu aku tidak
diizinkan meninggalkan daerah yang menjadi tanggungjawabku utama (Kedu dan Jawa
Tengah pada umumnya). Dengan lain perkataan, aku tidak diizinkan lagi berada di Jakarta
dengan alasan apapun.
3) Oleh karena aku juga ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia daerah Kedu, aku dibebani
tanggung jawab atas terselenggaranya kekompakan Hizbullah seluruh daerah Kedu sebagai
alat perjuangan bersenjata secara terorganisasi.
Tiga hal inilah yang akan kusampaikan dalam Muktamar Luar Biasa sekarang di Surabaya.

A-l-l-a-a-a-a-h.. hanya Engkau peneguh kami. Semua orang tumpah ruah, hanya niat
karenaMu, ..f-i-s-a-b-i-l-i-l-l-a-a-h.., hanya karenaMu ya Allah. Jihad fisabilillah, Jihad..Jihad..
Sayup-sayup suara terus menggema. Jihad, sebuah kata sarat makna, peneguh hati orangorang beriman. 10 November, kumandang jihad bersambut...
***
Bulatan merah kalender menunjuk tanggal 21 Oktober 1945. Ratusan Ulama pun berdatangan
ke sini, Surabaya. Suasana Surabaya lain dari biasanya. Dikabarkan tentara Sekutu sudah tiba
di Jakarta, dan beberapa hari lagi akan tiba di Surabaya dengan dalih melucuti Jepang yang
sebenarnya sudah mulai dilucuti oleh rakyat Indonesia.
Kedatangan mereka sebenarnya tak perlu, karena rakyat Indonesia sudah merdeka dan
dapat mengurus semuanya sendiri. Namun, apa daya nafsu berkuasa para penjajah. Lihat
saja, peristiwa di Hotel Yamato September silam saat bendera Belanda berkibar. Tak ayal,
kelak akan ada tantangan besar untuk bangsa ini, karenanya seluruh ulama Rais Syuriah dan
Tanfidziyah NU seluruhnya berkumpul di Kantor Pengurus Besar NU Surabaya, termasuk aku.
Nampak di hadapanku sekarang, di Jalan Bubutan 6/2 Surabaya satu persatu ulama
berdatangan: Ketua Masjelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sekaligus Rais Akbar NU KH
Hasyim Asyari bersama putranya KH A Wahid Hasyim. KH M Dahlan, KH Mukhtar, KH Zuhdi,
KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Abdulaziz kudus, KH M Ilyas Pekalongan, KH Abdulhalim
Shiddiq Jember, dan lainnya.
Saya sengaja tidak menulis surat kepada saudara, karena saya tahu saudara sibuk dengan
tugas-tugas baru di daerah, tiba-tiba terdengan suara KH Wahid Hasyim sambil menggenggam
tanganku.
Dari mana Gus tahu aku sibuk dengan tugas baru? tanyaku. Hal itu jangan ditanyakan.

Bagaimana situasi Jawa Tengah? tiba-tiba Gus Wahid memecah lamunanku. Tak beda
dengan jakarta, Jawa Tengah bukan lagi terpanggang di atas api, tapi sudah mulai mendidih.
kataku.
Coba ceritakan peristiwa pelucutan Jepang di Magelang, semua orang bangga akan
keberanian anak cucu Syaikh Subakir... Kyai Wahid menyebut penduduk Magelang, sebagai
anak cucu Syekh Subakir.
Menurut cerita lama, pada zaman dahulu seorang Kyai turun dari Gunung Tidar untuk mengusir
setan menggoda penduduk Magelang. KH Mahfudz Siddiq, Ketua PBNU ketika Muktamar NU di
Magelang tahun 1939, menyebut RH Mukhtar (Konsul NU Jateng) dengan Syekh Subakir.
Sebenarnya, tanggal 5 Oktober 1945 Rakyat Magelang dan sekitarnya belum kompak betul
sebagai kekuatan tempur, terlalu banyak dari berbagai golongan. Tapi keberhasilan rakyat
Banyumas melucuti tentara Nipon dan semangat Arek-arek Suroboyo mengibarkan merah putih
di Hotel Yamato 19 September, membakar semangat
Ente dan anak buah mengambil kedudukan di mana? sela Kyai Wahid.
Aku cuman dengan kekuatan satu seksi Hizbullah mengambil posisi di Jalan Raya Pasar
Magelang yang dilindungi Gunung Tidar, H Said di Masjid Jamik, TKR dan Laskar mengepung
Kidobutai, Nipin menguai sekitar stasiun KA dan Jalan Ponco. Peristiwa itu latihan bertempur
dibanding peristiwa mendatang, kataku.
Yaaah, selama ini kan Cuma latihan berkelahi bukan? Kyai Wahid menyela.
Betul, makanya kami banyak yang gugup dan senewen, baru mendengar suara mitraliur
banyak yang terkecing-kencing...! Maklumlah, pengalaman pertama, kataku.
Berapa hari pertempuran dengan Nipon itu? bertanya Kyai Wahid

28

Elegi 10 November & Resolusi Jihad yang Ter(di)lupakan

Kisah

Rizki Lesus

Kisah

Pertempuran besar pun tak terelakkan memanas, hingga puncaknya 10 November, ketika kalimat takbir itu meggema di seluruh penjuru
Surabaya. Resolusi Jihad, peneguh hati kaum mukimini, bahwa semua jihad ini hanya ditujukan hanya untuk Allah...
***
Malam hari 9 November 1951. Di depan matanya yang sendu, di atas meja kerjanya, tergolek surat-surat Kabar yang memuat gambarnya di
halaman terdepan. Bung Karno baru menjadikan 10 November sebagai Hari Pahlawan untuk esok.
Bung Tomo duduk terpekur. Tak tertahankan air matanya, bulirnya yang begitu bening mengalir deras, meleleh melewati dua pipinya,
membasahi kertas di meja. Di hadapan istrinya, air matanya tumpah ruah tak karuan. Cemas? Memang. Berdebar-debar hatinya.
Gambarku dimuat di halaman depan koran, namaku dibaca khalayak ramai, katanya sesenggukan sambil membayangkan peristiwa enam
tahun silam.
Sedang sesungguhnya, tidak besar arti perbuatanku pada 10 November 1945 bila dibandingkan dengan keikhlasan beribu-ribu saudara yang
telah tewas binasa , hancur lebur, karena ikut menyebabkan menjadi besarnya hari 10 November itu. Bisiknya.
Aku masih hidup! Aku masih diizinkan Allah menghirup hawa negara merdeka yang telah dibiayai oleh darah dan jiwa, patriot-patriot sejati
sejak enam tahun lalu. Aku telah berumah tangga, beristri, beranak, aku telah mendekati tercapainya hidup layak sebagai manusia...meskipun
sementarahanya bagi keluargaku sendiri... syukur penuh makna, dalam tangis sendu Bung Tomo.
Tetapi apakah itu tujuan patriot-pahlawan kita ketika mereka itu rela ikhlas menyerahkan jiwa-raga mereka? Untuk perseorangan belaka...?
Ya Allah...yang Mahakasih dan Penyayang, berilah HambaMu ini kekuatan guna menyelesaikan kewajiban-kewajiban kawanku yang telah gugur
itu. Larut dalam tangis Bung Tomo terus mendoakan para pahlawan.
Para manusia manusia yang memilih kematian sebagai jalan terindah hidupnya. Tak dirudung duka, jikalau hidup, maka mereka merayakan
kemenangan, jikalau pun takdir berpisah, maut menyapa, maka syahidlah dirinya, dan kemenangan di akhirat kelak menyapa, surga tanpa
hisab. Merekalah para syuhada di negeri ini. Orang-orang mengenangnya dengan Hari Pahlawan.
Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, Inilah yang dijanjikan Allah dan RasulNya
kepada kita, Dan benarlah Allah dan RasulNya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan keapda Allah; di antara mereka ada yang gugur.
Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah janjinya. (Al Ahzab: 22-23)
Pustaka:
Zainul Milal Bizawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) (Jakarta: Pustaka Compass,
2014)
KH Saifuddin Zuhri, Berangkat dari Pesantren, (Jogjakarta: LKiS, 2013)
Bung Tomo: dari 10 November 1945 ke Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 1982)

Penduduk mengungsi dalam hari-hari pertempuran di Surabaya


Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

Oooh..praktis cuma satu hari. Nipon-nipon itu sudah dapat dilucuti, tapi ada yang melarikan
diri ke arah Semarang sambil mengacau. Dengan pengalaman di Magelang itu, maka peristiwa
melucuit Kidobutai Nipon di Kota Baru Yogyakarta berlangsung lebih terkooirdinir. Hari itu juga
7 Oktober, meski rakyat korban banyak juga.
Hizbullah mengambil posisi di mana ketika itu? tanya KH Wahid.
Kami berada di sekitar Tugu Kota Yogyakarta, di simpang jalan Solo Magelang, di lain sisi
Kyai Kholil di Balokan dekat stauin KA Tugu. Ada tambahan, ada pemuda Kauman Yogyakarta,
namanya APS (Angkatan Perang Sabil), aku mengisahkan.
Allahu akbar! seru KH A Wahid Hayim.
Namanya revolusi. Umat Islam bangkit serentak membela kemerdekaan, mereka
mengikhlaskan nyawa mereka, apalagi yang lain. Ini harus dicatat dalam sejarah, katanya.
Cuma, namanya begitu seram..Angakatan Perang Sabil, kataku.
Tapi biar saja, itu refleksi dari semangat berjuang dan tafaul, mengharapkan berkah. Lha?
Nama Hizbullah apa tidak seram? Artinya kan tentara Allah. Di Surabaya kini muncul pasukan
baru bernama Malaikatul maut, apa kurang dahsyat? kami tertawa berbareng. Perbincangan
pun tertunda karena Hadratussyaikh Hasyim Asyari tiba dan memberikan arahan.
Dalam bahasa Arab yang fasih, beliau membuka Muktamar ini. Mata kami pun berkaca-kaca
mendengar seruannya, bahwa hanya dengan jihadlah, umat ini menjadi mulia. Haru menyeruak
dalam ruangan sempit itu, dalam suasana genting semua menyimak ucapan Hadratus Syaikh.
..Apakah ada dan kita orang yang suka ketinggalan, tidak turut berjuang pada waktu-waktu
ini, dan kemudian ia mengalami keadaan sebagaimana yang disebutkan Allah ketika memberi
sifat kepada kaum munafik yang tidak suka ikut berjuang bersama Rasulullah...
Demikianlah, maka sesungguhnya, maka pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan
kemerdekaan dan membela kedaulatannya, dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang
ada pada mereka, tidak akan surut seujung rambutpun.
Barangsiapa memihak kepada kaum penjajah dan condong kepada mereka, maka berarti

memecah kebulatan umat dan mengacau barisannya....


Maka barangsuapa yang memecah pendirian umat pancunglah leher mereka dengan
pedang...
Pidato Hadratusyaikh berapi-api menggetarkan jiwa, bahwa tak bisa kita hanya duduk saja.
Hari semakin larut. 22 Oktober 1945, Pimpinan rapat KH Abdul Wahab Hasbullah meminta
satu persatu anggota menyampaikan pandangan tentang tentara NICA dan Sekutu yang akan
merangsek ke Indonesia.
Akhirnya, dengan suasana haru, seakan pertemuan terakhir, terciptalah Resolusi Jihad,
sebuah pernyataan sikap, sebuah fatwa akan Wajibnya laki-laki dan perempuan berjihad
fisabilillah mempertahankan agama dan negara! KH Wahab Hasbullah bergetar membacakan
Resolusi jihad diiringi pekik takbir dan tangis haru para peserta.
Esoknya, KH Hasyim Asyari secara resmi membacakan poin-poin Resolusi Jihad NU yang
perinciannya sebagai berikut:
1) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agsutus 1945 wajib dipertahankan
2) RI sebagai pemerintah sah wajib dibela dan dipertahankan
3) Musuh RI terutama Belanda dan Inggris dalam tawanan perang bangsa Jepang, tentulah
akan, menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia
4) Umat Islam terutama Nahdatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda,
Sekutu, dll
5) Kewajiban tersebut jihad tiap umat Islam, fardhu ain, dalam radius 94 km, jarak
diperkenankannya sembahyang jama dan qashar. Adapun mereka yang berada di luar jarak
tersebut, berkewajiban membantu saudaranya dalam radius 94 km itu.
Resolusi jihad itu disusun di tengah kota Surabaya yang tengah terapnggang api revolusi. Usai
resolusi, para Ulama, santri berbondong-bondong memenuhi panggilan jihad. Bahwa negara ini
ditegakkan dengan darah para syuhada, dan tinta para ulama.

Situasi di Surabaya dalam hari-hari pertempuran.


Sumber foto: Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983).
Jakarta: Badan Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

30

Syajarah

Syajarah

Mereka yang

dilumpuhkan

Sketesa Pangeran Diponegoro dan pengikutnya memasuki kerisdenan


lama (Magelang) untuk berunding.
Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and
The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

32

Mereka yang Dilumpuhkan

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Pejuang Aceh
Sumber foto: Laffan, Michael. Islamic Nation
Hood and Colonial Indonesia; The Umma
Below the winds (2003), New York: Rouledge
Curzon

Perjuangan para pejuang Islam seringkali melalui jalan yang


mendaki, sukar hingga menyakitkan. Tindakan pengurungan,
pengasingan hingga pembunuhan bahkan pembantaian
mengintai langkah-langkah mereka. Inilah sebagian kisahnya.

Oleh : Beggy Rizkiyansyah


(Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)

Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot ditengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang
berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria
yang turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan
menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah. Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang
punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.
Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Ia -Pangeran Diponegoro- menerima tawaran
itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang
Jenderal De Kock. Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan.
Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya.
Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.
Jangan melakukan perundingan apa pun dengan diahanya dengan syarat pemenjaraan
seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun
juga (yang dapat diterima).1
Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan

bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa


orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda.
Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah
Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden
menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah
lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat.
Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi
jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja
Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan
perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam
posisi sulit.
Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang
menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun
mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian.
Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang
terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan
perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun
dilarang oleh Raja Willem I.
Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak
saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk)
karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya
dengan niat baik.2
Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari
penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan
begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan.
Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan
pembicaraan apa pun hari itu. Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh

pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak


ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh
pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem
I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera
berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak
ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa
De Kock.
Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran
yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah
pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang
pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata
kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda
(wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.3
Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran
hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa
ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke
Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya,
Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga
ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848,
sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran
dipengasingan.
Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil,
terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan
menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada
orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir
ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak
dilakukan oleh negeri ini.

34

Mereka yang Dilumpuhkan

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Tjut Nyak Dien saat ditangkap.

Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden


Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar
sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi.
Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana
ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan
menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke
pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba. Berharap
kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir
hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma
perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari
bangsanya sendiri dalam kesepian.
Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah
kolonial Belanda, bertindak leluasa. Api peperangan di
Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji Paderi beberapa
tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam
perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa
bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah
terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya.
Inilah pertahanan Paderi yang penghabisan. Setelah
menyerahnya Tuanku Imam Bonjol, pasukan Belanda
menggabungkan kekuatannya menggempur Dalu-dalu.
28 Desember 1838. Sudah 14 bulan lamanya mereka
berusaha mengepung pertahanan Dalu-dalu. Kurban sudah
bergelimpangan. Haji Muhammad Saleh, lebih dikenal
dengan Tuanku Tambusai, adalah sisa dari tokoh Paderi
yang diburu. Benteng paderi terakhir itu akhirnya benarbenar tumbang. Pengikutnya banyak yang gugur ditembaki.
Sebagian lainnya mundur keluar gerbang. Menuju ke sungai.
Perahu yang hendak dipakai melarikan diri tak mencukupi.
Banyak dari mereka yang melompat ke sungai. Esoknya
banyak yang mati mengambang di sungai itu. Entah ditembaki
atau karena tenggelam tak pandai berenang. Mereka yang
berhasil menyeberangi sungai mati dibunuh jua. Tapi Tuanku
Tambusai tak jelas rimbanya. Menurut cerita yang beredar
kemudian, ketika benteng runtuh, ia menyelamatkan diri ke
sungai dengan menggunakan sampan. Ia kemudian dihujani
peluru. Melihat bahaya mengancam ia terjun ke dalam air dan
menyelam. Kemudian menghilang, hingga kini. Yang tersisa
hanya sampannya. Di dalamnya ditemukan cincin stempelnya.
Al Quran, dan kita-kitab yang dibawanya dari Mekkah. Dengan
runtuhnya Dalu-dalu, berakhir sudah perlawanan kaum Paderi
di sumatera.4
.
Api Islam yang menyala-nyala dalam dada ulama dan umat
memang menjadi biang kerok kemapanan Belanda di
Nusantara. Tahun 1873, api itu kembali berkobar hebat di
ujung Sumatera. Perang yang akan berlangsung setidaknya
hingga 40 tahun kemudian itu membuat keuangan pemerintah

Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di


Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh
(1997). Banda Aceh: The Documentation
and Information Center of Acheh

wanita aceh
yang seperti ini
ada ratusan,
mungkin ribuan
Zentgraaf

kolonial terkuras. Kematian Jenderal Kohler pada ekspedisi


pertama mereka di Aceh, membuat mereka semakin
mengganas. Pemerintah kolonial tanpa ampun menghabisi
rakyat aceh yang melawan. . Perang ini dikenal sebagai perang
pembantai wanita dan anak-anak. Tapi hebatnya, wanita Aceh
pula yang dikenal tidak punya rasa takut terhadap tentara
penjajah. Menurut penulis Belanda, Zentgraaf,
Vrouwen als deze waren er bij honderden, wellicht duizenden
(wanita aceh yang seperti ini ada ratusan, mungkin ribuan). Di
lain kesempatan Zentgraaff mengatakan, en dat de
vrouwen van dit volk alle andere overtreffen in moed en
doodsverachting, yang dalam terjemahan bebasnya berarti
wanita bangsa ini melampaui orang lain dalam keberanian dan
berani mati.5
Salah satu wanita yang kelak akan dikenang seperti itu,
adalah istri seorang pria keturunan bangsawan, bernama Cut
Muhammad. Sang suami yang sedang menunggu eksekusi
hukuman mati oleh penjajah, berpesan pada istrinya, yang
sedang menggendong anak mereka, Teuku Raja Sabi.
Tidak perlu bersedih hati, Cut.
Allah Maha Adil dan Bijaksana. Apa yang akan saya alami
adalah rangkaian dari perjuangan. Bukankah sama saja
artinya bila saya jatuh terkapar di medan pertempuran atau
mati ditembak? Kedua-duanya adalah dengan peluru musuh.
lanjutkan perjuangan bersama-sama rekan seperjuangan
kita.
setelah aku menjalani hukuman nanti dan idahmu telah
selesai, kawinlah dengan Pang Nanggro.6
Pesan seorang suami yang ditaati istrinya beberapa bulan

kemudian. Menikahlah Pang Nanggro, dengan wanita tadi.


Wanita itu dikenal dengan nama Cut Meutia. Sedangkan Pang
Naggro adalah panglima dari suaminya yang terdahulu.
Enam tahun lamanya Cut meutia dan suaminya, Pang Naggro,
bergeriliya dalam rimba, terletak di daerah sungai Wojla dan
sungai Meulaboh. Kecekatan pasukan dibawah pimpinan
suami istri ini memaksa kolonial Belanda untuk menerjunkan
pasukan Marechaussee (Mersose) yang dikenal kejam.
Ironisnya gagasan terciptanya pasukan ini atas ide seorang
bernama Mohammad Syarief. Seorang Commis di kantor
Gubernur Aceh, di Kutaraja.7
Pada 24 September 1910, Cut Meutia kembali menjanda,
setelah suaminya Pang Nanggro syahid diterjang peluru. Cut
Meutia kemudian mengambil alih komando dalam pasukannya.
Sementara Kolone Macan dari pasukan mersose terus
memburu Cut Meutia. Sebulan kemudian, 25 Oktober 1910,
Kolone Macan dipimpin Sersan WJ Mosselman menyerbu
Gunong Lipeh. Cut Meutia dan pasukannya terkepung. Dua
kali Sersan Mosselman, meminta Cut Meutia- yang terkepung
sangkur dan senapan-untuk menyerah.Namun terjangan
kelewang menjadi jawaban dari Cut Meutia. Tiga senapan
menyalak mengenai kepala dan badannya. Cut Meutia
tersungkur. Syahid. Menyusul suaminya. Memenuhi citanya,
yang biasa ia ia dendangkan untuk anaknya, Teuku Raja Sabi.
Jak Ion timang preuen,
ureueng jameuen bhe lagoina,
Bek hai aneuek tagidong reunyeuen,
bila jameuen tuntut le gta.
(Mari kutimang, kasih
Dengan alunan nyanyian merdu

Janganlah sayang kembali pulang


Jangan kauinjak tangga rumahmu
Sebelum dendam sempat berbalas.)8
Bukan satu-dua kisah wanita Aceh yang menjanda, kemudian
bergeriliya, bahkan hingga syahid menyusul suami mereka.
Adalah Tjut Nyak Dhien yang turut meneruskan perjuangan
suaminya, Teuku Umar. Pihak Kolonial Belanda tak puas hanya
dengan Teuku Umar. Tjut Nyak Dhien juga disasar. Pada 1904,
di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejar
beliau. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh.
Baru setahun kemudian Tjut Nyak Dhien menutup lembaran
geriliyanya. 4 November 1905, Letnan Van Vuuren, berhasil
menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari tidak makan nasi,
hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang penyakit
yang membutakan matanya. Adalah Pang Laot Ali, pejuangnya
sendiri yang memberitahukan persembunyiannya. Pang Laot
tidak tega melihat kondisi pemimpinnya yang sudah begitu
menderita. Ketika Tjut Nyak Dhien tahu ia telah dikhianati
Pang Laot, ia begitu murka, hingga mencabut rencongnya dan
hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak berhasil.
Kemajuan teknologi berhasil mengabadikan Tjut Nyak Dhien
yang telah tertangkap. Kamera berhasil mengabadikan
wajahnya yang bersedih saat ia ditawan. Bersama
keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, wanita perkasa
itu dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan
keamanan. Dua tahun kemudian, 6 November 1908 ia wafat,
jauh dari tanah yang dicintainya.9
Selepas Perang Jawa yang menghancurkan keuangan
pemerintah Kolonial, sistem Tanam Paksa diberlakukan.
Mereka berhasil menguras tanah air, hingga diperkirakan
menangguk keuntungan 832 juta gulden atau setara dengan

36

Mereka yang Dilumpuhkan

Syajarah

Buya Hamka dan Soekarno usai


pelantikan Dewan Konstituante
Sumber foto: Kenang-kenangan 70 Tahun
Buya Hamka (1979). Jakarta: Yayasan Nurul
Islam

Beggy Rizkiyansyah

dan terasing, bahkan hingga saat ia menghembuskan nafas


terakhirnya pun, tak ada yang mengetahui dengan pasti waktu
wafatnya. Tanggal kematiannya tercatat dalam beragam versi.
Corong radio AMACAB melalui Djojobojo memberitakan tanggal
1 April 1946. Ada pula yang mengatakan 24 atau 25 April.
Jenazahnya dimakamkan di kuburan Gipo, dekat Masjid Ampel.
13

600 triliun rupiah saat ini.10 Namun angin politik etis kemudian
berhembus. Dan pemerintah kolonial semakin memahami
kondisi umat Islam di Nusantara. Untuk tetap menancapkan
kukunya, haluan kebijakan berganti menjadi halus. Dipakai
jasa orientalis semacam Christian Snouck Hugronje. Ia
membawa pemerintah kolonial untuk menceraikan Islam dari
politik, dan membiarkannya sibuk dengan urusan ibadah dan
kemasyarakatan semata.11 Putra-putra ningrat dibaratkan.
Warisan adat diperkuat. Islam diceraikan dari jejaknya. Huruf
(Arab) Jawi disingkirkan, huruf latin ditegakkan. Hasilnya terasa,
perlawanan tak lagi menghebat. beberapa pemberontakan
memang muncul. Namun tak ada yang sedahsyat Perang Jawa,
Paderi atau Aceh. Umat Islam mulai menggerakkan dirinya
dengan pendidikan dan organisasi. Sebut saja Syarekat Islam,
Persis, Muhammadiyah, NU dan lainnya. Bukan berarti tak
ada tekanan dari pemerintah kolonial. Berbagai aturan tetap
mengancam, seperti ordonansi sekolah liar yang menggusur
lembaga pendidikan dan pers delicht yang memberangus
kebebasan bersuara.
Jepang kemudian datang. Belanda terjengkang. Awalnya
Jepang bersikap represif kepada ulama. KH Hasyim Asyari yang
sudah sepuh ditangkap. Namun protes datang bergelombang.
Kiyai-kiyai dan santri ingin ditahan bersama Hadlratus Syaikh.
Atas lobi-lobi, akhirnya, Hadlratus Syaikh dibebaskan. Jepang
mulai merangkul ulama untuk menjaga wibawa. Kebijakan ini
membuat para ulama terjepit. Antara tajamnya samurai dan
uluran tangan kotor Jepang. Penindasan, romusha, hingga
penculikan gadis-gadis untuk pemuas nafsu Jepang, membuat
ulama jijik dan enggan.12 Namun keadaan memaksa mereka
untuk mengambil jalan siasat, bekerja sama dengan Jepang.
Menipu mereka dan menggalang kekuatan. Salah satu yang

terpaksa ikut dalam siasat ini adalah KH Mas Mansyur.


Pemimpin besar Muhammadiyah. Diangkat menjadi pemimpin
PUTERA bersama Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara. Ia
hidup dalam tekanan berat. Bermanis-manis di depan Jepang,
hati remuk tatkala melihat rakyat ditindas. Namun akhirnya
Jepang hengkang, Indonesia bersorak girang. Merayakan
kemerdekaan. Tetapi untuk diri KH Mas Mansyur, inilah awal
yang akan menutup lembaran hidupnya. KH Mas Mansyur
perlahan pulih dari tekanan. Tak lama berselang, Belanda
berseragam NICA datang. Lepas dari dunia politik , Ia kembali
mengajar. Kadang berkhotbah dalam sholat Jumat. Mengecam
sebagian orang yang berkhianat kepada republik. Ironisnya ia
sendiri kemudian menjadi korban para pengkhianat ini.
Saat pasukan sekutu bersama NICA semakin leluasa
memasuki Ampel. Puluhan pemuda dan orang tua ditahan.
KH Mas Masnyur tak luput dari fitnah ini. Ia dituduh menjadi
kolaborator Jepang, karena pernah bekerja sama dan
menduduki pucuk pimpinan PUTERA. Dalam keadaan puasa
sunnah, dia ditahan dan diikat. Rumahnya di Kampung Baru
Nur Anwar digeledah. Tulisan-tulisan penting beliau ikut
diangkut. Beliau kemudian diancam dengan hukuman berat.
Kecuali jika mau bersedia berpidato di radio AMACAB milik
sekutu. Untuk menghasut rakyat menghentikan perlawanan.
Tawaran ini ditampiknya.
Ia kemudian dibebaskan dalam keadaan sakit. Namun ini
hanya sementara. Tak lama ia ditangkap kembali. Karena
terlalu lemah ia dilarikan ke rumah sakit swasta di Darmo.
Tanpa ditemani siapa pun, termasuk anak, istri atau
kerabatnya, Di situ berbaring seorang diri dalam kesunyian.
Hingga malaikat menceraikan ruh dari badannya. Begitu sunyi

Roda sejarah terus berputar. Zaman terus berganti, dari masa


revolusi kemerdekaan hingga Demokrasi terpimpin. Mungkin
Inilah masa yang memakan korban ulama serta tokoh Islam
terbanyak. Khususnya tokoh-tokoh Partai Islam Masyumi yang
dilumpuhkan dengan keji oleh rezim Soekarno, yang didukung
oleh pihak komunis. Terjangan fitnah bertebaran dimanamana. Memaksa siapa pun untuk ikut menari dalam tabuhan
Sang Pemimpin Besar Revolusi. Namun tidak bagi Masyumi.
Mereka terus mengkritik kebijakan Soekarno. Menolak agama
disandingkan dengan komunisme. Menampik laku sewenangwenang penguasa. Soekarno mulai kehabisan akal. Tangan
besi diayunkan. Tokoh-tokoh Masyumi pun bertumbangan.
Akhirnya 13 September 1960, Masyumi pun memilih
menghabisi dirinya sendiri, ketimbang dihabisi. Namun tragedi
baru saja dimulai. Satu persatu anggotanya diterjang fitnah.
Ditangkap. Dilumpuhkan.14
27 Januari 1963, siang itu sungguh mengejutkan. Empat orang
datang mengetuk pintu. Sang tuan rumah dengan ramah
membuka pintu dan menyambut tamunya. Tak disangka,
para tamu membawa surat sakti. Surat penangkapan atas
sebuah tuduhan. Sang tuan rumah, Buya Hamka, tersentak. Ia
kemudian dibawa pergi.
Dalam keadaan tak tahu apa kesalahan saya dalam tengah
hari letih berpuasa, saya dijemput dan dicabut dengan
segenap kekerasan dari ketentraman saya dengan anak
istri, disisihkan dari masyarakat dan dimasukkan ke dalam
tahanan, tutur Buya hamka.15
Tuduhan pada Buya Hamka begitu hebat. Ia dituduh hendak
membunuh Menteri Agama H. Saifuddin Zuhri. Dituduh
pula ia pernah menghasut mahasiswa untuk meneruskan
pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir
dan Syafruddin Prawiranegara. Mimpi buruk untuk Buya
Hamka baru saja bergulir. Ia difitnah. Untuk melanggengkan
penangkapan atas dirinya, segala macam usaha dipakai,
memaksa ia mengaku.
Dengan tekanan batin yang sangat menyesak, dipasang
pertanyaan-pertanyaan jebakan. Kadang dengan ancaman,
kadang dengan gertak, kadang-kadang tidak membiarkan
istirahat agak sejenak, kita yang ditanya disuruh mengakui halhal yang telah disusun menjadi tuduhan.16

Syajarah

Dan setelah selesai segala pemeriksaan, teruslah ditahan.


Dua setengah bulan dihujani perlakuan semacam ini,
membuat Buya Hamka ambruk juga. Ia akhirnya terpaksa
menandatangani tuduhan kepada dirinya. Pengakuan yang
dipaksakan itu dilakukan Buya Hamka, karena ia mengira
kelak di pengadilan, akan bisa melawan. Membeberkan segala
kebusukan. Nyatanya tak akan pernah ada pengadilan atasnya.
Situasi semakin suram dengan diterbitkannya sebuah
keputusan dari Presiden Soekarno, Pen. Pres No. 11/1963.
Tiga hari setelah setelah Buya Hamka ditahan. Sebuah
keputusan Presiden yang menceraikan manusia dari fitrahnya.
Pen Pres menjadi pisau tajam sebuah tuduhan subversif, yang
berhak menahan siapa pun. Setengahnya disiksa dengan
kejam, sampai jarak antara mereka dengan maut hanya
beberapa langkah lagi, bahkan ada turut berjumpa dengan
maut.
Salah satunya yang hampir berjabat dengan maut adalah KH
Ghazali Sahlan. Seorang Masyumi jua.
KH Ghazali Sahlan ditangkap di rumahnya selepas sholat
subuh, 7 Januari 1964. Salah satu tuduhannya adalah
membentuk organisasi gelap. Awalnya pemeriksaan
berlangsung sopan dan pantas. Tiga hari kemudian dunia
seakan runtuh bagi KH Ghazali Sahlan. Ia mulai ditekan untuk
mengakui segala tuduhan kepadanya. Kepolisian yang banyak
dikuasai komunis menjadi-jadi. Suatu waktu, ditengah malam
buta, Inspektur Polisi Solihun, memerintahkan Ghazali Sahlan
untuk melepas pakaiannya. Ghazali hanya mengenakan
pakaian dalam saja. Pukukl 1 malam ia mulai dipukuli, hingga
berdarah-darah. Pukul 3 pagi ia ditanya,
Jikalau saudara mati terbunuh dalam pemeriksaan ini,

Percuma pemeriksaan
semacam ini. Percuma!
Sekarang begini
saja. Silakan tuantuan cabut pistolnya
dan tembaklah saya.
Tembak! Tembaak!
Tembaaak!

38

Mereka yang Dilumpuhkan

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

tak secuil pun diberikan kesempatan untuk menikahkan


putrinya. Ia hanya bisa berdoa di tahanan ketika putri
pertamanya menikah. Sungguh keadaan yang menekan jiwa.

Yunan Nasution (Kiri) dan Prawoto Mangkusasmito (kedua


dari kiri), mewakili Partai Masyumi. Mereka menemui Presiden
Soekarno menjelang pembubaran Partai Masyumi.
Sumber foto : 30 Tahun Indonesia Merdeka
1950 - 1964 (1985) Jakarta : Sekretariat
Negara Republik Indonesia

apakah pesan saudara? Ia menjawab, Saya hanya pesan


agar jenazah saya dikirimkan ke Jakarta atas biaya keluarga
saya.
Pukul 4 pagi, Ghazali Sahlan makan sahur. Tak lama ia kembali
ditelanjangi. Dipaksa melalkukan scotch Jump. Terus menerus
scotch Jump hingga terjatuh-jatuh. Ditengah-tengah jatuh
bangun, ia ditodong pistol. Kembali ditanya pesan terakhirnya.
Ia menjawab hal yang sama, dengan tambahan,
Sesudah saya mengucapkan kalimat, La ilaahaillalah,
barulah tembak.
Nyatanya tim pemeriksa menolak untuk menembak, lebih
senang untuk menyiksanya. Izin Ghazali Sahlan untuk
sholat pun ditampik. Pukul 9 pagi Ghazali rubuh. Ia terkapar.
Namun pukul 11 ia kembali disiksa. Hanya kali ini lebih keji.
Ia disetrum. Berkali-kali KH Ghazali Sahlan meneriakkan
kalimat Tauhid. Berharap syahid menjemput. Ia kerap dipaksa
untuk mengaku, namun paksaan itu ditolaknya. Berkalikali ia disetrum hingga tangannya mengeluarkan darah.
Namun itu tak menghentikan siksaan. Lipatan tangan, kaki,
pinggang hingga kuduk, dilekatkan dengan aliran listrik.
Siksaan berlanjut esok harinya. Semakin menggila. Dalam
keadaan telanjang bulat alat vitalnya disetrum. Lalu mulutnya.
Berulang-ulang, padahal ia sedang berpuasa. Hingga akhirnya
ia tak sadarkan diri. 10 hari KH Ghazali Sahlan terkapar
tanpa daya.Ternyata penyiksaan kepada KH Gahzali Sahlan
dan Buya Hamka hanya jebakan untuk menangkap Kasman
Singodimedjo, salah satu tokoh Masyumi yang paling lantang.
Pengakuan mereka dibutuhkan untuk membuat Kasman
dijebloskan ke dalam tahanan.17

Namun Kasman bukanlah orang yang awam dengan hukum.


Kasman tak mudah untuk ditaklukkan. Setiap hari selama
24 jam Kasman terus diperiksa. Bergiliran oleh 6 tim. Dalam
keadaan puasa Ramadhan ia kerap ditekan, dipojokkan
dan diintimidasi, Empat hari di periksa, akhrinya Kasman
menantang untuk dikonfrontir. Pertama yang dihadirkan
adalah Letkol Nasuhi. Ketika dikonfrontir,. Letkol Nasuhi hanya
berbicara pelan. Hingga Kasman marah, dan berteriak,
Yang keras suaramu, supaya kedengeran!
Saya terpaksa, sahut Nasuhi.
Tim Pemeriksa kemudian gaduh. Kasman kembali menantang
untuk dikonfrontir dengan siapa pun.
Pertama, saya siap dikonfrontir dengan semua pengakuan
siapa pun, Termasuk H. Ghazali Sahlan dan Hamka. Silakan!,
tegas Kasman.
Kedua, maaf, saya dapat kesan bahwa oleh team pemeriksa,
terutama dari team-team pemeriksa terdahulu telah dikerjakan
penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain
sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu
terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka.
Beberapa saat kemudian, Kasman berdiri. Dia buang kursinya
jatuh ke belakang, dan dengan tangan ke atas dia berteriak
sekeras-kerasnya dengan melotot,
Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang
begini saja. Silakan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah
saya. Tembak! Tembaak! Tembaaak!18
Ketua tim pemeriksa kemudian memutuskan untuk
memberikan waktu istirahat bagi Kasman. Namun keadaan tak

berubah. Beragam cara tak bisa membuat Kasman bersalah.


Barulah 16 hari kemudian Kasman dibebaskan.
Setiap penindasan yang terjadi bukan hanya melumpuhkan
seorang pejuang, tapi juga meruntuhkan tatanan keluarganya.
Menceraikan dari anak dan istrinya. Mengasingkan dari
masyarakatnya. Mereka tidak saja kehilangan kebebasan
tapi juga kehilangan kesempatan untuk menafkahi keluarga.
Istri mereka tiba-tiba dipaksa memutar otak menjadi tulang
punggung keluarga. Menjual apa saja yang berharga. Seperti
apa yang dialami keluarga Syafrudin Prawiranegara yang
kehilangan rumah mereka. Penindasan ini bahkan juga
memasung hak-hak mereka sebagai ayah. Mohammad Natsir

Yunan Nasution, mantan sekjen Masyumi yang turut ditahan,


berkisah, dinding tahanan menjadi saksi coretan-coretan
mereka. Ayat-ayat Quran seperti, Umat-umat yang dahulu telah
silih berganti mengalami bangkit dan jatuh, atau Tuhan akan
mempergilirkan hari-hari kehidupan manusia dengan kalah
dan menang. Kelak, janji Allah yang ditorehkan pada dindingdinding tahanan itu terbukti. Tatkala mereka dibebaskan,
pihak-pihak dari komunislah yang kemudian berganti mengisi
tempat mereka. 19
Peristiwa membungkam dan melumpuhkan sesungguhnya
tidak berhenti sampai di sini saja. Masih banyak dan kerap
terjadi peristiwa dan pejuang lain yang di bungkam dan
dilumpuhkan, bahkan hingga beberapa langkah saja dari
maut. Atau malah menjemput syahid. Bahkan hingga kini. Para
penguasa lalim kerap mengikuti langkah yang sama, namun
tak akan pernah bisa menumpas setiap gema kebenaran.
Mereka hanya bisa melumpuhkan raga, namun tidak jiwanya.
Menceraikan nyawa dari badannya, tapi tidak mematikan
semangatnya.
Para pejuang itu adalah pejuang yang membumi, namun
dengan hati mengingat ke langit. Menolak hidup berbalut
kemewahan, dan memimpin dengan segala keberanian. Dan
sesunggunya, api perjuangan itu tak akan pernah padam,
dan selamanya berkobar-kobar. Sejarah mencatat, sebuah
pembungkaman hanya akan memicu rentetan perlawanan yang
lain. Satu penindasan akan memacu gema kebangkitan lain.
Semua itu karena api itu di bakar oleh keinginan menegakkan
kalimat Allah dalam bumi nusantara ini.

Catatan.
1. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
2. Ibid.
3. Hal ini diungkapkan Pangeran kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia. Tiada lagi yang tersisa

bagi dirinya di dunia ini, kecuali mati sebagai sabilillah dalam pertempuran.
4. Radjab, Muhamad. (1964). Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838). Jakarta : PN Balai Pustaka.
5. Talsya, T. Alibasjah. (1982). Cut Nyak Meutia, Srikandi yang Gugur di Medan Perang Aceh. Jakarta: Mutiara.
6. Ibid.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Alfian, Ibrahim. (1987). Perang di Jalan Allah : Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan.
10. Cerey, Peter. (2011). Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa,1785-1855. Jilid 2. Jakarta: KPG.
11. Suminto, H. Aqib. (1996). Politik Islam Hindia Belanda. Het Kantoor voor Indlandsche Zaken. Jakarta: LP3ES
12. Zuhri, Saifudin. (1974). Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: PT AlMaarif.
13. I.N, Soebagijo. (1982). K.H. Mas Mansur. Pembaharu Islam di Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
14. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
15. Hamka. (2004). Tafsir Al Azhar Juz I. Jakarta: Pustaka Panjimas.
16. Ibid.
17. Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. (1982). Hidup Itu Berjuang. Kasman SIngodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
18. Ibid.
19. Nasution, Yunan. Kenang-Kenangan Di Belakang Terali Besi di Zaman Orla. Jakarta : Bulan Bintang.

40

Dialog

Dialog

Dialog dengan Artawijaya:

69 tahun silam, para santri dari berbagai daerah dan arek-arek Suroboyo melawan sekutu Inggris. Pekikan takbir Bung Tomo
mengudara, awali perjuangan. Telinga sekutu panas mendengarkan. Peperangan tak terhindarkan. Atas izin Allah, sekutu akhirnya angkat tangan. Indonesia kembali merebut kemerdekaan yang sebelumnya telah diperjuangkan dan diproklamasikan.
Lantas saat ini, apakah kemerdekaan itu masih dipertahankan? Bagaimana sepak terjang para pahlawan meraih kemerdekaan?
Dan apa yang harus kita perbuat untuk mengisi kemerdekaan? Berikut wawancara pegiat JIB, Andi Ryansyah dengan Artawijaya,
sejarawan muda Indonesia yang telah menulis berbagai buku, diantaranya, Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara dan
Belajar dari Partai Masjumi ini, ditemui di sela-sela kesibukannya mengedit buku-buku penerbit terkemuka di bilangan Cipinang,
Jakarta Timur

Setiap tangal 10 November, Indonesia memperingati


hari pahlawan. Apa makna pahlawan di mata Anda?
Sebenarnya peringatan hari pahlawan itu tidak lepas
dari rentetan sejarah sebelumnya. Sebuah fakta sejarah
menerangkan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia
berjuang melawan penjajahan. Tanggal 10 November yang
dikaitkan dengan peristiwa di Surabaya mengingatkan kita
akan pekikan takbir Bung Tomo ketika melawan penjajah saat
agresi militer. Sebelumnya resolusi jihad dikeluarkan oleh
Nahdlatul Ulama (NU) dimana setiap muslim wajib melawan
penjajah Belanda. Kemudian perjuangan K.H. Zaenal Mustofa
di Tasikmalaya, perang sabil di Aceh, serta perlawanan
Pangeran Diponegoro di Jawa, dan lain sebagainya. Semua
perjuangan itu berlandaskan jihad fi sabilillah. Ini menunjukkan

42

bahwa umat Islam memiliki kontribusi dan saham yang besar


untuk memerdekakan Indonesia. Dan bicara kepahlawanan di
Indonesia tentu tidak lepas dari peran tokoh-tokoh umat Islam.
Tadi Anda menyebut bahwa mayoritas pahlawan Indonesia
adalah tokoh-tokoh umat Islam, namun mengapa ada
sebagian dari mereka yang tidak disebut pahlawan oleh
pemerintah. Bahkan ada yang dicap pemberontak dan
pengkhianat serta tidak dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan (TMP). Mengapa ini bisa terjadi? Dan bagaimana
sebaiknya sikap kita?
Saya pikir tokoh-tokoh umat Islam yang belum atau terlambat
diberikan gelar pahlawan karena ada upaya kelompokkelompok nasionalis sekuler yang cenderung menutup peran
sejarah mereka. Satu contoh, M.Natsir, Perdana Menteri
pertama Indonesia dan tokoh Masjumi yang menggagas
mosi integral hingga terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini, baru diberi gelar pahlawan sekitar
tahun 2008 karena terlibat PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia). Padahal perjuangan PRII ini bukan usaha
untuk berpisah dari NKRI, melainkan semata-mata untuk
mengoreksi rezim Nasakom.
Kemudian contoh lainnya, Prawoto Mangkusasmito yang
tidak dimakamkan di TMP. Padahal dia pejabat negara (Wakil
Konstituante) yang meninggal dunia ketika blusukan safari
dakwah dan membina para petani di Banyuwangi. Sebelum
Jokowi blusukan, Prawoto sudah duluan. Hobi Prawoto
memang menemui rakyat kecil. Sampai M.Natsir mengatakan
Dengan menemui rakyat kecil inilah, Pak Prawoto menjadi
besar. Soal tidak dimakamkannya Prawoto di TMP, Mohamad
Roem mengatakan Pahlawan tidak ditentukan dimana ia
dimakamkan, tapi ditentukan dari jasa-jasanya.
Namun dalam Islam, berbuat baik tidak perlu penghargaan.
Kita diperintahkan oleh Allah untuk berbuat baik sebanyakbanyaknya, lalu lupakan, biar Allah dan Rasul-Nya nanti yang
melihat. Penghargaan semacam itu hal yang remeh. Keluarga
M.Natsir, Prawoto, dan Buya Hamka sendiri tidak menuntut

Dialog

Dialog

gelar pahlawan diberikan kepada mereka. Dalam Islam


penghargaan semacam ini adalah hal yang remeh.
Akan tetapi dalam konteks agar generasi selanjutnya sadar
akan sejarah tokoh-tokoh Islam dan juga supaya peran Islam
tidak dipinggirkan dan dikucilkan, menurut saya penting
mempertanyakan soal ini kepada pemerintah.
Apa benang merah perjuangan para pahlawan di negeri ini?
Dari zaman sebelum kemerdekaan sampai kemerdekaan, para
tokoh Islam merawat negeri ini dengan nilai-nilai Islam.
Bagaimana penulisan sejarah pahlawan di buku sejarah yang
diajarkan di sekolah? Apa sesuai dengan realitasnya?
Saya tidak tahu seperti apa buku-buku sejarah yang sekarang.
Namun ketika zaman orde baru, buku-buku sejarah di sekolah
itu Buddha dan Hindu sentris, peran Islam untuk bangsa
ini dipinggirkan. Kemudian tidak diceritakan secara detail
peran tokoh-tokoh Islam seperti M.Natsir, Prawoto, dan lain
sebagainya.
Kemudian, Indonesia sudah merdeka selama 69 tahun, apa
makna kemerdekaan bagi Anda?
Menurut saya, negeri yang merdeka adalah negeri yang berlaku
hukum Allah subhanahu wataala. Kalau belum berlaku, artinya
kita masih dijajah Undang-Undang Belanda, sistem ekonomi
kapitalis, sistem sekular, dan lain sebagainya. Syariat Islam
akan berdampak kesejahteraan dan kemakmuran semua
golongan.
Apakah kondisi bangsa yang masih dijajah ini karena kita
tidak meneladani perjuangan para pahlawan?
Tentu banyak sebab. Salah satunya karena orang liberal dan
sekular menguasai politik di negeri ini. Meskipun begitu,
tingginya minat masyarakat menabung di bank syariah
merupakan kondisi yang bagus dan perlu terus perbaikan.
Perjuangan kita ke depan harus dibarengi dengan kesabaran.
Seperti prinsip perjuangan Masyumi yang mengatakan Kalau

Tentara Kolonial Belanda di Aceh


Sumber foto: Perang Kolonial Belanda di
Aceh. The Dutch Colonial War in Acheh
(1997). Banda Aceh: The Documentation
and Information Center of Acheh

rumah jang baru kita dirikan belum memuaskan kehendak kita, apakah lantas kita bakar sadja
sampai hangus? Dalam Al-Quran ayat-ayat tentang jihad, banyak diikuti dengan kata sabar.
Sabar disini bukan berarti kita tidak kritis dan nahi munkar, akan tetapi kita tetap terus harus
berjuang sambil bersabar.

Bagaimana dengan pengertian kemerdekaan yang diajarkan di sekolah? Apakah sudah


memadai?
Kemerdekaan yang diajarkan di sekolah sifatnya bendawi atau keduniaan. Misal kemerdekaan
dari perang melawan penjajah dan kemiskinan. Tapi pernah tidak diajarkan kemerdekaan di atas
nilai-nilai Islam. Jadi negara yang betul-betul merdeka ketika hukum Allah ditegakkan.
Menurut Anda, para pahlawan memandang kemerdekaan itu sebagai sarana atau tujuan?
Memerdekakan Indonesia dengan mengusir kafir penjajah adalah jihad dan kewajiban tokohtokoh Islam dahulu untuk tujuan jangka panjang yaitu agar negeri ini dirawat dengan hukum
Allah.
Terakhir, apa pesan Anda untuk generasi penerus dalam rangka memperingati hari pahlawan?
Pertama, generasi muda Islam harus memahami pejuangan tokoh-tokoh Islam. Kedua, menggali
dan mengungkap fakta-fakta sejarah tokoh-tokoh Islam yang dipinggirkan agar mendapat te

44

Arti Kemerdekaan

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Pengibaran bendera merah-putih


Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan 1945-1950 (1983). Jakarta: Badan
Penerbit Almanak R.I/B.P. ALDA

Oleh : Beggy Rizkiyansyah


(Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa)

ARTI KEMERDEKAAN
tahun sudah Indonesia mengecap kemerdekaannya. 69
tahun ini mengingatkan untuk berkaca kembali, apa makna
kemerdekaan bagi kita? Apa harga yang harus dibayar untuk
kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?
Memutar kembali waktu, membuka kembali lembaranlembaran sejarah bangsa kita, maka kita akan menemukan
jejak islam di setiap lembar sejarah bangsa Indonesia. Bahkan
perjuangan kemerdekaan sejatinya telah ada bahkan jauh
sebelum terbayang sebuah komunitas bernama Indonesia.
Perjuangan kemerdekaan bangsa ini berurat dan berakar
kepada perjuangan Islam.Perjuangan para pendahulu kita
untuk merdeka bertolak dari agama Islam yang menentang
penindasan. Yang mengagungkan nama Islam. Merentang dari
barat hingga timur nusantara.Untuk menegakkan hukum Allah.
Semangat jihad rakyat aceh yang seringkali disebut perang
sabil menghujam dalam dada rakyat aceh. Maka kita dapat
melihat meleburnya jihad ke dalam budaya masyarakat aceh,
sehingga didengungkanlah syair-syair Hikayat Perang Sabil
dalam kehidupan rakyat. Hikayat Perang Sabil sering dibacakan
ditengah masyarakat. Didengarkan turun temurun.Maka tak
heran Aceh mampu menghadapi perang dengan penjajah
hingga 40 tahun lamanya. Bahkan ketika kesultanan Aceh
runtuh, rakyat aceh tak pernah benar-benar berhenti berperang.

46

Arti Kemerdekaan

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Keberanian para pejuang Aceh ini juga dapat kita temukan


pada perlawanan kaum Paderi melawan kolonial Belanda.
Kaum Paderi tak lain ingin menjadikan wilayah mereka sesuai
dengan ajaran agama. Pun ketika akhirnya harus menempuh
jalan peperangan dengan penjajah maka Islamlah yang
menjadi daya dorong para kaum paderi di Sumatera Barat.
Steyn Parve, salah seorang mantan Residen Padangsche
Bovenlanden, memberikan kesaksiannya mengenai Kaum
paderi.

Peringatan 2 tahun kemerdekaan


Indonesia
Sumber foto: Album Perang Kemerdekaan
1945-1950 (1983). Jakarta: Badan Penerbit
Almanak R.I/B.P. ALDA

Tetapi sekte Paderi tidak muncul sebentar saja. Sebaliknya,


sekte ini laksana cahaya yang muncul dan bertahan lama,
terus menerus memperlihatkan sinarnya kepada kita.1
Hal yang sama kita temukan di Jawa. Pangeran Diponegoro
yang ingin menegakkan Islam di tanah Jawa, mendapat
dukungan dari kaum ulama seperti Kiyai Mojo. Sang Pangeran
memiliki kehendak merdeka, dan melawan penjajahan dan
mengembalikan kemuliaan Islam di tanah Jawa.2 Di Makassar,
Sultan Alauddin berdiri tegak mempertahankan kesultanannya.
Ketika VOC untuk meminta Makassar untuk menghentikan
perdagangannya ke kepulauan Maluku, dijawab oleh Sultan
dengan sangat mengesankan.
Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, (dan telah)
membagikan bumi di antara manusia, (begitu pun) Dia
memberi lautan sebagai milik bersama. Tidak pernah
kami mendengar bahwa pelayaran di lautan dilarang bagi
seseorang. Jika engkau melakukan larangan itu, berarti
engkau seolah-olah mengambil roti dari mulut orang (lain).3
Jawaban yang tentu saja memicu peperangan bertahun-tahun.
Meskipun akhirnya Makassar menderita kekalahan, namun
sejarah tetap mengenangnya sebagai peperangan umat Islam
melawan orang kafir, seperti terekam dalam Syair Perang
Mengkasar, yang di tulis oleh Enci Amin, seorang juru tulis
Sultan Hasanuddin.
Lima tahun lamanya perang
Sedikit pun tidak hatinya bimbang
Sukacita hati segala hulubalang
Melihat musuh hendak berperang.
Mengkasar sedikit tidak gentar
Ia berperang dengan si Kuffar
Jikalau tidak rayatnya lapar
Tambahi lagi Welanda kuffar.4
Berbagai peperangan telah mewarnai perjuangan
kemerdekaan bangsa kita.Bertumpuk-tumpuk badan menjadi
syahid.Bersahut-sahut takbir memanggil. Panggilan yang oleh

M. Natsir disebut Panggilan Allahu Akbar. Seperti tercatat


dalam Syair Perang Menteng melawan penjajah di Palembang.
Haji berteriak Allahu Akbar
Datang mengamuk tak lagi sabar
Dengan tolong Tuhan Malik Al-Jabbar
Serdadu Menteng habislah bubar5
Semua perjuangan itu adalah kehendak untuk merdeka,
bebas dari segala penindasan. Bagi para pemimpin kita,segala
perjuangan diatas, menjadi inspirasi untuk meneruskan
perjuangan.
Pun ketika perjuangan beralih ke zaman modern, Islam
tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha
menuju kemerdekaan. Sarekat Islam adalah contoh nyata
bagaimana Islam dapat menyatukan bangsa ini. Organisasi
keagaman seperti Nadhlatul Ulama, diwakili para kiyai
telah mendambakan kemerdekaan sebagai jalan untuk
kemaslahatan umat Islam. KH Wahab Hasbullah ketika ditanya
mengenai kemerdekaan, sehari sebelum NU berdiri tahun
1926, menjawab,
Tentu, itu syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu,
umat Islam kita tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.6

Pada hakikatnya,
ajaran islam itu
merupakan suatu
revolusi
M. Natsir

Menurut M. Natsir, ajaran Islamlah yang menyebabkan


dorongan-dorongan untuk merdeka. Ia menyatakan,
Pada hakikatnya, ajaran Islam itu merupakan suatu revolusi,
yaitu revolusi dalam menghapuskan dan menentang tiaptiap eksploitasi. Apakah eksploitasi itu bernama, kapitalisme,
imperialism, kolonialisme komunisme atau fascism, terserah

kepada yang hendak memberikan.


Demikianlah semangan kemerdekaan yang hidup dan dibakar
dalam jiwa kaum muslimin di Indonesia. Semenjak berabadabad semangat itu menjadi sumber kekuatan bangsa kita dan
semangat itu pulalah yang menghebat dan mendorong kita
memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia, pada
tahun 1945 itu.7
Maka tak mengherankan jika para ulama dan tokoh Islam,
ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya
Republik Indonesia, mereka memanfaatkannya dengan
memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui
Piagam Jakarta (Djakarta Charter), umat Islam dapat
menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia negara
merdeka yang bertauhid. Menurut Buya Hamka, tidak mungkin
tauhid dilepaskan dalam perjuangan bernegara. Sebab pangkal
pokok pandangan Islam adalah dua kalimat syahadat. Menurut
beliau,
Akibat dua kalimat syahadat itu bagi kehidupan Islam sangat
besar dan sangat jauh. Karena kalimat itu, tidaklah ada yang
mereka sembah, melainkan Allah. Tidak ada peraturan yang
mereka akui, atau undang-undang yang mereka junjung tinggi,
melainkan peraturan dan undang-undang dari Allah. 8

48

Syajarah

Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka


Sumber foto: Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (1979). Jakarta: Yayasan
Nurul Islam

Namun sayang. Piagam Jakarta tak terlaksana hingga saat ini. KalimatDengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
malah dihapuskan. Buya Hamka, sangat menyesalkan peristiwa ini.
Pendeknya, sesudah sehari maksud berhasil (maksudnya proklamasi kemerdekaan-pen), partner ditinggalkan, dan orang mulai
jalan sendiri. Pihak Islam dibujuk dengan janji-janji bahwa kepentingannya akan dijamin. Bersama dengan tujuh kalimat itu,
dihapuskkan pulalah kata yang diatas sekali, kata pembukaan yang termasuk kalimat sakti dalam jiwa orang yang hidup dalam
Islam, yaitu kalimat, Dengan Nama Allah Tuhan Yang Rahman dan Rahim. Sampai begitunya!,sesal Buya Hamka.9
Kita, generasi saat ini memang patut menyesalkan peristiwa ini. Padahal, dengan kalimat Allahu Akbar-lah, para syuhada
merelakan jiwanya untuk melawan penjajah. Kalimat Allahu Akbar-lah ucapan terakhir para pahlawan kita, sebelum nyawa mereka
bercerai dari badannya.Dengan kalimat takbirlah, mereka mempertanggungjawabkan jihad mereka dihadapan Allah.
Hingga kini, Piagam Jakarta yang disebut undang-undang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan satu kesatuan dengan
konstitusi nyatanya hanyalah teks belaka tanpa realisasi nyata. Atas perkara ini, Buya Hamka melemparkan pertanyaan menohok
bagi kita.
Sekarang Indonesia telah merdeka. Merdeka Buat apa?
Bagi kita kaum muslimin adalah merdeka buat melakukan syariat Islam, dalam pengakuan dan pangkuan negara, bagi
penduduknya yang memeluk Islam.
Sebab menjalankan syariat Allah dan Rasul bagi kita kaum Muslimin adalah bagian dari iman.Sebab dalam ajaran Islam, Islam
itu bukanlah semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat. Bukan semata-mata ibadat, tetapi
mencakup juga bernegara dan bermasyarakat.Percuma jadi orang Islam, percuma mendirikan partai-partai Islam, kalau dengan
iman terpotong-potong kita hendak tampil ke muka. Negara kita berdasar Pancasila; dalam negara berdasar Pancasila itu, kita
kaum muslimin wajib mengisinya dengan cinta yang telah kita terima dari langsung dari Allah dan Rasul.
Namun tidak!-demi Tuhanmu-tidaklah mereka beriman, sebelum engkau jadikan hakim, pada barang yang mereka perselisihkan
diantara mereka, kemudian itu tidak mereka dapati dalam diri mereka sendiri rasa keberatan pada apa yang engkau putuskan,
dan mereka menyerah sebenar-benar menyerah.
Itulah dia iman, dan itulah dia hidup.
Kalau tidak, sama dengan artinya mati, walaupun nafas masih turun naik. 10
Lantas jika begini, apakah arti kemerdekaan bagi kita? Agaknya penulis sepakat, sekali lagi, dengan Buya Hamka,
Mari kita berpahit-pahit, kaum muslimin belum pernah merasa puas dalam kemerdekaan negeri ini kalau kewajiban
menjalankan syariat Islam dalam kalangan pemeluknya seperti tercantum dalam pembukaan UUD 1945 belum menjadi
kenyataan.11

- BUYA HAMKA -

1. Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. (Jakarta: Sinar Harapan, 1981).
2. Peter Carey, Kuasa Ramalan.Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011).
3. Ahmad M Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).
4. Enci Amin, Syair Perang Mengkasar, C. Skinner (ed). (Makassar: Ininnawa, 2008).
5. Ibrahim Alfian, Sastra Perang. Sebuah Pembicaraan Mengenai Hikayat Perang Sabil, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992).
6. Andree Feillard, NU Vis--vis Negara, Pencarian Isi, Bentuk dan Makna. (Yogyakarta : LKiS, 1999).
7. M. Natsir, Revolusi Indonesia dalam Capita Selecta Jilid 2. (Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Capita Selecta, 2008).
8. Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
9. Ibid
10. Hamka, Cintakan Rasul SAW dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).
11. Hamka, Mengapa Mereka Masih Ribut? dalam Hati ke Hati, Tentang Agama, Sosial Budaya, Politik. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002).

PEJUANG PEJUANG PEJUANG


50
PEJUANG PEJUANG PEJUANG

Syajarah

Susiyanto

Syajarah

PEJUANG PEJUANG PEJUANG


RAHMAH EL YUNUSIYAH

PEJUANG PEJUANG PEJUANG


PEJUANG PEJUANG
KIPRAHNYA UNTUK PENDIDIKAN, TERUTAMA BAGI KAUM PEREMPUAN BEGITU LUAR BIASA.

,
PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG
Oleh : Susiyanto

(Dosen IAIN Surakarta)

PEJUANG PEJUANG PEJUANG


PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG PEJUANG
PEJUANG PEJUANG PEJUANG

DAN TAK HANYA PENDIDIKAN. IA TURUT MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA.


AGAMA TETAP ERAT DIGENGGAMNYA.
NAMUN NAMANYA TAK BANYAK DIKENAL. KALAH POPULER DIBANDINGKAN KARTINI.

ituasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadi masyarakat yang
secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat Minang tidak saja menyaksikan
berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan tradisional sistem surau, namun juga
tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang disemangati oleh perubahan dan modernisasi.1
Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib di Padang
Panjang dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan sejumlah ulama dari
Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal al-Munir (terbit tahun 1911-1916),
menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.2
Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya yang jauh ke depan.
Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak-anak dan keturunan
semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas.
Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya
sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya
sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam.
Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui pendidikan dan
pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitar mereka.
Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak akan berubah. Oleh karena itu Rahmah
berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan, sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan

52

Pejuang Perempuan, Perempuan Pejuang

Syajarah

Imam Bondjol dan Syekh Tahir


Jalaluddin. Keduaya berperan dalam
pembaruan Islam di Minangkabau
Sumber foto Imam Bondjol:
Hadler, Jeffrey (2008). A Historiography of
Violence and The Secular State in Indonesia:
Tuanku Imam Bondjol and The Use of History.
Sumber The Journal of Asian Studies vol 67
No.3 August 2008.
Sumber foto Syekh Tahir Jalaluddin:
Laffan, Michael. Islamic Nation Hood and Colonial Indonesia; The Umma Below the winds
(2003), New York: Rouledge Curzon

yang sama. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan


pendidikan antara pria dan wanita adalah sama.
Sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak tradisional
kurang memberikan akses bagi perempuan. Selain itu
kurang penekanannya terhadap akses untuk masuk dunia
kerja dan kesempatan lain. Dalam situasi masyarakat yang
sedang bertumbuh inilah Rahmah El-Yunusiah tergugah untuk
berkiprah. Ia menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan
kaum perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan menjadi
sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.
Tidak diragukan lagi, Rahmah El-Yunusiah merupakan
salah satu tokoh yang menggagas pendidikan untuk kaum
perempuan. Ia sendiri berjuang untuk mewujudkan gagasan
tersebut melalui berbagai upaya yang ditempuh. Makalah ini
disajikan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana konsep dan
corak pendidikan Rahmah El-Yunusiah ?
Riwayat Hidup
Rahmah El-Yunusiah lahir Padang, Sumatra Barat pada 1
Rajab 1318 Hijriyah atau 29 Desember 1900. Rahmah adalah
anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Syaikh
Muhammad Yunus (dari Pandai Sikat) dan Rafiah (dari Si
Kumbang). Jadi dari sisi silsilah, Rahmah berasal dari suku
Sikumbang. Ayahnya adalah seorang qadhi dan ahli ilmu
falak di Pandai Sikat. Sedangkan kakeknya adalah Syaikh
Imaduddin, ulama dan tokoh tarekat Naqsyabandi yang
terkenal di Tanah Minang.3
Pendidikannya ia dapatkan dari ayahnya. Namun hal ini

hanya berlangsung singkat karena ayahnya meninggal saat ia


masih muda. Kakak-kakaknya yang telah dewasa kemudian
melanjutkan bimbingan kepada Rahmah. Awalnya ia belajar
membaca dan menulis pada kedua kakaknya yakni Zainuddin
Labay El-Yunusiy dan M. Rasyad. Zainuddin adalah salah
seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Zainuddin Labay
sendiri adalah pendiri Diniyat School di Sumatra. Kakaknya itu
menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan
Belanda sehingga banyak membantu Rahmah mengakses
sejumlah literatur asing. Rahmah sangat menyegani dan
mengagumi kakaknya ini. Baginya Labay adalah seorang
pemberi inspirasi, pendukung cita-cita, dan seorang guru
baginya.
Rahmah hanya belajar selama 3 tahun di tingkat sekolah
dasar. Ia merasa pendidikan ini kurang mencukupi bagi
perkembangan dirinya. Menurutnya, pendidikan seperti ini
kurang terbuka kepada siswa putri mengenai persoalan
khusus perempuan. Oleh karena itu ia kemudian juga belajar
pada sejumlah ulama di Minangkabau, seperti Haji Karim
Amrullah (ayah Buya Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid
Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang-Panjang), Syaikh
Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasyidi, dan
Syaikh Daud Rasyidi.
Rahmah el-Yunusiah menjalani hidupnya dengan perjuangan
untuk mengentaskan kaum perempuan. Ia hidup hingga
usia 68 tahun lewat 2 bulan. Tepat pada jam 18.00 tanggal
Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 H atau 26 Februari 1969,
pelopor pendidikan kaum perempuan itu wafat. Jenazahnya
dikuburkan di perkuburan keluarga di samping rumahnya yang

Susiyanto

juga di samping Perguruan yang ia dirikan. Setiap orang yang


melewati rumah dan perguruannya akan dapat melihat nisan
kuburannya di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing. Ia merupakan
satu-satunya syaikhah Indonesia yang diakui oleh dunia.
Kiprah Pendidikan Rahmah
Keluarga yang memiliki latar belakang taat beragama dan
aktif dalam gerakan pembaharuan menjadi ladang bagi
bersemainya kesadaran pembaharuan dalam diri Rahmah.
Ia menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara
mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagai halnya
kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan
ini menurutnya berakar dari persoalan pendidikan dan melalui
bidang ini dapat terselesaikan. Rahmah El-Yunusiah menulis:
Diniyah School Puteri ini selalu akan mengikhtiarkan
penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada
perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan
penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum
lelaki inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam
daripada penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum
perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan.4
Rahmah El-Yunusiah merupakan pendiri perguruan untuk
wanita Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah
Puteri (Madrasah Diniyah li al-Banat) di Padang Panjang,
Sumatra Barat. Madrasah ini didirikannya pada tanggal 1
November 1923.
Semangat untuk mengangkat harkat kaum muslimah ini
rupanya telah terpatri dengan mendapat landasan yang
kokoh dalam ajaran Islam yang secara tegas menyebutkan:
Menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap orang Islam laki-laki dan
perempuan. Jika kaum perempuan tidak mendapatkan ilmu
yang memadai, maka bahaya akan datang dalam lingkungan
masyarakat. Namun jika pendidikan yang diberikan kepada
mereka itu keliru, maka tidak sedikit pula malapetaka yang
akan menimpa bagi segenap masyarakat manusia. Berhubung
dengan itu maka pendidikan terhadap kaum wanita hendaknya
disertai dengan berbagai macam kebijaksanaan, tidak boleh
dilakukan secara serampangan.5
Oleh karena itu maka Rahmah El-Yunusiah berupaya untuk
menggunakan landasan ideal dari pelaksanaa cita-citanya
yaitu berpegang kepada Al-Qur`an dan As-sunnah. Sedangkan
tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang ia kembangkan adalah
sebagai berikut: Membentuk puteri yang berjiwa Islam dan
ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar
pengabdian Allah Subhanahu wataala.

Syajarah

Selain itu ia juga mendirikan lembaga pendidikan untuk


kaum ibu yang belum bisa baca tulis, Menyesal School.
Pendirian sekolah untuk kaum ibu ini tetap berjalan meski
mendapat cemoohan. Pandangan sebagian masyarakat adat
Minang pada masa itu memang agak memarginalkan kaum
perempuan. Bagi mereka perempuan tidak layak berkutat
pada buku, melainkan berhabitat di dapur. Menyesal School ini
terpaksa dihentikan karena tempat yang diperuntukkan untuk
pengajarannya rusak akibat gempa bumi pada tahun 1926.6
Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum
sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungankunjungan sekolah ke Sumatera dan Jawa (1931). Selanjunya
ia juga mendirikan Freubel School (Taman Kanak-kanak),
Junior School (setingkat HIS). Sekolah Diniyah Putri sendiri
diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat
Ibtidaiyah (4 tahun) dan Tsanawiyah (3 tahun). Pada tahun
1937 berdiri program Kulliyat al-Mualimat al-Islamiyah (3
tahun) yang diperuntukkan bagi calon guru. Ia juga memiliki
peran dalam pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di
Sumatra Barat.7
Rahmah El Yunusiyah juga aktif dalam pergerakan menentang
praktik-praktik penindasan ataupun pergerakan oleh penjajah
Belanda. Hal itu dilakukan antara lain dengan mendirikan
Perserikatan Guru-Guru Poetri Islam di Bukittinggi, menjadi
ketua panitia penolakan Kawin Bercatat, dan ketua Penolakan
Organisasi Sekolah Liar. Pada tahun 1933 Rahmah El
Yunusiyah memimpin rapat umum kaum ibu di Padang
Panjang, hal ini menyababkan dia didenda pemerintah Belanda
100 gulden karena dituduh membicarakan politik.8
Rahmah El Yunusiyah juga pernah menjadi anggota pergurus
Serikat Kaum Ibu Sumatra (GKIS) Padang Panjang, organisasi
yang itu berjuang menegakkan harkat kaum wanita dengan
menerbitkan majalah bulanan. Aktivitasnya yang lain adalah
mendirikan Khuttub Khannah ( taman bacaan) untuk
masyarakat.
Pada tahun 1935 Rahmah El Yunusiah sempat mewakili
kaum ibu Sumatra Tengah dalam kongres perempuan yang
diselenggarakan di Jakarta. Dalam kongres ini Rahmah El
Yunusiyah bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum wanita
Indonesia untuk memakai selendang. Selesai kongres ia tinggal
di Jakarta agak lama untuk mendirikan pendidikan untuk kaum
putri di Gang Nangka, Kwitang, Kebon Kacang, Tanah Abang,
Jatinegara, dan jalan Johar di Rawasari.9
Rahmah sendiri merupakan pribadi yang giat mencari
ilmu. Selain belajar agama kepada sejumlah ulama, ia juga
mempelajari dan menekuni berbagai ketrampilan yang
mestinya dimiliki oleh kaum perempuan. Memasak, menenun,

54

Pejuang Perempuan, Perempuan Pejuang

Syajarah

Susiyanto

Dalam peran sertanya memperjuangkan kemerdekaan


Indonesia, Rahmah El-Yunusiah terjun dalam berbagai
kegiatan. Antara lain terlibat langsung dalam berbagai aktivitas
sebagai berikut:
Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra
Barat. Anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda yang telah
terlatih dalam lascar Gyu Gun Ko En Kai (laskar rakyat) yang
sebelumnya dibentuk oleh Jepang. Dapur asrama dan harta
miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih
muda usia.
Rahmah sendiri ditunjuk menjadi ketua Haha no Kai
(organisasi perempuan) di Padang Panjang, untuk membantu
pemuda-pemuda indonesia yang terhimpun dalam Gyu Gun
(laskar rakyat) agar mereka kelak dapat dimanfaatkan dalam
perang revolusi perjuangan bangsa.
Ikut mengayomi laskar-laskar barisan Islam yang dibentuk
oleh sejumlah organisasi Islam pada waktu itu seperti Laskar
Sabilillah dan Laskar Hizbulwathan. Oleh karena itulah para
pemuda pada masa itu menjuluki Rahmah El-Yunusiah sebagai
ibu kandung perjuangan.

Sebuah Kartu Pos masa silam dari Minangkabau


Sumber foto: Haks, Leo & Steven Wachlin (2004) Indonesia 500 Early Postcards, Singapore: Archipelago Press.

dan menjahit merupakan keterampilan yang ia miliki. Ia juga berupaya menularkan ketrampilan ini kepada kaum perempuan yang
ada di sekitarnya. Bahkan Rahmah kemudian mendirikan sebuah sekolah kejuruan yakni,sekolah tenun pada tahun 1936. Untuk
memenuhi tenaga pengajar perempuan, Rahmah mendirikan sebuah sekolah guru untuk perempuan pada tahun 1937.
Dalam masa penjajahan Jepang ia turut menentang sejumlah kebijakan yang ditelorkan oleh Tentara Jepang. Rahmah bersama
para rekannya menggawangi berdirinya organisasi sosial politik yang dinamakan Anggota Daerah Ibu (ADI) di Sumatera Tengah.
Tujuan pendirian ADI ini adalah untuk menentang aktivitas pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah
sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) bagi tentara Jepang.
Berkat keaktifannya, nama Rahmah El-Yunusiah cepat dikenal secara luas dikalangan pergerakan di Jawa. Sampai-sampai
setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memasukkan namanya sebagai Anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Namun Rahmah batal pergi ke Jakarta karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padang
Panjang
Jiwa patriot seorang Rahmah El-Yunusiah tergerak tatkala mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Kebeteluan ia merupakan anggota Chuo Sang In yang diketuai Engku Syafei sehingga mudah mengakses berita-berita tentang
perubahan konstelasi politik di tanah air. Segera ia mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya.Konon ia adalah orang yang
pertama kali mengibarkan bendera merah putih untuk menyambut kemerdekaan di Sumatra Barat. Hal itu terjadi karena jaringan
komunikasi saat itu masih banyak dikuasai oleh Jepang sehingga kaum muslimin masing jarang yang bisa mengakses. Begitu
bendera berkibar di Perguruan Diniyah Puteri, lantas aktivitas ini diikuti oleh massa yang mengibarkan bendera di kantor-kantor
layanan public. Tentara Jepang tidak mampu memberi tindakan atas gerakan masyarakat Minang ini. Meski demikian masyarakat
telah siap dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.10

Semasa perang asia-pasifik, gedung sekolah Diniyah Putri dua


kali dijadikan rumah sakit darurat untuk menampung korban
kecelakaan kereta api. Atas peristiwa ini Diniyah School Putri
mendapat Piagam Penghargaan dari Pemerintah Jepang.11
Rahmah juga tercatat sebagai salah seorang pendiri partai
Masyumi di Minangkabau. Rahmah cukup aktif dalam
mengembangkan Masyumi. Sampai pada pemilu tahun 1955,
Rahmah dicalonkan oleh partainya dan terpilih menjadi
anggota Parlemen (DPR) mewakili Sumatra Tengah (19551958).
Upaya pengembangan pendidikan yang dilakukan Rahmah
selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat
perguruan tinggi. Sejak 1964, Rahmah telah merintis pendirian
Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian,
tepatnya pada 22 November 1967, kedua fakultas tersebut
diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Prof. Drs.
Harun Zein.
Upaya-upaya Rahmah dalam mendirikan dan mengembangkan
Diniyah School Puteri, yang bertujuan untuk mencerdaskan
kaum perempuan mendapatkan perhatian secara khusus
dari dunia Islam. Keberhasilan Rahmah ini menarik perhatian
Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas al-Azhar Cairo
Mesir. Bahkan pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman
mengadakan kunjungan ke sekolah yang terletak di Padang
Panjang ini. Beliau tertarik dengan sistem pembelajaran
khusus yang diterapkan kepada putri-putri Islam di Indonesia.
Ia banyak menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan

Syajarah

Rahmah. Pada waktu itu, al-Azhar belum memiliki lembaga


pendidikan khusus bagi kaum perempuan. Tak lama setelah
kunjungan, Universitas Al Azhar membuka pendidikan khusus
perempuan yang bernama kulliyyt al-bant.
Sebagai rasa terima kasih, Syaikh Abdurrahman mengundang
Rahmah ke Universitas al-Azhar. Tahun 1957 Rahmah
menunaikan haji, dan pulangnya mampir ke Kairo untuk
menghadiri undangan Sang Rektor. Tak diduga sebelumnya,
Rahmah ternyata mendapat anugrah berupa gelar Syaikhah
oleh Universitas itu. Pemberian gelar ini belum pernah
diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Gelar yang baru
disandangnya itu setara dengan gelar Syeikh Mahmoud
Syalthout, salah seorang mantan rektor al-Azhar.
Keterpautannya dengan pendidikan kaum perempuan nampak
telah mengurat dalam nadinya. Ia yakin hal ini merupakan
bagian dari dakwah yang menjadi tanggung jawabnya untuk
menjadikan kaum perempuan setara dengan kaum lelaki
dalam mengakses berbagai bidang keilmuan. Bahkan sehari
menjelang akhir hayatnya yaitu tanggal 25 Februari 1969
ia masih sempat meminta perhatian kepada Harun Zein,
Gubernur Sumatra Barat, dalam suatu pembicaraan yang
ia sampaikan: Nafas saya sudah hampir habis dan kepada
bapak Gubernur saya mintakan perhatian atas sekolah saya.
Hal ini ditanggapi oleh Gubernur sebagai sebuah wasiat.12
Aktivitas Rahmah El-Yunusiah dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia telah mendapatkan pengakuan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya
usulan untuk memasukkan sosok Rahmah El-Yunusiah ke
dalam deretan nama Pahlawan Indonesia telah mengalami
kegagalan. Atas usulan dan usaha Kongres Wanita Indonesia
(KOWANI) yang merupakan federasi 55 organisasi wanita di
Indonesia, akhirnya Rahmah El Yunusiah resmi menjadi salah
satu Pahlawan Indonesia.13
Corak dan Konsep Pendidikan
Usaha-usaha Rahmah El Yunusiah dalam memperjuangkan
pendidikan untuk kaum perempuan, tidak diragukan lagi,
bercorak agamis. Ia menggunakan ajaran Islam sebagai
landasan perjuangannya. Al Quran dan Ash Shunnah ia
tampilkan sebagai madah perjuangan yang harus diaplikasikan
dalam gagasan dan aktivitasnya terkait bidang pendidikan.
Dengan dasar agama ini pula ia ingin agar kaum perempuan
bisa menjadi mitra yang sejajar bagi kaum lelaki dalam
menjalani kehidupan berdasarkan ajaran Islam.
Corak agamis yang dimiliki Rahmah El-Yunusiah ini terbentuk
melalui interaksi secara intensif dengan kebudayaan dimana
ia hidup. Keluarga secara khusus dan alam Minangkabau
secara umum telah memberi banyak dasar bagi Rahmah untuk

56

Pejuang Perempuan, Perempuan Pejuang

Syajarah

Susiyanto

Al Quran. Ungkapan yang dihasilkan dalam kesepakatan ini,


lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat
Minang adalah religius.16
Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan
agama dari model Surau, namun tetap saja perempuan
memiliki keterbatasan dalam lingkungan pendidikan yang
terakhir ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki
dalam menuntut ilmu di Surau. Kaum lelaki Minang memang
dikenal sangat santun terhadap kaum wanita. Bahkan menjadi
aib apabila ada seorang pria tidur di rumah, sementara di
rumah yang sama saudara wanitanya juga tidur. Wanita juga
mendapat kekhususan yang lebih utama dari laki-laki dalam
hal harta pusaka (warisan). Alam Minang sendiri mengenal
tradisi matrilineal, dimana kaum perempuan dianggap memiliki
keutamaan dalam hal tertentu.17 Meskipun demikian akses
perempuan untuk mendapat ilmu agama tetap terbatas.

Syaikhah Rahmah El Yunisiyah


Foto: Manipulasi dan kolase foto dari beragam sumber

menjadi sosok yang agamis dan menggunakan agama sebagai


tuntunan hidup.
Dari sisi keluarga, ia menyerap sebuah semangat baru yang
digambarkan sebagai bentuk pembaharuan Islam di Sumatra
Barat. Kakaknya Zainuddin Labay El-Yunusiy, sebagai sosok
pengganti orang tua dan sekaligus guru baginya, merupakan
pendiri Sekolah Adab dimana gagasan-gagasan pembaharuan
pendidikan Islam banyak ia kembangkan untuk mengatasi
berbagai persoalan yang ada dalam sistem pendidikan lama
yang berkutat di sekitar surau. Dari sang kakak inilah Rahmah
El-Yunusiah menyerap pemikiran baru yang kemudian ia
kembangkan lebih lanjut menjadi ide dan aktivitas pendidikan
yang berupa mengangkat harkat dan martabat kaum
perempuan.
Rahmah El Yunusiah sendiri juga banyak berguru pada
sejumlah ulama yang mengampu kajiannya berbasis surau.
Dengan demikian, Rahmah boleh dikatakan merupakan
sosok yang mengalami dua model pendidikan sekaligus
yaitu pendidikan surau yang bersifat tradisional dan melalui
madrasah yang dianggap lebih modern. Berada pada
dua model pendidikan itu sendiri membuat Rahmah bisa
menyelami kelebihan dan kekurangan masing-masing
entitas. Oleh karena itu meskipun pada akhirnya Rahmah
El-Yunusiah mengambil sistem pendidikan Madrasah, ia tetap
mengembangkan gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitas
posistif yang ia dapatkan dari sistem surau. Dengan demikian
surau sebagai lingkungan pendidikan tidak ditinggalkan dalam
gagasan pendidikan Rahmah.
Kata surau sendiri diduga berasal bahasa sansekerta

swarwa yang artinya segala, semua, macam-macam. Hal ini


berarti surau yang telah ada sejah era Indianisasi merupakan
sebuah pusat pendidikan dan pelatihan. Jelas awalnya surau
memiliki latar belakang Hindu-Budha. Awalnya Surau menjadi
tempat peribadatan, pertemuan warga, dan untuk belajar
pengetahuan agama maupun ketrampilan tertentu.14
Setelah mengalami proses Islamisasi, satu-satunya fungsi
surau yang berubah adalah hal yang terkait dengan pengaruh
keagamaannya. Surau di Mingangkabau berada di dalam
struktur kepemimpinan adat yang terdiri dari: imam, khatib,
bilal, amil (zakat), dan jamaah, yang dalam bahasa Minang
dikatakan Urang nan ampek jinih (penghulu, manti, malin,
dubalang) berada di malin.15 Dari sini dapat diketahui bahwa
surau memiliki fungsi sebagai lembaga pengembangan dakwah
Islam dan menjadi salah satu lembaga kemasyarakatan yang
penting peranannya bagi rakyat Minangkabau.
Penduduk Minang, dimana Rahmah El-Yunusiah tumbuh juga
dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Masyarakat ini
memang pernah terbelah dalam era Perang Padri (1821-1837),
dimana terjadi konflik antara kelompok pemangku adat yang
ingin melestarikan tradisi lama berlawanan dengan kaum
padri yang ingin mengembangkan kehidupan keagamaan
secara totalitas. Rekonsiliasi terjadi pada tahun 1840 setelah
kedua belah pihak menyadari kekeliruannya. Kesepakatan
kedua belah pihak dikukuhkan dalam baiat yang dikenal
dengan nama Piagam Bukit Marapalam yang isinya mengaskan
bahwa adeik basandi syara- syara basandi kitabullah (Adat
bersendi syara Syara bersendi kitabullah). Syara yang
dimaksud adalah ajaran Islam dan kitabullah menunjuk pada

Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang


nampaknya mendorong Rahmah ikut terlibat dalam arus
pembaharuan bagi kaum perempuan. Meskipun demikian
Rahmah nampaknya tidak memiliki gagasan bahwa kondisi
keterbelakangan kaumnya ini terjadi sebagai akibat kondisi
sosial yang cenderung patriarkhis atau bahkan buah
penindasan yang terjadi karena kaum lelaki. Pijakan awal
pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya
tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan
asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum
perempuan mengalami diskriminasi.18
Apalagi dengan melihat kembali budaya alam Minangkabau
yang dari beberapa sisi cenderung memuliakan kaum
perempuan, maka perbedaan antara kesadaran awal Rahmah
El-Yunusiah dengan asumsi feminisme semakin kentara.
Wacana yang diusung Rahmah El-Yunusiah bukanlah upaya
membebaskan atau bahkan memerdekakan sebagaimana
yang ada dalam konsep emansipasi Barat, sebab hakikatnya
wanita di ranah Minang memang tidak dalam kondisi
diperbudak atau terjajah oleh pria. Ia hanya menginginkan
agar wanita mendapatkan posisinya sebagaimana ajaran Islam
menempatkan kaum perempuan.
Pandangan Rahmah El-Yunusiah terhadap perempuan terlihat
jelas bertolak dari ajaran Islam. Fakta sosial tentang adanya
ketimpangan atau penindasan yang kadang terjadi di kalangan
masyarakat Islam lebih banyak terjadi disebabkan oleh praktik
dan tradisi masyarakat yang bersangkutan, ketimbang oleh
ajaran Islam. Pandangan demikian tentu berbeda dengan
konsep kesetaraan gender yang dipahami oleh kalangan
feminis radikal yang menganggap bahwa ajaran Islam adalah
sumber budaya patriarkhis, oleh karena itu ajaran Islam itu
sendiri adalah salah karena menampakkan misogyny (bias
gender) dan harus dikoreksi.19

Syajarah

Rahmah menilai bahwa posisi kaum perempuan dalam Islam


cukup sentral, dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan kaum
laki-laki. Perbedaan peran memungkinkan terjadi, namun
hal ini bukan merupakan wilayah yang kemudian dijadikan
pembenaran sebagai bukti adanya suatu diskriminasi. Ia
hanya berupaya memperbaiki kondisi kaumnya melalui bidang
pendidikan, sebab menurutnya wanita pada akhirnya akan
berperan sebagai seorang ibu. Ibu merupakan madrasah
awal bagi anak-anaknya sebelum terhubung dengan alam
pandang (worldview) yang lebih luas di lingkungan sekitarnya.
Melalui ibu inilah corak pandang dan kepribadian awal seorang
anak akan terbentuk. Oleh karena itu menjadi penting bagi
Rahmah untuk memberikan bekal bagi kaum perempuan ilmuilmu agama dan ilmu terkait lainnya sehingga bisa memiliki
pengetahuan yang sama dengan mitra sejajarnya, kaum
lelaki. Di sini pula akan terbentuk pandangan bahwa wanita
merupakan tiang negara.
Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah
mengungkapkan bahwa ibu memegang peranan sangat
penting dalam perkembangan anak-anak. Perkembangan ini
mencakup badan, kesehatan, kemampuan intelektualitas,
serta perkembangan kejiwaan dan perilakunya, hingga
hal-hal yang lainnya.20 Intinya ibu memiliki peran tertentu
dalam mendidik anak-anak, termasuk dalam pemahaman
keagamaan. Pada wilayah inilah nampaknya Rahmah ElYunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta hasil kajian
ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah
masa sesudahnya.
Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah
El-Yunusiah ingin menerapkan pembelajaran sepanjang
hayat dalam konsep pendidikan yang digagasnya. Hal ini
tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa
anak-anak dengan mendirikan Freubel School (semacam
Taman Kanak-kanak). Ia kemudian juga menggagas
pendidikan lanjutannya berupa Junior School (setingkat
HIS), Madrasah Diniyah Putri yang mencakup Ibtidaiyah
danTsanawiyah, dan program untuk calon guru Kulliyat al
Mualimat al-Islamiyah.
Pada masa selanjutnya, Rahmah pun mengagas pendirian
perguruan tinggi untuk kaum perempuan. Perguruan tinggi
ini hanya terdiri dari satu fakultas yakni Fakultas Dirasah
Islamiyah. Bagi ibu-ibu yang tidak terjaring dalam pendidikan
formal dan belum bisa membaca atau menulis, Rahmah
pernah mendirikan Menyesal School. Ia juga sempat
menggagas semacam sekolah kejuruan yakni, sekolah tenun.
Nampak bahwa ia menyediakan lapangan yang luas bagi
kaum perempuan yang ingin mengamalkan ajaran Rasulullah
bahwa menuntut ilmu itu tidak sekedar kewajiban bagi kaum
muslimin dan muslimat, namun juga menuntut ilmu itu dari
buaian sampai liang lahat.

58

Pejuang Perempuan, Perempuan Pejuang

Syajarah

Sebuah Masjid di Padang Pariaman.


Sumber foto: KITLV Digital Image Library
Collection. (www.media-kitlv.net)

Corak agamis konsep pendidikan Rahmah El-Yunusiah teruji


ketika institusi pendidikannya agak terseret dalam puasaran
arus politik. Rasuna Said, seorang politikus perempuan yang
populer di Minangkabau, pernah tergabung dalam institusi
pendidikan Rahmah El-Yunusiah. Disebabkan kepopuleran
Rasuna Said ini, sebagian dari murid-murid Rahmah ada
yang tertarik dalam kegiatan politik. Akibat arus politik
tersebut, Rahmah mengamati bahwa sejumlah peraturan
yang dikeluarkan terkait pelaksanaan kewajiban agama di
sekolahnya, seperti pelaksanaan shalat, sering diabaikan.
Rahmah kemudian mengadakan pertemuan dengan Rasuna
untuk membicarakan permasalahan namun tanpa hasil yang
berarti.
Sebuah panitia yang diketuai Inyik Basa Bandaro kemudian
dibentuk sebagai perantara. Mereka juga menyadari bahwa
institusi pendidikan Rahmah pada masa itu mengalami
kemunduran dalam aktivitas agama akibat terbawa urusan
politik. Panitia yang terbentuk akhirnya menyetujui Rahmah.
Kebijakan dalam mengemudikan sekolah haruslah terletak
pada pendiri atau direktur sekolah. Oleh karena itu Rasuna
Said menarik diri dan pindah dari Padang.21
Dari peristiwa ini dapat dipahami bahwa Rahmah El-Yunusiah
sangat memperhatikan dan menekankan penanaman nilainilai agama dalam konsep pendidikan yang ia gagas. Hal ini
bukan berarti ia menganggap aktivitas politik tidak penting. Ia
sendiri merupakan praktisi politik dimasanya. Ia mengamati
bahwa pemimpin-pemimpin politik di Minangkabau terdiri daro
orang-orang yang dimasa mudanya tidak mendapat pendidikan
politik, tetapi telah mengenyam pendidikan agama di lembagalembaga yang mereka masuki. Dari sini Rahmah menyimpulkan
bahwa para murid tidak perlu secara khusus diberikan
pelajaran yang menekankan pada teori atau praktik politik.22

Penutup
Dari pembahasan di atas dapat di ambil berbagai kesimpulan
terkait pribadi wanita pejuang Rahmah El-Yunusiah sebagai
berikut:
Pertama, Rahmah El-Yunusiah merupakan tipologi wanita
yang pantang menyerah. Dalam kasusnya terkait akses kaum
perempuan yang terbatas untuk menikmati dunia pendidikan,
ia merupakan salah satu pendobrak tradisi yang berhasil. Ia
sendiri hanya berhasil mendapat pendidikan dasar, namun
kemauannya belajar dan keinginannya untuk memajukan
kaumnya telah mengantarkan dirinya mampu menciptakan
kesempatan bagi kaumnya untuk mendapat akses yang sama
dengan kaum lelaki dalam mereguk ilmu.
Kedua, Rahmah El-Yunusiah adalah wanita pertama yang
mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Berkat
prestasinya ini bahkan Universitas Al-Azhar tidak bisa tidak
harus mengakui kepeloporannya dan mengikuti jejaknya
dengan membuka program kulliyyt al-bant di Mesir. Ia juga
merupakan orang yang pertama mendirikan layanan kesehatan
(Rumah Sakit) khusus untuk kalangan perempuan.
Ketiga, Sebagai seorang pejuang ia memiliki jiwa dan semangat
perjuangan yang kuat. Hal ini terbukti dari keikutsertaannya
dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia juga
turut hadir dan menyumbang peran dalam berbagai aktivitas
yang bermanfaat bagi perjuangan dan hajat kaum muslimin.
Keempat, Atas kiprah dalam lapangan keilmuan dan lapangan
lainnya ia telah mendapat penghargaan yang selayaknya
diperoleh. Ia mendapat gelar (honoris causa) Syaikhah dari
Universitas Al-Azhar, Mesir atas perhatiannya dalam

Susiyanto

Syajarah

memajukan pendidikan kaumnya. Pemberian gelar ini belum


pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya.

dalam menyiapkan kaum ibu sebagai tiang negara dan


pendidik bangsa.

Kelima, corak perjuangan Rahmah El-Yunusiah bersifat


agamis dimana ia menggunakan ajaran Islam sebagai dasar
dan penegakannya menjadi cita-cita perjuangan. Dengan
perjuangan ini ia mengharapkan kaum wanita akan bisa
mengembangkan peran yang lebih baik sebagai mitra sejajar
kaum pria. Peran perempuan bahkan cukup sentral dalam
pembentukan awal sikap mental dan kepribadian generasi
baru di lingkungan keluarga karena ia bergerak dalam wilayah
domestik tersebut. Dalam kancah aktivitas yang lebih luas
kaum perempuan pun tak kurang perannya. Penyiapan kaum
perempuan secara berkelanjutan akan membentuk mereka

Dari kisah kehidupannya dapat diketahui bahwa Rahmah


El-Yunusiah merupakan pejuang perempuan dengan motivasi
yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan
pendidikan kaum perempuan. Ia berjuang berdasarkan
ide-ide yang ia yakini yang bersumber dari ajaran Islam yang
berlandaskan Al Quran dan As-Shunnah. Pejuang tangguh
selalu mewariskan nilai dan semangat yang bisa diteladani
oleh generasi sesudahnya. Rahmah El-Yunusiah sendiri telah
memberikan sebagian bukti bahwa harkat dan martabat
manusia bisa terangkat ketika mereka menyadari tentang
pentingnya ajaran agama diamalkan secara konsekuen.

[1] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Gramedia, Jakarta, 2004, hlm. 19; Dalam catatan A.A. Navis,
pembaharuan Islam di Minangkabau terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang pertama, datang dari kalangan padri, yang diarsiteki oleh 3 serangkai haji yakni Haji
Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gelombang kedua, datang setelah gerakan kaum padri ini kandas dalam perjuangan melawan senjata modern selama 34
tahun. Gelombang pembaharuan kedua yang berasal dari Makkah ini ditandai dengan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah secara massif di bawah pimpinan Tuanku
Ismail dari Simabur, yang kemudian bergelar Syaikh Ismail Simabur. Lima puluh tahun kemudian, muncul gelombang ketiga yang lagi-lagi digagas oleh 3 serangkai
haji yang terdiri dari H. Abdullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Jamil Jambek. Golongan ini menamakan diri sebagai kalangan muda yang ingin
memebrsihkan Islam dari pengaruh mistik dan tarikat. Lihat A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di Minangkabau, dalam Jurnal Analisis
Kebudayaan No. 1 Tahun III/ 1982-1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hlm. 76
[2] Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam , hlm, 19-20
[3] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia
Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991, hlm. 35-37
[4] Lihat Junaidatul Munawaroh, Rahmah El Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan, hlm. 1 dalam Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang
Perempuan Islam , hlm. 19
[5] Moenawar Kholil, Nilai Wanita, Cetakan IX, Surakarta: CV. Ramadhani, 1989, hlm. 115
[6] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 10
[7] Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 29; Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.),
Tentang Perempuan Islam , hlm, 18-19
[8] Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah , hlm. 59
[9] Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Citra Budaya Indonesia,2010, hlm. 427
[10] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 26
[11] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 26
[12] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 30
[13] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan , hlm. 30
[14]Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan Ulama Sufi dalam Pembaharuan Adat, Bandung: Marja, 2007, hlm. 170
[15] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat , hlm. 172
[16] Febri Yulika, Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, Yogyakarta: Gre Publishing, 2012, hlm. 3
[17] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat , hlm. 171-172; Hal-hal terkait masalah adat seperti misalnya tentang harta pusaka yang pembagiannya lebih mengutamakan kaum perempuan juga mendapat sejumlah kritikan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam tentang pembagian harta warisan (faraid).
Diantara kritik yang paling keras terhadap masalah ini berasal dari Syaikh Akhmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia menganggap bahwa hukum warisan berdasarkan adat
semacam itu bersifat haram dan pelakunya bisa dianggap melakukan perbuatan haram. Lama-kelamaan sistem faraid Islam mulai diterima. Meskipun demikian hal ini
juga melalui proses yang panjang. Perubahan dimulai dengan mengadopsi sistem hibah. Selengkapnya baca A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam , hlm. 78-80
[18] Dilihat dari latar belakangnya, feminisme merupakan suatu gerakan yang diawali dengan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan
mengalami diskriminasi. Gerakan ini merupakan upaya untuk mengatasi diskriminasi tersebut. Lihat: Gillian Howie, Between Feminism and Materialism: A Question of
Method, New York: Palgrave Macmillan, 2010, hlm. 27-28; Mansour Fakih, et.all., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti,
2000, hlm. 38; A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Jilid 1, Magelang: IndonesiaTera,
2004, hlm. xxviii. Gerakan feminisme yang lahir di Barat sebenarnya merupakan bentuk respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di
sana, terutama menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Gerakan ini lahir karena adanya anggapan bahwa di Barat kaum perempuan memang dipandang sebelah
mata (misogini). Pandangan ini telah diawali oleh tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles serta diikuti Gereja yang memposisikan wanita tidak setara dengan kaum
lelaki. Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-107
[19] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme , hlm. 113
[20] Studi yang dimaksud dilakukan oleh Dr. Rene Sebitern, Dr. Widdowson, dan Dr. Weidz Haitez-rolf. Lihat: Nuruddin Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa Dengan Wanita?, Yogyakarta: Bina Media, 2005, hlm. 156-157
[21] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan , hlm. 32-33
[22] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan , hlm. 33

60

Buku

Buku

Pangeran Diponegoro
Judul: Takdir. Riwayat
Pangeran Diponegoro
(1785-1855)

Penulis: Peter B. Carey

angeran Diponegoro adalah sebuah kejanggalan


dalam sejarah Indonesia. Namanya begitu dikenal,
menghiasi jalan-jalan protokol di banyak kota, dikenalkan
sejak Sekolah Dasar, namun sedikit yang mengenalnya
lebih jauh. Ia hanya sebatas ingatan tentang pria
bersorban, yang mengamuk kepada Belanda karena
tanahnya diserobot. Nilainya tak lebih dari sekedar
patok tanah. Alhasil dirinya dinilai tak lebih dari manusia
yang berjuang berlandaskan nilai-nilai kebendaan.
Maka tak heran jika di masa kini dirinya mungkin akan
ditafsirkan semena-mena oleh generasi yang terpaut
jauh darinya.
Syahdan dalam sebuah bedah buku Strategi
Menjinakkan Diponegoro, Stelsel Benteng 1827-1830,
pada tanggal 27 Agustus silam, ada seorang pendengar
berpendapat. Ia menilai jika saja Karl Marx hidup
sezaman dengan Sang Pangeran, maka ia pasti berjuang
berlandaskan marxisme. Tentu saja penafsiran semacam
ini saat itu ditolak oleh dua pakar yang menulis tentang
Diponegoro, yaitu Saleh A. Djamhari dan Peter B. Carey.
Keduanya dengan tegas mengatakan dibawah panji
Islam-lah Pangeran berjuang.

2013

Namun Saleh A. Djamhari dan terutama Peter Carey


menembus kabut pekat tersebut dan merujuk pada
sumber-sumber primer seperti otobiografi Pangeran
Dipanegara; Babad Dipanegara, yang ditulis selama
masa pengasingannya. Sumber lain yang dapat
dijangkau adalah Buku Kedhung Kebo, yang ditulis
dibawah pengawasan Raden Adipati Cakranagara I
(1830-1863). Cakranagara menjabat pada tahun 1830,
setelah Belanda menguasai Purwaredja. Dan tentu saja
sumber yang tak kalah penting berhasil dimanfaatkan
Peter Carey adalah Babad Dipanegara versi Keraton
Surakarta.
Terbukanya akses terhadap sumber-sumber tersebut
menjadikan Peter Carey salah satu dari sangat sedikitnya
pakar mengenai Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa.

xxxvii + 434 Halaman

Penafsiran semacam ini adalah pemerkosaan terhadap


kisah Pangeran Diponegoro. Penafsiran semenamena ini mungkin diakibatkan terputusnya kehadiran
Diponegoro yang lebih mendalam ditengah generasi saat
ini. Fakta dan data yang menyingkap Sang Pangeran
lebih dalam nyatanya tidak merembes ke dalam
pengetahuan masyarakat.
Penulisan sejarah Pangeran Diponegoro dan Perang
Jawa memang masih dapat dihitung dengan jari dan
amat terbatas. Setidaknya Muhammad Yamin (Sedjarah
Peperangan Dipanegara; Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia; 1950), Soekanto (Sentot Alias Alibasah
Abdulmustapha Prawirodirjo Senoapti Diponegoro;
1951), Sagimun MD (Pahalwan DIpanegara Berjuang,
Bara api kemerdekaan nan tak kunjung padam; 1965)
dan Tanojo (Sadjarah Pangeran Dipanegara darah
Madura; Awewaton pengetan kina; 1966) merujuk
tulisannya bukan pada penelitian arsip, melainkan
mengutip buku Sejarah perang Jawa yang ditulis PJF
Louw dan ES de Klerck. Dengan rujukan yang terbatas
sulit untuk menjangkau pribadi Pangeran dan peristiwa
yang mengelilinginya.

Penelitiannya selama puluhan tahun dan pemanfaatan


sumber-sumber yang utama membuat karya-karyanya
patut menjadi rujukan-rujukan kuat dalam mempelajari
dan mengenal lebih jauh Pangeran Diponegoro. Dan
buku Takdir ini adalah salah satu rujukan yang mumpuni
bagi masyarakat Indonesia dalam mengena Sang
Pangeran.
Buku Takdir menjadi istimewa karena dibandingkan
dengan karya Peter Carey sebelumnya, yaitu Kuasa
Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama

di Jawa 1785-1855, Takdir menjadi penulisan Pangeran


yang lebih terfokus pada riwayat dirinya. Ketika Kuasa
ramalan membahas lebih luas tentang Perang Jawa
dan Pangeran Diponegoro, Takdir muncul menjadi karya
biografi yang lebih padat dan terfokus.
Terlepas dari kedalaman dan lengkapnya rujukan
yang dilakukan oleh Peter Carey terhadap Pangeran
Diponegoro, kajian terhadap Pangeran Diponegoro
seharusnya tidak berhenti sampai disini. Akses dan
penguasaan terhadap sumber utama seperti otobiografi
Pangeran Diponegoro, yaitu Babad Dipanegara, sudah
selayaknya dapat menjadi sumber melimpah yang
terus mengalirkan penulisan-penulisan berbagai aspek
tentang Pangeran Diponegoro.
Hubungan Pangeran dengan Turki Usmani, pemahaman
Islam dari Pangeran Diponegoro adalah salah satu
wacana-wacana yang harus terus dikembangkan dan
diteliti lebih lanjut. Salah satu penulisan yang patut
diperhatikan adalah Negara Islam Tanah Jawa; Citacita Jihadis Pangeran Diponegoro yang ditulis oleh
K. Mustarom dari Lembaga Kajian Syamina. Aspek
penulisan ini lebih memfokuskan pada aspek jihad
Pangeran Diponegoro. Tulisan seperti ini hanyalah
sedikit contoh dari betapa kayanya kajian yang bisa
didalami dari Pangeran dan Perang Jawa. Sayang sekali
penyebaran tulisan ini K. Mustarom tidak meluas.
Bagi umat Islam, amat penting untuk dilakukan
penafsiran-penafsiran sejarah dengan pandangan
hidup Islam. Termasuk pula penulisan sejarah Pangeran
Diponegoro. Karena tanpa mengurangi penghargaan
kita kepada Peter Carey atas luas dan mendalamnya
pengetahuan ia akan Pangeran Diponegoro dan Perang
Jawa, penulisan yang dilakukan Peter Carey tetaplah
sebuah penafsiran tanpa pandangan hidup Islam. Maka
kita akan menemukan pendapat-pendapatnya yang perlu
ditelisik lagi, tentang hukuman potong tangan atau sudut
pandang dalam meninjau hubungan Pangeran dengan
wanita keturunan tionghoa yang menjadi tawanannya.
Persoalan ini merupakan hal yang dapat diatasi oleh
penulis muslim dengan menghadirkan penulisan ulang
sejarah Pangeran Diponegoro dengan pandangan hidup
Islam. Dan hal itu sebenarnya sudah dipermudah oleh
Peter Carey dengan membuka akses terhadap sumbersumber rujukan Pangeran Diponegoro yang begitu
melimpah. (BR)

62

Rekam

Rekam

merekam
ingatan
Korban-korban bergelimpangan di Kute Reh (Aceh Tenggara), 14 Juni 1904.
Pembantaian ini dipimpin oleh Van Daalen. Dari 516 korban, 248 adalah perempuan
dan anak-anak. Namun tampak seorang anak luput dari pembantaian.

Perang Aceh akan selalu tercatat dalam sejarah


Indonesia. Perang yang tak kunjung padam hingga
Belanda angkat kaki dari Serambi Mekah ini
menyiratkan keberanian dan pengorbanan pejuangpejuang Aceh. Namun mungkin belum banyak yang
ungkap visualisasi perang tersebut. Nuansa dan jejakjejak peperangan yang terekam dalam ingatan perang
puluhan tahun itu tersimpan dalam foto-foto tentang
Perang Aceh, salah satunya dalam buku The Dutch
Colonial War in Acheh (1997), yang diterbitkan oleh
Banda Aceh: The Documentation and Information Center
of Acheh.
Teungku Putro (tengah), permaisuri Sultan yang
berhasil ditawan oleh H. Christoffel, tanggal 26
November 1902, di Glumpang Payng, Pidi

Foto esai kali ini akan mengusung kembali kisahkisah dibalik peperangan tersebut, dari kurban
bergelimpangan, hingga gajah yang terekam dalam
potret masa silam.

Satuan angkutan gajah Divisi IV Marsos sedang


melintasi Kurng Bar - sekitar Tangs - Pidi.

64

Rekam

Rekam

Mohammad Syarief adalah seorang


pencetus gagasan dibentuknya Korps
Marcheausse yang terkenal kejam itu.
Ia bekerja menjadi Komis di Kantor
Gubernur Sipil dan Militer di Aceh.

Orang rante. Mereka yang terikat ini adalah para


tenaga kerja paksa yang menjadi tukang angkut
pasukan kolonial. Dalam serangan pertama
Belanda pada Maret 1873, setidaknya terdapat
seribu orang rante yang dipekerjakan dalam
pasukan Belanda.

Salah satu bagian dari Hikayat Perang Sabil yang ditemukan


Belanda di tempat Teungku Putro (permaisuri Sultan
Muhammad Daud Syah), ketika disergap Kapten Christtoffel
bersama pasukan Marsose di Glumpang Payong, Pidi, 26
November 1902.

66

Catatan Punggung

BUKU DAN
SANAD YANG
TERPUTUS
ketika Buya Hamka tamat mengaji sosialisme kepada
H.O.S Tjokroaminoto di pulau Jawa, rasa terima kasihnya
tidak berhenti disitu. Bersama murid-murid lainnya, ia
mempersembahkan sebuah buku berjudul Islam dan
Sosialisme. Buku itu adalah rangkuman pengajaran
Tjokroaminoto yang telah mereka terima.
Di tahun 1954, M. Natsir, Moh. Roem, Sjafruddin
Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, Yusuf Wibisono
dan empat orang lainnya mempersembahkan sebuah
buku untuk guru mereka, H. Agus Salim, yang kala itu
tepat berusia 70 tahun. Lautan pikiran H. Agus Salim
yang terserak mereka kumpulkan menjadi buku dan
diberi judul Djedjak Langkah H. Agus Salim. Buku itu
sebagai persembahan para murid-murid kepada guru
mereka. Mencerminkan sebuah adab yang indah dari
murid terhadap gurunya.
Rupanya angka 70 ini menjadi sebuah tradisi bagi para
murid-murid H. Agus Salim yang kemudian menjadi
tokoh-tokoh Masyumi. Di keluarga bulan bintang
persembahan sebuah buku kepada yang genap berusia
70 tahun menjadi tradisi yang cukup konsisten di
jalani. M. Natsir, Buya Hamka, Yunan Nasution, hingga
generasi berikutnya seperti Anwar Harjono merasakan
tradisi tersebut. Buku 70 tahun tersebut utamanya berisi
riwayat hidup bersangkutan, terkadang ditambah dengan
kesaksian orang-orang terdekat.
Penulisan riwayat hidup bukan sesuatu yang asing dalam
tradisi tulis-menulis bagi para tokoh Islam. Pangeran
Diponegoro setidaknya sudah memulainya sejak ia
menjadi orang yang hidup di pengasingan. Tulisan yang
termuat lebih dari seribu halaman kertas ukuran folio ini.

kemudian beredar dari tangan ke tangan. Disalin dari


aksara arab pegon ke aksara jawa. Kemudian bertukar
ke aksara latin. Tulisan riwayat hidupnya mengembara
dari Makassar, Jawa hingga Leiden. Riwayat hidup
Pangeran ini kemudian dikenal dengan Babad
Dipanegara. Namun apa daya, Babad DIpanegara saat
ini menjadi asing. Ia menjadi sesuatu yang terbatas,
hanya untuk para peneliti. Warisan ini seharusnya bisa
didaras oleh umat Islam secara luas. Namun kini Babad
itu hanya teronggok di perpustakaan, dikurung oleh
tembok beton. Jauh dari umat disekelilingnya. Persis
seperti nasib sang Pangeran yang terkurung dalam
Benteng Fort De Kock dalam sisa-sisa hidupnya di
pengasingan.
Penulisan sejarah, termasuk riwayat hidup, ibaratnya
adalah sebuah jembatan generasi lampau dengan
saat ini. Akibat terasingnya kita dengan riwayat hidup
para pendahulu kita, maka seakan-akan kita menjadi
generasi yang hidup tidak menjejak tanah. Generasi yang
terputus dengan masa lalunya. Umat Islam di Indonesia
hidup melompat dari ruang hampa ke masa kini. Maka
tak heran jika kita terus abai akan sejarah, umat Islam di
Indonesia akan merasa asing dengan dirinya sendiri, jadi
umat yang linglung, merogoh-rogoh identitas semu.
Kita, lambat laun akan menjadi generasi yang berbeda
dengan para pendahulu kita. Jika para pendahulu kita,
mengenang guru-guru mereka dengan menulis dan
mengumpulkan buah pikiran serta riwayat hidup guruguru mereka, maka saat ini jejak para pendahulu seakan
sirna ditelan oleh abainya generasi saat ini. Kita mungkin
sudah terputus sanad dengan guru-guru kita.
Beggy Rizkiyansyah

Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press

JIB

Jejak Islam
Untuk Bangsa

Anda mungkin juga menyukai