Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI HEWAN AIR

PROGRAM STUDI ILMU PERAIRAN


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

KATA PENGANTAR

Sungguh, Allahlah pemilik pujian; dan karena-Nya pula pujian itu kami haturkan
atas selesainya laporan praktikum ini. Sholawat dan salam teruntuk junjungan alam,
Muhammad SAW.
Laporan ini merupakan hasil kegiatan praktikum secara kelompok untuk mata
kuliah Fisiologi Hewan Air. Materi yang dipraktikumkan antara lain, anatomi organ
pencernaan, adaptasi fisiologis (salinitas), osmoregulasi dan kerja enzim; sebagai salah
satu tugas dalam mata kuliah Fisiologi Hewan Air.

Praktikum dilaksanakan di

Laboraorium Fisiologi Hewan Air dan laboratorium Lingkungan, Departemen


Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna.
Namun demikian, semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Bogor, Pebruari 2007

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ......................................................................................................

Daftar Isi ...............................................................................................................

ii

Praktikum I (Anatomi Organ pencernaan) .............................................................. 1


Praktikum II (Adaptasi Terhadap Salinitas) ........................................................... 12
Praktikum III (Osmoregulasi) ................................................................................. 16
Praktikum IV (Pengaruh Dosis Enzim dalam Proses Hidrolisis) ............................ 25

ii

ANATOMI ORGAN PENCERNAAN


IKAN NILA MERAH, Oreochromis sp.

Oleh:
Eni Kusrini, Nurul Hanum Kharisma, Adi Sucipto, Marlina Ahmad

PENDAHULUAN
Pakan merupakan salah satu komponen dalam budi daya ikan dan mempunyai
peranan yang sangat besar baik ditinjau dari faktor penentu pertumbuhan maupun dilihat
dari segi biaya produksi.

Hubungan antara fisiologi, pencernaan, nutrisi, dan

pertumbuhan yang saling terkait, maka sangat perlu pemahaman tentang fisiologis
pencernaan dalam pengembangan budi daya ikan.

Pencernaan makanan sendiri

didefinisikan sebagai proses penyederhanaan makanan melalui mekanisme fisika dan


kimia, sehingga menjadi zat yang mudah diserap dan disebarkan ke seluruh tubuh
melalui sistem peredaran darah. Dalam mempelajari sistem pencernaan makanan pada
ikan ada dua cara yang dapat dilakukan, yaitu studi struktur alat pencernaan dengan cara
anatomi, histologi, dan sitologi; dan studi biokimia, dengan analisis kadar nutrien pada
makanan, feses, tubuh ikan, analisis enzim, dan aktivitas enzimatik.
Pencernaan secara fisik dan mekanik dimulai di bagian rongga mulut yaitu
dengan berperannya gigi pada proses pemotongan dan penggerusan makanan.
Pencernaan secara mekanik ini juga berlangsung di segmen lambung dan usus yaitu
melalui gerakan-gerakan (kontraksi) otot pada segmen tersebut.

Pencernaan secara

mekanik di segmen lambung dan usus terjadi lebih efektif oleh karena adanya peran
cairan digestif. Pada ikan, pencernaan secara kimiawi dimulai di bagian lambung, hal
ini dikarenakan cairan digestif yang berperan dalam proses pencernaan secara kimiawi
mulai dihasilkan di segmen tersebut yaitu disekresikan oleh kelenjar lambung.
Pencernaan ini selanjutnya disempurnakan di segmen usus.

Cairan digestif yang

berperan pada proses pencernaan di segmen usus berasal dari hati, pankreas, dan dinding
usus itu sendiri. Kombinasi antara aksi fisik dan kimiawi inilah yang menyebabkan

perubahan makanan dari yang asalnya bersifat komplek menjadi senyawa sederhana atau
yang asalanya berpartikel makro menjadi partikel mikro. Bentuk partikel mikro inilah
makanan menjadi zat terlarut yang memungkinkan dapat diserap oleh dinding usus yang
selanjutnya diedarkan ke seluruh tubuh.
Kemampuan ikan mencerna jenis pakan bergantung pada kualitas dan kuantitas
pakan serta kuantitas enzim yang ada dalam alat pencernaan. Selain itu alat pencernaan
sendiri juga sesuai dengan jenis makanan yang dikonsumsi ikan, apakah ikan tersebut
termasuk herbivora, carnivora, maupun omnivora.

Masing-masing mempunyai

perbedaan yang spesifik jika dilihat alat pencernaannya. Adapun untuk jenis dan fungsi
enzim yang berperan dalam proses pencernaan ikan relatif sama, baik kelenjar-kelenjar
yang menghasilkan enzim tersebut, maupun jenis zat makanan yang dicerna.
Tujuan dari pengamatan tersebut adalah untuk mengetahui anatomi alat
pencernaan dan morfologi ikan nila merah (Oreochromis sp.). Penggunaan ikan ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa ikan nila merah merupakan jenis ikan yang
mempunyai nilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas penting dalam bisnis ikan
air tawar dunia. Beberapa hal yang mendukung pentingnya komoditas nila adalah a)
memiliki resistensi yang relatif tinggi terhadap kualitas air dan penyakit, b) memiliki
toleransi yang luas terhadap kondisi lingkungan c) memiliki kemampuan yang efisien
dalam membentuk protein kualitas tinggi dari bahan organik, limbah domestik, dan
pertanian, d) memiliki kemampuan tumbuh yang baik, dan e) mudah tumbuh dalam
sistem budi daya intensif.
METODOLOGI PRAKTIK
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah ikan nila merah berjumlah 2 ekor dengan ukuran
dan umur yang relatif sama. Sedangkan alat-alat yang digunakan antara lain gunting,
pisau cutter, pinset, penggris, timbangan analitik dan jarum pentul.

Prosedur Kerja
Ikan nila merah diamati secara morfologi, kemudian digambar dan dicirikan
bentuk serta ciri-ciri luarnya. Langkah berikutnya adalah melakukan pembedahan untuk
mengamati anatomi alat pencernaan.
Secara rinci, prosedur kerja dalam praktikum ini adalah sebagai berikut:
a. Mengukur dan mengamati ikan contoh
Pengukuran panjang dan bobot total ikan contoh dilakukan sebagai dasar
untuk membandingkan kebiasaan makanan antar ukuran panjang, kelompok umur,
dan aktivitas makan. Pengukuran panjang total dilakukan dengan cara mengukur
dari ujung kepala terdepan sampai dengan ujung sirip ekor yang paling belakang
dengan menggunakan papan pengukuran yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Selain
itu juga diukur panjang standar dari batas kepala sampai batas ekor. Pengukuran
bobot ikan contoh dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan dengan
menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g.
b. Membunuh ikan kemudian melakukan pembedahan dengan menggunakan gunting.
Pembedahan dilakukan pada sisi kiri dari tubuh ikan, dengan cara meletakkan
kepala ikan di sebelah kiri dari pembedah dan perut ikan terletak di sebelah bawah.
Pengguntingan dimulai dari anus menuju ke bawah tulang tutup insang, sehingga sisi
bawah rongga perut terbuka.
Pengguntingan kedua juga dimulai dari anus, tetapi mengarah ke atas atau
mengarah ke sirip punggung. Pengguntingan yang kedua ini sampai di bawah tulang
punggung, kemudian belok ke depan sejajar di bawah tulang punggung, sampai di
belakang tutup insang. pengguntingan membelok ke bawah sejajar dengan tutup
insang sampai bertemu dengan pengguntingan pertama. Dengan demikian daging
yang menutupi rongga perut terpotong seluruhnya dan isi rongga perut terlihat.
c. Mengamati organ-organ perut diamati dan mendeskripsikan organ-organ tersebut;
organ jantung diamati secara terpisah.
d. Mengamati organ insang dengan cara membuka tulang-tulang penutup insang.
e. Membedah kepala untuk mengamati organ otak.

Pembedahan dilakukan di daerah kepala dengan pisau tajam mulai mulai dari
celah dekat tulang hidung menuju mata (berhenti tepat sebelum mengenai mata).
Selanjutnya, pembedahan hanya dilakukan pada bagian pinggiran untuk mencegah
teririsnya otak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Klasifikasi
Nila merah yang dikenal saat ini merupakan tetrahibrid yang berarti pula bahwa
nila merah merupakan hasil persilangan dari empat spesies berbeda dari genus
Oreochromis: O. mossambicus (mujair), O. niloticus (nila), O. hornorum dan O. aureus
(aurea).

Menurut Sucipto dan Prihartono (2005), klasifikasi dari ikan nila adalah

sebagai berikut:
Filum
Sub filum
Kelas
Sub kelas
Ordo
Sub ordo
Famili
Genus
Spesies

:
:
:
:
:
:
:
:
:

Chordata
Vertebrata
Pisces
Teleostei
Perchomorphi
Perchoidae
Chiclidae
Oreochromis
Oreochromis sp.

Morfologi
Ciri pada ikan nila adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor
sebanyak enam buah. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur.
Sedangkan ikan mujair tidak memiliki garis-garis vertikal di ekor, sirip punggung, dan
di sirip dubur.
Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil,
belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot
badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah
mulai kawin dan bertelur (Suyanto, 2003). Tanda-tanda ikan nila jantan adalah 1) warna
badan lebih gelap dari ikan betina, 2) saat memijah, bagian tepi sirip punggung dan ekor
berwarna merah cerah, 3) alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus,
4) tulang rahang melebar ke belakang dan 5) bila waktu memijah tiba, sperma ikan nila

berwarna putih saat distripping. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah 1) alat
kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di
depan untuk mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni
dan 2) bila telah mengandung telur yang masak, perutnya tampak membesar.
Karakter morfometrik dan meristik merupakan hasil pengukuran dan
penghitungan berdasarkan organ tubuh yang dijadikan sebagai karakter tertentu pada
suatu spesies ikan. Karakteristik nila merah terdiri atas:
(1)

perbandingan antara panjang standar dengan tinggi badan (PS/TB) 2.18 3.00,

(2)

jumlah sisik pada gurat sisi (linea literalis atas) 20-24,

(3)

jumlah gurat sisi bawah 13-17,

(4)

sirip punggung (Dorsal fin) D XVI- XVII.11-13,

(5)

sirip dada (Pectoral) P 13-14,

(6)

sirip perut (Ventral fin) V I.5,

(7)

sirip dubur (Anal fin) A III.9-10 dan

(8)

sirip ekor (Caudal fin) C 2.16.

Gambar 1.

Ikan nila merah, Oreochromis sp.

Organ-organ Pencernaan Makanan


Hasil pengamatan organ pencernaan ikan disesuaikan dengan pendapat Affandi
& Tang (2002) yang menyatakan bahwa struktur dan fungsi dari bagian-bagian alat
pencernaan terdiri atas a) saluran pencernaan yang meliputi mulut, rongga mulut,
pharynx, oesophagus, lambung, pylorus, usus, rectum, dan anus; dan b) kelenjar
pencernaan yang meliputi: hati dan empedu serta pankreas. Hasil pengamatan dari ikan
nila merah yang telah dilakukan diperoleh organ-organ sebagai berikut:
1. Mulut
Posisi mulut pada ikan sangatlah bervariasi di setiap jenis ikan. Hal ini
sangat tergantung dari kebiasaan memakan ikan, jenis pakan yang dimakan serta
ukuran pakan yang sesuai dengan bukaan mulut ikan. Jadi fungsi dari mulut
adalah sebagai alat untuk memasukkan makanan. Pada ikan nila merah yang
sedang diamati lebar bukaan mulutnya sebesar 4,5 cm dan 4 cm. Makanan oleh
ikan tidak dikunyah atau dicerna seperti vertebrata kecuali beberapa jenis ikan
herbivor. Mulut dan tepi mulut dilengkapi dengan ujung saraf dan gigi yang
berbeda-beda letak, jumlah dan morfologinya. Lapisan rongga mulut terdiri dari
sel epitel lendir berlapis menempel pada membran dasar yang tebal dan dilekatkan
pada tulang atau urat daging dengan dermis yang tebal.
Secara histologis, rongga mulut dan faring seperti epitel kulit, mempunyai
sel kejut lebih sedikit dan sel lendir lebih banyak ditemukan di seluruh permukaan.
Lamina propria yang padat dan submukosa dari tenunan ikat alveolar terdapat di
bawah epitel mukosa. Bagian faring posterior dilapisi bentuk lipatan longitudinal
yang pipih. Rongga tutup insang sekitar insang mempunyai epitel tebal dengan
beberapa sel lendir dan sel kejut. Gigi bila ada terdapat pada tulang faring bawah
dan atas, sedangkan gigi rahang dan faring kecil dan jumlahnya banyak.
2. Lambung
Lambung merupakan segmen dari pencernaan yang diameternya relatif
lebih besar bila dibandingkan dengan segmen lainnya. Besarnya ukuran lambung
ini berkaitan dengan fungsinya sebagai penampung makanan. Kemampuan ikan
untuk dapat menampung makanan (kapasitas lambung) sangat bervariasi antara

jenis ikan yang satu dengan yang lainnya. Secara umum fungsi lambung itu sama
yaitu unutk menampung dan mencerna makanan, namun secara anatomis terdapat
variasi dalam bentuk.
Berdasarkan anatominya terdapat beberapa tipe lambung, yaitu:
a) Lambung berbentuk memanjang biasanya ditemukan pada beberapa jenis ikan
karnivora bertulang sejati.
b) Lambung berbentuk sifon, terdapat pada ikan golongan Chondrichthyes dan
kebanyakan ikan teleostei.
c) Lambung kaeka, terdapat pada ikan Polypterus, Amia, Anguilla.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan untuk ikan nila merah
diperoleh data bahwa lambungnya berwarna abu-abu dengan bobot sebesar 1,2 g
dan 1,6 g. Didapatkan nilai pada ikan pertama 0,46 yang berarti pakan yang
diberikan memberikan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan ikan kedua
yang memiliki nilai sebesar 0,65.
3. Usus
Walaupun panjangnya bergantung pada jenis makanannya, usus ikan
berupa tabung sederhana yang berukuran sama dari lambung sampai dubur. Jadi
tidak mempunyai usus besar. Bentuknya dapat lurus seperti pada betutu dan lele
atau melingkar-lingkar seperti ikan nila, mas dan gurame bergantung pada bentuk
rongga perut. Mempunyai lapisan epitel kolumnar sederhana, sel lendir melapisi
lapisan submukosa yang berisi sel eosinofilik bergranula, berbatasan dengan
mukosa muskularis lapisan usus. Pada hasil pengamatan dari praktikum yang
dilakukan bahwa panjang usus ikan nila adalah 157 cm pada ikan pertama dengan
nilai rasio 5,71 dan 150,5 cm pada ikan kedua dengan nilai rasio 6,84. Berat usus
pada ikan pertama 6,4 g dengan nilai 2,43.dan 10,6 pada ikan kedua dengan nilai
sebesar 4,31. Panjang usus ikan nila lebih panjang dari panjang tubuhnya karena
ikan nila termasuk bersifat herbivora cenderung omnivora. Pada pengamatan ikan
nila merah kedua, didapatkan hasil panjang usus apendix sebesar 5 cm.

4. Hati
Hati merupakan organ penting yang mensekresikan bahan untuk proses
pencernaan.

Organ ini umumnya merupakan suatu kelenjar yang kompak,

berwarna merah kecoklatan. Secara umum posisi hati terletak pada rongga bawah
tubuh, di belakang jantung dan di sekitar usus depan. Di sekitar hati terdapat
organ berbentuk kantung bulat kecil, oval atau memanjang dan berwarna hijau
kebiru-biruan. Organ yang diamati memiliki berat 7,1 g untuk ikan pertama dan
5,6 g untuk ikan kedua. Organ ini dinamakan kantung empedu yang berfungsi
untuk menampung cairan empedu.

Organ hati tersusun oleh sel-sel hati

(hepatosit), dan diantara sel-sel tersebut banyak dijumpai kapiler-kapiler darah


dengan limpe sinusoid. Saluran darah yang masuk ke organ hati terdiri atas arteri
yang berasal dari aorta dorsalis dan vena yang keluar dari organ hati adalah vena
hepaticus, vena ini kemudian menuju jantung.

Secara umum, hati berfungsi

sebagai metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein serta tempat memproduksi


cairan empedu. Pigmen empedu (bilirubin) pada sel darah merah tua. Di usus,
bilirubin akan diserap kembali dan kemudian kembali ke hati. Sebagian dari
bilirubin pada usus akan dibuang melalui feses. Cairan empedu ini berperan
sebagai emulsifikator lemak, sehingga lemak dapat diserap oleh dinding usus.
5. Ginjal
Ginjal terletak di bagian atas peritonium (retroponium), sejajar dan di
bawah tulang belakang.

Berwarna coklat muda.

Ginjal ikan nila merah ini

berkembang dengan baik, sehubungan dengan kondisi lingkungan air tawar yang
hipotonik terhadap cairan tubuh. Fungsi dari ginjal tersebut adalah suatu organ
yang berperan dalam penyaringan beberapa bahan buangan sisa metabolisme.
Bahan-bahan yang dibuang lewat ginjal, antara lain ureum, air, dan garam mineral.
Sel-sel yang bertanggung jawab pada penyaringan ini adalah glomerulus, yamg
disebut kapsul bowman. Sedangkan yang berfungsi sebagai reapsorsi ion adalah
tubuli ginjal.

Unit terkecil dari ginjal adalah nepron yang terdiri atas badan

malphigi dan tubuli ginjal.

Badan malphigi berfungsi untuk menyaring hasil

buangan metabolik yang terdapat dalam darah. Darah tidak ikut tersaring dan

masuk ke dalam pembuluh darah balik. Protein tertahan dalam darah. Cairan
ekskresi ini kemudian masuk ke tubuli ginjal. Glukosa dan beberapa mineral dan
cairan lainnya diserab kembali ke dalam darah. Hasil buangan etabolik yang tidak
tersaring dan tidak terserap kembali akan masuk ke saluran pengumpul terus ke
kantong kemih dan dikeluarkan lewat lubang pelepasan.
6. Insang
Menurut Fujaya (2002), pada insang, sel-sel yang berperan dalam
osmoregulasi adalah sel-sel chloride yang terletak pada dasar lembaran-lembaran
insang. Studi mengenai fungsi dan biokimiawi insang teleostei mengindikasikan
bahwa insang teleostei merupakan pompa ion untuk chloride (Cl-), sodium (Na+)
dan potasium (K+). Ion Na+ dibutuhkan dalam proses pemompaan NH4+ dan H+
dari dalam tubuh ikan ke lingkungannya. Hasil pengamatan didapatkan
perbandingan berat insang dengan berat tubuh pada ikan pertama adalah 5,59 yang
berarti aktivitas bergerak lebih cepat dengan berat tubuh yang ideal daripada ikan
kedua dengan nilai sebesar 5,04 dengan aktivitas gerak lebih lamban.
7. Jantung
Peranan jantung sangat penting dalam hubungannya dengan pemompaan
darah ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi darah. Sirkulasi darah adalah
sistem yang berfungsi dalam pengangkutan dan penyebaran enzim, zat nutrisi,
oksigen, karbondioksida, garam-garam, antibodi, senyawa N, dari tempat asal ke
seluruh bagian tubuh sehingga diperlukan tekanan yang cukup untuk menjamin
aliran darah sampai ke bagian-bagian jaringan-jaringan tubuh.
Jantung ikan nila merah terletak di belakang insang di bagian depan rongga
badan dan di atas ithmus. Organ jantung dilapisi oleh selaput tipis yang disebut
lapisan perikardium. Bagian-bagian jantung ikan ini adalah sinus venosus, atrium,
ventrikel, dan bulbus arteriosus.

Ruang jantung dipisahkan oleh sebuah klep

berbentuk setengah bulat, bagian luar jantung ditutupi oleh epikardium yang terdiri
atas perikardial mesothelium dan sedikit jaringan pengikat pembuluh-pembuluh
darah terdapat bagian antara epikardium dan otot jantung yang terletak di

bawahnya terutama bagian ventrikel. Pada semua jenis ikan, jantung mempunyai
suplai darah koronari. Koronari tersebut berasal dari sitem hipobranchial anterior.
8. Otak
Salah satu sistem saraf yang dapat diamati secara anatomi adalah otak.
Otak merupakan pusat kegiatan saraf, terletak di dalam rongga neurocranium,
berbentuk seperti bunga karang berwarna putih tulang cenderung kekuningan.
Fungsi otak pada dasarnya untuk setiap makluk hidup sama, yaitu 1) sebagai
bagian input, otak menerima dan menafsirkan informasi dari semua alat indera,
internal maupun eksternal, 2) sebagai bagian output, otak mengirim peringatan
terkoordinir ke semua bagian tubuh, dapat sebagai simpul saraf atau hormon, 3)
sebagai perpaduan dari kedua aspek fungsi otak tersebut.
Susunan otak ikan mirip seperti hewan vertebrata yang lain. Berdasarkan
data pengamatan pada praktikum yang dilakukan didapatkan bobot otak ikan nila
merah sebesar 0,4 g pada ikan pertama dan 0,3 g pada ikan kedua. Data tersebut
dapat disimpulkan lebih berat ikan pertama daripada ikan kedua.

DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. dan U.M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI Press, Pekanbaru, Riau.
213 pp.
Affandi, R., D.S. Sjafei, M.F. Rahardjo, dan Sulistiono. 2005. Fisiologi Ikan
(Pencernaan dan Penyerapan Makanan). Manajemen Sumber Daya Perairan,
IPB.60 pp.
Nurhidayat, M. A. dan A. Sucipto. 2002. Budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus)
berdasarkan konsep SNI. Makalah disampaikan pada Pelatihan Manajer
Pengendali Mutu di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi tanggal 8-17 Juli 2002
dan pelatihan yang sama tanggal 21-31 Agustus 2002. Departemen Kelautan dan
Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar
Sukabumi. 11 pp.
Randall, D.J. and H. Lin. 1993. Effects of water pH on gas and ion transfer across fish
gills. Fish Ecophysiology (eds.) Rankin, C.R. and F.B. Jensen. Chapman & Hall,
London. 11 pp.

10

Sucipto, A. 2002. Budidaya ikan nila (Oreochromis sp.). Makalah disampaikan pada
Workshop Teknologi dan Manajemen Akuakultur, Himpunan Mahasiswa
Akuakultur IPB, di Bogor tanggal 20, 21 dan 28 April 2002. Balai Budidaya Air
Tawar Sukabumi. 9 hal
Sucipto, A. dan R.E. Prihartono. 2005. Pembesaran ikan nila merah Bangkok. Penebar
Swadaya. Jakarta. 145 hal

11

ADAPTASI IKAN TERHADAP KUNGAN M

ADAPTASI FISIOLOGIS TERHADAP SALINITAS

Oleh:
Nurul Hanum Kharisma, Adi Sucipto, Marlina Ahmad, Eni Kusrini

PENDAHULUAN
Adaptasi adalah suatu proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan
oleh suatu organisme terhadap kondisi yang baru.

Faktor-faktor lingkungan yang

mempengaruhi kemampuan adaptasi dari organisme tersebut adalah faktor abiotik yang
meliputi fisika (suhu, penyinaran, densitas, tekanan, dan kekeruhan). Faktor yang lain
adalah faktor biotik yaitu kelimpahan dan keragaman organisme, predator dan parasit.
Faktor-faktor lingkungan tersebut suatu saat mengalami fluktuasi dan kadang-kadang
ditemui kondisi yang ekstrim.

Faktor tersebut dapat berubah secara harian dan

musiman. Fluktuasi faktor tersebut akan mempengaruhi kehidupan organisme, baik


terhadap proses fisiologis maupun tingkah lakunya; resisten dan kematian.

Pada

praktikum ini, proses adaptasi yang dicobakan menggunakan perlakuan salinitas dalam
hubungannya dengan sistem metabolisme tubuh ikan, menuju survival ikan tersebut.
Kondisi perairan yang ada saat ini telah banyak terkontaminasi dan terakumulasi
dengan bahan-bahan yang berbahaya jika nantinya perairan tersebut digunakan untuk
budidaya. Logam-logam dan senyawa kimia yang berbahaya dapat merusak habitat
yang ada di perairan. Kandungan salinitas yang tinggi juga dapat menyebabkan ketidak
seimbangan proses metabolisme tubuh. Oleh karena itu dalam praktikum ini diuji ikan
tambakan dengan diberi perlakuan salinitas dalam media hidupnya yang secara perlahan
ditingkatkan kadar garamnya untuk melihat seberapa besar kemampuan ikan tersebut
dapat mempertahankan dalam keadaan homeostasis.
Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu
kilogram air laut, dlam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom
dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan bahan organik yang telah dioksidasi.
Salinitas mempengaruhi kadar oksigen terlarut dalam air. Secara langsung, salinitas

12

media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan.

Apabila osmotik

lingkungan (salinitas) berbeda jauh dengan tekanan osmotik cairan tubuh (kondisi tidak
ideal) maka osmotik media akan menjadi beban bagi ikan sehingga dibutuhkan energi
yang relatif besar untuk mempertahankan osmotik tubuhnya agar tetap berada pada
keadaan yang ideal. Hal ini dapat menurunkan laju metabolisme dan pada akhirnya
akan menurunkan tingkat konsumsi pakan dan akhirnya akan menurunkan laju
pertumbuhan.

Jadi salinitas mediaakan mempengaruhi pembelanjaan energi untuk

osmoregulasi, yang disisi lain juga akan mempengaruhi tingkat konsumsi pakan.
Melalui praktikum ini, praktikan diajak untuk mengetahui kemampuan ikan dalam
beradaptasi untuk mempertahankan keadaan homeostasis dalam tubuhnya terhadap
perubahan lingkungan yang dimanipulasi dengan beberapa perlakuan salinitas.
METODOLOGI PRAKTIK
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah ikan tambakan, 6 buah akuarium dan
instalasi aerasi, selang sifon, garam dan timbangan elektrik dengan ketelitian 0,01 gram.
Prosedur Kerja
Perlakuan yang diberikan
a. Merumuskan jenis perlakuan yang akan diberikan, yakni:
Perlakuan 1

salinitas 0 ppt

Perlakuan 2

salinitas 3 ppt

Perlakuan 3

salinitas 6 ppt

Perlakuan 4

salinitas 9 ppt

Perlakuan 5

salinitas 12 ppt

Perlakuan 6

salinitas 12 ppt secara gradual

diberikan secara bertahap tiap 15 menit

b. Menyediakan air garam untuk bahan perlakuan.


c. Menyiapkan 6 buah akuarium; 5 buah untuk perlakuan dan 1 buah untuk kontrol.
d. Mengisi akuarium dengan air pada ketinggian 20 cm dan mengaerasi air dalam
akuarium sebelum memberikan perlakuan.

13

e. Memasukkan ikan ke dalam media pemeliharaan minimal sebanyak 5-6 ekor


(tergantung jumlah ikan yang tersedia) ke tiap akuarium.
f. Mengamati dan mencatat tingkah laku ikan sebelum perlakuan.
g. Menambahkan air garam secara bertahap tiap 15 menit (dalam waktu 2 jam) ke dalam
media pemeliharaan sesuai dengan dosis perlakuan. Untuk perlakuan ke-6, proses
penambahan kadar garamnya dilakukan secara gradual selama 2 jam.
h. Mencatat tingkah laku ikan selama praktikum, termasuk dampak dari proses adaptasi
tersebut (feses, jumlah ikan yang mati dan lain-lain).
i. Selama praktikum, ikan tidak diberi makan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan dan pendataan yang dilakukan selama prakrikum, data
yang diperoleh adalah sebaga berikut (Tabel 1.):
Tabel 1. Data hasil pengamatan dan pencatatan dalam proses adaptasi ikan terhadap
salinitas
Jumlah Ikan
Perlakuan
Keterangan
Hidup
Mati
Kontrol
3
2
Air keruh, banyak feses
3 ppt
4
1
Air keruh, banyak feses
6 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
9 ppt
1
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
12 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
Gradual, 12 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa lebih banyak, banyak
feses
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa dengan
meningkatnya salinitas yang diberikan, mortalitas mengalami peningkatan. Perbedaan
dari ke enam perlakuan adalah tentang waktu yang diperlukan hingga proses kematian
terjadi.

Kematian cepat terjadi pada perlakuan 2 sampai 5 dibandingkan dengan

perlakuan 6. Hal ini menunjukkan bahwa proses dan tingkat adaptasi relatif lebih
mudah dilakukan oleh ikan jika perubahan salinitas terjadi secara bertahap sepanjang
waktu hingga titik tertinggi salinitas tercapai.

Pada perlakuan 2 sampai 5, proses

naiknya salinitas terjadi secara bertahap (tiap 15 menit) berdasarkan deret ukur.

14

Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan,


sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar
proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila
salinitas semakin tinggi, ikan berupaya terus agar kondisi homeostasi dalam tubuhnya
tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya.

Kerja osmotik tersebut

memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Sebagai konsekuensinya, karena selama
praktikum ikan tidak diberi makan, maka suplai energi dari luar tidak terjadi. Padahal,
semakin tinggi kerja osmotik semakin besar pula tingkat konsumsi pakan. Dengan
kondisi ikan tidak diberi makan, salah satu dampaknya adalah mengakibatkan kematian
bagi ikan.
Praktikum ini memberikan gambaran bahwa pada salinitas yang optimal
(perbedaan antara osmotik media dan osmotik tubuh ikan paling kecil), pembelanjaan
energi untuk proses adaptasi akan semakin kecil.

Pada keadaan tersebut, tingkat

konsumsi pakan dapat mencapai nilai yang maksimal sehingga dapat mencapai tingkat
pertumbuhan yang maksimal pula.

15

ADAPTASI IKAN TERHADAP KUNGAN M

PENGARUH SALINITAS DALAM PROSES OSMOREGULASI

Oleh:
Adi Sucipto, Marlina Ahmad, Eni Kusrini, Nurul Hanum Kharisma

PENDAHULUAN
Osmoregulasi merupakan upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air
dan ion antara di dalam tubuh dan lingkungannya melalui mekanisme pengaturan
tekanan osmose. Untuk organisme akuatik, proses tersebut digunakan sebagai langkah
untuk menyeimbangkan tekanan osmose antara substansi dalam tubuhnya dengan
lingkungan melalui sel yang permeabel1. Dengan demikian, semakin jauh perbedaan
tekanan osmotik antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme yang
dibutuhkan untuk mmelakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi, hingga batas
toleransi yang dimilikinya. Oleh karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat
penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama salinitas. Hal ini
karena dalam osmoregulasi, proses regulasi terjadi melalui konsentrasi ion dan air di
dalam tubuh dengan kondisi dalam lingkungan hidupnya.
Regulasi ion dan air pada ikan terjadi hipertonik, hipotonik atau isotonik
tergantung pada perbedaan (lebih tinggi, lebih rendah atau sama) konsentrasi cairan
tubuh dengan konsentrasi media1,2. Perbedaan tersebut dapat dijadikan sebagai strategi
dalam menangani komposisi cairan ekstraselular dalam tubuh ikan2. Untuk ikan-ikan
potadrom

yang

bersifat

hiperosmotik

terhadap

lingkungannya

dalam

proses

osmoregulasi, air bergerak ke dalam tubuh dan ion-ion keluar ke lingkungan dengan cara
difusi. Keseimbangan cairan tubuhnya dapat terjadi dengan cara meminum sedikit air
atau bahkan tidak minum sama sekali. Kelebihan air dalam tubuhnya dapat dikurangi
dengan membuangnya dalam bentuk urin. Untuk ikan-ikan oseanodrom yang bersifat
hipoosmotik terhadap lingkungannya, air mengalir secara osmose dari dalam tubuhnya
melalui ginjal, insang dan kulit ke lingkungan, sedangkan ion-ion masuk ke dalam
tubuhnya secara difusi1,2. Sedangkan untuk ikan-ikan eurihalin, memiliki kemampuan

16

untuk dengan cepat menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuhnya dengan media
(isoosmotik), namun karana kondisi lingkungan perairan tidak selalu tetap, maka proses
ormoregulasi seperti halnya ikan potadrom dan oseanodrom tetap terjadi.
Salinitas atau kadar garam adalah jumlah kandungan bahan padat dalam satu
kilogram air laut, dalam hal mana seluruh karbonat telah diubah menjadi oksida, brom
dan yodium yang telah disetarakan dengan klor dan bahan organik yang telah dioksidasi.
Secara langsung, salinitas media akan mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh
ikan. Melalui praktikum ini, praktikan diajak untuk mengetahui kemampuan ikan dalam
beradaptasi melalui proses osmoregulasi, terhadap perubahan lingkungan yang
dimanipulasi dengan beberapa perlakuan salinitas. Pengetahuan tentang metabolisme
dapat juga dikaitkan dengan beberapa cabang ilmu lain, misalnya genetika, toksikologi
dan keilmuan lain sehingga ikan yang dihasilkan dapat memiliki kualitas yang lebih
unggul dari sebelumnya. Hal ini karena ikan menginvestasikan sebesar 25-50% dari
total output metabolik dalam mengontrol komposisi cairan intra- dan ekstraselularnya5.
METODOLOGI PRAKTIK
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah ikan tambakan, 6 buah akuarium dan
instalasi aerasi, selang sifon, garam dan timbangan elektrik dengan ketelitian 0,01 gram.
Prosedur Kerja
Perlakuan yang diberikan
a. Merumuskan jenis perlakuan yang akan diberikan, yakni:
Perlakuan 1

salinitas 0 ppt

Perlakuan 2

salinitas 3 ppt

Perlakuan 3

salinitas 6 ppt

Perlakuan 4

salinitas 9 ppt

Perlakuan 5

salinitas 12 ppt

Perlakuan 6

salinitas 12 ppt secara gradual

diberikan secara bertahap tiap 15 menit

b. Menyediakan air garam untuk bahan perlakuan.


c. Menyiapkan 6 buah akuarium; 5 buah untuk perlakuan dan 1 buah untuk kontrol.

17

d. Mengisi akuarium dengan air pada ketinggian 20 cm dan mengaerasi air dalam
akuarium sebelum memberikan perlakuan.
e. Memasukkan ikan ke dalam media pemeliharaan minimal sebanyak 5-6 ekor
(tergantung jumlah ikan yang tersedia) ke tiap akuarium.
f. Mengamati dan mencatat tingkah laku ikan sebelum perlakuan.
g. Menambahkan air garam secara bertahap tiap 15 menit (dalam waktu 2 jam) ke dalam
media pemeliharaan sesuai dengan dosis perlakuan. Untuk perlakuan ke-6, proses
penambahan kadar garamnya dilakukan secara gradual selama 2 jam.
h. Mencatat tingkah laku ikan selama praktikum, termasuk dampak dari proses adaptasi
tersebut (feses, jumlah ikan yang mati dan lain-lain).
i. Selama praktikum, ikan tidak diberi makan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan dan pendataan yang dilakukan selama prakrikum, data
yang diperoleh adalah sebaga berikut (Tabel 2.):
Tabel 2. Data hasil pengamatan dan pencatatan dalam proses adaptasi ikan terhadap
salinitas
Jumlah Ikan
Perlakuan
Keterangan
Hidup
Mati
Kontrol
3
2
Air keruh, banyak feses
3 ppt
4
1
Air keruh, banyak feses
6 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
9 ppt
1
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
12 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa, banyak feses
Gradual, 12 ppt
2
4
Air keruh dan berbusa lebih banyak, banyak
feses
Perubahan kadar salinitas mempengaruhi tekanan osmotik cairan tubuh ikan,
sehingga ikan melakukan penyesuaian atau pengaturan kerja osmotik internalnya agar
proses fisiologis di dalam tubuhnya dapat bekerja secara normal kembali. Apabila
salinitas semakin tinggi, ikan berupaya terus agar kondisi homeostasi dalam tubuhnya
tercapai, hingga pada batas toleransi yang dimilikinya.

Kerja osmotik tersebut

memerlukan energi yang lebih tinggi pula. Hal tersebut juga berpengaruh kepada waktu
kenyang (satiation time) dari ikan tersebut3. Sebagai konsekuensinya, karena selama

18

praktikum ikan tidak diberi makan, maka suplai energi dari luar tidak terjadi. Padahal,
semakin tinggi kerja osmotik semakin besar pula tingkat konsumsi pakan. Dengan
kondisi ikan tidak diberi makan, salah satu dampaknya adalah mengakibatkan kematian
bagi ikan.
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat terlihat bahwa dengan
meningkatnya salinitas yang diberikan, mortalitas mengalami peningkatan. Perbedaan
dari ke enam perlakuan adalah tentang waktu yang diperlukan hingga proses kematian
terjadi.

Kematian cepat terjadi pada perlakuan 2 sampai 5 dibandingkan dengan

perlakuan 6. Hal ini menunjukkan bahwa proses dan tingkat adaptasi relatif lebih
mudah dilakukan oleh ikan jika perubahan salinitas terjadi secara bertahap sepanjang
waktu hingga titik tertinggi salinitas tercapai.

Pada perlakuan 2 sampai 5, proses

naiknya salinitas terjadi secara bertahap (tiap 15 menit) berdasarkan deret ukur.
Praktikum ini memberikan gambaran bahwa pada salinitas yang optimal
(perbedaan antara osmotik media dan osmotik tubuh ikan paling kecil), pembelanjaan
energi untuk proses adaptasi akan semakin kecil.

Pada keadaan tersebut, tingkat

konsumsi pakan dapat mencapai nilai yang maksimal sehingga dapat mencapai tingkat
pertumbuhan yang maksimal pula.
Rainbow trout seringkali digunakan sebagai model system untuk mempelajari
rute dan mekanisme ekskresi dan osmoregulasi. Dalam praktikum, proses osmoregulasi
juga menghasilkan produk buangan seperti fesen dan amoniak, sehingga nampak dalam
media pemeliharaan menjadi berwana keruh, banyak feses dan pada perlakuan ke-6
banyak terdapat busa di atas permukaan air. Dampak dari ekskresi nitrogen tersebut
juga akan mempengaruhi kehidupan ikan di dalamnya. Pada embrio rainbow trout,
eksresi nitrogen dalam bentuk urea juga dapat dikaitkan dengan kandungan nitrogen di
dalam yolk, karena rendahnya permeabilitas membrane sel telur terhadap ammonia4.
Dampak buangan hasil metabolisme terhadap kelangsungan hidup benih ikan
tambakan dalam praktikum, memang tidak secara langsung diamati.

Namun,

berdasarkan perubahan kualitas air secara fisik, dapat diduga bahwa perubahan tersebut
juga berpengaruh terhadap kondisi ambient ikan, yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap pertahanan tubuhnya. Setelah melewati batas toleransi, maka ikan tersebut

19

mengalami kematian. Mengingat tidak semua ikan mengalami kematian, maka dapat
dipastikan bahwa daya toleransi pada populasi ikan dalam akuarium berbeda beda. Hal
ini diduga karena perbedaan kondisi tubuh saat sebelum dimasukkan dalam media
praktik termasuk intensitas parasit, tingkat stres dan lain-lain. Toksisitas nitrat dalam
perairan tawar tergolong sangat rendah (96 h LC50s >1000 mg/L as N). Hal ini dapat
dikaitkan dengan potensi munculnya masalah dalam proses osmoregulasi. Dalam system
dengan konsentrasi nitrat tinggi, reduksi nitrat terjadi secara anaerobic. Konsentrasi
nitrat di perairan laut kurang dari 500 mg/L untuk sebagian besar ikan air laut, tetapi
untuk ikan laut tropis seperti anemone (Amphiprion ocellaris) lebih sensitif, yakni hanya
20 mg/L14. Kematian ikan selama dua hari pengamatan, diduga dapat disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi amonia dalam media. Hal ini dapat diamati dengan adanya
perubahan warna air dan feses yang berada di dasar akuarium.
Tingkat stress juga berbeda-beda yang dialami oleh benih tambakan dalam
akuarium, sebagai akibat dari perbedaan perlakuan. Kajian yang lebih mendalam, dapat
ditelusuri dengan kandungan kortisol. Banyak hal berkenaan dengan kortisol selama
proses metabolisme, misalnya saat starvasi (puasa), osmoregulation, pengerahan
simpanan energi untuk migrasi, proses pematangan gonad, pemijahan dan selama stress
yang dialami oleh ikan itu sendiri6.
Mekanisme ormoregulasi dapat pula ditelusuri di level sel.
terlebih dahulu dihasilkan melalui mekanisme kultur sel.

Sel-sel tersebut

Penelitian terhadap sel

Epitelioma papulosum cyprinid (EPC), turunan dari sel epidermis ikan mas dapat
digunakan untuk mengetahui kelangsungan hidup dan pertumbuhan sel dalam media
hiper- dan hipoosmotik. Dengan menggunakan sel kultur, dapat diamati pula ekspresi
gen yang bias dihubungkan dengan kemampuan adaptasi dan stress osmotik7.
Aktivitas osmoregulasi juga dipengaruhi oleh stadia ikan atau krustase dalam
hubungannya dengan salinitas. Penelitian pada stadia juvenil dan dewasa krustase,
regulasi ion Na/K-ATP menunjukkan hal yang berbeda-beda jika diamati dengan
aktivitas enzim Na/K-ATPase. Pada Artemia salina dan A. franciscana aktivitas enzim
tersebut meningkat sejalan dengan perkembangannya sejak setelah menetas hingga tahap
mulai berenang bebas. Pada udang galah, hal tersebut juga berlangsung demikian.

20

Namun pada stadia dewasa, aktivitas Na/K-ATPase pada udang galah tidak berbeda
nyata setelah diperlakukan pada salinitas yang berbeda8.

Penelitian tentang

osmoregulasi pada tahap awal perkembangan ikan telah diamati pada level
extrabranchial chloride cells. Sejumlah chloride cells yang terkandung dalam membran
kantong kuning telur ikan mujair stadia embrio dan larva diadaptasikan dalam
lingkungan air tawar (FW) dan air asin (SW). Sel klorid dalam SW seringkali berada
dalam bentuk multicellular complexes bersama dengan sel adjacent accessory.
Sedangkan dalam FW, chloride cells berada dalam kondisi individual. Tes klorid dan
mikroanalisis X-ray menunjukkan bahwa klorid sel dalam SW dalam bentuknya yang
kompleks, merupakan fungsi definitive dalam sekresi klorid. Namun demikian setelah
sel tersebut dipindahkan ke lingkungan SW, bentuk sel tunggal tersebut juga mengalami
perubahan menjadi kompleks sebagai respon terhadap lingkungan baru yang SW.
Umumnya, sel klorid extrabranchial memerankan peranan penting dalam mengontrol
osmoregulasi sampai tahap sel klorid insang bekerja secara fungsional9.
Penemuan baru-baru ini adalah tentang morfologi fungsional dari sel-sel klorid
pada killing fish, Fundulus heteroclitus, ikan euryhaline dengan air laut (SW). Deteksi
Immunocytochemical dilakukan pada sel klorid dengan anti-Na +/K + -ATPase dalam
proses transisi distribusi sel klorid selama tahap awal kehidupannya. Sel klorid nampak
dalam membran kantung kuning telur fase awal embrio dan kemudian di kulit pada saat
fase akhir embrio. Perbedaan secara morphologi antara tipe sel klorid SW- dan FW
diidentifikasi pada killifish dewasa yang diadaptasikan pada SW dan FW. Kedua tipe
sel klorid, aktif pada kedua lingkungan, tetapi berbeda dalam fungsi transpor ion.
Pemindahan secara langsung killifish dari SW ke FW, sel klorid tipe SW ditransformasi
menjadi sel tipe FW, diikuti dengan penggantian promosi sel klorid sebagai responnya12.
Kemampuan adaptasi ikan, juga dapat diketahui melalui penelitian pada juvenile
fugu Takifugu rubripes terhadap lingkungan bersalinitas rendah. Ikan dipindahkan dari
lingkungan air laut (100% SW) ke media air tawar (FW), 25, 50, 75 dan 100% SW dan
kemudian didata mortalitasnya selama 3 hari. Tidak ada kematian ikan dalam media
baru bersalinitas 25100% SW dan semua ikan mati dalam media 100% FW.
Nampaknya, pada ikan yang dipindahkan ke media 25100% SW, osmolalitas darahnya

21

tetap dijaga pada kisaran fisiologis yang normal.

Penelitian dilanjutkan dengan

memindahkan ikan dari lingkungan 100% SW ke media FW, 1, 5, 10, 15 dan 25% SW.
Semua ikan hidup dalam media 525% SW, tetapi mati dalam media FW dan 1% SW.
Ikan yang hidup pada media 25% SW kemudian dipindahkan kembali ke media FW, 1
dan 5% SW dan menunjukkan bahwa osmolalitas darahnya menurun hingga mendekati
level sublethal, yakni sekitar 300 mOsm/kgH2O. Nampaknya preacclimatisasi dalam
25% SW selama 7 hari tidak terlalu berpengaruh terhadap selang kemampuan
survivalnya. Meskipun kelangsungan hidup dan osmolalitas darahnya sedikit meningkat
dengan cara preacclimatisasi dalam 25% SW, osmolalitas darahnya mengalami
penurunan setelah dipindahkan ke dalam media bersalinitas kurang dari 10% SW.
Penemuan ini mengindikasikan bahwa fugu dapat beradaptasi pada lingkungan
hypoosmotik karena adanya kemampuan hyperosmoregulatori, namun sel-sel klorid
yang dimilikinya berkurang dalam mengabsorb ion-ion pada lingkungan hipoosmotik13.
Aktivitas osmoregulasi, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang
diberikan pada organisme akuatik. Dengan pemberian kortisol, ovine growth hormone
(oGH), recombinant bovine insulin-like growth factor I (rbIGF-I) dan 3,3',5-triiodo-Lthyronine (T3) dapat meningkatkan kapasitas hypoosmoregulasi pada ikan euryhaline,
Fundulus heteroclitus. Ikan diadaptasikan dalam lingkungan air payau (BW, salinitas 10
ppt) kemudian disuntik dengan satu dosis hormone dan 10 hari kemudian dipindahkan
ke lingkungan air asin (SW, salinitas 35 ppt. Setelah dipindahkan dari BW ke SW
menunjukkan adanya peningkatan osmolitas plasma yang nyata, tetapi tidak untuk Na+
insang dan aktifitas K+-ATPase. Pemberian kortisol (50 g/g bobot tubuh) juga dapat
meningkat ketersediaannya dalam mempertahankan osmolitas plasma; meningkatkan
Na+ insang dan aktivitas K+-ATPase.

oGH (5 g/g bobot tubuh) juga dapat

meningkatkan kemampuan hypoosmoregulatory dan Na+ insang dan aktifitas K+ATPase.

Gabungan antara oGH dan kortisol dapat meningkatkan kemampuan

hypoosmoregulatori tetapi tidak meningkatkan Na+ insang, aktifitas K+-ATPase. rbIGFI (0.5 g/g bobot tubuh) tidak memiliki efek dalam peningkatan toleransi terhadap
salinitas atau Na+insang, aktifitas K+-ATPase. rbIGF-I dan oGH menunjukkan interaksi
yang positif dalam meningkatkan toleransi terhadap salinitas, tetapi tidak untuk Na+

22

insang dan aktifitas K+-ATPase. Perlakuan dengan T3 (5 g/g bobot tubuh) tidak
berdampak terhadap peningkatan toleransi terhadap salinitas, Na+ insang, aktifitas K+ATPase dan pengaruhnya tidak konsisten nyata jika digunakan bersamaan dengan
kortisol dan T3 atau antara GH dan T310.
Sebagai ikan air tawar, organ yang terlibat dalam osmoregulasi antara lain
insang, usus dan ginjal. Sel-sel yang berperan dalam organ insang untuk proses tersebut
adalah mitokondria-rich (MR) dan role of pavement2.
Struktur insang memiliki hubungan dengan kemampuan toleransi terhadap
kisaran salinitas. Bhal ini ditunjukkan dengan histologi dari struktur insang Caprella
(Amphipoda: Caprellidea) (yaitu C. danilevskii, C. subinermis, C. penantis R-type dan
C. verrucosa ) yang dikumpulkan dari komunitas Sargassum di timur-daya Jepang dan
diamati di bawah mikroskop elekron. Epitel se linsang C. danilevskii , C. subinermis ,
dan C. verrucosa terdiri-dari perkembangan apical infolding system (AIS) dan
basolateral infolding system (BIS) yang dihubungkan dengan mitokondria. Percobaan
tentang toleransi terhadap salinitas dari empat spesies Caprella mengindikasikan bahwa
konsentrasi median letalnya (LC 50) pada 20 oC berkisar antara 12.97 - 18.84 practical
salinity unit (p.s.u.) dengan kelangsungan hidup lebih dari 80% pada kondisi salinitas di
atas 25.37 p.s.u. bahkan selama 5 hari. Karakteristik insang dan lebarnya rentang
toleransi salinitas pada Caprella spp. menunjukkan bahwa Caprella spp. yang menghuni
komunitas Sargassum merupakan organisme yang eurihalin11.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fujaya , Y. 2004. Fisiologi Ikan, dasar pengembangan teknik perikanan. Penerbit
Rineka Cipta. 179 hal.
2. Marshall, W.S., and Grosell, M. 2006. ion transport, osmoregulation, and acid-base
balance. In the Physiology of Fishes, Evans, D.H., and Claiborne, J.B. (eds.).
taylor and Francis Group. 601 pp
3. Conides, A.J., Glamuzina, B., and Papaconstantinou, C. 2004. Laboratory
simulation of the effects of environmental salinity on wild-caught juveniles
of european sea bass Dicentrarchus labrax and gilthead seabream, Sparus
aurata
4. Thorgaard, G.H., Bailey, G.S., Williams, D, Buhler, D.R., Kaattari, S.L., Ristow,
S.S, Hansen, J.D., Winton, J.R., Bartholomew, J.L., Nagler, J.J., Walsh, P.J.,

23

Vijayan, M.M., Devlin, R.H., Hardy, R.W., Overturf, K.E., Young, W.P.,
Robison, B.D., Rexroad, C., Palti, Y. 2002. Status and opportunities for
genomics research with rainbow trout. Comparative Biochemistry and
Physiology Part B 133 : 609646
5. Kocher, T.D. 2005. Genome Sequence of a Cichlid Fish: the Nile Tilapia
(Oreochromis niloticus). Proposal to the JGI Community Sequencing
Program, February 25, 2005. 46 pp
6. van Ginneken, V.; Durif, C.; Balm, S.P.; Boot, R.; Verstegen, K. M.; Antonissen, E.
And van den Thillart, G. 2006. Silvering of european eel (Anguilla anguilla
l.): seasonal changes of morphological and metabolic parameters
7. Takeuchi, K., Toyohara, H., and Sakaguchi, M. 2000. effect of hyper- and
hypoosmotic stress on protein in cultured epidermal cell of common carp.
Fisheries Science 66: 117-123.
8. N Wilder, M., Huong, D.T.H., Okuno, A., Atmomarsono, M., Yang, WJ. 2001.
Ouabain-sensitive Na/K-ATPase activity increases during embryogenesis in
the giant freshwater prawn, Macrobrachium rosenbergii. Fisheries Science
67: 182-184.
9. Kaneko, T., Shiraishi, K., Katoh, F., Hasegawa, S., and Hiroi, J. 2002. Chloride
cells during early life stages of fish and their functional differentiation.
Fisheries Science 68: 1-9.
10. Mancera, J.M., McCormick, S.D. 1999. Influence of cortisol, growth hormone,
insulin-like growth factor I and 3,30,5-triiodo-L-thyronine on
hypoosmoregulatory ability in the euryhaline teleost Fundulus heteroclitus.
Fish Physiology and Biochemistry 21: 2533
11. Takeuchi, I., Matsumasa, M., and Kikuchi, S. 2003. Gill ultrastructure and salinity
tolerance of Caprella spp. (Crustacea: Amphipoda: Caprellidea) inhabiting
the Sargassum community. Fisheries Science : 69 : 966973.
12. Kaneko, T., and Katoh, F. 2004. Functional morphology of chloride cells in
killifish Fundulus heteroclitus, a euryhaline teleost with seawater preference.
Fisheries Science; 70 : 723733
13. Lee, K.M., Kaneko, T., and Aida, K. 2005. Low-salinity tolerance of juvenile fugu
Takifugu rubripes. Fisheries Science; 71: 13241331
14. Colt, J. 2006. Water quality requirements for reuse systems. Aquacultural
Engineering 34 (2006) 143156

24

ADAPTASI IKAN TERHADAP KUNGAN M

PENGARUH DOSIS ENZIM DALAM PROSES HIDROLISIS

Marlina Ahmad, Adi Sucipto, Eni Kusrini, Nurul Hanum Kharisma

PENDAHULUAN
Budidaya hewan air merupakan kegiatan memanen hasil budidaya misalnya ikan
konsumsi, yang diharapkan menghasilkan keuntungan maksimal.

Untuk mencapai

tujuan tersebut, maka diperlukan proses atau kegiatan yang harus dilakukan oleh
manusia maupun ikan tersebut. Proses atau kegiatan itulah yang akan menunjukkan
performance dari ikan, misalnya pertumbuhan.

Menurut Affandi dan Tang (2002)

bahwa pertumbuhan merupakan perubahan ukuran baik panjang, berat atau volume,
pada periode waktu tertentu.
Proses atau kegiatan yang menunjang pertumbuhan adalah proses pemberian
pakan yang dilakukan oleh manusia dan proses memakan, mencerna serta menyerap
pakan oleh ikan.

Menurut Affandi, dkk. (2005) bahwa makanan dalam kegiatan

budidaya, baru akan bernilai guna bagi tubuh (sebagai sumber materi dan energi) setelah
melalui proses pencernaan dan penyerapan terlebih dahulu oleh ikan.

Sehubungan

dengan pengertian pencernaan dan penyerapan zat makanan sebagai suatu proses, maka
pemahaman tentang fisiologi pencernaan dan penyerapan sangat dibutuhkan.
Menurut Affandi (2005) bahwa fisiologi pencernaan dan penerapan terkait
dengan struktur alat pencernaan, biokimia dari bahan yang terkait dengan proses
pencernaan, dan mekanisme pencernaan dan penyerapan zat makanan. Khusus biokimia
bahan yang terkait antara lain zat makanan, enzim, mukus, asam khlorida, cairan
empedu, dan enzim.
Reaksi kimawi dari proses pencernaan dapat dipercepat dengan menggunakan
enzim. Enzim merupakan unit fungsional dari metabolisme sel.

Enzim merupakan

protein khusus yang memiliki aktivitas katalitik. Dengan tenaga katalitik yang luar
biasa, enzim dapat mempercepat reaksi kimiawi (Lehninger dan Thenawijaya, 1998).

25

Enzim pencernaan yang digunakan adalah enzim yang diambil dari ekstrak getah
pepaya yang disebut dengan enzim papain. Selain mempercepat reaksi kimiawi, enzim
berperan dalam proses hidrolisis.

Menurut Affandi, dkk (2005) bahwa enzim

pencernaan tersebut adalah dalam proses hidrolisis atau dalam proses pengubahan
senyawa yang kompleks menjadi senyawa yang sederhana.
Berdasarkan paparan diatas, maka perlu pemahaman mengenai bagaimana enzim
papain bekerja dalam proses hidrolisis. Dengan demikian maka diadakan praktikum
mengenai enzim pencernaan. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk melihat dosis
enzim yang terbaik bagi proses hidrolisis potongan daging ikan mas. Setelah praktikum
ini, diharapkan mahasiswa mampu mengetahui dosis enzim yang tepat untuk proses
penyederhanaan pakan komplek.
METODOLOGI PRAKTIK
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah daging ikan mas dengan berat
2 g atau dengan ukuran 0,5 cm3 , buah pepaya, aquades, NaCl, dan KOH.
Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah syringe (spuit), alat penggerus,
spektrofotometer, gelas ukur, timbangan, pipet, tabung reaksi, baskom dan ember, pisau,
corong kertas saring, pisau, dan talenan.
Prosedur Kerja
Persiapan alat dan bahan
j. Menyiapkan alat untuk memotong daging ikan mas dan ekstrak pepaya (papain)
antara lain pisau, blender, timbangan, corong, kertas saring, dan talenan.
k. Membunuh kemudian memfillet dagingnya (tanpa tulang).

Memotong-motong

daging hasil fillet dengan ukuran ( 2 gram).


l. Mengambil getah pepaya dengan cara menyayat kulitnya dengan menggunakan pisau,
kemudian menampung getahnya dalam cawan petri atau cawan porselin.
m. Menyiapkan air dengan pH 8 sebanyak 50 cc.

26

Pelaksanaan Praktikum
a. Menyiapkan botol reaksi dengan kapasitas 20 cc,
b. Menetapkan dosis enzim papain yang akan digunakan sebagai perlakuan, yaitu:
-

Perlakuan 1

= Kontrol (tanpa enzim papain = 0 cc), hanya menggunakan


aquades sebanyak 5 ml

Perlakuan 2

= 0,5 cc

Perlakuan 3

= 1,0 cc

Perlakuan 4

= 1,5 cc

Perlakuan 5

= 2,0 cc

Perlakuan 6

= 2,5 cc

c. Menggerus potongan daging ikan mas atau mencacahnya dengan pisau,


d. Memasukkan cacahan daging ikan mas ke bagian dasar 6 tabung reaksi,
e. Memasukkan getah pepaya ke dalam 5 tabung reaksi sesuai dosis perlakuan dan
membubuhkan label (1 label untuk kontrol),
f. Menambahkan air ber-pH 8 kedalam tabung perlakuan, sehingga volume larutan tiap
tabung sebanyak 5 cc,
g. Mengocok setiap tabung setelah 15 menit kemudian. Kegiatan ini dilakukan kembali
tiap 15 menit selama periode 2 jam,
h. Menganalisa hasil reaksi enzim terhadap gerusan daging ikan mas dengan
spektrofotometer di laboratorium lingkungan.
Pengambilan data
Setiap tabung reaksi (6 perlakuan) diamati absorbannya pada spektrofotometer.
Data yang diperoleh kemudian dijadikan sebagai nilai hidrolisis dari enzim papain
dengan dosis yang berbeda pada pH 8 (basa).

27

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan pengukuran hidrolisis ezim papain yang berasal dari buah pepaya
terhadap daging ikan mas, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai absorbance hidrolisis daging ikan mas menggunakan enzim papain
dengan dosis yang berbeda (cc)
Perlakuan dosis enzim (cc)
Nilai absorbance
Kontrol (0)
0,462
0,5
0,724
1
0,140
1,5
0,132
2
0,086
2,5
0,059
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai absorbance hidrolisis daging ikan
dengan mengunakan enzim papain berkisar 0,059 0,724, dimana nilai terendah berada
pada perlakuan 2,5 cc dan yang tertinggi pada perlakuan 0,5 cc. Dari hasil tersebut,
terlihat ada kecenderungan, semakin tinggi dosis enzim maka semakin rendah nilai
absorbance hidrolisisnya.
Hasil pengukuran absorbance yang diperoleh, menunjukkan bahwa substrat
(daging ikan) yang terkena enzim sangat sedikit meskipun dosis enzim ditingkatkan.
Hal ini dapat saja terjadi karena beberapa faktor, seperti cara pengadukan/pengocokan
pada saat praktikum. Menurut Affandi, dkk (2005) bahwa ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam proses peyederhanaan pakan kompleks adalah sebagai berikut: 1)
jenis dan dosis enzim, 2) kondisi pakan (substrat), 3) suhu lingkungan, dan 4) agitasi
(pengadukan substrat).

Untuk mempercepat proses hidrolisis secara invitro perlu

dilakukan proses pengadukan bahan yang sedang dihidrolisis supaya proses hidrolisis
berlangsung lebih cepat.
Menurut Schumm (1993) bahwa enzim digolongkan ke dalam enam kategori
yaitu oksidoreduktase, transferase, hidrolase, liase, isomerase, dan ligase. Hidrolase
merupakan enzim yang digunakan untuk memutus ikatan kovalen dengan menggunakan
molekul air. Penyederhanaan pakan komplek menjadi senyawa sederhana dilakukan
dengan menggunakan penambahan air (kuantitas).

28

Selain enzim, penambahan air sangat dibutuhkan dalam penyederhanaan pakan


komplek agar hidrolisis dapat berlangsung. Menurut Affandi, dkk (2005) bahwa pakan
yang komplek yang diambahkan enzim dan sejumlah air, akan menghasilkan pakan
dalam bentuk pasta (basah). Pada kondisi lembab (basah) inilah proses hidrolisis akan
berlangsung.
Penyederhanaan pakan komplek menjadi senyawa sederhana dilakukan denan
tujuan agar pakan yang diberikan pada ikan (dalam bentuk larva) yang alat
pencernaanya belum sempurna dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Meskipun
dengan alat pencernaan yang sangat sederhana, larva masih dapat mencerna pakan
dengan bantuan enzim yang dikandung dalam pakan tersebut. Sehingga larva dapat
menghasilkan energi dari pakan yang dikonsumsinya.
Enzim papain yang digunakan adalah enzim yang diekstrak dari buah pepaya.
Enzim ini dapat digunakan untuk menghidrolisis protein pakan. Menurut Hasan (2000)
bahwa papain yang digunakan untuk menghidrolisis protein pakan dengan kadar protein
40% dan C/P pakan adalah 8 k kal/g rotein adalah 1,3 1,7 %.
Hasil hidrolisis enzim yang diperoleh juga menunjukkan, bahwa nilai absorbance
untuk perlakuan tanpa enzim masih lebih rendah dibanding dengan perlakuan pemberian
enzim papain sebesar 0.5 cc. Hal ini membuktikan bahwa dengan pemberian enzim
dapat mempercepat proses hidrolisis.
merupakan salah satu faktor

Menurut Affandi (2002) bahwa jenis enzim

yang perlu diperhatikan pada proses penyederhanaan

pakan. Jenis enzim yang akan digunakan tergantung pada bahan apa yang dominan
terjandung dalam pakan yang ingin disederhanakan. Enzim yang dapat digunakan salah
satunya adalah enzim murni, yang berupa: pepsin, amilase, pankreatin, papain, dll.
Hubungan antara pemberian enzim dengan nilai absorbance, dapat dilihat pada Gambar
2.
Enzim murni dapat menaikkan aktivitas reaksi spesifik.

Menurut Schumm

(1993) bahwa aktivitas spesifik adalah aktivitas enzim/mg protein. Nilainya naik bila
enzim berada dalam keadaan yang lebih murni. Bilangan pertukaran jumlah molekul
substrat yang bereaksi, per satuan waktu untuk tiap satu molekul enzim, dapat dihitung

29

dari aktivitas spesifik bila enzim tadi berada dalam keadaan murni dan berat molekulnya
diketahui.
0.8

Nilai absorbance

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0

0.5

1.5

2.5

Dosis enzim papain (cc)


Nilai absorbance

Gambar 2. Grafik hubungan dosis enzim papain (cc) dengan nilai absorbance hidrolisis
enzim papain
Pada stadium larva, ikan sangat membutuhkan energi untuk pertumbuhan. Salah
satu konstribusi energi yang terbesar yaitu berasal dari protein pakan.

Protein

merupakan suatu molekul yang sangat komplek dengan rantai karbon yang panjang, dan
sangat susah untuk dipecah-pecah. Oleh karena itu diperlukan bantuan enzim untuk
memcah molekul enzim menjadi senyawa sederhana yang dapat dimanfaatkan oleh
larva. Menurut Griffiths, et. al (2005) bahwa protein merupakan suatu polimer yang
tersusun atas asam amino. Dengan kata lain bahwa protein merupakan suatu rantai asam
amino. Protein memiliki struktur yang komplek, dengan empat tingkatan struktur yaitu
struktur primer, struktur sekuder, struktur tersier, dan struktur quarter.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, R. Dan M.U. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. UNRI. Riau.
Affandi, R., D.S. Sjafei., M.F. Rahardjo., Sulistiono. 2005. Fisiologi Ikan: Pencernaan
dan Penyerapan Makanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

30

Griffiths, A.J.F., et. al. 2005. An Introduction to Genetic Analysis. W.H. Freeman and
company. England.
Hasan, O.D.S., R. Affandi., I. Mokoginta., dan N.R. Azwar. 2000 Pengaruh Pemberian
Enzim Papain Dalam Pakan Buatan Terhadap Pemanfaatan Protein dan
Pertumbuhan Benih Ikan Gurame, Osphronemus gouramy Lac.). Jurusan IlmuIlmu Perairan dan Perikanan. Idonesia
Lehninger dan M. Thenawijaya.
Jakarta.

1998.

Dasar-Dasar Biokimia, Jilid I.

Erlangga.

Schumm, D.E. 1993. Intisari Biokimia. Binarupa Aksara. Jakarta

31

Anda mungkin juga menyukai