Anda di halaman 1dari 3

Pangkal-Ujung Pertanian

INDONESIA adalah negara kepulauan di atas pertemuan tiga lempeng tektonik


(Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik). Itu menciptakan busur vulkanik
membentang dari Pulau Sumatera hingga Papua, yang dicirikan deretan
pegunungan vulkanik yang terdistribusi di sepanjang zona pertemuan
lempeng itu. Potensi bencana ada di sana.
Fenomena gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dan longsor akan selalu ada di
Tanah Air. Selain kondisi geologi, kepulauan Indonesia di antara dua benua (Asia
dan Australia) dan dua samudra (Hindia dan Pasifik), menciptakan iklim tropis basah
dengan hujan tinggi.
Negara kepulauan ini juga rawan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir
bandang, kekeringan, dan longsor. Pada sisi lain, tiga perempat penduduk Indonesia
tersebar di wilayah rentan gempa dan bencana hidrometeorologi itu. Mereka tak
mampu dan minim kapasitas memitigasi bencana-bencana itu.
Akhirnya, risiko bencana itu berubah petaka seusai banjir, longsor, gempa bumi,
gunung meletus, dan tsunami. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) 1915-2010, terjadi 6.528 bencana alam yang menewaskan 250.003 jiwa
(2010). Kejadian bencana meningkat sejak 1998. Bencana hidrometeorologi
mendominasi sejarah bencana alam (80 persen total kejadian), sedangkan 20
persennya terkait fenomena geologi.
Dari sisi jumlah korban jiwa, mayoritas disebabkan bencana terkait geologi, yakni
91,8 persen dari total korban jiwa. Banjir mendominasi bencana hidrometeorologi,
sedangkan kelompok geofisik adalah longsor.
Beberapa ahli mendefinisikan longsor sebagai perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, tanah, bahan rombakan atau campuran bahan itu, yang
bergerak menuruni atau keluar lereng.
Ditinjau dari sudut keteknikan, longsor akibat gaya geser tanah yang melebihi nilai
kuat gesernya sehingga keseimbangan atau stabilitas lereng terganggu. Peran gaya
geser sebagai gaya pendorong, sedangkan kuat geser sebagai penahan.
Faktor yang memengaruhi gaya pendorong adalah kemiringan lereng, air, beban,
berat jenis tanah atau batuan. Gaya penahan umumnya dipengaruhi kekuatan
batuan dan kepadatan tanah. Secara singkat, faktor pemicu longsor ada tiga, yakni
kondisi geologi, iklim, dan aktivitas manusia.
Di Indonesia, longsor adalah bencana terbesar kedua setelah banjir. Gabungan
kondisi geomorfologi yang labil, iklim ekstrem, dan aktivitas manusia diidentifikasi
faktor pemicunya.
Gunung dengan aktivitas kegempaan tinggi dapat memicu kenaikan air kapiler saat
terjadi gempa. Dampaknya, peningkatan gaya pendorong dalam tanah. Selain itu,

gempa juga menyebabkan retakan-retakan tanah yang berfungsi pori makro


masuknya air ke dalam tanah.
Hujan yang terserap tanah akan menyebabkan kondisi tanah jenuh. Nilai kohesi
tanah nol, yang selanjutnya menurunkan gaya penahan tanah. Aktivitas manusia
yang memengaruhi keseimbangan lereng nyata dari pembangunan di daerah
pegunungan.
Daerah pegunungan pada umumnya mempunyai nilai keindahan alam sehingga
menarik banyak orang untuk memanfaatkannya menjadi area wisata atau vila.
Populasi penduduk di pegunungan pun meningkat.
Selain alasan keindahan alam, populasi daerah berlereng bertambah akibat tekanan
sosial dan ekonomi. Masyarakat menempati lahan berlereng dan mengelolanya
untuk kegiatan pertanian. Populasi besar di daerah berlereng diikuti pembangunan
dengan cara memotong lereng untuk konstruksi jalan, rel kereta, gedung, maupun
perumahan. Aktivitas itu secara simultan meningkatkan kerawanan longsor.
Kaitan pertanian
Pada kasus longsor, pertanian di kawasan pegunungan berada pada posisi
pangkal-ujung. Pertama, pertanian dianggap salah satu penyebab longsor. Kedua,
pertanian juga korban, berupa kerusakan lahan.
Pembukaan hutan dan pemotongan lereng untuk pertanian yang melanggar kaidah
konservasi tanah dan air jelas meningkatkan potensi longsor. Bagaimana dengan
lahan pertanian yang disertai usaha konservasi tanah dan air? Apakah bebas dari
tuduhan penyebab longsor?
Konservasi tanah dan air, baik dengan metode mekanis, vegetatif, maupun kimia
bertujuan meminimalkan aliran permukaan dan memaksimalkan infiltrasi sehingga
erosi berkurang, simpanan air di tanah berlimpah. Infiltrasi maksimal jadi buah
simalakama, karena akan membuat kondisi tanah jenuh. Akibatnya, gaya penahan
tanah menurun, gaya dorong naik.
Beban lereng bertambah karena peningkatan kandungan air dalam tanah yang
meningkatkan gaya dorong. Jenis tanah yang umumnya di pegunungan vulkanik
adalah lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur.
Tanah pelapukan itu di atas batuan kedap air, yang berperan bidang gelincir pada
proses longsoran. Tanaman keras dengan perakaran kuat dan dalam membantu
menahan gaya dorong lereng. Pada kondisi itu, konservasi tanah dan air pada lahan
pertanian berlereng tetap ada pada posisi tidak benar.
Posisi pertanian pada uraian sebelumnya diumpamakan pangkal. Posisi kedua,
yakni dampak longsoran terhadap pertanian bisa diibaratkan ujung. Setiap tahun,
berhektar-hektar lahan pertanian rusak akibat longsor, bahkan terkubur beberapa
meter longsoran.

Pengaktifan kembali lahan-lahan itu butuh waktu, tenaga, dan ongkos. Tanpa harta
benda, tempat tinggal, dan sumber penghidupan, petani korban longsoran harus
bertahan hidup. Bantuan pemerintah, swasta, dan masyarakat bersifat sementara.
Pendampingan pada masa pemulihan akan membantu mereka kembali beraktivitas.
Ada yang kembali ke sektor pertanian, ada juga ke sektor lainnya.
Pada tahap ini, kaitan pertanian dengan longsor adalah terdakwa pada posisi
pangkal sekaligus korban pada posisi ujung. Pengadilan mana yang bisa
menyelesaikan?
Tulisan ini berusaha menganalisis kaitan pertanian dan longsor. Desain konservasi
tanah dan air sebaiknya tak hanya didekati dari disiplin ilmu sipil, pertanian, dan
kehutanan. Namun, multidisiplin ilmu mempertimbangkan kondisi geologi.
Selain fungsi ekonomi dan produksi, pemilihan jenis tanaman dan pola tanam juga
harus mempertimbangkan fungsi penahan lereng. Model ini diharap melepaskan
sektor pertanian dari posisi pangkal dan menggeser posisi ujung demi
meminimalisasi rugi nyawa-harta.
NGADININGSIH
Staf Ahli Pusat Studi Bencana Alam (PSBA) UGM; Dosen Fakultas Teknologi
Pertanian UGM

Anda mungkin juga menyukai