Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Perkelahian
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul
suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Akselerasideselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi
solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr
dkk,2009). Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada
area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan
hipotensi.
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali
jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat
diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa
perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam
terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan
dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai
terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam
otak ( Lombardo, 2003).
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan
benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil
atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan
kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala,
yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
(pathway terlampir)
5. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
a. Berdasarkan Mekanisme
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil
atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus
disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009).
b. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
Reaksi berbicara
Reaksi Verbal
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang
Nilai
4
3
2
1
Nilai
5
4
Nilai
6
5
4
3
2
1
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi :
1) Cedera kepala ringan : Nilai GCS-nya 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit.
Ditandai dengan nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
2) Cedera kepala sedang : Nilai GCS-nya 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit 24
jam, dapat mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
3) Cedera kepala berat : Nilai GCS-nya 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi:
kontusio serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral (Hudack dan Gallo, 1996)
c. Morfologi Cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur kranium dan lesi intrakranial.
1) Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya
memerlukan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda
klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan
lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis
(Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini
membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian
dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20
kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah
sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2) Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis
(a) Hematoma Epidural
Epidural
perdarahan
potensial
hematom
yang
antara
(EDH)
terbentuk
tabula
di
interna
adalah
ruang
dan
terletak
diregio
temporal
atau
pada
setiap
tempat
termasuk
tidak
jelas
batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak.
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling
sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri
ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun
karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini
adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa
gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung
disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini
merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat,
pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita
mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi
massa atau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap
koma selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.
Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedera otak kerena hiipoksiia
secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan
(American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera
kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan
penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi
pertimbangan.
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala.
a. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glasgow Coma Scale). Pada cedera kepala berat
nilai GCS nya 3-8
b. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
c. Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
d. Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi), gurgling.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala
diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang
sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka
tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan
palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran.
Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal
jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi
maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSF, Lumbal Punksi
Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. Analisis Gas Darah
Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
j. Kadar Elektrolit
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini,
secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita
akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau
mati
penderita
pada masa
vegetative
statesering
membuka
matanya
dan
2. Indikasi
a. Pengangkatan jaringan abnormal
b. Mengurangi tekanan intracranial
c. Mengevaluasi bekuan darah
d. Mengontrol bekuan darah
e. Pembenahan organ-organ intracranial
f. Tumor otak
g. Perdarahan
h. Peradangan dalam otak
i. Trauma pada tengkorak
3. Tehnik Operasi
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring kontralateral
lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi) misalnya kepala
miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan
lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih
baik. Keringkan dengan doek steril. Pasang doek steril di bawah kepala untuk
membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar
dengan melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik,
sinus untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai
batas basis cranii, jalannya N VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
e. Operasi
1) Incisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa basah.
Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak tertekuk
(bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan fiksasi pada
doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan rasparatorium
pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar CT
scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudsons Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang boorhole
dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling dan
suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan dengan
bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi dura,
perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan dari tepi
bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah tersebut kalau
perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan profus dari bawah
tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk mencari sumber
perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara simpul
dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi perdarahan dengan
spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berlawanan
dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian bagian
yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat dari
arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut tersayat).
Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah duramater di dalam
ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai pelindung terhadap
kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus. Koagulasi
yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk pembuluh darah
kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak ada
darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak yang
direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari perlengketan.
Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter bipolar. Bila
dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak gunakan pinset
anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak dikembalikan
lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut:
a) Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
b) Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
c) Pasang drain subgaleal.
d) Jahit galea dengan vicryl 2.0.
e) Jahit kulit dengan silk 3.0.
f) Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
f. Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada tulang
yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang akan dikembalikan
untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang yang akan dikembalikan
sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4 buah ditepi dan 2 lubang ditengah
berdekatan untuk teugel dura). Lakukan fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0,
selanjutnya tutup lapis demi lapis seperti diatas.
4. Komplikasi Post Operasi
a. Edema cerebral.
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
c. Hypovolemik syok.
d. Hydrocephalus.
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Ada atau tidaknya obstruksi misalnya karena lidah jatuh kebelakang, terdapat
cairan, darah, benda asing, dan lain-lain.
Dengarkan suara napas, apakah terdapat suara napas tambahan seperti snoring,
gurgling, crowing.
2) BREATHING
-
3) CIRCULATION
-
Tekanan darah
Sianosis, CRT
Turgor kulit
Diaphoresis
4) DISABILITY
-
GCS : EVM
Kekuatan otot
5) EXPOSURE
-
Jika terdapat luka, kaji luas luka, warna dasar luka, kedalaman
6) FIVE INTERVENTION
Saturasi oksigen
Pemeriksaan laboratorium
7) GIVE COMFORT
-
8) H 1 SAMPLE
-
Keluhan utama
Mekanisme cedera/trauma
Tanda gejala
9) H 2 HEAD TO TOE
-
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan peningkatan TIK
2. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan perubahan fungsi neurologis
3. Perubahan persepsi sensori visual berhubungan dengan gangguan persepsi, transmisi
4. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan saraf
5. Cemas berhubungan dengan ancaman kematian
Intra Operasi
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
2. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat (trauma
jaringan, kulit tidak utuh)
Post Operasi
1. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
2. Resiko cedera berhubungan dengan trauma intracranial
3. Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
3. Rencana Keperawatan
No
Diagnosa
Keperawatan
Nyeri
berhubungan
dengan
peningkatan TIK
Tujuan
NOC
:
Perilaku
Mengendalikan Nyeri
Tujuan : Pasien tidak
mengalami nyeri atau nyeri
menurun sampai tingkat
yang dapat diterima pasien
Kriteria Hasil
Pre Operasi
Kriteria hasil :
a. Tidak
menunjukkan
adanya
nyeri
atau
minimalnya bukti-bukti
ketidaknyamanan
b. TIK dalam batas normal
c. Tidak
menunjukkan
bukti-bukti peningkatan
TIK
d. Belajar
dan
mengimplementasikan
strategi koping yang
efektif.
Intervensi Keperawatan
Rasional
1. Meminimalkan
rasa
nyeri yang dirasakan
pasien
2. Mengurangi rasa nyeri
3. Mengurangi rasa nyeri
4. Pasien bisa mimilih
teknik yang tepat untuk
mengurangi nyeri
5. Dukungan
keluarga
dapat
memotivasi
pasien
6. Mengantisipasi nyeri
yang berulang
Perubahan
persepsi sensori
visual
berhubungan
dengan
gangguan
persepsi,
transmisi
NOC
:
Pengendalian Kriteria hasil :
Ansietas
a. Pasien menyesuaikan diri
Tujuan
:
Pasien
pada defisit sensoris /
menunjukkan tanda-tanda
persepsi
penyesuaian terhadap defisit b. Pasien
menunjukkan
sensoris / persepsi
sikap dan rasa aman
dalam lingkungan
Gangguan
komunikais
verbal
berhubungan
dengan
tumor
otak
Neurogical Status
Tujuan
:
Pasien
menunjukkan komunikasi
verbal yang efektif.
Kriteria hasil :
a. Fungsi neurologis
b. TIK dbn
c. Komunikasi
d. TTV dbn
1. Pasien
mengetahui
tujuan perawatan
2. Memberikan dukungan
3. Mencegah
terjadi
cedera
4. Mencegah terjadinya
dekubitus
1. Memberikan
rasa
nyaman pada pasien
2. Dukungan
pasien
selama perawatan
3. Dukungan
keluarga
memberikan dampak
positif pada pasien
Konflik
pengambilan
keputusan
berhubungan
dengan kurang
informasi yang
relevan
Kriteria Hasil:
a. Identifikasi
informasi
yang relevan
b. Identifikasi alternative
c. Memilih
berbagai
alternatif
Cemas
berhubungan
dengan ancaman
kematian
intensitas
strategi
5. Pasien
dapat
menyampaikan keluhan
6. Memberikan dukungan
selama perawatan
1. Keluarga
memahami
tindakan
selama
perawatan
2. Keluarga
dapat
mengetahui keuntungan
dan kelebihan alternatif
yang lain
3. Memberikan informasi
4. Memberikan dukungan
dalam
pemberian
keputusan yang tepat
yang diambil
5. Memberikan dukungan
selaman perawatan
1. Memberikan informasi
selama perawatan yang
didapatkan pasien
2. Memberikan
rasa
Resiko
kekurangan
volume cairan
berhubungan
dengan
kehilangan
cairan
Resiko infeksi
berhubungan
pertahan tubuh
primer
tidak
adekuat
koping
untuk
prognosis
mengurangi stress
2. Tetap dampingi kien
c. Gunakan teknik relaksasi
untuk
menjaga
untuk
mengurangi
keselamatan pasien dan
kecemasan
mengurangi
d. Kondisikan lingkungan 3. Instruksikan
pasien
nyaman
untuk melakukan ternik
relaksasi
4. Bantu
pasien
mengidentifikasi situasi
yang
menimbulkan
ansietas.
Intra Operasi
Kriteria hasil :
NIC : Manajemen cairan
a. Kulit
dan
membran 1. Catat intake dan output
mukosa lembab
2. Monitor status hidrasi
b. Tidak terjadi demam,
seperti
membran
TTV normal
mukosa, nadi, tekanan
darah dengan cepat.
3. Beri cairan yang sesuai
dengan terapi
Kriteria hasil :
NIC : Pengendalian Infeksi
Tidak menunjukkan tanda- 1. Pantau tanda / gejala
tanda infeksi
infeksi
2. Rawat
luka
operasi
dengan teknik steril
3. Memelihara
teknik
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
4. Ganti
peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
nyaman
3. Memberikan
rasa
nyaman pada pasien
4. Mengurangi ansietas
1. Mengetahui
cairan
2. Antisipasi
dehidrasi
3. Mengatur
cairan
balance
tanda
balance
1. Mencegah terjadinya
infeksi
2. Mencegah
invasi
mikroorganisme
3. Mencegah inos
4. Mencegah inos
Nyeri
berhubungan
dengan prosedur
bedah
Resiko
tinggi
cedera
berhubungan
dengan trauma
intrakranial
Resiko infeksi
berhubungan
dengan luka post
Post Operasi
NOC : Tingkat Nyeri
Kriteria hasil :
NIC : Menejemen Nyeri
Tujuan : Pasien tidak a. Tidak
menunjukkan Intervensi :
mengalami nyeri, antara lain
tanda-tanda nyeri
1. Berikan pereda nyeri
penurunan
nyeri
pada b. Nyeri menurun sampai
dengan
manipulasi
tingkat yang dapat diterima
tingkat
yang
dapat
lingkungan
(misal
diterima
ruangan tenang, batasi
pengunjung).
2. Berikan analgesia sesuai
ketentuan
3. Cegah adanya gerakan
yang
mengejutkan
seperti
membentur
tempat tidur
4. Cegah peningkatan TIK
NOC : Pengendalian Resiko Kriteria hasil :
NIC : Positioning
Tujuan : Pasien mengalami a. Stress minimal pada sisi 1. Konsul dengan ahli
stress minimal pada sisi
operasi
bedah
mengenai
operasi
b. Pasien tetap pada posisi
pemberian
posisi,
yang diinginkan
termasuk derajat fleksi
leher.
2. Posisikan pasien datar
dan
mirirng,
bukan
terlentang atau tinggikan
kepala
3. Balikkan pasien dengan
hati-hati
4. Hindari
posisi
trendelenburg
NOC : Pengenalian Resiko
Kriteria hasil :
NIC : Pengendalian Infeksi
Tujuan : Pasien tidak Tidak menunjukkan tanda- 5. Pantau tanda / gejala
mengalami infeksi atau tanda infeksi
infeksi
1. Mengurangi
stressor
yang
dapat
memperparah nyeri
2. Mengurangi nyeri
3. Meminimalkan nyeri
4. Mengurangi rasa nyeri
yang dirasakan pasien
5. Mencegah
infeksi
6. Mencegah
terjadinya
invasi
operasi
Cemas
berhubungan
dengan ancaman
kematian
6. Rawat
luka
operasi
dengan teknik steril
7. Memelihara
teknik
isolasi, batasi jumlah
pengunjung
8. Ganti
peralatan
perawatan pasien sesuai
dengan protap
NIC : Enhancement Coping
5. Sediakan informasi yang
sesungguhnya meliputi
diagnosis, treatment dan
prognosis
6. Tetap dampingi kien
untuk
menjaga
keselamatan pasien dan
mengurangi
7. Instruksikan
pasien
untuk melakukan ternik
relaksasi
8. Bantu
pasien
mengidentifikasi situasi
yang
menimbulkan
ansietas.
mikroorganisme
7. Mencegah inos
8. Mencegah inos
5. Memberikan informasi
selama perawatan yang
didapatkan pasien
6. Memberikan
rasa
nyaman
7. Memberikan
rasa
nyaman pada pasien
8. Mengurangi ansietas
4. Implementasi Keperawatan
Sesuai dengan rencana keperawatan
5. Evaluasi
Sesuai dengan kreteria hasil
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Alih bahasa : Yayasan Ikatan alumsi Pendidikan Keperawatan Pajajaran Bandung.
Cetakan I.
Carpenito, L.J. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doengoes E.Marilyn. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius.
PriceS.A., Wilson L. M. 2006. Buku Ajar Ilmu. Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta :
EGC.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah edisi 3 volume 8.
Jakarta: EGC.
Sylvia A. Price. 2006. Patofosiologi Konsep Penyakit. Jakarta: EGC