Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

EFEK SAMPING WHITENING AGENT

Disusun Oleh :
Muamar Amirullah
H1A007040

Pembimbing :
dr. Dedianto Hidajat, SpKK

Dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya


Di Bagian/SMF Kulit Kelamin RSUP NTB
Universitas Mataram
2013

PENDAHULUAN

Kita ketahui bahwa kosmetik sangat beragam jenisnya, mulai dari kosmetik untuk
wajah, kulit, rambut, hingga kuku. Namun diantara ragam jenis kosmetik tersebut, yang
sering menjadi perhatian adalah kosmetik untuk kulit. Produk kosmetik untuk mempercantik
kulit terdiri dari berbagai jenis tergantung pada fungsinya, antara lain pelembut kulit,
pembersih, pelembab, tabir surya, dan pencerah atau pemutih kulit (whitening agent).

Pemutih/pencerah kulit adalah produk yang ditujukan untuk mencerahkan atau


menghilangkan pewarnaan kulit yang tidak diinginkan. Produk ini didesain untuk bekerja
dengan cara berpenetrasi ke dalam kulit dan mengganggu produksi pigmen oleh sel kulit. Di
beberapa negara produk ini digolongkan sebagai obat dan bukan sebagai kosmetik yang
digunakan dengan bebas. Sedangkan di negara Asia seperti di Jepang, kosmetik yang
berfungsi sebagai pemutih/pencerah kulit masih beredar sebagai kosmetik yang digemari,
oleh karena itu bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pemutih/pencerah banyak diteliti
dan dikembangkan.

Ada beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai pemutih kulit (whitening agent)
antara lain merkuri, hidrokuinon, kortikosteroid, vitamin C, asam azeleat, dan tretinoin.
Penggunaan bahan-bahan tersebut tidak terlepas dari efek samping yang dapat ditimbulkan
baik oleh karena cara kerja obat tersebut maupun cara penggunaan obat yang tidak sesuai
dengan aturan. Apapun penyebabnya, efek samping yang terjadi dapat diminimalisir dengan
penggunaan bahan-bahant tersebut sesuai dengan konsentrasi yang aman.

HIDROKUINON
Hidrokuinon merupakan salah satu bahan yang sering digunakan sebagai obat topikal untuk
mengurangi hiperpigmentasi pada kulit seperti pada melasma dengan efek sitotoksik terhadap
melanosit dan dianggap sebagai salah satu inhibitor melanogenesis yang paling efektif secara
in vitro dan in vivo1.

Efek toksik hidrokinon terjadi karena hidrokinon berkompetisi dengan tirosin sebagai substrat
untuk tirosinase (enzim yang berperan dalam pembentukan melanin), sehingga tirosinase
mengoksidasi hidrokinon dan menghasilkan benzokinon yang toksik terhadap melanosit.
Efek samping yang umum terjadi setelah paparan hidrokinon pada kulit adalah iritasi,
eritema, dan rasa terbakar. Efek ini terjadi segera setelah pemakaian hidrokinon konsentrasi
tinggi yaitu di atas 4%. Sedangkan untuk pemakaian hidrokinon dibawah 2% dalam jangka
waktu lama secara terus-menerus dapat terjadi leukoderma kontak dan okronosis eksogen1,2,3.
Pada beberapa kasus, pasien mengalami okronosis setelah menggunakan hidrokinon dalam
konsentrasi rendah sekitar 2% selama 10-20 tahun4. Pada kasus lain, pasien yang
menggunakan hidrokinon dengan konsentrasi tinggi (6%) mulai mengalami okronosis setelah
pemakaian beberapa tahun. Karena hidrokinon menyerap sinar ultraviolet, adanya sinar
matahari akan memperburuk dan mempercepat terjadinya okronosis eksogen4,5.

Penggunaan krim untuk menghilangkan pigmen atau mencerahkan kulit dapat menyebabkan
hilangnya pigmen secara keseluruhan di area yang dioleskan. Kondisi ini menyebabkan nodanoda depigmentasi atau tanpa pigmen dengan area hiperpigmentasi berupa bintik-bintik hitam
(leukoderma-en-confetti)3,4.

Efek samping kronik termasuk okronosis eksogen, katarak, pigmented koloid milia, sklera,
dan pigmentasi kuku, hilangnya elastisitas kulit, dan gangguan penyembuhan luka. Okronosis
adalah efek samping kronik terkait penggunaan hidrokuinon topikal jangka panjang. Hal ini
pertama kali dilaporkan oleh Findlay et al pada wanita Afrika Selatan yang menggunakan
hidrokuinon konsentrasi tinggi selama bertahun-tahun. Secara klinis, okronosis ditandai
dengan hiperpigmentasi asimtomatik, eritema, papul, papulonodul pada bagian tubuh yang
terpapar sinar matahari seperti wajah, dada bagian atas, dan punggung atas4,5. Terdapat
laporan mengenai perubahan warna kuku akibat penggunaan hidrokuinon secara kronik.
Perubahan warna ini terjadi akibat oksidasi dan polimerasi oleh produk dari hidrokuinon.

Perubahan warna ini disebut pseudo yellow nail syndrome karena menyerupai yellow nail
syndrome1,3.

Sejak tahun 1982, oleh lembaga pengawasan obat dan makanan di Amerika FDA (Food and
Drug Administration), produk obat bebas atau kosmetik pemutih/pencerah kulit yang
mengandung 1,5 2 % hidrokinon dikategorikan sebagai produk yang secara umum diakui
aman dan efektif (Generally Recognized As Safe and Effective/GRASE). Penggunaan
hidrokinon dalam kosmetik pun masih berlangsung hingga hampir 30 tahun. Seiring dengan
banyaknya efek samping yang ditimbulkan akibat pemakaiannya, negara-negara lain seperti
Jepang, Kanada, Australia, Inggris dan Uni Eropa telah melarang pemakaian hidrokinon
sebagai pemutih/pencerah kulit. Di samping itu, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa
hidrokinon dapat menyebabkan kanker pada tikus setelah pemberian oral dan juga dapat
menyebabkan okronosis (kulit gelap dan noda hitam) jika dioleskan pada kulit. Karena itu,
pada tahun 2006, FDA pun mengusulkan peraturan yang melarang penggunaan hidrokinon
sebagai obat bebas, namun hingga kini belum ada keputusan untuk menarik peraturan tahun
1982 tersebut1,5.

Di Indonesia, peraturan yang membatasi penggunaan hidrokinon dalam kosmetik telah


dikeluarkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sejak tahun 2008, yaitu Peraturan
Kepala Badan POM Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan
Kosmetik, dan melalui surat edaran Kepala Badan POM RI pada September 2008 semua
kosmetik yang tidak memenuhi ketentuan ditarik dari peredaran dan dimusnahkan. Dalam
peraturan tersebut disebutkan bahwa hidrokinon sebagai bahan kosmetik hanya boleh
digunakan untuk bahan pengoksidasi warna pada pewarna rambut dengan ketentuan kadar
maksimum sebesar 0.3% dan untuk kuku artifisial dengan kadar maksimum sebesar 0.02%
setelah pencampuran sebelum digunakan dan hanya boleh digunakan oleh tenaga profesional.

VITAMIN C (ASAM ASKORBAT)


Vitamin C adalah antioksidan alami yang berhubungan dengan ion tembaga pada tempat aktif
tirosinase. Vitamin C berperan sebagai penghambat dalam berbagai tingkatan oksidatif dalam
pembentukan melanin

sehingga bisa menghambat

melanogenesis.

Berbagai

studi

menunjukkan bahwa pengurangan aktivitas tirosinase yang diperantarai oleh vitamin C


terlihat sebagai aktivitas anti oksidan, dan bukan dari akibat hambatan secara langsung pada
aktivitas tirosinase3,4,5.
3

Produk Vitamin C topikal yang berasal dari buah dan tanaman bersifat tidak stabil, sehingga
menimbulkan keraguan akan efikasinya. Sehingga dikembangkan derivat yang lebih stabil
dalam bentuk paling populer adalah magnesium-ascorbyl-phosphate (MAP) yang diikuti oleh
ascorbyl-6-palmitate. Sebuah studi membandingkan penggunaan asam askorbat 5% dan
hidrokuinon 4% pada 16 pasien perempuan dengan melasma dan menemukan perbaikan
sebesar 62,5% untuk asam askorbat dan 93% untuk hidrokuinon. Efek samping terjadi pada
68,7% dengan hidrokuinon dan 6,2% dengan asam askorbat. Meskipun demikian hidrokuinon
menunjukkan respon yang lebih baik sehingga asam askorbat dapat digunakan sebagai terapi
tunggal atau terapi kombinasi karena memiliki sedikit efek samping3,5.

Karena potensi reduktan yang tinggi, maka asam askorbat dapat berfungsi sebagai anti
oksidan dengan cara menetralisir spesies oksigen reaktif. Karena pH nya asam dan
konsentrasi tinggi, vitamin C topikal dapat menyebabkan rasa menyengat ringan pada
aplikasi pertama. Keluhan ini akan hilang sendiri pada pemakaian yang terus-menerus. Alergi
terhadap vitamin C jarang4,5.

ASAM AZELEAT
Asam azeleat adalah merupakan asam dikarboksilat yang dihasilkan oleh Pityrosporum ovale
yang bekerja sebagai inhibitor lemah tirosinase. Sebagai tambahan, asam azeleat memiliki
efek antiprolliferatif dan sitotoksik terhadap melanosit. Meskipun awalnya merupakan obat
untuk akne, namun asam azeleat juga terbukti dapat digunakan untuk mengobati rosasea,
melasma dan hiperpigmentasi pasca inflamasi5,6.
Asam azeleat tidak mampu memicu terjadinya depigmentasi pada kulit normal yang
menunjukkan bahwa asam azeleat memiliki efek antiproliferatif dan sitotoksik selektif untuk
melanosit abnormal. Asam azeleat dilaporkan efektif untuk hipermelanosis yang disebabkan
oleh bahan kimia maupun kelainan kulit yang ditandai dengan proliferasi abnormal
melanosit6.
Penggunaan asam azeleat dalam bentuk topikal dapat menimbulkan efek samping secara
lokal terkait penggunaan secara topikal seperti rasa panas, rasa terbakar, rasa gatal, dan rasa
seperti tertusuk. Hal ini biasanya terjadi selama beberapa minggu pertama penggunaan
namun akan segera berkurang/menghilang setelah adanya penyesuaian oleh tubuh. Efek
samping lain yang mungkin dapat terjadi adalah pertumbuhan rambut berlebihan pada wajah,
hipopigmentasi, serta tanda terjadi reaksi alergi terhadap asam azeleat seperti rash, rasa gatal
4

dan pembengkakan yang menetap (khususnya pada wajah, lidah, tenggorokan), rasa pusing,
serta kesulitan bernapas5,6.

KORTIKOSTEROID
Penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan saat ini mengalami revolusi dan bahkan
digunakan secara luas sebagai pemutih kulit. Kortikosteroid topikal pertama kali
diperkenalkan tahun 1951, dibagi menjadi 4 kelompok berdasarkan potensinya oleh British
National Formulary (BNF), sedangkan American System mengkalisifikasi menjadi 7 kelas,
dengan kelas 1 sebagai agen yang sangat poten, super poten atau ultrahigh poten. Walaupun
telah dilarang penggunaannya oleh kementerian pusat kesehatan, namun steroid topikal tetap
mudah didapatkan bahkan tanpa resep dokter di negara-negara Afrika, termasuk Nigeria.7,8
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik dengan mekanisme kerja yang
berbeda-beda, diantaranya sebagai anti-inflamasi, imunosupresan, antiproliferatif dan efek
vasokonstriksi. Kortikosteroid topikal dapat memutihkan kulit dengan cara vasokontriksi
yang memperlambat pergantian sel kulit, mengurangi jumlah dan aktivitas melanosit, atau
dengan menurunkan produksi prekursor hormon steroid9,10.
Penggunaan kortikosteroid memiliki efek samping baik sistemik maupun lokal. Efek
samping lokal lebih sering dijumpai dibandingkan efek samping sistemik. Beberapa efek
samping lokal yang dapat muncul dari penggunaan kortikosteroid topikal diantaranya:7,9
1.

Atrofi kulit. Atrofi kulit merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Atrofi kulit
terjadi

akibat

efek

antiproliferatif

pada

fibroblas,

dengan

inhibisi

sintesis

mukopolisakarida dan kolagen, menyebabkan hilangnya bagian penunjang dermis. Pada


lapisan yang lebih atas terjadi penipisan dan fragmentasi serat elastin dan di bagian yang
lebih dalam serat-serat elastin membentuk hubungan yang padat dan rapat. Sebagai hasil
dari perubahan atrofi ini, terjadi dilatasi vaskular, teleangiektasis, purpura, mudah
memar, pseudoskar stellata (purpura, bentuk iregular, dan skar atrofi hipopigmentasi),
dan ulserasi.
2.

Reaksi akneiform. Efek kortikosteroid topikal diantaranya perkembangan atau


eksaserbasi dari dermatosis di wajah termasuk diantaranya rosasea steroid, akne, dan
dermatitis perioral. Walaupun pada awalnya steroid menyebabkan supresi inflamasi
papul dan pustul, namun orang-orang menjadi cenderung ketagihan dan menggunakan
secara terus-menerus. Penggunaan jangka panjang steroid akhirnya dapat mengakibatkan
terjadinya "akne steroid" dimana memiliki karakteristik wajah yang dipenuhi papul,

bersisik, merah menyala (red-face syndrome). Lesi ini muncul di wajah, dada dan
punggung.

Gambar 1. Papul hiperpigmentasi post inflamasi dengan makula hiperpigmentasi pada forehead dan malar area;
Gambar papul cluster kecil, pustula (akne steroid) tersebar di seluruh wajah.8

Gambar 2. Rosasea pada penggunaan topikal kortikosteroid9

3.

Hipertrikosis. Penggunaan steroid topikal poten dapat menyebabkan pertumbuhan


rambut pada daerah yang terpapar. Mekanisme terjadinya hipertrikosis pada penggunaan
kortikosteroid topikal masih tidak diketahui.

4.

Perubahan pigmentasi. Penurunan pigmentasi merupakan efek samping yang sering


muncul. Pigmen akan kembali perlahan setelah penghentian penggunaan steroid.

5.

Perkembangan Infeksi. Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menyebabkan


eksaserbasi atau menutupi tampakan penyakit infeksi. Insidensi infeksi kulit pada
penggunaan kortikosteroid topikal bervariasi antara 16-43%. Dapat muncul infeksi tinea
versikolor, infeksi alternaria diseminata, dermatofitosis termasuk juga tinea inkognito.

6.

Reaksi Alergi. Reaksi hipersensitivitas akibat kontak dengan kortikosteroid topikal dapat
muncul dan menyebabkan kerusakan kulit yang semakin memburuk atau persisten.
6

Prevalensi sensitisasi kortikosteroid topikal berkisar antara 0.2-6.0% dan meningkat


dengan penggunaan jangka panjang7,9.
Beberapa efek samping sistemik penggunaan kortikosteroid diantaranya: 7,9
1. Efek okular. Penggunaan kortikosteroid topikal di sekitar mata dapat menyebabkan
berkembangnya glaukoma. Penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat juga
menyebabkan kehilangan penglihatan.
2. Supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Penggunaan kortikosteroid topikal poten
dapat menyebabkan supresi aksis HPA. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan
diantaranya sindrom cushing iatrogenik, steroid-related addison crises, dan gangguan
pertumbuhan pada anak.
3. Efek samping metabolik. Peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan
glukosa dapat menyebabkan hiperglikemi dan dapat menyebabkan diabetes melitus.
Untuk pengobatan dermatosis kulit ringan khususnya pada wajah sebaiknya tidak
menggunakan kortikosteroid topikal, dan untuk pengobatan rosasea yang disebabkan steroid
dapat digunakan kombinasi antibiotik oral dan takrolimus topikal. Penelitian oleh Bath tahun
2011 menunjukkan respon yang sangat baik untuk kombinasi antibiotik oral dan takrolimus
topikal dalam kasus yang parah dan untuk kasus ringan cukup diberikan takrolimus topikal
saja. Takrolimus memberikan efek imunosupresif dan efek anti-inflamasi dengan
menghambat aktivasi sel-T. Namun berbeda dengan kortikosteroid topikal, takrolimus tidak
menyebabkan vasokonstriksi atau atrofi7.

MERKURI
Merkuri merupakan bahan yang sering ditemukan pada sabun atau krim pemutih kulit.
Bahan ini juga ditemukan di kosemtik lainnya, seperti produk pembersih makeup mata dan
maskara. Garam merkuri digunakan sebagai agen pemutih kulit dikarenakan mampu
menghambat formasi melanin yang menghasilkan tampakan kulit lebih bercahaya. Merkuri
pada kosmetik terdiri dari dua bentuk yaitu inorganik dan organik. Merkuri inorganik
(ammoniated mercury) biasanya dibukana pada krim dan sabun pemutih kulit. Merkuri
organik (thiomersal [ethyl mercury] dan phenyl mercuric salts) digunakan sebagai produk
pembersih makeup mata dan maskara. Penggunaan merkuri sudah dilarang di banyak negara
oleh undang-undang. Walaupun begitu, masih ada beberapa produk pemutih yang tetap
menggunakan merkuri11.

Tingkat toksisitas merkuri ditentukan oleh tingkat absorpsinya di kulit, dipengaruhi


oleh konsentrasi merkuri dan hidrasi kulit. Derajat absorpsinya di kulit juga bervariasi
tergantung dari integritas kulit dan solubititas lipid pada vehicle produk kosmetik. Masuknya
merkuri melalui ingesti juga dapat terjadi setelah penggunaan topikal di sekitar mulut atau
kontak mulut dengan tangan. Setelah absorpsi, merkuri inorganik didistribusi secara luas dan
eleminasinya terutama melalui urin dan feses. Pada paparan jangka panjang, ekskresi urin
merupakan rute utama eliminasi. Waktu paruhnya diperkirakan sekitar 1-2 bulan12.
Kosmetik yang mengandung merkuri seringkali digunakan secara teratur dan
penggunaan dalam periode yang panjang. Penggunaan kronis pemutih kulit yang
mengandung merkuri dapat menyebabkan efek sistemik. Ginjal adalah tempat utama endapan
merkuri anorganik , kerusakan ginjal meliputi proteinuria reversibel , nekrosis tubular akut
dan sindrom nefrotik. Gejala gastrointestinal meliputi rasa metalik, gingivostomatitis , mual
dan hipersalivasi. Meskipun penetrasi merkuri melewati blood brain barrier minimal, namun
kontak yang lama dapat menyebabkan akumulasi di sistem saraf pusat ( SSP ) dan terjadi
neurotoksisitas. Keracunan merkuri anorganik setelah penggunaan krim pemutih kulit telah
dilaporkan dari Afrika, Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, Australia dan Hong Kong.
Sindrom nefrotik (terutama karena perubahan minimal atau nefropati membranosa) dan
neurotoksisitas adalah bentuk tampakan yang paling umum12.
Beberapa kelainan kulit yang disebabkan merkuri yang terdapat pada produk pemutih
kulit diantaranya hiperpigmentasi kutan dan dermatitis kontak. Bahan merkuri dapat langsung
diabsorpsi melalui kulit dan menginduksi depigmentasi dengan berkompetisi dengan tembaga
pada enzim tyrosinase. Penggunaan jangka panjang produk merkuri dapat menyebabkan kulit
dan kuku menjadi lebih gelap, karena merkuri terakumulasi di epidermis, folikel rambut dan
dermis, akan muncul tanda pigmentasi biru/abu pada lipatan kulit, bisa pada lipatan kulit
hidung, kelopak mata dan leher. Penggunaan krim merkuri jangka panjang di sekitar mata
dapat menyebabkan perubahan warna pada lensa (mercurialitis). Epidermis dapat
memperlihatkan peningkatan produksi melanin. Terapi yaitu salah satunya dengan
menghentikan penggunaan krim atau bahan dengan merkuri10,13.
Merkuri inorganik soluble, umumnya merkuri klorida, dapat mengiritasi kulit dan
membran mukosa. Paparan terhadap 1-5% dapat menyebabkan iritasi, vesikulasi, dermatitis
kontak dan korosi kulit. Merkuri inorganik nonsoluble tidak secara langsung mengiritasi
namun secara perlahan bahan tersebut diabsorbsi dan terionisasi dalam jaringan13.
Pencegahan dari paparan lebih lanjut adalah langkah pertama untuk mengatasi
toksisitas merkuri. Pengguna krim dan orang-orang yang kontak dekat dengan mereka harus
8

dievaluasi untuk bukti paparan merkuri, adanya kerusakan organ target dan kebutuhan untuk
pengobatan khelasi. Evaluasi laboratorium pada subjek yang terkena paparan harus
mencakup hitung darah lengkap, elektrolit serum, tes fungsi ginjal dan hati, urinalisis,
konsentrasi merkuri urin dan darah. Karena konsentrasi merkuri darah cenderung kembali
normal dalam beberapa hari paparan, sampel darah biasanya berguna terutama dalam jangka
pendek dan paparan tingkat yang lebih tinggi. Estimasi konsentrasi merkuri urin adalah
penanda terbaik dari paparan merkuri anorganik dan indikator beban tubuh. Pengukuran
ekskresi merkuri urin 24 jam lebih disukai. Manajemen untuk toksisitas akibat merkuri yaitu
dengan terapi khelasi yang diindikasikan pada pasien dengan fitur keracunan merkuri dan
konsentrasi darah dan/atau urine merkuri tinggi. Unithiol (2,3- dimercapto-1-propanesulfonic
asam, DMPS) adalah antidot yang lebih disukai,

succimer (asam dimercaptosuccinic,

DMSA) juga dapat digunakan12.

TRETINOIN
Penggunaan Tretinoin untuk mengobati hiperpigmentasi kulit sudah diperkenalkan oleh
Kligman sejak 1975. Tretinoin menunjukkan penghambatan formasi melanin. Tretinoin
meningkatkan pergantian sel epidermal, menurunkan waktu kontak antara keratinosit dan
melanosit dan memicu hilangnya pigmen melalui epidermopoiesis14.
Efek samping paling sering yang ditimbulkan yaitu eritema, terkelupas, kering, bersisik dan
sensasi terbakar. Efek samping ini bersifat reversibel. Retinoid dermatitis juga dapat memicu
hiperpigmentasi, terutama pada individu dengan kulit lebih gelap. Pengurangan frekuensi
atau jumlah penggunaan tretinoin dan penggunaan emollients berespon baik pada efek
samping yang muncul tersebut. Paparan tretinoin sistemik diperkirakan dapat menyebabkan
malformasi kongenital dan kematian embrionik, dan penggunaan topikal jangka panjang
berpotensi teratogenik. Namun dari penelitian lain didapatkan bahwa tidak ada bukti yang
kuat penggunaan tretinoin topikal dapat memberi efek teratogenik14,15.

DAFTAR PUSTAKA

1. Shah R. Hydroquinone: Homoeopathic Pathogenetic Trial. Indian J Res Homoeopathy


2013;7:47-61
2. Deo KS, Dash KN, Sharma YK, Virmani NC, Oberai C. Kojic acid vis-a-vis its
combinations with hydroquinone and betamethasone valerate in melasma: A
randomized, single blind, comparative study of efficacy and safety. Indian J Dermatol
2013;58:281-5
3. Sarkar R, Arora P, Garg K V. Cosmeceuticals for hyperpigmentation: What is
available?. J Cutan Aesthet Surg 2013;6:4-11
4. Kanthraj GR. Skin-lightening agents: New chemical and plant extracts -ongoing
search for the holy grail!. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2010;76:3-6
5. Solano,F., Bringati,S., Picardo,M., and

Ghanem,G., Hypopigmenting agents: an

updated review on biological, chemical and clinical aspects. Pigment Cell Res.
2007; 19: 550571.
6. Pravez, S., Kang, M., Chung, H. S. and Bae, H., Naturally Occurring Tyrosinase
Inhibitors: Mechanism and Applications in Skin Health, Cosmetics and Agriculture
Industries. Phytother. Res. 2007; 21: 805816.
7. Bhat YJ, Manzoor S. Qayoom S. Steroid-Induced Rosacea: A Clinical Study of 200
Patients. Indian J Dermatol. 2011 Jan-Feb; 56(1): 3032. doi:

10.4103/0019-

5154.77547.
8. Nnoruko E, Okoyo O. Topical Steroid Abuse: Its Use as a Depigmenting Agent.
Journal Of The National Medical Association. Vol.98. No.6, June 2006; p.934-939.
9. Valencia IC, Kerdel FA. Chapter 216: Topical Corticosteroids. In: Wolff K, et al.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill : New
York; 2008.p.2102-2106.
10. Alghamdi KM. The Use of Topical Bleaching Agents Among Women: a Crosssectional Study of Knowledge, Attitude and Practices. Journal compilation 2010
European Academy of Dermatology and Venereology. DOI: 10. 1111/j.14683083.2010.03629.
11. WHO. Preventing Disease Through Healthy Environments: Mercury in Skin
Lightening Products. Public Health and Environment. World Health Organization:
Switzerland; 2011.
10

12. Chan TYK. Inorganic mercury poisoning associated with skin-lightening cosmetic
products. December 2011, Clinical Toxicology, December 2011, Vol. 49, No. 10 :
Pages 886-891
13. Olumide Y.M, Akinkugde A.O, Altraide D. Complications of chronic use of skin
lightening cosmetics.2008. Int J Dermatol 47:344-53.
14. Gillbro JM, Olsson MJ. The melanogenesis and mechanisms of skin-lightening agents
existing and new approaches. International Journal of Cosmetic Science, 2011, 33,
210221. doi: 10.1111/j.1468-2494.2010.00616.x
15. Kang S, Voorhees JJ. Chapter 217: Topical Retinoids. In: Wolff K, et al. Fitzpatricks
Dermatology in General Medicine. Seventh Edition. McGraw-Hill: New York;
2008.p.2106-2112

11

Anda mungkin juga menyukai