PENDAHULUAN
Analgesik adalah senyawa yang pada dosis terapetik meringankan atau
menekan rasa nyeri tanpa memiliki kerja anastesi umum. analgesik berasal dari kata
Yunani an- (tanpa) dan -algia (nyeri). Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi
untuk melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan
pada tubuh; seperti peradangan, infeksi-infeksi kuman, dan kejang otot. Sehingga
sesungguhnya rasa nyeri berguna sebgai alarm bahwa ada yang salah pada tubuh.
Misalnya, saat seseorang tidak sengaja menginjak pecahan kaca, dan kakinya
tertusuk, maka ia akan merasakan rasa nyeri pada kakinya dan segera ia
memindahkan kakinya. Tetapi adakalanya nyeri yang merupakan pertanda ini
dirasakan sangat menggangu apalagi bila berlangsung dalam waktu yang lama,
misalnya pada penderita kanker. Penyebab timbulnya rasa nyeri antara lain adanya
rangsangan-rangsangan mekanis/kimiawi ( kalor atau listrik ) yang dapat
menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat
tertentu
Zat-zat ini merangsang reseptor- reseptor nyeri pada ujung saraf bebas di kulit,
selaput lendir,dan jaringan, lalu
diketahui. Nyeri kronis sering diasosiasikan dengan penyakit kanker dan arthritis.
Salah satu tipe nyeri akut adalah neuropathic pain yang disebabkan oleh suatu
kelainan di sepanjang suatu jalur saraf. Suatu kelainan akan mengganggu sinyal saraf,
yang kemudian akan diartikan secara salah oleh otak. Nyeri neuropatik bisa
menyebabkan suatu sakit dalam atau rasa terbakar dan rasa lainnya (misalnya
hipersensitivitas terhadap sentuhan). Beberapa sumber yang dapat menyebabkan
nyeri neuropati ini adalah herpes zoster, dan phantom limb pain, dimana seseorang
yang lengan atau tungkainya telah diamputasi merasakan nyeri pada lengan atau
tungkai yang sudah tidak ada.
Sehingga untuk pembebasan rasa nyeri tersebut dilakukan beberapa hal antara
lain. Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor nyeri perifer, oleh
analgetika perifer atau anestetika lokal. Merintangi penyaluran rangsangan nyeri
dalam syaraf-syaraf sensoris oleh anestetika lokal. Blokade pusat nyeri pada SSP
dengan analgetika sentral ( narkotika ) atau anestetika umum.
BAB II
ANALGESIK OPIOID
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti
opium. Opiun yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20
jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid
terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik lain. Istilah analgesik narkotik dahulu
seringkali digunakan untuk kelompok obat ini, akan tetapi karena golongan obat ini
dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur ata menurunnya kesadaran
maka istilah analgesic narkotik menjadi kurang tepat.
Yang termasuk golongan opioid adalah alkaloid opium, derivate semisintetis
alkaloid opium, senyawa sintetik dengan sifat farmakologik menyerupai morfin. Obat
yang mengantagonis efek opioid desebut antagonis opioid.
PEPTIDA OPIOID ENDOGEN, Alkaloid opioid menimbulkan analgesia melalui
kerjanya di daerah otak yang mengandung peptide yang memiliki sifat farmakologik
menyerupai opioid. Istilah umum yang dewasa ini digunakan untuk senyawa endogen
tersebut adalah peptide opioid endogen menggantikan istilah endogen yang
digunakan sebelumnya.
endorphin, dan dinorfin. Peptida opioid yang didistribusi paling luas dan memiliki
aktivitas analgesic, adalah pentapeptida metionin-enkefalin (met-enkefalin) dan
leusin-enkefalin (leu-enkefalin). Salah satu atau kedua pentapeptida tersebut terdapat
didalam ke 3 protein precursor utama: prepro-opiomelanokortin, preproenkefalin
(proenkefalin A), dan preprodinorfin (proenkefalin B). Prekursor opiod endogen
terdapat pada daerah di otak yang berperan dalam modulasi nyeri, dan juga
ditemukan di medulla adrenal dan pleksus saraf di usus. Molekul precursor opioid
endogen dapat dilepaskan selama stress seperti adanya nyeri atau antisipasi nyeri.
Reseptor
-Enkefalin
Agonis
Agonis
--endorfin
Agonis
Agonis
-Dinorfin
Agonis
Agonis lemah
-Kodein
Agonis lemah
Agonis lemah
-Morfin
Agonis
Agonis lemah
-Metadon
Agonis
-Meperidin
Agonis
-Fentanil
Agonis Antagonis
Agonis
-Buprenorfin
Agonis parsial
-Pentazosin
Antagonis/agonis
Peptida Opioid
Agonis lemah
Agonis
parsial
-Nalbufin
Antagonis
Agonis
Antagonis
-Nalokson
Antagonis
Antagonis
Antagonis
motilitas
saluran
cerna.
Reseptor diduga
memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan
depresi napad yang tidak sekuat agonis . Selain itu disusunan saraf pusat juga
didapatkan reseptor yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang
sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap
enkefalin. Terdapat bukti-bukti yang menunjukan bahwa reseptor memegang
peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari
penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor dihubungkan dengan berkurangnya
Struktur dasar
Fenantren
Fenilheptilamin
Agonis kuat
Agonis
Morfin
sampai sedang
Kodein
agonis-antagonis
Nalbufin
Nalorfin
Hidromorfon
Oksikodon
Buprenorfin
Nalokson
Oksimorfon
Metadon
Hidrokodon
Propoksifen
lemah Campuran
Antagonis
Naltrekson
Fenilpiperidin
Morfinan
Benzomorfan
Meperidin
Difenoksilat
Fentanil
Levorfanol
Butorfanol
Pentazosin
gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan
disforia
berupa perasaan kuatir atau takur disertai mual dan muntah. Morfin
menimbulkan pula rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis,
aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang dan letargi,
ekstremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal, dan mulut terasa kering,
depresi napas, dan miosis. Rasa nyeri berkurang, rasa lapar hilang, dan dapat timbul
muntah yang tidak selalu disertai mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang
diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai
mimpi, napas lambat, dan miosis.
Alkalosis. Efek analgetik yang ditimbulkan oleh opioid terutama terjadi
sebagai akibat kerja opioid pada reseptor . Reseptor dan dapat juga ikut peran
dalam menimbulkan analgesia terutama pada tingkat spinal. Morfin juga bekerja
melalui reseptor dan , namun belum diketahui besarnya peran kerja morfin melalui
kedua reseptor ini dalam menimbulkan analgesia. Pentazosin terutama bekerja pada
reseptor , tetapi juga mempunyai afinitas pada reseptor .
Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medulla spinalis yang berperan pada transmisi dan
modulasi nyeri.
Ketiga jenis reseptor utama yaitu reseptor , , dan banyak didapatkan pada kornu
dorsalis medulla spinalis. Reseptor didapatkan baik pada saraf yang mentransmisi
nyeri di medulla spinalis maupun pada aferen primer yang merelai nyeri. Agonis
opioid melalui reseptor , , pada ujung prasinaps aferen primer nosiseptif
mengurangi penglepasan transmitter, dan selanjutnya menghambat saraf yang
mentransmisi nyeri di kornu dorsalis medulla spinalis. Dengan demikian opioid
memiliki efek analgetik yang kuat melalui pengaruh pada medulla spinalis. Selain itu
agonis juga menimbulkan efek inhibisi pascasinaps melalui reseptor di otak.
Pemberian agonis opioid ke medulla spinalis akan menimbulkan analgesia
setempat, sedangkan efek samping sistemik karena pengaruh supraspinal minimal.
Opioid yang diberikan secara sistemik umumnya bekerja baik pada tingkat spinal
maupun supraspinal sehingga meningkatkan khasiat analgesiknya.
Penglepasan opioid endogen ikut berperan dalam menimbulkan analgesia oleh
pemberian opioid. Meskipun agonis opioid terutama bekerja pada reseptor , akan
9
tetapi selanjutnya hal ini menyebabkan terjadinya penglepasan opioid endogen yang
bekerja pada reseptor dan .
Efek analgetik morfin dan opioid lain sangat selektif dan tidak disertai oleh
hilangnya fungsi sensorik lain yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan, dan
pendengaran; bahkan persepsi stimulasi nyeri pun tidak selalu hilang setelah
pemberian morfin dosis terapi. Yang terjadi adalah suatu perubahan reaksi terhadap
stimulus nyeri itu; pasien sering mengatakan bahwa nyeri masih ada tetapi ia tidak
menderita lagi.
Pengaruh morfin terhadap modalitas nyeri yang tidak tajam (dull pain) dan
berkesinambungan lebih nyata dibandingkan dengan pengaruh morfin terhadap nyeri
tajam dan intermitten. Dengan dosis terapi, morfin dapat meredakan nyeri kolik renal
atau kolik empedu. Nyeri mendadak yang menyertai tabes dorsalis (tabetic crise),
tidak dapat dihilangkan dengan sempurna oleh morfin. Berbeda dengan salisilat,
morfin dapat mengatasi nyeri yang berasal dari alat dalam maupun yang berasal dari
integumen, otot, dan sendi.
Eksitasi. Morfin dan opioid lain sering menimbulkan mual dan muntah,
sedangkan delirium dan konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah
eksitasi morfin ialah idiosinkronasi dan tingkat eksitasi refleks SSP. Beberapa
individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi morfin, misalnya mual dan
muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan konvulsi jarang timbul.
Kemungkinan timbulnya eksitasi ini lebih besar pada beberapa derivat morfin dan
alkaloid alam lain. Kodein tidak menyebabkan depresi progresif, bila dosisnya
dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi; sedangkan heroin menimbulkan
eksitasi sentral. Morfin dan obat konvulsan sentral mengadakan sinergisme, maka
morfin tidak cocok utnuk terapi konvulsi.
Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin jauh lebih jelas. Misalnya pada
kucing, morfin menimbulkan mania, midriasis, hipersalivasi, dan hipertermia,
konsulsi tonik, dan klonik yang dapat berakhir dengan kematian. Fenomena ini juga
dapat timbul pada kucing tanpa korteks serebri (decorticated cat), maka efek ini tidak
dapat disamakan dengan eksitasi yang terjadi pada stadium II anestesik umum.
Miosis. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor
dan menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan pada segmen
10
otonom inti saraf okulomotor. Miosis ini dapat dilawan oleh atropine dan skopolamin.
Pada intoksikasi morfin, pin point pupils merupakan gejala yang khas. Dilatasi
berlebihan hanya timbul pada stadium akhir intoksikasi morfin yaitu jika sudah ada
asfiksia. Meskipun toleransi ringan dapat terjadi akan tetapi pasien adiksi dengan
kadar opioid dalam sirkulasi yang tinggi akan selalu mengalami miosis. Morfin dalam
dosis terapi mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik
pada orang normal maupun pada pasien glaucoma.
Depresi napas. Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan
berkesinambungan berdasar efek langsung terhadap pusat napas di batang otak. Pada
dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau
kehilangan kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4
kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh
depresi napas. Pada depresi napas, terjadi penurunan frekuensi napas, volume semenit
dan tidal exchange, akibat PCO2 dalam darah dan udara alveolar meningkat dan
kadar O2 dalam darah menurun. Kepekaan pusat napas terhadap CO2 berkurang.
Kadar CO2 5% tidak lagi menimbulkan peninggian ventilasi pulmonal.
Morfin dan analgesic opioid lain berguna untuk menghambat refluks batuk.
Depresi refleks batuk ini ternyata tidak berjalan sejajar dengan depresi napas. Efek
depresi napas lebih besar pada morfin dan efek depresi batuknya lebih lemah;
sedangkan efeks depresi batuk kodein kuat dan efek depresi napasnya tidak begitu
kuat. Efek dionin terhadap napas mirip efek kodein. Obat yang menekan refleks batuk
tanpa disertai depresi napas misalnya noskapin.
Mual dan muntah. Efek emetic morfin terjadi berdasarkan stimulasi
langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone (CTZ) di area postrema medulla
oblongata, bukan oleh stimulasi pusat emetic sendiri. Apomorfin menstimulasi CTZ
paling kuat. Efek emetic kodein, heroin, metildihidromorfinon dan mungkin juga
dihiromorfin lebih kecil daripada efek emetic morfin. Obat emetik lain tidak efektif
setelah pemberian morfin.
Derivat fenotiazin, yang merupakan bloker dopamine kuat dapat mengatasi
mual dan muntah akibat morfin.
Dengan dosis terapi (15 mg morfin subkutan) pada pasien yang berbaring,
jarang terjadi mual dan muntah, tetapi 40% pasien berobat jalan mengalami mual dan
11
15% pasien mengalami muntah. Efek mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh
stimulasi vestibular, sebaliknya analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas
vestibular. Obat-obat yang bermanfaat untuk motion sickness kadang-kadang dapat
menolong mual akibat opioid pada pasien berobat jalan.
SALURAN CERNA. Morfin berefek langsung pada saluran cerna, bukan melalui
efeknya pada SSP.
Lambung. Morfing menghambat sekresi HCl, tetapi efek ini lemah.
Selanjutnya morfin menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian
antrum
meninggi
dan
motilitasnya
berkurang
sedangkan
sfingter
pylorus
12
tidak enak di epigastrium sampai gejala kolik berat. Menghilangkan nyeri setelah
pemberian morfin pada pasien kolik empedu disebabkan oleh efek sentral morfin,
namun pada beberapa pasien justru mengalami eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan
radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi. Atropin menghilangkan sebagian spasme
ini. Pemberian nalorfin, amilnitrit secara inhalasi, nitrogliserin sublingual, dan
aminofilin IV akan meniadakan spasme saluran empedu oleh morfin.
SISTEM KARDIOVASKULAR. Pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung. Perubahan
yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus dan pusat vasomotor yang
baru terjadi pada dosis toksis. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium
akhir intoksikasi morfin. Hal ini terbukti dengan dilakukannya napas buatan atau
dengan memberikan oksigen; tekanan darah naik ,meskipun depresi medulla
oblongata masih berlangsung.
Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk
bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik
dan dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan
efek langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan
histamine yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.
Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak
konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah.
Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan
hipovolemia karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivate
fenotiazin menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus
digunakan dengan sangat hati-hati pada pasien korpulmonale, karena dapat
menyebabkan kematian.
OTOT POLOS LAIN. Morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitude
serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Efek ini dapat dihilangkan dengan
pemberian 0,6 mg atropine subkutan. Hilangnya rasa nyeri pada kolik ginjal
disebabkan oleh efek analgesic morfin. Peninggian tonus otot detrusor menimbulkan
rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka miksi sukar. Morfin
13
dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek ini jarang timbul.
Morfin
memperlambat
berlangsungnya
partus.
Pada
uterus
aterm
morfin
14
bebas ditemukan di tinja dan kerigat. Morfin yang terkonjugasi ditemukan dalam
empedu. Sebagian yang sangat kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2. CO2 ini dikeluarkan
oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk
bebas dan bentuk konjugasi dari kodein, norkodein, dan morfin.
1.4 Indikasi
TERHADAP NYERI. Morfin dan opioid lain terutama diindikasi untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesic
non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Untunglah pada
nyeri hebat depresi napas oleh morfin jarang terjadi, sebab nyeri merupakan
antidotum
fisiologik
bagi
efek
depresi
napas
morfin.
Penghambatan
refleks
batuk
dapat
dipertanggungjawabkan pada batuk yang tidak produktif dan hanya iritatif. Batuk
demikian mengganggu tidur dan menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan
mungkin sekali disertai nyeri. Akan tetapi dewasa ini penggunaan analgesic opioid
untuk mengatasi batuk telah banyak ditinggalkan karena telah banyak obat sintetik
lain yang efektif dan tidak menimbulkan adiksi.
EDEMA PARU AKUT. Morfin
intravena
dapat
dengan
jelas
15
16
Pupil sangat kecil, kemudian midriasis jika telah terjadi anoksia. Pembentukan urin
sangat berkurang karena terjadi penglepasan ADH dan turunnya tekanan darah. Suhu
badan rendah, kulit terasa dingin, tonus otot rangka rendah, mandibula dalam keadaan
relaksasi dan lidah dapat menyumbat jalan napas. Pada bayi mungkin timbul
konvulsi. Kematian biasanya disebabkan oleh depresi napas.
1.6 Toleransi, adiksi, dan Abuse
Terjadinya toleransi dan ketergantungan fisik setelah penggunaan berulang
merupakan gambaran spesifik obat-obat opioid. Kemungkinan untuk terjadi
ketergantungan fisik tersebut merupakan salah satu alasan utama untuk membatasi
penggunaannya.
Pada dasarnya adiksi morfin menyangkut fenomena berikut : (1) habituasi, yaitu
perubahan psikik emosional sehingga pasien ketagihan akan morfin; (2)
ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan morfin karena faal dan biokimia tubuh
tidak berfungsi lagi tanpa morfin; dan (3) adanya toleransi.
Toleransi. Ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul terhadap efek
eksitasi,miosis, dan efek pada usus. Toleransi silang dapat timbul antara morfin,
dihidromorfinon, metopon, kodein, dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Kemungkinan timbulnya toleransi lebih besar bila digunakan dosis besar secara
teratur.
Jika pecandu menghentikan penggunaan morfin secara tiba-tiba timbullah
gejala putus obat atau gejala abstinensi. Menjelang saat dibutuhkannya morfin,
pecandu tersebut merasa sakit, gelisah, dan irritable; kemudian tertidur nyenyak.
Sewaktu bangun ia mengeluh seperti akan mati dan lebih gelisah lagi. Pada fase ini
timbul gejala tremor, iritabilitas, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin, mual,
midriasis, demam, dan napas cepat. Gejala ini makin hebat disertai timbulnya
muntah, kolik, dan diare. Frekuensi denyut jantung dan tekanan darah meningkat.
Pasien merasa panas dingin disertai hiperhidrosis. Akibat timbulnya dehidrasi,
ketosis, asidosis, dan berat badan pasien menurun. Kadang-kadang timbul kolaps
kardiovaskular yang bisa berakhir dengan kematian.
Daya untuk menimbulkan adiksi berbeda-beda untuk masing-masing obat.
Bahaya terbesar didapat pada heroin sebab heroin menimbulkan euphoria yang kuat
17
yang tidak disertai mual dan konstipasi. Kodein paling jarang menimbulkan adiksi
karena kodein sedikit sekali menimbulkan euphoria. Untuk menimbulkan adiksi
terhadap kodein diperlukan dosis besar. Dengan dosis besar ini gejala yang tidak
menyenangkan sudah terjadi sebelum timbul adiksi.
Telah terbukti bahwa kemungkinan untuk penyalahgunaan opioid yang
tergolong opioid agonis-antagonis lebih kecil daripada opioid agonis . Demikian
pula halnya dengan opioid yang bekerja selektif sebagai agonis pada reseptor
karena kecil kemungkinannya untuk menimbulkan euphoria. Perbedaan potensi untuk
penyalahgunaan perlu dipertimbangkan dalam pemilihan obat untuk terapi.
1.7 Interaksi Obat
Efek depresi SSP beberapa opioid dapat diperhebat dan diperpanjang oleh
fenotiazin, penghambat monoamine oksidase dan antidepressant trisiklik. Mekanisme
supraaditif ini tidak diketahui dengan tepat,mungkin menyangkut perubahan dalam
kecepatan biotransformasi opioid atau perubahan pada neurotransmitter yang
berperan dalam kerja opioid. Beberapa fenotiazin mengurangi jumlah opioid yang
diperlukan untuk menimbulkan tingkat analgesia tertentu. Tetapi efek sedasi dan
depresi napas akibat morfin akan diperberat oleh fenotiazin tertentu, dan selain itu
ada efek hipotensi fenotiazin.
Beberapa derivate fenotiazin meningkatkan efek sedasi, tetapi dalam saat
yang sama bersifat antianalgesik dan meningkatkan jumlah opioid yang diperlukan
untuk menghilangkan nyeri. Dosis kecil amfetamin meningkatkan efek analgetik dan
euphoria morfin dan dapat mengurangi efek sedasinya. Selain itu didapatkan
sinergisme analgetik antara opioid dan obat-obat sejenis aspirin.
1.8 Sediaan dan Posologi
Sediaan yang mengandung alkaloid murni dapat digunakan untuk pemberian
oral maupun parenteral. Yang biasa digunakan adalah garam HCl, garam sulfat, atau
fosfat alkaloid morfin, dengan kadar 10 mg/mL. Pemberian 10 mg/70kgBB morfin
subkutan dapat menimbulkan analgesia pada pasien dengan nyeri yang bersifat
sedang hingga berat, misalnya nyeri pascabedah. Efektivitas morfin peroral hanya
1/6-1/5 kali efektivitas morfin subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi
18
efek analgetik sedikit lebih lemah dan masa kerja lebih panjang daripada pemberian 8
mg morfin IM.
Kodeid tersedia dalam bentuk basa bebas atau dalam bentuk garam HCl atau
fosfat. Satu tablet mengandung 10, 15, atau 30 mg kodein. Efek analgetik yang
ditimbulkan kodein oral kira-kira 1/3 dari efek analgetik yang ditimbulkan setelah
pemberian parenteral. Dosis tunggal 32 mg kodein per oral memberikan efek
analgetik sama besar dengan efek 600 mg asetosal. Pemberian kedua obat ini
bersamaan akan menyebabkan potensiasi. Dosis kodein sebagai antitusif ialah 10 mg
untuk orang dewasa. Dosis ini setara dengan dosis morfin 2-4 mg.
2. MEPERIDIN DAN DERIVAT FENILPIPERIDIN LAIN
2.1 Kimia
Meperidin yang juga dikenal sebagai petidin secara kimia adalah etil-metilfenilpiperidin-karboksilat
2.2 Farmakodinamik
Efek farmakodinamik meperidin dan derivate fenilpiperidin lain serupa satu
dengan yang lain. Meperidin terutama bekerja sebagai agonis reseptor . Obat lain
yang mirip dengan meperidin adalah piminodin, ketobemidon, dan fenoperidin.
SUSUNAN SARAF PUSAT. Seperti morfin, meperidin menimbulkan
analgesia, sedasi, euphoria, depresi napas, dan efek sentral lain.
Analgesia. Efek analgetik meperidin serupa dengan efek analgetik morfin. Efek
analgetik meperidin mulai timbul 15 menit setelah pemberian oral dan mencapai
puncak dalam 2 jam. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan
atau IM yaitu dalam 10 menit, mecapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya
3-5 jam. Efektivitas meperidin 75-100 mg parenteral kurang lebih sama dengan
morfin 10 mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60% maka efektivitas sebagai analgetik
bila diberikan oral setengahnya daripada diberikan parenteral.
Sedasi, euphoria, dan eksitasi. Pada dosis ekuianalgesik, sedasi yang terlihat sama
dengan sedasi pada morfin. Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri
atau cemas, akan menimbulkan euphoria. Berbeda dengan morfin, dosis toksik
meperidin kadang-kadang menimbulkan perangsangan SSP, misalnya tremor, kedutan
otot, dan konvulsi. Efek tersebut sebagian besar disebabkan oleh metabolismenya
yaitu normeperidin.
19
dan
metadon,
meperidin
tidak
berefek
antikonvulsan.
Meperidin
20
normeperidin,
yang
kemudian
dihidrolisis
menjadi
asam
normeperidinat dan seterusnya asam ini dikonjugasi pula. Masa paruh meperidin 3
21
jam. Pada pasien sirosis, bioavaibilitas meningkat sampai 80% dan masa paruh
meperidin dan normeperidin memanjang. Meperidin bentuk utuh sangat sedikit
ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin
dalam bentuk derivate N-demetilasi.
2.4 Indikasi
ANALGESIA. Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia.
Pada beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang
lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostic seperti sistoskopi,
pielografi
retrograde,
gastroskopi,
dan
pneumoensefalografi.
Pada
dalam dosis besar dapat menimbulkan tremor, kedutan otot, midriasi, refleks
hiperaktif, dan konvulsi. Efek perangsangan SSP tersebut disebabkan oleh akumulasi
metabolit aktifnya yaitu normeperidin pada penggunaan jangka panjang, terutama
pada pasien gangguan fungsi ginjal atau anemia bulan sabit.
2.6 Adiksi dan Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat dibanding
morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam.
Toleransi tidak terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropine. Gejala putus
obat pada penghentian tiba-tiba penggunaan meperidin timbul lebih cepat tapi
berlangsung lebih singkat daripada gejala setelah penghentian morfin dengan
gangguan sistem otonom yang lebih ringan.
2.7 Sediaan dan Posologi
Meperidin HCl tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 100 mg, dan ampul
50 mg/mL. Meperidin lazim diberikan peroral atau IM. Pemberian meperidin IV
menimbulkan reaksi lebih sering dan lebih berat. Pemberian meperidin subkutan
menyebabkan iritasi local dan indurasi, pemberian yang sering dapat menyebabkan
fibrosis berat jaringan otot. Pemberian 50-100mg meperidin parenteral dapat
menghilangkan nyeri sebagian besar pasien dengan nyeri sedang atau hebat.
Efektivitas meperidin oral kurang, dan diperlukan dosis yang relative lebih besar dari
dosis parenteral.
Alfaprodin HCl tersedia dalam bentuk ampul 1mL dan vial 10 mL dengan
kadar 60mg/mL. Difenoksilat. Derivat meperidin ini berefek konstipasi jelas pada
manusia. Obat ini dikenal sebagai antidiare. Meskipun dalam dosis terapeutik tunggal
tidak atau sedikit menunjukan efek subjektif seperti morfin, dalam dosis 40-60 mg
obat ini menunjukan efek opioid yang khas termasuk euphoria, supresi abstinensi
morfin, dan ketergantungan fisik seperti morfin setelah penggunaan kronik.
Difenoksilat maupun garamnya tidak larut dalam air, sehingga obat ini sukar
disalahgunakan secara suntikan. Tersedia dalam bentuk tablet dan sirop yang
mengandung 2.5 mg difenoksilat dan 25g atropine sulfat tiap tablet atau 5 mL sirop.
23
Dosis yang dianjurkan untuk pengobatan diare pada orang dewasa 20 mg perhari
dalam dosis terbagi.
Loperamid. Seperi difenoksilat obat ini memperlambat motilitas saluran
cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus. Obat ini berikatan
denfan reseptor opioid sehingga diduga efek konstipasinya diakibatkan oleh ikatan
loperamid dengan reseptor tersebut. Obat ini sama efektifnya dengan difenoksilat
untuk pengobatan diare kronik. Efek samping yang sering dijumpai ialah kolik
abdomen, sedangkan toleransi terhadap efek konstipsi jarang terjadi. Pada
sukarelawan yang mendapatkan dosis besar loperamid, kadar puncak dalam plasma
dicapai dalam waktu 4 jam sesudah makan obat. Masa laten yang lama ini disebabkan
oleh penghambatan motilitas saluran cerna dank arena obat mengalami sirkulasi
enterohepatik. Waktu paruhnya adalah 7-14 jam. Loperamid tidak diserap dengan
baik melalui pemberian oral dan penetrasinya ke dalam otak tidak baik; sifat-sifat ini
menunjang seletivitas kerja loperamid. Sebagian besar obat diekskresi bersama tinja.
Kemungkinan disalahgunakan obat ini lebih kecil dari difenoksilat karena tidka
menimbulkan euphoria seperti morfin dan kelarutannya rendah. Loperamid tersedia
dalam bentuk tablet 2 mg dan sirup 1mg/5mL dan digunakan dengan dosis 4-8 mg per
hari.
Fentanil dan derivatnya. Fentanil dan derivatnya; sulfentanil, alfentanil, dan
remifentanil merupakan opioid sintetik dan kelompok fenilperidin dan bekerja
sebagai agonis reseptor . Fentanil banyak digunakan untuk anestetik karena waktu
untuk mencapai puncak analgesia lebih singkat dibanding morfin dan meperidin
(sekitar 5 menit), efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil yang diberikan secara
bolus, dan relative kurang mempengaruhi kardiovaskular. Fentanil dan derivatnya
paling sering digunakan IV, meskipun sering digunakan secara epidural dan intratekal
untuk nyeri pascabedah atau nyeri kronik. Dengan dosis lebih besar atau pemberian
infuse lebih lama efek analgetik bertahan lebih lama. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid. Tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV.
24
25
EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan kepekaan
tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan dilatasi
pembuluh darah serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.
FARMAKOKINETIK. Setelah suntikan metadon subkutan ditemukan kadar dalam
plasma yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon terikat dengan
protein plasma. Metadon diabsorpsi secara baik oleh usus dan dapat ditemukan dalam
plasma setelah 30 menit pemberian oral; kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat dikeluarkan dari darah dan menumpuk dalam paru, hati, ginjal, dan
limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak
dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral dan kadar ini sejajar dengan
intensitas dan lama analgesia. Metadon mengalami pengikatan erat pada protein
jaringan. Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah satu reaksi
penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil biotranformasi yaitu pirolidin dan
pirolin. Kurang lebih 10% mengalami ekskresi dalam bentuk asli. Sebagian besar
dieksresi bersama empedu. Masa paruhnya 1-1 hari.
Indikasi. Analgesia. Jenis nyeri yang dapat mempengaruhi metadon sama dengan
nyeri yang dapat dipengaruhi morfin. Dosis ekuianalgesik metadon kira-kira sama
dengan morfin, tetapi ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat
daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian
parenteral atau 30-60 menit setelah pemberian oral metadon. Masa kerja metadon
dosis tunggal kira-kira sama dengan masa kerja morfin. Pada pemberian berulang
terjadi efek akumulasi sehingga dapat diberikan dosis lebih kecil atau interval dosis
dapat lebih lama. Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga tidak
dianjurkan sebagai analgesic pada persalinan. Metadon digunakan sebagai pengganti
morfin atau opioid lain untuk mencega atau mengatasi gejala putus obat tersebut.
Gejala putus obat yang ditimbulkan oleh metadon tidak sekuat dari yang ditimbulkan
oleh morfin atau heroin tetapi berlangsung lebih lama, dan timbul lebih lambat.
Antitusif. Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1.5-2mg per oral
sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan timbulnya adiksi pada metadon
26
jauh lebih besar daripada kodein. Oleh karenanya dewasa ini penggunaan sebagai
antitusif tidak dianjurkan atau telah ditinggalkan.
EFEK SAMPING. Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan,
pusing, kantuk, fungsi mental terganggu, berkeringat, dan pruritus, mual, dan muntah.
Seperti pada morfin dan meperidin, efek samping ini lebih sering timbul pada
pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul pada pasien
berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan
urtiakria hemoragik. Bahaya utama pada peningkatan dosis metadon ialah
berkurangnya ventilasi pulmonal. Kepekaan seseorang terhadap metadon dipengaruhi
oleh faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap morfin. Terapi intoksikasi akut
metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.
4. ANTAGONIS OPIOID DAN AGONIS PARSIAL
4.1 Sejarah dan Kimia
Dalam tahun 1915 Pohl melihat bahwa N-alil-nor-kodein dapat mencegah atau
menghilangkan depresi napas yang ditimbulkan oleh morfin dan heroin. Lebih dari 25
tahun sesudah itu di Unna, demikian juga Hart dan Mc Cawley secara sendiri-sendiri
menjelaskan efek antagonis morfin yang dimiki nalorfin. Pada saat itu kegunaan
klinik nalorfin tidak diketahui, baru tahun 1951, Eckenhoff dan kawan-kawan
menunjukan bahwa nalorfin menimbulkan gejala putus obat akut pada pecandu
morfin, metadon, dan heroin dalam waktu singkat. Pada sebagian besar orang
nonadiksi, dosis besar nalorfin tidak menimbulkan euphoria tetapi justru disforia dan
kegelisahan. Lasagna dan Beecher melihat adanya antagonism nalorfin terhadap efek
analgetik morfin, namun nalorfin juga efektif untuk mengatasi efek nyeri pascabedah.
Efek disforia yang timbul menyebabkan nalorfin kurang tepat digunakan sebagai
analgetik. Pencarian senyawa antagonis opioid yang masih mempunyai efek analgetik
tanpa menimbulkan disforia menyebabkan ditemukannya nalokson, pentazosin, dan
propiram.
4.2 Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak
efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila opioid endogen
sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototype
27
antagonis opioid yang relative murni, demikian dengan naltrekson yang dapat
diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada
nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor , , dan ,
tetapi afinitasnya terhadap reseptor jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar keduanya
memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
FARMAKODINAMIK. Efek tanpa pengaruh opioid. Pada berbagai eksperimen
diperlihatkan bahwa nalokson (1) mengurangi ambang nyeri, (2)mengantagonis efek
analgetik placebo (3)mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akunpuntur. Semua efek ini diduga berdasarkan antagonism nalokson terhadap
opioid endogen yang dalam keadaan aktif.
Efek dengan pengaruh opioid. Semua efek agonis opioid pada reseptor
diantagonis oleh nalokson dosisn kecil (0,4-0.8 mg) yang diberikan IM atau IV.
Frekuensi napas meningkat dalam t2 menit setelah pemberian nalokson pada pasien
dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek sedative dan efek terhadap tekanan
darah juga segera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan
kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
FARMAKOKINETIK. Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya
segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga diserap, tetapi
karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus
diberikan parenteral. Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi.
Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam.
INDIKASI. Antagonis opioid ini diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat
kelebihan dosis opioid, pada bayi yang baru dilahirkan ibu yang mendapat opioid
sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini
nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk mendiagnosis dan
mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.
SEDIAAN DAN POSOLOGI. Nalorfin HCl, tersedia untuk penggunaan parenteral,
masing-masing mengandung 0.2 mg nalorfin/mL untuk anak, 5 mg nalorfin/mL,
untuk orang dewasa. Juga tersedia levalorfan 1 mg/mL. dan nalokson 0.4 mg/mL.
Pada intoksikasi opioid diberikan 2 mg naloksondalam bolus IV yang mungkin perlu
diulang. Karena waktu paruh yang singkat, dosis ini diulang tiap 20 60 menit,
terutama pada keracunan opioid kerja lama misalnya metadon.
28
29
BAB III
ANALGETIK NON OPIOID
1. ANALGETIK NON OPIOID/ NON NARKOTIK
Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan obat Analgetik Non-Narkotik
atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu menghilangkan atau meringankan
rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek
menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik/ Obat Analgesik Perifer
ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan
penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik).
Secara kimiawi, analgetik perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok,
yakni:
a.
Asetaminofen: Parasetamol
b.
c.
d.
e.
30
terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis tinggi. Oleh karena itu
penggunaan analgetika secara kontinu tidak dianjurkan. Kebanyakan analgetika
memperkuat efek antikoagulansia, kecuali parasetamol dan glafenin. Kedua obat ini
pada dosis biasa dapat dikombinasi dengan aman untuk waktu maksimal dua minggu.
Hanya parasetamol yang dianggap aman bagi wanita hamil dan menyusui,
walaupun dapat mencapai air susu. Asetosal dan salisilat, NSAIDs dan metamizol
dapat mengganggu perkembangan janin, sehingga sebaiknya dihindari. Dari
aminofenazon dan propifenazon belum terdapat cukup data.
1. Analgetik- Antipiretik
Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga
komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida. Antipiretik
adalah zat-zat yang dapat mengurangi suhu tubuh.
Hipotalamus merupakan bagian dari otak yang berperan dalam mengatur nyeri
dan
temperatur.
Analgetik-antipiretik
secara
selektif
dapat
mempengaruhi
Salisilat
Salisilat merupakan prototipe dari analgetik- antipiretik yang sampai sekarang
masih digunakan. Termasuk salisilat adalah Na- salisilat, aspirin (asam asetil
salisilat), salisilamid, dan metil salisilat. Metil slisilat bersifat toksik jika tertelan, oleh
31
karena itu hanya dipakai topikal untuk menghangatkan kulit dan antigatal
(antipruritus).
Golongan salisilat dapat mengiritai lapisan mukosa lambung. Orang yang peka
pada efek ini akan mengalami mual setelah minum aspirin.Dalam lambung, PG
berperan serta dalam mekanisme perlindungan mukosa dari asam lambung dan gatrin.
PG berfungsi meningkatkan sekresi mukus dan bikarbonat yang berfungsi
meningkatkan daya tahan membran mukosa lambung.
Aspirin (asam asetilsalisilat atau asetosal) merupakan prototipe dari NSAID, yang
telah digunakan selama lebih dari 100 tahun. Pertama kali disarikan dari kulit kayu
pohon willow. Tersedia dalam bentuk per-oral (ditelan) dengan masa efektif selama 46 jam. Mempunyai efek analgetik, anitipiretik, dan antiinflamasi. Efek sampingnya
adalah iritasi lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena
mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin juga menyebabkan
kecenderungan terjadinya perdarahan di seluruh tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi,
aspirin
bisa
menyebabkan
gangguan
pernafasan.
Salah
satu
pertanda
dari overdosis aspirin adalah telinga berdenging (tinitus). Diindikasikan pada demam,
nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri otot dan sendi (artritis rematoid).
Aspirin juga digunakan untuk pencegahan terjadinya trombus (bekuan darah) pada
pembuluh darah koroner jantung dan pembuluh darah otak
b.
Asetaminofen (parasetamol)
Obat ini merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Parasetamol
mempunyai efek analgetik dan antipiretik, tetapi kemampuan antiinflamasinya sangat
lemah. Efek antipiretiknya terjadi karena langsung mempengaruhi pusat pengatur
panas di hipotalamus. Parasetamol efektif untuk nyeri kepala karena kemampuannya
menghambat sintesis PG di SSP, tetapi tidak dapat menghambat sintesis PG di perifer,
sehingga tidak efektif untuk radang, nyeri otot dan arthritis.
Parasetamol merupakan pilihan utama untuk nyeri kepala karena tidak
menimbulkan iritasi lambung. Parasetamol merupakan obat yang aman jika dipakai
32
sesuai dosis terapinya, namun akan berbahaya jika over dosis. Jika overdosis dapat
menimbulkan kerusakan hati (hepatotoksik)
Secara klinis, keracunan parasetamol dapat meningkatkan kadar SGPT dan
SGOT. Intoksikasi akut parasetamol adalah N-asetilsistein, yang harus diberikan
dalam 24 jam sejak intake parasetamol. N- asetilsistein adalah suatu obat yang juga
bermanfaat sebagai mukolitik.Maka dari itu, walaupun aman obat ini sebaiknya
hanya diminum jika memang diperlukan. Jika dipakai pada dosis lazim tetapi dalam
jangka panjang parasetamol juga dapat meningkatkan enzim SGPT dan SGOT yang
merupakan parameter kerusakan hati.
Co-analgetika adalah obat yang khasiat dan indikasi utamanya bukanlah
menghalau nyeri, mis. antidepresiva trisiklis (amitriptilin) dan antiepileptika
(karbamazepin, pregabalin, fenytoin, valproat). Obat-obat ini digunakan tunggal atau
terkombinasi dengan analgetika lain pada keadaan-keadaan tertentu, seperti pada
nyeri neuropatis.
2. Antiinflamasi
Inflamasi adalah respon normal terhadap cedera. Ketika terjadi cedera, zat
seperti histamin, brandikinin, dan PG serta serotonin dilepaskan. Pelepasan zat- zat di
atas menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas dinding kapiler.
Reseptor nyeri mengalami perangsangan, protein dan cairan keluar dari pembuluh
darah kapiler (sel). Aliran darah ketempat cedera meningkat, sel fagosit (leukosit)
migrasi ketempat cedera untuk merusak zat- zat yang dianggap berbahaya. Jika
fagositosis berlebihan justru akan meningkatkan inflamasi yang ditandai dengan
kemerah- merahan, bengkak (udem), panas, nyeri dan hilangnya fungsi.
Anti-inflamasi adalah obat atau zat-zat yang dapat mengobati peradangan atau
pembengkakan. Obat analgesic antipiretik serta Obat Anti Inflamasi Non Steroid
(OAINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat
sangat berbeda secara kimia.Walaupun demikian, obat-obat ini ternyata memiliki
banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototipe obat golongan
ini adalah aspirin. Karena itu, banyak golongan dalam obat ini sering disebut obat
mirip aspirin (Aspirin-like drugs).
33
b)
stabilisasi
sel
meningkat,
permebilitas
membrane
menurun
Golongan Kortikosteroid
Dari ke 2 golongan antiinflamasi yang sering digunakan adalah OAINS, karena
golongan steroid dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping seperti:
1)
iritasi lambung
2)
moon face
3)
menekan imunitas
4)
tulang keropos
Dari gambar 2, kortikosteroid mengurangi aktivitas fosfolipase A2 dan mengikat
enzim lipogenase, dan mengurangi terbentuknya leukotrin sehingga mengurangi
34
radang atau inflamasi. Leukotrin adalah zat kemotaktik bersifat menarik migrasi sel
fagosit ke tempat cedera, tetapi jika berlebihan justru dapat menyebabkan inflamasi.
b.
a.
: aspirin, salisilamid,diflunisal.
b.
Turunan 5-pirazolidindion
c.
d.
e.
: Fenilbutazon, Oksifenbutazon.
: Natrium diklofenak, Ibuprofen, Ketoprofen.
35
f.
1)
Ibuprofen
- Ketoprofen
Indometasin
- Asam mefenamat
Ketorolak
- Fenilbutazon
Naproksen
- Piroksikam
Diklofenak
- Nabumeton
mefenamat mempunyai
efek
analgetik
dan
antiinflamasi,
tetapi
36
Fenillbutazon hanya
digunakan
untuk
antinflamasi
danmempunyai
efek
meningkatkan ekskresi asam urat melalui urin, sehingga bisa digunakan pada
artritis gout.
Piroksikam hanya diindikasikan untuk inflamasi sendi.
2)
OAINS Selektif
OAINS selektif adalah yang hanya mengikat COX2 sehingga tidak menimbulkan
iritasi lambung. Contohnya adalah celecoxib, meloxicam, dan refecoxib.
37
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung,
G.Bertram.,2007,Basic
&
Clinical
Pharmacology
10th
38