Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PERGERAKAN BOLA MATA DAN KELAINANNYA

Pembimbing :
dr. Harie B. Soedjono, Sp. M

Penyusun :
Hambiah H.O

(2012-061-068)

Sardito

(2012-061-069)

Helen Halim

(2012-061-070)

Stephanie Tanjung

(2012-061-071)

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
RSUD R. SYAMSUDIN, SH SUKABUMI
PERIODE 18 FEBRUARI 2013 22 MARET 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga Referat yang berjudul Pergerakan Bola Mata dan
Kelainannya dapat diselesaikan pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. Harie B. Soedjono, Sp.M, selaku pembimbing
yang telah membimbing penulis dalam proses penulisan Referat ini. Selain itu
penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu per satu, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
penyelesaian Referat ini.
Diharapkan Referat ini dapat bermamfaat bagi perkembangan penelitian untuk
meningkatkan kualitas dalam pembuatan Referat, sehingga dokter muda dapat
membuat Referat yang lebih berkualitas. Penulis menyadari bahwa Referat ini masih
banyak kekurangannya, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dalam menyempurnakan Referat ini di masa mendatang. Penulis juga
memohon maaf bila dalam Referat ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di
hati pembaca. Akhir kata, penulis mengharapkan agar Referat ini dapat bermamfaat
bagi pembaca.

Jakarta, 4 Maret 2013

Penulis

ii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................................ii

DAFTAR GAMBAR..................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1


1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3

2.1 Anatomi mata..............................................................................................3


2.2 Fisiologi Pergerakan Bola Mata.................................................................6
2.2.1 Konvergensi....7
2.2.2 Divergensi..7
2.3 Penglihatan Binokular................................................................................8
2.3.1 Definisi.8
2.3.2 Fisiologi.8
2.4 Supresi .......................................................................................................9
2.5 Hukum Pergerakan Okular.........................................................................9
2.5.1 Hukum Sherrington.............................................................................9
2.5.2. Hukum Hering.............................................................10
2.6 Strabismus.................................................................................................10
2.6.1 Klasifikasi Strabismus..10
2.6.1.1 Berdasarkan Penyebabnya.....10
2.6.1.2 Berdasarkan Manifestasi Klinis. 13
2.6.1.3 Berdasarkan Sudut..13
2.6.2 Diagnosis15
2.6.2.1 Anamnesis.....15
2.6.2.2 Pemeriksaan Mata 15
2.6.3 Diagnosis Banding..20
2.6.4 Penyulit Strabismus .. 20
2.6.5 Tatalaksana ..21
2.6.5.1 Perbaiki Visus.21
2.6.5.2 Perbaiki Secara Kosmetik. 21
2.6.5.3 Perbaiki Penglihatan Binokuler ...21

iii

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................22

3.1 Kesimpulan ......22


3.2 Saran...22

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................23

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ruang Orbita ..3


Gambar 2. Otot Bola Mata ..4
Gambar 3. Otot Bola Mata...........................................................................................4
Gambar 4. Spiral of Tilaux...........................................................................................5
Gambar 5. Otot dan Saraf Bola Mata ..6
Gambar 6. Horopter dan Area Panum..........................................................................9
Gambar 7. Abducent Nerve Palsy ...11
Gambar 8. Trochlear Nerve Palsy12
Gambar 9. Oculomotor Nerve Palsy.. 12
Gambar 10. Esotropia.13
Gambar 11. Exotropia.14
Gambar 12. Hypertropia.14
Gambar 13. Hipotropia.14
Gambar 14. Incyclotropia14
Gambar 15. Exyclotropia15
Gambar 16. Tes Pergerakan Bola Mata.16
Gambar 17. Cover Test pada heterotropia..16
Gambar 18. Cover Test pada heteroforia17
Gambar 19. Hirshberg Test..17
Gambar 20. Krimsky Test..18
Gambar 21. Force Duction Test.19
Gambar 22. Worth Four Dot Test.20

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Mata merupakan organ penglihatan pada manusia yang berbentuk
hampir bulat dan konsistensinya kenyal. Agar dapat mencapai penglihatan
yang optimal, terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi. Pertama, masingmasing mata memiliki faal yang baik, yaitu memiliki visus 6/6. Kedua,
pergerakan kedua bola mata baik dan yang terakhir adalah kemampuan untuk
fusi masih baik. 1
Kedudukan bola mata harus dipertahankan agar sejajar dengan benda
yang akan dilihat. Kedudukan bola mata yang baik bisa terjadi karena
keseimbangan kerjasama otot pergerakan bola mata.2 Apabila terjadi
ketidakseimbangan kerjasama otot pergerakan bola mata, maka akan terjadi
deviasi atau bayangan benda yang jatuh diluar fovea 3 sehingga menyebabkan
strabismus.
Estimasi prevalensi penderita strabismus pada populasi umum, berkisar
antara 2 - 5 %. Di Amerika Serikat, sekitar 5- 15 juta orang memiliki kondisi
strabismus.8 Menurut US National Library of Medicine, dari 3075 pasien yang
mengalami

kelainan

penglihatan

binokuler,

sebesar

74%

menderita

strabismus.5
Prevalensi strabismus meningkat pada keluarga dimana orangtua atau
saudara kandungnya memiliki strabismus.1,4 Selain itu, prevalensi strabismus
meningkat pada penderita Down syndrome, cerebral palsy, serta bayi lahir
prematur dengan berat badan lahir yang rendah. 4
Walaupun strabismus bisa berkembang pada usia berapa pun, namun
pada umumnya strabismus terjadi pada usia anak-anak. Strabismus yang
muncul saat dewasa, umumnya disebabkan karena kerusakan motorik atau
sensorik dan diakibat manifestasi penyakit sistemik atau kelainan neurologi.4
Strabismus yang akan dibahas lebih dalam pada referat ini adalah
strabismus paralitik karena pada strabismus tipe ini terdapat kelainan
pergerakan bola mata yang diakibatkan gangguan nervus dan otot ekstraokuler.

1.2

Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Memberikan informasi kepada pembaca mengenai kelainan
pergerakan bola mata.
1.2.2 Tujuan Khusus
Memenuhi persyaratan dalam menjalani kepaniteraan klinik ilmu
kesehatan mata di RSUD Syamsudin SH.

1.3

Manfaat Penulisan
Penulisan

ini

bertujuan

untuk

memberikan

dan

meningkatkan

pengetahuan tentang penyakit penyakit kelainan gerak bola mata.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata


Bola mata merupakan sebuah organ yang kurang lebih berbentuk bulat
dengan diameter 25 mm. Bola mata terletak pada rongga orbita yang dibatasi
oleh dinding tulang dan berbentuk seperti piramida bersisi empat dengan puncak
menuju ke arah foramen optik.6,7 Dinding rongga orbita terdiri dari tulang
frontal dibagian atas, tulang zygomatikus di bagian anterior lateral dan dasar,
tulang maxila di bagian dasar, tulang lakrimal dan etmoid di bagian medial, serta
tulang palatin dan sphenoid di bagian posterior.2 Disekitar tulang orbita
didapatkan ruangan-ruangan seperti rongga hidung dan beberapa sinus yaitu
sinus etmoid, sfenoid, frontal dan maksila.6,7

Gambar 1. Ruang Orbita 2


Isi rongga orbita terdiri atas bola mata dengan saraf optik, enam otot
penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah cabang arteri oftalmik,
Nervus (N). III, IV, VI, lemak dan fasia (Kapsul Tenon).2,7 Saraf orbita bersifat
motorik (N. III, IV, VI) dan sensorik (N. V).7

Gambar 2. Otot Bola Mata 8


Bola mata digerakan oleh enam otot yang disebut
disebut otot luar mata
(ekstrinsik)) yang terdiri oleh empat otot rektus dan dua otot oblique.
oblique Otot rektus
berasal dari suatu tendon yang melingkari foramen nervus optik pada apeks
orbita yang disebut annulus Zinn. Otot rektus berinsersi ke sklera, sesuai dengan
namanya, yaitu otot rektus medialis, otot rektus lateralis, otot rektus superior dan
otot rektus inferior.

Gambar 3. Otot Bola Mata 14

Otot oblique terdiri dari dua, yaitu otot oblique superior dan otot oblique
inferior. Otot oblique mengatur pergerakan torsi dan pergerakkan menjauh, atas
dan bawah. Otot oblique superior merupakan otot mata yang terpanjang dan
tertipis. Origo otot oblique superior terletak
terletak diatas dan medial dari foramen
optik.6 Otot oblique ini menuju kearah bagian nasal atas orbita, melalui troklea
kemudian membelok ke belakang, dibawah otot rektus superior selanjutnya
berinserasi pada sklera di belakang ekuator.7

Gambar 4. Spiral of Tilaux 14

Jarak insersi otot rectus ke sklera dihitung dari limbus disebut Spiral of
Tilaux.14 Tempat jarak insersinya dari limbus berbeda setiap ototnya : otot rektus
medialis 5,5 mm, otot rektus inferior 6,75 mm, otot rektus lateralis 7 mm dan
otot rektus superior 7,5 mm.6,7 Otot rektus memiliki panjang sekitar 40 mm.
Fungsi utama otot rektus adalah aduksi, abduksi,, menekan dan elevasi bola
mata.6 Origo otot oblique inferior terletak pada dinding nasal orbita, menyilang
di bawah otot rektus dan berinsersi pada sklera kuadran belakang lateral inferior
bola mata di bawah otot rektus lateralis. Otot ini mempunyai panjang 37 mm.6,7

Gambar 5. Otot dan Saraf Bola Mata 9

Selain dari otot rektus lateralis yang diinervasi oleh N. VI (N. abdusen)
dan otot oblique superior yang
ya diinervasi oleh N. IV (N. troklear), semua otot
diinervasi oleh N. III (N. okulomotor).2,7

2.2 Fisiologi Pergerakan Bola Mata


Penglihatan dipengaruhi oleh media refraksi, yaitu kornea, pupil, iris,
lensa, dan retina. Selain itu sistem penglihatan juga dipengaruhi oleh gerakan
bola mata yang diatur
diatur oleh otot penggerak bola mata / ekstraokuler.

Otot

M.

Fungsi

Fungsi

Inervasi

Primer

Sekunder

Abduksi

(-)

N. VI

Aduksi

(-)

N. III

Elevasi

Aduksi

N. III

rektus
lateralis
M.
rektus
medial
M.
rektus
superior

Intorsi

Gambar

Depresi

M.

Aduksi

N. III

Ekstorsi

rektus
inferior
Intorsi

M.

Depresi

N. IV

Abduksi

oblique
superior
Ekstorsi

M.

Elevasi

N. III

Abduksi

oblique
inferior

Tabel 1.Otot Bola Mata 6


Fisiologi dari penglihatan normal adalah apabila bayangan benda yang
dilihat kedua mata dapat diterima dengan ketajaman
ketajaman yang sama dan
kemudian secara
secara serentak dikirim ke susunan saraf pusat untuk diolah
menjadi sensasi penglihatan tunggal. Ada dua gerakan yang dapat dilakukan
dil
oleh mata yaitu, gerakan konvergensi dan divergensi yang berfungsi agar
dapat melihat bersama secara serentak pada kedua mata.

2.2.1 Konvergensi
Suatu keadaan dimana sumbu penglihatan kedua mata diarahkan
pada satu titik dekat,
deka yang mengakibatkan kedua pupil mata akan
saling mendekat dalam suatu gerakan yang terkoordinasi.
terkoordinasi
Untuk dapat mengetahui konvergensi mata maka pasien diminta
untuk melihat pensil yang diletakkan di bidang medial dari mata yang
kemudian didekatkan. Normalnya mata akan melihat
meliha pensil tunggal
pada jarak 5 - 8 cm. 1,6

2.2.2 Divergensi
Kedua mata berputar ke luar untuk melihat benda jauh. Mata
akan searah bila dapat mempertahankan fusi kedua mata. Kedudukan
mata normal disebut dengan ortoforia.
ortoforia

2.3 Penglihatan Binokular


2.3.1 Definisi 8
Penglihatan
mempertahankan

binokular
fokus

adalah

penglihatan

kemampuan
pada

suatu

mata
objek

untuk
dengan

menggunakan kedua bola mata sehingga dapat menciptakan penglihatan


tunggal. Fungsi dari penglihatan ini adalah untuk menciptakan persepsi
tiga dimensi, yang terdiri dari jarak dan kedalaman suatu benda.
2.3.2 Fisiologi 8
Bola mata merupakan organ yang menerima rangsang sensoris
dimana stimuli yang diterima dari retina diterjemahkan dalam bentuk
gambar oleh otak. Saraf optik dan jaras penglihatan menghantar
informasi ini ke korteks visual.
Terdapat dua sistem yang mengatur penglihatan binokular, yaitu
sistem sensorik dan motorik. Sistem sensorik retina menerima gambar
dan menghantarkannya ke otak. Sedangkan sistem motorik mengatur
pergerakan kedua bola mata dalam melihat suatu benda sehingga
menghasilkan gambar yang sama di retina. Kemudian otak dapat
memproses informasi ini dalam bentuk impresi penglihatan binokular.
Ada tiga tingkat kualitas pada penglihatan binokular.
1. Simultaneous vision
Retina dari kedua mata menerima dua gambar secara
bersamaan. Pada penglihatan binokular yang normal, kedua mata
memiliki titik fiksasi yang sama yang jatuh pada fovea sentralis di
setiap mata. Bayangan benda selalu jatuh di tempat yang sama
yaitu di retina.
2. Fusi
Fusi terjadi ketika kedua retina menyampaikan gambaran
penglihatan yang sama, yang kemudian oleh otak akan digabung
menjadi persepsi tunggal. Jika ada kerusakan pada fusi akan
menyebabkan diplopia.
3. Penglihatan stereopsis
Penglihatan stereopsis adalah persepsi visual terhadap
kedalaman dan kemampuan melihat benda secara tiga dimensi.

Horopter adalah suatu titik fiksasi yang dilihat oleh mata yang
bayangannya jatuh tepat di fovea. Selain itu daerah di anterior dan
posterior dari horopter disebut dengan area Panum.

Gambar 6. Horopter dan Area Panum 2

2.4

Supresi 1
Supresi adalah suatu keadaan dimana otak mengabaikan bayangan
benda mata yang lainnya untuk mencegah terjadinya diplopia. Supresi ini
terjadi karena adanya juling kongenital, satu mata sering berdeviasi, atau
mata deviasi berganti dimana tidak akan terjadi diplopia karena akan terjadi
supresi pada salah satu mata.

2.5

Hukum Pergerakan Okular


2.5.1 Hukum Sherrington 1,7,10
Hukum Sherrington menyatakan bahwa adanya peningkatan
inervasi dan kontraksi otot sinergis berhubungan dengan penurunan
inervasi dan relaksasi dari otot antagonis.
Otot sinergis adalah otot yang bekerja bersamaan untuk
menggerakkan bola mata ke satu arah. Contohnya adalah untuk
melihat vertikal, otot rektus superior dan otot oblique inferior bekerja
secara sinergis untuk menggerakkan mata ke atas.

10

Otot-otot yang bersinergis dapat menjadi antagonis terhadap


satu

sama

lainnya.

Contohnya

adalah

otot

rektus

superior

menyebabkan intorsi sedangkan otot oblique inferior menyebabkan


ekstorsi.
2.5.2 Hukum Hering 1,7,10
Hukum Hering menyatakan bahwa untuk pergerakan kedua bola
mata ke arah yang sama, otot agonis yang berkoresponden harus
menerima inervasi yang sama sehingga tidak terjadi pergerakan satu
bola mata saja. Sekelompok pasangan otot agonis disebut yoke muscle.
Mata ke atas kiri

Rektus superior kanan dan oblique inferior kiri

Mata ke atas kanan

Rektus superior kiri dan oblique inferior kanan

Mata ke kanan

Rektus lateralis kanan dan rektus medialis kiri

Mata ke kiri

Rektus lateralis kiri dan rektus medialis kanan

Mata ke bawah kanan

Rektus inferior kanan dan oblique superior kiri

Mata ke bawah kiri

Rektus inferior kiri dan oblique superior kanan

Tabel 2. Otot Yoke Pada Posisi Mata Tertentu 6

2.6

Strabismus
Strabismus adalah kondisi dimana arah kedua bola mata tidak bisa
melihat ke titik fiksasi yang sama dalam kondisi yang normal sehingga
penglihatan binokular tidak dapat tercapai. 9 Etiologi dari terjadinya strabismus
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu kongenital dan strabismus yang
didapat (aquired).
2.6.1 Klasifikasi Strabismus 2,4
2.6.1.1

Berdasarkan Penyebabnya
a) Strabismus paralitik 4,8
Disebabkan karena otot ekstraokular atau saraf tidak
dapat berfungsi dengan baik atau pergerakan normal
terhambat secara mekanik. Sudut deviasi bervariasi di
seluruh lapangan pandang. Biasanya disebabkan karena
adanya gangguan neurologis, penyakit orbita, atau trauma.

11

Pada strabismus jenis ini, terdapat paralisis pada nervus


yang mengatur gerakan bola mata.

i.

Abducent Nerve Palsy


Lebih sering terjadi pada pasien dengan
gangguan peredaran darah serebral pasien akibat
diabetes melitus atau hipertensi. Selain itu, dapat
disebabkan karena terjadinya trauma dan tumor
serebral.
Kelumpuhan

pada

N.

VI

menyebabkan

paralisis otot rektus lateralis dan mengakibatkan otot


antagonisnya, otot rektus medialis mendominasi.
Pergerakan abduksi terganggu sehingga mata tidak
bisa menoleh ke arah temporal.

Gambar 7. Abducent Nerve Palsy 8

ii.

Trochlear Nerve Palsy


Penyebab

paling

umum

adalah

trauma.

Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadi paralisis


otot

oblique

superior

sehingga

menyebabkan

diplopia vertikal. Diplopia terlihat lebih jelas jika


pasien menunduk ke bawah, seperti saat pasien
membaca atau naik tangga.

12

Gambar 8. Trochlear Nerve Palsy 8

iii.

Oculomotor Nerve Palsy


Kelumpuhan N. III menyebabkan hampir
seluruh otot intraokular dan ekstraokular terganggu.
Manifestasi klinisnya adalah ptosis, eksotropia dan
penurunan fungsi aduksi, elevasi dan depresi, pupil
midriasis (mengalami penurunan reflek pupil),
akomodasi menurun.

Pasien tidak mengalami

diplopia karena palpebra menutupi seluruh pupil.

Gambar 9. Oculomotor Nerve Palsy

b) Non paralitik
Pada otot ekstraokular berfungsi secara normal tetapi tidak
mengarah pada arah yang sama. Sudut deviasi selalu sama pada
semua lapang pandang.

13

Umumnya strabismus jenis ini terjadi pada masa kanak


kanak. Biasanya muncul pada usia sebelum 6 tahun dan jarang
disertai kelainan neurologis. Strabismus yang muncul pada usia
lebih dari enam tahun atau pada orang dewasa kemungkinan
memiliki penyebab penyakit neurologis.

2.6.1.2 Berdasarkan manifestasi klinis


a) Strabismus manifest : Strabismus yang muncul secara konstan
b) Strabismus laten : Strabismus yang muncul hanya pada saat
kondisi pemeriksaan tertentu dan tidak muncul pada kondisi
normal dari penglihatan binokular.

2.6.1.3 Berdasarkan sudut


a) Heteroforia
Heteroforia

termasuk

strabismus

laten

yang

hanya

bermanifestasi apabila penglihatan binokular terganggu, seperti


saat menutup satu bola mata. Selama mata dibuka, akan tampak
normal.
b) Heterotropia 12
Heterotropia termasuk dalam strabismus manifest dimana
strabismus muncul secara konstan. Strabismus yang sudah
bermanifestasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Horizontal
a. Esotropia : Keadaan dimana posisi bola mata juling
kedalam

(kearah

nasal).

Disebut

strabismus konvergen atau crossed eyes.

Gambar 10. Esotropia 4

juga

14

b. Exotropia : Keadaan dimana posisi bola mata juling keluar


(kearah temporal). Disebut juga strabismus
divergen atau wall eyes.

Gambar 11. Exotropia 4

2. Vertikal
a. Hypertropia : Keadaan dimana posisi bola mata yang satu
lebih tinggi dari bola mata lainnya.

Gambar 12. hypertropia 4

b. Hypotropia : Keadaan dimana posisi bola mata yang satu


lebih rendah dari bola mata lainnya.

Gambar 13. Hipotropia 4


3. Oblique
a. Incyclotropia : Keadaan dimana posisi bola mata berputar
ke arah dalam.

Gambar 14. Incyclotropia 13

15

b. Excyclotropia : Keadaan dimana posisi bola mata berputar


ke arah luar.

Gambar 15. Excyclotropia 13

2.6.2 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis strabismus dengan baik, diperlukan
pemeriksaan yang teliti. Anamnesis yang baik dapat memberikan kita
informasi yang dibutuhkan.
2.6.2.1 Anamnesis
Dalam anamnesis, ditanyakan hal sebagai berikut: 6

Kapan terjadinya?
o Apabila baru terjadi : Mungkin strabismus paralitik.
o Apabila sudah lama : Bisa ada kemungkinan kelainan
faal atau gangguan fusi.

Apakah terjadi di kedua mata atau hanya satu mata?


o Apabila satu mata terus menerus dan pergerakan bola
mata tidak baik : strabismus paralitik.
o Apabila satu mata terus menerus dan pergerakan bola
mata masih baik : strabismus manifest.

Riwayat keluarga?
o Apakah anggota keluarga, terutama orang tua ada
yang memiliki kelainan pergerakan bola mata.

2.6.2.2 Pemeriksaan mata 2,4,8


a) Inspeksi

pemeriksaan

inspeksi

diperlukan

untuk

mengidentifikasi deviasi dari bola mata. Pada pemeriksaan


inspeksi, dapat dilakukan tes pergerakan bola mata. Pada
tes ini pasien diminta untuk melihat ke sembilan titik
sehingga dapat menentukan kelainan deviasi diseluruh

16

lapangan pandang. Tes ini digunakan untuk menentukan


strabismus paralitik atau nonparalitik

4,8

Gambar 16. Tes Pergerakan Bola Mata 8

b) Pemeriksaan visus : untuk mengetahui kemungkinan


terjadinya mata malas atau amblyopia
c) Pemeriksaan refleks pupil : untuk mengetahui apakah ada
defek neurologis atau okular.
d) Pemeriksaan secara kualitatif : Untuk mengetahui apakah
benar ada strabismus atau tidak. Ada beberapa tes yang
dapat dilakukan :
o Cover test : Pasien melihat sebuah objek dengan
kedua matanya, kemudian tutup mata yang sehat.
Mata yang strabismus akan memfiksasi objek yang
sedang dilihat. Tes ini juga dapat dilakukan pada
strabismus heteroforia. Pada strabismus tipe ini,
mata yang ditutup adalah mata yang sakit,
sehingga ketika ditutup, akan terlihat mata tersebut
mengalami deviasi.

Gambar 17. Cover Test pada heterotropia

17

Gambar 18. Cover Test pada heteroforia 13


o Cover uncover test : Seperti cover test, tetapi
dilakukan dengan menutup dan membuka mata
bergantian.
e) Pemeriksaan secara kuantitatif : Menentukan seberapa
besar derajat deviasi. Dapat diukur dengan beberapa test :
o Hirshberg test : Tes yang dilakukan dengan
penlight. Prinsipnya adalah, pada mata normal
pantulan cahaya akan terletak di tengah dari pupil.
Pada mata yang tidak normal, cahaya tidak jatuh di
tengah pupil. Satuannya adalah derajat.

Gambar 19. Hirshberg Test. (a) mata normal (b) esotropia


ringan (c) esotropia sedang (d) esotropia berat 4

18

o Krimsky test : Pada umumnya, nilai dari krimsky


test bernilai dua kali lipat dari nilai hirshberg test,
namun tidak selalu. Pada test krimsky, digunakan
media berupa kaca prisma yang diletakannya di
depan mata yang sehat. Namun, saat ini banyak
pengguna lebih mudah untuk menggunakan kaca
prisma bila diletakkan di depan mata yang
berdeviasi. Keduanya memberikan hasil yang
identik, asalkan tidak ada deviasi sekunder. Satuan
kaca prisma adalah dioptri.

Gambar 20. Krimsky test pada awalnya

f)

Force duction test 14


Force duction test ini bertujuan untuk mengetahui penyebab
strabismus apakah akibat gangguan neurologis atau restriksi
mekanik. Tes ini dilakukan dengan menjepit konjungtiva dan
episklera dekat limbus setelah pemberian anestesi lokal. Kemudian
bola mata digerakkan ke arah yang mengalami kelainan. Jika
disebabkan karena restriksi mekanik, maka bola mata tidak dapat
digerakkan.

19

Gambar 21. Force duction test 15


g) Worth four dot test 16,17
Tes ini untuk mengetahui seberapa besar skotoma surpresi.
Target dari tes ini terdiri dari empat titik yang terdiri dari dua titik
berwarna hijau, satu titik berwarna merah dan satu titik berwarna
putih. Pasien menggunakan kacamata khusus yang menggunakan
filter berwarna merah di satu sisi dan di sisi lain berwarna hijau. Jika
dilihat dari filter yang berwarna hijau, maka titik merah menjadi tidak
terlihat dan juga sebaliknya. Sedangkan titik berwarna putih akan
terlihat sesuai dengan filternya. Pada orang normal dengan

20

penglihatan monokuler, jika menggunakan filter berwarna merah,


akan terlihat dua titik berwarna merah, sedangkan pada filter hijau
akan terlihat tiga titik berwarna hijau. Pada penglihatan binokuler,
akan terlihat empat titik dimana titik yang berwarna putih akan
terlihat warna hijau atau merah, tergantung mata mana yang dominan.
Pertama kali tes dilakukan dalam jarak 33 cm dan melaporkan
jumlah titik yang dilihat. Jika pasien melaporkan melihat empat titik,
maka jaraknya ditambah menjadi satu meter. Dalam jarak satu meter,
jika pasien melaporkan jumlah titik menjadi dua atau tiga, maka
terdapat skotoma supresi kecil. Namun bila dalam jarak 33 cm, pasien
melaporkan jumlah titik kurang dari empat, maka skotoma
surpresinya besar.

Gambar 22. Worth four dot test

2.6.3 Diagnosis Banding


Ada beberapa diagnosa banding dari strabismus antara lain adalah
pseudoesotropia atau pseudoexotropia. Pseudoesotropia terjadi salah
satunya karena lipatan kantus yang lebar, sehingga mata terlihat seperti
esotropia. Sedangkan jarak pupil yang jauh dapat menyebabkan
pseudoexotropia.

2.6.4 Penyulit Strabismus


Penyulit pada strabismus adalah kemampuan mata untuk
menghilangkan kemampuan fusi.

21

2.6.5 Tatalaksana 4,6


Tatalaksana untuk strabismus harus cepat dilaksanakan setelah
diagnosis dapat ditegakkan. Berdasarkan studi yang dilakukan bahwa
semakin bertambahnya usia anak-anak, maka adaptasi sensorik menjadi
lebih sulit pada anak strabismus. Sebelum usia delapan tahun, status
sensorik secara umum sudah tetap sehingga jika terdapat defisiensi
stereopsis dan ambliopia, tidak dapat diterapi dengan efektif.
Prinsip utama dalam tatalaksana strabismus adalah memperbaiki
visus penderita. Kemudian memperbaiki secara kosmetik dengan
operasi atau kacamata dan yang terakhir adalah memperbaiki
penglihatan binokular.
2.6.5.1 Perbaiki Visus
Untuk memperbaiki visus dapat dilakukan dengan
menutup mata yang sehat. Menutup mata yang sehat tidak
boleh terlalu lama, karena dapat menyebabkan mata yang sehat
menjadi amblyopia.
Selain menutup mata, dapat juga diberikan atropin untuk
mata yang sehat. Atropin akan menyebabkan midriasis,
sehingga menurunkan fungsi akomodasi sehingga terpaksa
melihat dengan mata yang sakit. Dosis penggunaan atropin 1%
adalah satu tetes setiap hari.
2.6.5.2 Perbaiki Secara Kosmetik
a. Operasi : Operasi dilakukan pada strabismus derajat tinggi.
Operasi dilakukan dengan memperkuat otot yang lemah
(resect) atau memperlemah otot yang kuat (reses).
b. Kacamata : Diberikan pada penderita yang sudah menjalani
operasi atau pada strabismus derajat rendah (dibawah 7o).
Pasien diberikan kacamata prisma
2.6.5.3 Perbaiki Penglihatan Binokuler
Dilakukan dengan latihan ortoptik dengan menggunakan
sinoptofor. Namun, latihan dengan ortoptik jarang menjadi
indikasi untuk tatalaksana amblyopia atau strabismus

22

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Strabismus adalah kondisi dimana arah kedua bola mata tidak bisa melihat
ke titik fiksasi yang sama dalam kondisi yang normal sehingga penglilhatan
binokular tidak dapat tercapai. Kelainan ini dapat terjadi pada anak anak
maupun orang dewasa. Strabismus dapat terjadi berdasarkan penyebab, sudut,
dan manifestasinya. Pemeriksaan yang dilakukan biasanya dimulai dari inspeksi,
pemeriksaan visus, pemeriksaan pupil, pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif.
Tatalaksana pada penderita strabismus tergantung besar sudut deviasi dan
aktivitas yang dilakukan.

3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya referat ini pambaca dapat memahami lebih
lanjut mengenai pergerakan bola mata dan kelainannya. Selain itu, pembaca
dapat mendiagnosis lebih awal dan tepat sehingga mencegah terjadinya
komplikasi seperti ambliopia.
Adanya keterbatasan pengetahuan penulis tentang ilmu kesehatan mata
dalam menafsirkan berbagai literatur merupakan kekurangan dari pembuatan
referat ini. Dalam perkembangan selanjutnya diharapkan lebih banyak lagi
penelitian dan literatur yang membahas pergerakan bola mata dan kelainannya
serta diadakan penelitian mengenai epidemiologi strabismus di Indonesia.

23

DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Ed ke-4. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011
2. Schlote T et al. Pocket Atlas of Ophthalmology. New York : Georg Thieme
Verlag; 2006.
3. A.D.A.M

Medical

Encyclopedia.

Strabismus.

[terhubung

berkala]

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001999/ [27 Februari 2013]


4. American Optometric Association. Care of the patient with : Strabismus :
Esotropia and Exotropia. St. Louis : 2011
5. Stidwill D. Epidemiology of Strabismus. Ophthalmic Physiol Opt 1997; 17(6) :
536-9 [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /9666929 [27
Februari 2013]
6. Riordan-Eva P et al. Vaughan & Asburys General Ophthalmology. New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division; 2004.
7. Ilyas S et al editor. Ilmu Penyakit mata: untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Ed ke-2. Jakarta : Sagung Seto; 2002.
8. Lang GK. Ophthalmology : a Short Textbook. New York : Georg Thieme Verlag;
2000.
9. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. Ed ke-2. New York : The McGraw-Hill Companies; 2004
10. Bentley C, Rees A. Eye Movement Disorders. Association of Optometrists. 2000:
30-37.
11. Newman WA, editor. Dorlands Illustrated Medical Dictionary. Ed ke-30.
Philadelphia: W.B. Saunders; 2003
12. Noorden GK von, Helveston EM. Strabismus : a Decision Making Approach.
Ed ke-1. St. Louis : Mosby Inc. ; 1994.
13. Noorden GK von, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility. Ed ke-6.
St. Louis : Mosby Inc. ; 2002
14. Myron - jay s et al. Yanoffs & Dukers Opthalmology. Ed ke-3. New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division; 2008
15. Noorden GK von. Atlas of Strabismus. Ed ke-4. St. Louis : Mosby Inc. ; 1983.

24

16. Mitchell PR, Parks MM. Sensory Test and Treatment of Binocular Vision
Adaptations. Di dalam : Tasman W, Jaeger EA, editor. Duanes Ophthalmology.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins ; 2006
17. Mitchell S, Bruce W. Clinical Management of Binocular Vision: Heterophoric,
Accommodative, and Eye Movement Disorders. Ed ke-3. Philadelphia :
Lippincot Williams & Wilkins; 2008

Anda mungkin juga menyukai