Anda di halaman 1dari 16

Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit endokrin yang paling sering dijumpai. DM
dikenal dengan adanya peninggian kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang menahun
(kronik). Hiperglikemia timbul karena defisiensi insulin atau karena adanya faktor-faktor
yang melawan aksi insulin. Peninggian tersebut dapat disertai gejala, atau tidak ada gejala
sama sekali. Adanya dan keparahan gejala DM sebagian besar ditentukan oleh derajat
defisiensi insulin. Yang khas pada DM aalah adanya risiko penyulit (komplikasi) kronik pada
retina atau ginjal, kerusakan pada saraf perifer, kerentanan terhadap infeksi dan
aterosklerosis yang relatif lebih dini dibandingkan dengan mereka yang tidak mengidap
DM, terutama terlihat pada jantung (PJK, Penyakit Jantung Koroner), kaki (PAPO, Penyakit
Arteri Perifer Obstruktif) dan pembuluh darah otak (Stroke)
Kekerapan DM cenderung meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan. Jika tidak
terkendali dan terdiagnosis, DM dapat menimbulkan gangguan yang bermakna bahkan
dapat mengancam jiwa pengidapnya, dekompensasi akut mau pun sekuele kronik. Semua
kelainan ini dapat dicegah dengan diagnosis dini dan pengendalian kadar glukosa (KG-)
darah dan kelainan-kelainan yang menyertainya sebaik mungkin. Kekerapan DM di
Indonesia, angka nasional belum ada. Laporan-laporan menunjukkan angka 1,1 sampai
20%
Tujuan
Setelah menyelesaikan topik ini peserta didik dapat
1) menyebut definisi, etiologi dan presentasi klinis Diabetes mellitus tiep 1 (DMT1)
dan DMT2;
2) memaparkan cara deteksi dini DM;
3) mendiskusikan insidensi dan.prevalensi DMT2;
4) menerangkan faktor risiko DMT2;
5) menerangkan kenapa DMT2 subklinis hams dideteksi, dan bagaimana melakukan
prevensi DMT2 subklinis;
6) menerangkan prinsip-prinsip pengelolaan DMT I , DMT2, peran edukasi,
perencanaan makan, dan tambahan obat hipoglikemik oral dan insulin;
7) menyebut komplikasi DM
Patofisiologi
Patofisiologi DM sangat rumit, dan masih terns diteliti. Fisiologi pembentukan energi dan
katabolisme glukosa. Semua sel dalam tubuh memerlukan energi dan karenanya
memerlukan substrat untuk pembentukan energi. Glukosa adalah substrat yang paling

Universitas Gadjah Mada

efisien dan efektif, terutama untuk fungsi neuronal. Protein, asam amino, dan asam lemak
dapat digunakan sebagi substrat pembentukan energi.
Glukosa merupakan monosakarida yang berasal dari absorpsi makanan. Untuk dapat
digunakan sebagai energi, glukosa hams dapat masuk ke dalam sel. Untuk masuk ke
dalam sel memerlukan fasilitasi hormon insulin. Insulin adalah hormon polipeptida yang
dihasilkan oleh sel-sel B-pankreas. Di dalam sel, glukosa mengalami katabolisme melalui

jalur glikolitik dan siklus Krebs, bersama dengan respirasi erobik membentuk molekul
energi dasar dari sel, yaitu adenosine triphosphate (ATP).
Setiap hormon mempunyai sel sasaran dan berikatan pada reseptor pada membran sel.
Sel sasaran insulin adalah sel di seluruh tubuh. Reseptor insulin berada pada membrana
plasma sel yang diperlukan agar insulin dapat aktif dan menyediakan energi dari glukosa.
Patofisiologi DM berkaitan dengan kerjasama antara insulin dengan reseptor spesifik.
Adanya defisiensi, keduanya atau salah satu dari unsur tersebut, adalah dasar timbulnya
diabetes klinis dan merupakan dasar paradigma klasifikasi yang digunakan untuk DM.
I.

Patogenesis
Patogenesis DM berpangkal pada dua dasar. Interdependensi gambaran DM adalah
peningkatan KG plasma dan penurunan glukosa sebagai substrat produksi energi
yang luas. Akibatnya terjadi paradoks starvasi seluler yang efektif dalam suatu kolam
cairan ekstraseluler yang kelebihan glukosa.
Sel yang starvasi untuk produksi energi beralih ke substrat yang kurang optimal,
protein, asam amino, dan asam lemak, sebagai sumber glukoneogenesis. Substrat ini
kurang efektif untuk produksi energi, tetapi masih berguna, terutama untuk proses
anabolisme bukan untuk katabolisme.
Luaran spesifik dalam utilisasi asama lemak, dan sedikit banyak dari asam amino,
untuk pembentukan energi dengan dampak produksi bends keton, B-hidroksibutirat,
asam asetoasetat dan aseton. Benda-benda keton ini menyebabkan asidosis metabolik
dengan peningkatan anion gap.

II. Diagnosis dan Klasifikasi


Diagnosis DM dapat secara klinis, diagnosis laboratoris, dan tes toleransi glukosa oral
(TTGO). Diagnosis klinis DM biasanya ditunjukkan dengan adanya gejala dan tanda klinis
berupa banyak kencing (poliuria), haus sehingga banyak minum (polidipsia), berat badan
menurun yang tidak diketahui penyebabnya, kelelahan, kelemahan badan, rasa kebas atau
gringgingen, atau rasa panas di kaki, keju di betis, balanitis atau vaginitis.
Diagnosis laboratoris. Diagnosis DM hams ditetapkan dengan adanya peninggian
kadar glukosa-darah (KG-darah). Jika ada gejala klinis yang spesifik, jika KG-plasma puasa
Universitas Gadjah Mada

>126 mg/dL atau KG-plasma 2 jam pasca-beban glukosa (75 gram), maka diagnosis DM
dapat ditegakkan. Jika tidak disertai gejala klasik, maka memerlukan dua nilai kelainan
untuk menegakkan diagnosis DM. Jika hasil KG-plasma borderline dan kita ragu, maka
diperlukan TTGO.
Tes Toleransi Glukosa Oral. Agar hasil TTGO menyakinkan (reliable), maka tes ini
hams dilakukan pada pagi hari, setelah pasien puasa semalam (overnight fasting). Pasien
hams duduk tenang dan tidak merokok. Tiga hari sebelum pemeriksaan hendaknya pasien
makan biasa dengan kandungan karbohidrat (KH) yang cukup ( 300 gram). Kegiatan
jasmani seperti biasanya. Diperiksa KG-darah puasa, kemudian pasien diberi beban
[disuruh minum 75 gram glukosa (untuk anak 1,75 gram/kg BB) yang dilarutkan dalam 250
ml air dan harus diminum dan dihabiskan dalam wakt 5 menit]. Diperiksa KG-darah 2 jam
pasca-beban. Selama proses pemeriksaan, pasien harus tetap istirahat dan tidak boleh
merokok.
Kriteria Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
1. KG-plasma sewaktu >200 mg/dL atau
2. KG-plasma puasa >126 mg/dL atau
3. KG-plasma >200 mg/dL pasca-beban glukosa pada TTGO

Ada dua kategori etiopatologik DM, yaitu DM Tipe 1 dan Tipe 2.


A. Diabetes Mellitus Tipe 1 (DMT1)
DMT1 disebabkan oleh defisiensi insulin. Gambaran sentral adalah insulinopenia.
Reseptor insulin pada umumnya normal, bahkan mungkin kualitas dan efektivitasnya
lebih baik (up-regulated), tetapi tanpa insulin, maka glukosa tidak dapat masuk ke
intraseluler. Kausa DMT1 meliputi yang berikut
1. Destruksi otoimun. Adanya tipe HLA tertentu dan koinsidensi dengan penyakit
otoimun mendukung mekanisme patofisiologik DMT1.
2. Mediasi-virus. Diduga mekanismenya terjadi secara tidak langsung. Antibodi yang
ditujukan menyerang virus (biasanya paramyxovirus), bereaksi dengan dan
menyebabkan kerusakan sel B-pankreas.
3. Pankreatitis berulang. Pankreatitis rekuren akan menyebabkan kerusakan pada
eksokrin dan endokrin pankreas.
B. Diabetes Mellitus Tipe 2
DMT2, berbeda dengan DMT1, tidak bermasalah dengan insulin, akan tetapi dengan
reseptor insulin. Diperkirakan karena defisien jumlah reseptor atau efektivitas
reseptor, pada atau pasca-reseptor. Gambaran sentral resistensi insulin terlihat pada
obesitas. Pada obesitas terjadi penurunan jumlah atau kualitas reseptor insulin.
Universitas Gadjah Mada

Tampak paradoks adanya starvasi seluler efektif pada keadaan kelebihan glukosa dan
insulin yang bekelebihan. Pada DMT2, glukosa, pada tingkat tertentu, dapat masuk ke
intraseluler, sehingga starvasi intraseluler relatif tidak begitu parah. Karenanya, maka
penggunaan asam lemak dan protein menurun, sehingga pebentukan Benda keton
tidak terjadi. Jadi, DMT2 adalah non-insulinopenik dan non-ketotik.

Faktor Risiko DM. Faktor risiko yang diyakini terkait dengan DMT2 adalah usia >45
tahun; berat badan (BB) berlebih >110% dari BB-idaman atau indek masa tubuh (IMT) >23
kg/m2. Hipertensi (>140/90 mmHg), riwayat DM pada garis keturunan, riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi >4000 gram; kadar HDL-kolesterol <25
mg/dL dan atau kadar trigliserida >250 mg/dL.
Catatan: untuk kelomppok risiko tinggi jika pada pemeriksaan penyaring (screening)
hasilnya negatif, maka tes ulangan dilakukan setiap tahun, sedang bagi mereka yang tanpa
faktor risiko tes ulangan dilakukan setiap 3 tahun.

III. Manifestasi klinis


Manifestasi klinis DM, Tipe 1 atau Tipe 2, berdasar pada patofisiologi yang terjadi.
Yang dianggap seagai gejala klasik adalah yang berikut.
A. Poliuria dan polidipsia
Poliuria adalah peningkatan frekuensi dan volume urine, dan polidipsia adalah
peningkatan kuantitas minum akibat haus. Nokturia, sering kencing pada malam hari,
merupakan manifestasi yang non-spesifik, tetapi dapat sebagai marker poliuria. Pada
pasien yang tidak dapat memenuhi haus, maka akan terjadi dehidrasi inravaskuler
dengan manifestasi spesifik berupa hipotensi ortostatik dan takikardia. Patogenesis
yang mendasari adalah hiperglikemia, glukosuria, diuresis osmotik.

B. Penglihatan kabur
Patogenesis yang mendasari adalah peningkatan glukosa dan pembengkakan lensa
mata. Hal ini menimbulkan gangguan refraksi pada lensa dan menyebabkan kabur
pada penglihatan.
C. Infeksi kulit berulang
1. Tinea cruris (rangen) dapat parah
2. Tinea pedis dengan onychomycosis
3. Candidiasis balanitis
4. Candidiasis vaginitis
Universitas Gadjah Mada

D. Manifestasi spesifik DMT1


Manifestasinya dapat berupa timbulnya benda keton dengan akibat asidosis (lihat
Kotak xx), bau aseton pada udara pernafasan, dan pernafsan yang dalam dan
cepat (respirasi Kussmaul). Pasien dengan DMT1 seringkali kurus.
KOTAK DM-1
Penyebab Anion Gap pada Asidosis Metabolik
Anion gap = Na [C1+ HCO3]
Normal = 12 14
Metanol toksin ini embentuk asam formiat melalui enzim etanol dehidrogenase
Benda keton benda ini, B-hidroksibutirat, aseto-asetat, dan aseton, dapat
terbentuk pada pasien KAD, ketoasidosis terkait-etanol, dan kelaparan (starvasi)
Laktat anion diproduksi pada keadaan hipoperfusi dan sepsis
Salisilat dosis berlebih (overdosis)
Uremia asam menetap (mis. Anion) tidak secara efektif diekskresi
Ethylene glycol ingesti bahan in menyebabkan asam glioksilat dan asam oksalat
Penggunaan paraldehida

IV.Pengelolaan
Pengelolaan DM meliputi edukasi, aktivitas jasmani, pengaturan maka, tambahan obat
hipoglikemik oral atau insulin. Pengelolaan spesifik ditujukan pada beberapa sasaran:
pengendalian KG-darah yang optimal tanpa terjadinya hipoglikemia, pemantauan
dan upaya mencegah sekuele DM, dan menghilangkan atau meminimalkan faktor
risiko timbulnya penyakit vaskuler aterosklerotik.
A. Edukasi
DMT2 pada umumnya timbul pada waktu pola gaya hidup telah terbentuk dan sudah
kokoh alias sulit diubah. Keberhasilan pengelolaan mandiri memerlukan partisipasi aktif
pengidap, keluarga, dan masyarakat. Edukasi meliputi a) beberapa hal tentang DM
(belum dapat disembuhkan melalui ilmu kedokteran, pengelolaan DM secara umum), b)
makna pengendalian dan pemantauan DM, c) penyulit DM, akut dan menahun, d)
intervensi farmakologis dan non-farmakologis, e) tentang hipoglikemia, 0 beberapa
keadaan khusus yang dihadapi, dan pengobatan penyakit lain yang dijumpai, seperti
anti-hipertensi, anti-lipidemia, g) pengajaran keterampilan, dan i) cara menggunakan
fasilitas perawatan kesehatan.
Perilaku yang diinginkan pada pengidap DMT2 adalah 1) mengikuti pola makan sehat,
2) meningkatkan kegiatan jasmani, 3) menggunakan obat diabetes dan obatobat pada
Universitas Gadjah Mada

keadaan khusus secara aman, dan teratur, 4) melakukan pemantauan glukosa darah
mandiri (self-monitoring blood glucose, SMBG) dan memanfaatkan data yang diperoleh,
5) merawat kaki secara berkala, 6) mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut
dengan tepat, 7) mempunyai keterampilan mengatasi masalah, dengan bergabung
dengan kelompok awam dan mengajak keluarga untuk memahami pengelolaan
diabetes, 8) mampu menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.
Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing pengidap.
Standar komposisi makanan yang dianjurkan adalah karbohidrat (KH, hidrat arang)
sebanyak 60 70%, Protein (zat putih telur) 10 15%, dan Lemak 20 25%
dengan kandungan kolesterol <300mg/hari. Kandungan serat dianjurkan sebanyak 25
gram sehari. Jumlah kalori disesuaikan dengan peertumbuhan, status gizi, umur, ada
tidaknya stres akut dan kegiatan jasmani sehari-hari.
Berat badan (BB) yang dianjurkan adalah mencapai BB idarnan. Indek massa tubuh
[IMT = BB (dalam kg) : TB (dalam m2)]. Jika IMT <18,5 dikategorikan sebagai BB
kurang; IMT 18,5 22,9 kg/m2 disebut BB-normal; BB lebih jika IMT >23,0 kg/m2, IMT
23,0 24 kg/m2 dengan risiko; IMT 25,0 29,9 kg/mobes I dan IMT >30 kg/m2 obes
II.
Untuk kepentingan penghitungan jumlah kalori yang diperlukan dapat digunakan rumus
Brocca BB-idaman = (TB cm 100) 10%. BB kurang jika BB <90% BBidaman;
normal jika BB 90 110% BB-idaman; BB lebih jika BB 110 120% BBidaman; dan
gemuk jika BB >120% BB-idaman. Kebutuhan kalori yang diperlukan adalah BBidaman x 30 kalori (laki-laki) atau 25 kalori (perempuan). Kemudian kalori ditambah
10 30% sesuai dengan aktivitas dan BB kurang atau adanya stres, dikurangi jika BB
berlebih.
B. Pengendalian Glikemik
Pengendalian kadar glukosa darah merupakan sentral pengelolaan DM. Bukti-bukti
klinis

menunjukkan

bahwa

mempertahankan

KG-darah

<200

mg/dL

dapat

meminimalkan poliuria, polidipsia, dan komplikasi kronik DM, terutama penyulit


mikroangiopati. Tetapi, risiko hipoglikemia selalu ada dan dapat mengakibatkan
morbiditas dan bahkan kematian. Risiko hipoglikemia meningkat sejalan dengan
intensitas terapi yang diberikan terutama pada pasien yang kurang patuh. Karena itu,
derajat kendali glikemia harus disesuaikan dengan keadaan pasien. Pada pasin
yang tidak disertai sekuele dan patuh terhadap terapi, KG-plasma puasa dapat
dianjurkan antara 80-100 mg/dL dan KG-2jpp tidak lebih dari 140 mg/dL. Bagi pasien
yang disertai banyak penyulit dan problem medis lainnya, maka KG-darah dapat
dipertahankan antara 150250 mg/dL.

Universitas Gadjah Mada

KOTAK DM-2
Evaluasi Pasien dengan Diabetes Mellitus
1. Riwayat dan pemeriksaan fisik, terutama pada
a) Faktor risiko DM
b) Obat yang diminum sekarang
c) Kelainan yang nyata ada sebagai sekuele DM: neuropati, retinopati, sindroma
carpal-tunnel, impotensi, tidak berkeringat, atau takikardia yang tidak sesuai
pada waktu bangun dari tiduran. Funduskopi: prerubahan retina, proliferatif
atau non-proliferatif
d) Risiko aterosklerosis atau nefropati: hipertensi, riwayat keluarga adanya
penyakit aterosklerosis, riwayat dislipidemia, atau adanya tanda hiperlipidemia
(mis. xanthoma atau xanthelasma)
2. Jika pasien tidak menunjukkan gambaran klinis yang nyata, tetapi nyata berisiko
mengidap
DM, periksa KG-plasma puasa
a) Diagnosis DM dapat ditegakkan jika KG-plasma puasa, pada dua kali
pemeriksaan pada waktu yang berbeda >126 mg/dL
b) Jika hasil KG-plsma puasa >110 - <126 mg/dL

IFG, impaired fasting

glucose tolerance
c) HbA1C atau A1C tidak dianjurkan untuk uji skrining
3. Marker diagnostik lainnya meliputi
a) Ketoasidosis diabetik (KAD)
b) KG darah acak >200 mg/dL
c) Respons abnormal terhadap beban glukosa 50-gram pada perempuan hamil
4. Lakukan pemeriksaan elektrolit, BUN, dan kadar kreatinin darah untuk kepentingan
data dasar
5. Lakukan pemeriksaan urine (urinalisis), untuk memperoleh informasi
mikroalbuminuria, ketonuria, atau glukosuria
6. Lakukan pemeriksaan EKG untuk data dasar
7. Tentukan tekanan darah. Hipertensi?
8. Lakukan konsultasi Dokter Mata (SpM)
9. Lakukan pemeriksaan panel lipid (Kolesterol total, Trigliserida, HDL- dan LDLKolesterol)

Universitas Gadjah Mada

Terapi untuk pengendalian glikemia meliputi yang berikut.


1. Jika pasien dalam keadaan dekompensasi akut, intervensi intensif harus diberikan
(lihat Kotak xx)
2. Jika pasien mengidap diabetes mellitus tipe 1 (DMT1) diperlukan terapi insulin
a. Berikan insulin rekombinan manusia (human recombinant insulin)
b. Farmakokinetik pemberian insulin subkutan seperti yang berikut (Tabel xx).
c. Dosis insulin total umumnya adalah 0,5 1,0 Unit/kg/hari

KOTAK DM-3
Pengelolaan Pasien dengan Diabetes Mellitus
1.

Lakukan edukasi pasien: tentang DM, pentingnya mencapai kendali DM yang


baik, perawatan kaki, tentang tanda dan pengelolaan hipoglikemia, dan
sebagainya

2. Perencanaan makan (clinical nutrition, nutrisi klinis)


a) Pasien yang obese harus berusaha menurunkan berat badan
b) Pasien yang obese harus menurunkan jumlah kalori yang disantap
c) Kandungan karbohidrat sebaiknya 60 - 70% kalori total
d) Kandungan lemak 20 - 25% kalori total
e) Kandungan lemak jenuh <10% kalori total
3. Perintahkan pasien untuk hidup aktif. Hal ini dapat membantu menurunkan berat
badan, meningkatkan sensitivitas dan jumlah reseptor insulin, meningkatkan
HDL-Kolesterol
a) Dianjurkan untuk latihan jasmani erobik atau isotonik, dilakukan 3 x seminggu.
Renang, berjalan dan bersepeda adalah terbaik
b) Latihan isometrik sebaiknya tidak dilakukan, karena berisiko lepasnya
retina atau perdarahan intraokuler
4.

Tanda pengenal sebaiknya dipakai oleh semua pasien DM yang mendapat


terapi obat hipoglikemik (risiko hipoglikemia)

5.

Pengelolaan hipoglikemia, yang terbaik adalah madu. Pasien sebaiknya


membawa permen utnuk sewaktu-waktu dimakan jika ada gejala hipoglikemia

6.

Edukasi: pemeriksaan KG mandiri. Pemantauan tidak perlu dilakukan setiap


hari bagi pasien T2DM, cukup setiap minggu sekali,kecuali jika simtomatis sakit

d. Regimen dosis diberikan sedemikian rupa, sehingga mirip dengan sekresi insulin
fisiologik dari pankreas. Sebagai insulin basal diberikan insulin aksi panjang (long
acting) plus insulin aksi pendek (short acting)
Universitas Gadjah Mada

i.

Insulin NPH atau insulin glargine diberikan pagi hari, dan insulin regular
setiap sebelum makan. Pemantauan KG-darah harus seketat mungkin, 4 kali
sehari, yaitu pada menjelang tidur malam, dan '/2-1 jam setiap pascamakan.

ii. Regimen dosis dua kali sehari dengan campuran insulin regular (RI) dan
insulin NPH. Suntikan insulin diberikan 1/2 jam sebelum sarapan dan '/2 jam
sebelum makan malam. Dua-per-tiga dosis diberikan insulin NPH dan 1/3 dosis
bentuk RI. Dua-per-tiga dosis total diberikan pagi hari dan sisanya diberikan
sebelum makan malam. Pemantauan KG-darah segera sebelum suntik insulin,
pada tengah hari, dan menjelang tidur.
iii. Regimen dosis dua kali sehari dengan insulin NPH dan regular premixed (mis.
Humulin 30/70, atau Mixtard 30/70. Pemberian suntikan insulin dan
pemantauan KG-darah sama dengan butir ii di atas.
e. Penyesuaian dosis insulin dilakukan jika oleh sesuatyu sebab pasien sakit (mis.
gastroenteritis disertai mual, muntah, dan diare)
i.

Pantau KG-darah dan keton dalam urine

ii. Teruskan pemberian NPH atau insulin glargine dengan dosis separuh sampai
tiga-per-empat dosis harian.
iii. Ke rumahsakit jika ada manifestasi ortostatik atau muncul ketonuria.

Tabel xx. Farmakokinetik Insulin Subkutan


Jenis Insulin

Efek puncak

Lama efek

Reguler

2-4 jam

6 jam

NPH

8-10 jam

18-20 jam

Glargine

Mula aksi

1 jam

Tidak ada

24 jam

3. Jika pasien termasuk diabetes mellitus tipe 2 (DMT2), kendali diabetes didasarkan
pada yang berikut.
a. Mencapai berat badan idaman dengan perencanaan makan dan latihan fisik.
Cara ini adalah yang terbaik untuk T2DM.
b. OHO (obat hipoglikemik oral)
c. Insulin diperlukan umumnya pada mereka yang telah mengidap DM 15-20 tahun,
tidak terkendali baik, dengan banyak keluhan.
d. Pemantauan KG-darah setiap pagi, dan HbA1c atau A1c setiap 3-6 bulan. Kadar
A1c dapat menu= palsu pada keadaan berikut
i.

Anemia,akibat penurunan Hb

ii. Retikulositosis, karena sel muda


iii. Hemoglobinopati, mis. pada anemia sel sabit lama hidup sel yang pendek
Universitas Gadjah Mada

C. Pengendalian Sekuele DM
Sekuele spesifik DM beraneka macam, dan meliputi yang berikut ini.
1. Neuropati Diabetik
a. Patofisiologi yang mendasari multifaktor dan meliputi iskemia sebagai akibat
perubahan-perubahan mikroangiopati (mis. penebalan membrana basalis kapiler)
dan makroangiopati (mis. vaskuler). Penurunan perfusi ke serabut saraf akan
menyebabkan kerusakan bahkan infark pada saraf perife. Kelainan yang timbul
seperti akumulasi sorbitol dalam selaput mielin serabut saraf perifer. Jalur aldose
redukatase menghasilkan sorbitol dalam jumlah berlebihan pada kondisi adanya
hiperglikemia. Akibat timbunan sorbitol di saraf perifer, saraf otonom, dan juga pada
serabut saraf di traktus gastrointestinal akan berakibat disfungsi neuronal yang
progresif.
b. Manifestasi spesifik neuropati diabetik beraneka macam dan tergantung saraf apa
yang terkena, saraf perifer, saraf otonom, atau traktus GI.
i.

Neuropati Perifer dapat berupa parestesia, nyeri, hipestesia, atau distesia,


biasanya terdistribusi seperti orang pakai kaos kaki atau tangan, gejala semakin
distal semakin nyata. Termasuk sindroma carpal-tunnel, ulnar tunnel, bahkan
tarsal-tunnel. Jika dirasakan nyeri mungkin sangat mengganggu pasien (nyeri
tidak tertahankan)

ii. Neuropati Otonom dapat berupa disfungsi ereksi, penurunan keringat, dan
tidak timbul takikardia pada waktu bangun dari duduk. Keadaan ini dapat
menutupi gejala hipoglikemia klasik, seperti mis. tremor, takikardia, dan
diaforesis (banyak keringat).
iii. Enteropati, atau disfungsi GI menimbulkan gastroparesis dengan akibat
muntah pasca-makan yang sangat engganggu pasien
c. Evaluasi dan Pengelolaan Spesifik seperti yang disajikan dalam Kotak xx dan yang
berikut
i.

Neuropati diabetik perifer dapat diberikan OAINS k/p. Jika tidak ada lesi
spesifik yang dapat ditetapkan dan manifestasinya dirasa sangat berat, berikan
amitriptilen 25-50 mg peroral atau capsaicin 0,025 topikal 2dd (inhibitor nyeri
perife yang berinteraksi dengan trasmiter nyeri, substansi P). Kirim ke Klinik
Nyeri jika kasus parah.

ii. Neuropati diabetik otonom, tentukan kelainan yang ada. Jika yang dominan
adalah hipotensi ortostatik tanpa takikardia
iii. Enteropati tentukan lesi yang ada dengan kontras barium atau makanan
berlabel radionukleotida untuk mengukur transit di pilorus. Pengelolaan

Universitas Gadjah Mada

10

spesifik dengan makan porsi kecil (al Hadits: makan jika lapar dan berhenti
sebelum kenyang) dan obat metoklopramida 5-10 mg k/p setiap 6 jam.
2. Retinopati Diabetik
a. Patogenesis yang mendasari tampaknya berkaitan dengan penebalam membrana
basalis kapiler. Penebalan tersebut merupakan perubahan mikroangiopati, yang
mengenai seluruh kapiler di seluruh tubuh. Akibatnya terjadi kebocoran, bahkan
degenerasi kapiler dengan akibat terjadinya eksudasi cairan dari kapiler. Keadaan ini
terjadi di seluruh bagian tubuh, tetapi yang tampak adalah di retina
retinopati non-proliferatif. Selain itu, terjadi pula proses proliferatif yang
independen sehingga timbul pertumbuhan kapiler baru dalam anyaman kapiler
(capillary beds). Pembuluh darah yang baru ini fragil dan mudah berdarah, sehingga
timbul perdarahan ukuran kecil-kecil sampai sedang. Walau perubahan proliferatif
ini terjadi di seluruh tubuh, namun perdarahan simtomatik terlihat di retina. Jika
terjadi perdarahan ke humor vitreus, darah akan menghalangi visus (penglihatan),
dan

penggumpalan

dapat

menyebabkan

tarikan-tarikan

pada

retina,

dan

meningkatkan risiko ablatio retinae.


b. Manifestasi spesifik retinopati diabetik secara keseluruhan meliputi penurunan
ketajaman penglihatan. Pasien umumnya asimtomatik sampai terjadinya peristiwa
besar, seperti perdarahan retina. Pada funduskopi perubahan-perubahan nonproliferatif meliputi eksudat dan edema ringan pada retina. Bentuk proliferatif
meliputi pembentukan vasa barn di sekitar arteri yang normal dengan perdarahan
kecil di sekitarnya. Darah dapat Pula di vitreus sehingga menghalangi visualisasi
retina secara menyeluruh, dan bahkan ablatio retinae.
c. Evaluai dan pengelolaan spesifik termasuk yang disajikan dalam Kotak xx dan
prevensi. Bukti-bukti klinis menunjukkan bahwa pengendalian KG-darah yang
ketat dapat mencegah timbulnya retinopati, non-proliferatif mau pun proliferatif.
Semua pasien DM hendaknya diperiksa oleh Dokter Mata. Retinopati proliferatif
dapat diatasi dengan baik dengan fotokoagulasi laser. Neovasa yang baru dapat
dirusak dengan laser, sebelum vasa baru ini pecah dan menimbulkan gangguan.
3. Nefropati Diabetik
a. Patofisiologi yang mendasari timbulnya nefropati diabetik diduga mirip dengan
patofisiologi retinopati. Penebalan membrana basalis kapiler dan mikrovaskuler
ginjal diduga akibat timbunan protein terglikosilasi dan substansi lain dalam
membrana basalis. Gambaran histopatologi membuktikan adanya penebalan
membrana basalis pada mesangium dan glomeruli. Pada akhirnya timbul sklerosis
nodular fokal yang dikenal sebagai sindroma Kimmelstiel-Wilson.
Universitas Gadjah Mada

11

Akibat penebalan tersebut, timbul kebocoran albumin dari glomeruli, semula dalam
bentuk mikro yang dapat berlanjut menjadi albuminuria. Petanda adanya nefropati
adalah mikroalbuminuria, yaitu ekskresi albumin >300 mg/24 jam urine.
Perjalanan alamiah penyakit (natural history) meliputi peningkatan yang progresif
kehilangan protein lewat ginjal, sehingga dapat berakibat terjadinya sindroma
nefrotik yang klasik dengan hipoalbuminemia. Faktor yang ikut berperan dalam
timbulnya nefropati adalah hipertensi tidak terkendali.
b. Manifestasi spesifik nefropati diabetik beranneka macam tergantung pada waktu
presentasi pasien. Manifestasi paling awal adalah mikroalbuminuria. Selanjutnya
akan timbul proteinuria yang nyata (albuminuria), akhirnya sindroma nefrotik.
c. Evaluasi dan pengelolaan spesifik termasuk pencegahan timbulnya sindroma
nefrotik. Pencegahannya meliputi kendali ketat KG-darah, dan pengendalian
hipertensi sebaik mungkin. Pembatasan protein dalam diit (80-100 gram/hari)
dapat menghambat progresi gagal ginjal. Jika sindroma nefrotik muncul, maka cepat
atau lambat, gagal ginjal akan timbul pula. Biasanya dalam jangka waktu 3 tahunan.
Semua pasien yang disertai sindroma nefrotik harus dikonsulasikan atau dikelola
oleh SpPD-KGH.
4. Penyakit Aterosklerotik (sering disebut sebagai penyakit makrovaskular)
a. Patogenesis yang mendasari tidak seluruhnya terungkap. Kedua jenis diabetes,
DMT1 dan DMT2, dianggap sebagai faktor risiko penyakit aterosklerosis. Pada DM
dijumpai kelainan lipid (dislipidemia) berupa peningkatan trigliserida, LDLKolesterol,
dan penurunan HDL-Kolesterol yang kesemuanya berkaitan dengan risiko penyakit
aterosklerosis. Akibatnya, timbul plak ateroma di pembuluh darah sedan mau pun
arteri besar.
b. Manifestasi spesifik dapat ringan pada awalnya, sampai berat pada perjalanan
lanjut penyakit. Manifestasinya beranek macam, tergantung lokasi kelainan yang
terjadi. Umumnya pada arteria koronaria dapat berupa serangan angina pektoris
dan/atau infark miokard, pembuluh darah serebral dapat bermanifestasi berupa
GPDO-sepintas (transient ischemic attack, TIA) dan stroke, dan pada pembuluh
darah tepi berupa claudicatio intermittent, risiko gangren kaki dan amputasi.
c. Evaluasi dan pengelolaan spesifik meliputi penetapan diagnosis adanya kelainan
aterosklerotik dan pengelolaan DM pada umumnya (Kotak xx). Pengendalian KGdarah, tekanan darah, kelainan lipid yang dijumpai sebaik mungkin, dan
menghentikan kebiasaan merokok

Universitas Gadjah Mada

12

V. Konsultasi
Problem

Pelayanan

Waktu

Semua pasien DM

Dokter Mata (SpM)

Jika perlu

Gangguan visus mendadak SpM(K)

Segera

Semua pasien DM

Elektif

SpPD-KEMD

V. Indikasi Rawat Inap


Dekompensasi akut diabetes (mis. ketoasidosis diabetik, KAD; dan koma non-ketotik
hiperglikemik)
VI.Kepustakaan
1.

Asdie AH. 2000 Klasifikasi dan Patogenesis Diabetes Mellitus Tipe 2. Jogyakarta,
Medika Press

2.

Perkeni 2002 Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia2002. Jakarta

KOTAK DM-4
Evaluasi dan Pengelolaan Pasien Diabetes Mellitus Dekompensata Akut
Tujuan umum adalah mengatasi dehidrasi, diagnosis dan pengelolaan gangguan
elektrolit yang ada, menemukan dan mengatasifaktor pencetus, dan memberikan
insulin untuk menurunkan KG darah, menurunkan produksi benda keton, dan memacu
hepar untuk bersihan bahan tersebut
Evaluasi
1.

Kirim pasien ke rumahsakit, biasanya ke Perawatan Intensi (ICU)

2.

Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, terutama pada pencarianfaktorpencetus


timbulnya KAD
a) Sering terjadi
b) Kepatuhan (compliance) terhadap terapi insulin
c) Sindroma koroner akut (acute coronary syndrome)
d) Septikemia
e) Trauma
f)

Stroke

Universitas Gadjah Mada

13

3.

Lakukan pemeriksaan laboratorium untuk kepentingan data dasar


a)

Elektrolit darah, BUN, kreatinin, dan KG darah. Terkadang KG darah >500 mg/dL
dan dijumpai anion gap

b) Tentukan adanya benda keton


c) Lakukan pemeriksaan kelenjar tiroid, T4, T3 dan TSHs
d) Analisis gas darah (AGD) untuk menilai derajat asidosis yang terjadi
e) Tentukan jumlah dan hitung jenis leukosit
f)

Kadar kalsium, albumin, fosfat (pada waktu terapi dapat timbul hipofosfatemia)

g) Lakukan kultur darah


h) Kadar CK dan LDH untuk menyingkirkan infark miokard
4.

Lakukan rekaman EKG, diulang 24 jam kemudian sampai infark miokard disingkirkan

5.

Lakukan X-foto thorax

6.

Pantau KG darah, K+, Mg++, PO4, dan pH darah setiap 1-2 jam sampai kondisi
pasien stabil

Universitas Gadjah Mada

14

KOTAK DM-5
Anjuran Terapi Pasien dengan Diabetes Mellitus Dekompensata Akut
7. Pasang 2 jalur lini infus
a.

Lini satu untuk infus cairan dan elektrolit

ii. Berikan NaCl 0,9%, kecepatan infus 300-500 mL/jam, lanjutkan dengan 200-250
mL/jam. Usahakan, dalam 24 jam pertama, cairan telah terganti 50-60%
iii. Pasang kateter Swan-Ganz
iv. Berikan Kalium dengan skala berikut
Kadar K-serum

Berikan Kalium

3,4 3,8

20 mEq KC1 IV (intravena)

3,0 3,3

40 mEq KC1 IV

2,8 2,9

60 mEq KC1 IV

<2,8

60 mEq KCI IV konsultasi dengan SpPD


( inern is) jaga

v. Berikan Magnesium, I gram MgSO4 jika kadar dalam serum 1,4-1,8 meq/L; 2 g
MgSO4 jika kadar <1,4 mEq
vi. Pemberian Bikarbonat tidak dianjurkan keculai, jika pH arteri <7,0 atau jika
pasien menunjukkan adanya hiperkalemia
vii. Gunakan jalur IV ini jika diperlukan pengobatan lewat intravena (mis. antibiotika,
vasopresor, lidokain dsb.)
b.

Lini dua hanya untuk infus insulin

i.

Berikan insulin reguler (RI) secara bolus, 10-20 unit

ii.

Berikan 2-10 unit per jam (lewat drip), 50 unit RI dalam 250 mL dextrose 5%

(D5W) atau Martose 10%, sampai KG darah 250-300 mg/dL


iii. Jika KG darah mencapai 250-300 mg/dL
(a) Infus diganti dengan D5W
(b) Berikan RI 10 Unit subkutan dan stop drip insulin 10 menit kemudian
(c) Pemberian human insulin yang agresif dalam 24-36 jam pertama setelah KG
darah mencapai 250-300 mg/dL sangat penting, karena pada waktu ini hepar
belum mampu menetralkan benda keton yang ada
(d) Berikan RI berdasar hasil KG darah
KG-plasma

Dosis Insulin

61 120 mg/dL

status quo

121 180 mg/dL

2-3 Unit RI subkutan

181 240 mg/dL

2-3 Unit RI subkutan

241 300 mg/dL

6-9 Unit RI subkutan


Universitas Gadjah Mada

15

301 - 360 mg/dL

8-12 Unit RI subkutan

>360 mg/dL

berikan lagi drip insulin

iv. Jika keadaan pasien dalam ketosis, berarti perlu terapi insulin seumur hidup
v. Sangat penting untuk KG darah dipertahankan sekitar 250 mg/dL sampai benda
keton telah dinetralkan (katabolisme). Selain itu ada risiko edema serebral.

Universitas Gadjah Mada

16

Anda mungkin juga menyukai