Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A.LatarBelakang
Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya tiga badang yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Kekuasaan Negara yang absolut (mutlak) yang menguasai seluruh bidang
kehidupan negara sentalistik dalam satu kekuasaan akan melahirkan hasil yang
tidak efektif dan efisien bahkan cenderung menyimpang dari konstitusi dan
peraturan yang berlaku. Untuk itu kenyataan ini mendorong para filosof untuk
mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar merata dan tidak
menumpuk pada satu orang atau institusi kekuasaan saja. Pemikiran yang
dilahirkan oleh para filosof tersebut adalah salah satunya berupa teori Trias
Politica. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara perlu dilakukan
pemisahan dalam tiga bagian yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan efekstivitas dan evisiensi serta
transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam negara sehingga tujuan nasional suatu
negara

dapat

terwujud

dengan

maksimal.

Khusus mengenai Yudikatif adalah fungsi untuk mengadili penyelewengan


peraturan yang telah dibuat oleh Legislatif dan dilaksanakan oleh Eksekutif.
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengalami rotasi pergantian kekuasaan. Ini
ditandai dengan adanya masa kekuasaan yang dikenal dengan tiga masa, yaitu
masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Orde Reformasi.
Disetiap masa memiliki ciri khas kekuasaan yang berbeda-beda. Dari
perbedaan setiap masa, dapat dilihat cara dalam menerapkan kekuasaannya

terhadap lembaga-lembaga yang terdapat pada masa itu. Kekuasaan Yudikatif


mungkin juga berbeda perananya dalam setiap adanya tiga masa kekuasaan
tersebut.
Maka disini kami penulis menulis makalah dengan judul Fungsi Lembaga
Yudikatif dalam Sistem Politik Indonesia Masa Orde Baru dan Reformasi. Kami
hanya mengambil dari dua masa terakhir,
B. Rumusan Masalah
Seperti dalam latar belakang kami yang ingin mengetahui fungsi badan Yudikatif
di Indonesia masa Orde Baru dan Reformasi maka kami mengambil rumusan
masalah, Bagaimana fungsi lembaga Yudikatif dalam sistem politik Indonesia
masa Orde Baru dan Reformasi?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat untuk memahami fungsi lembaga Yudikatif dalam sistem
politik Indonesia masa Orde Baru dan Reformasi.

BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Badan Yudikatif
Badan Yudikatif adalah suatu badan yang memiliki sifat teknis-yuridis
yang berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan oleh institusi pemerintahan secara luas serta bersifat
independent (bebas dari intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya

(Rahman,

2007:215).

Badan Yudikatif pada umumnya yang ada bahwa tiap negara hukum masih
berpegang pada prinsip bebas dari campur tangan Badan Eksekutif. Tujuannya
adalah agar Badan Yudikatif dapat berfungsi dengan baik demi penegakan hukum
dan keadilan serta menjamin Hak Asasi Manusia. Pasal 10 Declaration of Human
Rights, memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan di
dalam tiap-tiap negara sebagai sesuatu hal yang esensiil. Di beberapa negara
jabatan Hakim di angkat untuk seumur hidup. Contoh, Amerika Serikat dan
Indonesia (Rahman, 2007:217-218).
B. Badan Yudikatif di Indonesia
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Indonesia adalah peradilan yang menganut sistem kontinental.
Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua
hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan
adil serta memiliki sifat yang netral dari intervensi pemerintah (independent).
Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat 2
disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam
arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-

putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat
lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:

Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara.

Bahkan Mahkamah Agung merupakan pengawas tertinggi atas perbuatan


Hakim dari semua lingkungan peradilan. Sejak tahun 1970 tersebut Mahkamah
Agung mempunyai organisasi, administrasi, dan keuangan sendiri. Mahkamah
Agung menjalankan tugasnya dengan melakukan 5 fungsi yang sebenarnya sudah
dimiliki sejak Hooggerechtshof, sebagai berikut :

Fungsi Peradilan
Fungsi Pengawasan
Fungsi Pengaturan
Fungsi Memberi Nasihat
Fungsi Administrasi

Fungsi Peradilan. Pertama, membina keseragaman dalam penerapan


hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan
memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya
oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun
menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan
dengan

peraturan

dari

tingkat

yang

lebih

tinggi.

Fungsi Pengawasan. Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas


tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua,
Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para
Hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima,
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga,
Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris
sepanjang yang menyangkut peradilan, sesuai Pasal 36 Undang-undang nomor 14
tahun

1985

tentang

Mahkamah

Agung).

Fungsi Mengatur. Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih


lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila
terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah
Agung.
Fungsi Nasehat. Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua,
Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam
rangka

pemberian/penolakan
Fungsi

Administratif.

Pertama,

Grasi

dan

Rehabilitasi.

mengatur

badan-badan

Peradilan

(Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua,
mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan.
Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan
Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan
Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing
memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui

jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3)
wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan
militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6)
ketua muda pidana Mahkamah Agung RI; (7) ketua muda pembinaan Mahkamah
Agung RI; (8) ketua muda perdata niaga Mahkamah Agung RI; (9) ketua muda
pidana khusus Mahkamah Agung RI, dan; (10) ketua muda perdata Mahkamah
Agung RI. Selain para pimpinan, kini Mahkamah Agung memiliki 37 orang
Hakim Agung sementara menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 2004
Mahkamah Agung diperkenankan untuk memiliki Hakim Agung sebanyakbanyaknya enam puluh (60) orang.
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir (sifatnya final) atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak
penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Atau, seputar
Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat untuk melanjutkan jabatannya.
Mahkamah Konstitusi hanya dapat memproses permintaan DPR untuk memecat
Presiden dan atau Wakil Presiden jika terdapat dukungan sekurang-kuranya dua
per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR.
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota Hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari 9 orang tersebut, 1 orang menjabat
Ketua sekaligus anggota, dan 1 orang menjabat wakil ketua merangkap anggota.
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi masing-masing menjabat selama 3
tahun.

Selama menjabat sebagai anggota Mahkamah Konstitusi, para Hakim


tidak diperkenankan merangkap profesi sebagai pejabat negara, anggota partai
politik, pengusaha, advokat, ataupun pegawai negeri. Hakim Konstitusi diajukan 3
oleh Mahkamah Agung, 3 oleh DPR, dan 3 oleh Presiden. Seorang Hakim
konstitusi menjabat selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 kali
masa jabatan lagi.
Hingga kini, beberapa perkara telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Perkara-perkara tersebut misalnya Pengujian Undang-undang Nomor 11 tahun
2008 tetang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan Pemohon Edy
Cahyono, et.al. Perkara lainnya misalnya Pengujian Undang-undang Nomor 36
tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-undang nomor 8 tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Atau, yang bersangkutan dengan hasil pemilu seperti
Permohonan Keberatan terhadap Penetapan Perhitungan Suara Hasil Pemilukada
Kabupaten Belu Putaran II tahun 2008.
3. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial tidak memiliki kekuasaan Yudikatif. Kendati Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menempatkan pembahasan
mengenai Komisi Yudisial pada Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi
komisi ini tidak memiliki kekuasaan kehakiman, dalam arti menegakkan hukum
dan keadilan serta memutus perkara. Komisi Yudisial, sesuai pasal 24B UUD
1945, bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan personalia Hakim berupa
pengajuan calon Hakim Agung kepada DPR sehubungan dengan pengangkatan
Hakim Agung. Komisi ini juga mempunyai wewenang dalam menjaga serta
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim. Dengan
demikian, Komisi Yudisial lebih tepat dikategorikan sebagai Independent Body
yang tugasnya mandiri dan hanya berkait dengan kekuasaan Yudikatif dalam
penentuan personalia bukan fungsi yudikasi langsung. Peraturan mengenai
Komisi Yudisial terdapat di dalam Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang
KomisiYudisial.

Komisi Yudisial memiliki wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim


Agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku Hakim. Dalam melakukan tugasnya, Komisi Yudisial bekerja
dengan cara:
(1) melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
(2) melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
(3) menetapkan calon Hakim Agung,
(4) mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Pada pihak lain, Mahkamah Agung, Pemerintah, dan masyarakat juga
mengajukan calon Hakim Agung, tetapi harus melalui Komisi Yudisial.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim Agung, Komisi Yudisial dapat
menerima laporan masyarakat tentang perilaku Hakim, meminta laporan berkala
kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku Hakim, melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku Hakim, memanggil dan
meminta keterangan dari Hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
Hakim, dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan
disampaikan kepada Mahkamah Agung dan atau Mahkamah Konstitusi serta
tindasannya

disampaikan

kepada

Presiden

dan

DPR.

Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.


Sebelum mengangkat, Presiden membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota
Komisi Yudisial yang terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi
hukum, dan anggota masyarakat. Seorang anggota Komisi Yudisial yang terpilih,
bertugas selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 periode. Selama
melaksanakan tugasnya, anggota Komisi Yudisial tidak boleh merangkap
pekerjaan

sebagai

pejabat

negara

lain,

Hakim,

advokat,

notaris/PPAT,

pengusaha/pengurus/karyawan BUMN atau BUMS, pegawai negeri, ataupun


pengurus partai politik

BAB III
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sistem Politik Di Indonesia
1. Orde Baru
Pada saat Orde Baru Soeharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan
adanya Supersemar. Saat Orde Baru pemerintah ORBA bertekat untuk
menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat
Orde Baru menggunakan sistem demokrasi pancasila yang di bawah
kepemimpinan Soeharto dan menganut sistem Presidensial dimana lembagalembaga pemerintahan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) setara. Tetapi aturan
tersebut kurang begitu baik dijalani malahan sering dan selalu terjadi pelanggaranpelanggaran.
Pada saat kepemimpinan Soeharto begitu kuatnya kepemimpinan atau
kekuasaan Presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu
semua

mengakibatkan

terjadinya

sentralistik

kekuasaan

pada

Presiden.

Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari
demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan Eksekutif tidak ada, rekruitmen
politik di batasi, KKN merajalela dan berbagai tindak lain yang melanggar aturan.
Kepemimpinan Soeharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi politik yang
tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi
pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal.
Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa
pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di
DPR/MPR tidak dapat lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada Presiden. Seluruh proses
komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan,
Presiden. Badan Legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain
hanya mendukung Presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota
DPR/MPR

akan

berakhir

dengan

pemberhentikan

tidak

hormat.

Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli

komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal
dankritis.
Setelah masyarakat Indonesia bosan tentang sistem politik yang
dijalankan pada saat ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa (dimotori
oleh Mahasiswa) maka tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri stelah terjadi pemberontakan dan demo sehingga Presiden diganti oleh Wapres
Prof.B.JHabibi.

2. Reformasi
Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa
Reformasi, pada saat masa Reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila
dan menganut sistem pemerintahan Presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila
pada era Reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun
DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Saat masa Reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi
politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers
hanya

kebaikan

pemerintah,

kemudian

hal

itu

yang

diberitakan.

Dalam era Reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam
kegiatan pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan
dengan baik.
Pemerintahan era Reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang
demokratis, yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur
kekuasaan dalam negara agar lebih demokratis dan berjuang untuk menghindari
berbagai pelanggaran. Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik,
masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai
sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh.
Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai
adalah Pancasila.

B. Dinamika Perkembangan Yudikatif masa Orde Baru dan Reformasi


1. Orde Baru
Masa Orde Baru merupakan masa yang diharapkan dapat membawa
Indonesia menjadi lebih mandiri dan baik. Akan tetapi rupanya pemerintah
berpendapat lain, seperti terbukti dari undangundang No.14 Tahun 1970 tentang
ketentuanketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang menggantikan Undang
Undang No.19 Tahun 1964. Melihat pasal 26 UndangUndang No. 14 Tahun 1970
yang mengatur hak Mahkamah Agung untuk menguji dan menyatakan tidak sah
semua peraturan perundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang
undang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pedoman kita dalam hal ini adalah
sesuai dengan pasal 130 Undang undang dasar RIS dan pasal 95 UndangUndang
Dasar Sementara 1950 bahwa Undang Undang tidak dapat di ganggu gugat.
Berarti hanya UndangUndang Dasar dan Ketetapan MPR(S) yang dapat
memberi ketentuan apakah Mahkamah Agung berhak menguji undangundang
atau tidak. Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang Undang dasar 1945 dan
dalam ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari
hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam negara, berarti
bahwa undang undang ini (undangundang pokok ketentuan kehakiman) tidak
dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi
secara materiil undangundang terhadap undangundang dasar.
Hanya undangundang dasar ataupun ketetapan MPR(S) yang dapat
memberikan

ketentuan

mengenai

hal

tersebut.

Pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahdep.


MahDep merupakan forum yang digunakan sebagai ajang konsultasi antara
Mahkamah Agung dan Departemen dalam membicarakan daftar kandidat Hakim
Agung yang akan diajukan ke Mahkamah Agung dan Pemerintah ke Dewan
Perwakilan Rakyat. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak menjadi menteri.
Hakim Agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada kualitas yang tidak
jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara Hakim Agung biasanya
akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah Agung dengan harapan

Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian kepada kandidat dan


memasukkan namanya dalam daftar.
Adanya indikasi jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya
yang mengakibatkan pemilihan dilakukan tidak secara objektif. Beberapa Hakim
yang ada yang memiliki hubungan satu sama lain, misalnya memiliki latar
belakang sosial atau keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali
mempengaruhi proses penentuan daftar nama yang disusun ketua Mahkamah
Agung. Adanya Indikasi praktik-praktik suap dengan cara memberikan hadiah
atau membayar sejumlah uang yang dikeluarkan oleh seseorang yang ingin
dicalonkan. Dalam prakteknya Yudikatif masih didominasi oleh Eksekutif,
dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon Hakim harus disertai
memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam
prakteknya pun masih didominasi Eksekutif. Kekuasaan Yudikatif tidak bisa
memeriksa Eksekutif, masalnya kasus kasus yang menyangkut Presiden,
prakteknya Presiden diatas lembaga Yudikatif.
Rekruitmen politik: pemilihan anggota Yudikatif dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Mahdep. Status Ketua Mahkamah Agung sudah tidak
menjadi menteri. Hakim Agung yang berhasil dipilih umumnya didasarkan pada
kualitas yang tidak jelas. Adanya indikasi praktek droping nama dengan cara
Hakim Agung biasanya akan memberikan usulan nama kepada ketua Mahkamah
Agung dengan harapan Ketua Mahkamah Agung akan memberikan perhatian
kepada kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar. Adanya indikasi
jaringan, petemanan, hubungan keluarga dan sebagainya yang mengakibatkan
pemelihan dilakuakan tidak secara objektif. Beberapa Hakim yang ada yang
memiliki hubungan satu samalain, misalnya memiliki latar belakang sosial atau
keluarga yang sama. Hubungan seperti ini seringkali mempengaruhi proses
penentuan daftar nama yang dususun ketua Mahkamah Agung. Adanya Indikasi
praktik-praktik suap sengan cara memberikan hadiah atau membeyar sejumlah
uang yang dilakuakan oleh seseorang yang ingin dicalonkan.

Sosialisasi politik: dalam prakteknya Yudikatif masih didominasi oleh


Eksekutif, dibuktikan dengan setiap mempresentasikan calon Hakim harus disertai
memasukkan nama-nama dari militer maupun kejaksaan. Sehingga dalam
prakteknya pun masih didominasi Eksekutif.
Komunikasi politik: kekuasaan Yudikatif tidak bisa memeriksa Eksekutif,
masalnya kasus kasus yang menyangkut Presiden, prakteknya Presiden diatas
lembaga Yudikatif.
2. Reformasi
Kekuasaan kehakiman di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak
masa Reformasi. Amandemen ketiga UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 10
November 2001, mengenai bab kekuasaan kehakiman BAB IX memuat beberapa
perubahan (Pasal 24A, 24B, 24C) amandemen menyebutkan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung bertugas untuk menguji peraturan perundangan dibawah UU
terhadap UU. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK). Mempunyai kewenangan
menguji UU terhadap UUD45. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang untuk:
Pertama, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang keputusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (Judicial
Review), memutuskan sengketa kewenangan lembaga Negara, memutuskan
pembubaran partai politk, memutuskan perselisihan tentang pemilihan umum.
Kedua, memberikan putusan pemakzulan (impeachment) atau menurunkan
Presiden dan/atau wakil presieden aras permintaan DPR karena melakukan
pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana

berat,

atau

perbuatan

yang

tercela.

Mahkamah Agung (MA).


Kewenangannya adalah menyelenggarakan kekuasaan peradilan yang
berada dilingkunan peradilan umum, militer, agama, dan tata usaha Negara. MA

berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon Hakim diajukan oleh Komisi
Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh
Hakim Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan
Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif. Mahkamah Agung bisa
Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau wakil
presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau
perbuatan tercela. kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran
Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif, Yudikatif berdiri
sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
Rekruitmen politik: penetapan calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah
Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya sesuai UU.
Sosialisasi politik: keputusan Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan
Eksekutif.

Mahkamah

Agung

bisa

Memberikan

putusan

pemakzulan

(impeachment) atau menurunkan presiden dan/atau wakil presieden atas


permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa pengkhianatan terhadap
Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau perbuatan tercela.
Komunikasi politik: kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama,
jadi peran Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif,
Yudikatif berdiri sendiri.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan badan Yudikatif di Indonesia sangat bervariasai dari masa
ke masa pada masa orde baru badan Yudikatif dikoreksi dengan dikeluarkannya
asas yudicial review akan tetapi pada prakteknya asas itu hanya menjadi teori dan
tidak dipraktekan pada sistem kerjanya, serta adanya praktek nepotisme dalam
perekrutan Hakim Agung. Pada saat Orde Baru memang ketua Mahkamah Agung
sudah tidak menjadi menteri tetapi dalam perekrutan Hakim harus diselingi oleh
nama militer maupun kejaksaan, jadi pemilihan anggota Yudikatif tidak objektif
sesuai dengan kemampuanya. Dan pada era Orde Baru badan Yudikatif pada
prakteknya tidak bisa memeriksa Presiden atau lembaga Eksekutif. Jadi saat era
demokrasi terpimpin, dan Orde Lama masih dikuasai oleh badan Eksekutif. Ini
juga disimpulkan bahwa lembaga Yudikatif pada era orde lama dan era orde baru
belum independen.
Pada saat era Reformasi penetapan calon Hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Pada era
reformasi lembaga Yudikatif terlepas dari kekuasaan presiden dan Yudikatif bisa
memeriksa badan Eksekutif, karena badan Yudikatif dalam prakteknya sama
dengan lembaga Eksekutif dan Legislatif. Masa reformasi, badan Yudikatif mulai
memperlihatkan banyak perubahan salah satu perubahan tersebut adalah,
amandemen ketiga UUD 1945 mengenai BAB kekuasaan kehakiman BAB IX
memuat beberapa perubahan yaitu pada pasal 24a, 24b, dan 24c yang dalam
amandemen itu menyebutkan bahwa penyelanggaraan kekuasaan kehakiman
terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi. Pada masa reformasi ini
banyak dibangun lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi
Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang

diharapkan dapat membangun sistem hukum Indonesia yang lebih baik lagi dari
masa masa sebelumnya.
B. Saran
1. Pemerintah
Sebagai pemegang kekuasaan hendaknya pemerintah dapat menjalankan
tugas dan pekerjaannya sesuai dengan aturan yang tentunya untuk kebaikan
bersama. UU yang dibuat hendaknya dilakukan dan diawasi dengan baik.
2. Lembaga Kehakiman
Lembaga Kehakiman merupakan lembaga netral yang bekerja untuk
keadilan, hendakanya dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan aturan dan UU
untuk melanyai seluruh masyrakat. Diharapkan juga untuk menegakan aturan
dengan seadil-adilnya.
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan subyak dan sasaran dari setiap aturan dan kebijkan
yang dibuat. Hendaknya masyarakat dapat menjadi pengawas pemerintahan dan
lembaga hukum negara agar menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu
masyarakat juga diharapkan dapat menaati aturan yang telah dibuat oleh lembaga
berwenang sesuai UU.

DAFTAR PUSTAKA
A.V. Dicey. 1952. Introduction to the Study of the Constitution, ed. Ke-9. London
Macmillan
Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmi TATA NEGARA. Jakarta: Erlangga

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama
Maria Farida Indrati, S. 2007. ILMU PERUNDANG-UNDANGAN 1, Jenis,
Fungsi, dan Materi Muatan. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mochtar Pabottinggi, Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik dalam
Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds).
Jakarta, Gramedia, 1993, p. 54.
Rahman H.I. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thomas C. Grey. Mplecular Motions: The Holmesian Judge in Theory and
Practice. 37William and Mary Law Review. 1995

MAKALAH
Fungsi Lembaga Yudikatif dalam Sistem Politik Indonesia
Pada masa Orde Baru dan Reformasi.

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Dasar Dasar Ilmu Politik

Disusun Oleh :
Nama

: Sendi Aris M

Npm

: 3506140198

Jurusan

: Ilmu Pemerintahan

SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

BINA PUTERA BANJAR


2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa. bahwa
penulis telah menyelesaikan tugas yang berjudul Fungsi Lembaga Yudikatif
dalam Sistem Politik Indonesia pada Masa Orde Baru dan Reformasi
dalam bentuk makalah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada rekan-rekan yang membantu
dalam menyelesaikan penulisan ini.

Banjar, Desember 2014

Penulis

Anda mungkin juga menyukai