PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman. Di Indonesia, kini dikenal adanya tiga badang yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut. Badan-badan itu adalah Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial.
Kekuasaan Negara yang absolut (mutlak) yang menguasai seluruh bidang
kehidupan negara sentalistik dalam satu kekuasaan akan melahirkan hasil yang
tidak efektif dan efisien bahkan cenderung menyimpang dari konstitusi dan
peraturan yang berlaku. Untuk itu kenyataan ini mendorong para filosof untuk
mencari solusi mengenai upaya distribusi kekuasaan agar merata dan tidak
menumpuk pada satu orang atau institusi kekuasaan saja. Pemikiran yang
dilahirkan oleh para filosof tersebut adalah salah satunya berupa teori Trias
Politica. Teori ini menyatakan bahwa kekuasaan negara perlu dilakukan
pemisahan dalam tiga bagian yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Pemisahan ini ditujukan untuk menciptakan efekstivitas dan evisiensi serta
transparansi pelaksanaan kekuasaan dalam negara sehingga tujuan nasional suatu
negara
dapat
terwujud
dengan
maksimal.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Badan Yudikatif
Badan Yudikatif adalah suatu badan yang memiliki sifat teknis-yuridis
yang berfungsi mengadili penyelewengan pelaksanaan konstitusi dan peraturan
perundang-undangan oleh institusi pemerintahan secara luas serta bersifat
independent (bebas dari intervensi pemerintah) dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya
(Rahman,
2007:215).
Badan Yudikatif pada umumnya yang ada bahwa tiap negara hukum masih
berpegang pada prinsip bebas dari campur tangan Badan Eksekutif. Tujuannya
adalah agar Badan Yudikatif dapat berfungsi dengan baik demi penegakan hukum
dan keadilan serta menjamin Hak Asasi Manusia. Pasal 10 Declaration of Human
Rights, memandang kebebasan dan tidak memihaknya badan-badan pengadilan di
dalam tiap-tiap negara sebagai sesuatu hal yang esensiil. Di beberapa negara
jabatan Hakim di angkat untuk seumur hidup. Contoh, Amerika Serikat dan
Indonesia (Rahman, 2007:217-218).
B. Badan Yudikatif di Indonesia
1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung Indonesia adalah peradilan yang menganut sistem kontinental.
Dalam sistem tersebut, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang
bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum dan menjaga agar semua
hukum dan Undang-Undang di seluruh wilayah negara ditetapkan secara tepat dan
adil serta memiliki sifat yang netral dari intervensi pemerintah (independent).
Menurut UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman tanggal 17 Desember 1970, antara lain dalam pasal 10 ayat 2
disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam
arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-
putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain yaitu yang meliputi keempat
lingkungan peradilan yang masing-masing terdiri dari:
Peradilan Umum
Peradilan Agama
Peradilan Militer
Peradilan Tata Usaha Negara.
Fungsi Peradilan
Fungsi Pengawasan
Fungsi Pengaturan
Fungsi Memberi Nasihat
Fungsi Administrasi
peraturan
dari
tingkat
yang
lebih
tinggi.
1985
tentang
Mahkamah
Agung).
pemberian/penolakan
Fungsi
Administratif.
Pertama,
Grasi
dan
Rehabilitasi.
mengatur
badan-badan
Peradilan
(Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha
Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua,
mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan.
Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan
Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan
Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat
Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing
memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui
jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3)
wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan
militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6)
ketua muda pidana Mahkamah Agung RI; (7) ketua muda pembinaan Mahkamah
Agung RI; (8) ketua muda perdata niaga Mahkamah Agung RI; (9) ketua muda
pidana khusus Mahkamah Agung RI, dan; (10) ketua muda perdata Mahkamah
Agung RI. Selain para pimpinan, kini Mahkamah Agung memiliki 37 orang
Hakim Agung sementara menurut Undang-undang Nomor 5 tahun 2004
Mahkamah Agung diperkenankan untuk memiliki Hakim Agung sebanyakbanyaknya enam puluh (60) orang.
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir (sifatnya final) atas pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi juga wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden/Wapres diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa penkhianatan terhadap negara, korupsi, tindak
penyuapan, tindak pidana berat atau perbuatan tercela. Atau, seputar
Presiden/Wapres tidak lagi memenuhi syarat untuk melanjutkan jabatannya.
Mahkamah Konstitusi hanya dapat memproses permintaan DPR untuk memecat
Presiden dan atau Wakil Presiden jika terdapat dukungan sekurang-kuranya dua
per tiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua per tiga dari jumlah anggota DPR.
Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas 9 orang anggota Hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari 9 orang tersebut, 1 orang menjabat
Ketua sekaligus anggota, dan 1 orang menjabat wakil ketua merangkap anggota.
Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi masing-masing menjabat selama 3
tahun.
disampaikan
kepada
Presiden
dan
DPR.
sebagai
pejabat
negara
lain,
Hakim,
advokat,
notaris/PPAT,
BAB III
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Sistem Politik Di Indonesia
1. Orde Baru
Pada saat Orde Baru Soeharto menjabat sebagai Presiden ditandai dengan
adanya Supersemar. Saat Orde Baru pemerintah ORBA bertekat untuk
menjalankan UUD 1945 dan pancasila secara murni dan konsekuwen. Pada saat
Orde Baru menggunakan sistem demokrasi pancasila yang di bawah
kepemimpinan Soeharto dan menganut sistem Presidensial dimana lembagalembaga pemerintahan (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif) setara. Tetapi aturan
tersebut kurang begitu baik dijalani malahan sering dan selalu terjadi pelanggaranpelanggaran.
Pada saat kepemimpinan Soeharto begitu kuatnya kepemimpinan atau
kekuasaan Presiden dalam menopang dan mengatur seluruh proses politik, dan itu
semua
mengakibatkan
terjadinya
sentralistik
kekuasaan
pada
Presiden.
Akibat dari kuatnya kekuasaan Presiden atas pemerintahan maka indikator dari
demokrasi tidak terlaksana, yaitu rotasi kekuasaan Eksekutif tidak ada, rekruitmen
politik di batasi, KKN merajalela dan berbagai tindak lain yang melanggar aturan.
Kepemimpinan Soeharto banyak sekali diwarnai dengan adanya lobi politik yang
tidak sehat. Maka dapat disimpulkan bahwa memang benar hubungan komunikasi
pribadi lebih menentukan dibandingkan dengan saluran komunikasi formal.
Kemacetan yang dialami sistem politik Indonesia saat itu menunjukkan bahwa
pada akhirnya komunikasi antar partai politik yang mendudukkan wakilnya di
DPR/MPR tidak dapat lagi bisa menampung aspirasi rakyat.
Contoh yang paling lengkap adalah bagaimana kekuasaan politik
Indonesia pada masa terakhir Orde Baru berpusat pada Presiden. Seluruh proses
komunikasi sistem politik Indonesia akhirnya tergantung pada satu tangan,
Presiden. Badan Legislatif tidak lagi berfungsi sebagai suara rakyat tetapi tak lain
hanya mendukung Presiden. Kritik yang terlalu keras dilontarkan oleh anggota
DPR/MPR
akan
berakhir
dengan
pemberhentikan
tidak
hormat.
komunikasi itu tidak boleh lepas sedikitpun ketika anggota DPR itu sangat vokal
dankritis.
Setelah masyarakat Indonesia bosan tentang sistem politik yang
dijalankan pada saat ORBA maka puncaknya atas tuntutan seluruh masa (dimotori
oleh Mahasiswa) maka tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri stelah terjadi pemberontakan dan demo sehingga Presiden diganti oleh Wapres
Prof.B.JHabibi.
2. Reformasi
Setelah masa ORBA telah runtuh maka kemudian munculah masa
Reformasi, pada saat masa Reformasi masih menggunakan demokrasi pancasila
dan menganut sistem pemerintahan Presidensial. Pelaksanaan demokrasi pancasila
pada era Reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun
DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
Saat masa Reformasi kemerdekaan dan kebebasan pers sebagai media komunikasi
politik yang efektif di sahkan, tidak seperti pada saat ORBA yang diliput pers
hanya
kebaikan
pemerintah,
kemudian
hal
itu
yang
diberitakan.
Dalam era Reformasi ini upaya untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam
kegiatan pemerintah semakin terbuka, sehingga sosialisasi politik pun berjalan
dengan baik.
Pemerintahan era Reformasi merupakan awal untuk menjadi negara yang
demokratis, yang sesuai dengan Amandemen UUD 1945 untuk mengatur
kekuasaan dalam negara agar lebih demokratis dan berjuang untuk menghindari
berbagai pelanggaran. Dengan tumbuhnya keterbukaan dalam komunikasi politik,
masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Bahkan aksi-aksi protes sebagai
sebuah masukan kedalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh.
Puncak pengekangan itu terlihat dari paket UU Politik dimana asas tunggal partai
adalah Pancasila.
ketentuan
mengenai
hal
tersebut.
berat,
atau
perbuatan
yang
tercela.
berwenang mengadili pada tingkat kasasi. Calon Hakim diajukan oleh Komisi
Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, dan ditetapkan sebagai
Hakim Agung oleh Presiden. Ketua dan wakil ketua MA dipilih dari dan oleh
Hakim Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Keputusan
Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan Eksekutif. Mahkamah Agung bisa
Memberikan putusan pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau wakil
presieden aras permintaan DPR karena melakukan pelanggaran berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, atau
perbuatan tercela. kedudukan Yudikatif, Eksekutif, Legislatif sama, jadi peran
Yudikatif tidak bisa dipengaruhi oleh Eksekutif atau Legislatif, Yudikatif berdiri
sendiri tanpa campur tangan pihak lain.
Rekruitmen politik: penetapan calon Hakim dilakukan oleh Mahkamah
Agung, Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya sesuai UU.
Sosialisasi politik: keputusan Mahkamah Agung terlepas dari kekuasaan
Eksekutif.
Mahkamah
Agung
bisa
Memberikan
putusan
pemakzulan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan badan Yudikatif di Indonesia sangat bervariasai dari masa
ke masa pada masa orde baru badan Yudikatif dikoreksi dengan dikeluarkannya
asas yudicial review akan tetapi pada prakteknya asas itu hanya menjadi teori dan
tidak dipraktekan pada sistem kerjanya, serta adanya praktek nepotisme dalam
perekrutan Hakim Agung. Pada saat Orde Baru memang ketua Mahkamah Agung
sudah tidak menjadi menteri tetapi dalam perekrutan Hakim harus diselingi oleh
nama militer maupun kejaksaan, jadi pemilihan anggota Yudikatif tidak objektif
sesuai dengan kemampuanya. Dan pada era Orde Baru badan Yudikatif pada
prakteknya tidak bisa memeriksa Presiden atau lembaga Eksekutif. Jadi saat era
demokrasi terpimpin, dan Orde Lama masih dikuasai oleh badan Eksekutif. Ini
juga disimpulkan bahwa lembaga Yudikatif pada era orde lama dan era orde baru
belum independen.
Pada saat era Reformasi penetapan calon Hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan Hakim Agung dipilih berdasarkan kualitasnya. Pada era
reformasi lembaga Yudikatif terlepas dari kekuasaan presiden dan Yudikatif bisa
memeriksa badan Eksekutif, karena badan Yudikatif dalam prakteknya sama
dengan lembaga Eksekutif dan Legislatif. Masa reformasi, badan Yudikatif mulai
memperlihatkan banyak perubahan salah satu perubahan tersebut adalah,
amandemen ketiga UUD 1945 mengenai BAB kekuasaan kehakiman BAB IX
memuat beberapa perubahan yaitu pada pasal 24a, 24b, dan 24c yang dalam
amandemen itu menyebutkan bahwa penyelanggaraan kekuasaan kehakiman
terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah konstitusi. Pada masa reformasi ini
banyak dibangun lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi
Ombudsman Nasional (KON) dan Komisi Hukum Nasional (KHN) yang
diharapkan dapat membangun sistem hukum Indonesia yang lebih baik lagi dari
masa masa sebelumnya.
B. Saran
1. Pemerintah
Sebagai pemegang kekuasaan hendaknya pemerintah dapat menjalankan
tugas dan pekerjaannya sesuai dengan aturan yang tentunya untuk kebaikan
bersama. UU yang dibuat hendaknya dilakukan dan diawasi dengan baik.
2. Lembaga Kehakiman
Lembaga Kehakiman merupakan lembaga netral yang bekerja untuk
keadilan, hendakanya dalam pelaksanaan tugasnya sesuai dengan aturan dan UU
untuk melanyai seluruh masyrakat. Diharapkan juga untuk menegakan aturan
dengan seadil-adilnya.
3. Masyarakat
Masyarakat merupakan subyak dan sasaran dari setiap aturan dan kebijkan
yang dibuat. Hendaknya masyarakat dapat menjadi pengawas pemerintahan dan
lembaga hukum negara agar menjalankan tugasnya dengan baik. Selain itu
masyarakat juga diharapkan dapat menaati aturan yang telah dibuat oleh lembaga
berwenang sesuai UU.
DAFTAR PUSTAKA
A.V. Dicey. 1952. Introduction to the Study of the Constitution, ed. Ke-9. London
Macmillan
Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmi TATA NEGARA. Jakarta: Erlangga
MAKALAH
Fungsi Lembaga Yudikatif dalam Sistem Politik Indonesia
Pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Dasar Dasar Ilmu Politik
Disusun Oleh :
Nama
: Sendi Aris M
Npm
: 3506140198
Jurusan
: Ilmu Pemerintahan
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan rekan-rekan kami,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangankekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada rekan-rekan yang membantu
dalam menyelesaikan penulisan ini.
Penulis