Anda di halaman 1dari 34

BAB 1

PENDAHULUAN
Karsinoma hepatoselular (Hepatocellular Carcinoma = HCC) meliputi 5,6%
dari seluruh kasus kanker pada manusia serta menempati peringkat kelima pada lakilaki dan kesembilan pada perempuan sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan
ketiga dari kanker sistem saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker
lambung. Tingkat kematian (rasio antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat
tinggi, di urutan kedua setelah kanker pankreas. Secara geografis di dunia terdapat
tiga kelompok wilayah tingkat kekerapan HCC, yaitu tingkat kekerapan rendah (< 3
kasus); menengah (3-10 kasus); dan tinggi (> 10 kasus) per 100.000 penduduk.
Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia Timur dan Tenggara serta di Afrika
Tengah, sedangkan yang terendah di Eropa Utara, Amerika Tengah, Australia dan
Selandia Baru.1-3
HCC akan membunuh hampir semua pasien yang menderitanya dalam waktu
satu tahun. Pada tahun 1990, organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan
bahwa ada kira-kira 430,000 kasus HCC di seluruh dunia, dan suatu jumlah yang
serupa dari pasien-pasien yang meninggal sebagai suatu akibat dari penyakit ini.
Sekitar tiga per empat dari seluruh kasus HCC ditemukan di Asia Tenggara (China,
Hong Kong, Taiwan, Korea, dan Japan). HCC juga sangat umum ditemukan di Afrika
Sub-Sahara (Mozambique dan Afrika Selatan).3,4
Frekuensi HCC di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara adalah 500 kasus per
100.000 populasi. Frekuensi HCC diantara pribumi Alaska sebanding dengan yang
dapat ditemui di Asia Tenggara. Berlawanan dengannya, frekuensi HCC di Amerika
Utara dan Eropa Barat adalah jauh lebih rendah,< 5 kasus per 100.000 populasi.
Lebih jauh, data terakhir menunjukan bahwa frekuensi HCC di Amerika secara
keseluruhannya meningkat. Peningkatan ini disebabkan terutama oleh hepatitis C
(HCV). Di Amerika frekuensi HCC yang paling tinggi terjadi pada imigran-imigran
dari negara-negara Asia. Frekuensi HCC pada orang-orang kulit putih (Caucasians),
orang-orang Amerika keturunan Afrika dan Hispanics adalah yang paling rendah.1,5
1

Puncak insiden meningkat pada dekade ketiga hingga kelima kehidupan di


negara Barat, tetapi satu hingga dua dekade lebih awal di Asia dan Afrika. Alasan
utama dari insidensi yang tinggi di Asia dan Afrika adalah meningkatnya infeksi
kronis virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV). Studi di Asia mengenai
prevalensi HCC pada pasien terinfeksi HBV menunjukkan insiden kanker ini 100 kali
lebih besar pada pasien dengan infeksi HBV. Di cina, resiko menderita HCC
sepanjang hidup pada pasien hepatitis B kronik mendekati 40%.1-3
Di Eropa dan Jepang, HCV lebih sering ditemukan daripada HBV pada kasus
karsinoma hepatoseluler. Di Asia, HBV didapat sejak lahir melalui transmisi
perinatal, sedangkan HCV didapat secara primer selama masa remaja melalui
transfusi darah dan injeksi. Suatu analisis retrospektif menunjukkan bahwa karsinoma
hepatoseluler rata-rata muncul 30 tahun setelah infeksi HCV dan segera pada sirosis.
Insiden karsinoma hepatoseluler pada pasien sirosis dengan hepatitis C sebesar 1,54% pertahun. Dalam dekade terakhir, frekuensi HCC di Jepang meningkat, terutama
pada pasien sirosis dengan HCV. Hal yang sama juga terjadi di USA dan Eropa,
dimana berdasarkan frekuensi kasus sirosis yang berhubungan dengan HCV,
diperkirakan kasus baru HCC meningkat 250 kali lipat pada dekade berikutnya.3,6
Kebanyakan penderita yang datang ke rumah sakit sudah pada stadium lanujut
dan tidak tertolong lagi. Sedangkan pada stadium dini mereka tidak memeriksakan
dirinya karena mereka tidak merasakan keluhan atau gejala.2

BAB II
DAFTAR PUSTAKA
2.1 Definisi
Karsinoma hepatoselular merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari
hepatosit, demikian pula dengan karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma. Tumor
ganas hati lainnya, seperti kolangiokarsinoma dan sistoadenokarsinoma berasal dari
sel epitel bilier, sedangkan angiosarkoma dan leiomiosarkoma berasal dari sel
mesenkim. Dari seluruh tumor ganas hati yang pernah didiagnosis, 85% merupakan
karsinoma hepatoselular, 10% kolangiokarsinoma, dan 5% adalah jenis lainnya.2
2.2 Epidemiologi
Karsinoma hepatoselular ( hepatoma ) merupakan salah satu tumor yang paling
sering ditemukan didunia. Tumor ini sangat prevalen di daerah-daerah tertentu di Asia
dan Afrika subsahara, tempat insidensi tahunan mencapai 500 kasus per 100.000
populasi. Di Amerika Serikat dan di Eropa Barat, tumor ini jauh lebih jarang. Di
negara-negara dimana frekuensinya rendah seperti di Eropa dan Amerika , umur ratarata terdapat di sekitar 50-60 tahun. Sedangkan di negara-negara yang frekuensinya
tinggi banyak dijumpai pada umur lebih muda, di Asia tenggara seperti Singapura
kebanyakan penderita berumur 20-40 tahun.3,4
Di Indonesia angka kejadiannya belum dapat dikemukakan tetapi diperkirakan
tidak berbeda dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Thailand.
Penelitian Noer dkk, menunjukkan kanker hepatoselular di Indonesia paling banyak
ditemukan pada umur antara 50-60 tahun laki-laki lima kali lebih banyak dibanding
wanita.5

2.3 Etiologi
A. Virus hepatitis B (HBV)
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti kuat,
baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah
yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan HCC yang tinggi. Di
Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai resiko untuk terjadinya HCC 102
kali lebih tinggi daripada resiko bagi yang bukan pengidap. Juga ditengarai bahwa
kekerapan HCC yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah
diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi
merupakan faktor resiko penting, karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan
terjadinya persistensi (kronisitas).2-5
Karsinogenesitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi
kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel
pejamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada
dasarnya perubahan hepatosit dari kondisi inaktif (quiescent) manjadi sel yang aktif
bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara
tidak langsung oleh kompensasi proliferatif merespon nekroinflamasi sel hati, atau
akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat
HBV.2-5
B. Virus hepatitis C (HCV)
Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko
penting dari HCC. Meta analisis dari 32 penelitian kasus-kelola menyimpulkan
bahwa resiko terjadinya HCC pada pengidap infeksi HCV adalah 17 kali lipat
dibandingkan dengan resiko pada bukan pengidap. Koeksistensi infeksi HCV kronik
dengan infeksi HBV atau dengan peminum alkohol meliputi 20% dari kasus HCC. Di
area hiperendemik HBV seperti Taiwan, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada
kasus HCC dengan HbsAg-negatif daripada yang HbsAg-positif. Juga ditemukan
bahwa prevalensi HCV-RNA dalam serum dan jaringan hati lebih tinggi pada pasien
HCC dengan HbsAg-negatif dibandingkan dengan yang HbsAg-positif. Ini
4

menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis HCC pada
pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok pasien penyakit hati akibat
transfusi darah dengan anti-HCV positif, interval antara saat transfusi hingga
terjadinya HCC dapat mencapai 29 tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV
diduga melalui aktifitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.2-5
C. Sirosis hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor resiko utama HCC di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Setiap tahun 3-5% dari pasien SH akan
menderita HCC, dan HCC merupakan penyebab utama kematian pada SH. Otopsi
pada pasien SH mendapatkan 20-80% diantaranya telah menderita HCC. Pada

60-

80% dari SH makronodular dan 3-10% dari SH mikronodular dapat ditemukan


adanya HCC.2-6
D. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA.
Salah

satu

mekanisme

hepatokarsinogenesisnya

ialah

kemampuan

AFB1

menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Beberapa
penelitian dengan menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Swaziland,
Cina dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin
dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas HCC. Resiko relatif HCC dengan
aflatoksin saja adalah 3,4, dengan infeksi HBV kronik resiko relatifnya 7, dan
meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan mengkonsumsi aflatoksin.2-6
E. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika
Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya
5

peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2) dibandingkan dengan
kelompok individu dengan IMT normal. Seperti diketahui, obesitas merupakan faktor
resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), khususnya nonalcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan
kemudian dapat berlanjut menjadi HCC.2-5
F. Diabetes melitus
Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan faktor resiko baik untuk
penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan
steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Disamping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan
faktor promotif potensial untuk kanker.2,3
Indikasi kuatnya asosiasi antara DM dan HCC terlihat dari banyak penelitian,
antara lain penelitian kasus-kelola oleh Hasan dkk yang melaporkan bahwa dari 115
kasus HCC dan 230 pasien non-HCC, rasio odd dari DM adalah 4,3, meskipun diakui
bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya sudah menderita sirosis hati. Penelitian
kohort besar oleh El Serag dkk yng melibatkan 173.643 pasien DM dan 650.620
pasien bukan DM menemukan bahwa insidensi HCC pada kelompok DM lebih dari 2
kali lipat dibandingkan dengan insidensi HCC kelompok bukan DM. Insidensi juga
semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang dari 5 tahun hingga lebih
dari10 tahun). DM merupakan faktor resiko HCC tanpa memandang umur, jenis
kelamin, dan ras, dengan angka resiko 2,16 (CI 95%: 1,86-2,52, p<0,0001).6
G. Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
alkohol (>50-70 g/hari dan berlangsung lama) beresiko untuk menderita HCC melalui
sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya karsinogenik langsung dari alkohol.
Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan HCC pada
pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC
6

juga meningkat secara bermakna pada pasien dengan HBsAg- positif atau anti-HCV
positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV
maupun infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alkohol merupakan prediktor bebas
untuk terjadinya HCC pada pasien dengan hepatitis kronik atau sirosis akibat infeksi
HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan
sedikit alkohol tidak meningkatkan resiko terjadinya HCC.2,3,5
H. Faktor resiko lain
Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang merupakan
faktor resiko HCC namun lebih jarang dijumpai, antara lain :
1). Penyakit hati autoimun
Hepatitis autoimun; PBC/ sirosis bilier primer
2). Penyakit hati metabolik
Hemokromatosis genetik; defisiensi antitripsin-alfa; penyakit Wilson
3). Senyawa kimia
Thorotrast; vinil klorida; nitrosamin; insektisida organoklorin; asam tanik
4). Tembakau (masih kontroversial).2,4
2.4 Klasifikasi
Karsinoma hati primer dibedakan atas:
1. Karsinoma yang berasal dari :
- sel-sel hati disebut karsinoma hepatoselular
- sel-sel saluran empedu disebut karsinoma kolangioselular
- campuran kedua sel tersebut disebut kolangiohepatoma
2. Kasinoma yang berasal dari jaringan ikat :
- Fibrosarkoma
- Hemangioma-endotelioma maligna
- Limfoma maligna

- Leiomiosarkoma

Menurut WHO secara histologik HCC dapat diklasifikasikan berdasarkan


organisasi struktural sel tumor sebagai berikut:
1) Trabekular (sinusoidal),
2) Pseudoglandular (asiner),
3) Kompak (padat),
4) Serous.

Secara makroskopis dibedakan atas :


a.

Tipe massif
Biasanya di lobus kanan, batas tegas, dapat disertai nodul-nodul kecil di
sekitar massa tumor, bisa dengan atau tanpa sirosis.

b.

Tipe nodular
Terdapat nodul-nodul tumor dengan ukuran yang bervariasi tersebar diseluruh
hati.

c.

Tipe difus
Secara makroskopis sukar ditentukan daerah massa tumor.5

2.5 Patogenesis
Mekanisme karsinogenesis HCC belum sepenuhnya diketahui. Apapun agen
penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi melalui peningkatan
perputaran (turn over) sel hati yang diinduksi oleh cedera dan regenerasi kronik
dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini dapat menimbulkan
perubahan genetik seperti perubahan kromosom, aktivasi onkogen seluler atau
inaktivasi gen supresor tumor yang mungkin bersama dengan kurang baiknya
penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi faktor-faktor
pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alkohol dan panyakit hati
metabolik seperti hemokromatosis dan defisiensi antitripsin-alfa 1 mungkin
menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan
sirosis). Dilaporkan bahwa HBV dan mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu juga

berperan langsung pada patogenesis molekular HCC. Aflatoksin dapat menginduksi


mutasi pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan
juga

berperan

pada

tingkat

molekular

untuk

berlangsungnya

proses

hepatokarsinogenesis.1,4,6
Secara makroskopis biasanya tumor berwarna putih, padat, kadang nekrotik
kehijauan atau hemoragik. Acap kali ditemukan trombus tumor di dalam vena
hepatika atau porta intrahepatik. Pembagian atas tipe morfologisnya adalah:
1. Ekspansif
Batas jelas, tipe ekspansif lebih sering ditemukan pada hati non-sirotik.
2. Infiltratif
Menyebar atau menjalar.
3. Multifokal.6
Karakteristik terpenting untuk memastikan HCC pada tumor yang diameternya
lebih kecil dari 1,5 cm adalah bahwa sebagian besar tumor hanya terdiri dari sel-sel
yang berdiferensiasi baik, dengan sedikit atipia selular atau struktural. Bila tumor ini
berproliferasi, berbagai variasi histologik beserta de-diferensiasinya dapat terlihat di
dalam nodul yang sama. Nodul kanker yang berdiameter kurang dari 1 cm,
seluruhnya terdiri dari jaringan kanker yang berdiferensiasi baik. Bila diameter tumor
antara 1-3 cm, 40% dari nodulnya terdiri atas lebih dari 2 jaringan kanker dengan
derajat diferensiasi yang berbeda-beda.3,5
2.6 Gejala Klinis
Di Indonesia HCC ditemukan tersering pada dekade kelima dan keenam,
dengan predominasi pada laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan perempuan
berkisar antara 2-6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari asimptomatik
hingga dengan gejala dan tanda yang sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang
paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan
atas abdomen. Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya, disertai nyeri
abdomen atau teraba pembengkakan lokal di hepar patut dicurigai menderita HCC.
Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre9

koma setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan
HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak.
Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu,
penurunan berat badan dengan atau tanpa demam.1,2
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau diare.
Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma, atau
karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar pasien HCC sudah menderita
sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun yang sudah
menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penurunan berat
badan dan ikterus.4,6
Penemuan fisik tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa
bruit hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari
pasien yang dirujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bakterial spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Suatu laporan
serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita asites
hemoragik, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga
40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi
enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya kontrol
umpan balik yang normal pada sel hepatoma.3,5
2.7 Deteksi Dini dan Diagnosa Kanker Hati Selular ( Hepatoma )
Dengan perkembangan teknologi yang canggih dan kian maju pesat, maka
berkembang pulalah cara-cara diagnosa dan terapi yang lebih menjanjikan dewasa ini.
Kanker hati selular yang kecil pun sudah bisa dideteksi awal terutamanya dengan
pendekatan radiologi yang akurasinya 70-95% dan pendekatan laboratorium
alphafetoprotein yang akurasinya 60-70%.

Kriteria diagnosis HCC menurut Barcelona EASL Conference : 2


1. Kriteria sito-histologis
10

2. Kriteria non-invasif (khusus untuk pasien sirosis hati):


a. Kriteria radiologis
Koinsidensi 2 cara imaging (USG/ CT-spiral/ MRI/ angiografi). Ditemukan lesi
fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial.
b. Kriteria kombinasi
Suatu cara imaging dengan kadar AFP serum : Ditemukan lesi fokal > 2 cm
dengan hipervaskularisasi arterial dan kadar AFP serum 400 ng/ml.

Gambar USG Hepatoma8


Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular menurut PPHI ( Perhimpunan Peneliti
Hati Indonesia ), yaitu :
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP ( Alphafetoprotein ) yang menigkat lebih dari 500 mg/ml.
3. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scan (CT
Scann ), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy, ataupun Positron
Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.
5.

Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya Kanker
Hati Selular.2,6,7

11

Diagnosa kanker hati selular didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima
kriteria atau hanya satu kriteria empat atau lima.2
2.8 Stadium Kanker Hati
Stadium

: satu fokal tumor berdiameter < 3 cm yang berbatas hanya


pada salah satu segment tetapi bukan di segment I hati.

Stadium

II

: satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada


segment I atau multifokal tumor terbatas pada lobus kanan
atau kiri hati.

Stadium

III

: tumor pada segment I meluas ke lobus kiri ( segment IV )


atau ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan
invasi peripheral ke sistem pembuluh darah ( vascular ) atau
pembuluh empedu ( biliary duct ) tetapi hanya terbatas pada
lobus kanan atau lobus kiri hati.

Stadium

IV

: multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan


dan lobus kiri hati.
-

atau tumor denagn invasi ke dalam pembuluh darah hati


(intra hepaticvascular) ataupun pembuluh empedu
(biliary duct).

atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati


(extra hepatic vessel) ataupun pembuluh darah limpa
(vena lienalis).

Atau vena cava inferior.

Atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic


metastase

2.9 Pemeriksaan penunjang


LABORATORIUM

12

Pemeriksaan laboratorium akan menunjukkan gangguan tes fungsi hepar berupa


peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan gamma glutamyltranspeptidase.
SGOT dan SGOT bahkan meningkat 2-3 kali di atas normal. Rata-rata pasien datang
dengan anemia. Jika terdapat nekrosis tumor dan demam, leukosit akan mengalami
peningkatan.
Alfa fetoprotein (AFP) dan Protein Induced by Absence of Vitamin K or by
antagonist II (PIVKA-II) merupakan tumor marker spesifik untuk hepatoseluler
karsinoma.
AFP merupakan protein yang diproduksi hepar, memiliki berat molekul 65.000
dengan susunan asam amino yang mirip dengan albumin. Protein ini dulunya
berperan penting dalam pengaturan tekanan koloid osmotik janin dan sebagai
pengikat estrogen. Protein ini normal ada pada fetus namun menghilang beberapa
minggu setelah lahir. Pada orang dewasa normal, kadar AFP normalnya kurang dari
10-20 mg/ml. Pasien dengan hepatoseluler karsinoma berukuran kecil biasanya hanya
mengalami sedikit ataupun tidak ada peningkatan kadar AFP. Peningkatan kadar lebih
400 ng/ml biasanya ditemukan pada tumor-tumor yang besar atau tumor yang pesat
pertumbuhannya dan kadar yang besarnya lebih dari 3000 ng/ml hampir selalu dapat
memastikan diagnosis tumor ini. Kenaikan kadar AFP yang ringan ditemukan pada
penderita sirosis tanpa keganasan. Peningkatan sementara AFP juga ditemukan pada
pasien dengan penyakit hepar atau sirosis. Pengukuran kadar AFP digunakan dalam
memonitor rekurensi tumor sebab kadarnya seharusnya menurun setelah reseksi
tumor. Studi terakhir juga menunjukkan adanya korelasi antara peningkatan kadar
AFP, stadium tumor dan prognosis. Pada orang dewasa, kadar AFP yang tinggi (> 500
ng/ml) juga dapat ditemukan pada keadaan:

Germ cell tumor (Ca testis dan ovarium)

Karsinoma yang metastasis pada hepar

Wanita hamil terutama dengan janin yang memiliki kelainan defek saluran
neural

13

Sensitifitas AFP untuk karsinoma hepatoseluler adalah berkisar 60%,


kepustakaan lain menyebut angka 65-75%. Sensitifitas PIVKA-II berkisar 55-62%.
Pengukuran kadar AFP dan PIVKA-II saling melengkapi satu sama lain dalam
menegakkan diagnosis hepatoseluler karsinoma.
Tumor marker lain yang sedang diselidiki kaitannya dengan tumor ini adalah
des-gamma-carboxyprothrombin (DCP) yang merupakan varian enzim gammaglutamyltransferase dan varian enzim lainnya, misal alpha-L-fucosidase.
Pemeriksaan Penunjang lainnya
1.

Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks perlu dikerjakan secara rutin dan berguna untuk melihat peninggian
diafragma kanan dan ada tidaknya gambar metastasis ke paru. Pada umumnya tumor
hati yang letaknya dekat diafragma, bila mengalami pembesaran akan mendesak
diafragma. Kanker hepatoselular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan
berbentuk kebulatan ( nodule ) satu buah, dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak
dan diffuse ( merata pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri
membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.2,3
2. Ultrasonografi ( USG )
Dengan USG ditemukan adanya hati yang membesar, permukaan yang
bergelopmbang dan lesi-lesi fokal intra hepatik. Biasanya menunjukkan struktur eko
yang lebih tinggi disertai dengan nekrosis sentral berupa gambaran hipoekoik sampai
anekoik akibat adanya nekrosis, tepinya ireguler.7
3. Computed Tomografi Scan ( CT Scan)
Pada kanker hati primer, akan memperlihatkan suatu massa dengan densitas
rendah bila dibandingkan dengan jaringan yang normal.2
4. Sintigrafi Hati
Sintigrafi hati sering dipakai untuk mendeteksi lkelainan hati. Untuk melihat
kelainan hati secara sintigrafi, biasanya dipakai zat radiofarmaka 113In, 99mTc.
14

Pemetriksaan sintigrafi bergantung pada aktivitas fungsi fagosit hati. Pada kanker
Hati primer akan memperlihatkan penampungan zat radiofarmaka karena kamker hati
merupakan suatu kelaiana yang vaskuler dan masih bersifat memiliki aktivitas
metabolisme.3
5. Angiografi
Angiografi bermanfaat untuk menentukan lokasi, diagnosis dan menentukan
apakah dapat di operasi atau tidak serta untuk melihat seberapa luas kanker yang
sebenarnya. Kanker yang kita lihat USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan
ukuran USG bisa saja ukuran yang senenarnya dua atau tiga kali lebih besar.3
6. Magnetic Resonansi Imaging ( MRI )
Dengan MRI dapat menjelaskan secara akurat ( tepat ) keterlibatan parenkim
dan batas-batas tumor. Struktur vaskuler, yerutama vena hepatic dan vena kava
inferior, lebih jelas bahkan pada pasien terkecil sekalipun. MRI lebih dapat menetkan
secara lebih akurat stadium tumor sebelum pengobatan dibanding CT Scan.3
7. Biopsi hati
Biopsi hati menggunakan teknik biopsi aspirasi jarum halus ( fine needle
aspiration biopsy ) terutama untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada
pemeriksaan radiology imaging dan laoratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma.
Biopsi dilakukan sesuai dengan petunjuk USG atau CT Scan dan mempunyai nilai
diagnostik dan akurasi yang lebih tinggi.3,4

2.10 Pengobatan
Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan
radiologi dan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah ( soliter / multipel ) dan
15

ukuran tumor, atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker
sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis ke tempat lain. Untuk
pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati normal
pilihan terapinya adalah reseksi hepatik, sedangkan bagi pasien dengan sirosis hati,
transpalntasi hati memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan
menggantikan perenkim hati yang mengalami disfungsi.1,2
Pilihan pengobatan diantaranya reseksi, transplantasi, kemo-embolisasi arteri
hepatika, injeksi etanol intratumor, dan krioablasi. Kemoterapi sistemik dan terapi
radiasi sangat dibatasi. Pilihan terapi sangat individual karena tidak ada terapi tunggal
yang berdiri sendiri. Transplantasi hati ditujukan pada pasien dengan tumor berukuran
kecil, tanpa penyakit ekstrahepatik, dan fungsi hati yang buruk.1,8,9
A. Penanganan Non Bedah
1. Transcatheter Arterial Chemoembolisation (Tae / Tace)
Teknik ini merupakan kombinasi kemoterapi intraarterial dan oklusi arteri
hepatica dengan materi embolisasi dengan tujuan memperpanjang waktu kontak
antara tumor dengan agen dan untuk menginduksi nekrosis massif dari tumor secara
iskemik. Pertama kali diperkenalkan oleh Goldstein dan dikembangkan oleh Yamada.
Agen kemoterapi dapat diinfus ke hepar sebelum atau sesudah hepar diembolisasi
dengan bubuk busa gelatin. Penggunaan CO 2 microbubble-angiosonography dapat
membantu melokalisir vaskuler tumor. TACE tidak diindikasikan pada pasien dengan
kadar total bilirubin melebihi 3 mg/dl. Jika kadar bilirubin total melebihi 2 mg/dl,
area hepar yang akan diembolisasi tidak boleh melebihi 1-2 level Couinaud.
Komplikasi post TACE atau yang lebih dikenal sebagai Post Embolisation Syndrome
dapat berupa nyeri perut (59%), demam (47%), ulkus gaster-duodenum, pankreatitis
dan kolesistitis. Hal ini dapat diatasi dengan dipyrone atau hidrokortison.
2. PERCUTANEOUS ETHANOL INJECTION (PEI / PEIT)

Prinsip PEI adalah dengan efek degeneratif protein dan efek trombotik dapat
menginduksi nekrosis tumor. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Shinigawa

16

pada tahun 1985. Dengan anestesi lokal pada kulit dinding abdomen dan kapsul
hepar, jarum Chiba ukuran 22 dimasukkan perkutaneus ke tumor dibawah bimbingan
USG. Alkohol absolute (99,5%) diinjeksi perlahan. Kontraindikasi penggunaannya
adalah bila pasien tidak kooperatif dan adanya kelainan pembekuan darah.
B. PENANGANAN BEDAH
Terapi definitive bagi HCC yang resektabel adalah operasi. Bila tumor
resektabel, penentuan seberapa besar hepar dapat direseksi bergantung lokasi, ukuran
tumor, jumlah nodul, kedekatan tumor dengan struktur pembuluh darah dan
keparahan penyakit hepar penyerta. Ahli bedah berpendapat batas 1 cm diluar tumor
sudah cukup adekuat. Beberapa tipe reseksi untuk tumor ini adalah reseksi baji,
segmentektomi, lobektomi dan trisegmentektomi. Kriteria tumor unresektabel adalah:

Adanya kelainan ekstrahepatik

Adanya disfungsi hepar

Ekstensi tumor hanya sedikit hepar yang dapat disisakan setelah reseksi

Terbukti adanya metastasis/ekstensi ekstrahepatik

Tumor melibatkan vena hepatica-vena porta.

Pada pasien dengan sirosis hepatis, reseksi akan mempengaruhi survival karena:
- regenerasi sisa hepar tidak adekuat pada pasien dengan sirosis hepatic
- rekurensi tumor pada sisa hepar
- kelainan pembekuan darah yang abnormal
- reservasi hepar yang jelek
Komplikasi post reseksi adalah:

Komplikasi metabolik seperti hipoglikemia, hipoalbuminemia, koagulopati dan


hiperbilirubinemia

Perdarahan

Sepsis

17

Ulkus peptik

1. TRANSPLANTASI HEPAR
Penanganan HCC dengan cara transplantasi telah diperdebatkan oleh karena
kemampuan viabilitas organ donor dan rekurensinya setelah ransplantasi yang diduga
akibat sel-sel tumor yang bersirkulasi yang kemudian merusak donor. Pasien sebelum
transplantasi harus menjalani pemeriksaan lengkap khususnya CT Scan dan USG
abdomen untuk mengeksklude metastasis atau adanya limfonodus yang terkena.
Gugenheim dkk melaporkan rerata rekurensi post transplantasi hepar pada tumor
ukuran diameter < 5cm dan jumlah tumor 3 nodul 11,1% namun ukuran diameter >
5cm dan jumlah tumor 3 nodul mencapai 100%.
2. KEMOTERAPI
Kemoterapi sistemik baik tunggal maupun kombinasi hanya memiliki sedikit efek
terapi. Kemoterapi sistemik yang pertama digunakan adalah fluorouracil yang
berespon 0-10% dan median survival 3-5 bln. Fluorouracil ini kemudian dikombinasi
dengan asam folat dosis tinggi namun tetap tidak mempengaruhi hasil terapi. Respon
lebih baik dengan penggunaan Epirubicin dan Cisplatin. Obat kemoterapi yang
diyakini paling aktif adalah doxorubicin dengan rerata respons 19%. (3-32%).
Indikasi pemberian kemoterapi untuk tumor ini adalah:

Adanya kelainan ekstrahepatik

Tidak dapat dilakukan penanganan lain

Adanya trombosis vena porta

Status performans yang baik (Karnoffsky 70 ke atas)

Fungsi hepar yang baik


Saat ini beragam kemoterapi regional diuji terutama melalui infus intra arteri

hepatika setelah sebelumnya dilakukan laparotomy atau angiography. Agen dapat


diberi sekali, infus kontinu lewat syringe pump atau dengan kateter port untuk injeksi
jangka panjang. Alasan pemberian intraarteri adalah:
18

Suplai darah untuk karsinoma hepatoseluler melalui arteri hepatica sehingga

konsentrasi tinggi obat langsung ke tumor

Toksisitas sistemik yang lebih rendah

Obat-obat ini dimetabolisme di hepar

3. KRIOTERAPI
Terapi ini berupa pembekuan tumor pada batas 1 cm dari jaringan hepar yang
sehat dengan menggunakan nitrogen cair yang diinjeksi melalui cryopobe vakum
dibawah bimbingan USG atau selama laparoskopi atau laparotomi. Hanya ada data
terbatas dalam penggunaannya. Zhou dan Tang dkk melaporkan 37,9 % 5 year
survival rate pada 191 pasien dan 53,1% pada 56 pasien dengan tumor lebih kecil dari
5 cm. Terapi lanjut dengan ablasi alkohol setelah krioterapi dapat digunakan dalam
penanganan sisa tumor dan mengontrol rekurensi. Komplikasi lanjut adalah
kerusakan struktur berdekatan, terutama vena porta dan vena hepatica, paru serta
dapat terjadi gagal hepar.
4. TERAPI IMUN
Agen imunologi secara teori berguna dalam penanganan tumor ini. Interferon
yang diketahui memegang peranan dalam reproduksi virus misal hepatitis B/C dan
aktifitas sel-sel lymphokine activated killer (LAK) berkurang pada pasien dengan
tumor ini. Saat ini, imunoterapi dilaporkan belum menunjukkan dampak signifikan
pada survival dan beberapa komplikasi berat telah dilaporkan. Agen yang telah
dipelajari adalah interferon-(IFN- ) dan dikombinasi dengan doxorubicin atau
fluorouracil.
5. TERAPI HORMONAL
Terapi sistemik lain adalah dengan manipulasi endokrin. Penelitian dengan
terapi hormonal misal dengan antiestrogen dan antiandrogen dilaporkan terus

19

menunjukkan hasil menjanjikan. Saat ini terapi hormonal yang paling sering
digunakan adalah tamoxifen. Terapi hormonal dilakukan berdasarkan penyelidikan:
- Jaringan tumor mengandung reseptor estrogen dan androgen
- Predominansi tumor pada pria
- Kesuksesan dengan terapi hormonal pada tumor lain
6. RADIOTERAPI
Radioterapi eksternal memiliki keterbatasan dalam penanganan HCC. Dosis
aman untuk hepar mendekati 30 Gy. Radioterapi dapat berguna dari segi paliatif dan
untuk menghilangkan gejala. Sebagai alternatif lain, sejumlah radiasi lokal dapat
diberi dengan memberi infus Lipiodol intraarteri atau dengan antibodi antiferritin
yang diperkuat dengan yodium radioaktif.
7. TERAPI LAINNYA
Pilihan terapi lain adalah terapi gen, termoterapi, intra-arterial radiotherapy dan
yttrium-90 Proton therapy. Retinoic acid, flavinoid quercitin, octreotide dan herbal
medicine Inchin-ko-to juga dilaporkan memiliki efek pada tumor.
2.11 Prognosis
Pada umumnya prognosis kanker hepatoselular adalah jelek. Prognosis
hepatoma yang buruk berhubungan dengan ukuran tumor, fungsi hati yang tersisa,
dan adanya penyakit ekstrahepatik. Pada penyakit simptomatik yang tidak dapat
direseksi, angka harapan hidup 2 tahun < 5%. Tanpa pengobatan biasanya terjadi
kematian kurang dari satu tahun sejak keluhan pertama. Pada pasien kanker
hepatoselular stadium dini yang dilakukan pembedahan dan diikuti dengan pemberian
sitostatik, umur pasien dapat diperpanjang antara 4-6 tahun, sebaliknya pasien kanker
hepatoselular stadium lanjut mempunyai masa hidup yang lebih pendek.
BAB III
ILUSTRASI KASUS

20

Identitas Pasien
Nama

: Tn.Y

Jenis Kelamin

: Laki_laki

Umur

: 54 tahun

Alamat

: Taluk Kuantan

Pekerjaan

: Petani

Tanggal Masuk RS

: 18 Desember 2013

Tanggal Pemeriksaan : 19 Desember 2013


ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Nyeri di perut kanan atas sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang

1 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri di perut kanan atas, awalnya nyeri perut
hanya dirasakan sekali-sekali dan ringan, namun semakin hari semakin bertambah.
Nyeri perut tersebut tidak menjalar dan dirasakan saat istirahat maupun
beraktivitas, nyeri tidak berhubungan dengan makanan. Nafsu makan pasien
menurun, perut terasa penuh, mual, tidak ada muntah darah, kembung, lesu, berat
badan menurun 6 kg, demam (-). Pasien Sulit BAB sejak 2 minggu yang lalu.
BAK berwarna pekat seperti teh. Selama sakit pasien berobat ke dukun kampung.

4 hari SMRS, pasien merasakan perut kanan atas semakin nyeri, perut agak
membesar, ada benjolan di perut dan terasa menyesak ke atas sehingga dada terasa
sesak, tidak ada suara ngik saat bernafas, batuk tidak ada. Pasien juga merasakan
mual tetapi tidak muntah. Sulit BAB, BAK berwarna pekat seperti teh. Tidak ada
kaki bengkak. Pasien masih belum berobat ke dokter di rumah sakit Taluk Kuantan
dan dirujuk ke RSUD Arifin Achmad .

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi


21

Pasien tidak memiliki riwayat penyakit DM

Riwayat sakit kuning 7 tahun yang lalu

Tidak memiliki riwayat minum obat 6 bulan

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada riwayat keluarga menderita sakit kuning
- Tidak ada riwayat DM pada keluarga
- Tidak ada riwayat hipertensi dalam keluarga

Riwayat Kebiasaan :
-

Riwayat merokok sebanyak 2 bungkus sehari sampai sekarang

Riwayat minum alkohol sejak usia muda sampai sekarang

Riwayat mengkonsumsi kacang-kacang

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Komposmentis

Keadaan gizi

: Berat badan kurang

BB

: 46 kg

TB

: 160 cm

IMT

: 46 (1.60)2 = 17,96 kg/m2 (underweight)

Vital Sign
TD

: 110/70 mmHHg

Nadi

: 100 x/menit reguler, isi cukup, teraba baik

Pernafasan

: 22 x/menit

Suhu

: 36,5oC

Kepala
Mata

:Konjungtiva anemis(+), sklera ikterik, pupil isokor dengan


diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+)

22

Lidah

: Tidak kotor, faring tidak hiperemis.

Leher kiri

: KGB tidak ada pembesaran


JVP 5-2 cm H2O

Thorak
Paru :
-

I :

Dada simetris kiri dan kanan, gerak nafas simetris, tidak ada

bagian yang tertinggal.


-

Pa :

Vocal Fremitus kanan = kiri

Pe :

Sonor pada kedua lapangan paru.

Au :

Vesikuler kedua lapangan paru, wheezing (+/+), ronkhi(-/-)

Jantung :
-

I : ictus kordis tidak terlihat

Pa : ictus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Pe : Batas jantung kanan


Batas jantung kiri

: LSD
: 1 jari medial LMCS RIC V

Au : suara jantung normal, bising (-)

Abdomen :
-

: Perut tampak datar, venektasi (-)

Pa : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar teraba 4 jari di bawah arcus


costarum dextra dan 6 jari dari procesus xypoideus, teraba keras,
konsistensi padat, permukaan tidak rata, berbenjol-benjol, tepi tumpul,
tidak mobile, lien teraba di Scuffner 2- Scuffner 3.

Pe : Timpani, shifting dullnes (-).

Au : Bising usus (+) 8x/menit

Ekstremitas : Kulit tampak kuning, udem di kedua tungkai (+), pitting oedem (+),
akral hangat, CRT< 2 detik.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
23

Hasil Laboratorium : Tanggal 18 Desember 2013

Darah rutin
WBC

: 9,3 x 10-3/ul

HBG

: 9,8 gr%

RBC

: 3,34 x 106

HCT

: 29,0%

PLT

: 347 x 10-3

MCV

: 87 fl

MCH

: 28 pg

Kimia darah
Glu

: 82 mg%

Ureum

: 20,2 mg/dl

Creatinin

: 0,81 mg/dl

D bil

: 0,7 mg/dl

T bil

: 2,8 mg/dl

Indirect Bil

: 2,1 mg/dl

BUN

: 19 mg/dl

ALP

: 344 IU/dl

TP

: 5,7 gr/dl

AST

: 208 u/l ( meningkat)

ALT

: 121 u/l ( meningkat)

Elektrolit
Na : 135,3 mmol/L
K

: 4,16 mmol/L

CL : 104 mmol/ L
Imunologi

24

HBsAg : (+)
Anti HCV (-)

Gambaran darah tepi


E: Normositik normokrom
Anisopoikilositosis berat (sel target (+), ovalosit (+), sferosit (+))
L: Kesan jumlah lebih, morfologi N eosinofilia, dengan hitung jenis
14/6/0/75/12/7
T: Kesan jumlah cukup, morfologi N
Kesan: Anemia normositik normokrom, Hipereosinofilia

Hasil USG Abdomen : Tanggal 20 Desember 2013


-

hepar membesar, permukaan tidak rata dan terdapat massa hipoekoik


pada lobus dextra ukuran 15 x 19 cm

lien membesar

vesika velea membesar

ren dextra dan sinistra normal

vesika urinaria dalam batas normal

kesimpulan :
- hepatosplenomegali
- terdapat massa di lobus dextra hepar Hepatoma lobus dextra

RESUME
Tn.Y, 54 tahun, datang ke RSUD AA Pekanbaru dengan keluhan utama nyeri di
perut kanan atas sejak 8 jam SMRS. Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan
sakit perut kanan atas sejak 2,5 bulan yang lalu. Sakit perut tersebut tidak menjalar

25

dan dirasakan saat istirahat maupun beraktivitas. Pasien juga tidak nafsu makan, perut
terasa penuh, mual (+), kembung, lesu, berat badan menurun dan mata kuning. Perut
agak membesar, ada benjolan, menyesak ke atas sehingga dada terasa sesak. Mual
(+), muntah (-). Sakit perut kanan atas semakin hebat sejak 2 minggu SMRS, pasien
merasakan mata serta telapak tangannya berwarna kuning. Pasien juga mengeluhkan
sesak nafas sejak 40 tahun, sesak nafas hilang timbul, mendadak terutama muncul
pada malam hari, cuaca dingin, aktivitas yang berat, dan dalam keadaan emosi
(marah). Gejala sesak nafas 1 kali dalam seminggu, gejala sesak nafas malam > 2
kali dalam sebulan, sesak nafas dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Bila sesak
nafas timbul terdapat suara ngik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kulit serta kedua
telapak tangan terlihat kuning, konjungtiva anemis, sklera ikterik, nyeri tekan
epigastrium (-), hepar teraba 4 jari di bawah arcus costarum dextra dan 6 jari dari
procesus xypoideus, teraba keras, konsistensi padat, permukaan tidak rata, berbenjolbenjol, tepi tumpul, tidak mobile, lien teraba di Scuffner 2- Scuffner 3. Ekstremitas
kedua tungkai udem. Pitting udem (+). Auskultasi paru didapatkan wheezing (+/+).
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan kadar AST: 208 IU/dl, ALT: 121 IU/dl, ALP:
344 IU/dl, TP: 5,7 gr/dl, D Bil: 0,7 mg/dl, T Bil: 2,8 mg/dl, BUN: 19 mg/dl.
Gambaran darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom dan hipereosinofilia.
Dari USG Abdomen didapatkan Hepatoma lobus dextra hepar.
DAFTAR MASALAH
1. Hepatosplenomegali e.c hepatoma lobus dextra
2. Asma bronkial persisten ringan dengan serangan ringan
3. Anemia normositik normokrom

DIAGNOSIS
Hepatosplenomegali e.c hepatoma + Asma bronkial persisten ringan dengan serangan
ringan

26

RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi:
1. Tirah baring
2. Diet Hati tipe 2
3. Menghindari faktor pencetus
4. Pengendalian emosi
Farmakologi:
1. O2 3L/hari
2. IVFD Dextrose 5% 12 gtt/i
3. Omeprazole 1x20 mg
4. Dimenhidrinat 2x1
5. Solbutamol 3x4 mg
6. Injeksi dexametason 3x1 amp
RENCANA PEMERIKSAAN
CT-Scan Abdomen
Biopsi hati
Spirometri
Pemeriksaan feses rutin
Benzidin tes/tes darah samar

FOLLOW UP
Hari ke-1

27

: Nyeri perut kanan atas, sesak nafas, mual (+), nafsu makan menurun, perut
terasa penuh, kaki bengkak.

: Sklera ikterik, konjungtiva anemis nafas sesak, udem pada tungkai (+), hepar
teraba 5 jari BAC dan 9 jari BPX.
TD : 120/70 mmHg, nadi : 92x/mnt, pernafasan : 24 x/mnt, S : 36,60C
Wheezing (+/+)

: hepatosplenomegali e.c hepatoma + Asma bronkial

: - O2 3L/hari
- IVFD Dekstrose 5% 12 gtt/i
- Omeprazole 1x20 mg

Dimenhidrinat 2x1

Solbutamol 3x4 mg

Injeksi dexametason 3x1 amp

Hari ke-2
S

: Nyeri perut kanan atas, sesak nafas berkurang, mual (+), nafsu makan
menurun, perut terasa penuh, kaki bengkak.

: Sklera ikterik, konjungtiva anemis, udem pada tungkai (+), hepar teraba 5 jari
BAC dan 9 jari BPX.
TD : 120/70 mmHg, nadi : 92x/mnt, pernafasan : 24 x/mnt, S : 36,50C
Wheezing (+/+)

: hepatosplenomegali e.c hepatoma + asma bronkial

: - T/ lanjut

Hari ke-3

28

: Nyeri perut kanan atas, mual (+), nafsu makan menurun, perut terasa penuh,
kaki bengkak.

: Sklera ikterik, konjungtiva anemis, udem pada tungkai (+), hepar teraba 5 jari
BAC dan 9 jari BPX, asites (-)
TD : 130/80 mmHg, nadi : 124x/mnt, pernafasan : 17 x/mnt, S : 36,50C

: hepatosplenomegali e.c hepatoma

: IVFD RL:D5% 8 jam/kolf


Omeprazol 1x20 mg
Dimenhidrinat 2x1

Hari ke-4
S

: sesak nafas

: Sklera ikterik, konjungtiva anemis, hepar teraba 5 jari BAC dan 9 jari BPX
TD : 100/60 mmHg, nadi : 96x/mnt, pernafasan : 28 x/mnt, S : 36,50C
Wheezing (+/+)

: hepatosplenomegali e.c hepatoma + Asma bronkial

: - O2 3L/hari
- IVFD Dekstrose 5% 12 gtt/i
- Omeprazole 1x20 mg

Dimenhidrinat 2x1

Solbutamol 3x4 mg

Injeksi dexametason 3x1 amp

MST 1x1

Hari ke-5
S

: sesak nafas (-), BAB (+) warna kuning, makan (+), nyeri perut (+)

: Sklera ikterik, konjungtiva anemis, udem pada tungkai (+), hepar teraba 5 jari
BAC dan 9 jari BPX
TD : 120/80 mmHg, nadi : 72x/mnt, pernafasan : 20 x/mnt, S : 36,50C

: hepatoma
29

: Omeprazol 1x20 mg
Dimenhidrinat 2x1

Hari ke-6
Pasien meninggal dunia

BAB IV
30

PEMBAHASAN
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien ini menderita hepatoma disertai asma bronkial persisten
ringan dengan serangan ringan.
Diagnosis hepatoma ditegakkan karena adanya keluhan nyeri perut kanan
atas, nafsu makan menurun, perut terasa penuh, mual, kembung, lesu, berat badan
menurun, mata kuning, udem pada kaki (+). Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera
ikterik, perut buncit, hepar membesar, permukaan tidak rata dan berbenjol-benjol,
konsistensi keras, tepi tumpul, udem di kedua kaki (+). Dari pemeriksaan USG
disimpulkan Hepatoma lobus dextra. Kriteria diagnosa Kanker Hati Selular menurut
PPHI ( Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia ), yaitu :
1.

Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.

2.

AFP ( Alphafetoprotein ) yang meningkat lebih dari 500 mg/ml.


3. Ultrasonography ( USG ), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann ( CT
Scann ), Magnetic Resonance Imaging ( MRI ), Angiogrphy, ataupun Positron
Emission Tomography ( PET ) yang menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.

4.

Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya Kanker Hati Selular.


5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan adanya Kanker Hati
Selular.
Diagnosa kanker hati selular didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima
kriteria atau hanya satu kriteria empat atau lima. Pada kasus ini didapatkan dua dari
lima kriteria diatas yaitu : kriteria pertama dan ketiga, sehingga pasien dapat
dikatakan menderita hepatoma.
Penyebab hepatoma pada pasien ini disebabkan oleh infeksi hepatitis b karena
dari hasil laboratorium didapatkan hasil reaktif. Sirosis hati bukan penyebab
terjadinya hepatoma pada pasien ini karena alfa feto protein yang normal, bila
disebabkan oleh sirosis hati maka alfa feto protein serum seharusnya meningkat.
Kemungkinan penyebab hepatoma pada pasien ini adalah NASH dan aflatoksin.
NASH terjadi pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (indeks masa
31

tubuh: IMT 35-40 kg/m2). Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) khususnya non alcoholic steatohepatitis
(NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut
menjadi hepatoma. Namun pada pasien ini tidak pernah mengalami berat badan yang
berlebih hingga obesitas. Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang
diproduksi oleh jamur Aspergillus, bersifat karsinogen, mampu membentuk ikatan
dengan DNA maupun RNA. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah
kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53.
Riwayat kebiasaan pasien mengkonsumsi aflatoksin tidak ditanyakan. Risiko relatif
hepatoma dengan aflatoksin saja adalah 3,4 bila disertai dengan infeksi HBV kronik
risiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi 59 bila disertai dengan kebiasaan
mengkonsumsi aflatoksin.
Diagnosis asma bronkial persisten ringan dengan serangan ringan ditegakkan
karena adanya keluhan sesak nafas hilang timbul, mendadak terutama muncul pada
malam hari, cuaca dingin, aktivitas yang berat, dan dalam keadaan emosi (marah).
Gejala sesak nafas 1 kali dalam seminggu, gejala sesak nafas malam > 2 kali dalam
sebulan, sesak nafas dirasakan mengganggu aktivitas dan tidur. Bila sesak nafas
timbul terdapat suara ngik. Selain itu pasien juga memiliki riwayat alergi (+) terhadap
debu, makanan, cuaca dingin. Riwayat alergi dalam keluarga (+). Dari pemeriksaan
fisik didapatkan adanya wheezing (+/+) pada lapangan paru. Dari pemeriksaan
gambaran darah tepi didapatkan hipereosinofilia. Untuk klasifikasi asma berdasarkan
derajat asma dibuat atas dasar gejala sesak nafas dalam seminggu , serangan asma
malam, dan gangguan terhadap aktivitas, dari ketiga kriteria ini dapat ditentukan
derajat asma. Sedangkan klasifikasi serangan asma ringan dibuat berdasarkan kriteria:
Sesak nafas waktu berjalan, berbicara kalimat, frekuensi nafas meningkat, mengi
keras, nadi 100-120 kali/menit. Namun sesak nafas ini bisa juga diakibatkan oleh
besarnya tumor yang menekan diafragma.
Anemia yang terjadi pada pasien ini mungkin disebabkan oleh asupan makanan
yang kurang karena pasien mengeluhkan nafsu makan menurun. Anemia juga dapat
terjadi oleh karena perdarahan tersamar/occullt bleeding, difikirkan karena pasien
32

tidak mengeluhkan BAB hitam. Anemia juga dapat disebabkan oleh adanya parasit
seperti cacing, dan seharusnya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan feses, hal ini
juga disarankan oleh dokter spesialis patologi klinik. Pada pasien hepatoma dapat
terjadi anemia yang disebut anemia pada penyakit kronik atau anemia pada kanker
(cancer related anemia). Anemia pada penyakit kronis ditandai dengan pemendekan
masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit
akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoetin. Berdasarkan penelitian invitro pada
sel hepatoma dimana sel hepatoma atau sel-sel yang rusak mengeluarkan sitokin
seperti IL-1 dan TNF- yang berperan mengurangi sintesis eritropoetin. Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa faktor-faktor yang dihasilkan oleh sel-sel yang
mengalami inflamasi menurunkan respons eritropoetin endogen dan eksogen. Pada
pemeriksaan laboratorium gambaran anemia yang didapatkan berupa normokromnormositer.

DAFTAR PUSTAKA

33

1.

Dienstag LJ, Isselbacher JK. Carcinomas of The Liver in Harrisons


Principles of Internal Medicine. 16th ed. McGraw-Hill: New York, 2005.

2. Budihusodo U. Karsinoma Hati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007.
3. Fallon M. Hepatic Tumors in Cecils Textbook of Medicine. London: W.B.
Saunders, 2000.
4. Lawrence S, Friedman. Hepatocellular Carcinoma in Current medical
Diagnosis & Treatment. USA: McGraw-Hill, 2008.
5. Kew CM. Hepatic Tumors and Cysts in Feldman: Sleisenger & Fordtrans
Gastrointestinal and liver disease 7th ed. London: Elsevier, 2002.
6. Kumar P, Clark M. Liver Tumours in Clinical Medicine 6th ed. London:
Elsevier, 2004.
7. Hayes CP, Mackay WT. Karsinoma Hepatoseluler. Buku Saku Diagnosis dan
Terapi. Jakarta: EGC, 1997.
8. Rani AA, Sugondo S, Wijaya IP, dkk. Hepatoma. Panduan Pelayanan Medik
PAPDI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI,
2006.
9. Hermawan G. Hepatoma. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Surakarta:
Sebelas Maret University Press, 2006. 6-7.
10. www.medscape.com

34

Anda mungkin juga menyukai