Regulasi kontraksi dan relaksasi pada miometrium juga dipengaruhi adanya gap junction
pada sel-sel miometrium. Dengan adanya gap junction maka molekul signal yang diterima
diantara sel dapat disalurkan sehingga komunikasi antar sel terjadi dan terjadilah proses
kontraksi dan relaksasi. Selain iitu, sel miometrium juga memiliki sistem pengaturan yang
tidak hanya bergantung pada reseptor hormon estrogen dan progesteron tetapi juga memiliki
berbagai jenis sel yang memiliki kemampuan untuk meregulasi kontraktibilitas sel.
3. Sistem regulasi yang membuat uterus dalam keadaan tenang
Sel otot polos miometrium merupakan organ yang dapat berkontraksi. Sulit
dibayangkan bagaimana sebuah uterus dapat membesar sehingga dapat mengakomodasikan
janin seberat 3,500 gram, 1 liter cairan amnion, 800 gram plasenta dan membran plasenta
tanpa terjadi erupsi. Keadaan miometrium yang tenang pada fase 0 persalinan dapat berhasil
karena dipengaruhi oleh faktor-faktor multipel dan proses biomolekular. Pada fase 0 terjadi
beberapa proses fisiologis yang melibatkan beberapa sistem biomolekular, neural, endokrin,
parakrin dan autokrin. Fase 0 dapat meregulasi uterus dalam keadaan tenang karena
disebabkan beberapa faktor yaitu:
1) Aktivitas dari hormon progesteron melalui reseptor intrasel
2) Reseptor sel miometrium yang meningkatkan cAMP
3) Pengaturan cGMP
4) Sistem lain yang mencakup modifikasi channel ion sel miometrium
Pada beberapa spesies, hormon progesteron dan esterogen berperan dalam fase 0
persalinan, dimana progesteron menghambat dan estrogen menginduksi persalinan. Kadar
estrogen dan progesteron plasma pada wanita hamil sangat banyak. Aktivitas progesteron
penting dalam mempertahankan kehamilan.
Berdasarkan
penelitian
dikatakan
bahwa
peningkatan
progesteron
dapat
meningkatkan uterus dalam keadaan relaksasi melalui efek langsung maupun tidak langsung
yang menurunkan ekspresi dari protein kontraksi. Progesteron dapat menghambat ekspresi
dari protein gap junctioal, connexin 43 pada beberapa penelitian pada binatang tikus.
Estrogen dapat menginduksi pembentukan gap junction miometrium pada beberapa binatang
sehingga meningkatkan sintesis connexin 43.
Beberapa reseptor heptahelical dapat menginduksi relaksasi miometrium. Beberapa
reseptor heptahelical yang berperan dalam relaksasi miometrium berkaitan dengan G-as yang
me-mediasi aktivasi enzim adenil siklase dan meningkatkan kadar cAMP yang dapat
ditemukan pada miometrium. Yang termasuk reseptor heptahelical yaitu:
a. Beta-adrenoreseptor.
Pada beberapa penelitian pengaruh signal cAMP menyebabkan relaksasi
miometrium. Dan reseptor beta-adrenergik memiliki prototipe yang serupa dengan cAMP.
Beta adrenergik memediasi G-as sehingga mengstimulasi peningkatakan adenilil siklase
sehingga kadar cAMP meningkat dan terjadi relaksasi miometrium.
b. Luteinizing hormone (LH) dan Chrorionic gonadotropin (hCG)
Kadar reseptor LH-hCG dalam miometrium pada wanita hamil lebih besar
dibandingkan pada saat persalinan. hCG berperan aktif dalam mengaktivasi s yang
menyebabkan penurunanadenilil siklase melalui reseptor G- frekuensi dan tekanan
kontraksi dan menurunkan jumlah gap junction sel miometrium. Maka dengan kata lain,
kadar hCG plasma yang tinggi pada wanita hamil menyebabkan mekanisme uterus dalam
keadaan tenang.
c. Hormon relaksin
Hormon relaksin dalam pasma darah wanita hamil diduga disekresikan oleh
corpus luteum. Kadar relaksin plasma tertinggi yaitu pada minggu ke8-12 kehamilan
dengak kadar tertinggi sekitar 1ng/mL dan kadarnya menurun hingga ambang bawah
hormon dan menetap hingga persalinan. Reseptor membran plasma homron relaksin
mempengaruhi aktivasi enzim adenilil siklase dan mendukung terjadinya relaksasi
miometrium namun juga berefek pada perlunakan servik.
d. Corticotropin-releasing hormone (CRH)
CRH memiliki reseptor multipel dan afinitasnya meningkat pada akhir kehamilan.
Kadar CRH plasma meningkat pada akhir minggu ke6-8 kehamilaan normal. Beberapa
penelitian mengemukakan pendapat bahwa pada CRH dikaitkan dengan inisiasi
terjadinya persalinan. Reseptor CRH dapat memberikan sinyal melalui cAMP atau
kalsium, sehingga CRH dapat menyebabkan relaksasi atau kontraksi miometrium
tergantung pada reseptor yang muncul. Oleh karena itu, CRH memiliki potensi sebagai
uterorelaksan pada fase 0 dan uterotonika pada fase 1 dan 2 persalinan.
e. Prostaglandin
Prostanoid berinteraksi dengan delapan tipe reseptor heptahelical, dan beberapa
dari reseptor tersebut diekspresikan dalam miometrium. Meskipun prostaglandin
kebanyakan digunakan sebagai uterotonika, prostanoid dapat berperan sebagai relaksan
otot. Prostaglandin diproduksi oleh membrana asam arakidonat yang biasanya dilepaskan
oleh aktivitas enzim fosfolipase A2 atau C pada membrana fosfolipid. Asam arakidonat
dapat berperan dalam substrat tipe 1 &2 yang dikenal dengan siklooksigenase 1& 2.
PGHS-1&2.
4. Sistem regulasi yang membuat kontraksi uterus
Adanya
dapat
mempersiapkan uterus dalam menghadapi persalinan pada fase 1 persalinan. Proses ini
ditandai dengan perkembangan sensitivitas uterotonika, peningkatan komunikasi selular
melalui gap junction dan adanya perubahan kapasitas sel miometrium untuk meregulasi
konsentrasi kalsium dalam sitoplasma.
Yang dapat membuat kontraksi uterus:
a. Reseptor antagonis progesteron
Ketika antiprogestin RU 486 atau mifepristone diberikan pada wanita pada akhir
fase siklus ovarium, maka akan terjadi menstruasi dini. Hal ini penting diperhatikan
bahwa antiprogestin dapat digunakan untuk menginduksi terjadinya aborsi pada
kehamilan minggu-minggu awal. Meskipun antogonis reseptor progesteron memiliki efek
yang kurang efektif pada induksi aborsi pada wanita hamil tua namun RU 486 tetap
efektif dalam perlunakkan serviks dan peningkatan sensitvitas miometrium terhadap
b. Reseptor oksitosin
Efektifitas oksitosin pada kontraksi uterus pada kehamilan dini dan akhir
persalinan masih kontroversi. Progesteron dan estradiol diduga dapat mengatur ekspresi
reseptor dari oksitosin. Terapi estradiol pada miometrium dapat meningkatkan reseptor
oksitosin miometrium. Dan untuk menghambat kontraksi akibat pemberian estradiol
dapat diberikan progesteron karena progesteron dapat meningkatkan degradasi reseptor
oksitosin. Peningkatan reseptor oksitosin diatur secara langsung maupun tidak langsung
oleh reseptor estradiol. Pemberian estradiol pada beberapa sepesies dapat meningkatkan
reseptor oksitosin.