Anda di halaman 1dari 4

Bakauheni

Lelaki berperawakan tinggi itu sudah siap dengan tas ransel yang di gendongnya, juga
koper di genggamannya. Kota Lampung akan segera di tinggalkannya, musim liburan nyaris
habis begitu juga waktunya disana membunuh rindu pada ayah-ibu serta sanak keluarga.
Waktunya kembali di tanah priangan, Bandung.
Namanya Satria, seorang pelajar sekolah menengah atas di daerah Bandung Selatan,
daerah banjir yang tidak terkena banjir, Baleendah. Bertahun sudah hidup terpisah dari kedua
orang tuanya, satria tumbuh menjadi seorang lelaki nyaris dewasa dalam asuhan sang nenek.
Ia segera menaiki bus yang akan mengantarnya hingga pelabuhan Merak, namun
sebelumnya ia harus melakukan perjalanan darat menuju pelabuhan Bakauheni terlebih dulu.
Roda bus itu segera melarikan Satria dari kampung halamannya.
***
Sorry bro, Gue gak bisa taun baruan sama anak-anak, Ujar Satria
Mau kemana lu?, Aziz menanggapi
Balik, Balas Satria singkat.
Gak asik bener lu yang lain menimpali.
Satria dan kawan-kawannya tengah berkumpul di suatu tempat yang mereka sebut
sebagai markas agung, sebuah warung sederhana dengan pepohonan yang cukup rimbun.
Tempatnya agak tersembunyi, cocok bagi satria dan sekawanannya yang hobby nongkrongmengobrol atau membunuh waktu dengan apapun itu yang bukan mengerjakan PR.
Memang bukan tipe siswa ideal, tapi apa itu salah? Tuhan bilang manusia diciptakan
bermacam-macam litaarofu untuk saling mengenal. Dan satria tahu sisi hidupnya, bukan
manusia ambisius pencari pujian kepala sekolah. Ia cukup tahu, kenal pada orang-orang yang
bermandi prestasi serta titel juara umum, siswa berprestasi, siswa favorit,apapun itu. Ia sering tak
sepaham dengan para pengajar yang menuntut semua siswa menjadi sama, ia tak menyebut
dirinya siswa nakal ia hanya siswa yang tak sama persepsinya dengan para pendidik.
Perkara banyak pihak yang memandang kawanannya sebelah mata. Haruskah ia ambil
pusing?
***

1 jam sudah ia berada dalam pergerakan bus dengan supir yang sedikit sinting karena
bisa mengemudi ngebut luar biasa, namun itu kebiasaannya. Hidup di lingkungan motor
membuatnya bersahabat baik dengan sesuatu yang di sebut kecepatan. Ia masih mengangumi
kehebatan supir bus yang sinting ini hingga hukum newton 1 mengenai tubuhnya. Bus di rem
hingga tubuhnya menumbuk jok di depannya.
Sinting ini orang, Umpatnya.
Ia melanjutkan umpatannya dalam hati, namun itu tak berlangsung lama karena kemudian
ia kembali mengangumi keberhasilan supir sinting itu membawanya ke Bakauheni dengan cepat.
***
Sekolah tempatnya bersekolah memiliki aturan yang sangat ketat yang membuatnya
semakin penasaran untuk melanggar aturan, dari mulai pakaian seragam, kaus kaki putih, datang
tepat waktu, mengikuti kegiatan pendidikan karakter. Semua pernah ia labas, beberapa
diantaranya bahkan menjadi kebiasaannya. Baju seragam dan ujungnya yang ia biarkan begitu
saja di luar celana abu-abunya menjadi ciri khas sendiri buat dirinya, dan penampilan seperti itu
membuat tubuhnya terkesan lebih jangkung juga dengan kaus kaki yang berwarna hitam.
Menabrak aturan? Tidak aturan hidupnya, aturan sekolah mungkin iya.
Hidup jauh dari orang tua membuatnya memiliki ruang yang lebih luas untuk
menggeliat dan menampakan kejujuran siapa ia sebenarnya.
Bel sekolah tanda masuk kelas pasca istirahat berbunyi. Waktunya masuk kelas? Ya, buat
orang lain. Namun buat Satria, dan kawan-kawannya-Aziz, Yusuf dan Jodi justru ini waktunya
berkeliaran dan masuk kembali nanti. Entah berapa menit atau mungkin beberapa jam kemudian.
***
Aroma air asin Selat Sunda kian tercium, menyeruak paru-paru dengan ketenangan yang
khas. Angin pantai bertiup cepat, cuaca belakangan ini memang agak buruk, agak
menghawatirkan untuk sistem transportasi namun beruntung hari ini ia masih bisa menyebrang
dari Bakauheni ke Merak.
Angin laut bertiup cukup kencang, ketika orang lain berniat mencari tempat menunggu
yang lebih baik, satria memutuskan untuk berdiam di bus. Mungkin ada beberapa orang juga
yang tak tertarik mengikuti kebanyakan orang yang menunggu di geladak.
Terdiam di sudut bus, memainkan gadget demi menghabiskan perjalanan menuju pulau
jawa. Tidak terlalu buruk, biasanya juga begini, pikirnya.
Dek, Seorang pria asing menepuk bahu kanan satria. Siapa dia? Satriapun tak tahu

Iya mas? Satria mengerenyitkan dahi, sulit sekali mengalihkan perhatian dari
gadgetnya. Tapi ia harus, lelaki ini memaksanya melakukan itu.
Kenapa nunggu disini, Dek?, Lelaki itu berbaju batik warna coklat. Terdengar berbasabasi.
Takut air masSatria menjawab sekenanya, ingin kembali pada gadgetnya, mengacuhkan
pria batik itu.
Tapi pria batik itu bersikeras mengajaknya mengobrol. Seolah mengalihkan perhatiannya.
Hingga tak butuh selang waktu yang lama, lelaki lain datang bajunya kumal, lusuh, badannya
kurus, matanya sayu dan dapat diwakilkan satu kata: Berantakan.
Permisi Mas, Dek Pria lusuh itu menyapa Satria dan pria batik.
Satria dan pria menyambut seadanya.
Saya mau minta tolong, Mas, Dek. Saya ketinggalan bus, saya harus sewa travel tapi
saya enggak ada uang, Satria mendengarkan selewat. Tapi begitulah informasi yang ia tangkap.
Tapi saya ada ini
Lelaki itu mengeluarkan sesuatu sebelum akhirnya kembali beretoris, Emas 24 karat
YA, emas dengan struk pembelian harganya 11 juta.
Saya butuh sekali uang itu. Ini kaitannya dengan......, ujar pria kumal menyentuh nurani
setiap pendengarnya. Ucapanya begitu mengharukan, menarik empati tiap anak adam yang
bermula dari kemurnian untuk kembali pada kemurnian.
Saya mau bantu Bapak sih, tapi saya enggak ada uangnya, Ujar si batik.
Bapak perlu berapa? Nurani Satria terkuak, ia angkat bicara
Ya segimana dikasihnya sama Adek, nah kalung emas ini saya jadikan jaminan. Saya
pinjam uang adek, kalung ini kamu simpan sebagai jaminannya
Satria mengangguk faham. Ia tak pikir panjang.
Saya minta nomor telepon adek, untuk saya mengembalikan uang adek
1 juta lepas dari tangannya berganti emas 24 karat sebagai jaminan. Niatnya murni
menolong. Tulus.
Seorang urakan, berandal sekolah, menemui orang kesulitan ditolongnya pula. Sering
dipandang sebelah mata namun kebaikan itu masih ada dan selalu ada padanya.

Satria kembali pada gadgetnya, hatinya sedikit ringan karena bisa memabantu lelaki
kumal tadi.
Dek, itu Handphone adek berapa harganya?, Pria kumal kembali bertanya
Sekitar satu setengah juta pak. Jawab Satria
Kalau uang ini aja bisa jadi enggak cukup, kalau sama handphone itu bisa jadi cukup.
Boleh saya pinjem juga?
Lekas satria melepas kartu sim dan memberikan handphonenya.
Makasih banyak ya, Dek. Saya gatau mau apa tanpa adek Ujar Pria kumal
1,5 juta lepas lagi dari tangannya.
Waktu berlalu, Merak menjelang. Bakauheni menghilang, mungkin bersama uang dan
gadgetnya. Tapi tidak pernah terfikir oleh satria.
Yang terpenting adalah, niat membantu, dan kebaikan yang ada dalam dirinya, Seorang
berandal sekolah. Masihkah bisa di pandang sebelah mata?

Anda mungkin juga menyukai