Anda di halaman 1dari 18

aporan Klinik Sindroma Guillain-Barre (SGB)

BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.
Beberapa nama disebut oleh beberapa ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis,
Acute Febrile Polyneuritis, Infective Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute
Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry
Ascending paralysis, dan Landry Guillain Barre Syndrome.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB
merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai
sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit
ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang.Periode laten antara
infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat
disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi
sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan
dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata.Sampai saat ini belum ada
terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat
memperbaiki prognosisnya.

BAB II
ANATOMI FISIOLOGI
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang
belakang, dan saraf tepi. Saraf otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada
saraf tepi, saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak ibarat chip
dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem koordinasi selain sistem
hormon dan sistem otot.
Sistem kardiovaskular: memompa darah ke seluruh tubuh
Sistem pencernaan: pemrosesan makanan yang terjadi di dalam mulut, perut, dan usus
Sistem endokrin: komunikasi dalam tubuh dengan hormon
Sistem kekebalan: mempertahankan tubuh dari serangan benda yang menyebabkan penyakit
Sistem integumen: kulit, rambut.
Sistem limfatik: struktur yang terlibat dalam transfer limfa antara jaringan dan aliran darah
Sistem otot: menggerakkan tubuh
Sistem saraf: mengumpulkan, mengirim, dan memproses informasi dalam otak dan saraf
Sistem reproduksi: organ seks
Sistem pernafasan: organ yang digunakan bernafas, paru-paru
Sistem rangka: sokongan dan perlindungan struktural dengan tulang
Sistem urin: ginjal dan struktur yang dihubungkan dalam produksi dan ekskresi urin
BAB III
PATOLOGI TERAPAN
A. Defenisi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini
terdapat di seluruh dunia pada setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma GuillainBarre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi
antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia

termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan
wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa
ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan
Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan
sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang
juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari
SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas,
badan dan kadang-kadang juga muka.

B. Patologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Penyakit ini terdapat di
seluruh dunia pada setiap musim. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses
imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Insidensi sindroma Guillain-Barre
bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per100.000 orang pertahun. Terjadi puncak insidensi
antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia
termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan
wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian menyebutkan
bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderitadan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,
meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. Beberapa nama disebut oleh beberapa
ahli untuk penyakit ini, yaitu Idiopathic polyneuritis, Acute Febrile Polyneuritis, Infective
Polyneuritis, Post Infectious Polyneuritis, Acute Inflammatory Demyelinating
Polyradiculoneuropathy, Guillain Barre Strohl Syndrome, Landry Ascending paralysis, dan
Landry Guillain Barre Syndrome. Parry mengatakan bahwa, SGB adalah suatu polineuropati
yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi
akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis

flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan
sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang
juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari
SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas,
badan dan kadang-kadang juga muka.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah
saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas
humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi
virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping
peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell
yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada
limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis)

antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E
selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan
dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan
makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema
yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas
selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada
myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh
enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural.
Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang
menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.Akibat suatu
infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas
seluler terhadap jaringan sistim saraf-sarafperifer.
Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat
menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya
adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat

menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis
terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang
diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan
pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota
gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut
bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.
Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa
disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari
sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada
permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada
segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks
spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah
tersebut.
C. Gambaran klinis
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat
timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, ratarata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Gejala Klinis antara lain:
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone.
Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian
menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang
juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf
kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat

kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama
beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.
a. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan
distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal
dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu
aktifitas fisik.
b. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka
sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan
berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa
terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan
pernafasan karena paralisis n. laringeus.
c. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing),
hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap
lebih dari satu atau dua minggu.
d. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan
kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
e. Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.


Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi
arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
f. Perjalanan penyakit
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase yaitu:
Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat
sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang
melebihi 8 minggu.
Fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa
pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.
Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

BAB IV
STATUS KLINIK

A. Data-Data Medis Rumah Sakit

a. Diagnosa medis

: GBS

b. Catatan Klinik

:.

c. Terapi Umum

: Medicamentosa.

d. Rujukan

: Mohon konsul Fisioterapis pasien GBS.

e. Tanggal masuk RS

: 12 november 2009

B. Pemeriksaan Fisioterapi
A. Anamnesis
a.

Anamnesis Umum
: Ny. D N
: 54 tahun.
: Jl. Todopuli IV stp 4. No. 17.
: Perempuan
: Nasrani
: PNS

b. Anamnesis Khusus
Keluhan Utama

: Kelemahan .

Letak keluhan : kedua tungkai pasien.


Kapan terjadi

: tanggal 12 November 2009

Riwayat penyakit : sakid badan dialami 3 hari sebelum masuk RS, demam ( - ), riwayat
demam ( - ), batuk pilek ( - ), muntah-muntah ( - ), ngilu ulu hati ( - ), nyeri dada ( - ), sesak ( - ),
DM ( - ), asam urat ( - ) kolesterol ( - ).

: Tidak ada gangguan


: Tidak ada gangguan
: Tidak ada gangguan

:Terdapat kelemahan pada kedua tungkai.

s
mis

a) Vital Sign
Tekanan Darah : 130/100 mmHg
Denyut Nadi
: 72 x/menit
Pernapasan
: 20 x/menit
Temperatur
: 360 C
b) Inspeksi
:Pasien dalam keadaan baring lemah.
:Pasien kesulitan menggerakkan kedua tungkainya
B. Pemeriksaan Spesifik
a.

Hasil X-Ray : osteofit L1-5, spondilolisis lumbal

b. Tes sensorik

c.

- tes tajam tumpul

: hiposensasi

- tes rasa sakit

: hiposensasi

- tes rasa posisi

: terganggu

- tes diskriminasi 2 titik

: hiposensasi

Tes motorik
- reaksi keseimbangan mengangkat pantat sulit dilakukan
- reaksi keseimbangan duduk belum bisa dilakukan

d. Palpasi.
Otot-otot kedua tungkai mengalami hipotonus.
d. ADL Test

ADL duduk
ADL berdiri
ADL berjalan
Hasilnya pasien tidak dapat dilakukan.

e.

Tes Koordinasi

Heel to toe

: terganggu

Heel to knee
toe to finger terapis
f.

: terganggu
: terganggu

MMT
GROUP OTOT
Plantar Fleksor Ankle
Dorso fleksor Ankle
Fleksor Knee
Ekstensor knee
Fleksor Hip
Ekstensor Hip
Adduktor Hip
Abduktor Hip

g.

Kiri
3
2
2
3
2
2
3
2

Kanan
3
2
2
3
2
2
3
2

nitif

Kognitif,intrapersonal, dan interpersonal


: Pasien mampu mengetahui orientasi waktu dan tempat, memory dan perhatian, bahasa baik,

apersonal
personal

pasien dapat mengikuti instruksi terapis dengan baik saat latihan.


: pasien mempunyai motivasi untuk sembuh.
: pasien berkomunikasi dengan baik, baik dengan keluarga maupun fisioterapis.

Gangguan ADL tungkai akibat GBS

C. Problematik FT

Kelemahan otot.

Gangguan keseimbangan.

Gangguan koordinasi

Gangguan ADL.

D. Tujuan Fisioterapi
Support mental
Memperkuat otot
Memperbaiki keseimbangan
Memperbaiki koordinasi.
Memperbaiki ADL.
Mencegah komplikasi decubitus
Mencegah kontraktur.
E. Interfensi Fisioterapi
Infra Red Rays
Tujuan : Meningkatkan metabolisme dan Pree eleminary exercise
Teknik : Pasien tidur terlentang di bad dengan rileks, arahkan lampu IRR ke ekstermitas Sup.Inf
kedua tungkai dengan segala penghambat ditiadakan. Dengan dosis :
F

: 3 kali seminggu

: 30 cm

: Kontak langsung

: 10 menit

Positioning
Tujuan : Mencegah decubitus

Teknik : pasien tidur terlentang, fisioterapi memfleksikan salah satu tungkai (tungkai kanan)
pasien, kemudia secara pasief, memposisikan pasien sehingga posien tidur miring dengan cara
menarik tangan dan bahu yang berlawanan.
F

: setiap 2 jam

: toleransi pasien

: Kontak langsung

T
PNF

: 15 menit

Tujuan : Memperkuat otot dan meningkatkan ADL


F

: 3 kali seminggu

: pola gerakan shoulder dan tungkai

: Kontak langsung

: 6 kali repetisi

Balance exercise
Tujuan : Meningkatkan keseimbangan
Teknik : pasien tidur terlentang, dengan posisi kedua knee fleksi . kemudian pasien di
instruksikan mengangkat pantatnya dengan menumpukan berat badan pada kedua tungkainya.
F

: 3 kali seminggu

: toleransi pasien

: breaging.

: 4 kali repetisi

Exercise
Tujuan : menjaga stabilitas sendi

Teknik

: pasien tidur terlentang, dengan keadaan rileks. Fisioterapis menggerakkan semua

regio tungkai ke semua arah gerakan.


F

: 3 kali seminggu

: Full ROM

: PROMEX dan AAROMEX

: 6 kali repetisi

Stretching
Tujuan : mencegah kontraktur
Teknik : pasien tidur terlentang, dengan keadaan rileks. Salah satu tangan Fioterapis memfiksasi
di knee pasien, sedangkan tangan yang lainnya memfiksasi di ankle. Kemudian secara pasif,
fisioterapi mengulur otot;otot tungkai pasien.
F

: Setiap hari

: penguluran maksimal

: kontak langsung

: 6 kali repetisi.

G. Prognosis
Quo ad vitam

: baik

Quo ad sanam

: baik

Quo ad fungsionam

: sedang

Quo ad cosmeticam

: sedang

H. Evaluasi

asi sesaat

: Pasien nampak lelah setelah latihan dan merasa sedikit membaik sesaat setelah
terapi.

asi berkala

: Setelah beberapa hari, perkembangan keadaan pasien sebagai berikut :


Keadaan psikis pasien semakin membaik dan bertambah semangat untuk latihan,
Kekuatan otot mulai meningkat dari nilai 2 dari setiap group otot fleksor dan ekstensor menjadi
3..
Reaksi keseimbangan mulai meningkat,
Perkembangan ADL sudah menunjukkan peningkatan yang memuaskan (duduk dan berdiri sudah
dapat dilakukan).
H. Hasil Terapi Akhir
Mulai dari awal di Fisioterapi sampai terakhir. Pasien merasakan ada sedikit perubahan yaitu
peningkatan kekuatan ototnya. Dan
I.

Follow UP
No
1

Hari /
Tanggal
10 nov 09

Problematik

Intervensi

Evaluasi

-Menurunya kekuatan

-IRR

otot

-EXERCISE

12 nov

-Gangguan ADL
-Menurunya kekuatan

-IRR

Kekuatan otot

2009

otot

-EXERCISE

pasien masih lemah

-Gangguan ADL

dengan nilai otot 2,


aktivitas
fungsionalnya
belum efektif
seperti menyisir,

makan, minum,
dan berpakaian
3

Senin, 14

-Menurunya kekuatan

-IRR

sendiri.
Kekuatan otot

nov 2009

otot

-EXERCISE

pasien masih lemah

-Gangguan ADL

dengan nilai otot 2,


aktivitas
fungsionalnya
belum efektif
seperti menyisir,
makan, minum,
dan berpakaian

Jumat, 17

- Menurunya kekuatan

-IRR

sendiri.
Kekuatan otot

nov 2009

otot

-EXERCISE

pasien sudah

- Gangguan ADL

bertambah dengan
nilai otot 3
aktivitas
fungsionalnya
sudah ada
peningkatan
walaupun belum
maksimal seperti
menyisir, makan,

minum, dan
berpakaian sendiri.

Anda mungkin juga menyukai