Anda di halaman 1dari 44

Rp 8000,- ISSN: 0853-8069 Media Kerja Budaya edisi 06/2001

Hersri Setiawan: RAFFLES BUKAN BERHALA SEJARAH


N
IAA
S
ANU
EM
S
K
ITA
AR
IL D
N
SO
NGU
MBA
E
M
ra:
d
hen
Ma
Nur Zain Hae: REFORMASI DAN PUISI TANPA DAYA MAGIS

MENATA ULANG
INDONESIA
N PEMB
ODOH
AN

Ra
AWA ni L
L
ME
NG uk
RT
ARU ita:
A:
BE B AD
ITR
M AI
A ST
A BE
filH RG
Pro OL
AK
www.geocities.com/mkb_id
Media Kerja Budaya edisi 06/2001 issn: 0853-8069
<www.geocities.com/mkb_id>

06
daftar isi
DATA BICARA hal. 3
ilustrasi sampul: ALIT AMBARA SURAT PEMBACA hal. 4
EDITORIAL hal. 5
POKOK MKB edisi 06/2001 hal. 6 - 18
“Massa Mengambang yang Tak Pernah Tenggelam hal. 7-10
Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa hal. 11-15
Konflik Menata Ulang Indonesia hal. 16-18

PROFIL hal. 19-22 ESAI hal. 32-33


HASTA MITRA: BERTARUNG MELAWAN SETELAH PESTA USAI
PEMBODOHAN Zhou Fuyuan
Razif
PUISI Siti Rukiah hal. 23 LOGIKA KULTURA hal. 34-38
ILMU SOSIAL, SEBERAPA ILMIAH
John Roosa

KRITIK SENI hal. 24-25 RESENSI BUKU hal. 39-40


REFORMASI DAN PUISI TANPA DAYA MAGIS MEMBANGUN SOLIDARITAS KEMANUSIAAN
Nur Zain Hae Mahendra

KLASIK hal. 27-28 TOKOH hal. 41-42


RAFFLES BUKAN BERHALA SEJARAH NINOTCHKA ROSCA
Hersri Setiawan Wawancara oleh Ayu Ratih & John Roosa

CERITA PENDEK hal. 29-31 BERITA PUSTAKA hal. 43


BADAI BERGOLAK
Rani Lukita

M
MEDIA KERJA BUDAYA adalah terbitan berkala tentang kebudayaan dan masyarakat Indonesia. MEDIA KERJA BUDAYA mengangkat ber-
bagai persoalan, gagasan dan penciptaan untuk memajukan kehidupan budaya dan intelektual di Indonesia. Redaksi menerima
sumbangan berupa tulisan, foto, gambar dan seterusnya yang bisa membantu penerbitan ini. Bagi pembaca yang ingin eksemplar
tambahan dapat menghubungi alamat tata usaha kami. Penerbitan ini sangat tergantung pada dukungan pembaca, kami berharap
dapat menerima kritik dan saran anda.
PEMIMPIN REDAKSI: Razif | SIDANG REDAKSI: Agung Putri, Amiruddin, Alex. Supartono, Ayu Ratih, Bambang Agung, Hilmar Farid, IBE Karyanto, John Roosa,
Nugraha Katjasungkana, Razif | SEKRETARIS REDAKSI: A. Diana Wahyuni | DESAIN: Alit Ambara | KOREKSI AKHIR: Setianingsih Purnomo | DISTRIBUSI: Yayan
Wiludiharto | KEUANGAN: OHD | TATA USAHA: Mariatoen | PEMIMPIN UMUM: Firman Ichsan | WAKIL PEMIMPIN UMUM: Dolorosa Sinaga | ALAMAT REDAKSI:
Jalan Pinang Ranti No. 3 Rt.015/01 Jakarta Timur 13560 INDONESIA Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: mkb2000@link.net.id, kerjabudaya@yahoo.com | ALAMAT
TATA USAHA: PO. BOX 8921/CW Jakarta 13089 Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: mkb_id@yahoo.com | SITUS INTERNET: http://www.geocities.com/mkb_id |
PENERBIT: Jaringan Kerja Budaya
Jumlah pencari kerja dari desa ke kota semakin meningkat pada tahun 2001, jumlah pencari kerja telah menca-
pai 12 juta orang di Jakarta, Surabaya dan Bandung. Sedangkan jumlah pengangguran telah mencapai 40 juta
orang, berarti 45% dari statistik BPS yang menyebutkan 90 juta tenaga kerja produktif di Indonesia.1

Aliran modal swasta yang keluar dari Indonesia sejak krisis 1997 mencapai 10 milyar AS setiap tahun. Arus
modal swasta keluar dari Indonesia mulai terjadi tahun 1997, yaitu sebesar 3,483 milyar dollar AS dan mencapai
puncaknya tahun 1998 sebesar 19,609 milyar dollar AS.2

Dua perusahaan otomotif sudah ditunjuk sebagai pemasok mobil mewah, yakni PT Central Sole Agency dan
PT Hartono Raya Mobil. PT Central Sole Agency adalah anak perusahaan Grup Indomobil, penyalur sedan
Volvo, sedangkan PT Hartono adalah agen Mercedez Benz. Untuk mendatangkan 400 mobil mewah dua
perusahaan itu diberi fasilitas yang memikat, yang ketentuan bea masuk yang mestinya 45 sampai 80 persen
diturunkan menjadi lima persen.3

Ternyata Instansi pemerintah banyak yang masih menunggak pembayaran listrik. Umumnya alasan yang
disampaikan instansi yang bersangkutan terbentur pada anggaran operasional yang belum turun. Jika instansi
tersebut masih tetap melakukan penunggakan yang berlarut-larut, langkah yang akan diambil PLN adalah
pemutusan selektif. Artinya, memutus aliran listrik yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kepada
masyarakat umum.4

Pemerintah tidak punya dana untuk mensubsidi kebutuhan rakyat. Untuk menutupi defisit APBN 2001 yang
diperkirakan 3,7 persen dari PDB (produk domestik bruto) atau sekitar Rp 87 trilyun. Akibatnya, tak hanya
harga BBM, tarif telepon, tarif listrik yang naik. Harga obat generik pun yang dikonsumsi rakyat kecil mulai
naik rata-rata 19,8 persen. Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti Paris Club
(kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjaman dilunasi dan tentunya bersama
bunganya. Untuk membayar utang ini, pemeritah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-
perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif listrik (lebih
dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akan
diluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.5

Dalam setahun ada lebih dari 20.000 balita menjadi piatu saat dilahirkan. Penyebab kematian utama para ibu
itu di Indonesia (lebih dari 90 persen) adalah pendarahan, keracunan kehamilan dan infeksi.6

Paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat ini, di antara 4,35 juta tinggal di Jawa
Barat. Ancaman kelaparan ini akan semakin berat, dan jumlahnya akan bertambah banyak, seiring dengan
terancam kelaparan adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya di bawah Rp 30.000,-. Di antara
orang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk, berada dalam keadaan paling
mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, diantaranya 10.430 orang tinggal di
kabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelapar-
an dengan keadaan yang paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluarannya per kapita dibawah
Rp. 15.000,- per bulan.7

Akibat kebijaksanaan bebas bea masuk (BM 0%) untuk impor gula, nasib petani buruh industri gula kini
bagaikan tanpa kepastian. Harga gula lokal kini lebih mahal dari harga gula impor. Nasib pabrik gula dan petani
gula tebu sekarang seperti telur di ujung tanduk. Meneruskan penanaman tebu berarti menantang kerugian,
berhenti menggiling tebu berarti diancam kerugian yang lebih besar dan kredit terancam macet. Masalah
bersumber pada design IMF yang menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan. Akibatnya gula lokal tidak
mampu bersaing dan merugikan pabrik gula dan petani. Biaya produksi penanaman gula dan penggilingan gula
ini mencapai Rp 2.700 hingga Rp 3000 per kilogram, sedangkan harga dasar gula yang ditetapkan pemerintah
hanya Rp 2.600,- per kilogram.8

Penyakit malaria yang sudah punah puluhan tahun lalu kini kembali menjangkit di Indonesia, terutama di
Kulonprogo, Jawa Tengah. Sekarang ini sudah menyebabkan kematian 74 orang. Berdasarkan keterangan suku
dinas kesehatan Yogyakarta untuk memerangi penyakit malaria ini perlu meminta bantuan dari donor luar negri
seperti WHO dan Bank Dunia sebesar 150.000 US$, dinas kesehatan Yogyakarta tidak bisa berharap dari
anggara belanja daerah.9

Dikumpulkan dan diolah dari sumber-sumber: 1)Jakarta News FM, 21 Juli 2001, 2)Kompas, 20 Juli 2001, 3)Berita Buana, 31 Maret 2001, 4)Bernas, 5 Mei 2001, 5)Bali Post, 22 Mei 2001,
6)Jakarta Post, 4 Maret 2001, 7)Pikiran Rakyat, 26 Maret 2001, 8)Kedaulatan Rakyat, 2 April 2001, 9)Jakarta News FM, 22 Juli 2001.

data bicara | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 3


Saya yakin kalau saat ini seluruh
SURATPEMBACA guru di Indonesia mogok mengajar
selama seminggu saja, para penentu
kebijakan (dan anggaran belanja
negara!) akan ”mendengarkan”
keluhan para guru dengan telinga
lebih lebar! Berkaitan dengan “tan-
Menentang Neoliberalisme tangan” untuk mengambil sikap pro
Salam Adil dan Lestari. Pada Me- atau kontra Gus Dur, saya
dia Kerja Budaya (MKB) edisi 05/ beranggapan sebaiknya MKB tidak
2001 saya sangat bahagia dapat mem- terjebak untuk memilih salah satu.
baca dan mendapat setetes pence- Konsentrasi saja sepenuhnya pada
rahan baru yang dititip saudara Nug alur yang ada. Pendidikan misalnya
Katjasungkana lewat ulasannya dalam tetap saja perlu diteriakkan ke-
rubrik Profil MKB dengan judul: pentingannya, tak peduli siapapun
”Berpijak di Desa Menantang yang menjadi Presiden di Indone-
Neoliberalisme“. Dan untuk redaksi sia! Salam hangat,
MKB, dimasa datang mungkin penting
untuk jalan-jalan ke desa-desa Ispurwono Soemarno
negeri sendiri. Agar publik dapat The University of Melbourne, Aus-
informasi yang cukup tentang ba- tralia
gaimana petani dan masyarakat adat
di Republik ini melawan Neo-
liberalisme or Neo-Kolonialisme. Support dari Jember
Sekian dan terima kasih atas Salam kenal buat mas-mas dan
bantuannya. mbak-mbak yang ada di Media Kerja
Budaya. Saya mahasiswa Fakultas
Harris Palisuri,
Forum Solidaritas Petani(FSP-
Hukum Universitas Jember angkatan
‘95. Saya aktif di beberapa
LEBIH BAIK
Sulawesi Tenggara) organisasi. Saya tertarik dengan
segala bentuk seni, untuk saat ini
BERLANGGANAN
Tentang Pendidikan
saya sedang menekuni dunia Media Kerja Budaya
fotografi.Tapi mungkin pemahaman
Redaksi yth., Bravo! atas saya masih dangkal, jadi media- agar anda tak ketinggalan segala
tulisan tentang Pendidikan di MKB media budaya semacam ini saya
5/2001. Saya memperoleh informasi persoalan, gagasan & penciptaan
perlukan juga untuk tambahan untuk memajukan kehidupan
tentang MKB melalu e-mail di melb- referensi. Saya tertarik dengan isi
disc, suatu mailing list yang dari Media Kerja Budaya ini, yang budaya & intelektual di Indonesia.
dikelola di Melbourne, Australia. tahunya dari teman. Kalau buat beli
Sebagai salah seorang pendidik yang MKB, mungkin belum bisa tapi saya
beruntung mendapatkan kesempatan Kirimkan data lengkap anda (nama, alamat,
support banget keberadaan media no.tel/fax, e-mail) ke bagian tata usaha kami:
untuk menjalani tugas belajar, saya ini, sebagai media alternatif dari
juga menyadari betapa jutaan Jl. Pinang Ranti No.3 RT.015/01 Jakarta 13560.
media kebudayaan yang lain. Selamat Tel/Fax: 021.809.5474 (Mariatoen)
pendidik lainnya di Indonesia ti- bekerja, selamat berjuang. E-Mail: mkb_id@yahoo.com
daklah seberuntung saya. Saya
sangat mendukung gerakan untuk me- Taufiq Aribowo, B IAYA BERLANGGANAN PER EDISI RP 8000,-
IAY
ningkatkan pendidikan di Indone- ditambah ongkos kirim menurut jarak pengiriman
Jember sebagai berikut:
sia yang selama ini “disisihkan”
WILAYAH JABOTABEK Rp 2.000,-
kepentingannya oleh para penentu PULAU JAWA Rp 2.500,-
kebijakan di Indonesia. Yang amat PULAU BALI Rp 3.000,-
menggemaskan saya, adalah betapa PULAU SUMATERA Rp 4.000,-
“menurutnya” para pemimpin orga- PULAU KALIMANTAN Rp 3.500,-
nisasi pendidikan di Indonesia PULAU SULAWESI Rp 4.500,-
selama ini atas alokasi anggaran
belanja pendidikan di Indonesia.

PAMFLET SOLIDARITAS
Agenda Rakyat Mengatasi Krisis Ekonomi
1. SITA KEKAYAAN SOEHARTO DAN ANTEK-ANTEKNYA
2. HENTIKAN KORUPSI DAN ADILI PARA PELAKU
3. BATALKAN HUTANG LUAR NEGERI
4. HENTIKAN PENJARAHAN UANG RAKYAT UNTUK BAYAR HUTANG SWASTA
5. HENTIKAN PENJUALAN ASET PUBLIK KEPADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL
6. HENTIKAN PENJARAHAN SUMBER DAYA ALAM
7. TINGKATKAN BIAYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN
8. PRODUKSI UNTUK PASAR DALAM NEGERI, BUKAN PASAR INTERNASIONAL
9. SISTEM PAJAK YANG ADIL
10. TANAH BAGI PENGGARAP
11. MENCIPTAKAN PROGRAM KERJA PUBLIK

ditulis & diterbitkan oleh: JARINGAN KERJA BUDAYA


BUDAY
Jl. Pinang Ranti No. 3 Rt.015/01 Kel. Pinang Ranti Jakarta Timur 13560 Tel./Fax: 021.809.5474 E-Mail: jkb@indo.net.id
Untuk mendapatkan hardcopy pamflet seharga Rp 2000,- (ditambah ongkos kirim), hubungi alamat di atas.
Pamflet ini juga dapat diakses melalui situs internet: http://www.geocities.com/mkb_id/pamflet/agendarakyat.html

4 Media Kerja Budaya edisi 06/2001


>>Pemimpin Redaksi

Krisis
politik
yang terus berlanjut, akhirnya diselesaikan
dengan Sidang Istimewa MPR dan menggusur
Abdurachman Wahid sebagai Presiden.
Namun konflik kekerasan yang bersifat vertikal tidak pernah diselesaikan. Apakah
itu kasus Semanggi, Sampit dan Aceh seolah-olah para anggota DPR melihat
fenomena kejahatan kemanusiaan itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Untuk itulah, Media Kerja Budaya edisi no.6
menurunkan pembahasan pokok bagaimana kehormatan dan kehilangan identitas.
seharusnya kita bisa hidup bersama, bukan berarti Aturan adalah produk kebudayaan manusia. Dan
kita harus hidup tanpa perdebatan untuk ternyata dalam perkembangannya yang berkuasa
masadepan kehidupan rakyat. Yang terpenting berhak mengubahnya menjadi lebih
dalam mencapai hidup berdampingan bersama ini menguntungkan untuk dirinya. Sekarang ini setiap
kehidupan warganegara harus dijamin oleh konsti- orang menjadi dewa dengan kekuasaannya yang
tusi, entah rakyat mendapatkan hak untuk ada di tangannya. Dan di republik ini sekarang
bekerja, hak mendapatkan pendidikan dan hak begitu banyak dewa. Dari dewa yang kecil-kecil di
untuk mengorganisir dirinya untuk menjadi tempat kecil, hingga dewa besar dan yang amat
mandiri. Yang selama ini tidak pernah menjadi besar yang berada di pusat dan puncak
prioritas utama bagi perkembangan masyarakat, kekuasaan. Terlalu banyak yang harus disembah
sehingga yang terjadi ketika anggaran negara oleh rakyat. Terlalu banyak.
dipaksa dipotong, tidak ada lagi subsidi bagi ma-
syarakat, maka yang terjadi adalah pelanggaran Gerakan untuk merebut hak berasal dari gagasan
terhadap hak-hak rakyat. Apakah pertumpahan dan kebudayaan. Dasar kebebasan berekspresi
darah dan pengorbanan kita selama ini akan terletak pada hak yang tak terpisahkan setiap
diakhiri dengan mengungkung kembali kebebasan rakyat untuk mempunyai sejarah sendiri. Oleh
dan mencabut hak-hak dasar rakyat?
karena itu tujuan pembebasan adalah mendapat-
Lembaga-lembaga negara akan terus menjadi kuat kan kembali hak ini, yang dirampas oleh
dengan memberlakukan undang-undang yang kekuasaan negara demi kepentingan kekuatan
selalu menyingkirkan orang miskin, mereka tidak imperialis, yaitu pembebasan kekuatan-kekuatan
dilindungi oleh konstitusi, sehingga mereka produksi dan kemampuan untuk menentukan
dibiarkan untuk mati. Rakyat tidak mempunyai secara bebas cara produksi yang paling sesuai
hak untuk mengontrol sumber alamnya sendiri, dengan evolusi rakyat, perlunya membuka
tetapi hak kontrolnya diserahkan kepada modal
prospek baru untuk proses budaya masyarakat
asing. Keadaan ini sama diberlakukan pada
sebagian masyarakat yang dianggap tidak patuh
yang bersangkutan, dengan mengembalikan
akan mendapat hukuman, kehilangan pekerjaan,
kepadanya semua kemampuan untuk mencipta-
kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kan kemajuan.
editorial | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 5
SEMSAR SIAHAAN
“Massa Mengambang”
yang Tak Pernah Tenggelam
>>Tim Media Kerja Budaya

“Masyarakat Indonesia primitif.” Begitulah pandangan banyak orang terdidik, yang mestinya
lahir setelah melihat foto dan membaca laporan tentang kekerasan yang mengerikan di berbagai
tempat seperti Kalimantan Tengah dan Maluku. Ada kesepakatan umum, bahkan di kalangan
yang menganggap dirinya pro-demokrasi, bahwa orang Indonesia belum siap berdemokrasi ka-
rena masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan. Belum lagi keterikatan orang akan identitas
tradisional dan kolektif seperti etnik, tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang
hebat. Demokrasi seolah-olah masih jauh di depan, sebuah mimpi yang bisa terwujud kalau
semua orang sudah menyandang gelar sarjana dan berpendapatan tinggi.
Pandangan seperti ini bukanlah Sejak awal kekuasaannya, rezim Soeharto berikrar
penilaian yang tepat tentang masyara- akan meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi di masa
kat Indonesia, tapi secara tepat mencer- mendatang. Para pejabat tinggi mengatakan bahwa
minkan pemahaman kalangan terdidik pertumbuhan ekonomi adalah prasyarat bagi
yang “primitif” mengenai demokrasi. demokrasi. Banyak orang dari kelas yang diuntung-
Salah satu warisan jelek dari Orde Baru kan oleh Orde Baru percaya akan doktrin itu. Begitu
adalah kalangan terdidik yang pula sebagian intelektual yang kemudian menulis
diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga mengang- tentang Orde Baru sebagai tahap transisi atau
gap kediktatoran sesuatu yang normal. Kelas ini persiapan menuju demokrasi. Kita ambil saja satu
hidup nyaman di balik pagar tembok tinggi, begitu sebagai contohnya, yakni Nurcholish Madjid yang
berjarak dan tak mempercayai rakyat, sehingga pada tahun 1994 menulis bahwa demokrasi adalah
pikirannya mirip-mirip penguasa kolonial yang meng- “kelanjutan logis keberhasilan pembangunan
anggap “massa rakyat” sebagai kumpulan mahluk nasional.” Orde Baru menurutnya menciptakan
bodoh, pemalas dan senang kekerasan. Ketika “tingkat ekonomi yang relatif memadai, persatuan
menghadapi kasus-kasus kekerasan massal, mereka dan kesatuan nasional, stabilitas, keamanan dan
menggunakan asumsi-asumsi tak berdasar tentang ketertiban nasional”. Golkar pun dianggap sebagai
“watak primitif” dari rakyat, dan gagal melihat “berkah” karena menjadi “pendukung utama terwu-
bagaimana modernisasi Orde Baru yang kacau dan judnya pemerintahan yang stabil dan kuat, yang
anti-demokratik sesungguhnya menciptakan memungkinkan pembangunan nasional.” (“Demo-
kekerasan secara teratur. Sementara kalangan terdidik krasi dan Demokratisasi di Indonesia,” dalam
ini melihat khalayak di sekelilingnya sebagai Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi , E.P.
ALIT AMBARA

penghambat demokrasi, yang terjadi adalah Taher ed., Jakarta, 1994).


sebaliknya: kalangan terdidik inilah yang lebih
menghalangi berkembangnya demokrasi. Komentar itu mencerminkan pandangan standar di
kalangan intelektual Indonesia: bahwa Orde Baru
7
membangun dasar-dasar bagi de- bang ini para kolaborator bisa
mokrasi. Lalu, tesis kesukaan melihat rezim Soeharto yang anti- Sungguh
sebagian intelektual yang diang- demokratik sebagai sesuatu yang
gap “pro-demokrasi” pada tahun sah. Keterbelakangan rakyat Indo- kesalahan yang
1980-an dan 1990-an adalah bahwa nesia itulah yang membuat serius ketika inte-
kelas menengah, yang terbentuk mereka harus berada di bawah lektual Indonesia
melalui pertumbuhan ekonomi kekuasaan seorang sultan dan percaya bahwa se-
Orde Baru, akan menjadi pendo- pasukan militernya. Orang Indone- buah negeri harus
rong utama bagi gerakan baru sia harus dipaksa memasuki “mo- melalui fase non-de-
menuju demokrasi. Kelas mene- dernisasi” karena masih terpe- mokratik untuk
ngah inilah yang akan mendorong rangkap dalam “alam pemikiran
kediktatoran Soeharto ke pinggir, yang belum cukup rasionil”. Orang mempersiapkan diri
jika tidak mendongkelnya. Kaum Indonesia tidak bisa diberi menuju demokrasi.
intelektual ini bertolak dari premis demokrasi karena mereka dengan
yang sama seperti Orde Baru – mudah dimanipulasi dalam “per-
bahwa orang Indonesia pada tentangan politik dan ideologi
dasarnya primitif dan terbelakang sempit”. Lebih baik rakyat di pe- karang ini justru lebih sulit dari
– dan berkesimpulan bahwa hanya desaan tidak terlibat politik sama sebelumnya. Buktinya bisa kita
kaum profesional terdidik di sekali dan bekerja saja di sawah temukan di produk utama dari “de-
perkotaan, dengan wawasan kos- atau ladang sepanjang hari. mokrasi” kita sekarang, yakni DPR.
mopolitan serta perut kenyang, Mereka harus dipisahkan dari Partai-partai yang menang dalam
yang dapat mematahkan “kebia- partai-partai politik (artinya dipi- Pemilu 1999 tidak menganggap
daban rakyat” dan memimpin sahkan dari proses demokratik), diri sebagai wakil rakyat, tapi lebih
oposisi terhadap Orde Baru. dan dibiarkan “mengambang” se- sebagai “elit politik” yang seolah
bagai hamba setia rezim yang neo- punya hak sejak lahir untuk me-
Namun, sekarang ini sudah jelas feodal. Orde Baru menyebut sis-
bahwa kelas menengah (apa pun mimpin dan memungut pajak dari
tem anti-demokrasi ini sebagai wong cilik . Megawati misalnya
pengertian kita tentang kategori “demokrasi Pancasila” yang
yang begitu longgar) bukanlah menggunakan istilah “elit politik”
tentunya merendahkan makna untuk menyebut dirinya dan para
kekuatan pendorong di balik Pancasila itu sendiri.
jatuhnya Soeharto. Ada banyak pemimpin partai yang lain tanpa
kelas yang terlibat di dalamnya. Sungguh kesalahan yang serius rasa malu sedikit pun. Boleh jadi
Justru sebaliknya, banyak kelas ketika intelektual Indonesia perca- ia menganggap dirinya sebagai
menengah yang pada bulan Mei ya bahwa sebuah negeri harus seorang putri yang tugasnya
1998 berlompatan ke Kijang atau melalui fase non-demokratik untuk hanya tersenyum dan melambai-
Cherokee mereka, mencari kenya- mempersiapkan diri menuju de- kan tangan. Para elit ini tidak me-
manan di Puncak atau luar negeri. mokrasi. Ekonomi pemenang lihat orang Indonesia lainnya se-
Tiga dekade pertumbuhan ekono- Anugerah Nobel Amartya Sen bagai warga (citizen) dengan hak-
mi Orde Baru melahirkan kelas menulis, “sepanjang abad ke-19, hak tertentu, dan karena itulah
yang mapan dan sekaligus takut para teoretisi demokrasi mengang- mereka tidak pernah mempriori-
kehilangan harta benda mereka. gap diskusi tentang apakah sebu- taskan reformasi konstitusi untuk
Kelas yang oleh kaum intelektual ah negeri “cocok untuk demokra- menjamin hak-hak tersebut.
diharap menjadi agen perubahan si” atau tidak, sebagai sesuatu Seperti kita tahu prioritas mereka
ternyata hanya segerombolan yang wajar. Pemikiran ini berubah justru mengeruk uang dan
penakut yang konservatif. dalam abad ke-20, ketika menya- kekuasaan untuk kepentingan
dari bahwa pertanyaan itu sesung- partai dan diri sendiri. Tentu saja
Keyakinan pada kelas menengah guhnya keliru: Sebuah negeri tidak sulit membangun demokrasi
sebagai agen demokrasi sebenar- bisa dinilai apakah sehat untuk ketika partai-partai politik, yang
nya sejalan dengan pikiran Orde demokrasi, tapi justru negeri itu seharusnya menjadi kendaraan
Baru mengenai demokrasi. Ketika akan menjadi sehat melalui demo- untuk mengubah negara, berkait-
Brigjen Ali Moertopo pertama kali krasi.” (Journal of Democracy 10:3, kelindan dengan dunia gangster
mengemukakan konsep “massa 1999). Dengan kata lain, sebuah politik Orde Baru.
mengambang” dalam Akselerasi bangsa yang miskin dan tak
Modernisasi Pembangunan 25 Demokrasi sekarang dipahami be-
terdidik akan maju pertama-tama gitu sempit sehingga banyak o-
Tahun (1972), ada banyak orang melalui pembentukan sistem po-
sipil yang setuju dengannya. rang percaya bahwa Indonesia se-
litik yang demokratik. Sen menulis karang adalah negeri demokratik
Konsep ini bahkan tidak bisa bahwa pikiran itu mulai berubah
dilihat semata-mata sebagai hanya karena berhasil menjalan-
di abad ke-20, tapi tentunya ia ti- kan pemilu bebas pada tahun
ciptaan negara Orde Baru, tapi dak memasukkan Indonesia di
sebagai kesepakatan di antara 1999. Pemilu yang bebas tentu saja
mana kaum intelektualnya masih penting tapi bukan satu-satunya
sekian banyak elit sipil. Lagipula, terjerembab dalam alam pikir dari
buku itu sebenarnya tidak ditulis alat ukur demokrasi. Pertama, se-
abad sebelumnya. buah negeri bisa disebut demokra-
oleh Moertopo sendiri, melainkan
oleh sebagian intelektual CSIS Cukup jelas pula bahwa selama tik, jika semua lembaga negara
berdasarkan berbagai ceramah tiga dekade rezim Soeharto tidak bertanggungjawab kepada rakyat.
dan wawancara dengannya. membawa Indonesia ke jalan Indonesia belum punya pemerin-
menuju demokrasi. Sebaliknya, tahan demokratik karena masih
Dengan konsep massa mengam- tugas membangun demokrasi se- ada banyak posisi, seperti camat,

8 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


SEMSAR SIAHAAN
yang tidak dipilih secara langsung. satunya kritik yang kita dengar merintahan. Jika tidak, siapa yang
Militer dengan struktur teritorial- adalah bahwa Orde Baru itu bisa menghentikan para birokrat
nya juga seperti punya pemerin- sungguh korup. Tapi kita tidak untuk menyelewengkan milyaran
tahannya sendiri; menjadi negara pernah dengar keluhan apa pun dolar, seperti yang dilakukan Bank
dalam negara yang sama sekali ti- tentang “depolitisasi ekonomi” Indonesia dalam kasus BLBI?
dak transparan. Kedua, pemerin- yang dikumandangkan oleh eko-
tah harus menghargai hak-hak de- nom Sumitro dan rekan-rekannya, Nampaknya sudah jelas bagi kita
mokratik, seperti kebebasan bica- dan menganggap seolah-olah bahwa gelombang kekerasan yang
ra, menerbitkan sesuatu dan pembagian kekayaan dan milik di melanda negeri ini adalah hasil
berkumpul. UUD 1945 tidak secara negeri ini hanyalah urusan teknis, dari tumpukan masalah selama
tegas mendukung hak-hak dasar dan bukan urusan politik yang berkuasanya Orde baru. Tapi di
itu dan pemerintah yang berkuasa seharusnya diputuskan oleh tengah hiruk-pikuk “elit politik”
berulangkali melanggarnya tanpa semua rakyat. Dan para ekonom kekerasan dianggap sebagai gejala
sanksi apa pun. Ketiga, harus ada yang ikut mendirikan Orde Baru baru yang tidak ada kaitannya
pemerataan ekonomi, atau seti- dan tetap menyebar mitos tentang dengan zaman keemasan Soe-
daknya langkah-langkah yang jelas “ilmu ekonomi” yang non- harto, ketika segalanya terasa
menuju ke arah itu. Pemilu tidak ideologis dan bebas nilai, pun nyaman dan damai. Karena itu,
banyak artinya bagi masyarakat tetap dianggap sebagai ahli-ahli jalan keluarnya bagi mereka
yang masih memiliki kesenjangan terbaik di negeri ini oleh “elit poli- bukanlah dengan mengubah
kelas demikian hebat. Segelintir tik” sekarang. semua kebijakan dan gagasan
orang yang menguasai kekayaan Orde Baru, tapi justru menerap-
negeri juga sekaligus berkuasa Kita tahu bahwa anggapan mereka kannya lebih hebat lagi. Jika rakyat
dalam proses pemilihan. Hak-hak keliru belaka. Korupsi adalah Aceh misalnya, terasing dari pe-
politik bagi warga dengan begitu masalah yang mengaitkan ekono- merintahan pusat setelah teror
tidak ada artinya sama sekali. mi dengan politik secara langsung. militer selama sepuluh tahun ber-
Sukarno pernah menggambarkan Gelar “salah satu negara paling lakunya DOM, maka jalan keluar
demokrasi borjuis ini dengan korup di dunia” yang disandang sekarang justru menambah
pernyataan “di lapangan politik Indonesia sekarang ini, adalah pasukan di sana. Jika rakyat
rakyat adalah raja, tetapi di tanda tidak adanya demokrasi. Kalimantan dan Sulawesi berdu-
lapangan ekonomi tetaplah ia Korupsi tidak mungkin diperangi yun-duyun diusir oleh perkebun-
budak” (Dibawah Bendera Revolu- secara serius dengan menempat- an kelapa sawit dan pertambangan
si, hal. 585). kan segelintir orang jujur di dalam (yang menciptakan beragam
birokrasi atau membuat sejumlah konflik atas tanah), maka jalan
Kita bisa menilai watak “elit poli- perubahan prosedural. Adalah keluarnya justru dengan memper-
tik” sekarang tepat dari kritik warga yang harus diberdayakan luas perkebunan dan membangun
mereka terhadap Orde Baru. Satu- dan secara aktif terlibat dalam pe- tambang-tambang baru. Jika

9
akhirnya mencari-cari penjelasan al itu menuju resesi ekonomi, ke-
Masalah yang dalam “keterbelakangan budaya” kuatan demokratik yang melin-
rakyat setempat. dungi – yang mencegah terjadinya
dihadapi Indonesia kelaparan massal di negeri-negeri
sekarang adalah Banyak intelektual sekarang yang demokratik – tidak ada di negeri
berlanjutnya kekua- ternyata gagal mengambil pelajar- seperti Indonesia. Kaum yang
saan para mantan an dari pengalaman hidup di terampas harta-bendanya tidak
bawah Orde Baru: bahwa kita ti- punya orang yang mendengarkan
menteri, penasehat, dak mungkin membangun bangsa
penyair dan pokrol nasib mereka.”
dengan meningkatkan ketimpang-
bambu warisan Soe- an di antara warga dan memusat- Masalah yang dihadapi Indonesia
harto yang hanya kan kewenangan di tangan sege- sekarang adalah berlanjutnya ke-
berbicara dalam ba- lintir institusi yang tidak bisa kuasaan para mantan menteri,
hasa kekuasaan, diminta pertanggungjawabannya penasehat, penyair dan pokrol
bukan bahasa hak. seperti birokrasi sipil dan militer bambu warisan Soeharto yang
sekarang. Lagi-lagi Amartya Sen hanya berbicara dalam bahasa
berkomentar tentang ini: “Masa- kekuasaan, bukan bahasa hak.
perekonomian hancur karena ke- lah-masalah di Asia Timur dan Tegasnya, elit yang berkuasa seka-
tergantungan yang akut pada Tenggara belakangan ini memper- rang adalah elit yang sama pada
modal asing (sehingga munculnya lihatkan antara lain hukuman bagi masa Orde Baru tanpa Soeharto.
masalah hutang luar negeri yang pemerintahan yang tidak demo- Kemiskinan wacana intelektual In-
luar biasa besar dan larinya modal kratik. Dan ini terlihat dari dua hal. donesia sekarang ini bertolak dari
jangka-pendek pada tahun 1997), Pertama, perkembangan krisis fi- asumsi bahwa rakyat terlalu
maka jalan keluarnya justru nansial di beberapa negeri (terma- biadab untuk diberi hak-hak.
mengubah seluruh perekonomian suk Korea Selatan, Thailand dan Karena itu kita selalu mendengar
untuk memuaskan investor asing. Indonesia) terkait erat dengan ku- orang bicara tentang masa seka-
Kekerasan di Kalimantan Tengah rangnya transparansi dalam rang yang “terlalu demokratik”
misalnya jelas bukan produk dari bisnis, terutama kurangnya parti- padahal sesungguhnya demokrasi
pertentangan tradisi atau karena sipasi publik dalam meninjau nyaris tidak ada. Konsep “massa
watak “primitif” masyarakat, tapi kesepakatan-kesepakatan finansi- mengambang” masih berjaya dan
justru karena “modernisasi” yang al yang dibuat. Tidak adanya fo- belum ditenggelamkan ke dasar
diterapkan Orde Baru di sana. Di rum demokratik yang efektif sa- samudra, yaitu tempat yang pal-
masa kekuasaan Soeharto orang ngat berpengaruh dalam kegagal- ing pantas bagi kebodohan yang
Dayak diusir dari tanah-tanah me- an ini. Kedua, ketika krisis finansi- tak termaafkan.
reka dan semua “tradisi” Dayak
pun luluh lantak. Kita tidak bisa
bicara tentang orang Dayak seba-
gai masyarakat tradisi atau asli
sekarang ini, karena komunitas
mereka sudah berubah secara
dramatis dengan adanya ekspansi
kapitalisme. Sementara itu orang
Madura dibawa ke sana melalui
program transmigrasi yang diran-
cang dan dilaksanakan secara se-
rampangan dengan korupsi di
mana-mana, sehingga gagal mem-
bawa kemakmuran. Banyak pre-
man Dayak dan Madura yang
terlibat dalam aksi kekerasan di
sana punya koneksi dengan
lembaga yang membanggakan diri
sebagai pendorong modernisasi,
yakni militer. Para pemimpin
Dayak yang terlibat dalam aksi-aksi
kekerasan di sana tidak lain bagian
dari institusi yang paling modern
di sana, yakni Universitas Palang-
karaya. Semua ini menunjukkan
bahwa masalah di Kalimantan
Tengah sesungguhnya adalah
“modernisasi” yang kacau-balau
SEMSAR SIAHAAN

ciptaan Orde Baru. Tapi masalah


ini luput dari perhatian kaum inte-
lektual, yang karena tidak punya
perspektif kritis mengenai pemba-
ngunan ekonomi Orde Baru,

10 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


SEMSAR SIAHAAN
Mengubah Konstitusi,
Memperkuat Bangsa

Hidup bersama sebagai bangsa berarti melihat sesama sebagai mahluk setara, yakni sebagai
manusia dengan hak-hak sama yang dijamin hukum. Kesetaraan politik ini adalah esensi dari
identitas nasional, dan bukan tempelan yang boleh dibongkar-pasang sesuka penguasa. Sebuah
bangsa, seperti kita ketahui, adalah sekelompok orang yang memiliki solidaritas horisontal
yang kuat. Dan dari mana datangnya solidaritas, penghargaan terhadap sesama, jika bukan dari
kepastian yang nyata dan kuat bahwa kita semua memiliki hak yang sama? Orang harus merasa
setara bukan hanya dalam imajinasinya, dan bukan pula semata-mata secara simbolik (misalnya
saat berdiri di lapangan dan menyanyikan Indonesia Raya), tapi dalam praktek sehari-hari
lembaga pemerintah. Prasyarat dasar bagi sebuah bangsa yang kuat adalah konstitusi yang
secara eksplisit mencantumkan hak-hak tersebut dan menjadi panduan hidup bernegara. Tanpa
konstitusi yang mengakui dan menjamin hak-hak itu bagi setiap warga, maka kita tidak mungkin
membangun bangsa. Seperti dikatakan Soekarno tahun 1956, “negara demokratik berdasarkan
rule of law sebagai syarat dasarnya harus memiliki konstitusi yang dirumuskan oleh rakyatnya
sendiri.” (Risalah Konstituante)

J
ika kita menganggap konsti dan 1950, UUD yang kita gunakan tentang “hak asasi manusia dan
tusi sebuah bangsa sebagai sekarang hanya mengakui segelin- kebebasan” dan bagian itu (bagian
indikator penting untuk tir hak warganya, yakni hak atas 5) ditempatkan pada bagian awal,
menetapkan tingkat demokrasi- pekerjaan, hak atas pendidikan, sebelum bagian-bagian yang
nya, maka kita bisa lihat bahwa hak bela negara, dan hak beraga- menjelaskan kewenangan ekseku-
UUD 1945 mencerminkan kurang- ma sesuai keinginan. Kebebasan tif, legislatif dan yudisial. Dalam
nya demokrasi di negeri ini. UUD berkumpul, berbicara dan kebe- bagian itu ada 28 pasal, jauh lebih
1945 yang kita miliki sekarang basan pers sebaliknya tidak pernah banyak dari jumlah pasal di
sesungguhnya bersifat sementara ditetapkan dengan jelas, dan se- bagian-bagian lainnya. Pasal-pasal
dan tidak lengkap; dan memang muanya disebut akan “diatur lebih itu sepenuhnya mengakui tiga ke-
tidak pernah dimaksudkan sebagai lanjut melalui undang-undang.” bebasan dasar yakni kebebasan
konstitusi yang abadi. Seperti berkumpul, berbicara dan pers.
dikatakan Soekarno dalam sidang Untuk memahami kekurangan dari Ada pula pengakuan eksplisit akan
pembahasannya, “ini adalah Un- UUD 1945 kita tinggal memban- hak warga untuk membentuk
dang-undang dasar kilat.” Tidak dingkannya dengan UUDS 1950 serikat-serikat buruh. Negara,
seperti konstitusi di tahun 1949 yang berlaku sampai tahun 1959. dalam pasal-pasal ini, tidak
Di sana ada satu bagian khusus
11
dijamin (dan ini pula yang
membuat banyak di antaranya de-
ngan mudah kemudian bergabung
ke Golkar setelah Soeharto
berkuasa). Masyumi dan NU saat
itu tetap menginginkan negara Is-
lam yang jelas membuat orang
non-Muslim menjadi warga kelas
dua. Masyumi bahkan terlibat
dalam pemberontakan bersenjata
melawan pemerintah, seperti
PRRI/Permesta bersama PSI yang
tidak percaya bahwa massa rakyat
bisa memegang kendali republik.
Partai Komunis Indonesia dalam
hal ini lebih demokratik, dan
komitmen mereka terhadap kedau-
latan dan kekuasaan rakyat pun
jelas, walaupun ada masalah juga
dengan paradigma anti-demokra-
si seperti sistem satu-partai yang
dicontoh PKI dari Uni Soviet atau
Tiongkok. Dengan kata lain semua
kekuatan politik mengumandang-
kan retorika demokrasi di tahun
1950-an dan 1960-an, tapi tak satu
pun yang benar-benar punya
komitmen untuk mewujudkannya.
Gerak maju demokrasi terhambat
semasa “Demokrasi Terpimpin”
dari tahun 1959 sampai 1965,
walau tidak sepenuhnya dibun-
tungi. Negara di bawah Soekarno
tidak secara aktif merampas hak-
hak sebagian besar warganya.
Baru di zaman Soeharto, khusus-
nya setelah “kudeta merangkak”
tahun 1965-67 demokrasi menga-
lami pukulan mundur yang luar
biasa. Seluruh hak dirampas, ter-
masuk hak-hak yang jelas dijamin
dalam UUD 1945, dan rakyat
menjadi hamba dari kediktatoran
SEMSAR SIAHAAN

atau sejenis kesultanan baru.


Seperti dikatakan Soekarno pada
tahun 1966, “bangsa kita sekarang
merosot kembali 50 tahun”. Mak-
sudnya tidak lain bahwa semua
pencapaian yang susah-payah
berwenang menangkap orang bawah pimpinan Nasution, militer diraih gerakan nasionalis sejak
seenaknya, menyiksa mereka dan berkampanye “kembali ke UUD Budi Utomo, dirampas atau han-
menyita harta benda mereka tanpa 1945” dan menekan pemerintah- cur berantakan.
kompensasi, tidak berhak pula an Soekarno agar menyetujui
meniadakan pengadilan yang jujur usulan itu. Tapi, bagaimanapun Di masa Orde Baru, orang Indone-
atau merampas hak orang sesuka- harus kita akui bahwa Soekarno sia tidak lagi melihat sesamanya
nya. Konstitusi yang tengah diran- sendiri tidak percaya pada demo- sebagai citizen yang terlibat dalam
cang oleh Dewan Konstituante di krasi dan cenderung melihat diri- keputusan politik dan etik me-
akhir tahun 1950-an memberikan nya, dan bukan dewan perwakilan nyangkut kehidupan bersama.
prioritas serupa untuk hak-hak yang dipilih langsung oleh rakyat, Wacana hak yang digerakkan oleh
warganegara. sebagai perwujudan kehendak gerakan nasionalis dikubur de-
rakyat. ngan paksa. Contohnya mudah
Kita tidak bisa menuding orang saja. Istilah “citizen” dalam baha-
atau organisasi tertentu sebagai Dan ini terwujud bahwa birokrat sa Inggris berarti seseorang yang
penyebab bubarnya Konstituante priyayi di PNI pada dasarnya tidak memiliki hak-hak tertentu,
pada tahun 1959. Bagaimanapun perlu pada bentuk pemerintahan sementara dalam bahasa Indone-
militer tetap terlihat sebagai yang apa pun selama kepentingan dan sia – apalagi di zaman Orde Baru –
paling bertanggungjawab: di hak-hak istimewa mereka tetap istilah warganegara tidak
12 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
Saat ini para anggota MPR dan dan bukan untuk memperbaikinya.
...semua kekuatan “elit politik” seharusnya bekerja Partai-partai lain pun sama saja.
siang-malam untuk merumuskan Tak satu pun dari mereka yang
politik menguman- konstitusi baru yang dapat memiliki landasan jelas atau
dangkan retorika mengubah semua kelemahan itu. mengajukan rencana kongkret un-
demokrasi di tahun Tapi yang kita lihat justru tuk mengubah konstitusi agar
1950-an dan 1960- sebaliknya. Tak satu pun partai dapat menjamin hak setiap orang
an, tapi tak satu yang tertarik mengemban tugas sebagai citizen.
pun yang benar- itu, kecuali untuk membuat
amandemen yang tidak terlalu Tidak adanya ketertarikan untuk
benar punya mengubah dan memperbaiki kon-
penting seperti mengubah masa
komitmen untuk jabatan presiden. PDI-P yang stitusi tidak lain adalah produk
mewujudkannya. merupakan partai terbesar selalu keberhasilan Orde Baru dalam
berbicara tentang UUD 1945 seba- menjungkirbalikkan nasionalisme
mengandung konotasi yang sama. Indonesia dan memutusnya dari
gai sesuatu yang sakral, dan kader-
Militer Indonesia yang di zaman itu konsep “warganegara” lengkap
kadernya selalu berpidato tentang
mulai menyebut dirinya “perekat dengan hak-hak yang terkait
“kembali ke hakikat UUD 1945”,
bangsa” secara implisit tidak per- dengannya. Kalau kita memba-
caya bahwa ada solidaritas hori-
sontal di antara orang Indonesia.
Justru sebaliknya mereka meman-
dang penduduk kebanyakan
semata-mata sebagai gerombolan
ternak yang harus dipaksa hidup
bersama secara “aman dan
terkendali”.
Orde Baru juga ahli untuk menga-
du domba warga, seperti yang kita
lihat pada tahun 1965-66 ketika
militer menghasut orang sipil un-
tuk membunuh siapa saja yang
dituduh “komunis”. Jutaan orang
menjadi korban-korban pertama
Orde Baru yang dirampas haknya:
hak untuk hidup, hak mendapat
pengadilan yang fair, hak untuk ti-
dak disiksa atau diperlakukan
sewenang-wenang, hak berbicara
dan banyak lagi lainnya.
Celakanya, tindakan ini didukung
oleh sebagian elit dan intelektual
kelas menengah Indonesia,
sehingga Soeharto selanjutnya
leluasa melakukan hal yang sama
kepada siapa pun. Kaum nasional-
is, umat Islam, petani, perempuan
desa, orang Papua, Timor Lorosae
dan Aceh, dan siapa pun yang di-
anggap ancaman susul-menyusul
menjadi korban dari praktek yang
sama. Dan ini bukan penyimpang-
an sekelompok “oknum”, melain-
kan sebuah upaya sistematis. Lihat
saja bagaimana orang Tionghoa
yang sudah berulangkali menjadi
korban diskriminasi di masa
Soekarno, diperlakukan lebih
parah dan bahkan dianggap seba-
gai orang asing di zaman Orde
Baru. Kita tentunya sadar bahwa
ada yang salah ketika istilah
“warganegara Indonesia” tidak
dipakai untuk menunjuk seseorang
SEMSAR SIAHAAN

dengan hak tertentu, tapi justru


menjadi istilah resmi untuk me-
nyebut komunitas minoritas yang
sudah dibuntungi hak-haknya.

13
ca tulisan-tulisan tentang nasio- Nasionalisme di bawah Orde Baru
nalisme di masa Orde Baru maka sebaliknya dipisahkan sama sekali
sulit ditemukan pembahasan ten- dari politik dan direduksi menjadi
tang pentingnya hak-hak warga masalah mental-kebudayaan. Lihat
negara dan demokrasi sebagai saja Taman Mini yang mencermin-
jaminan adanya nasion yang kuat. kan perspektif Orde Baru tentang
Ambil misalnya tulisan Harsja “bangsa Indonesia” sebagai kum-
Bachtiar yang meraih gelar doktor pulan suku-suku bangsa dengan
dengan disertasi tentang integrasi pakaian dan adat-istiadatnya sen-
nasional. Dalam sebuah artikel di diri. Atau masuklah ke Museum
Prisma tahun 1976 dikatakannya, Nasional, dan lihat peta Indonesia
nasion Indonesia “merupakan yangdikelilingi gambar orang-o-
suatu kesatuan sosial yang rang dengan raut wajah, potongan
sungguh-sungguh baru dan me- rambut, perhiasan dan pakaian
wujudkan ikatan-ikatan solidaritas yang seolah mencerminkan suku-
yang meliputi sekalian anggota- bangsa tertentu. Mungkin karena
anggotanya.” Lantas apa basis dirasa kurang, tiap gambar pun
dari kesatuan, atau apa yang dipertegas dengan caption “Bali”,
membuat kita menjadi satu na- “Batak”, “Timor” dan seterusnya.
sion? Jawabnya, “nilai-nilai dasar- Indonesia dibayangkan sebagai
nya dinyatakan sebagai asas-asas kumpulan suku-suku bangsa, de-
Panca Sila”, “bahasa sendiri”, ngan kata lain kumpulan orang
“kebudayaan sendiri” dan “kesu- yang tidak punya identitas politik
sasteraan Indonesia.” sebagai warga (citizen).
Harsja Bachtiar tidak sendirian. Rezim Soeharto juga terkenal suka
Cukup banyak penulis yang akan penampilan. Hari Kartini yang
mengacaukan sebab dan akibat seharusnya menjadi saat mene-
adanya solidaritas horisontal yang gaskan komitmen pada pembe-
disebut nasionalisme itu. Apa basan perempuan diubah menjadi
yang disebutnya sebagai akibat hari pameran pakaian daerah.
sesungguhnya adalah sebab . Dalam hal ini pemerintah “refor-
Pancasila misalnya lahir setelah o- masi” tidak banyak bedanya.
rang Indonesia menjadi nasional- Dalam peringatan 100 tahun Bung
is. Orang mulai berpikir tentang Karno, perspektif Taman Mini itu
kebudayaan, bahasa dan sastra In- dipertontonkan di Senayan: setiap
donesia (nasional), setelah gerak- propinsi diwakili barisan orang de-
an nasionalis tumbuh berkem- ngan apa yang diklaim sebagai
bang dan membuat banyak orang “pakaian daerah” masing-masing.
merasa diri bagian dari nasion Arti penting Bung Karno, seperti
yang sama. Artinya Harsja juga Kartini, direduksi sedemikian
Bachtiar, seperti banyak penulis rupa menjadi masalah pakaian
lainnya, gagal melihat apa yang daerah. Seolah semua gagasan
membuat orang ingin hidup cemerlang dari kedua tokoh ini
bersama sebagai nasion. Untuk dan kaum nasionalis lainnya cukup
memahami keinginan yang kuat “dirayakan” dengan peragaan
itu, maka kita harus melihat busana. Pemerintah boleh bergan-
adanya hasrat untuk hidup dalam ti tapi cara pandang tetap saja
komunitas yang setara, di mana sama. Di masa “reformasi” per-
tidak ada penindasan dan penghi- spektif Taman Mini yang memotret
sapan, dan jelas tidak ada negara Indonesia sebagai negeri damai
kolonial yang mengekang pendu- dengan kumpulan suku-suku
duk jajahannya. Kesalahan cara bangsa yang hidup berdampingan
pandang tadi masih berlanjut. Ka- secara harmonis, tetap dipelihara
rena mengacaukan sebab dan dan berkembang biak. Tidak sadar
akibat tadi, maka institusi-institusi mungkin bahwa pikiran itu berasal
untuk merawat solidaritas hori- dari zaman kolonial ketika pegawai
sontal tersebut juga luput dari kolonial Belanda melihat diri
perhatian. Kita boleh saja sama- mereka sebagai pegawai netral
sama setuju dengan asas-asas dari pemerintah yang berkuasa
Pancasila, berbicara dalam baha- atas gerombolan-gerombolan
sa yang sama, tapi kita tidak bisa primitif. Adalah penguasa kolonial
membentuk nasion tanpa konsti- Belanda yang selalu melihat orang
tusi yang menjamin kesetaraan itu Indonesia sebagai subyek antropo-
dan lembaga-lembaga politik tem- logis, dan bukan sebagai subyek
pat kita bekerja untuk mencapai politik yang memiliki hak-hak.
kebaikan bersama.
Banyak intelektual yang sekarang
14 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
mulai merenungi makna nasional-
isme Indonesia, terutama setelah
referendum di Timor Lorosae,
perang di Aceh, kekerasan di Kali-
mantan dan Maluku, tapi sedikit
saja yang jernih. Lihat misalnya
tulisan Imam Prasodjo di Kompas
pada akhir Desember tahun lalu.
Dalam tulisan itu ia bertanya: “Apa
yang harus diperhatikan dalam na-
tion building sehingga tercipta
integrasi nasional dan integrasi
sosial yang kuat?” Dan jawabnya:
“perlu ada pengelolaan kreatif un-
tuk menumbuhkan ‘solidaritas e-
mosional’ dalam bingkai kebang-
saan. Dengan kata lain, tiap
komponen bangsa dituntut untuk
memiliki kemampuan ‘seni
bercinta’ (the art of loving) yang
baik …” Jalan keluarnya dengan
begitu, orang Indonesia harus
belajar mencintai sesama. Sulit un-
tuk tidak tertawa mendengar
komentar yang demikian dangkal.
Kalau memang masalahnya sese-
derhana itu, mestinya ribuan lagu
cinta yang diproduksi selama ini
sudah mampu menyelesaikan
masalah yang kita hadapi seka-
rang.
Cinta boleh-boleh saja, tidak ada
yang salah, tapi jelas tidak akan
menyelesaikan masalahnya. Apa
yang diperlukan sekarang adalah
hidup rukun dan menghargai
sesama sebagai orang dengan
hak-hak tertentu. Untuk itu kita
perlu lembaga-lembaga yang
dapat menyelesaikan sengketa
(seperti forum demokratik di ka-
langan rakyat, pengadilan yang
fair dan berwibawa), dan sebuah
konstitusi yang kuat dengan
panduan menjalankan kekuasaan
negara yang jelas pula. Perubahan
ini jauh lebih kita perlukan
daripada belajar “seni mencinta”.
Jika kita memang serius ingin
hidup sebagai nasion, maka
institusi demokratik dan hak-hak
warganegara adalah unsur yang
paling mendasar. Hanya dengan
itu kita bisa menciptakan hidup
bersama secara damai. Tanpa
kemerdekaan dan kebebasan, In-
donesia hanya sebuah nama di
atas peta, dan kita, warganegara
yang hidup di atasnya, hanyalah
segerombolan orang yang tak
punya sumbangan apa pun kecuali
membuat berita-berita sensasional
SEMSAR SIAHAAN

di CNN tentang pembantaian


sesama dan perang yang bergeli-
mang darah.

15
SEMSAR SIAHAAN

Konflik
Menata Ulang Indonesia

Soeharto pergi, konflik dan kekerasan semakin hebat saja. Orang pun langsung menuding bekas
diktator ini sebagai biang keladi. Maklum, selagi berkuasa apa saja mampu dilakukannya,
mulai dari membunuhi jutaan penduduk Indonesia sendiri sampai mencuri uang negara untuk
diri dan keluarganya. Apalagi cuma mengerahkan preman atau provokator ke daerah-daerah
untuk mencipta konflik. Korban jiwa akibat kekerasan dalam tiga tahun terakhir sudah sama
jumlahnya seperti penduduk sebuah kecamatan. Sampai tahun ini lebih dari satu setengah juta
orang dipaksa pergi dari kediaman mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang parah
kondisinya. Ratusan ribu rumah dan tempat kerja milik rakyat yang tidak ikut menikmati pem-
bangunan Orde Baru pun hancur berantakan, sementara anak-anak mereka terlantar karena
gedung-gedung sekolah pun tidak selamat.

D
i media massa mereka yang mantap, komentar mereka diimbu- rakyat belum siap demokrasi dan
menobatkan diri sebagai hi dengan mantra-mantra tentang bahwa gerakan reformasi sekarang
“pengamat sosial-politik” “bangsa yang sakit”, “penyakit sudah kebablasan sehingga harus
atau “pemerhati kebudayaan” atau wabah sosial”, dan segala dihentikan.
berkumpul memberi ceramah dan konsep yang dikutip sekenanya
penjelasan tentang sebab-akibat saja. Pikiran-pikiran semacam itu sudah
dari gelombang kekerasan ini. Se- waktunya dibongkar, dan perlu kita
olah sedang menonton pertan- “Elit politik” tidak jauh berbeda. ajukan pertanyaan mendasar: apa
dingan sepak bola mereka ramai Orang pemerintah, anggota DPR, benar yang kita saksikan di Indo-
“jual strategi”; di satu sisi menya- pimpinan partai politik, perwira nesia sekarang adalah sebuah
lahkan pemerintah karena tak polisi, pejabat militer ramai-ramai “konflik horisontal”? Sejarah
becus, dan di sisi lain memaki menuding kebodohan rakyat seba- berkata lain. Kekerasan di masa
rakyat sebagai gerombolan biadab gai biang keladinya. Gerakan lalu umumnya menjadi bagian dari
karena saling menghancurkan. rakyat memperjuangkan keadilan pertarungan vertikal antara rakyat
“Inilah bahaya demokrasi, kalau dan menuntut hak-hak yang di- melawan kekuasaan negara kolo-
sampai kebablasan ,” demikian rampas pun dengan mudah nial, atau protes terhadap pemer-
kata yang satu. “Rakyat kita me- disulap menjadi “kerusuhan”, intah republik. Di masa Orde Baru
mang belum siap berdemokrasi,” “pertikaian SARA”, tentu dengan kenyataan ini sungguh jelas.
kata yang lain. Kata-kata berbeda, sebelumnya menyusupkan orang
dan bahan yang cukup untuk Ada baiknya kita menengok
tapi kesimpulan sama, begitu pula kembali apa yang sesungguhnya
jalan keluarnya: rakyat harus diatur meyakinkan media massa di lokasi
kejadian. Intinya pun sama, bahwa terjadi dan membongkar semua
agar tertib dan beradab. Agar lebih
16 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
informasi yang dipompakan
oleh para pejabat militer
melalui media massa. Di

ALIT AMBARA
Rakyat tidak bodoh,
Maluku misalnya, konflik yang dan dalam hal ini jauh lebih pandai
selalu digambarkan sebagai “per- dari para pengamat yang hanya
tikaian agama” sebenarnya punya mengunyah ulang pernyata-
asal-usul pada perkelahian antar an pejabat militer. Buktinya
preman, yang mencerminkan per- tidak sedikit yang berani ber-
tentangan di antara elit politik se- bicara tentang kehadiran “or-
tempat. Di Poso pun sama halnya. ang luar” dalam pertikaian
Diawali dari pertikaian antara dua dan konflik itu. Tapi dengan
pemuda yang kebetulan mabuk, cepat mereka dijadikan sasaran
konflik di situ kemudian bergeser dan justru balik dituduh sebagai
menjadi “masalah agama”. Dalam Orde Baru dan pelaku pelanggaran
“provokator” karena mengadu hak asasi manusia sekarang bebas
hampir semua kejadian, termasuk rakyat dengan penguasa. Orang-
di Pontianak, Sampit, Banyuwangi merongrong dan bahkan menyi-
orang pandai ini hanya bisa diam apkan rencana menggulingkan pe-
dan Tasikmalaya, pemuda mabuk, dan berusaha keras agar lingkung-
preman, dan kadang-kadang “ok- merintah.
annya tidak ikut dijerat permainan
num militer” ditemukan sebagai jahat itu. Dan di sinilah masalah Konflik yang berkepanjangan
pemicunya. Setelah itu langgam- sesungguhnya: rakyat tidak punya punya akibat serius bagi perikehi-
nya selalu sama, pemerintah sipil, kekuatan cukup untuk mengatakan dupan rakyat. Bukan hanya tenaga
polisi maupun tentara tidak tidak dan mengambilalih pena- yang terkuras, tapi juga sedikit
berbuat apa-apa dengan alasan nganan konflik atau pertikaian. milik yang tersisa dari era penja-
takut melanggar HAM, sehingga Kebebasan hasil reformasi hanya rahan Orde Baru. Di Aceh, Kali-
para preman dan orang suruhan berlaku bagi segelintir elit, dan mantan, Maluku dan Papua,
bebas berkeliaran menambah berlaku sebaliknya: gerombolan ratusan ribu orang diceraikan
minyak dalam api. dari alat produksinya dan
17
menjadi pengangguran yang ti doktrin Orde Baru, kaum intelek- 30.000 pengungsi termasuk anak-
luntang-lantung di tempat pe- tual dan kelas menengah Indone- anak terpaksa menjual tenaga se-
ngungsian. Tidak sedikit yang sia berharap agar militer segera bagai buruh murah. Mereka
akhirnya rela menjual diri, baik bertindak tegas dan keras. Dan bersaing dengan penduduk setem-
sebagai pekerja seks di sekitar seperti kita tahu yang terjadi justru pat mencari nafkah, dan melahir-
barak militer, maupun demonstran sebaliknya, konflik semakin hebat kan persoalan baru. Perusahaan
bayaran untuk menggulingkan dan rakyat sipil yang bertikai perkebunan pun lebih senang
bupati, gubernur bahkan presiden. mendapat dukungan senjata dan tenaga pengungsi yang murah,
Ada juga yang memilih ikut dalam amunisi. Komunitas warga pun dan di Sulawesi Utara lebih dari
organisasi pemuda atau berma- semakin cerai-berai karena militer 60.000 buruh setempat di perke-
cam jenis “laskar”, karena di rajin menuding “dalang” dan bunan cengkeh dan kopra kehi-
samping mengisi perut, jubah dan “provokator” yang sesungguhnya langan pekerjaan.
senjatanya ternyata ampuh juga hanya membuat orang bingung
untuk alat balas dendam. Akibat- dan frustrasi. Dalam prosesnya mulai terlihat
nya, pemiskinan dan pembodohan bahwa proyek “pembangunan
semakin mendalam, karena mere- Dalam situasi seperti ini penataan kembali” sesungguhnya lebih
ka yang menolak pun tidak bisa ulang pun terjadi, dan semua o- melayani kepentingan mereka
berbuat banyak. Jangankan bang- rang sadar bahwa tanah kelahiran yang membawa proyek itu ketim-
kit dan melawan, untuk menyam- mereka tidak akan sama seperti bang mereka yang menerima.
bung hidup saja sulitnya bukan semula. Di Maluku sudah berlaku Perusahaan kontraktor, industri
main. Jika dihitung secara keselu- segregasi, pemisahan antara ko- bantuan dan pedagang berebut
ruhan tidak kurang dari dua juta munitas Kristen dan Islam yang mendaftarkan diri sebagai rekanan
orang yang kehilangan alat dijaga ketat oleh militer. Di Kali- dalam proyek, mencari keuntung-
mencari nafkahnya karena konflik mantan, orang Madura diusir an baru di tengah tumpukan ke-
dan kekerasan, yang jelas keluar dan para pelaku kekerasan sengsaraan. Tidak sedikit proyek
menambah panjang barisan pe- berikrar takkan membiarkan yang sengaja dibuat setengah jadi
ngangguran Indonesia yang adanya “Madura-Madura yang agar di tahun-tahun mendatang
berderet-deret setelah krisis finan- lain” di sana. Di Aceh militer keuntungan masih mengalir ke
sial 1997. secara sistematis memisahkan kantong para pengelolanya.
“gerombolan pengacau kea-
Mereka yang tetap bertahan manan” dari “rakyat”, yang dalam Bersamaan dengan itu lembaga-
tinggal di daerah-daerah konflik kenyataannya memisahkan orang lembaga keuangan internasional
pun tidak lebih baik nasibnya. Aceh dari pergaulan Indonesia, seperti Bank Dunia semakin gencar
Kekerasan memacetkan kegiatan seperti yang bertahun-tahun berkampanye tentang pemba-
ekonomi seketika. Ancaman dan dilakukan di Papua dan Timor ngunan daerah di bawah panji
desas-desus saja sudah cukup Lorosae. Di sinilah kecurigaan dan “otonomi daerah”. Ide dasarnya,
membuat orang enggan pergi ke prasangka tumbuh subur, dan semua kegiatan ekonomi tidak lagi
ladang apalagi membuka toko semakin mengentalkan konsepsi melalui tangan pusat, tapi cukup
atau warung. Anak-anak mereka absurd tentang “asli” dan “penda- melalui para pejabat di daerah
juga tidak pergi ke sekolah karena tang”. yang baru diporak-poranda. Partai
gurunya memilih pulang ke tem- politik, organisasi pemuda, militer
pat asal atau cari pekerjaan lain Kekuatan untuk bertahan sebagai maupun polisi, jelas lebih tertarik
yang lebih aman. Di Maluku seka- kolektif pun semakin lemah. dengan proyek-proyek ini ketim-
rang ini ada sekurangnya 200.000 Gotong-royong yang memang bang memikirkan perdamaian
orang yang sehari-hari hidup di lazim dipraktekkan semakin tipis, sejati dan penegakan hak-hak
kamp pengungsian. Sekitar 75% dan kepercayaan diri sebagai se- rakyat yang menjadi prasyaratnya.
penduduknya kehilangan pekerja- buah komunitas semakin rontok
akibat “intervensi kemanusiaan” Dalam laporan tahun 2000 Bank
an dan satu juta anak usia 6-15 Dunia mengatakan pertumbuhan
tahun berhenti sekolah akibat yang membanjiri daerah konflik
dengan bermacam bantuan. Para ekonomi dan kekuatan politik di
konflik itu. Hidup pun semakin daerah-daerah akan menjadi hal
bergantung pada bantuan peme- pejabat Orde Baru yang semula
diguncang oleh kejatuhan induk- yang paling penting di abad ke-21,
rintah atau lembaga internasional. karena itu fasilitas komunikasi dan
Lebih dari Rp 3 milyar dikeluarkan nya di Jakarta pun bisa berlega
hati, dan justru sebaliknya tampil transportasi harus dibangun dan
setiap hari, yang hanya akan semua hambatan perdagangan
bertahan selama 24 bulan. Dan kembali sebagai pemimpin. Mere-
ka bersekutu dengan para harus dihapus. Sementara rakyat
sebuah generasi pun tengah masih sibuk menata kembali
terancam. pelaksana program “pemulihan”
dan “rekonstruksi” yang sesung- kehidupannya yang porak-po-
randa akibat konflik, para pemilik
Menata Ulang Kehidupan, guhnya merupakan penataan
modal, birokrat dan pengusaha
Untuk Kepentingan Siapa? ulang masyarakat sesuai dengan
doktrin ekonomi yang dominan, berlomba menyambut “dunia
yakni ekonomi pasar. Di sekitar baru”di bawah pimpinan doktrin
Akibat lain dari konflik dan gelom-
bang kekerasan adalah semakin tempat penampungan pengungsi pasar. m
kuatnya posisi militer. Dengan berdiri proyek-proyek pemba- TIM MEDIA KERJA BUDAYA: Hilmar
klaim “keadaan tidak terkendali” ngunan yang baru untuk menye- Farid, John Roosa, Razif, Sentot
jumlah pasukan terus ditambah, rap tenaga kerja murah yang hidup Setyosiswanto.
birokrasi diperkuat dan persenja- berdesakan.
taan pun semakin hebat. Mengiku-
Di Manado misalnya, sekitar
18 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
> > > P R O F I L

Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat.


Tidak semua orang melakukannya. Tapi menerbitkan buah pikiran yang
direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi adalah pe-
kerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang
yang lebih dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga
kelas dua” di negeri sendiri. “Kami hadir saat Soeharto sedang
kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga.

HASTA MITRA:

Bertarung
ISTIMEWA
Melawan Pembodohan
Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah edi-
tor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim >>Razif
Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April
1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit
itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya bentuk cerita pun kembali
yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang ditekuninya. Dengan bahan yang
sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti serba terbatas ia mulai mencerita-
Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja. kan jilid pertama Bumi Manusia
kepada tahanan yang lain di
sawah-ladang maupun barak

U
saha itu tentu bukan berbeda adalah ancaman, dan
tanpa masalah. Di mereka yang melakukannya bisa penampungan. Baru dua tahun
tahun 1980-an Orde dianggap berkhianat terhadap kemudian ia mulai menulis atas
Baru tengah mencapai bangsa dan negara. jasa beberapa tahanan yang
puncak kejayaannya. memperbaiki dan menyerahkan
Segala bentuk perlawanan, mulai Sekeping Pernyataan mesin tik tua Royal 440 untuknya.
dari PKI, kaum nasionalis, ulama Demokrasi Hasjim Rachman, mantan pemim-
sampai mahasiswa berhasil Awalnya sederhana. Tahun 1973 pin redaksi Bintang Timur, yang
diredam dan kontrol militer Pramoedya yang ditahan di Pulau ikut menikmati kisah-kisah
berlaku di segala bidang. Buru diberi sedikit keleluasaan Pramoedya suatu saat mendata-
Kehidupan sosial-budaya dirasuki untuk melanjutnya kerja kreatif. nginya dan meminta izin untuk
semangat “penertiban dan Hasrat lama untuk menyusun menerbitkannya setelah bebas.
penyeragaman”, di mana pikiran siklus sejarah Indonesia dalam Pramoedya pun setuju. “Suatu
profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 19
persetujuan lisan, tanpa bukti, awal kami ambil dari dapurnya pat pembayaran penuh dari agen
tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami Hasjim,” kenang Joesoef. Bebera- dan toko buku, cetakan kedua
berdua menyadari: penerbitan pa kerabat dan sahabat yang langsung dipesan.
adalah sekeping pernyataan de- simpati kemudian memberi tam-
mokrasi,” tulis Pramoedya bebe- bahan modal sehingga Hasta Mitra Dalam bulan November Hasta
rapa tahun kemudian. Di tengah bisa mulai berjalan. Mitra sudah membuat cetakan
ketidakpastian nasib sebagai ketiga, dan berhasil menjual seku-
tahanan Orde Baru pembicaraan Tetralogi Buru: rangnya 10.000 eksemplar. Dan
berlanjut membahas rencana- Demokrasi Hasil sambutan pun semakin ramai,
rencana mewujudkan niat itu. Keringat Sendiri mulai dari kritikus Jakob Soemar-
djo dan Parakitri Simbolon sampai
Bulan April 1980 selepas dari Naskah pertama yang mereka pilih artis remaja Yessy Gusman yang
tahanan, Hasjim dan Pramoedya untuk diterbitkan adalah Bumi menyebutnya “karya sastra yang
menemui Joesoef Isak, mantan Manusia, jilid pertama dari kisah terbagus saat ini.” Harian Angkat-
wartawan Merdeka yang belasan pergerakan nasional Indonesia an Bersenjata yang dikelola Mabes
tahun mendekam di Rutan Salem- antara 1898-1918. Pramoedya kem- ABRI pun menyebutnya sebagai
ba. Diskusi berkembang, dan bali bekerja keras memilah “sumbangan baru untuk khasanah
kesepakatan dicapai untuk tumpukan kertas doorslag yang sastra Indonesia”.
menyiarkan karya eks-tapol yang berhasil diselamatkannya dari
selama ini tidak mendapat sam- Pulau Buru. Hampir semua naskah Pemasukan awal cukup lumayan
butan dari penerbit lain. Awalnya aslinya ditahan oleh penguasa sehingga Hasta Mitra bisa mem-
mereka berniat tidak hanya mener- kamp dan sampai hari ini belum benahi ruang kantornya dan
bitkan karya tulis, tapi juga dikembalikan. Dalam waktu tiga mempekerjakan 20 pegawai, yang
menyiarkan rekaman musik, bulan ia berhasil menyalin kembali hampir semuanya adalah eks-
lukisan dan hasil kerja kreatif dan merajut tumpukan kertas tapol. “Hasta Mitra memang tidak
lainnya. “Kami mau membuktikan lusuh yang dimakan cuaca menja- untuk cari untung, tapi juga
kepada dunia bahwa dari Pulau di naskah buku. Hasjim dan menampung teman-teman yang
Buru juga bisa lahir hal-hal yang Joesoef sementara itu berkeliling kesulitan. Waktu itu banyak kantor
positif, bukan hanya cerita sedih menemui beberapa pejabat peme- yang tutup pintu kalau pelamarnya
dan penderitaan saja,” kata Hasjim rintah, termasuk wakil presiden pernah mendekam di tahanan,”
ketika itu. Adam Malik, yang ternyata mem- kata Joesoef. Seorang kerabat
berikan sambutan baik. yang simpati memberi sumbang-
Pembagian kerja dimulai. Pramoe- an mesin typeset CR-Tronics yang
dya terus menulis dan memperba- Awal Juli 1980 naskah Bumi sangat canggih untuk zamannya
iki naskah-naskah yang disusun- Manusia dikirim ke percetakan Aga dan melengkapi beberapa perabot
nya selama di tahanan. Dua di Press dengan harapan terbit yang diperlukan.
antaranya, Mata Pusaran dan Oroh menjelang peringatan Proklamasi.
Ratusanagara, sampai sekarang Cetakan pertama keluar tanggal 25 Keberhasilan pertama membuah-
tidak jelas nasibnya. Setelah keluar Agustus, agak meleset dari kan bayangan indah di benak
dari tahanan, naskah Ensiklopedi harapan semula karena alasan ketiganya. Niat untuk ikut me-
Citrawi Indonesia yang disusun- teknis. Hari-hari yang sungguh nyumbang pada perkembangan
nya bertahun-tahun jadi sasaran. berarti karena setelah sekian tahun ilmu dan seni semakin membesar.
Bulan September 1979 seorang kerja paksa dan setelah lepas “Mimpi saya sudah macam-
kapten TNI-AL datang mengambil dilarang bekerja, kini mereka macam, bahkan kalau bisa punya
semua naskahnya dan setelah itu menikmati hasil kerja sendiri yang koran lagi,” kata Joesoef. Tidak
tak pernah kedengaran kabarnya pertama. Bagi Pramoedya pener- semua mimpinya terwujud, teru-
lagi. Joesoef bertindak sebagai bitan Bumi Manusia, seperti yang tama karena rezim Orde Baru
editor berbekal pengalaman dicatatnya, berarti “suatu kebulat- mulai menganggapnya sebagai
belasan tahun menjadi wartawan an tekad, keikhlasan, dan sekaligus ancaman yang harus ditindak.
sekian suratkabar sebelum 1965, ketabahan untuk memberikan Pelarangan: Bukan
sementara Hasjim menangani segi saham pada perkembangan demo- Hanya Membelenggu
usaha dan keuangan. Bulan Mei krasi di Indonesia – dan bukan de-
mereka sepakat menggunakan mokrasi warisan sah kolonial, de-
Pikiran
nama yang dicipta Pramoedya saat mokrasi hasil keringat sendiri”. Keberhasilan Bumi Manusia sudah
masih mendekam di tahanan, tentu membuat penguasa gerah.
Bumi Manusia memang pilihan
Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Dua hari sebelum cetakan pertama
yang tepat. Dalam waktu 12 hari
sekitar 5.000 eksemplar habis keluar, kantor Hasta Mitra ditele-
Tidak banyak milik mereka
terjual. Hasjim sampai kewalahan pon oleh Kadit Polkam Kejaksaan
sekeluar dari penjara. Rumah ke-
melayani permintaan dari segala Agung. Petugas itu meminta agar
luarga Joesoef di kawasan Duren
penjuru, termasuk dari Malaysia, buku itu tidak diedarkan sebelum
Tiga disulap jadi kantor dengan
Belanda dan Australia. Iklan kecil ada clearance dari pihaknya.
peralatan serba terbatas. Hanya
yang dipasangnya di harian Permintaan yang aneh tentunya,
ada satu mesin tik listrik Olivetti
Kompas ditelan oleh berita dan karena menurut aturan Kejaksaan
yang dipakai bergantian oleh Pra-
tinjauan panjang-lebar dari Agung hanya berwenang mela-
moedya dan Hasjim untuk meng-
sejumlah penulis. Walau menda- rang buku yang sudah diterbitkan.
garap pekerjaan mereka. “Modal

“Mimpi saya sudah macam-macam,


bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata
Joesoef.
20 profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
Pada pertengahan September dya. Hasil diskusi ini kemudian masa reformasi malah ikut-ikutan
Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan disiarkan melalui media massa se- menyambut Pramoedya sebagai
Agung. Tiga hari ia harus melayani bagai “bukti keresahan masyara- penulis besar,’ kata Joesoef sambil
pertanyaan para jaksa pemeriksa kat”, modal penting bagi Kejaksa- tersenyum.
yang mengatakan bahwa Bumi an Agung untuk menetapkan
Manusia “mengandung teori larangan. Suratkabar pendukung Gempuran itu bukan hanya
Marxisme terselubung”, tanpa Orde Baru seperti Suara Karya, dirasakan Hasta Mitra. Bulan Sep-
menjelaskan maksudnya tentu Pelita dan Karya Dharma mulai tember 1981, penerjemah Bumi
saja. menerbitkan kecaman terhadap Manusia ke dalam bahasa Inggris,
Bumi Manusia dan pengarangnya. Maxwell Lane, yang juga staf
Tidak ada kata putus. Sementara kedutaan besar Australia di
itu sejumlah tokoh masyarakat, Sambutan yang semula baik mulai Jakarta, dipulangkan oleh peme-
sastrawan dan pejabat pemerintah melemah. Ikatan Penerbit Indone- rintahnya. Perusahaan Ampat
mulai menyambut tuduhan kejak- sia (IKAPI) yang akan menyeleng- Lima yang mencetak kedua karya
saan. Dengan caranya sendiri-sen- garakan pameran buku tahunan, pertama juga akhirnya mundur
diri mereka membenarkan bahwa tiba-tiba mengirim surat pembatal- karena tekanan dari Kejaksaan dan
karya itu memang “mengandung an ke alamat Hasta Mitra. Padahal aparat keamanan. Akibatnya saat
ajaran Marxis” walau selalu gagal sebelumnya panitia kelihatan sa- hendak menerbitkan Sang Pemula
menunjukkannya dengan jelas. ngat bergairah mengajak penerbit dan Jejak Langkah tahun 1985,
“Saya heran kenapa banyak inte- itu menjadi anggota dan turut Hasjim terpaksa mencari percetak-
lektual yang sebenarnya sadar, serta dalam kegiatan-kegiatannya. an kecil di kawasan Kramat yang
justru bungkam,” kenang Joesoef. Suratkabar yang semula simpati dikelola seorang ibu tua dan anak-
Ia berulangkali bertemu dengan semakin jarang memberi tempat anaknya.
ilmuwan, sastrawan dan tokoh ke- dan bahkan beberapa tulisan yang
budayaan yang mengaku “peng- siap naik cetak tiba-tiba dibatalkan, Bagi Hasta Mitra yang “bermodal
gemar berat Pramoedya”, tapi ti- hanya karena penulisnya memuji dengkul”, pelarangan itu adalah
dak memberi pendapat apa pun kedua karya Pramoedya. masalah serius. Semua agen dan
ketika karyanya dilarang. toko buku didatangi oleh Kejaksa-
Masalah semakin jelas ketika an Agung yang menyita semua
eksemplar Bumi Manusia dan
Anak Semua Bangsa. Beberapa di
antaranya malah mengambil
inisiatif menyerahkannya secara
sukarela. Tapi anehnya sampai
Agustus 1981, hanya ada 972
eksemplar yang diterima oleh Ke-
“Itulah esensi pelarangan buku-buku jaksaan Agung, dari sekitar 20.000
eksemplar yang beredar.
kami: untuk menghancurkan kegiatan
Hasta Mitra secara politik maupun Rupanya banyak agen dan toko
ekonomi,” buku yang malah memilih menjual
eksemplar yang tersisa di bawah
Kejaksaan pun merangsak maju. tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung tangan. Masalahnya tak satu pun
Tidak puas dengan tuduhannya mengeluarkan SK-052/JA/5/1981 agen dan toko itu membayarnya
sendiri mereka mulai beralih tentang pelarangan Bumi Manusia kembali kepada Hasta Mitra, se-
mempersoalan status Pramoedya dan Anak Semua Bangsa. Dalam hingga pendapatan mereka terus
sebagai eks-tapol. Percetakan surat itu antara lain disebutkan merosot. Pada pertengahan tahun
Ampat Lima yang memproduksi sepucuk surat dari Kopkamtib 1980-an toko buku Hasta Mitra di
Bumi Manusia pun jadi sasaran. yang keluar seminggu sebelum- Senen praktis menjadi satu-
Pemiliknya berulangkali dipanggil nya, dan Rakor Polkam tanggal 18 satunya tempat menjual terbitan
dan diminta agar tidak mencetak Mei 1981. Pelarangan itu sepenuh- mereka secara terbuka. Tapi karena
terbitan Hasta Mitra. Redaktur nya adalah keputusan politik dan hutang bertumpuk, akhirnya toko
media massa pun ditelepon agar tidak ada kaitannya dengan nilai itu terpaksa ditutup. Niat
tidak memuat resensi apalagi sastra, argumentasi ilmiah serta menerbitkan karya eks-tapol yang
pujian bagi karya Pramoedya. alasan-alasan yang dikemukakan lain pun diurungkan. “Itulah esensi
sebelumnya. pelarangan buku-buku kami: untuk
Tetap tidak ada keputusan resmi
dan Hasta Mitra bergerak lagi Surat keputusan itu memperkuat menghancurkan kegiatan Hasta
mengeluarkan buku Anak Semua persekutuan Orde Baru untuk Mitra secara politik maupun eko-
Bangsa . Sambutan pun makin menghantam Hasta Mitra. Para nomi,” kata Joesoef.
meluas sampai ke daerah-daerah, perwira tinggi militer, termasuk Ekspansi di Tengah
dan beberapa penerbit di luar Pangkopkamtib Soedomo, selalu Represi
negeri mulai menghubungi Hasjim menyempatkan diri untuk berko-
dan Pramoedya, meminta izin mentar tentang karya Pramoedya. Pelarangan demi pelarangan
menerbitkan edisi bahasa asing- Sebelumnya di markas Kodam boleh jadi meredam sambutan di
nya. Jaya ada pertemuan khusus antara negeri sendiri, tapi tidak demikian
sastrawan dan intelektual yang halnya di luar negeri. Hanya bebe-
Reaksi pun semakin besar. memberi “landasan ilmiah dan rapa bulan setelah Bumi Manusia
Pertengahan April 1981 beberapa kultural” kepada pejabat militer keluar, sejumlah penerbit di
organisasi pemuda ciptaan Orde untuk mengomentari karya-karya Hongkong, Belanda dan Australia
Baru menggelar diskusi yang Pramoedya. “Menariknya, ada mendekati Hasta Mitra untuk men-
isinya mengecam karya Pramoe- juga di antara mereka yang di dapat hak terjemahan. Kesepakat-
profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 21
“Memang sejak awal Hasta
an pun dibuat. Pramoedya seba- Mitra punya misi membantu
gai penulis tetap mendapat royalti teman-teman yang
sementara Hasta Mitra hanya kesulitan...”
bertindak sebagai perantara. Pe-
1970-an menjadi bacaan wajib di kalangan intelektual dan pekerja
nerbit Wira Karya di Malaysia
sekolah menengah. Pertengahan kreatif yang terlibat maupun ber-
adalah yang pertama menerbitkan
1987 karena jengkel Pramoedya simpati pada perjuangan itu. Dari
ulang Bumi Manusia dan Anak
pernah menuntut penerbit Pustaka segi bisnis, menurut Hasjim, yang
Semua Bangsa dengan membayar
Antara pimpinan Datuk Aziz paling berjasa menyebarkan terbit-
royalti sebesar 12% langsung
Ahmad karena dianggap tidak an Hasta Mitra adalah agen dan
kepada Pramoedya.
membayar royalti seperti seharus- toko buku kecil. Perusahaan
Setelah kedua buku itu dilarang, nya. mapan lainnya baru mulai nim-
Hasjim mulai berusaha menjual brung setelah Soeharto turun
Sekalipun harus menanggung tahun 1998. Sebuah penerbit besar
eksemplar yang masih tersisa di
rugi, para pendiri Hasta Mitra yang terkenal di Jakarta dalam
gudang ke luar negeri. Ia menghu-
merasakan banyak “keuntungan” tahun pertama “reformasi” bahkan
bungi sejumlah perpustakaan,
lain. Konsep “tangan sahabat” ingin membeli hak cipta karya Pra-
pusat penelitian dan toko buku,
berkembang karena banyak aktivis moedya dari Hasta Mitra. “Tapi
tapi tidak selalu mendapat tang-
yang membantu menyalurkan setelah keadaan mulai berbalik,
gapan positif.
buku-buku terbitannya, mengada- dan serangan-serangan terhadap
Di tengah kesulitan lagi-lagi ada kan diskusi dan bahkan menggu- buku kiri mulai terjadi, mereka
pertolongan dari beberapa saha- nakan hasil penjualan untuk mundur teratur,” ujar Joesoef
bat yang mengumpulkan modal membiayai penerbitan mereka sambil tertawa.
50.000 gulden untuk mendirikan sendiri. Di samping itu juga ada
cabang perusahaan di Amsterdam keluarga eks-tapol yang bisa Banyak juga kalangan yang meng-
dengan nama terjemahan dalam mereka bantu seadanya mengha- anggap Hasta Mitra bisa menge-
bahasa Latin, Manus Amici. dapi tekanan yang hebat secara ruk untung besar setelah pemba-
Penerbit dan toko buku itu terletak ekonomi, sosial maupun politik. tasan terhadap terbitan mereka
di pusat kota Amsterdam dan dilonggarkan. “Itu tidak betul,”
Tanpa direncanakan sebelumnya, kata Joesoef. “Buktinya dalam ta-
dikelola oleh Edi Tahsin, eksil In-
dalam waktu beberapa tahun hun pertama setelah Soeharto
donesia dari Tiongkok yang sejak
jaringan distribusi dan pembaca jatuh, kami tidak menerbitkan satu
1977 bermukim di Belanda. Bulan
buku terbitan Hasta Mitra terben- eksemplar pun. Karena uangnya
September 1981 ia menerbitkan
tuk. Bagi aktivis mahasiswa di tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka
terjemahan Bumi Manusia dalam
zaman itu membaca terbitan Hasta mulai bangkit dengan menerbitkan
bahasa Belanda, disusul oleh Anak
Mitra menjadi semacam “syarat Arok Dedes, bekerjasama dengan
Semua Bangsa.
pergaulan” dan bahkan bacaan sebuah perusahaan percetakan di
Tapi tidak semua kegiatannya wajib untuk mereka yang tertarik Yogyakarta. Dengan kerjasama ini
berjalan mulus. Di Belanda, Manus pada nasib negerinya. “Itulah sum- untuk pertama kalinya Hasta Mitra
Amici tidak hanya menerbitkan bangan Hasta Mitra bagi gerakan bisa membayar royalti Pramoedya
buku. Banyak dana yang dikirim demokrasi. Di samping menyum- sebesar 17,5% di muka.
dari Jakarta ternyata habis untuk bang gagasan tentang sejarah
membantu para eksil, mulai dari bangsa ini, terbitan kami juga bisa Bulan Oktober 1999 Hasjim Rach-
menyeberangkan mereka di perba- digunakan oleh orang lain untuk man meninggal dunia setelah ber-
tasan negara Eropa Barat sampai mengembangkan kegiatannya tarung melawan kanker di tenggo-
mengurus paspor dan izin tinggal. sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mi- rokannya selama beberapa tahun.
Hasil penjualan buku dalam baha- tra mungkin satu-satunya penerbit Setelah itu semua kegiatan pener-
sa asing pun banyak disalurkan yang bisa bertahan 21 tahun tanpa bitan, mulai dari penyuntingan
untuk kegiatan seperti itu sehing- melakukan akumulasi modal. Dan naskah, lay-out, mengurus perce-
ga modalnya tidak pernah berkem- memang karena bukan itu kehen- takan dan distribusi ditangani sen-
bang. “Memang sejak awal Hasta dak kami.” diri oleh Joesoef Isak. “Padahal
Mitra punya misi membantu te- urusan duit, aku lebih ceroboh dari
man-teman yang kesulitan. Un- Menjadi Penerbit Hasjim,” katanya. Ditambah lagi
tung itu perkara nomer dua,” kata Gerakan kebiasaannya memberi bantuan ke
Joesoef. Modal awal sebesar Sejak awal para pendiri tidak sana-sini sehingga kadang uang
50.000 gulden pun amblas dalam terlalu peduli masalah administra- dapurnya sendiri terbawa-bawa.
waktu beberapa tahun, dan Manus si. Dunia penerbitan bagi mereka Beberapa kerjasama pun dijajaki,
Amici pun gulung tikar. Dan selan- adalah bagian dari perjuangan. Di antara lain dengan QB Books dan
jutnya penerbitan dalam bahasa tahun pertama-tama pernah juga Equinox Publishing, walau masih
asing – saat ini karya Pramoedya seorang pejabat BNI menawarkan tersendat-sendat. Perjalanan keli-
sudah diterbitkan sekurangnya kredit ringan karena melihat pros- ling ke Amerika Serikat dan bebe-
dalam 12 bahasa – ditangani lang- pek usaha yang cerah. Ada juga rapa negara Eropa juga membu-
sung dari kantor di Jakarta. yayasan besar yang tertarik untuk ahkan hasil, antara lain bantuan
Di samping itu ada juga penerbit memberikan dana. Tapi semuanya modal. Di usia 73 tahun ia masih
yang menerbitkan karya Pramoe- mundur teratur setelah larangan bersemangat dan terus memikir-
dya tanpa membayar royalti sesen pertama dijatuhkan oleh Jaksa kan cara mengembangkan Hasta
pun. Di Malaysia misalnya pener- Agung. Mitra sebagai penerbit gerakan
bit Abbas Bandung mengeruk Uluran “tangan sahabat” ternyata untuk menegakkan demokrasi de-
untung cukup besar dari penjualan lebih banyak disambut oleh komu- ngan keringat sendiri. m
karya Pramoedya, termasuk Kelu- nitas aktivis pro-demokrasi dan
arga Gerilya yang sejak tahun RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya

22 profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


>>>PUISI>>SITI RUKIAH KERTAPATI

cuma layar hitam kau kibarkan


kapal kosong, langit gelap, laut merah,
dan ikan cucut di balik karang patah-patah:
Selamat jalan mengembang tangan!

Tidak perlu itu lamunan ke kejauhan,


apa itu idealis buat idealis pula,
apa itu benar buat kebenaran?
Tapi apa pula itu artinya kasih pertama
dan kasih yang penghabisan?
Sedang bujang dan gadis yang bertunangan
ALIT AMBARA
itu jangan disebut kebenaran.

Tapi aku sudah dibunuh masyarakat


aku sudah pernah bergaul tarik-menarik
Layar Hitam juga tiang-tiang kelihatan mau condong
cuma aku masih belum mau membunuh kasih
sendiri,
Engkau juga pernah mengakui ada warna hijau sebab sekali toh kita kembali
di daunan dan kembang-kembang merah di pada asal; bayi bersih manusia semula.
bajuku,
juga sekali pernah cinta pada akar-akar Dan kita tentu sekali lagi masuk gedung musium
dan kulit-kulit pohon beringin kita dengar lagi musik-musik lagu klasik,
Tapi apa guna itu semua, kita ingat lagi pada soal ke kejauhan,
bila cuma sekilas hilang karena tindasan kasih? atau: kita bikin bintang tepi kolam tanah Bali.
Kemana lagi itu layar hitam dan laut merah,
“Pada malam sunyi bintang!” bila bukan tangan kita yang merobeknya?
ada katamu romantik begini.
Tapi sekarang bintang sudah retak berpecahan. Jangan bikin pertanyaan,
Kasih hancur sebab revolusi pembunuhan, bila masih dikatakan:
entah kemana pabila pergi? “Mati itu bukan lagi kewajiban”.

SITI RUKIAH KERTAPATI, lahir 27 April 1927 di Purwakarta. Pada zaman Jepang Rukiah berhasil menamatkan
sekolah guru, dan setelah revolusi Agustus 1945, ia mengajar di Sekolah Rendah Gadis Purwakarta. Pada umur 19
tahun puisi-puisinya telah dimuat di Gelombang Zaman, beliau juga menulis untuk majalah Godam Jelata. Di tahun
1950, ia menulis karya ilmiahnya untuk konfrensi kebudayaan Indonesia, yang berjudul Sekitar Konperensi Kebu-
dayaan Indonesia. Pada tahun 1952 merupakan tahun penting bagi Rukiah:pertama, Tandus , kumpulan puisi dan
cerita pendeknya yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka dan yang kedua, ia menikah dengan Sidik Kertapati.
Ia bertemu dengan Sidik Kertapati dan saling jatuh cinta pada masa revolusi di Krawang. Selain itu Rukiah juga
menulis cerita anak-anak yang dimuat di majalah Cendrawasih. Karya lainnya yang ia tujukan untuk anak-anak
adalah Jaka Tinggir, Taman Sanjak si Kecil, Kisah Perjalanan si Apin dan Pak Supi. Sedangkan cerita pendeknya
IST.
antara lain Isteri Perajurit, Antara Dua Gambaran dan Surat Panjang dari Gunung dan sebuah novel yang berjudul
Kejatuhan dan Hati yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1950. Rukiah terus menulis sejumlah Cerita Rakyat
dari seluruh kepulauan Indonesia hingga tahun 1975 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Rukiah meninggal dunia
di kampung halamannya, Purwakarta pada tahun 1994.
puisi | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 23
> > > K R I T I K S E N I

Reformasi
& Puisi Tanpa Daya Magis

>>Nur Zain Hae

Apakah gelombang reformasi yang telah menumbangkan Orde Baru—


Soeharto pada Mei 1998 merupakan sesuatu yang penting bagi sastra
Indonesia? Atau sebaliknya, apakah sasta merupakan bagian yang
menentukan atau menggerakkan proses reformasi itu?

B
ila sastra menjadi bagian dari menyumbangkan puisi reformasi
momentum reformasi, risiko mereka untuk dibukukan, meski
apa yang mesti ditanggung hingga kini buku yang dimaksudkan
nya? Pertanyaan-pertanyaan belum diluncurkan. Ini belum terma-
ini harus diajukan untuk menguji suk sejumlah terbitan sejenis yang
keterkaitan sastra dan reformasi. Atau pada masa itu beredar secara terbatas
untuk melihat bagaimana sastra di kalangan mahasiswa.
berhadapan dengan momentum re-
formasi dan mengakomodasinya se- Situasi ini mengingatkan kita pada
bagai persoalan sastra—yang dalam masa tumbangnya Orde Lama dan la-
pembicaraan ini lebih banyak difokus- hirnya Orde Baru. Puisi-puisi perla-
kan pada puisi. wanan memainkan peranan yang
besar dalam gelombang demonstrasi
Seperti kita tahu momentum ini mahasiswa saat itu. Telah muncul,
diawali oleh krisis ekonomi yang kata Mansur Samin “aksi perlawanan
menyebabkan anjloknya nilai rupiah terhadap kepalsuan dan kebohongan
tanpa bisa tertolong lagi. Ekonomi yang bersarang dalam kekuasaan o-
sulit, harga-harga naik, sembako sulit rang-orang pemimpin gadungan.”
didapat, rakyat menjerit, dan muncul Dalam kurun waktu yang revolusioner
demonstrasi mahasiswa. Puisi-puisi itu Taufiq Ismail alias Nur Fadjar
saat itu kembali menyuarakan ketidak- menerbitkan kumpulan puisi Tirani
puasan dan kerawanan sosial, pende- dan Benteng . Bur Rasuanto hadir
ritaan dan kemarahan rakyat, yang dengan buku Mereka Telah Bangkit,
semula karena kultur politik Orde Mansur Samin dengan buku puisi Per-
Baru—Soeharto yang otoriter sastra lawanan , Abdul Wahid Situmeang
lebih banyak menghindari tema-tema dengan stensilan Pembebasan, dan
seperti itu. Slamet Sukirnanto dengan stensilan
Jaket Kuning.
Harian Republika , misalnya, mem-
buka rubrik “Sajak Peduli Bangsa” Dalam dua peristiwa itu kita menyak-
dalam waktu yang cukup lama sikan sejarah yang berulang. Pembu-
sepanjang 1998. Sementara Forum sukan sebuah rezim kembali terjadi.
Sastra Bandung menerbitkan buku Sastra menemukan kembali alasan
puisi Tangan Besi: Antologi Puisi Re- untuk menjalankan peranan yang
formasi pada akhir Juni 1998. Di masa lebih besar dari yang bisa dilakukan
itu pula penyair Sides Sudyarto D.S. selama ini dengan menetapkan dan
mengundang sejumlah penyair untuk menjalankan komitmen sosialnya.

24 kritik seni | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


Untuk sementara dikotomi “sastra” “penumpang gelap reformasi”. Puisi saat itu memanfaatkan seba-
dan “bukan sastra” atau “sastra” dan Seakan-akan penyair hanya subjek nyak-banyaknya wacana jurnalistik
“politik” kurang relevan dipertentang- yang tidak patut, tidak memiliki yang berkembang. Berita (media cetak
kan. Keduanya bertemu, bahkan bisa persyaratan yang lengkap, tidak dan elektronik) menjadi sumber
saling mempengaruhi dalam mena- memiliki tiket, untuk memasuki utama penggalian bahan penciptaan
ngani proyek bersama itu. Pada saat sebuah gerbong perubahan yang puisi, di samping ada juga penyair
inilah sastra bisa menjawab satu sedang berjalan. Karena itu, sewaktu- yang memang terlibat langsung da-
pertanyaan yang sering dilontarkan waktu, ia bisa dikeluarkan dari lam peristiwa yang terjadi di seputar
orang: Mengapa sastra (Indonesia) gerbong sebelum sampai ke tujuan. reformasi. Karena itu apa yang dibi-
terasing dari masyarakatnya? carakan puisi adalah juga yang
Bukan itu saja, pada dirinya sendiri si beredar dalam berita jurnalistik. Yang
Namun, reformasi adalah proyek “penumpang gelap” (atau apa pun membedakannya, saya kira, hanyalah
bersama yang lahir bukan dari ling- sebutan yang pas buatnya) memiliki soal format dan nama.
kungan sastrawan, tetapi dari kalang- keterbatasan, sehingga kita bisa
an kaum intelektual kampus. Ketika mempertanyakan efektifitas keterli- Satu yang paling nyata dari puisi-puisi
reformasi menjadi wacana publik (dan batannya. Bukankah ia hadir dengan dalam situasi seperti ini adalah lahir-
akhirnya diambil-alih dan dimanipu- satu kekuatan yang, sebenarnya, nya puisi-puisi yang miskin imajinasi
lasi oleh kaum politik) barulah sastra penuh kontradiksi: Kata. Di satu pihak dan kehilangan metafor, yang selama
menggabungkan diri. Jadi, bisa dibi- ada keyakinan Freirean bahwa kata ini telah memberikan kekuatan magis
lang, sastra lebih banyak mengikuti memiliki dua dimensi, refleksi dan pada bahasa puisi. Hal ini bisa terjadi
(untuk tidak mengatakannya “latah”) praksis, yang saling melengkapi. Ka- karena, seperti klaim José Ortega y
jejak dinamika sosial-politik yang ada. rena itu “mengucapkan sebuah kata Gasset, metafor memberikan kekuat-
Tak heran kalau Edy A. Effendi, sejati berarti mengubah dunia.” Se- an naluriah pada bahasa (puisi) untuk
seorang penyair dan eseis, dengan mentara, di pihak lain ada juga menghindari realitas tertentu—dalam
sinis mengatakan penyair yang saat keyakinan bahwa bahasa kini telah ke- hal ini adalah realitas sosial politik
itu bicara soal reformasi sebagai hilangan makna dan puisi tak lebih yang massif, hiruk-pikuk, dan bergerak
dari “seni kata-kata”. Rendra telah cepat itu. Metafor telah hilang atau di-
berteriak “Bersatulah pelacur ibuko- tinggalkan agar (bahasa) puisi bisa
ta”, tetapi tak ada gerakan kolektif menafsirkan realitas lebih jelas, lebih
pelacur yang melawan kekuatan lugas, dan lebih bisa dimengerti
penindasnya, sehingga pelacur atau khalayaknya.
kaum tertindas lain mendapatkan
kembali harkat martabatnya yang Inilah, saya kira, sejumlah risiko yang
utuh. mesti ditanggung sastra di era refor-
masi. Terutama, puisi yang terlampau
Sebagai “penumpang gelap” dan menginginkan dirinya untuk tidak
bermodalkan kata-yang-tidak-bisa- terasing dari masyarakatnya, ingin
mengubah-dunia, apa yang bisa memainkan peranan yang lebih besar
dilakukan penyair. Kita tahu, situasi dalam sebuah proses perubahan yang
yang dimasuki penyair saat itu ada- belum selesai. Puisi yang lebih
lah situasi yang massif dan riuh, me- mementingkan isi daripada bentuk,
nonjolkan orang ramai sekaligus me- lebih mementingkan pesan daripada
lenyapkan individu dan segala laku metafor dan imajinasi.
yang (kelihatannya) diam. Para
penyair akan menjadi massa anonim Namun, ini tidak berarti munculnya
yang tidak bisa lagi diam dan harus era “berakhirnya puisi”—seperti
berteriak. Puisinya haruslah puisi Adorno yang memastikan “tidak ada
yang larut dalam suasana euforia itu, puisi yang bisa ditulis setelah
dan bukan melawannya. Atau, dalam Auschwitz (no poetry after Auschwitz).
bahasa Lu Hsun, puisi yang menjadi Puisi bisa melanjutkan perannya
ALIT AMBARA: ilustrasi sampul kumpulan puisi Saut Sitompul, “Kongres Kodok”, 2001

alat propaganda, yang “mengajurkan, (sekecil apa pun peran itu) dalam ma-
mendorong, mempercepat, dan me- syarakatnya. Semuanya berpulang
nyempurnakan revolusi.” kepada penyairnya sendiri. Apakah ia
bisa mempertemukan dua kepenting-
Maka, tengoklah puisi tidak hanya an antara menjalankan komitmen
bicara tentang awan, bulan, gerimis sosial dengan mempertahankan
yang bersijingkat, kesunyian dan kekuatan magis puisi. Dan ini tentu
keindahan, atau segala sesuatu yang saja bukan masalah ideologis, tetapi
jauh dari jangkauan masyarakat awam masalah kreativitas. Untuk menjadi
(tetapi dekat dengan kritikus sastra). kekuatan “kiri” (dalam artian tanding-
Namun, ia juga bicara soal kelaparan, an/saingan/oposisi terhadap kekuasa-
sembako yang langka, tiran tua yang an yang mapan—terima kasih kepada
kegemukan, kobaran api, atau seorang Ariel Heryanto), tidak berarti sastra
gadis Cina yang diperkosa. Bahkan, harus kehilangan kekuatan magisnya,
bukan tak mungkin, puisi telah men- sehingga ia menjadi verbal dan
jadi alat pelampiasan berbagai pera- sekadar alat propaganda. m
saan, sebab selama rezim Orde Baru-
Soeharto para penyair (dan masyara- NUR ZAIN HAE, penyair yang
kat umum) tidak mendapatkan kesem- menetap di Jakarta.
patan untuk mengekspresikannya
dengan bebas.

kritik seni | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 25


> > > K L A S I K

Raffles
Bukan Berhala Sejarah
Pembagan Pembaharuan Politik Kolonialisme (sebuah pancingan studi)

>>Hersri Setiawan

T
homas Stamford Raffles bukan seke-
dar seorang reformis, atau pengikut
gerakan pembaharuan belaka. Buat se-
jarah kolonial bangsa-bangsa di “Timur Jauh”,
khususnya “Hindia Belanda”, ia seorang
pembaharu ( reformer ) yang sekaligus
pembagan ( schemer ) pembaharuan itu.
Kendati demikian hendaknya kita tempatkan
T.S. Raffles sebagai tokoh sejarah—tokoh
besar nian!—dan bukan ditaruh di altar se-
bagai berhala sejarah. Seyogyanya memang
begitulah kita menyikapi tokoh-tokoh besar
dari jaman apa pun, apalagi jaman kolonial
baik lama maupun baru. Juga terhadap tokoh
besar Snouck Hurgronje, misalnya, yang
tampil sekitar seratus tahun kemudian.
Mereka sama-sama berusaha memahami
bangsa-bangsa Pribumi, alam hidup mereka
dan alam lingkungan mereka, dan selanjut-
nya—bagi Snouck Hurgronje— menulis surat-
surat nasihat kepada Gubernur Jendral Hindia
Belanda tentang bagaimana menjinakkan
musuh-musuh gubermen. Sedangkan pada
T.S. Raffles untuk mengembangkan potensi
sumber daya alam dan manusianya, sebagai
langkah kebijakan antara, dalam menuju
tujuan akhir membangun imperium Britania
Raya.
Pasukan Jan Willem Janssens, Gubernur
nobodycorp. (sumber: http://rubensanu.edu.au & http://landow.stg.brown.edu)

Jendral yang diangkat Napoleon sejak 1811


untuk Hindia Belanda, kalah oleh serangan
Inggris di Meester Cornelis (Jatinegara se-
karang) Jakarta. Ia lari ke timur, dan menyerah
di Tuntang pada 1811. Dengan kekalahan
kombinasi kekuasaan Belanda-Perancis ini,
seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke
tangan Inggris (1811-16). Pusat penguasa
baru ini di Madras, India, di bawah pimpinan
Gubernur Jendral Lord Minto, sedang di
Hindia Belanda dipercayakan pada Letnan
Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles.
T.S. Raffles lahir 6 Juli 1781 di atas kapal Ann
(260 ton, 4 meriam) di lepas pantai Jamaika.
Kapten kapal ini, Benjamin Raffles, ayah Tho-
mas. Ia biasa mondar-mandir Liverpool-Afrika-

26 klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


Jamaika, menangguk keuntungan ganda, bangsa-bangsanya, alam tumbuh dan alam dilarang menjual hasil panen selain pada Kom-
berangkat mengangkut budak dan kembali binatangnya. Bunga bangkai raksasa yang peni; impor dibatasi seminimum mungkin,
mengangkut hasil bumi “India Barat” seperti bergaris tengah lebih satu meter di Sumatra oleh karena impor akan berarti kerugian bagi
kapas, gula, tembakau dan todi (minuman Selatan itu, kemudian dinamai Rafflesia Kompeni.
keras dari tebu). Arnoldi, karena dialah penemunya.
Kaum tani tidak punya hak tawar untuk harga
Tahun lahir Thomas ialah tahun, ketika perang *** hasil panen. Itu pun masih dikurangi lagi de-
kemerdekaan Amerika sampai pada titik ngan pajak wajib, dan dibebani kerja rodi un-
Selama masa pemerintahannya yang pendek,
penentu, yang Inggris akan segera kehilang- tuk bangunan jalan dan prasarana umum
Raffles memang berusaha keras melakukan
an kekuasaan atas koloninya di benua barat lainnya. Lebih dari itu beban petani masih
reformasi liberal di wilayah kekuasaannya. Inti
(Perjanjian Versailles 1783). Mundur dari ditambah lagi dengan berbagai bentuk
kebijakan pemerintahannya ialah demi
barat, Inggris mencari kawasan baru di pemerasan dan hukuman dari para penguasa
tercapainya kesejahteraan umum. Untuk itu
“Timur Jauh”, yang berarti harus berhadapan pribumi sebagai agen-agen Kompeni. Petani
Raffles menjalankan kebijakan yang membe-
dengan persekutuan Perancis-Belanda. Di Jawa adalah budak sahaya tak beda dari
rikan hak kebebasan berusaha kepada setiap
timur persekutuan ini harus dipatahkan. Se- hewan pengolah tanah, selain bahwa mereka
individu. Dalam rangka itu, mengingat
mentara itu di barat Api Revolusi Perancis, bisa mengaduh dan mengeluh. Minto dan
sebagian besar penduduk ialah kaum tani,
1789, yang sempat menyala sepuluh tahun, Raffles “iba hati” menyaksikan kehidupan
hanya tanah dari tani penggarap yang ber-
sedang terus ditiup-tiup kembali. Perang kaum tani di Jawa yang seperti itu. Tetapi
produksi saja dibebani pajak oleh pemerin-
kemerdekaan Amerika yang berjaya itu, bukan saja terhadap kaum tani Raffles iba
tah. Beda dari kaum Politisi Adabiyah (Etik
seperti diketahui, tidak bisa dipisahkan dari hati. Ia iba hati dan cemas melihat praktek-
Politik) sekitar seratus tahun kemudian, yang
Revolusi Perancis. Begitu juga “Revolusi Juli” praktek kolonialisme rampokan model VOC,
bersembunyi di balik basa-basi politik “Utang
1830 dan “Revolusi Februari” 1848 yang yang sejatinya pernah juga dikecak keras oleh
Budi”, politik reformasi Raffles barangkali
melanda seluruh Eropa, dan bahkan meluas Gubernur Jawa Timur Dirk van Hogendorp
bisa dibilang sangat oportunistis. Ini bertolak
ke pantai utara Afrika. Semuanya itu revolusi (1794). Karena tanpa berani meninggalkan
dari alasan, bahwa sebuah serikat dagang,
borjuis nasional. praktek-praktek kekerasan dan rampokan,
apalagi kekuasaan negara, tidak mungkin
Nusantara sebagai lahan “sdm” yang luas
Tahun 1781 sesungguhnya bisa dipandang bertahan hidup dengan memeras kaulanya.
dan subur akan muspra dan bahkan bisa jadi
sebagai fajar sejarah modern Eropa. Cahaya “Kasihan mereka itu!” Begitu ia berbincang
musnah.
modernisasi itu segera akan menerangi dan dengan Lord Minto, yang lantas mendorong-
mengubah “Timur Jauh”, seketika nanti jika nya: “Mari kita perbuat segala yang terbaik, “We, the Batavians”, says Mr. Hogendorp,
Raffles telah membukakan pintunya. Sebut- yang kita bisa!” “or rather our good and heroic ancestors,
lah semuanya itu kejadian-kejadian politik conquered these countries by force or arms.
Thomas Stamford Raffles memang anak
besar, yang menimang dan membuai si The Javans, ... although they resigned their
jaman, baik dalam pengertian senyatanya,
bocah Thomas Raffles. Selain itu ada buaian political rights, they still retain their civil and
maupun dalam arti pasemon. Tidak aneh dan
sosial yang tak kalah besar juga. personal liberty, at least their right thereto.”
bukan datang tiba-tiba. T.S. Raffles hidup
(The History of Java, Notes Ch. V nr. 14). Di
Sejak 1713 Inggris adalah raja perdagangan dibawah bayangan tradisi liberal dan sema-
bagian lain T.S. Raffles sendiri menyatakan:
budak di dunia. Kepulauan Karibia, pada tahun ngat Revolusi Perancis, dan tradisi demokrasi
“They maintain with pride, that although vir-
Raffles lahir, merupakan pasar perdagangan Inggris yang telah tua. Apa itu semangat lib-
tually conquered, they still, as a nation and
budak terpenting sedunia. Sepanjang eral Perancis dan tradisi demokrasi Inggris?
as individuals, pertinaciously adhere to their
sepuluh tahun sesudah Thomas lahir, adalah Penghapusan hak-hak feodal, pelarangan
ancient institutions, and have a national feel-
tahun-tahun mas bagi perdagangan budak. sistem perbudakaan, dan pembebanan pajak
ing, ...”
Tapi bersamaan dengan itu juga merupakan yang sama bagi semua kelas sosial. Liberté,
tahun-tahun, ketika agitasi anti-perbudakan égalité dan fraternité bukan sekedar Potensi Nusantara yang demikian itulah yang
mulai berkumandang. Anti-perbudakan ada- semboyan kosong, tapi benar-benar pernah oleh T.S. Raffles hendak diselamatkan dan
lah satu aspek humanisme paling utama di terwujud dalam segala bidang kehidupan. dikembangkan. Bukan demi pemerdekaan
jaman modern. Si bocah Raffles tumbuh da- Hasil mendasar lain lagi dari Revolusi Nusantara tentu saja, tapi (dalam perkem-
lam pengaruh suasana revolusi sosial dan Perancis, yaitu diumumkannya Déclaration bangan politik kolonial Inggris di kelak kemu-
revolusi kebudayaan ini. des Droits de l’Homme et du Citoyen . dian hari) demi tumbuhnya burjuasi nasional
Konsiderans deklarasi ini menegaskan, antara yang sehat, sebagai mitra dalam “keluarga
Pada umur 14 tahun ia menjadi pegawai East
lain, bahwa “kebodohan, pengabaian dan persemakmuran” Great Britain.
India House, kantor pusat Kompeni Dagang
penghinaan atas hak-hak manusia menjadi
Inggris di India Timur. Tahun 1805 menjadi Administrasi Kompeni Inggris di Hindia Timur,
pangkal kesengsaraan umum, korupsi,
asisten sekretaris pemerintah jajahan di Pulau yang dibangun dengan teladan Mogul, jauh
penyeleweangan dan penyalahgunaan keku-
Penang, dan setahun kemudian ia diangkat lebih liberal administrasi Kompeni Belanda.
asaan”.
menjadi sekretaris. Ketika armada Inggris Petani penggarap India yang memiliki atau
menyerbu Jawa, ia dibawa Lord Minto da- Masalah pokok yang menantang Raffles, menyewa tanah, boleh menanam tanaman
lam tugasnya sebagai sekretaris itu. Sejak itu segera sesudah diangkat menjadi Letnan yang mereka suka, menjual hasil panen di
Raffles banyak bergaul dengan Pribumi, dan Gubernur di Jawa (September 1811), yaitu pasar bebas, menerima harga menurut
banyak mempelajari segi-segi peri kehidup- mengubah sistem kekuasaan atau adminis- ketetapan pasaran, dan bisa mengadu ke
an dan alam tempat kehidupan mereka. trasi di Jawa. Bagi mata Kompeni Inggris mahkamah yang berwenang bila terjadi
Dalam “Hikayat Abdullah”—pada umur administrasi merkantilisme à la Kompeni Be- ketidakadilan atas diri mereka. Mereka tidak
belasan Abdullah menjadi jurutulis Raffles— landa sudah dianggap sebagai diskredit, dibebani rodi; dipungut pajak sebanding nilai
ditulisnya tentang tabiat T.S. Raffles antara opresif dan ekonomis juga tidak sehat. Di hasil panen; pajak dipungut langsung para
lain: “Dalam hubungan dengan semua orang Jawa teori ekonomi kolonial yang merkantilis pejabat pajak, tidak melalui pejabat antara;
Raffles sangat santun. Wajahnya selalu itu diwujudkan dalam tindakan: semua hasil untuk itulah dibangun birokrasi bergaji guna
berseri-seri, sangat ramah tamah dan liberal, pertanian diborong Kompeni, dan dengan mengawasi jalannya administrasi.
dan selalu mendengarkan dengan penuh harga rendah yang ditetapkannya; demi laba
Dengan teladan itu Minto dan Raffles ingin
minat jika orang bicara kepadanya”. Abdullah ratusan persen Kompeni juga yang mempu-
menyelamatkan sumber daya manusia petani
juga mencatat dengan takjub tentang minat nyai hak monopoli ekspor hasil bumi ke pasar
Jawa. Jalanya hanya satu, mengganti sistem
“tuannya” yang sangat besar terhadap se- benua barat; petani hanya boleh menanam
merkantil yang absolut represif. Tapi tentu
gala hal-ihwal tentang alam Melayu, sejarah tanaman yang diwajibkan Kompeni, dan
klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 27
saja tidak semudah orang membalik telapak ia cenderung melestarikan sistem hukum uarkan sebagai “Siasah Adabiyah”, Politik
tangan. Banyak aturan lama harus dibuang Pribumi, dan sebagai langkah antara diberla- Etis, yang dilaksanakan dalam langkah kom-
dan diganti dengan yang baru. Birokrasi baru kukannya sistem hukum Inggris. Ia memben- binasi bidak-bidak Snouck Hurgronje-Van
harus disusun dan dididik agar mampu men- tuk lembaga “jury”, sebuah badan terdiri dari Heutz, adalah langkah-langkah Thomas Stam-
jalankan segala peraturan baru itu. Jawa, warga masyarakat, yang diikutsertakan dalam ford Raffles seorang diri pada awal abad yang
kecuali Batavia, lalu dibaginya menjadi 16 memutuskan salah-tidak seseorang di depan sama.
keresidenan, masing-masing dikepalai oleh sidang pengadilan. Segala bentuk monopoli
Raffles sosok pribadi bersegi banyak yang
residen. Tujuannya untuk mengalihkan we- dilarang (juga dilarang ijin adu ayam dan
terpadu, dan berwawasan liberal bagi jaman-
wenang pemerintahan, yang semula di rumah judi), kecuali monopoli pembuatan dan
nya. Bataviaasch Genootschap van Kunsten
tangan para bupati. Ini tidak lain berarti, ken- distribusi garam, justru demi melindungi
en Wetenschappen yang kembang kempis
dali pemerintahan dipegang langsung di rakyat dari permainan harga.
diberinya nafas baru. Ia menaruh perhatian
tangan pusat, dan tidak lagi berbagi atau
Itulah beberapa kerja rintisan peninggalan T.S. besar pada bahasa-bahasa pribumi, adat dan
melalui perantara-perantara siapa pun.
Raffles ketika ia harus kembali ke Eropa budaya bangsa-bangsa pribumi. History of
Tetapi dari berbagai usaha reformasi Raffles (1824). Sayang, kerja rintisan itu bukan dite- Java yang diterbitkannya (1817) menjadi hasil
yang paling penting ialah diberlakukannya ruskan, tetapi malah dihancurkan sama sekali. karya baku untuk waktu yang panjang -
tatanan pajak tanah, landrentestelsel, yang Stelsel pajak tanah Raffles segera disusul kalaupun tak lagi bisa dikatakan sampai
sama sekali berbeda dengan aturan Belanda dengan stelsel benteng Jendral de Kock sekarang.
sebelumnya yaitu contingenten stelsel, pe- dalam Perang Jawa (1825-30) dan stelsel
Tahun 1816 Raffles ditarik kembali ke Inggris.
nyerahan hasil bumi secara paksa dari kaum tanam paksa Van den Bosch (1830-48).
Reformasi macet karena “besar pasak dari
tani. Tatanan pajak tanah sistem T.S. Raffles Revolusi Juli 1830 di Perancis memang gagal.
tiang”. Harapan Raffles pada stelsel pajak
ini berdasar pada asas domein. Bagi petani Tetapi ia ibarat menabur benih bagi timbulnya
tanah tidak seimbang dengan kebutuhan ang-
pribumi Hindia Belanda, Jawa terutama, ber- revolusi liberal yang berikut di seantero
garan birokrasi dan keamanan yang justru
arti menghadapi aturan baru, dari stelsel Eropa, Februari 1848. Demikianlah di Eropa:
membengkak sebagai akibat konsep refor-
contingenten pada stelsel landrente. Bagi perang kemerdekaan berkecamuk di mana-
masinya. Ketika pada tahun 1817 ia
Raffles memang itulah jalan yang paling layak mana. Tetapi di Hindia Belanda terjadilah apa
dikembalikan ke Bengkulu sebagai Letnan
ditempuh. Ia menghadapi anggran biaya yang yang dikhawatirkan Dirk van Hogendorp dan
Gubernur Jendral patriotisme Inggrisnya te-
kosong untuk melaksanakan konsep refor- Thomas Raffles. Perang “penyatuan pasar”
tap berapi-api. Namun, juga kali ini, ia gagal
masinya. Maka dijualinya tanah-tanah luas di seluruh kawasan Hindia Belanda, yang
dalam segala daya upayanya untuk melum-
yang tergolong sebagai “domein”, termasuk disempurnakan dengan jalan serangan militer
puhkan pengaruh Belanda di “timur jauh”.
tanah-tanah yang mempunyai hak kuasa model Van Heutsz dalam kombinasi dengan
Ketika oleh Traktat 1824 juga Bengkulu harus
tertentu, untuk dijadikan tanah milik perse- pénétration paçifique menurut resep Snouck
diserahkan kembali pada Belanda, Raffles
orangan. Sedemikian jauh Raffles bahkan Hurgronje. Embrio “negara bangsa” dicip-
terpaksa mundur dan kembali ke Inggris un-
menutup mata terhadap ulah Alexander Hare, takan di atas tebusan tumpasnya (pinjam
tuk selama-lamanya.
Residen Banjarmasin, yang menangkapi 3000 istilah-istilah Raffles) “nations”, “individuals”,
orang Jawa “gelandangan”, untuk dipeker- dan “ancient institutions.” Konsep dan stra- Tetapi Raffles tidak gagal sebagai tokoh
jakan demi kepentingannya pribadi. Bersama tegi Hindia Belanda (baca: Indonesia) tentang pelaku sejarah. Tanpa Raffles pernah hadir di
Minto ia berangkat dengan semangat pem- “negara bangsa” dan “bangsa” sebagai Batavia dan Bengkulu, Singapura tidak akan
bebasan budak, tapi masih dalam awal konvensi politik menjadi kredo kebijakan demi pernah berada di tangan Inggris. “Bagi
perjalanan ia terpaksa cuek terhadap diprak- “penyatuan pasar nasional”. Sesuatu entitas Inggris, Singapura di timur, sama seperti
tekkannya kembali perbudakan. politik baru yang abstrak, yang dibangun di Malta di barat!” Begitu ia berkata. Seandai-
atas gagasan politik modern (baca: burjuasi), nya ia gagal meyakinkan para petingginya,
Ada dua sisi utama dari bagan politik refor-
diletakkan di atas berbagai entitas sosio- yang mencibir terhadap idenya membeli
masi T.S. Raffles. Sisi fisik nyata, dengan
kultural yang riel dan telah melembaga dan pulau sebesar gurem itu, di Asia Tenggara
kunci kebijakan pengubahan stelsel pajak
tua menyejarah. tidak akan pernah timbul dan berkembang
tanah; sisi imajiner ideal, dengan kunci kebi-
sebuah kota dan pelabuhan bebas yang stra-
jakan pembebasan “sdm”—baik secara in- Muatan revolusi ialah menakar kembali se-
tegis. Singapura tidak akan pernah menjadi
dividual, etnis, maupun regional. Untuk itu gala nilai, “Umwertung aller Werten”. Selain
“Singapore” dan “Shonanto”. Maka mono-
ditempuhnya jalan politik sentralisasi tata itu revolusi juga menampik yang kemarin,
poli perdagangan dan pertahanan akan tetap
pemerintahan, pada awal sengaja untuk “Revolution Rejects Yesterday.” Tapi, adakah
dimainkan oleh Belanda di Nusantara melalui
memasung kewenangan penguasa lokal nilai “bangsa” dan “negara bangsa” warisan
Sunda Kelapa di Teluk Jakarta. Bayangkanlah
berikut para centeng mereka, namun pada Hindia Belanda itu, telah ditakar kembali dan
andai kata itu yang terjadi. Tapi untunglah,
akhir berakibat memasung hak inisiatif ditampik ketika Revolusi 45 meletus? Risalah
atau malangkah, bahwa Sejarah tidak suka
“sdm” yang semula dibelanya itu sendiri. Bung Karno Lahirnja Pantja Sila, dan bebera-
berandai-andai!
pa teks pidatonya tentang nation building, ba-
Dalam hal klasifikasi kependudukan, misal- Bacaan acuan:
rangkali penting dikaji ulang, justru dalam saat
nya, ditinggalkannya model penggolongan
ketika Indonesia diancam disintegrasi seperti 1. Raffles, Sir Thomas Stamford, History of Java (Oxford
Kompeni Belanda yang tiga (Eropa, Cina, University Press 1965).
sekarang.
Pribumi), dan digantinya dengan dua golong-
2. Collis, Maurice, Raffles (Faber and Faber, 1966).
an: Eropa dan Pribumi. Jangankan Cina, ***
3. Wurtzburg, C.E., Raffles of the Eastern Isles (Oxford
bahkan Indo-Eropa oleh T.S. Raffles University Press 1986).
Raffles seorang patriot yang bersemangat.
dimasukkannya sebagai Pribumi! Bukankah
Ia melakukan segala dan sebanyak-banyak- 4. Gonggryp,G.F.E., Geïllustreerde Encyclopaedie van
ini—notabene hampir dua abad lalu—jauh Nederlandsch-Indië (N.V.Leidsche Uitgeversmaatschappij
nya bagi kemenangan Inggris, dan sebaliknya
lebih maju ketimbang politik kewarganega- Leiden, MCMXXXIV).
segala dan sebanyak-banyaknya bagi keka-
raan Orba Suharto, yang menciptakan istilah 5. Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia (Kompas
lahan Belanda. Tapi sejarah tidak bisa mem-
“asli” dan “keturunan”? Namun, bagaima-
bantah. Ia seorang pelopor reformis kolonial Jakarta, 1995). m
napun, T.S. Raffles menerjemahkan ideal
yang mengubah wajah dunia, bukan saja
Revolusi Perancis secara oportunistik. Ini HERSRI SETIAWAN, Ketua Yayasan
wajah politik dan ekonomi tapi juga wajah Sejarah dan Budaya Indonesia di
tampak dalam usaha, misalnya, mereorgani-
sosial dan budaya. Apa yang nanti oleh pe- Negeri Belanda.
sasi sistem peradilan. Dengan tujuan meng-
merintah Belanda diwujudkan, di sekitar
akhiri “dualisme” sistem hukum Daendels,
penutup abad ke-19, melalui apa yang diuar-
28 klasik | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
>>>CERITA
>>>CERITA PENDEK
PENDEK

BADAI BERGOLAK
>>Rani Lukito

ALIT AMBARA
catatan redaksi: cerpen ini merupakan bagian
kedua dari dua bagian tentang kehidupan

M
pejuang perempuan dari Maluku, Martha
alam tiba. Bintang-bintang gemilang jadi obyek Christina Tiahahu.
pertama tatapan mataku. Pikiranku melayang
tanpa tujuan, bertanya apakah Anna jadi salah
satu dari bintang-bintang itu, tak hiraukan
aku; tak hiraukan manusia lain yang ada di mendayung lebih cepat lagi. Sudah pagi ketika kami
muka bumi ini. Aku seperti ember yang sarat dengan pilinan mendarat di pantai Saparua. Segera kami bergabung dengan
dan putaran rasa. Aku tak bisa bedakan rasa satu dan pasukan Kapitan Pattimura. Tak ada waktu untuk basa-basi;
lainnya. Semua hanya ada di sana, bercampur-baur dan semua tahu kami di tempat ini untuk satu misi yang penting:
membingungkan, saling belit satu sama lain. Sedikit saja membebaskan diri kami dari kolonialisme. Kami
disentuh, ember ini akan terguling, dan seluruh isinya akan menghabiskan sepanjang hari menekuni peta demi peta dan
lenyap untuk selamanya .... “Tidak! Aku tak akan biarkan membahas lewat mana kami akan menyerang Benteng
kematian Anna hancurkan niatku melawan Belanda yang Duurstede. Akhirnya, diputuskanlah bahwa malam itu juga,
kejam dan tak berperasaan itu!,” aku menjerit. pada 14 Mei 1817, kami akan mulai berusaha menguasai
Aku bangkit dari tempat tidurku, menapakkan sebelah Benteng Duurstede.
kakiku di depan sebelah yang lain dengan tegak. Aku dengar Aku merangkak diam-diam di sisi ayahku. Mataku tajam
ayah sedang mempersiapkan diri untuk berperjalanan ke menyoroti satu benda ke benda lainnya, sementara tanganku
Saparua. Kemudian aku teringat rencana yang rumit untuk menghunus belati, siap menusuk apa pun yang bergerak.
menduduki Benteng Duurstede. Aku melompat menuju ke Aku sentuh pula bayonet yang kusisipkan di sabukku.
lemari baju ayah dan mengambil senapannya. Aku raih pula Bintang-bintang berkelip di atas, melihat kami dengan
segenggam peluru, memasukkan butir-butir mungil penuh kekhawatiran. Anna melintas kembali di pikiranku,
mematikan itu satu per satu ke dalam senapan. Lalu, aku tak kuasa aku kebaskan dia dari kenanganku. Tiba-tiba aku
melesat menuju perahu ayah dan naik ke dalamnya. Tak mendengar perintah untuk maju dan mulai menyerang.
seorang pun berkomentar. Tak seorang pun berkata apa-apa. Dalam sekejap aku dan ayah melompat menyeberangi
Mereka tahu aku harus melepaskan kemarahanku, bahwa dataran rumput, berteriak dengan seluruh nafas di dada.
aku berjuang untuk kebebasan kami. Dan, dengan itu, kami Kami menyergap sekelompok prajurit Belanda tanpa diduga-
melepas sauh, pada tigabelas Mei 1817, menuju Saparua. duga, dan menikam mereka dengan bayonet. Aku arahkan
*** senapanku ke serdadu lainnya, dan dengan terampil menarik
pelatuk, tembuskan sebutir peluru ke perutnya. Aku
Perahu kami meluncur cepat membelah samudera. Setiap memandang dengan tenang ketika kehidupan tinggalkan
detik kami bergerak mendekati pantai, dan juga, dini hari. matanya, dan ia mengerang jatuh ke tanah. Beberapa anggota
Ayah mendesak kami supaya lebih cepat, dan kami pasukan kami sudah berada di dalam benteng, dan

cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 29


timbul kekacauan diantara serdadu Belanda. Seseorang dari kami bebas dari hukuman mati. Ayahku pun tidak.
menyalakan api di rerumputan dan api segera menjilat
***
dinding Duurstede. Makian panik dan teriakan kesakitan
para serdadu Belanda menambah suasana kekacauan, dan itu Jari jemariku mencengkeram tembok, mencoba
semakin membakar semangatku. Aku melesat maju, memperlambat kejatuhanku. Aku jatuh berdebam ke bumi,
menikamkan bayonetku ke sana kemari, melepaskan tahankan punggungku yang sakit. Aku dan sekelompok
beberapa peluru lagi diantaranya. Mayat-mayat prajuritku berhasil menyelinap diam-diam di kegelapan
bergelimpangan, dan rumput terasa begitu kasar oleh kaki malam. Aku bisa menghitung jumlah prajurit yang tersisa
telanjangku. Aku sempat melihat seorang lelaki masih dengan jari tanganku. Tinggal sedikit sekali dari kami yang
berpiyama melindungi istri dan kedua anaknya. Mungkin masih bebas. Ayahku baru saja digantung kemarin, dan aku
dialah yang disebut Residen van Berg? Tak soal. Ia pun enggan mengenang kematiannya. Akan kubawa gerak
ditembak dan jatuh ke bumi, mati. kepahlawanannya sepanjang hidupku. Karena itu aku
berhasil melarikan diri dari cengkeraman tangan Belanda.
***
Kami bergerak semakin jauh ke pedalaman hutan, sambil
Aku tak ingat lagi kapan aku pernah merasa begitu
abaikan semak berduri yang menggores dan membuat kaki-
bersemangat dan malu pada saat bersamaan. Sudah tiga hari
kaki kami berdarah. Aku kencangkan sabuk merah setiaku
sejak kami datang ke Benteng Duurstede, dan kami berhasil
di pinggang. Tanganku mengepal begitu erat sampai kuku
merebutnya dari tangan Belanda. Kami telah membantai
jemariku tenggelam dalam kulit telapaknya. Aku tak sanggup
seluruh penghuninya, dan tak seorang Belanda pun terlihat.
hentikan airmataku, yang mengalir pelahan dengan bulir-
Begitu banyak orang mati di tanganku saja. Karena itu aku
bulir besar. Aku terjatuh berlutut di atas tanah berbatu-batu
bingung apakah aku harus bergembira, atau menyesal. Sekali
tajam. Kenangan akan ayah dan aku terus banjiri otakku;
lagi aku merasakan getaran emosi merayapi seluruh tubuhku,
tentang dia dan aku berenang di laut sambil dia peluk Anna;
aku menggigil tak terkendali. Apakah ini yang harus kami
tentang dia mengajarku ketrampilan berperang di
lalui untuk memperoleh kembali kebebasan kami? Banyak
pekarangan belakang rumah; tentang senyum sempurnanya
prajurit kami melompat-lompat dan menari kegirangan.
setelah memenangkan pertempuran dengan Belanda; tentang
Beberapa membersihkan belati dan bayonet mereka. Mereka
kerja kerasnya sepanjang hari untuk ibu dan aku. Bagaimana
pun bersimbah darah. Mataku membelalak melihat mereka,
mungkin mereka mengambil dia begitu saja dan
tapi kemudian aku menyadari bahwa aku pun bersimbah
menggantungnya hanya dalam waktu seminggu? Kami masih
darah.
harus perangi bersama lebih banyak pertempuran. Kami
*** berencana melempar Belanda keluar dari negeri kami yang
cantik mempesona ini! Betapa beraninya mereka ….
Kami sekarang berkawan baik dengan pasukan Pattimura,
mereka seperti saudara kami saja. Setelah menaklukkan Aku rasakan sentuhan menenangkan di pundakku. Salah
Duurstede, kami berpisah dengan Pattimura. Kami bersiap satu temanku. Ia memandangku dengan mata yang keras dan
menyerang Benteng Beverdijk, tak jauh dari Duurstede. Tak dingin. Aku tahu bahwa ia pun dilumuri kesedihan. Ia hanya
perlu waktu lama untuk taklukkan benteng kedua ini setelah tak mau menunjukkannya. “Martha, ingat. Semuanya
membantai seluruh prajurit Belanda di sana. Belanda belum sekarang bergantung pada kita untuk melanjutkan
juga menyerah. Mereka luncurkan kapal mereka, de peperangan melawan Belanda. Kita tak bisa menyerah
Zwalluw, untuk menyerang kami, tapi setiap usaha mereka sekarang,” ia bergumam sambil membantuku berdiri
gagal. Semuanya berjalan lancar, sampai seorang guru pelahan-lahan. “Ya, aku tahu”. Dan, dengan ucapan itu aku
misterius bernama Sosalisa muncul di benteng kami. lepas sabuk merahku dan memakainya untuk mengikat
rambut panjang kasarku, di seputar dahiku. Aku genggam
Sosalisa orang biasa saja. Dengan hidung pesek, kumis tebal,
bayonetku erat-erat dan biarkan darah menetes lebih banyak
kemeja dan celana yang bersih, dia tampak terlalu biasa se-
karena ketajamannya. “Ayo! Maju terus pantang mundur!”
bagai kriminal. Namun ada sesuatu yang mencurigakan
aku berteriak nyaring. Kami bergerak lagi ke dalam hutan
dalam cara dia berjalan, nada panik ketika dia bicara, dan
dan mengumpulkan lebih banyak prajurit yang berontak.
cara dia menatap masing-masing wajah kami dengan penuh
selidik. Ia seakan-akan menyebarkan suasana keramahan ***
yang berlebihan, dan aku tak pernah sanggup menjelaskan
Aku terengah-engah. Salah satu mata-mata kami tertangkap
dengan tepat apa yang aku rasa salah tentang dirinya.
ketika ia sedang mencoba menyusup ke salah satu desa yang
Penjaga-penjaga kami memperbolehkan Sosalisa masuk sedang kami amati untuk menambah jumlah prajurit. Kami
setelah bertemu selama beberapa menit saja. Mereka pikir ia baru mencoba cara ini selama kurang dari seminggu; kami
hanyalah seorang guru biasa yang ingin berlindung di tempat bahkan hanya miliki tidak lebih dari 50 orang dalam
kami semalam saja. Betapa cerobohnya mereka ini! Kegiatan pasukan. Begitulah, kami sekarang benar-benar sedang
Sosalisa ternyata sangat merusak dan membawa malapetaka berlari untuk hidup kami. Tanpa peringatan, ada sosok
bagi kami semua. Ia didekati oleh Belanda. Kemudian, ia raksasa muncul di hadapanku, dan mencabut cabang pohon
menyatakan pada Belanda, bahwa atas nama seluruh raja- besar dengan tangannya yang kekar berbulu. Yang aku tahu
raja Maluku, kami ingin adakan gencatan senjata. Sosalisa kemudian hanyalah semburat merah yang mengaburkan
tak hiraukan protes kami, dan sudah terlambat untuk cegah pandanganku, kemana pun mataku mengarah; lalu …..
apa pun. Pada 10 November 1817 pasukan Belanda kegelapan.
membanjiri benteng kami. Beberapa dari kami mencoba
***
menyelinap keluar, tetapi sergapan itu begitu tiba-tiba
sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil menangkap Aku terbangun di ruangan yang pengap, penuh sesak dengan
kami semua. Kami dibawa ke pengadilan dan hanya sedikit orang yang mengerang kesakitan. Terus, tampak olehku
30 cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
bahwa kedua belah tangan dan kakiku diikat kuat dengan kotor, penuh keringat dari kepala sampai kaki. Ia mengambil
tali yang mengiris dalam kulitku. Darah yang keluar dari lilin dan menyalakannya dengan korek api. “Kamu tahu apa
jari-jemariku bercampur dengan darah yang mengalir di se- yang harus kamu lakukan”, ia bergumam. Aku rasakan
panjang lantai kayu. Aku berhasil jernihkan pandanganku, tangannya menarik rok bawahku, kemudian ia jatuhkan lilin
dan saksikan seorang lelaki, memuntahkan darah dari yang menyala itu dengan ragu-ragu ke rok ku. Aku
mulutnya. Pintu di ujung lain ruangan terbuka, biarkan menggeretak gigiku. Api segera melalap rokku, dan
sebersit sinar matahari menyelinap. Aku bisa melihat menyengat kulit ku yang lelah. Aku tak tahan lagi dan
sesuatu yang begitu besar dan luas, dan …. biru .. di luar berteriak kesakitan. “Stop!” ujar si lelaki tanpa perlihatkan
sana. Di mana aku? Di mana aku? Otakku hanya bisa perasaan apa-apa. Air dingin disiramkan ke tubuhku dan aku
mengulang-ulang tiga kata itu. Aku merasa lemah oleh lunglai lega. “Sekarang katakan, apakah masih ada
kelelahan, aku belum makan selama … selama, entahlah aku pasukanmu yang tersisa di luar sana?” ia mengulang
tah tahu berapa lama, tapi aku tahu aku perlu makan. Sulit pertanyaannya dengan ketenangan yang terkendali. Aku
buat aku bernafas, kerongkonganku serasa tersumbat. Dua o- pejamkan mataku kuat-kuat. Ia tak akan dapatkan
rang lelaki berpakaian …. seragam Belanda, berjalan dengan kenikmatan dari mendengarkan suaraku. Ia mengambil napas
angkuhnya mendekati aku yang pelahan tercekik hampir panjang, menampar mukaku dengan kayu. Aku menyeringai
mati. Mereka tarik lenganku dan menyeret aku keluar. Aku kesakitan. “Bagus …. Bebaskan dia …”. Aku rasakan
pingsan. letupan kegembiraan dalam hati ketika aku diseret kembali
ke ruangan pengap tempat aku berasal.
***
***
Aku tersedak. Air es menetes dari rambutku yang tak
beraturan. Aku hanya menatap tetesan air jatuh satu-satu ke Acara siksaan itu berlangsung berhari-hari. Aku menolak
lantai kayu yang kupijak. Lengan dan kakiku diikat ke dua makanan apa pun. Aku berbalik ketika mereka paksakan
tonggak dan aku dibiarkan menggelantung dari pergelangan obat masuk ke kerongkonganku. Aku tak bisa berhenti
kaki-tanganku. Di mana aku?, aku ulangi pertanyaan yang berpikir tentang ayah, Anna dan ibu. Mereka hadir dalam
sama diam-diam. Tanpa kuduga, aku merasa sesuatu yang mimpi-mimpiku, dan mereka berenang di laut setiap kali aku
keras dipukulkan ke punggungku. Aku baru menyadari melihat ke luar jendela. Senyum mereka begitu penuh keba-
bahwa aku ditelanjangi dari bahu sampai ke pinggangku. hagiaan. Kadang-kadang aku ingin menggapai mereka dan
Benda keras itu makin kencang memukul punggungku, dan bergabung dalam kegembiraannya, tapi kemudian aku ingat
sakitnya tak tertahankan. Toh, aku tak keluarkan suara mereka telah mati. Sepertinya tak ada lagi harapan tersisa
sedikit pun. Kulakukan satu-satunya yang bisa aku lakukan: dalam hatiku. Pelan-pelan aku akan mati kelaparan. Aku tak
aku gigit lidahku dan coba kendalikan nafasku. Aku angkat punya kekuatan lagi untuk membuka mataku, apalagi
kepalaku sejenak, hanya untuk tertunduk kembali oleh berbicara. Namun, aku tak bisa berhenti berpikir. Bayangan
sabetan benda keras bergerigi itu. Aku rasakan sesuatu yang tentang Benteng Duurstede, tentang tubuh-tubuh yang
hangat mengalir pelan di punggung, leher dan kedua belah bergelimpangan di halaman rumput, yang tak lagi hijau, tapi
kakiku. Ketika aku melihat genangan darah yang berkumpul merah, melintas di benakku. Aku hanya bisa memandang
di bawahku, aku tahu aku mengalami pendarahan yang tahanan lain dengan tatapan kosong. Mereka pun kawan-
mengerikan. kawanku, tapi aku menolak bicara dengan mereka. Aku tak
lontarkan satu kata pun di depan siapa pun. Aku hanya
***
bicara pada ayah dan Anna dalam mimpi-mimpiku.
“Nah! Sekarang apa yang mau kau perbuat, Martha Christina
Aku tahu akhir dari semua ini akan datang segera ketika aku
Tiahahu!?!”, teriak lelaki yang memukuliku dengan —
terbangun tadi malam. Aku tak bisa rasakan apa-apa lagi.
sekarang aku tahu – sepotong kayu tajam. Ia bicara dengan
Dan, meskipun aku berusaha keras untuk paling tidak
nada mengejek dan suatu dosa untuk menjawabnya. Kendati
membiarkan mataku terbuka, aku tak mampu. Kegelapan
demikian, aku tersenyum saksikan ironi yang terjadi, tapi itu
muncul menghilang. Aku tak bisa menahannya lagi. Saat itu,
cuma sebentar. Ia pukul aku tanpa ampun, lagi dan lagi.
aku tak ingin mati. Aku berpikir tentang ayah, ibu dan Anna.
*** Aku berpikir tentang langit biru dan awan berarak, aku
berpikir tentang masa depan pulauku. Tapi, kemudian aku
“Masih ada lagi dari kalian yang berkeliaran di luar sana?”, lihat mata lembut ayah tersenyum padaku, dan tiba-tiba aku
ia meraung sambil paksa kepalaku tunduk. Ia pasti sudah merasa diselimuti kehangatan yang luar biasa. Dengan itu,
menyuruh temannya yang menunggu dengan sabar di ambang aku tarik napas panjang; dan biarkan dia pergi.
pintu dengan ember di tangannya karena temannya mendekat
dan meletakkan ember itu di bawah kepalaku. “Tak mau Martha Christina Tiahahu bertahan dalam sekian sesi
jawab aku, kan? Aku pastikan kamu akan menjawab!” penyiksaan di atas kapal yang penjarakan dia. Dia dibuang
Dengan gertakan itu, ia tenggelamkan kepalaku ke ember dari Kepulauan Maluku dan dikirim ke Jawa dimana ia
penuh air, dan menahannya di sana. Aku meronta sekuat dipaksa bekerja di perkebunan kopi. Di antara larut malam 1
tenaga yang tersisa, tapi itu tak cukup, aku terlalu lemah. Ia Januari dan dini hari 2 Januari 1818, ia hembuskan nafasnya
lepaskan kepalaku, dan aku bisa hirup sedikit udara, tetap yang terakhir. Abu jenazahnya ditaburkan di laut tenang
tak bicara. antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. m
“Baiklah,” ia berjalan mengelilingi aku dengan tangan
terlipat di balik punggungnya. Aku ludahi sepatu botnya
yang bersih mengkilat. “Oh, gadis yang kuat kamu ya?” ia RANI LUKITO masih berusia 12 tahun ketika ia mulai
berhenti sejenak. “Baiklah. Mungkin kita memang harus meneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalam
pakai cara keras ”. Ia panggil lelaki lain yang berpakaian bahasa inggris sebagai tugas sekolah di SMP Pelita
Harapan.
cerita pendek | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 31
Setelah
>>Zhou Fuyuan

Pesta Usai

T
ahun baru Imlek kedua setelah masa re- kesenian, sandiwara atau opera dalam baha- sekeluarga kumpul bersama makan masakan
formasi baru saja berlalu, suasana sa Mandarin. Sejak kelas 2 SD aku sangat hasil sesaji. Bayangan tentang hari raya ini
perayaan yang hiruk pikuk telah usai. gemar mengoleksi buku, dimulai dari buku lambat laun menjadi muram.
Namun perasaan yang bergolak dalam hati komik. Ini yang menimbulkan sedikit rasa suka
setiap tahun setiap kali Sin cia hadir masih terhadap acara pai cia . Tumbuh dengan Mungkin aku termasuk manusia yang tidak
belum juga reda. Setelah perayaan, banyak meningkatnya umur, kami bersaudara punya hari raya: ulang tahunku yang jatuh
hal yang aku renungkan, namun sangat sulit semuanya bersekolah di sekolah Mandarin. pada 29 Februari tahun kabisat, menyebabkan
untuk melukiskan perasaanku yang sangat Pada masa itu sekolah-sekolah Mandarin aku tidak punya kebiasaan merayakan ulang
kompleks ini hanya dengan satu kalimat umumnya berorientasi ke RRT. Kami tahun. Karena tidak menganut suatu agama,
sederhana. memperoleh pendidikan yang cukup progresif. aku juga tidak merayakan Natal, Idul Fitri atau
Dari cerita-cerita guru kami mendapat kesan Waisak. Ketika melihat orang lain bersukacita,
Tahun baru Imlek disini lazim disebut Sin cia. bahwa perayaan tahun baru Imlek mewakili aku sering merasa kesepian. Tiba-tiba aku
Ini adalah dialek Hokkian, sedangkan istilah semangat feodal sehingga sudah semestinya menyadari, kami orang Tionghoa sebetulnya
Mandarin yang umum di pakai adalah Chun diganti dengan tahun baru internasional yang masih punya hari raya Sin cia, yang tak pernah
jie . Chun jie berarti hari raya musim semi. lebih modern. Sejak saat itu perasaanku dirayakan lagi hanya karena terpaksa.
Perayaan ini diadakan oleh masyarakat agraris terhadap Sin cia mulai negatif, perayaannya Keinginan untuk kembali menikmati
pada setiap awal tahun penanggalan Imlek, tidak pernah lagi melibatkan diriku secara kehangatan masa lalu muncul kembali tanpa
juga tibanya musim cocok tanam. Bagi para emosional. Pendidikan sekolah Mandarinku aku tahu mengapa. Karena di dalam negeri
perantau yang sudah beberapa generasi tidak berlangsung lama, karena tahun bencana kami tidak mungkin lagi menikmati suasana
tinggal di luar daratan Tiongkok, makna asli itu hadir. Ingatanku tentang 1966 adalah hari- perayaannya, aku bersama teman mencoba
hari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Ba- hari saat kusaksikan segerombolan menikmati suasana Chun jie di daratan
gaimana pun Sin cia tetap mempunyai arti demonstran hingar-bingar lewat depan Tiongkok, sambil mengunjungi seorang kawan
tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Indo- rumahku, sembari berteriak-teriak mereka yang sedang mudik ke Hangzhou.
nesia. Lantas, apa makna hari raya ini bagiku? berbaris menuju ke arah bangunan sekolah Waktu itu musim dingin. Persiapan pakaian
Chun jie pertama yang masih dapat kuingat kami. Hari itu terasa kiamat telah tiba. Meski yang kurang menyebabkan kami menggigil di
terjadi ketika umurku kira-kira lima tahun. Kala masih kanak-kanak, aku sungguh sangat jalanan. Tengah malam pergantian tahun kami
itu bagi kami anak-anak Sin cia identik dengan terguncang. Peristiwa itu tak pernah dapat ikut dalam perjamuan Chun jie yang diadakan
kegiatan pai cia , yaitu kami diwajibkan terhapus dari ingatanku, luka tergores di hati keluarga kawan di rumah orang tuanya di se-
mendampingi papa dan mama mengunjungi yang masih saja membekas sampai sekarang. buah apartemen kecil. Esok harinya kami
para orang tua, baik yang masih famili mau- Sekolah kami mereka serbu, bangunan mengunjungi taman kecil di tengah kota
pun yang bukan. Sebagai imbalannya kami dirusak, lalu diserahkan pada tentara untuk berbaur dengan penduduk yang berekreasi. Di
menerima amplop angpao dari orang-orang diduduki! Aku terpaksa putus sekolah ketika tengah jalan nampak penduduk kota yang lain
yang kami beri hormat dengan pai cia . kelas empat SD. berduyun-duyun berjalan menuju ke arah kuil
Meskipun memakai pakaian baru dan dapat Dengan berkuasanya rezim militer Orde Baru, Yinling yang terkenal untuk memanjatkan
angpao, namun membosankan bagiku. pelan-pelan namun pasti segala hak kaum harapan untuk tahun yang baru.
Kegembiranya masih kalah dibanding Tionghoa dilucuti. Satu-persatu peraturan
menonton film di bioskop. Pada masa itu uang Pengalaman yang paling seru adalah ketika
pelarangan bermunculan, termasuk perayaan kami menumpang kereta api dari Suzhou ke
dalam bungkusan angpao hanya punya arti Sin cia. Pada awalnya, keluarga kami masih
biasa-biasa saja bagiku. Di dalam keluarga Nanjing. Karena sudah menginjak hari ke lima
meliburkan usaha untuk merayakannya. Chun jie, arus balik liburan mulai meningkat.
kami anak-anak dilarang jajan sendiri di luar. Perayaan umum tidak ada lagi, acara kunjung-
Sedangkan mainan di luar pun tidak Kami terpaksa membeli tiket kereta lewat calo,
mengunjungi masih berlangsung seperti seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggu
sesemarak sekarang , kami sudah cukup puas biasa. Namun seiring dengan berjalannya
dengan mainan sederhana atau mainan penumpang penuh sesak. Waktu kereta
waktu dan semakin represif pemerintah, kami datang, penumpang berebut naik dengan
buatan sendiri. Maka kami tabung saja hasil tidak berani lagi meliburkan usaha. Acara pai
pai cia ini. Memang saat Chun jie selalu ada berdesakan dan dorong-mendorong. Suasa-
cia hanya dilakukan antar keluarga dekat saja. nanya mirip perang. Setibanya di atas kereta,
tarian barongsai dan naga yang menarik minat Setelah papa meninggal, setiap tahun, berapa
anak-anak. Kegiatan ini cukup sering berlang- kita baru tahu bahwa kami mendapat kereta
hari menjelang Chun jie , kami sekeluarga kelas kambing. Dengan susah payah kami
sung meski bukan pada saat Chun jie , selalu mengadakan acara ziarah ke makam.
sehingga bagi kami tidak terasa luar biasa lagi. mencari nomor duduk, sementara di tengah
Pada malam menjelang tahun baru Imlek , koridor penumpang yang tidak punya tempat
Umur bertambah, lebih banyak acara Chun jie mama mengadakan acara sembahyang untuk duduk memenuhi lantai, mirip kereta
yang dapat aku ikuti, seperti pertunjukan memperingati almarhum, sesudah itu kami pengungsi. Suasana seperti ini mungkin

32 esai | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


ALIT AMBARA
seperti di Indonesia saat lebaran. Situasi se- terhindarkan lagi. Akhirnya, aku juga jadi sentimen rasialis yang sudah tertanam di ma-
perti ini merupakan pengalaman yang cukup maklum dengan perasaan pedih dan kehilang- syarakat juga dapat lenyap? Apakah saat ini
menyiksa. an masyarakat Tionghoa yang dipaksa kita sudah dapat merayakan Sin cia tanpa rasa
melepaskan tradisi turun temurun, meredam was-was? Aku kira pertanyaan di atas
Pengalaman merayakan Chun jie dengan ke- semua keinginan, antusiasme merayakan Sin seharusnya juga menjadi pertanyaan bagi
luarga orang di negeri lain merupakan suatu cia setiap tahunnya. Mengapa ada pemerin- seluruh bangsa, harus terus diajukan, dan
pengalaman baru. Namun keramaian itu tidak tah yang merampas hak rakyatnya untuk menjadi peringatan terus-menerus di dalam
pernah benar-benar membuatku terlibat. Di bergembira dan menikmati kebudayaannya hati, agar kita selalu waspada. Ingatan tentang
dasar hati aku tetap merasakan ini adalah sendiri? masa lalu sangat baik untuk menjadi bekal kita
perayaan masyarakat mereka, keluarga dalam melangkah. Kita akan selalu diingatkan:
mereka, bukan diperuntukkan bagiku. Chun jie Setelah Orde Baru limbung. Masyarakat pergulatan melawan diskriminasi dan
mereka ternyata bukan Sin cia kami. Tionghoa menuntut kembali haknya. rasialisme adalah pergulatan panjang yang tak
Sekembalinya dari sana perasaan kosong Eksistensi Sin cia diperjuangkan untuk diakui, mengenal kata lelah. Pekerjaan sepanjang
yang aku dapatkan. Aku merasa ada sesuatu seketika tarian barongsai muncul dimana masa ini harus dilakukan seluruh anak bangsa
yang hilang. Dalam hati selalu ada pertanyaan: mana. Saat menyaksikan barongsai beraksi dari generasi ke generasi! Di tengah eforia
dimana seharusnya tempat kami? dalam perayaan Sin cia pertama kali setelah kebebasan, setelah pesta usai, masih banyak
dilarang, tak dapat aku menahan rasa haru pekerjaan yang harus kita lakukan. Alangkah
Setelah bertahun-tahun aku mengacuhkan yang bergejolak dalam dada, hatiku miris
hari raya ini, sekarang tiba tiba aku merasa baiknya kita dapat merenungkan sebuah syair
menangis, pertanyaan-pertanyaan berkeca- yang ditulis penyair Xin Qiji dari dinasti Song.
membutuhkannya, dan aku tak dapat muk: apa salahmu sehingga dalam tahun-
memenuhi kebutuhan ini di negeri orang lain. Dia menulis untuk malam perayaan yuan xiao
tahun yang begitu panjang engkau harus atau capgomeh, akhir dan puncak perayaan
Ada apa denganku? Apakah ini sekedar bersembunyi? mengapa engkau sampai
kecengengan manusia yang suka bernostalgia tahun baru Imlek.
diharamkan? sekarang setelah engkau muncul
dengan masa lampau? Setelah aku renungkan kembali dengan tubuh penuh luka, apa yang Angin timur memekarkan ribuan bunga
dalam-dalam, aku baru sadar, kebutuhanku masih dapat engkau lakukan? Engkau meng- malam
akan Sin cia adalah suatu kerinduan tentang hentak-hentakkan tubuhmu dengan penuh dan meniup jatuh, bintang bintang bagai
kebebasan, lepas dari kekangan, kebebasan tenaga, seakan-akan seluruh perasaan pedih hujan.
untuk mengekspresikan diri! tertekan yang terpendam selama ini hendak Kuda pusaka dan kereta kencana harum
Selama Orde Baru tidak hanya melarang kamu lepaskan serentak. Bunyi tambur seperti sepanjang jalan.
perayaan Sin cia juga melarang semua pen- menyuarakan jerit protesnya. Sudah pasti, Suara seruling mengalun, sinar rembulan
didikan dan kebudayaan Tionghoa, termasuk kemunculanmu merupakan tamparan keras berputar
tulisan kanji dan semua bacaan beraksara bagi penguasa yang pernah membelenggu- ikan ikanan dan ular naga menari
kanji. Kebiasaanku dari kecil untuk membaca mu. Kemunculanmu juga menyadarkan kita, semalaman.
cerita komik dalam bahasa Mandarin tak terasa bahwa suatu kebudayaan meski coba diredam
telah membuat diriku sangat menggemari dengan paksa selama 32 tahun, dia tidak lalu Capung capung, umbul umbul dan rumbai
sastra Mandarin. Ketika pelarangan buku Man- mati. Begitu angin perubahan bertiup, dia emas
darin menjadi kenyataan, aku merasakan ke- pasti akan hidup kembali! Ini mengingatkan canda tawa dan langkah gemulai
hilangan yang sangat. Dengan berbagai cara kita pada sebuah syair klasik dari penyair meninggalkan wangi.
aku masih bisa memperoleh buku-buku itu. dinasti Tang Bai Juyi : Lama mencarinya dalam kerumunan
Perasaan was-was dan tertekan selalu Hamparan rerumputan di atas padang, manusia, ———
menyertaiku saat melewati para petugas Semusim melayu semusim merimbun seketika menoleh ke belakang, orang itu
pemeriksa di bandara, hanya karena di dalam Api belantara tak dapat membakarnya ternyata
kopor, di bawah pakaian-pakaian kotor, selalu habis, berada di tempat di mana sinar lentera
tersembunyi berbagai buku dalam huruf Man- begitu angin musim semi bertiup dia akan hanya temaram.
darin. Sungguh sangat absurd di muka bumi tumbuh kembali.
ini ada pelarangan suatu jenis huruf, dan Di tengah suasana kegembiraan aku selalu m
pelarangan ini tercantum di atas formulir isian masih memendam kekhawatiran. Apakah
penumpang pesawat bersamaan dengan kebebasan ini hanya gejala sesaat?
bacaan porno, narkotika dan senjata api! Mungkinkah suatu ketika kekuasaan yang be-
Perasaan tertekan ini dengan sendirinya gitu represif akan kembali hadir? Andaikan pe- ZHOU FUYUAN, Arsitek yang tinggal
membuat kebencianku terhadap penguasa merintahan di masa yang akan datang masih di Jakarta
yang menciptakan belenggu dan rambu tak saja demokratis dan tidak diskriminatif, apakah

esai | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 33


> > > L O G I K A K U L T U R A

Ilmu Sosial,
Seberapa Ilmiah?
>>John Roosa

P
elajar di Indonesia cukup banyak menerapkan ketrampilan logika kita kritis tentang “kebijakan penyesuaian
mencurahkan waktu untuk yang terbaik, maka kita akan mampu struktural” – yang juga berlaku di In-
belajar ilmu sosial. Sejak SD merumuskan kebijakan pemerintah donesia sekarang (kenaikan pajak,
murid sekolah diajar Ilmu Pengetahu- yang tepat dan tindakan sosial untuk sumberdaya untuk ekspor, pengurang-
an Sosial (IPS) dan sejarah, di memberantasnya. Ini mungkin pan- an pengeluaran pemerintah, dan
samping mata pelajaran lainnya. Di dangan tentang ilmu sosial sebagai seterusnya). Alih-alih memperhatikan
perguruan tinggi mahasiswa belajar dokter bagi penyakit yang diidap ma- studi-studi kritis itu, IMF membiayai
antropologi, sosiologi, psikologi dan syarakat. Ilmu sosial sepertinya sejumlah penelitian “ilmiah” untuk
bidang-bidang lainnya. Masalahnya memberi harapan bahwa penjelasan menyembunyikan kebenaran tentang
dalam pengajaran ilmu sosial ini mu- yang keliru tentang masalah-masalah kebijakan-kebijakannya yang salah.
rid atau mahasiswa diberi kesan sosial (misalnya bahwa kemiskinan
bahwa ilmu itu seolah-olah pasti disebabkan oleh persekongkolan Walau hasil dari penelitian sosial
adanya. Karena itu kita mendapat kelompok etnik atau agama tertentu) mungkin tidak meyakinkan mereka
kesan salah seolah ada kesepakatan dapat dikikis dan kita, sebagai masya- yang berkepentingan untuk menolak
umum di kalangan ilmuwan sosial rakat, dapat mengenali kebenaran hasil-hasilnya, kita tetap harus mela-
akan tujuan dasar, fungsi metodenya. serta memecahkan masalahnya kukan penelitian. Kita tidak bisa
Seperti bidang lainnya, ilmu sosial bersama-sama. berkesimpulan bahwa ilmu sosial
diajarkan sebagai deretan rumus atau pada dasarnya tidak jelas. Bahwa ada
kesimpulan yang harus diingat, dan Harapan ini tentunya naif bagi dunia sekelompok orang yang menolak
bukan sebagai rangkaian pertanyaan yang penuh dengan kepentingan dan temuan kita, tidak berarti bahwa
yang seharusnya muncul dari para tidak tertarik pada ilmu sosial jika ilmu semua orang akan menolaknya.
murid atau mahasiswa sendiri. Dalam itu bertentangan dengan kepentingan- Mungkin ada banyak orang yang
esei ini saya ingin mengangkat nya. Misalnya saja ada sekumpulan terdorong oleh informasi dan temuan
sejumlah masalah dasar dalam ilmu ilmuwan sosial yang melihat bahwa kita, akan berjuang untuk mengubah
sosial dan menawarkan jawaban dari kebijakan IMF (yang notabene me- kebijakan tertentu. Mari kita lihat IMF
saya sendiri. Tentu saja tidak semua nguasai perekonomian Indonesia se- lagi sebagai contoh. Saat ini ada
bisa kita bahas di dalamnya, tapi apa karang) ternyata membuat kemiskin- banyak organisasi yang dibentuk un-
yang diuraikan lebih banyak bertujuan an semakin parah, maka temuan itu tuk menekan IMF agar mengubah
menantang kita semua untuk berpikir tidak akan ada pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakannya. Mereka
tentang masalah-masalah tertentu. IMF sendiri karena para pejabatnya mengadakan demonstrasi di berbagai
berkepentingan untuk jalan terus de- kota di dunia. Demonstrasi semacam
Tujuan Ilmu Sosial ngan kebijakan itu. Apalagi IMF ini itu tak akan ada gunanya jika tidak ada
mewakili kepentingan bank-bank studi-studi ilmiah yang membuktikan
Ilmu sosial biasanya dianggap seba- besar di Amerika Serikat, Eropa dan bahwa kebijakan IMF menghasilkan
gai metode untuk memperbaiki ma- Jepang, yang didirikan untuk mencari kemiskinan. Kekuatan politik memang
syarakat. Jika kita memahami kebe- untung, bukan untuk mengatasi ke- perlu untuk mendorong perubahan
naran masyarakat kita secara ilmiah, miskinan. IMF sudah tentu akan lembaga-lembaga seperti IMF, tapi
maka kita akan tahu cara memperba- mengabaikan temuan studi ilmiah kekuasaan yang tak bersandar pada
ikinya. Jika kita mempelajari sebuah yang tidak membenarkan kebijakan ilmu adalah kekuasaan sewenang-
masalah sosial dengan seksama, yang sudah mereka tetapkan. Dalam wenang yang hanya menguntungkan
misalnya kemiskinan, dan menelusuri kenyataan kita lihat bahwa IMF terus- pemegang kuasanya.
penyebabnya dengan mengumpulkan menerus mengabaikan studi-studi
semua data yang kita miliki dan Ketika esei ini ditulis, ada puluhan ribu

34 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


ALIT AMBARA
orang berkumpul di Genoa, Italia un- an-persoalan sosial. Tapi kita harus nya. Ilmu sosial dengan kata lain,
tuk memprotes pertemuan kepala- tahu bahwa niat baik ternyata tidak memerlukan keketatan konsep bukan
kepala negara industri maju. Pertem- cukup untuk menghasilkan ilmu yang hanya niat baik.
puran di jalan-jalan kota Genoa se- baik pula. Misalnya, seorang ilmuwan
sungguhnya adalah konflik antara dua sosial yang berniat membantu anak Ada juga ilmuwan sosial yang tidak
versi tentang realitas. Para de- jalanan dan dengan penuh kasih serta berusaha memberikan penjelasan
monstran yakni bahwa kebijakan simpati, mempelajari kehidupan terhadap masalah sosial tertentu dan
“globalisasi” yang dipaksakan oleh mereka. Terlepas dari niat baiknya, il- tidak percaya bahwa ilmu sosial se-
negara-negara industri berarti peng- muwan ini bisa saja berhenti pada harusnya dirancang untuk membawa
hisapan sumberdaya dan rakyat dunia pengumpulan bahan dan menggam- perubahan sosial. Mereka merancang
untuk keuntungan perusahaan barkan penderitaan anak jalanan itu penelitian untuk menafsirkan perilaku
multinasional raksasa yang bermar- dengan harapan bahwa pengungkap- manusia, bukan untuk menjelaskan
kas di Amerika Serikat, Eropa dan an hasil temuannya ke media massa apa yang menyebabkan orang bertin-
Jepang. Namun para presiden yang akan mendatangkan simpati dan dak. Mereka juga cukup terbuka un-
menghadiri pertemuan itu percaya uluran tangan orang lain. Bisa saja tuk mengakui bahwa ada sekian ba-
bahwa mereka sesungguhnya sedang hasil temuannya, sekali lagi terlepas nyak penafsiran berbeda yang sama
menyelamatkan rakyat dunia dari ke- dari niat baik tadi, tidak menjelaskan sahnya terhadap apa yang mereka
miskinan. George W. Bush, misalnya, mengapa ada anak yang terpaksa teliti. Masyarakat dalam pandangan
mengatakan kepada pers bahwa hidup di jalan, tentang bagaimana mereka bukanlah seperti pasien yang
kebijakan-kebijakannya menyelamat- kemiskinan anak-anak ini berkaitan gejala-gejala penyakitnya perlu diag-
kan rakyat dari kemiskinan, sementara dengan situasi ekonomi secara nosa dan disembuhkan, tapi lebih
usulan dari para demonstran hanya umum, atau mengidentifikasi wilayah- seperti permainan, dan tugas ilmuwan
akan membuat orang miskin “tetap wilayah di mana penanganan peme- adalah memahami aturan mainnya
terjerembab ke dalam kemiskinan”. rintahan maupun non-pemerintah sehingga kita semua dapat bermain
Siapa yang benar? Ya, sederhana saja, akan berlangsung efektif. Untuk lebih baik.
terserah pada masing-masing orang menghasilkan ilmu yang baik kita Kita ambil contoh Clifford Geertz,
untuk menentukan dan mengambil harus berpikir serius dan kreatif dalam antropolog Amerika yang dikenal luas
keputusan. mengidentifikasi masalah, membuat di Indonesia. Ia pernah menulis esei
pengamatan kritis terhadap asumsi- yang sekarang dianggap klasik ten-
Adalah wajar bahwa ilmu sosial asumsi yang ada, dan bekerja keras
didorong oleh keinginan untuk mem- tang adu ayam di Bali. Dalam tulisan
untuk mengumpulkan data yang dapat itu ia tidak menjelaskan mengapa
perbaiki masyarakat. Kebanyakan o- diandalkan, dan juga berpikir terbuka
rang akan menganggapnya percuma permainan adu ayam itu ada. Perta-
serta berani mengambil kesimpulan nyaan yang ingin dijawabnya
jika tidak mampu menjawab persoal- yang bertentangan dengan keyakinan-
logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 35
adalah, apa sesungguhnya arti adu bagaimana mengubah masyarakatnya wan mengatakan bahwa katak
ayam bagi orang Bali? Seorang ilmu- sendiri. Penelitiannya tentang seksu- umumnya kawin saat hujan, ia tidak
wan yang berpikir sempit dan mene- alitas remaja di Samoa memperlihat- akan menghadapi sekelompok katak
rima perspektif polisi bahwa adu kan bahwa pubertas bukanlah fase yang mendebatnya. Katak tidak akan
ayam adalah kejahatan, menganggap- traumatik dalam kehidupan seperti merasa malu karena pola kawinnya
nya sebagai sebuah masalah sosial halnya di masyarakat Barat. Apa yang dibahas di hadapan orang banyak,
dan akan melakukan penelitian ten- selama ini dianggap alamiah atau tak mereka juga tidak akan membentuk
tang cara memberantasnya. Tapi terhindarkan ternyata bersifat kultural organisasi untuk memaksa ilmuwan
Geertz menganggap masyarakat Bali dan terbuka bagi perubahan. Tapi, itu menarik kembali kesimpulannya.
seperti teks, seperti sebuah novel, dan walau kesimpulannya mungkin benar, Mereka tidak akan berbohong dan
berperan seperti kritikus sastra yang penelitiannya juga memperlihatkan mengatakan bahwa katak lebih
berusaha memahami makna sebuah bahaya dari niat baik. Seperti ditun- senang kawin saat panas terik, dan
teks. Ia mengatakan bahwa adu ayam jukkan sejumlah antropolog lain, juga tidak akan berhenti kawin saat
memungkinkan orang Bali untuk me- lingkup informasinya tentang Samoa hujan untuk membuktikan bahwa il-
lihat sisi kehidupan emosionalnya sangat terbatas dan ia juga keliru muwan itu keliru.
yang biasanya tertekan; jika dalam menafsirkan banyak hal dalam kebu-
kehidupan sehari-hari orang Bali dayaan setempat. Alam berperilaku menurut kebutuhan.
terlihat rapi, disiplin dan kalem, maka Seekor singa tidak banyak pikir
dalam arena adu ayam mereka akan Ilmu sering berarti menghadapi sebelum memburu seekor zebra.
terlihat seperti mahluk ganas. bagian-bagian dari perilaku manusia Lempengan tektonik di kulit bumi ti-
yang tidak disukai seseorang. Saya dak akan memutuskan apakah akan
Walau Geertz sendiri tidak mengang- sendiri tak suka penyiksaan tapi ada bergerak atau tidak, apakah akan
gap dirinya sebagai orang yang banyak tentara dan polisi di dunia membuat gempa bumi atau tidak.
berharap mengubah masyarakat, Manusia, tentu saja adalah bagian dari
dalam karya-karyanya tetap ada alam. Dari segi fisik, susunan tubuh
harapan bahwa pengetahuan yang kita tidak lebih rumit dari seekor
lebih baik tentang perilaku manusia kucing dan hanya sedikit di atas
memungkinkan kita menuju hidup seekor cacing. Tubuh kita memiliki
yang lebih baik pula. Geertz sangat unsur kimia yang sama seperti
tinggi komitmennya terhadap ilmu; ia tanaman dan mengalami proses yang
ingin mengembangkan ilmu tafsir atas sama: tumbuh, melakukan reproduksi
perilaku manusia yang dapat dan seterusnya. Segi fisik kita menja-
menangani “dilema-dilema eksisten- di obyek penelitian ahli biologi, bukan
sial kehidupan.” Pendekatan itu baik ilmu sosial. Apa yang membuat ilmu
saja adanya. Tapi kita tidak bisa sosial berbeda adalah perhatiannya
melihatnya menggantikan tugas terhadap gagasan manusia,
menjelaskan kebudayaan. Tafsir atau kesadaran, subyektivitas, atau apa
interpretasi seharusnya dilihat seba- yang disebut Max Weber “jaring-
gai pelengkap untuk menjelaskan . jaring pemaknaan” (webs of signifi-
Buku Geoffrey Robinson tentang ke- cation).
kerasan di Bali adalah kontras yang
baik terhadap pendekatan Geertz. Masyarakat berbeda dari alam,
Dalam buku itu ia memberikan penje- berbeda jenis bukan hanya tingkat,
lasan logis yang sangat baik tentang karena masyarakat terdiri atas
faktor-faktor yang menyebabkan ter- individu-individu yang berpikir, mela-
jadinya pembunuhan massal 1965-66. kukan refleksi atas tindakan mereka,
Penjelasan tentang sebab-akibat sa- yang melakukannya. Jika kita ingin dan mengubah perilaku mereka. Alam
ngat mendasar bagi ilmu sosial – de- mengakhiri praktek penyiksaan, maka menjadi misterius hanya karena kita
mikian halnya tafsir atas makna. kita terlebih dulu harus memahami- tidak memahaminya dengan baik,
nya. Tugas dari ilmu sosial bukan bukan karena alam itu sendiri ingin
Hampir semua ilmu sosial mengan- hanya mengutuk penyiksaan; tapi ter- menyembunyikan diri dari kita.
dung unsur utopianisme tertentu. Hal utama memahaminya. Dan untuk Manusia sebaliknya adalah mahluk
ini jarang disadari di Indonesia, karena memahaminya kita harus berbicara penuh rahasia dan kebohongan.
ilmu sosial masih dianggap sama dengan mereka yang melakukan Seseorang bukan hanya menipu orang
seperti reportase tentang “kenyataan penyiksaan dan memasuki alam lain tapi seringkali menipu dirinya
sosial”. Juga jarang disadari oleh pikirnya. Kita juga harus berbicara sendiri.
mereka yang gemar berslogan “yang kepada para korban dan memastikan
kongkret-kongkret saja”. Bagaimana- Lalu bagaimana bisa manusia
apa saja akibat dari siksaan itu bagi mencipta ilmu tentang dirinya?
pun, setiap ilmuwan sosial sesung- mereka. Kita juga harus melihat tem-
guhnya mengembangkan gagasan Bukankah semua ilmu sosial akan
pat para pelaku penyiksaan itu dalam tercemar oleh bias subyektif para
ideal tentang “masyarakat yang lebih negara, bagaimana perilaku itu
baik” dan terus berpikir tentang ba- ilmuwannya? Bagaimana cara manu-
didorong, dibiarkan dan bahkan dipuji sia mempelajari dirinya? Bukankah
gaimana mencapai bentuk semacam oleh penguasa negara.
itu. obyek studi itu akan selamanya tidak
jelas? Bukankah tidak mungkin kita
Bahkan saat mempelajari masyarakat
Beda Ilmu Sosial dan berbicara secara obyektif tentang
lain, kita mau tidak mau mengambil Ilmu Alam subyektivitas?
masyarakat sendiri sebagai perban- Obyek studi ilmu sosial sungguh
dingan. Margaret Mead, antropolog Ini memang pertanyaan-pertanyaan
berbeda dari ilmu alam, karena ma- yang sulit dan sampai sekarang belum
Amerika yang tersohor itu, pernah syarakat penuh dengan kepentingan
mengatakan bahwa tujuannya mem- terjawab. Tapi seringkali di Indonesia
subyektif. Misalnya jika seorang ilmu- kita melihat obsesi akan “obyektiv-
pelajari masyarakat lain untuk tahu
36 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
itas” dan keinginan memiliki ilmu sosial juga menganggap penting bukti Semua ilmu sosial yang valid bertolak
sosial yang sepenuhnya obyektif, dan argumen yang masuk akal, tapi dari pengetahuan bahwa manusia
yang dapat berbicara sama obyektif- subyektivitas harus dipelajari dengan adalah mahluk yang kreatif. Kita harus
nya seperti ilmu alam. Semua orang cara berbeda. Usaha memasukkan menghargai kenyataan dasar ini.
mengaku “obyektif” dan ingin menge- ilmu sosial ke dalam ilmu alam Perilaku manusia tidak mengikuti
tahui ilmu sosial yang “obyektif” pula. berlandaskan pada pengebirian kon- hukum-hukum keteraturan alam justru
sep subyektivitas manusia. Dalam karena manusia dapat mengubah
Kekacauan berpikir tentang obyektiv- pandangan ini manusia diturunkan perilakunya. Kita terus-menerus me-
itas ini dapat dilihat dalam pernyataan derajatnya seperti binatang: kita bisa lakukan refleksi atas tindakan kita dan
Amien Rais baru-baru ini. Dalam berbicara lebih baik dari burung beo, berusaha menentukan apakah yang
wawancara di SCTV, 21 Juli lalu, ia bisa membuat alat-alat yang lebih baik kita lakukan adalah baik atau buruk.
mengatakan bahwa “obyektivitas” daripada kera (yang tidak pernah Budaya tidak sama dengan alam
demokrasi ditentukan oleh suara beranjak lebih jauh dari membuat justru karena kapasitas manusia un-
terbanyak. Jadi jika mayoritas anggo- tongkat untuk merusak lubang semut), tuk mengubah perilakunya. Artinya
ta MPR setuju menurunkan Gus Dur dan bermain musik lebih baik dari ikan masalah obyektivitas dalam ilmu
karena melanggar UUD 1945, maka paus (yang bernyanyi di bawah air) – sosial amat berbeda dari ilmu alam.
menurut Amien Rais, Gus Dur me- tapi pada dasarnya kita tidak berbeda. Kita tidak bisa mengambil kesimpul-
mang melakukan pelanggaran. Ini an bahwa obyektivitas tak mungkin
tentu saja definisi yang tidak masuk Dalam hal menurunkan derajat diraih dan dengan begitu ilmu sosial
akal. Gus Dur mungkin saja tidak kemanusiaan dan menyamakannya takkan mungkin menjadi ilmu.
pernah melakukan pelanggaran apa dengan alam, “ilmu ekonomi” adalah Namun, kita harus tahu bahwa
pun, tapi karena kebanyakan partai yang paling buruk dan berbahaya. gagasan tentang obyektivitas dalam
politik ingin mengusirnya dari istana Ekonomi bergerak maju menyerupai ilmu alam tidak dapat kita gunakan
dan merebut kekuasaan untuk kepen- dalam ilmu sosial.
tingannya sendiri, mereka akhirnya
menjatuhkan keputusan itu sekalipun Lalu, apa obyektivitas itu dalam ilmu
tidak ada bukti. Jika di masa depan sosial? Kita tidak mungkin menjawab
mayoritas partai politik menuduh pertanyaan itu dalam beberapa
Amien Rais melakukan kejahatan dan paragraf saja. Saya hanya memapar-
mengusirnya dari jabatan Ketua MPR, kan beberapa elemen saja dari
saya ragu bahwa ia masih percaya jawaban yang sesungguhnya panjang.
kata-katanya sendiri tentang obyektiv- Banyak ilmuwan sosial mengatakan
itas. bahwa ilmu sosial adalah ilmu tentang
aturan yang diikuti manusia. Dengan
Di abad ke-19 dan bahkan sampai mengamati aturan-aturan ini, ilmu-
abad ke-20, banyak orang percaya wan sosial dapat memahami ketera-
bahwa ilmu sosial hanya mungkin ber- turan perilaku manusia dalam masya-
kembang jika mengambil ilmu alam rakat tertentu. Masalahnya aturan-
sebagai modelnya. Ada yang bahkan aturan itu tidak begitu saja ada: ma-
mengusulkan “ilmu yang satu”, untuk nusia tidak mengikuti aturan karena
mempersatukan ilmu alam dan ilmu mereka diprogram secara genetik un-
sosial. Perilaku manusia, dalam pan- tuk melakukannya. Aturan-aturan
dangan ini, dipahami sebagai proses seperti itu terus berubah dan berva-
alamiah yang mengikuti hukum- riasi dari masyarakat satu ke yang lain.
hukum tertentu. Subyektivitas dilihat Aturan-aturan itu juga tidak diikuti
sebagai hasil proses kimiawi dalam secara ketat oleh manusia. Artinya kita
otak dan otak pun diperlakuan semata- ilmu yang “pasti” justru karena tidak dapat mempelajari aturan-aturan
mata sebagai salah satu organ tubuh, asumsi-asumsinya yang menyederha- itu lalu menyimpulkan perilaku manu-
sama halnya seperti ginjal namun nakan perilaku manusia. Ekonomi sia berdasarkan itu.
sedikit lebih rumit. Beberapa ahli yang pada umumnya diajarkan di
biologi yang mempelajari gen menga- perguruan tinggi Indonesia dan tem- Kita ambil contoh, sebuah pabrik.
takan bahwa karakteristik tertentu dari pat lainnya (ilmu ekonomi yang Peneliti di pabrik itu melihat bahwa
perilaku manusia sudah ditetapkan memotivasi IMF) bertolak dari asumsi buruh menghormati mandor. Mereka
sejak lahir. Ilmuwan sosial akan bahwa manusia adalah mahluk yang mengikuti beragam aturan etiket saat
mengimbanginya dengan membuat senantiasa cari untung dengan berurusan dengan mandornya:
eksperimen yang berulang-ulang kecenderungan alamiah untuk “truck, mereka menjaga agar tubuhnya tidak
terhadap subyek manusia di barter and exchange”, seperti terlalu dekat, menundukkan kepala
laboratorium dan membuat tabulasi dikatakan Adam Smith. Itulah “manu- saat menatap wajahnya, menyebut-
hasil-hasilnya di komputer. Kita lihat sia ekonomi yang rasional”. Seandai- nya “tuan” atau “beliau”, tidak ber-
seolah-olah misteri subyektivitas ma- nya saja setiap orang adalah peda- gurau dengannya, dan tidak berbalik
nusia dapat dibawa masuk secara gang dan berlaku seperti pedagang memunggungi sebelum ia pergi.
tegas ke dalam wilayah ilmu alam. maka asumsi itu tepat adanya. Ilmu Seorang peneliti bisa saja menafsir-
ekonomi standar, sebagai analisis ten- kan perilaku para buruh ini sebagai
Dewasa ini hanya sedikit orang yang tanda penghormatan terhadap sang
percaya bahwa ilmu sosial harus me- tang perilaku manusia, rumah tangga
dan perusahaan, mengabaikan kenya- mandor dan pengakuan akan adanya
ngikuti jejak ilmu alam. Kebanyakan hirarki sosial dalam pabrik. Tapi,
orang setuju bahwa obyek ilmu sosial, taan kelas dan hubungan kuasa dalam
struktur sosial. Terlepas dari model pengamatan yang lebih teliti ternyata
yakni subyektivitas manusia, tidak menunjukkan bermacam kejanggalan:
dapat dipelajari sebagai bagian matematiknya yang rumit dan
klaimnya sebagai ilmu yang “pasti”, buruh-buruh itu kadang berlebihan
organik dari alam yang mengikuti mengikuti ‘aturan’ itu: membungkuk-
hukum-hukum tertentu. Tentu saja ada ekonomi standar ini penuh dengan
absurditas. kan badan dalam-dalam, berbica-
kesamaan dari segi metode: ilmu
logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 37
ra dengan gelar penghormatan yang jika orang yang melihat sikap itu ti- an. Semua mitos yang penting dan
hebat-hebat, sedemikian rupa sampai dak memahaminya. Seseorang tidak dapat bertahan punya dasar kuat;
mandor itu tidak tahu lagi apakah mungkin membuat aturannya sendi- mitos-mitos itu selalu mencerminkan
buruh-buruh itu sesungguhnya ri. Artinya aturan bukanlah fakta-fakta sebagian persepsi tentang kenyataan
hormat, agak gila atau sedang subyektif, yang ada semata-mata dan bukan semata-mata salah paham
mengejeknya. Peneliti itu kemudian karena kita menganggap atau mengi- yang parah. Misalnya, banyak orang
juga bisa melihat bahwa di luar pintu nginkannya ada. Jika tidak subyektif, percaya bahwa perkosaan biasanya
pabrik ternyata buruh-buruh itu apakah aturan-aturan itu bersifat dilakukan oleh orang yang tidak
setengah mati menertawakan sang obyektif? Aturan itu juga tidak obyektif dikenal korban. Tapi jika orang mem-
mandor, dan bahagia karena bisa seperti hukum alam karena sifatnya pelajari pola kasus-kasus perkosaan
mempermainkannya. Dari sana ia bisa yang tidak tetap; aturan itu ada dalam maka terlihat bahwa para pemerkosa
melihat bahwa di balik apa yang komunikasi inter-subyektif dan tidak ini umumnya adalah teman, saudara
nampak ada realitas lain, dan karena disediakan dengan sendirinya oleh dan tetangga para korban. Bagaima-
itu tidak akan terkejut jika suatu saat, alam. Salah satu pengertian obyektiv- na kita menjelaskan mitos umum ten-
buruh-buruh itu secara terbuka akan itas dalam ilmu sosial dapat disebut tang perkosaan ini? Mungkin persepsi
menantang sang mandor, memperli- inter-subyektivitas. bahwa perkosaan dilakukan oleh o-
hatkan sikap tidak hormat, lalu rang yang tak dikenal korban muncul
mencoba menguasai pabrik itu. Dalam Demistifikasi dari kecenderungan untuk membica-
contoh ini kita bisa lihat bagaimana Jika ilmu alam bertugas membuat rakan kejahatan semacam itu di dalam
aturan ditaati, dan ada semacam alam dapat dimengerti oleh kita, maka keluarga dan komunitas. Sementara
kepastian di sana. Tapi kita juga meli- salah satu tugas penting bagi ilmu mereka tidak pernah mendengar
hat adanya ambiguitas tentang bagai- sosial adalah melakukan demistifikasi kasus perkosaan seperti itu, pers terus
mana aturan itu ditaati, dan ini semua terhadap hubungan-hubungan sosial. menyiarkan kasus-kasus perkosaan di
memerlukan kemampuan tafsir. Kita Dengan pengalaman kita hidup di mana pelaku seolah seperti mahluk
juga bisa melihat bahwa aturan- bawah Orde Baru, kita tahu bahwa ada jahat yang bersembunyi di lorong
aturan pada dasarnya selalu bisa orang dan lembaga yang sengaja ada gelap untuk menerkam korbannya
berubah. untuk menipu publik. Di zaman Orde tiba-tiba.
Salah satu perdebatan terbesar dalam Baru pemilu diadakan lima tahun Untuk men-demistifikasi kehidupan
ilmu sosial adalah mengenai manu- sekali untuk memperlihatkan bahwa sosial, kita tidak dapat menggunakan
sia sebagai agen dan struktur sosial. Soeharto adalah presiden yang dipilih pendekatan yang murni empirik dalam
Manusia jelas memiliki kemampuan secara demokratik. Sebenarnya cukup ilmu sosial, karena tugasnya bukan
untuk mengubah aturan, mengubah jelas bagi setiap orang yang punya hanya merekam kenyataan dengan
struktur masyarakat mereka – atau pikiran kritis bahwa pemilu itu tidak sungguh-sungguh. Masalahnya seper-
dengan kata lain memiliki kemampu- fair dan bahwa Golkar senantiasa ti kita lihat di atas, kenyataan itu
an sebagai agen yang mengubah. Re- berbohong. Salah satu tugas ilmu seringkali disalahpahami. Banyak il-
volusi Indonesia 1945-49 misalnya, sosial adalah melakukan analisis muwan sosial yang terjangkit em-
secara dramatis mengubah struktur terhadap kenyataan hubungan kuasa pirisime naif: mereka berkoar tentang
sosial; revolusi itu bukan hanya dalam masyarakat di balik segala ilusi data-data yang dikumpulkan: ribuan
mengakhiri kekuasaan kolonial yang diciptakan oleh hubungan itu. halaman data, berkilogram dokumen
Belanda, tapi juga mengakhiri kekua- Ada banyak jalan bagi ilmu sosial un- dan seterusnya. Tapi saat diminta
saan sejumlah kerajaan feodal. Di atas tuk membongkar realitas dan menjelaskan apa yang mereka pelajari
hirarki rasial, etnik dan politik negara melawan mitos-mitos yang dicipta- secara konseptual, yang keluar hanya
kolonial yang ketat, kaum nasionalis kan. Banyak orang Indonesia percaya beberapa potong kalimat saja. Ilmu
membangun sebuah negara baru bahwa orang Tionghoa sekarang sosial sebaiknya tidak dibayangkan
berdasarkan persamaan bagi semua mengontrol sebagian besar kekayaan seperti orang memotret kenyataan,
warganya. Revolusi adalah perwujud- negeri ini. Beberapa tahun lalu ada tapi sebagai upaya mencari jalan
an nyata dari kekuatan kreativitas angka statistik yang terus-menerus dalam ruang penuh cermin.
manusia dan kehendak-kuasa dikutip oleh pers, bahwa orang Referensi:
mengubah struktur sosial. Namun, Tionghoa yang hanya 2% dari jumlah
kita juga harus mengakui bahwa ma- penduduk Indonesia menguasai 70% Robin Blackburn, ed., Ideology in Social
nusia memiliki keterbatasan dalam hal Science (Fontana, 1972).
kekayaan negeri. Setelah diperiksa
apa yang dapat diubah dan seberapa dengan seksama ternyata angka Alex Callincos, Social Theory: A Historical
jauh mereka mampu mengubahnya. statistik itu sama sekali tidak berdasar. Introduction (Polity, 1999).
Misalnya Indonesia sampai sekarang Salah satu tugas ilmu sosial adalah
umumnya masih terdiri atas masya- Clifford Geertz, The Interpretation of Cul-
memperlihatkan siapa yang mengua- tures (Basic Books, 1973).
rakat pedesaan yang berkaitan dengan sai kemakmuran, dan dalam hal itu
pertanian; Indonesia tidak bisa men- kita harus jelas apa yang dimaksud Pierre Bourdieu, The Logic of Practice
jadi masyarakat industri dalam “kemakmuran” dan cara mendefinisi- (Stanford University Press, 1990).
semalam, apalagi masyarakat pasca- kan kelompok-kelompok etnik. Alan Ryan, The Philosophy of the Social
industri yang serba komputer, hanya Sciences (Macmillan, 1970).
karena kita menginginkannya. Dialek- Ilmu sosial tidak bisa berhenti pada
tika antara agen dan struktur adalah gerak membongkar kenyataan, tapi Peter Winch, The Idea of a Social Science
masalah sulit dan terletak di jantung harus melihat bagaimana mitos-mitos and Its Relation to Philosophy (Routledge,
ilmu sosial. menyelubungi kenyataan. Karena itu, 1958).

Untuk membuat aturan, harus ada


tugasnya adalah melihat kembali m
mitos itu dan menjelaskan mengapa
pemahaman yang sama tentang mitos seperti itu ada dan dapat
aturan antara orang-orang yang bertahan. Kenapa kita tidak bisa JOHN ROOSA, sejarawan yang
terlibat di dalamnya. Sikap tak meng- mengenali kenyataan? Apa yang menetap di Jakarta.
hormati tidak akan menjadi demikian menghalangi kita mengenali kenyata-

38 logika kultura | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


> > > R E S E N S I B U K U

JJ Kusni
Negara Etnik:
Fuspad

Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak


Penerbit: Fuspad, Yogyakarta, 2001, 189 hal.

Membangun
Solidaritas Kemanusiaan
>>Mahendra

Pertikaian berdarah antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal tahun 2001 ini sekali
lagi memperlihatkan betapa rapuh dan tak bermaknanya kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Setelah sebelumya diguncang oleh rangkaian pertikaian serupa di Kalimantan
Barat, lalu pertikaian bernuansa agama di Ambon, Maluku dan di Poso, Sulawesi Tenggara,
tragedi Sampit kembali menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam
hubungan antaretnis dan antaragama di Indonesia yang multikultur ini.Tragedi Sampit sekali-
gus juga menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi di
Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah sehingga etnis Dayak yang merupakan penduduk
asli, menjadi sedemikian marah dan mengambil “jalan merah” terhadap etnis Madura.

B
erbagai pemberitaan media masih menunjukkan betapa budaya setempat dan harus
mengenai pertikaian tersebut pemberdayaan budaya antara etnis membayar denda adat serta wajib
masih melihat tragedi yang Madura dan Dayak merupakan faktor minta maaf kepada seluruh
menewaskan ribuan nyawa dan utama yang menjadi penyebab masyarakat Kalimanatan Tengah
puluhan ribu lainnya terpaksa kerusuhan. Hal itu secara tersurat melalui DPR setempat (Kompas 8 juni
mengungsi dengan sterotype dan ditunjukkan dengan dikeluarkannya 2001). Yang menjadi pertanyaan
stigma etnis. Sering kali diungkapkan pernyataan mengenai “nasib” dan sekarang adalah apakah memang
bahwa penyebab utama pertikaian “status” etnis Madura di Kalimantan perbedaan budayalah yang menjadi
berdarah antara etnis Dayak dan Tengah. Kongres menetapkan bahwa penyebab utama kerusuhan? Adakah
Madura adalah perbenturan budaya etnis Madura yang mengungsi boleh hal lain yang sebetulnya justru
dan adat-istiadat di antara mereka. kembali ke Kalimantan Tengah dengan menjadi substansi yang menyebabkan
Bahkan dalam Kongres Rakyat sejumlah persyaratan. Di antaranya, pertikaian?
Kalimantan yang berlangsung di mereka adalah orang Madura yang
Palangka Raya pada 7 Juni 2001 lalu sudah mampu beradaptasi dengan Buku ini mencoba menjawab

resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 39


berbagai pertanyaan tersebut di atas tuntutan-tuntutan tersebut mengabai- pada massa. Dalam epilognya, JJ
namun tidak dengan sikap emosional. kan nilai-nilai kemanusiaan dan ke- Kusni mengungkapkan pentingnya
Buku ini mengajak kita untuk melihat pentingan masyarakat banyak. melakukan langkah pengorganisasian
segala sesuatu yang terjadi di Indo- Menurut JJ Kusni, Kemerdekaan yang sistematis dan memperkuat
nesia, khususnya pada daerah-daerah bukanlah segalanya yang pertama posisi tawar massa. Bila hal itu
yang “bermasalah”—dalam hal ini dan di atas segalanya adalah harkat dilakukan maka menjadi tuan atas
Kalimantan Tengah—dengan melihat manusia dan kemanusiaan serta nasib sendiri adalah suatu
substansi permasalahannya.Tidak kehidupan manisiawi yang terus keniscayaan.
seperti genre buku “marah-marah” menerus meningkat yang diwujudkan
lainnya yang menjamur pasca Orde dalam suatu sistem (hal. 22). Lebih Buku ini juga mengungkapkan bahwa
Baru, yang banyak di antaranya hanya lanjut, ia mengungkapkan jika daerah- masyarakat Dayak telah termarjinali-
menggugat dan mengkritik tanpa daerah mempunyai sistem alternatif sasi dan terhina sejak zaman Belanda.
memberikan alternatif yang substan- untuk meningkatkan harkat kemanu- Pada masa kolonial budaya mereka
sial, buku ini salah satu dari sedikit siaan serta kehidupan yang manusia- dianggap sebagai “ragi usang” alias
buku yang menawarkan alternatif wi, mengapa tidak ditawarkan kepada budaya yang tak berguna lagi.
yang moderat dari segudang perma- daerah-daerah yang lain. “Jika soli- Penghinaan ini ternyata berlanjut
salahan yang ditinggalkan rejim Orde daritas kemanusiaan saja tidak ada, setelah Kalimantan Tengah menjadi
Baru. Namun bedanya, alternatif yang apa yang bisa diharapkan dari negara bagian dari Indonesia yang merdeka.
ditawarkan oleh buku ini berlandas- merdeka yang hendak diproklamirkan Pada masa Orde Baru struktur
kan pada alternatif yang berperspektif itu? (hal. 23)” tradisonal “Kadamangan” telah
pada kepentingan rakyat banyak.. dikooptasi oleh Golkar dengan
Walaupun berjudul Negara Etnik, se- memasukkannya sebagai bagian dari
Tema sentral Negara Etnik adalah bagai putra Dayak JJ Kusni justru Golkar dan birokrasi. Namun sebalik-
gugatan dan kekecewaan daerah dan menolak konsep negara yang nya, mereka tidak dipercaya untuk
etnis-etnis di Indonesia terhadap berdasarkan pada etnis tertentu atau memegang posisi-posisi strategis di
hubungan daerah dan pusat yang etnonasionalis. Etnis Dayak menurut daerahnya sendiri (hal 149-150).. Pada
tidak seimbang. Sejak berdirinya In- JJ Kusni bukanlah berdasarkan pada bagian lain, diungkapkan bagiamana
donesia, terutama selama 32 tahun keturunan melainkan pada pemaham- proses penindasan dan pelecehan
rejim Orde Baru yang sentralisitis, an dan penghayatan pada budaya budaya yang dilakukan oleh Orde
daerah-daerah dan etnik-etnik menga- Dayak, terlepas dari asal-usul baru. Di antaranya berupa tak
lami penindasan baik secara keturunan. Dalam konteks ini, apa diakuinya kepercayaan tradisional
ekonomi, politik maupun budaya. yang menjadi keinginan masyarakat kaharingan, yang dipaksa menjadi
Walaupun mereka—khususnya Kali- Kalimantan pada hakekatnya adalah bagian dari agama Hindu (hal 149),
mantan Tengah—telah memberikan keinginan agar mereka dapat juga pelecehan terhadap situs sakral
sumbangan yang sangat besar kepada mengelola dan memanfaatkan sega- Oloh Kasongan/Bukit Batu yang telah
negara namun bagian yang mereka la potensi dan kekayaan daerahnya melukai hati masyarakat Dayak Ngaju
peroleh sangat sedikit. Hal ini demi kepentingan masyarakat dan (hal. 115).
disebabkan karena sebagian besar bukan demi kepentingan segelintir
kekayaan dan potensi daerah diambil elit. Untuk itu, sebenarnya masyarakat Terlepas dari kelemahan dalam
oleh pusat. Inilah yang menyebabkan Dayak sudah mempunyai konsep sistematika—seperti tak adanya
daerah-daerah menjadi kecewa. pembangunan dari dan untuk daftar isi, hubungan antarbab yang
Kekecewaan ini menyebabkan dae- bersama, yakni budaya betang (hal kurang jelas—dan kesan pengulangan
rah-daerah melontarkan berbagai 129). Konsep inilah yang seharusnya ketika membaca buku ini, paling tidak
tuntutan mulai dari otonomi, otonomi menjadi cara untuk mempersatukan buku ini patut dibaca oleh masyara-
luas, bentuk negara federal sampai dan mencegah pertikaian antara kat yang ingin mengetahui lebih jauh
merdeka dari Indonesia. Hal inilah beragam etnis yang ada di Kaliman- tentang etnis Dayak. Buku ini juga
yang lantas oleh pemerintah pusat tan Tengah. Dengan budaya betang- patut dibaca oleh mereka yang tertarik
diredam dengan cara-cara militeristis lah seharusnya masyarakat Kaliman- untuk mengetahui apa yang selama ini
yang justru menimbulkan luka yang tan Tengah bersama-sama menjadi yang menjadi aspirasi dan
dalam pada banyak daerah dan etnik rengan tingang, anak jata; menjadi kekecewaan masyarakat Dayak Kali-
di Indonesia. etnis yang bermutu sehingga dapat mantan Tengah. Selain itu, buku ini
memperoleh élan yang bertarung juga dapat menjadi rujukan yang
Namun, yang menarik, JJ Kusni me- memenangkan hidup menjadi anak berguna.bagi mereka yang ingin
nyikapi berbagai tuntutan daerah— manusia. memahami mengapa dan bilamana
dari mulai otonomi sampai mer- masyarakat Dayak melakukan
deka—itu dengan mempertanyakan Untuk mencapai tujuan tersebut hal perlawanan bila aspirasinya tak
apakah hal itu merupakan pemecahan yang harus dilakukan adalah tercapai. m
masalah. Apakah tuntutan otonomi dimulainya suatu pendidikan yang
atau bahkan kemerdekaan, semuanya membebaskan dan pengorganisasian
menjadi tidak relevan selama gerakan perlawanan yang berbasis
MAHENDRA, Pekerja pada Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan,
Jakarta.

40 resensi buku | Media Kerja Budaya edisi 06/2001


> > > T O K O H

Ninotchka Rosca:
“...yang ingin saya bangun adalah persamaan hak

istimewa
di antara bangsa-bangsa di dunia.”
Ninotchka Rosca adalah salah seorang aktivis politik exile Filipina yang pindah ke Amerika Serikat
sejak rezim Marcos menyelenggarakan keadaan darurat di negerinya tahun 1970-an. Novel-novelnya
menggambarkan bagaimana bangsa Filipina juga seperti bangsa lainnya yang pernah mengalami
penjajahan, pada zaman globalisasi harus menjadi budak. Pandangan-pandangannya terutama menyoroti
suatu fenomena yang dialami oleh bangsa-bangsa dunia ketiga sekarang, yakni perempuan-perempu-
an mencari uang di negeri-negeri kaya dengan menjadi buruh migran, pelayan-pelayan di bar dan pekerja
seks. Bagi Rosca, ini merupakan kenyataan-kenyataan konkrit yang perlu diangkat, karena hampir seluruh
bangsa-bangsa bekas jajahan dipaksa dan diharuskan menghadapi kenyataan ini.

P
ara buruh migran yang kebanyakan lembaga jual beli perempuan dibawah yang menjadi tulang punggungnya adalah
adalah perempuan perlu memperju payung euphisme “kerja”—pekerja peneri- perempuan-perempuan miskin. Masalah-
angkan dan mendapatkan hak-hak ma tamu, budaya hiburan, budaya tari dan masalah seperti ini yang diangkat Rosca
yang mereka miliki. Rosca begitu marah sebagainya—hal ini menjadi sulit untuk kedalam karya novelnya, karya seni yang
ketika pemerintah Singapura mengumum- dibedakan antara perempuan digunakan se- mempunyai kekuatan pencerahan dengan
kan Flora Contemplacion, salah seorang bagai buruh murah dengan perempuan memasukkan kebudayaan dan negeri yang
buruh migran, harus dihukum gantung. dipakai sebagai barang dagangan. Mereka sedang mengalami konflik. Karya-karya
Rosca bersama organisasi massa di Filipina dipergunakan sebagai pasar untuk produk- Ninotcska Rosca adalah Bitter Country and
melakukan demonstrasi besar-besaran un- produk non-esensial dan jasa.” Other Stories , The Moonsoon Collection,
tuk menentang keputusan pemerintah Si- Ninotchka Rosca dengan tegas menunjuk State of War dan sebuah karya non-fiksi
ngapura. Peristiwa ini telah menjadi gejala bahwa Bank Dunia dan IMF telah melaku- Endgame: Fall of Marcos.
universal bagi negara-negara terbelakang. kan eksploitasi berganda terhadap perem- Dua redaktur Media Kerja Budaya, Ayu Ratih
Sehingga pada ceramahnya di PBB dalam puan dengan lembaga keuangan internasio- dan John Roosa mewancarai Rosca di Uni-
rangka memperkuat Convention to Elimi- nal ini mendesain “tiga pilar pembangunan” versity of Wisconsin, Amerika Serikat. Di-
nate all forms of Discrimination (Cedaw) untuk negeri-negeri terbelakang. Salah satu bawah ini petikan hasil wawancara tersebut.
Rosca dengan lantang mengucapkan “se- pilar itu adalah turisme (untuk memperoleh Bagaimana anda mulai menjadi penulis
karang ini dinegeri-negeri terbelakang seper- mata uang asing dengan cepat agar segera dan aktivis politik?
ti Filipina dan Indonesia telah dibangun membayar bunga pinjaman Bank Dunia) Saya dibesarkan tepat setelah Perang

TOKOH | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 41


Dunia II, ketika semua di Filipina ter- antara bangsa-bangsa Asia akibat perkem- dalah orang Filipino tetapi sebagian juga
Amerikanisasi. Generasi saya sangat cerdas, bangan sejarahnya yang agak unik. Dalam bersifat internasional.
saya tidak tahu mengapa tetapi pada saat konteks ini, apa agenda kultural untuk
politik yang progesif? Ada anggapan bahwa pengarang-penga-
yang sama, kami tidak berdaya. Jadi kami rang Dunia Ketiga selalu menulis tentang
mesti meninjau kekuatan politik dan ekono- Bila anda menanyakan apa yang mesti bangsa dan bahwa mereka mempunyai
mi yang ada di negeri kami dan bagaimana dilakukan negeri dan bangsa saya, saya kebiasaan menulis alegori tentang bangsa.
kekuatan ekonomi-politik itu mempengaru- semestinya berkata bahwa saya pikir kami Apa pendapat anda?
hi kekuatan sosial. Jadi kami mulai mem- harus menutup semua pintu untuk sekian Itu sama sekali bukan soal politis bagi kami,
pertanyakan hubungan antara Filipina dan waktu tertentu, tidak berbicara pada siapa- para pengarang. Hanya karena pengaruh
Amerika Serikat. Begitulah saya terjun ke pun, tidak mendengar siapapun, karena kami unsur budaya, kami berorientasi sosial,
dalam politik dan dengan sendirinya penu- jarang saling berbicara satu sama lain. berorientasi kelompok ketimbang individu-
lisan. Dalam kancah sastra aliran “New Crit- Banyak bunyi dari mana-mana, mengatakan individu terpisah sebagaimana anda temui
ics” sangat dominan di negeri ini dan para bahwa inilah yang baik bagi kamu, inilah arti di Eropa atau Amerika. Saya tidak bisa me-
kritikus membenci karya saya. Anda tahu kemajuan, beginilah semestinya pemba- nerima novel Orang Asing-nya Albert Camus
‘kan, saya memakai bahasa Inggris sehingga ngunan. Saya sebut ini “bunyi putih” dan berlatar negeri saya, sungguh, karena orang
saya harus agak menekuk, mengubah pemilihan kata ini bukan kebetulan. Di antara tidak bisa menjadi orang asing di negeri ini,
bentuknya dan memperbaruinya. Dengan “bunyi-bunyi putih” ini, kami nyaris tidak bahkan orang asing tidak pernah benar-
demikian, bahasa ini bisa menampung bisa mendengar diri kami sendiri berpikir, benar menjadi orang asing, segera saja anda
kenyataan kami di Filipina yang sangat bahkan dalam hubungan kami sendiri, mi- terlibat dalam suatu kekerabatan. Ini bukan
berbeda. Ada banyak budaya di Filipina dan salnya dalam hubungan antara pemilik per- soal politik, tetapi soal bagaimana cara
ada saling-pengaruh di antara budaya- kebunan gula dan seorang buruhnya. “Bunyi pandang kita melihat dunia. Mereka harus
budaya ini, banyak lapis budaya, ada hal-hal putih” menyusup dan mengacau hubung- menerima itu sebagaimana kami menerima
aneh yang tidak bisa diungkapkan dalam an di antara keduanya dan mengganggu pe- karya orang Amerika dan Eropa.
bahasa Inggris. Sehingga kita mesti nyelesaian konflik mereka. Bila buruh Bagaimana anda memandang penggam-
mengubah bahasa itu sendiri dan hidup di memutuskan untuk menuntut upah lebih baran bangsa dalam karya anda, bagaima-
negeri kami tidak satu dimensi, tidak datar. banyak, Amerika Serikat akan masuk na anda menyajikan bangsa Filipina dalam
pasukannya, dengan persenjataannya dan tulisan anda?
Jadi wajar saja mengiyakan apa yang pernah
dilontarkan teman sekolah saya: ia berkata segala hal untuk membantu tuan tanah. De- Sesungguhnya saya tidak menulis tentang
bahwa sehari sebelumnya ia pulang dan ngan demikian, persoalan tidak pernah bangsa Filipina atau bahkan bangsa Filipino.
bertemu adik perempuannya dan menyapa terselesaikan. Anda tidak bisa berunding ka- Saya menulis tentang orang-orang tertentu
“hello” padanya. Adiknya tidak berucap rena tuan tanah akan berkata, saya mem- dalam konteks sosial tertentu, ruang dan
sepatah pun dan masuk saja ke dalam punyai tentara dan segalanya dan segera waktunya Filipina. Saya mencoba menarik
kamar. Tetapi tak lama kemudian ia benar- terjadilah pertumpahan darah. Kami benar- dari kekhususan pengalaman mereka se-
benar sekarat di rumah sakit. Ia mengalami benar perlu menutup pintu-pintu kami, suatu yang bersifat universal, sesuatu yang
kecelakaan. Itulah sebabnya mengapa tidak mungkin selama sepuluh tahun dan dapat dipahami orang dengan warna kulit
ada seorang pun di rumah. Ia menceritakan berbicara satu sama lain, duduk di tepi atau kebangsaan apapun. Bagi saya, ini sa-
hal tersebut pada saya dan saya berkata, ya, sungai dan bertanya pada diri sendiri apa ngat penting. Karena yang ingin saya
mungkin ia mengatakan selamat tinggal. yang sebenarnya kami inginkan. Apakah bangun adalah adanya persamaan di antara
Dan dalam bahasa kami ini hal yang sangat kami benar-benar membutuhkan rollerblade, bangsa-bangsa di dunia. Pandangan memar-
biasa tetapi susah diutarakan dalam bahasa barang-barang mode, megamall. jinalisasikan bangsa adalah pandangan yang
Inggris. “New Critics” tidak menyukai fakta Apakah ada hal positif yang berasal dari tidak dapat kami terima. Saya pada dasar-
bahwa kami menekuk-nekuk bahasa. pengaruh Amerika ini? nya seorang humanis, sebutlah begitu.
Apa paradigma New Critics? Ya, kesadaran bahwa individu penting. Anda pernah menyebutkan bahwa baha-
Satuan dasar kami, dalam negeri setengah sa Tagalog adalah bahasa yang miskin un-
Teks, teks bersifat dominan. Anda mengi- tuk pengungkapan anda dan bahwa anda
kuti James Joyce. Teks harus mengandung feudal ini, adalah klan. Begitulah bisa anda
lebih suka menulis dalam bahasa Inggris.
“epiphany” dan sang artis harus tetap men- lihat wanita-wanita pergi ke luar negeri Bisakah anda menjelaskan hal ini dan
jaga jarak, berasyik-asyik dengan dirinya sen- menjual diri untuk menghidupi klan atau menunjukkan bahwa ini adalah pilihan
diri atau apalah. Jarak itu, tidak bisa kita keluarga. Dan mereka akan menempuh hal- bagi banyak penulis Filipino lainnya?
lakukan. Kami adalah bangsa yang sangat hal yang paling mengerikan di dunia ini un- Banyak penulis Filipino menulis dalam ba-
bersemangat, hal-hal dari luar berdampak tuk memenuhi kewajiban keluarga. Tetapi hasa Tagalog tetapi soalnya adalah bahasa
pada kami. Kami terbiasa menggeser sudut sebagian dari kami belajar dari Amerika Inggris lebih tinggi prestise sosialnya dan
pandang karena sebuah kisah tidak menjadi bahwa hidup kita sendiri penting, terlepas karena itu bila anda menulis dalam bahasa
kisah dengan sendirinya sebelum dikisah- dari klan dan keluarga dan itu, saya pikir, Inggris anda bisa mendapat lebih banyak
kan, ditambah-tambahi, diperhalus dengan sangat penting. uang. Bagi saya, ini adalah mekanisme
tiga atau empat orang. Jadi ada perubahan Kini anda tinggal di Amerika, bagaimana mempertahankan hidup. Tetapi, misalnya
dalam sudut-pandang. Susah menerima hal anda memandang diri anda sendiri: anda menghadapi soal-soal transkultural,
itu dengan cara-pandang tentang penulisan seorang pengarang Dunia Ketiga, seorang maka sangat sulitlah menggunakan bahasa
pengarang Filipino, seorang Filipino-Ame-
yang berkembang di Amerika atau Eropa. rika? anda sendiri. Ketika anda berbicara soal,
Anda menentang suara pengarang tung- katakanlah ras, tidak ada kata dalam baha-
Saya sudah mendapat pertanyaan demiki- sa Tagalog yang benar-benar pas. Ada me-
gal.
an berkali-kali sebelumnya dan saya sendiri mang kata kayumangi tetapi kata itu berarti
Ya, kami mesti membongkar hal itu agar tidak tahu dimana tempat saya. Kadang-
tulisan kami diakui. Sangat keliru bila mere- kadar “kecoklatan”, perbedaan antara co-
kadang saya menjadi seorang Filipino bila klat terang atau coklat gelap (sawo matang).
ka memaksakan hal itu karena hal itu tidak itu terasa lebih nyaman, kadang-kadang
cocok untuk negeri kami. Kisah-kisah yang Istilah ini menunjuk warna kulit, dan tidak
seorang Amerika. Tetapi, sungguh, saya mengandung konotasi sosial, tidak memiliki
muncul dari suara demikian tidak cocok bagi hanya mengatakan bahwa saya warga dunia,
negeri saya. Kisa-kisah itu mewakili selera nuansa darah maupun ras. m
saya telah berada di begitu banyak tempat
estetika Barat. dan terpengaruh banyak hal, saya menga-
Bangsa Filipina adalah bangsa yang pal- takan bahwa saya lahir dan besar di Filipina
ing terpengaruh Barat, atau Amerika, di sehingga sebagian besar kesadaran saya a-
42 TOKOH | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
>>>BERITA PUSTAKA

Rising from The Ashes? Labor in the Age of “Global” Capitalism


Disunting: Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates
Penerbit: Monthly Review Press, 1998
Pertanyaan-pertanyaan baru melompat ke depan bagi pergerakan buruh di seluruh
dunia. Dapatkah kaum buruh mendapatkan kembali inisiatif menentang gelom-
bang pasang surut dari pemecatan perusahaan dan pemotongan belanja pemerin-
tah? Dapatkah serikat buruh merapatkan kembali barisan mereka dan mempenga-
ruhi imaginasi publik? Dapatkah buruh bangkit dari reruntuhan?
Rising from the Ashes? Sejumlah persoalan-persoalan mendesak dalam konteks,
hubungan dan perbedaan perkembangan baru di Amerika Serikat hingga
kecenderungan-kecenderungan baru di penjuru dunia—dari Mexico hingga Asia,
dan dari Kanada ke Eropa Timur.
Kumpulan esei ini mengambil isu-isu paling hangat yang diperdebatkan oleh para
intelektual dan aktivis buruh. Termasuk di dalamnya, perubahan komposisi kelas
buruh internasional, pola-pola kerja di bawah kapitalisme kontemporer, hubungan
ras dan gender dengan kelas, janji-janji dan batasan-batasan kegairahan baru
militansi buruh, pilihan-pilihan strategis yang tersedia untuk rakyat pekerja dalam zaman globalisasi.

Kongres Kodok: Kumpulan Puisi Saut Sitompul


Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000
Di tangan Saut, puisi dan dunia kehidupan sehari-hari erat terpaut. Puisi-puisinya
erat menyatu dengan deru dan debu kota Jakarta. Hampir saban hari ia
mengamenkan puisi-puisinya di atas bus kota Jakarta. Memang, sesekali, ia
melisankan puisi-puisinya di gedung kesenian, di tempat upacara, bahkan di gereja.
Namun wilayah utama tempat ia melafalkan sajak adalah jalan raya. Bagi orang-
orang yang tak henti-hentinya berlalu lalang di jalan yang riuh itu, puisi-puisi Saut
mungkin menggangu, mungkin menghibur, mungkin juga tidak berarti apa-apa.
Yang pasti, di situ tampak kehendak si penyair untuk sedekat mungkin menghampiri
orang banyak dari kalangan yang terbanyak. Ia tampaknya adalah salah seorang di
antara segelintir penyair Indonesia yang amat melekat pada ruang publik. Sebagaimana dilontarkan pula
oleh Hawe Setiawan yang memberikan pengantar pada buku ini, puisi-puisinya tidaklah dikonstruksi seba-
gai gedung istimewa bagi orang-orang istimewa tempat si pongah yang mengistimewakan diri sesumbar
berkata, “Yang bukan penyair dilarang ikut.”Tidak. Sebaliknya, biasa saja, bersahaja, langsung terhubung
dengan benak pendengarnya. Bahkan ia bilang, “Tak usah terlalu dipusingkan/bagaimana cara menulis
puisi.” Tulis, tulis, dan tulis. Itulah yang ditekankan olehnya. Jadi, orang banyak tidak hanya diajak menikmati
puisi, melainkan juga didorong untuk menggubahnya.

Perang dan Kembang


Penulis: Asahan Alham
Penerbit: Pustaka Jaya, 2001
Buku ini merupakan karya seorang exile yang mengetengahkan perjuangan
rakyat Vietnam menghadapi serangan negara adikuasa Amerika (yang kemudian
dapat dikalahkannya). Seorang melayu yang pernah berpaspor Indonesia,
terlibat di dalamnya. Bukan hanya dalam kegiatan tentara militia rakyat
(walaupun dalam seksi penghibur) melainkan juga dalam berbagai petualangan
asmara yang dalam masyarakat sosialis menjadi urusan penguasa. Namun
makin dihalang-halangi, makin seru melakukannya. Tapi kalau mau sampai ke
tingkat pernikahan, tangan kekuasaan dapat menghadang atau mendorong.
“Boleh dilarang kawin, boleh dilarang berpacaran, tapi kalau cuma hubungan
yang satu itu, siapa yang akan tahu? Semakin dilarang semakin kedua belah
pihak saling mencari...” Terlalu banyak yang dicampurtangani oleh politik dan
penguasa. Dengan selingan kunjungan sang tokoh ke Tiongkok, negara sosialis
yang lain, pengarang dengan tajam menganalisis kebobrokan sistem komunisme
yang tidak menghormati manusia sebagai pribadi-pribadi yang merdeka.

Anda mungkin juga menyukai