MENATA ULANG
INDONESIA
N PEMB
ODOH
AN
Ra
AWA ni L
L
ME
NG uk
RT
ARU ita:
A:
BE B AD
ITR
M AI
A ST
A BE
filH RG
Pro OL
AK
www.geocities.com/mkb_id
Media Kerja Budaya edisi 06/2001 issn: 0853-8069
<www.geocities.com/mkb_id>
06
daftar isi
DATA BICARA hal. 3
ilustrasi sampul: ALIT AMBARA SURAT PEMBACA hal. 4
EDITORIAL hal. 5
POKOK MKB edisi 06/2001 hal. 6 - 18
“Massa Mengambang yang Tak Pernah Tenggelam hal. 7-10
Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa hal. 11-15
Konflik Menata Ulang Indonesia hal. 16-18
M
MEDIA KERJA BUDAYA adalah terbitan berkala tentang kebudayaan dan masyarakat Indonesia. MEDIA KERJA BUDAYA mengangkat ber-
bagai persoalan, gagasan dan penciptaan untuk memajukan kehidupan budaya dan intelektual di Indonesia. Redaksi menerima
sumbangan berupa tulisan, foto, gambar dan seterusnya yang bisa membantu penerbitan ini. Bagi pembaca yang ingin eksemplar
tambahan dapat menghubungi alamat tata usaha kami. Penerbitan ini sangat tergantung pada dukungan pembaca, kami berharap
dapat menerima kritik dan saran anda.
PEMIMPIN REDAKSI: Razif | SIDANG REDAKSI: Agung Putri, Amiruddin, Alex. Supartono, Ayu Ratih, Bambang Agung, Hilmar Farid, IBE Karyanto, John Roosa,
Nugraha Katjasungkana, Razif | SEKRETARIS REDAKSI: A. Diana Wahyuni | DESAIN: Alit Ambara | KOREKSI AKHIR: Setianingsih Purnomo | DISTRIBUSI: Yayan
Wiludiharto | KEUANGAN: OHD | TATA USAHA: Mariatoen | PEMIMPIN UMUM: Firman Ichsan | WAKIL PEMIMPIN UMUM: Dolorosa Sinaga | ALAMAT REDAKSI:
Jalan Pinang Ranti No. 3 Rt.015/01 Jakarta Timur 13560 INDONESIA Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: mkb2000@link.net.id, kerjabudaya@yahoo.com | ALAMAT
TATA USAHA: PO. BOX 8921/CW Jakarta 13089 Tel./Fax: 62.21.809.5474 E-Mail: mkb_id@yahoo.com | SITUS INTERNET: http://www.geocities.com/mkb_id |
PENERBIT: Jaringan Kerja Budaya
Jumlah pencari kerja dari desa ke kota semakin meningkat pada tahun 2001, jumlah pencari kerja telah menca-
pai 12 juta orang di Jakarta, Surabaya dan Bandung. Sedangkan jumlah pengangguran telah mencapai 40 juta
orang, berarti 45% dari statistik BPS yang menyebutkan 90 juta tenaga kerja produktif di Indonesia.1
Aliran modal swasta yang keluar dari Indonesia sejak krisis 1997 mencapai 10 milyar AS setiap tahun. Arus
modal swasta keluar dari Indonesia mulai terjadi tahun 1997, yaitu sebesar 3,483 milyar dollar AS dan mencapai
puncaknya tahun 1998 sebesar 19,609 milyar dollar AS.2
Dua perusahaan otomotif sudah ditunjuk sebagai pemasok mobil mewah, yakni PT Central Sole Agency dan
PT Hartono Raya Mobil. PT Central Sole Agency adalah anak perusahaan Grup Indomobil, penyalur sedan
Volvo, sedangkan PT Hartono adalah agen Mercedez Benz. Untuk mendatangkan 400 mobil mewah dua
perusahaan itu diberi fasilitas yang memikat, yang ketentuan bea masuk yang mestinya 45 sampai 80 persen
diturunkan menjadi lima persen.3
Ternyata Instansi pemerintah banyak yang masih menunggak pembayaran listrik. Umumnya alasan yang
disampaikan instansi yang bersangkutan terbentur pada anggaran operasional yang belum turun. Jika instansi
tersebut masih tetap melakukan penunggakan yang berlarut-larut, langkah yang akan diambil PLN adalah
pemutusan selektif. Artinya, memutus aliran listrik yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan kepada
masyarakat umum.4
Pemerintah tidak punya dana untuk mensubsidi kebutuhan rakyat. Untuk menutupi defisit APBN 2001 yang
diperkirakan 3,7 persen dari PDB (produk domestik bruto) atau sekitar Rp 87 trilyun. Akibatnya, tak hanya
harga BBM, tarif telepon, tarif listrik yang naik. Harga obat generik pun yang dikonsumsi rakyat kecil mulai
naik rata-rata 19,8 persen. Sebagaimana kita ketahui, IMF bukanlah organisasi derma. Seperti Paris Club
(kelompok rentenir internasional), lembaga ini menginginkan pinjaman dilunasi dan tentunya bersama
bunganya. Untuk membayar utang ini, pemeritah memangkas anggaran pendidikan, menjual perusahaan-
perusahaan negara dan menekan subsidi hingga menaikkan harga BBM (lebih dari 30%) serta tarif listrik (lebih
dari 10%), juga memperkenalkan pajak baru pada minuman ringan, semen, dan lain-lain, yang akan
diluncurkan dalam bentuk kenaikan harga.5
Dalam setahun ada lebih dari 20.000 balita menjadi piatu saat dilahirkan. Penyebab kematian utama para ibu
itu di Indonesia (lebih dari 90 persen) adalah pendarahan, keracunan kehamilan dan infeksi.6
Paling sedikit 23,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan saat ini, di antara 4,35 juta tinggal di Jawa
Barat. Ancaman kelaparan ini akan semakin berat, dan jumlahnya akan bertambah banyak, seiring dengan
terancam kelaparan adalah penduduk yang pengeluaran per kapita sebulannya di bawah Rp 30.000,-. Di antara
orang-orang yang terancam kelaparan, sebanyak 272.198 penduduk, berada dalam keadaan paling
mengkhawatirkan. Dari jumlah itu, sebanyak 50.333 berasal dari Jawa Barat, diantaranya 10.430 orang tinggal di
kabupaten Bandung dan 15.334 orang tinggal di kabupaten Garut. Mereka yang digolongkan terancam kelapar-
an dengan keadaan yang paling mengkhawatirkan adalah penduduk yang pengeluarannya per kapita dibawah
Rp. 15.000,- per bulan.7
Akibat kebijaksanaan bebas bea masuk (BM 0%) untuk impor gula, nasib petani buruh industri gula kini
bagaikan tanpa kepastian. Harga gula lokal kini lebih mahal dari harga gula impor. Nasib pabrik gula dan petani
gula tebu sekarang seperti telur di ujung tanduk. Meneruskan penanaman tebu berarti menantang kerugian,
berhenti menggiling tebu berarti diancam kerugian yang lebih besar dan kredit terancam macet. Masalah
bersumber pada design IMF yang menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan. Akibatnya gula lokal tidak
mampu bersaing dan merugikan pabrik gula dan petani. Biaya produksi penanaman gula dan penggilingan gula
ini mencapai Rp 2.700 hingga Rp 3000 per kilogram, sedangkan harga dasar gula yang ditetapkan pemerintah
hanya Rp 2.600,- per kilogram.8
Penyakit malaria yang sudah punah puluhan tahun lalu kini kembali menjangkit di Indonesia, terutama di
Kulonprogo, Jawa Tengah. Sekarang ini sudah menyebabkan kematian 74 orang. Berdasarkan keterangan suku
dinas kesehatan Yogyakarta untuk memerangi penyakit malaria ini perlu meminta bantuan dari donor luar negri
seperti WHO dan Bank Dunia sebesar 150.000 US$, dinas kesehatan Yogyakarta tidak bisa berharap dari
anggara belanja daerah.9
Dikumpulkan dan diolah dari sumber-sumber: 1)Jakarta News FM, 21 Juli 2001, 2)Kompas, 20 Juli 2001, 3)Berita Buana, 31 Maret 2001, 4)Bernas, 5 Mei 2001, 5)Bali Post, 22 Mei 2001,
6)Jakarta Post, 4 Maret 2001, 7)Pikiran Rakyat, 26 Maret 2001, 8)Kedaulatan Rakyat, 2 April 2001, 9)Jakarta News FM, 22 Juli 2001.
PAMFLET SOLIDARITAS
Agenda Rakyat Mengatasi Krisis Ekonomi
1. SITA KEKAYAAN SOEHARTO DAN ANTEK-ANTEKNYA
2. HENTIKAN KORUPSI DAN ADILI PARA PELAKU
3. BATALKAN HUTANG LUAR NEGERI
4. HENTIKAN PENJARAHAN UANG RAKYAT UNTUK BAYAR HUTANG SWASTA
5. HENTIKAN PENJUALAN ASET PUBLIK KEPADA PERUSAHAAN MULTINASIONAL
6. HENTIKAN PENJARAHAN SUMBER DAYA ALAM
7. TINGKATKAN BIAYA PENDIDIKAN DAN KESEHATAN
8. PRODUKSI UNTUK PASAR DALAM NEGERI, BUKAN PASAR INTERNASIONAL
9. SISTEM PAJAK YANG ADIL
10. TANAH BAGI PENGGARAP
11. MENCIPTAKAN PROGRAM KERJA PUBLIK
Krisis
politik
yang terus berlanjut, akhirnya diselesaikan
dengan Sidang Istimewa MPR dan menggusur
Abdurachman Wahid sebagai Presiden.
Namun konflik kekerasan yang bersifat vertikal tidak pernah diselesaikan. Apakah
itu kasus Semanggi, Sampit dan Aceh seolah-olah para anggota DPR melihat
fenomena kejahatan kemanusiaan itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Untuk itulah, Media Kerja Budaya edisi no.6
menurunkan pembahasan pokok bagaimana kehormatan dan kehilangan identitas.
seharusnya kita bisa hidup bersama, bukan berarti Aturan adalah produk kebudayaan manusia. Dan
kita harus hidup tanpa perdebatan untuk ternyata dalam perkembangannya yang berkuasa
masadepan kehidupan rakyat. Yang terpenting berhak mengubahnya menjadi lebih
dalam mencapai hidup berdampingan bersama ini menguntungkan untuk dirinya. Sekarang ini setiap
kehidupan warganegara harus dijamin oleh konsti- orang menjadi dewa dengan kekuasaannya yang
tusi, entah rakyat mendapatkan hak untuk ada di tangannya. Dan di republik ini sekarang
bekerja, hak mendapatkan pendidikan dan hak begitu banyak dewa. Dari dewa yang kecil-kecil di
untuk mengorganisir dirinya untuk menjadi tempat kecil, hingga dewa besar dan yang amat
mandiri. Yang selama ini tidak pernah menjadi besar yang berada di pusat dan puncak
prioritas utama bagi perkembangan masyarakat, kekuasaan. Terlalu banyak yang harus disembah
sehingga yang terjadi ketika anggaran negara oleh rakyat. Terlalu banyak.
dipaksa dipotong, tidak ada lagi subsidi bagi ma-
syarakat, maka yang terjadi adalah pelanggaran Gerakan untuk merebut hak berasal dari gagasan
terhadap hak-hak rakyat. Apakah pertumpahan dan kebudayaan. Dasar kebebasan berekspresi
darah dan pengorbanan kita selama ini akan terletak pada hak yang tak terpisahkan setiap
diakhiri dengan mengungkung kembali kebebasan rakyat untuk mempunyai sejarah sendiri. Oleh
dan mencabut hak-hak dasar rakyat?
karena itu tujuan pembebasan adalah mendapat-
Lembaga-lembaga negara akan terus menjadi kuat kan kembali hak ini, yang dirampas oleh
dengan memberlakukan undang-undang yang kekuasaan negara demi kepentingan kekuatan
selalu menyingkirkan orang miskin, mereka tidak imperialis, yaitu pembebasan kekuatan-kekuatan
dilindungi oleh konstitusi, sehingga mereka produksi dan kemampuan untuk menentukan
dibiarkan untuk mati. Rakyat tidak mempunyai secara bebas cara produksi yang paling sesuai
hak untuk mengontrol sumber alamnya sendiri, dengan evolusi rakyat, perlunya membuka
tetapi hak kontrolnya diserahkan kepada modal
prospek baru untuk proses budaya masyarakat
asing. Keadaan ini sama diberlakukan pada
sebagian masyarakat yang dianggap tidak patuh
yang bersangkutan, dengan mengembalikan
akan mendapat hukuman, kehilangan pekerjaan,
kepadanya semua kemampuan untuk mencipta-
kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kan kemajuan.
editorial | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 5
SEMSAR SIAHAAN
“Massa Mengambang”
yang Tak Pernah Tenggelam
>>Tim Media Kerja Budaya
“Masyarakat Indonesia primitif.” Begitulah pandangan banyak orang terdidik, yang mestinya
lahir setelah melihat foto dan membaca laporan tentang kekerasan yang mengerikan di berbagai
tempat seperti Kalimantan Tengah dan Maluku. Ada kesepakatan umum, bahkan di kalangan
yang menganggap dirinya pro-demokrasi, bahwa orang Indonesia belum siap berdemokrasi ka-
rena masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan. Belum lagi keterikatan orang akan identitas
tradisional dan kolektif seperti etnik, tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan yang
hebat. Demokrasi seolah-olah masih jauh di depan, sebuah mimpi yang bisa terwujud kalau
semua orang sudah menyandang gelar sarjana dan berpendapatan tinggi.
Pandangan seperti ini bukanlah Sejak awal kekuasaannya, rezim Soeharto berikrar
penilaian yang tepat tentang masyara- akan meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi di masa
kat Indonesia, tapi secara tepat mencer- mendatang. Para pejabat tinggi mengatakan bahwa
minkan pemahaman kalangan terdidik pertumbuhan ekonomi adalah prasyarat bagi
yang “primitif” mengenai demokrasi. demokrasi. Banyak orang dari kelas yang diuntung-
Salah satu warisan jelek dari Orde Baru kan oleh Orde Baru percaya akan doktrin itu. Begitu
adalah kalangan terdidik yang pula sebagian intelektual yang kemudian menulis
diindoktrinasi sedemikian rupa sehingga mengang- tentang Orde Baru sebagai tahap transisi atau
gap kediktatoran sesuatu yang normal. Kelas ini persiapan menuju demokrasi. Kita ambil saja satu
hidup nyaman di balik pagar tembok tinggi, begitu sebagai contohnya, yakni Nurcholish Madjid yang
berjarak dan tak mempercayai rakyat, sehingga pada tahun 1994 menulis bahwa demokrasi adalah
pikirannya mirip-mirip penguasa kolonial yang meng- “kelanjutan logis keberhasilan pembangunan
anggap “massa rakyat” sebagai kumpulan mahluk nasional.” Orde Baru menurutnya menciptakan
bodoh, pemalas dan senang kekerasan. Ketika “tingkat ekonomi yang relatif memadai, persatuan
menghadapi kasus-kasus kekerasan massal, mereka dan kesatuan nasional, stabilitas, keamanan dan
menggunakan asumsi-asumsi tak berdasar tentang ketertiban nasional”. Golkar pun dianggap sebagai
“watak primitif” dari rakyat, dan gagal melihat “berkah” karena menjadi “pendukung utama terwu-
bagaimana modernisasi Orde Baru yang kacau dan judnya pemerintahan yang stabil dan kuat, yang
anti-demokratik sesungguhnya menciptakan memungkinkan pembangunan nasional.” (“Demo-
kekerasan secara teratur. Sementara kalangan terdidik krasi dan Demokratisasi di Indonesia,” dalam
ini melihat khalayak di sekelilingnya sebagai Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi , E.P.
ALIT AMBARA
9
akhirnya mencari-cari penjelasan al itu menuju resesi ekonomi, ke-
Masalah yang dalam “keterbelakangan budaya” kuatan demokratik yang melin-
rakyat setempat. dungi – yang mencegah terjadinya
dihadapi Indonesia kelaparan massal di negeri-negeri
sekarang adalah Banyak intelektual sekarang yang demokratik – tidak ada di negeri
berlanjutnya kekua- ternyata gagal mengambil pelajar- seperti Indonesia. Kaum yang
saan para mantan an dari pengalaman hidup di terampas harta-bendanya tidak
bawah Orde Baru: bahwa kita ti- punya orang yang mendengarkan
menteri, penasehat, dak mungkin membangun bangsa
penyair dan pokrol nasib mereka.”
dengan meningkatkan ketimpang-
bambu warisan Soe- an di antara warga dan memusat- Masalah yang dihadapi Indonesia
harto yang hanya kan kewenangan di tangan sege- sekarang adalah berlanjutnya ke-
berbicara dalam ba- lintir institusi yang tidak bisa kuasaan para mantan menteri,
hasa kekuasaan, diminta pertanggungjawabannya penasehat, penyair dan pokrol
bukan bahasa hak. seperti birokrasi sipil dan militer bambu warisan Soeharto yang
sekarang. Lagi-lagi Amartya Sen hanya berbicara dalam bahasa
berkomentar tentang ini: “Masa- kekuasaan, bukan bahasa hak.
perekonomian hancur karena ke- lah-masalah di Asia Timur dan Tegasnya, elit yang berkuasa seka-
tergantungan yang akut pada Tenggara belakangan ini memper- rang adalah elit yang sama pada
modal asing (sehingga munculnya lihatkan antara lain hukuman bagi masa Orde Baru tanpa Soeharto.
masalah hutang luar negeri yang pemerintahan yang tidak demo- Kemiskinan wacana intelektual In-
luar biasa besar dan larinya modal kratik. Dan ini terlihat dari dua hal. donesia sekarang ini bertolak dari
jangka-pendek pada tahun 1997), Pertama, perkembangan krisis fi- asumsi bahwa rakyat terlalu
maka jalan keluarnya justru nansial di beberapa negeri (terma- biadab untuk diberi hak-hak.
mengubah seluruh perekonomian suk Korea Selatan, Thailand dan Karena itu kita selalu mendengar
untuk memuaskan investor asing. Indonesia) terkait erat dengan ku- orang bicara tentang masa seka-
Kekerasan di Kalimantan Tengah rangnya transparansi dalam rang yang “terlalu demokratik”
misalnya jelas bukan produk dari bisnis, terutama kurangnya parti- padahal sesungguhnya demokrasi
pertentangan tradisi atau karena sipasi publik dalam meninjau nyaris tidak ada. Konsep “massa
watak “primitif” masyarakat, tapi kesepakatan-kesepakatan finansi- mengambang” masih berjaya dan
justru karena “modernisasi” yang al yang dibuat. Tidak adanya fo- belum ditenggelamkan ke dasar
diterapkan Orde Baru di sana. Di rum demokratik yang efektif sa- samudra, yaitu tempat yang pal-
masa kekuasaan Soeharto orang ngat berpengaruh dalam kegagal- ing pantas bagi kebodohan yang
Dayak diusir dari tanah-tanah me- an ini. Kedua, ketika krisis finansi- tak termaafkan.
reka dan semua “tradisi” Dayak
pun luluh lantak. Kita tidak bisa
bicara tentang orang Dayak seba-
gai masyarakat tradisi atau asli
sekarang ini, karena komunitas
mereka sudah berubah secara
dramatis dengan adanya ekspansi
kapitalisme. Sementara itu orang
Madura dibawa ke sana melalui
program transmigrasi yang diran-
cang dan dilaksanakan secara se-
rampangan dengan korupsi di
mana-mana, sehingga gagal mem-
bawa kemakmuran. Banyak pre-
man Dayak dan Madura yang
terlibat dalam aksi kekerasan di
sana punya koneksi dengan
lembaga yang membanggakan diri
sebagai pendorong modernisasi,
yakni militer. Para pemimpin
Dayak yang terlibat dalam aksi-aksi
kekerasan di sana tidak lain bagian
dari institusi yang paling modern
di sana, yakni Universitas Palang-
karaya. Semua ini menunjukkan
bahwa masalah di Kalimantan
Tengah sesungguhnya adalah
“modernisasi” yang kacau-balau
SEMSAR SIAHAAN
Hidup bersama sebagai bangsa berarti melihat sesama sebagai mahluk setara, yakni sebagai
manusia dengan hak-hak sama yang dijamin hukum. Kesetaraan politik ini adalah esensi dari
identitas nasional, dan bukan tempelan yang boleh dibongkar-pasang sesuka penguasa. Sebuah
bangsa, seperti kita ketahui, adalah sekelompok orang yang memiliki solidaritas horisontal
yang kuat. Dan dari mana datangnya solidaritas, penghargaan terhadap sesama, jika bukan dari
kepastian yang nyata dan kuat bahwa kita semua memiliki hak yang sama? Orang harus merasa
setara bukan hanya dalam imajinasinya, dan bukan pula semata-mata secara simbolik (misalnya
saat berdiri di lapangan dan menyanyikan Indonesia Raya), tapi dalam praktek sehari-hari
lembaga pemerintah. Prasyarat dasar bagi sebuah bangsa yang kuat adalah konstitusi yang
secara eksplisit mencantumkan hak-hak tersebut dan menjadi panduan hidup bernegara. Tanpa
konstitusi yang mengakui dan menjamin hak-hak itu bagi setiap warga, maka kita tidak mungkin
membangun bangsa. Seperti dikatakan Soekarno tahun 1956, “negara demokratik berdasarkan
rule of law sebagai syarat dasarnya harus memiliki konstitusi yang dirumuskan oleh rakyatnya
sendiri.” (Risalah Konstituante)
J
ika kita menganggap konsti dan 1950, UUD yang kita gunakan tentang “hak asasi manusia dan
tusi sebuah bangsa sebagai sekarang hanya mengakui segelin- kebebasan” dan bagian itu (bagian
indikator penting untuk tir hak warganya, yakni hak atas 5) ditempatkan pada bagian awal,
menetapkan tingkat demokrasi- pekerjaan, hak atas pendidikan, sebelum bagian-bagian yang
nya, maka kita bisa lihat bahwa hak bela negara, dan hak beraga- menjelaskan kewenangan ekseku-
UUD 1945 mencerminkan kurang- ma sesuai keinginan. Kebebasan tif, legislatif dan yudisial. Dalam
nya demokrasi di negeri ini. UUD berkumpul, berbicara dan kebe- bagian itu ada 28 pasal, jauh lebih
1945 yang kita miliki sekarang basan pers sebaliknya tidak pernah banyak dari jumlah pasal di
sesungguhnya bersifat sementara ditetapkan dengan jelas, dan se- bagian-bagian lainnya. Pasal-pasal
dan tidak lengkap; dan memang muanya disebut akan “diatur lebih itu sepenuhnya mengakui tiga ke-
tidak pernah dimaksudkan sebagai lanjut melalui undang-undang.” bebasan dasar yakni kebebasan
konstitusi yang abadi. Seperti berkumpul, berbicara dan pers.
dikatakan Soekarno dalam sidang Untuk memahami kekurangan dari Ada pula pengakuan eksplisit akan
pembahasannya, “ini adalah Un- UUD 1945 kita tinggal memban- hak warga untuk membentuk
dang-undang dasar kilat.” Tidak dingkannya dengan UUDS 1950 serikat-serikat buruh. Negara,
seperti konstitusi di tahun 1949 yang berlaku sampai tahun 1959. dalam pasal-pasal ini, tidak
Di sana ada satu bagian khusus
11
dijamin (dan ini pula yang
membuat banyak di antaranya de-
ngan mudah kemudian bergabung
ke Golkar setelah Soeharto
berkuasa). Masyumi dan NU saat
itu tetap menginginkan negara Is-
lam yang jelas membuat orang
non-Muslim menjadi warga kelas
dua. Masyumi bahkan terlibat
dalam pemberontakan bersenjata
melawan pemerintah, seperti
PRRI/Permesta bersama PSI yang
tidak percaya bahwa massa rakyat
bisa memegang kendali republik.
Partai Komunis Indonesia dalam
hal ini lebih demokratik, dan
komitmen mereka terhadap kedau-
latan dan kekuasaan rakyat pun
jelas, walaupun ada masalah juga
dengan paradigma anti-demokra-
si seperti sistem satu-partai yang
dicontoh PKI dari Uni Soviet atau
Tiongkok. Dengan kata lain semua
kekuatan politik mengumandang-
kan retorika demokrasi di tahun
1950-an dan 1960-an, tapi tak satu
pun yang benar-benar punya
komitmen untuk mewujudkannya.
Gerak maju demokrasi terhambat
semasa “Demokrasi Terpimpin”
dari tahun 1959 sampai 1965,
walau tidak sepenuhnya dibun-
tungi. Negara di bawah Soekarno
tidak secara aktif merampas hak-
hak sebagian besar warganya.
Baru di zaman Soeharto, khusus-
nya setelah “kudeta merangkak”
tahun 1965-67 demokrasi menga-
lami pukulan mundur yang luar
biasa. Seluruh hak dirampas, ter-
masuk hak-hak yang jelas dijamin
dalam UUD 1945, dan rakyat
menjadi hamba dari kediktatoran
SEMSAR SIAHAAN
13
ca tulisan-tulisan tentang nasio- Nasionalisme di bawah Orde Baru
nalisme di masa Orde Baru maka sebaliknya dipisahkan sama sekali
sulit ditemukan pembahasan ten- dari politik dan direduksi menjadi
tang pentingnya hak-hak warga masalah mental-kebudayaan. Lihat
negara dan demokrasi sebagai saja Taman Mini yang mencermin-
jaminan adanya nasion yang kuat. kan perspektif Orde Baru tentang
Ambil misalnya tulisan Harsja “bangsa Indonesia” sebagai kum-
Bachtiar yang meraih gelar doktor pulan suku-suku bangsa dengan
dengan disertasi tentang integrasi pakaian dan adat-istiadatnya sen-
nasional. Dalam sebuah artikel di diri. Atau masuklah ke Museum
Prisma tahun 1976 dikatakannya, Nasional, dan lihat peta Indonesia
nasion Indonesia “merupakan yangdikelilingi gambar orang-o-
suatu kesatuan sosial yang rang dengan raut wajah, potongan
sungguh-sungguh baru dan me- rambut, perhiasan dan pakaian
wujudkan ikatan-ikatan solidaritas yang seolah mencerminkan suku-
yang meliputi sekalian anggota- bangsa tertentu. Mungkin karena
anggotanya.” Lantas apa basis dirasa kurang, tiap gambar pun
dari kesatuan, atau apa yang dipertegas dengan caption “Bali”,
membuat kita menjadi satu na- “Batak”, “Timor” dan seterusnya.
sion? Jawabnya, “nilai-nilai dasar- Indonesia dibayangkan sebagai
nya dinyatakan sebagai asas-asas kumpulan suku-suku bangsa, de-
Panca Sila”, “bahasa sendiri”, ngan kata lain kumpulan orang
“kebudayaan sendiri” dan “kesu- yang tidak punya identitas politik
sasteraan Indonesia.” sebagai warga (citizen).
Harsja Bachtiar tidak sendirian. Rezim Soeharto juga terkenal suka
Cukup banyak penulis yang akan penampilan. Hari Kartini yang
mengacaukan sebab dan akibat seharusnya menjadi saat mene-
adanya solidaritas horisontal yang gaskan komitmen pada pembe-
disebut nasionalisme itu. Apa basan perempuan diubah menjadi
yang disebutnya sebagai akibat hari pameran pakaian daerah.
sesungguhnya adalah sebab . Dalam hal ini pemerintah “refor-
Pancasila misalnya lahir setelah o- masi” tidak banyak bedanya.
rang Indonesia menjadi nasional- Dalam peringatan 100 tahun Bung
is. Orang mulai berpikir tentang Karno, perspektif Taman Mini itu
kebudayaan, bahasa dan sastra In- dipertontonkan di Senayan: setiap
donesia (nasional), setelah gerak- propinsi diwakili barisan orang de-
an nasionalis tumbuh berkem- ngan apa yang diklaim sebagai
bang dan membuat banyak orang “pakaian daerah” masing-masing.
merasa diri bagian dari nasion Arti penting Bung Karno, seperti
yang sama. Artinya Harsja juga Kartini, direduksi sedemikian
Bachtiar, seperti banyak penulis rupa menjadi masalah pakaian
lainnya, gagal melihat apa yang daerah. Seolah semua gagasan
membuat orang ingin hidup cemerlang dari kedua tokoh ini
bersama sebagai nasion. Untuk dan kaum nasionalis lainnya cukup
memahami keinginan yang kuat “dirayakan” dengan peragaan
itu, maka kita harus melihat busana. Pemerintah boleh bergan-
adanya hasrat untuk hidup dalam ti tapi cara pandang tetap saja
komunitas yang setara, di mana sama. Di masa “reformasi” per-
tidak ada penindasan dan penghi- spektif Taman Mini yang memotret
sapan, dan jelas tidak ada negara Indonesia sebagai negeri damai
kolonial yang mengekang pendu- dengan kumpulan suku-suku
duk jajahannya. Kesalahan cara bangsa yang hidup berdampingan
pandang tadi masih berlanjut. Ka- secara harmonis, tetap dipelihara
rena mengacaukan sebab dan dan berkembang biak. Tidak sadar
akibat tadi, maka institusi-institusi mungkin bahwa pikiran itu berasal
untuk merawat solidaritas hori- dari zaman kolonial ketika pegawai
sontal tersebut juga luput dari kolonial Belanda melihat diri
perhatian. Kita boleh saja sama- mereka sebagai pegawai netral
sama setuju dengan asas-asas dari pemerintah yang berkuasa
Pancasila, berbicara dalam baha- atas gerombolan-gerombolan
sa yang sama, tapi kita tidak bisa primitif. Adalah penguasa kolonial
membentuk nasion tanpa konsti- Belanda yang selalu melihat orang
tusi yang menjamin kesetaraan itu Indonesia sebagai subyek antropo-
dan lembaga-lembaga politik tem- logis, dan bukan sebagai subyek
pat kita bekerja untuk mencapai politik yang memiliki hak-hak.
kebaikan bersama.
Banyak intelektual yang sekarang
14 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
mulai merenungi makna nasional-
isme Indonesia, terutama setelah
referendum di Timor Lorosae,
perang di Aceh, kekerasan di Kali-
mantan dan Maluku, tapi sedikit
saja yang jernih. Lihat misalnya
tulisan Imam Prasodjo di Kompas
pada akhir Desember tahun lalu.
Dalam tulisan itu ia bertanya: “Apa
yang harus diperhatikan dalam na-
tion building sehingga tercipta
integrasi nasional dan integrasi
sosial yang kuat?” Dan jawabnya:
“perlu ada pengelolaan kreatif un-
tuk menumbuhkan ‘solidaritas e-
mosional’ dalam bingkai kebang-
saan. Dengan kata lain, tiap
komponen bangsa dituntut untuk
memiliki kemampuan ‘seni
bercinta’ (the art of loving) yang
baik …” Jalan keluarnya dengan
begitu, orang Indonesia harus
belajar mencintai sesama. Sulit un-
tuk tidak tertawa mendengar
komentar yang demikian dangkal.
Kalau memang masalahnya sese-
derhana itu, mestinya ribuan lagu
cinta yang diproduksi selama ini
sudah mampu menyelesaikan
masalah yang kita hadapi seka-
rang.
Cinta boleh-boleh saja, tidak ada
yang salah, tapi jelas tidak akan
menyelesaikan masalahnya. Apa
yang diperlukan sekarang adalah
hidup rukun dan menghargai
sesama sebagai orang dengan
hak-hak tertentu. Untuk itu kita
perlu lembaga-lembaga yang
dapat menyelesaikan sengketa
(seperti forum demokratik di ka-
langan rakyat, pengadilan yang
fair dan berwibawa), dan sebuah
konstitusi yang kuat dengan
panduan menjalankan kekuasaan
negara yang jelas pula. Perubahan
ini jauh lebih kita perlukan
daripada belajar “seni mencinta”.
Jika kita memang serius ingin
hidup sebagai nasion, maka
institusi demokratik dan hak-hak
warganegara adalah unsur yang
paling mendasar. Hanya dengan
itu kita bisa menciptakan hidup
bersama secara damai. Tanpa
kemerdekaan dan kebebasan, In-
donesia hanya sebuah nama di
atas peta, dan kita, warganegara
yang hidup di atasnya, hanyalah
segerombolan orang yang tak
punya sumbangan apa pun kecuali
membuat berita-berita sensasional
SEMSAR SIAHAAN
15
SEMSAR SIAHAAN
Konflik
Menata Ulang Indonesia
Soeharto pergi, konflik dan kekerasan semakin hebat saja. Orang pun langsung menuding bekas
diktator ini sebagai biang keladi. Maklum, selagi berkuasa apa saja mampu dilakukannya,
mulai dari membunuhi jutaan penduduk Indonesia sendiri sampai mencuri uang negara untuk
diri dan keluarganya. Apalagi cuma mengerahkan preman atau provokator ke daerah-daerah
untuk mencipta konflik. Korban jiwa akibat kekerasan dalam tiga tahun terakhir sudah sama
jumlahnya seperti penduduk sebuah kecamatan. Sampai tahun ini lebih dari satu setengah juta
orang dipaksa pergi dari kediaman mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang parah
kondisinya. Ratusan ribu rumah dan tempat kerja milik rakyat yang tidak ikut menikmati pem-
bangunan Orde Baru pun hancur berantakan, sementara anak-anak mereka terlantar karena
gedung-gedung sekolah pun tidak selamat.
D
i media massa mereka yang mantap, komentar mereka diimbu- rakyat belum siap demokrasi dan
menobatkan diri sebagai hi dengan mantra-mantra tentang bahwa gerakan reformasi sekarang
“pengamat sosial-politik” “bangsa yang sakit”, “penyakit sudah kebablasan sehingga harus
atau “pemerhati kebudayaan” atau wabah sosial”, dan segala dihentikan.
berkumpul memberi ceramah dan konsep yang dikutip sekenanya
penjelasan tentang sebab-akibat saja. Pikiran-pikiran semacam itu sudah
dari gelombang kekerasan ini. Se- waktunya dibongkar, dan perlu kita
olah sedang menonton pertan- “Elit politik” tidak jauh berbeda. ajukan pertanyaan mendasar: apa
dingan sepak bola mereka ramai Orang pemerintah, anggota DPR, benar yang kita saksikan di Indo-
“jual strategi”; di satu sisi menya- pimpinan partai politik, perwira nesia sekarang adalah sebuah
lahkan pemerintah karena tak polisi, pejabat militer ramai-ramai “konflik horisontal”? Sejarah
becus, dan di sisi lain memaki menuding kebodohan rakyat seba- berkata lain. Kekerasan di masa
rakyat sebagai gerombolan biadab gai biang keladinya. Gerakan lalu umumnya menjadi bagian dari
karena saling menghancurkan. rakyat memperjuangkan keadilan pertarungan vertikal antara rakyat
“Inilah bahaya demokrasi, kalau dan menuntut hak-hak yang di- melawan kekuasaan negara kolo-
sampai kebablasan ,” demikian rampas pun dengan mudah nial, atau protes terhadap pemer-
kata yang satu. “Rakyat kita me- disulap menjadi “kerusuhan”, intah republik. Di masa Orde Baru
mang belum siap berdemokrasi,” “pertikaian SARA”, tentu dengan kenyataan ini sungguh jelas.
kata yang lain. Kata-kata berbeda, sebelumnya menyusupkan orang
dan bahan yang cukup untuk Ada baiknya kita menengok
tapi kesimpulan sama, begitu pula kembali apa yang sesungguhnya
jalan keluarnya: rakyat harus diatur meyakinkan media massa di lokasi
kejadian. Intinya pun sama, bahwa terjadi dan membongkar semua
agar tertib dan beradab. Agar lebih
16 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
informasi yang dipompakan
oleh para pejabat militer
melalui media massa. Di
ALIT AMBARA
Rakyat tidak bodoh,
Maluku misalnya, konflik yang dan dalam hal ini jauh lebih pandai
selalu digambarkan sebagai “per- dari para pengamat yang hanya
tikaian agama” sebenarnya punya mengunyah ulang pernyata-
asal-usul pada perkelahian antar an pejabat militer. Buktinya
preman, yang mencerminkan per- tidak sedikit yang berani ber-
tentangan di antara elit politik se- bicara tentang kehadiran “or-
tempat. Di Poso pun sama halnya. ang luar” dalam pertikaian
Diawali dari pertikaian antara dua dan konflik itu. Tapi dengan
pemuda yang kebetulan mabuk, cepat mereka dijadikan sasaran
konflik di situ kemudian bergeser dan justru balik dituduh sebagai
menjadi “masalah agama”. Dalam Orde Baru dan pelaku pelanggaran
“provokator” karena mengadu hak asasi manusia sekarang bebas
hampir semua kejadian, termasuk rakyat dengan penguasa. Orang-
di Pontianak, Sampit, Banyuwangi merongrong dan bahkan menyi-
orang pandai ini hanya bisa diam apkan rencana menggulingkan pe-
dan Tasikmalaya, pemuda mabuk, dan berusaha keras agar lingkung-
preman, dan kadang-kadang “ok- merintah.
annya tidak ikut dijerat permainan
num militer” ditemukan sebagai jahat itu. Dan di sinilah masalah Konflik yang berkepanjangan
pemicunya. Setelah itu langgam- sesungguhnya: rakyat tidak punya punya akibat serius bagi perikehi-
nya selalu sama, pemerintah sipil, kekuatan cukup untuk mengatakan dupan rakyat. Bukan hanya tenaga
polisi maupun tentara tidak tidak dan mengambilalih pena- yang terkuras, tapi juga sedikit
berbuat apa-apa dengan alasan nganan konflik atau pertikaian. milik yang tersisa dari era penja-
takut melanggar HAM, sehingga Kebebasan hasil reformasi hanya rahan Orde Baru. Di Aceh, Kali-
para preman dan orang suruhan berlaku bagi segelintir elit, dan mantan, Maluku dan Papua,
bebas berkeliaran menambah berlaku sebaliknya: gerombolan ratusan ribu orang diceraikan
minyak dalam api. dari alat produksinya dan
17
menjadi pengangguran yang ti doktrin Orde Baru, kaum intelek- 30.000 pengungsi termasuk anak-
luntang-lantung di tempat pe- tual dan kelas menengah Indone- anak terpaksa menjual tenaga se-
ngungsian. Tidak sedikit yang sia berharap agar militer segera bagai buruh murah. Mereka
akhirnya rela menjual diri, baik bertindak tegas dan keras. Dan bersaing dengan penduduk setem-
sebagai pekerja seks di sekitar seperti kita tahu yang terjadi justru pat mencari nafkah, dan melahir-
barak militer, maupun demonstran sebaliknya, konflik semakin hebat kan persoalan baru. Perusahaan
bayaran untuk menggulingkan dan rakyat sipil yang bertikai perkebunan pun lebih senang
bupati, gubernur bahkan presiden. mendapat dukungan senjata dan tenaga pengungsi yang murah,
Ada juga yang memilih ikut dalam amunisi. Komunitas warga pun dan di Sulawesi Utara lebih dari
organisasi pemuda atau berma- semakin cerai-berai karena militer 60.000 buruh setempat di perke-
cam jenis “laskar”, karena di rajin menuding “dalang” dan bunan cengkeh dan kopra kehi-
samping mengisi perut, jubah dan “provokator” yang sesungguhnya langan pekerjaan.
senjatanya ternyata ampuh juga hanya membuat orang bingung
untuk alat balas dendam. Akibat- dan frustrasi. Dalam prosesnya mulai terlihat
nya, pemiskinan dan pembodohan bahwa proyek “pembangunan
semakin mendalam, karena mere- Dalam situasi seperti ini penataan kembali” sesungguhnya lebih
ka yang menolak pun tidak bisa ulang pun terjadi, dan semua o- melayani kepentingan mereka
berbuat banyak. Jangankan bang- rang sadar bahwa tanah kelahiran yang membawa proyek itu ketim-
kit dan melawan, untuk menyam- mereka tidak akan sama seperti bang mereka yang menerima.
bung hidup saja sulitnya bukan semula. Di Maluku sudah berlaku Perusahaan kontraktor, industri
main. Jika dihitung secara keselu- segregasi, pemisahan antara ko- bantuan dan pedagang berebut
ruhan tidak kurang dari dua juta munitas Kristen dan Islam yang mendaftarkan diri sebagai rekanan
orang yang kehilangan alat dijaga ketat oleh militer. Di Kali- dalam proyek, mencari keuntung-
mencari nafkahnya karena konflik mantan, orang Madura diusir an baru di tengah tumpukan ke-
dan kekerasan, yang jelas keluar dan para pelaku kekerasan sengsaraan. Tidak sedikit proyek
menambah panjang barisan pe- berikrar takkan membiarkan yang sengaja dibuat setengah jadi
ngangguran Indonesia yang adanya “Madura-Madura yang agar di tahun-tahun mendatang
berderet-deret setelah krisis finan- lain” di sana. Di Aceh militer keuntungan masih mengalir ke
sial 1997. secara sistematis memisahkan kantong para pengelolanya.
“gerombolan pengacau kea-
Mereka yang tetap bertahan manan” dari “rakyat”, yang dalam Bersamaan dengan itu lembaga-
tinggal di daerah-daerah konflik kenyataannya memisahkan orang lembaga keuangan internasional
pun tidak lebih baik nasibnya. Aceh dari pergaulan Indonesia, seperti Bank Dunia semakin gencar
Kekerasan memacetkan kegiatan seperti yang bertahun-tahun berkampanye tentang pemba-
ekonomi seketika. Ancaman dan dilakukan di Papua dan Timor ngunan daerah di bawah panji
desas-desus saja sudah cukup Lorosae. Di sinilah kecurigaan dan “otonomi daerah”. Ide dasarnya,
membuat orang enggan pergi ke prasangka tumbuh subur, dan semua kegiatan ekonomi tidak lagi
ladang apalagi membuka toko semakin mengentalkan konsepsi melalui tangan pusat, tapi cukup
atau warung. Anak-anak mereka absurd tentang “asli” dan “penda- melalui para pejabat di daerah
juga tidak pergi ke sekolah karena tang”. yang baru diporak-poranda. Partai
gurunya memilih pulang ke tem- politik, organisasi pemuda, militer
pat asal atau cari pekerjaan lain Kekuatan untuk bertahan sebagai maupun polisi, jelas lebih tertarik
yang lebih aman. Di Maluku seka- kolektif pun semakin lemah. dengan proyek-proyek ini ketim-
rang ini ada sekurangnya 200.000 Gotong-royong yang memang bang memikirkan perdamaian
orang yang sehari-hari hidup di lazim dipraktekkan semakin tipis, sejati dan penegakan hak-hak
kamp pengungsian. Sekitar 75% dan kepercayaan diri sebagai se- rakyat yang menjadi prasyaratnya.
penduduknya kehilangan pekerja- buah komunitas semakin rontok
akibat “intervensi kemanusiaan” Dalam laporan tahun 2000 Bank
an dan satu juta anak usia 6-15 Dunia mengatakan pertumbuhan
tahun berhenti sekolah akibat yang membanjiri daerah konflik
dengan bermacam bantuan. Para ekonomi dan kekuatan politik di
konflik itu. Hidup pun semakin daerah-daerah akan menjadi hal
bergantung pada bantuan peme- pejabat Orde Baru yang semula
diguncang oleh kejatuhan induk- yang paling penting di abad ke-21,
rintah atau lembaga internasional. karena itu fasilitas komunikasi dan
Lebih dari Rp 3 milyar dikeluarkan nya di Jakarta pun bisa berlega
hati, dan justru sebaliknya tampil transportasi harus dibangun dan
setiap hari, yang hanya akan semua hambatan perdagangan
bertahan selama 24 bulan. Dan kembali sebagai pemimpin. Mere-
ka bersekutu dengan para harus dihapus. Sementara rakyat
sebuah generasi pun tengah masih sibuk menata kembali
terancam. pelaksana program “pemulihan”
dan “rekonstruksi” yang sesung- kehidupannya yang porak-po-
randa akibat konflik, para pemilik
Menata Ulang Kehidupan, guhnya merupakan penataan
modal, birokrat dan pengusaha
Untuk Kepentingan Siapa? ulang masyarakat sesuai dengan
doktrin ekonomi yang dominan, berlomba menyambut “dunia
yakni ekonomi pasar. Di sekitar baru”di bawah pimpinan doktrin
Akibat lain dari konflik dan gelom-
bang kekerasan adalah semakin tempat penampungan pengungsi pasar. m
kuatnya posisi militer. Dengan berdiri proyek-proyek pemba- TIM MEDIA KERJA BUDAYA: Hilmar
klaim “keadaan tidak terkendali” ngunan yang baru untuk menye- Farid, John Roosa, Razif, Sentot
jumlah pasukan terus ditambah, rap tenaga kerja murah yang hidup Setyosiswanto.
birokrasi diperkuat dan persenja- berdesakan.
taan pun semakin hebat. Mengiku-
Di Manado misalnya, sekitar
18 POKOK | Media Kerja Budaya edisi 06/2001
> > > P R O F I L
HASTA MITRA:
Bertarung
ISTIMEWA
Melawan Pembodohan
Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah edi-
tor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim >>Razif
Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April
1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan penerbit
itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya bentuk cerita pun kembali
yang ditulis di Pulau Buru dan mencetak ulang ditekuninya. Dengan bahan yang
sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti serba terbatas ia mulai mencerita-
Perburuan dan Panggil Aku Kartini Saja. kan jilid pertama Bumi Manusia
kepada tahanan yang lain di
sawah-ladang maupun barak
U
saha itu tentu bukan berbeda adalah ancaman, dan
tanpa masalah. Di mereka yang melakukannya bisa penampungan. Baru dua tahun
tahun 1980-an Orde dianggap berkhianat terhadap kemudian ia mulai menulis atas
Baru tengah mencapai bangsa dan negara. jasa beberapa tahanan yang
puncak kejayaannya. memperbaiki dan menyerahkan
Segala bentuk perlawanan, mulai Sekeping Pernyataan mesin tik tua Royal 440 untuknya.
dari PKI, kaum nasionalis, ulama Demokrasi Hasjim Rachman, mantan pemim-
sampai mahasiswa berhasil Awalnya sederhana. Tahun 1973 pin redaksi Bintang Timur, yang
diredam dan kontrol militer Pramoedya yang ditahan di Pulau ikut menikmati kisah-kisah
berlaku di segala bidang. Buru diberi sedikit keleluasaan Pramoedya suatu saat mendata-
Kehidupan sosial-budaya dirasuki untuk melanjutnya kerja kreatif. nginya dan meminta izin untuk
semangat “penertiban dan Hasrat lama untuk menyusun menerbitkannya setelah bebas.
penyeragaman”, di mana pikiran siklus sejarah Indonesia dalam Pramoedya pun setuju. “Suatu
profil | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 19
persetujuan lisan, tanpa bukti, awal kami ambil dari dapurnya pat pembayaran penuh dari agen
tanpa saksi. Tetapi di balik itu kami Hasjim,” kenang Joesoef. Bebera- dan toko buku, cetakan kedua
berdua menyadari: penerbitan pa kerabat dan sahabat yang langsung dipesan.
adalah sekeping pernyataan de- simpati kemudian memberi tam-
mokrasi,” tulis Pramoedya bebe- bahan modal sehingga Hasta Mitra Dalam bulan November Hasta
rapa tahun kemudian. Di tengah bisa mulai berjalan. Mitra sudah membuat cetakan
ketidakpastian nasib sebagai ketiga, dan berhasil menjual seku-
tahanan Orde Baru pembicaraan Tetralogi Buru: rangnya 10.000 eksemplar. Dan
berlanjut membahas rencana- Demokrasi Hasil sambutan pun semakin ramai,
rencana mewujudkan niat itu. Keringat Sendiri mulai dari kritikus Jakob Soemar-
djo dan Parakitri Simbolon sampai
Bulan April 1980 selepas dari Naskah pertama yang mereka pilih artis remaja Yessy Gusman yang
tahanan, Hasjim dan Pramoedya untuk diterbitkan adalah Bumi menyebutnya “karya sastra yang
menemui Joesoef Isak, mantan Manusia, jilid pertama dari kisah terbagus saat ini.” Harian Angkat-
wartawan Merdeka yang belasan pergerakan nasional Indonesia an Bersenjata yang dikelola Mabes
tahun mendekam di Rutan Salem- antara 1898-1918. Pramoedya kem- ABRI pun menyebutnya sebagai
ba. Diskusi berkembang, dan bali bekerja keras memilah “sumbangan baru untuk khasanah
kesepakatan dicapai untuk tumpukan kertas doorslag yang sastra Indonesia”.
menyiarkan karya eks-tapol yang berhasil diselamatkannya dari
selama ini tidak mendapat sam- Pulau Buru. Hampir semua naskah Pemasukan awal cukup lumayan
butan dari penerbit lain. Awalnya aslinya ditahan oleh penguasa sehingga Hasta Mitra bisa mem-
mereka berniat tidak hanya mener- kamp dan sampai hari ini belum benahi ruang kantornya dan
bitkan karya tulis, tapi juga dikembalikan. Dalam waktu tiga mempekerjakan 20 pegawai, yang
menyiarkan rekaman musik, bulan ia berhasil menyalin kembali hampir semuanya adalah eks-
lukisan dan hasil kerja kreatif dan merajut tumpukan kertas tapol. “Hasta Mitra memang tidak
lainnya. “Kami mau membuktikan lusuh yang dimakan cuaca menja- untuk cari untung, tapi juga
kepada dunia bahwa dari Pulau di naskah buku. Hasjim dan menampung teman-teman yang
Buru juga bisa lahir hal-hal yang Joesoef sementara itu berkeliling kesulitan. Waktu itu banyak kantor
positif, bukan hanya cerita sedih menemui beberapa pejabat peme- yang tutup pintu kalau pelamarnya
dan penderitaan saja,” kata Hasjim rintah, termasuk wakil presiden pernah mendekam di tahanan,”
ketika itu. Adam Malik, yang ternyata mem- kata Joesoef. Seorang kerabat
berikan sambutan baik. yang simpati memberi sumbang-
Pembagian kerja dimulai. Pramoe- an mesin typeset CR-Tronics yang
dya terus menulis dan memperba- Awal Juli 1980 naskah Bumi sangat canggih untuk zamannya
iki naskah-naskah yang disusun- Manusia dikirim ke percetakan Aga dan melengkapi beberapa perabot
nya selama di tahanan. Dua di Press dengan harapan terbit yang diperlukan.
antaranya, Mata Pusaran dan Oroh menjelang peringatan Proklamasi.
Ratusanagara, sampai sekarang Cetakan pertama keluar tanggal 25 Keberhasilan pertama membuah-
tidak jelas nasibnya. Setelah keluar Agustus, agak meleset dari kan bayangan indah di benak
dari tahanan, naskah Ensiklopedi harapan semula karena alasan ketiganya. Niat untuk ikut me-
Citrawi Indonesia yang disusun- teknis. Hari-hari yang sungguh nyumbang pada perkembangan
nya bertahun-tahun jadi sasaran. berarti karena setelah sekian tahun ilmu dan seni semakin membesar.
Bulan September 1979 seorang kerja paksa dan setelah lepas “Mimpi saya sudah macam-
kapten TNI-AL datang mengambil dilarang bekerja, kini mereka macam, bahkan kalau bisa punya
semua naskahnya dan setelah itu menikmati hasil kerja sendiri yang koran lagi,” kata Joesoef. Tidak
tak pernah kedengaran kabarnya pertama. Bagi Pramoedya pener- semua mimpinya terwujud, teru-
lagi. Joesoef bertindak sebagai bitan Bumi Manusia, seperti yang tama karena rezim Orde Baru
editor berbekal pengalaman dicatatnya, berarti “suatu kebulat- mulai menganggapnya sebagai
belasan tahun menjadi wartawan an tekad, keikhlasan, dan sekaligus ancaman yang harus ditindak.
sekian suratkabar sebelum 1965, ketabahan untuk memberikan Pelarangan: Bukan
sementara Hasjim menangani segi saham pada perkembangan demo- Hanya Membelenggu
usaha dan keuangan. Bulan Mei krasi di Indonesia – dan bukan de-
mereka sepakat menggunakan mokrasi warisan sah kolonial, de-
Pikiran
nama yang dicipta Pramoedya saat mokrasi hasil keringat sendiri”. Keberhasilan Bumi Manusia sudah
masih mendekam di tahanan, tentu membuat penguasa gerah.
Bumi Manusia memang pilihan
Hasta Mitra (Tangan Sahabat). Dua hari sebelum cetakan pertama
yang tepat. Dalam waktu 12 hari
sekitar 5.000 eksemplar habis keluar, kantor Hasta Mitra ditele-
Tidak banyak milik mereka
terjual. Hasjim sampai kewalahan pon oleh Kadit Polkam Kejaksaan
sekeluar dari penjara. Rumah ke-
melayani permintaan dari segala Agung. Petugas itu meminta agar
luarga Joesoef di kawasan Duren
penjuru, termasuk dari Malaysia, buku itu tidak diedarkan sebelum
Tiga disulap jadi kantor dengan
Belanda dan Australia. Iklan kecil ada clearance dari pihaknya.
peralatan serba terbatas. Hanya
yang dipasangnya di harian Permintaan yang aneh tentunya,
ada satu mesin tik listrik Olivetti
Kompas ditelan oleh berita dan karena menurut aturan Kejaksaan
yang dipakai bergantian oleh Pra-
tinjauan panjang-lebar dari Agung hanya berwenang mela-
moedya dan Hasjim untuk meng-
sejumlah penulis. Walau menda- rang buku yang sudah diterbitkan.
garap pekerjaan mereka. “Modal
SITI RUKIAH KERTAPATI, lahir 27 April 1927 di Purwakarta. Pada zaman Jepang Rukiah berhasil menamatkan
sekolah guru, dan setelah revolusi Agustus 1945, ia mengajar di Sekolah Rendah Gadis Purwakarta. Pada umur 19
tahun puisi-puisinya telah dimuat di Gelombang Zaman, beliau juga menulis untuk majalah Godam Jelata. Di tahun
1950, ia menulis karya ilmiahnya untuk konfrensi kebudayaan Indonesia, yang berjudul Sekitar Konperensi Kebu-
dayaan Indonesia. Pada tahun 1952 merupakan tahun penting bagi Rukiah:pertama, Tandus , kumpulan puisi dan
cerita pendeknya yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka dan yang kedua, ia menikah dengan Sidik Kertapati.
Ia bertemu dengan Sidik Kertapati dan saling jatuh cinta pada masa revolusi di Krawang. Selain itu Rukiah juga
menulis cerita anak-anak yang dimuat di majalah Cendrawasih. Karya lainnya yang ia tujukan untuk anak-anak
adalah Jaka Tinggir, Taman Sanjak si Kecil, Kisah Perjalanan si Apin dan Pak Supi. Sedangkan cerita pendeknya
IST.
antara lain Isteri Perajurit, Antara Dua Gambaran dan Surat Panjang dari Gunung dan sebuah novel yang berjudul
Kejatuhan dan Hati yang diterbitkan oleh Pustaka Rakyat tahun 1950. Rukiah terus menulis sejumlah Cerita Rakyat
dari seluruh kepulauan Indonesia hingga tahun 1975 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Rukiah meninggal dunia
di kampung halamannya, Purwakarta pada tahun 1994.
puisi | Media Kerja Budaya edisi 06/2001 23
> > > K R I T I K S E N I
Reformasi
& Puisi Tanpa Daya Magis
B
ila sastra menjadi bagian dari menyumbangkan puisi reformasi
momentum reformasi, risiko mereka untuk dibukukan, meski
apa yang mesti ditanggung hingga kini buku yang dimaksudkan
nya? Pertanyaan-pertanyaan belum diluncurkan. Ini belum terma-
ini harus diajukan untuk menguji suk sejumlah terbitan sejenis yang
keterkaitan sastra dan reformasi. Atau pada masa itu beredar secara terbatas
untuk melihat bagaimana sastra di kalangan mahasiswa.
berhadapan dengan momentum re-
formasi dan mengakomodasinya se- Situasi ini mengingatkan kita pada
bagai persoalan sastra—yang dalam masa tumbangnya Orde Lama dan la-
pembicaraan ini lebih banyak difokus- hirnya Orde Baru. Puisi-puisi perla-
kan pada puisi. wanan memainkan peranan yang
besar dalam gelombang demonstrasi
Seperti kita tahu momentum ini mahasiswa saat itu. Telah muncul,
diawali oleh krisis ekonomi yang kata Mansur Samin “aksi perlawanan
menyebabkan anjloknya nilai rupiah terhadap kepalsuan dan kebohongan
tanpa bisa tertolong lagi. Ekonomi yang bersarang dalam kekuasaan o-
sulit, harga-harga naik, sembako sulit rang-orang pemimpin gadungan.”
didapat, rakyat menjerit, dan muncul Dalam kurun waktu yang revolusioner
demonstrasi mahasiswa. Puisi-puisi itu Taufiq Ismail alias Nur Fadjar
saat itu kembali menyuarakan ketidak- menerbitkan kumpulan puisi Tirani
puasan dan kerawanan sosial, pende- dan Benteng . Bur Rasuanto hadir
ritaan dan kemarahan rakyat, yang dengan buku Mereka Telah Bangkit,
semula karena kultur politik Orde Mansur Samin dengan buku puisi Per-
Baru—Soeharto yang otoriter sastra lawanan , Abdul Wahid Situmeang
lebih banyak menghindari tema-tema dengan stensilan Pembebasan, dan
seperti itu. Slamet Sukirnanto dengan stensilan
Jaket Kuning.
Harian Republika , misalnya, mem-
buka rubrik “Sajak Peduli Bangsa” Dalam dua peristiwa itu kita menyak-
dalam waktu yang cukup lama sikan sejarah yang berulang. Pembu-
sepanjang 1998. Sementara Forum sukan sebuah rezim kembali terjadi.
Sastra Bandung menerbitkan buku Sastra menemukan kembali alasan
puisi Tangan Besi: Antologi Puisi Re- untuk menjalankan peranan yang
formasi pada akhir Juni 1998. Di masa lebih besar dari yang bisa dilakukan
itu pula penyair Sides Sudyarto D.S. selama ini dengan menetapkan dan
mengundang sejumlah penyair untuk menjalankan komitmen sosialnya.
alat propaganda, yang “mengajurkan, (sekecil apa pun peran itu) dalam ma-
mendorong, mempercepat, dan me- syarakatnya. Semuanya berpulang
nyempurnakan revolusi.” kepada penyairnya sendiri. Apakah ia
bisa mempertemukan dua kepenting-
Maka, tengoklah puisi tidak hanya an antara menjalankan komitmen
bicara tentang awan, bulan, gerimis sosial dengan mempertahankan
yang bersijingkat, kesunyian dan kekuatan magis puisi. Dan ini tentu
keindahan, atau segala sesuatu yang saja bukan masalah ideologis, tetapi
jauh dari jangkauan masyarakat awam masalah kreativitas. Untuk menjadi
(tetapi dekat dengan kritikus sastra). kekuatan “kiri” (dalam artian tanding-
Namun, ia juga bicara soal kelaparan, an/saingan/oposisi terhadap kekuasa-
sembako yang langka, tiran tua yang an yang mapan—terima kasih kepada
kegemukan, kobaran api, atau seorang Ariel Heryanto), tidak berarti sastra
gadis Cina yang diperkosa. Bahkan, harus kehilangan kekuatan magisnya,
bukan tak mungkin, puisi telah men- sehingga ia menjadi verbal dan
jadi alat pelampiasan berbagai pera- sekadar alat propaganda. m
saan, sebab selama rezim Orde Baru-
Soeharto para penyair (dan masyara- NUR ZAIN HAE, penyair yang
kat umum) tidak mendapatkan kesem- menetap di Jakarta.
patan untuk mengekspresikannya
dengan bebas.
Raffles
Bukan Berhala Sejarah
Pembagan Pembaharuan Politik Kolonialisme (sebuah pancingan studi)
>>Hersri Setiawan
T
homas Stamford Raffles bukan seke-
dar seorang reformis, atau pengikut
gerakan pembaharuan belaka. Buat se-
jarah kolonial bangsa-bangsa di “Timur Jauh”,
khususnya “Hindia Belanda”, ia seorang
pembaharu ( reformer ) yang sekaligus
pembagan ( schemer ) pembaharuan itu.
Kendati demikian hendaknya kita tempatkan
T.S. Raffles sebagai tokoh sejarah—tokoh
besar nian!—dan bukan ditaruh di altar se-
bagai berhala sejarah. Seyogyanya memang
begitulah kita menyikapi tokoh-tokoh besar
dari jaman apa pun, apalagi jaman kolonial
baik lama maupun baru. Juga terhadap tokoh
besar Snouck Hurgronje, misalnya, yang
tampil sekitar seratus tahun kemudian.
Mereka sama-sama berusaha memahami
bangsa-bangsa Pribumi, alam hidup mereka
dan alam lingkungan mereka, dan selanjut-
nya—bagi Snouck Hurgronje— menulis surat-
surat nasihat kepada Gubernur Jendral Hindia
Belanda tentang bagaimana menjinakkan
musuh-musuh gubermen. Sedangkan pada
T.S. Raffles untuk mengembangkan potensi
sumber daya alam dan manusianya, sebagai
langkah kebijakan antara, dalam menuju
tujuan akhir membangun imperium Britania
Raya.
Pasukan Jan Willem Janssens, Gubernur
nobodycorp. (sumber: http://rubensanu.edu.au & http://landow.stg.brown.edu)
BADAI BERGOLAK
>>Rani Lukito
ALIT AMBARA
catatan redaksi: cerpen ini merupakan bagian
kedua dari dua bagian tentang kehidupan
M
pejuang perempuan dari Maluku, Martha
alam tiba. Bintang-bintang gemilang jadi obyek Christina Tiahahu.
pertama tatapan mataku. Pikiranku melayang
tanpa tujuan, bertanya apakah Anna jadi salah
satu dari bintang-bintang itu, tak hiraukan
aku; tak hiraukan manusia lain yang ada di mendayung lebih cepat lagi. Sudah pagi ketika kami
muka bumi ini. Aku seperti ember yang sarat dengan pilinan mendarat di pantai Saparua. Segera kami bergabung dengan
dan putaran rasa. Aku tak bisa bedakan rasa satu dan pasukan Kapitan Pattimura. Tak ada waktu untuk basa-basi;
lainnya. Semua hanya ada di sana, bercampur-baur dan semua tahu kami di tempat ini untuk satu misi yang penting:
membingungkan, saling belit satu sama lain. Sedikit saja membebaskan diri kami dari kolonialisme. Kami
disentuh, ember ini akan terguling, dan seluruh isinya akan menghabiskan sepanjang hari menekuni peta demi peta dan
lenyap untuk selamanya .... “Tidak! Aku tak akan biarkan membahas lewat mana kami akan menyerang Benteng
kematian Anna hancurkan niatku melawan Belanda yang Duurstede. Akhirnya, diputuskanlah bahwa malam itu juga,
kejam dan tak berperasaan itu!,” aku menjerit. pada 14 Mei 1817, kami akan mulai berusaha menguasai
Aku bangkit dari tempat tidurku, menapakkan sebelah Benteng Duurstede.
kakiku di depan sebelah yang lain dengan tegak. Aku dengar Aku merangkak diam-diam di sisi ayahku. Mataku tajam
ayah sedang mempersiapkan diri untuk berperjalanan ke menyoroti satu benda ke benda lainnya, sementara tanganku
Saparua. Kemudian aku teringat rencana yang rumit untuk menghunus belati, siap menusuk apa pun yang bergerak.
menduduki Benteng Duurstede. Aku melompat menuju ke Aku sentuh pula bayonet yang kusisipkan di sabukku.
lemari baju ayah dan mengambil senapannya. Aku raih pula Bintang-bintang berkelip di atas, melihat kami dengan
segenggam peluru, memasukkan butir-butir mungil penuh kekhawatiran. Anna melintas kembali di pikiranku,
mematikan itu satu per satu ke dalam senapan. Lalu, aku tak kuasa aku kebaskan dia dari kenanganku. Tiba-tiba aku
melesat menuju perahu ayah dan naik ke dalamnya. Tak mendengar perintah untuk maju dan mulai menyerang.
seorang pun berkomentar. Tak seorang pun berkata apa-apa. Dalam sekejap aku dan ayah melompat menyeberangi
Mereka tahu aku harus melepaskan kemarahanku, bahwa dataran rumput, berteriak dengan seluruh nafas di dada.
aku berjuang untuk kebebasan kami. Dan, dengan itu, kami Kami menyergap sekelompok prajurit Belanda tanpa diduga-
melepas sauh, pada tigabelas Mei 1817, menuju Saparua. duga, dan menikam mereka dengan bayonet. Aku arahkan
*** senapanku ke serdadu lainnya, dan dengan terampil menarik
pelatuk, tembuskan sebutir peluru ke perutnya. Aku
Perahu kami meluncur cepat membelah samudera. Setiap memandang dengan tenang ketika kehidupan tinggalkan
detik kami bergerak mendekati pantai, dan juga, dini hari. matanya, dan ia mengerang jatuh ke tanah. Beberapa anggota
Ayah mendesak kami supaya lebih cepat, dan kami pasukan kami sudah berada di dalam benteng, dan
Pesta Usai
T
ahun baru Imlek kedua setelah masa re- kesenian, sandiwara atau opera dalam baha- sekeluarga kumpul bersama makan masakan
formasi baru saja berlalu, suasana sa Mandarin. Sejak kelas 2 SD aku sangat hasil sesaji. Bayangan tentang hari raya ini
perayaan yang hiruk pikuk telah usai. gemar mengoleksi buku, dimulai dari buku lambat laun menjadi muram.
Namun perasaan yang bergolak dalam hati komik. Ini yang menimbulkan sedikit rasa suka
setiap tahun setiap kali Sin cia hadir masih terhadap acara pai cia . Tumbuh dengan Mungkin aku termasuk manusia yang tidak
belum juga reda. Setelah perayaan, banyak meningkatnya umur, kami bersaudara punya hari raya: ulang tahunku yang jatuh
hal yang aku renungkan, namun sangat sulit semuanya bersekolah di sekolah Mandarin. pada 29 Februari tahun kabisat, menyebabkan
untuk melukiskan perasaanku yang sangat Pada masa itu sekolah-sekolah Mandarin aku tidak punya kebiasaan merayakan ulang
kompleks ini hanya dengan satu kalimat umumnya berorientasi ke RRT. Kami tahun. Karena tidak menganut suatu agama,
sederhana. memperoleh pendidikan yang cukup progresif. aku juga tidak merayakan Natal, Idul Fitri atau
Dari cerita-cerita guru kami mendapat kesan Waisak. Ketika melihat orang lain bersukacita,
Tahun baru Imlek disini lazim disebut Sin cia. bahwa perayaan tahun baru Imlek mewakili aku sering merasa kesepian. Tiba-tiba aku
Ini adalah dialek Hokkian, sedangkan istilah semangat feodal sehingga sudah semestinya menyadari, kami orang Tionghoa sebetulnya
Mandarin yang umum di pakai adalah Chun diganti dengan tahun baru internasional yang masih punya hari raya Sin cia, yang tak pernah
jie . Chun jie berarti hari raya musim semi. lebih modern. Sejak saat itu perasaanku dirayakan lagi hanya karena terpaksa.
Perayaan ini diadakan oleh masyarakat agraris terhadap Sin cia mulai negatif, perayaannya Keinginan untuk kembali menikmati
pada setiap awal tahun penanggalan Imlek, tidak pernah lagi melibatkan diriku secara kehangatan masa lalu muncul kembali tanpa
juga tibanya musim cocok tanam. Bagi para emosional. Pendidikan sekolah Mandarinku aku tahu mengapa. Karena di dalam negeri
perantau yang sudah beberapa generasi tidak berlangsung lama, karena tahun bencana kami tidak mungkin lagi menikmati suasana
tinggal di luar daratan Tiongkok, makna asli itu hadir. Ingatanku tentang 1966 adalah hari- perayaannya, aku bersama teman mencoba
hari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Ba- hari saat kusaksikan segerombolan menikmati suasana Chun jie di daratan
gaimana pun Sin cia tetap mempunyai arti demonstran hingar-bingar lewat depan Tiongkok, sambil mengunjungi seorang kawan
tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Indo- rumahku, sembari berteriak-teriak mereka yang sedang mudik ke Hangzhou.
nesia. Lantas, apa makna hari raya ini bagiku? berbaris menuju ke arah bangunan sekolah Waktu itu musim dingin. Persiapan pakaian
Chun jie pertama yang masih dapat kuingat kami. Hari itu terasa kiamat telah tiba. Meski yang kurang menyebabkan kami menggigil di
terjadi ketika umurku kira-kira lima tahun. Kala masih kanak-kanak, aku sungguh sangat jalanan. Tengah malam pergantian tahun kami
itu bagi kami anak-anak Sin cia identik dengan terguncang. Peristiwa itu tak pernah dapat ikut dalam perjamuan Chun jie yang diadakan
kegiatan pai cia , yaitu kami diwajibkan terhapus dari ingatanku, luka tergores di hati keluarga kawan di rumah orang tuanya di se-
mendampingi papa dan mama mengunjungi yang masih saja membekas sampai sekarang. buah apartemen kecil. Esok harinya kami
para orang tua, baik yang masih famili mau- Sekolah kami mereka serbu, bangunan mengunjungi taman kecil di tengah kota
pun yang bukan. Sebagai imbalannya kami dirusak, lalu diserahkan pada tentara untuk berbaur dengan penduduk yang berekreasi. Di
menerima amplop angpao dari orang-orang diduduki! Aku terpaksa putus sekolah ketika tengah jalan nampak penduduk kota yang lain
yang kami beri hormat dengan pai cia . kelas empat SD. berduyun-duyun berjalan menuju ke arah kuil
Meskipun memakai pakaian baru dan dapat Dengan berkuasanya rezim militer Orde Baru, Yinling yang terkenal untuk memanjatkan
angpao, namun membosankan bagiku. pelan-pelan namun pasti segala hak kaum harapan untuk tahun yang baru.
Kegembiranya masih kalah dibanding Tionghoa dilucuti. Satu-persatu peraturan
menonton film di bioskop. Pada masa itu uang Pengalaman yang paling seru adalah ketika
pelarangan bermunculan, termasuk perayaan kami menumpang kereta api dari Suzhou ke
dalam bungkusan angpao hanya punya arti Sin cia. Pada awalnya, keluarga kami masih
biasa-biasa saja bagiku. Di dalam keluarga Nanjing. Karena sudah menginjak hari ke lima
meliburkan usaha untuk merayakannya. Chun jie, arus balik liburan mulai meningkat.
kami anak-anak dilarang jajan sendiri di luar. Perayaan umum tidak ada lagi, acara kunjung-
Sedangkan mainan di luar pun tidak Kami terpaksa membeli tiket kereta lewat calo,
mengunjungi masih berlangsung seperti seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggu
sesemarak sekarang , kami sudah cukup puas biasa. Namun seiring dengan berjalannya
dengan mainan sederhana atau mainan penumpang penuh sesak. Waktu kereta
waktu dan semakin represif pemerintah, kami datang, penumpang berebut naik dengan
buatan sendiri. Maka kami tabung saja hasil tidak berani lagi meliburkan usaha. Acara pai
pai cia ini. Memang saat Chun jie selalu ada berdesakan dan dorong-mendorong. Suasa-
cia hanya dilakukan antar keluarga dekat saja. nanya mirip perang. Setibanya di atas kereta,
tarian barongsai dan naga yang menarik minat Setelah papa meninggal, setiap tahun, berapa
anak-anak. Kegiatan ini cukup sering berlang- kita baru tahu bahwa kami mendapat kereta
hari menjelang Chun jie , kami sekeluarga kelas kambing. Dengan susah payah kami
sung meski bukan pada saat Chun jie , selalu mengadakan acara ziarah ke makam.
sehingga bagi kami tidak terasa luar biasa lagi. mencari nomor duduk, sementara di tengah
Pada malam menjelang tahun baru Imlek , koridor penumpang yang tidak punya tempat
Umur bertambah, lebih banyak acara Chun jie mama mengadakan acara sembahyang untuk duduk memenuhi lantai, mirip kereta
yang dapat aku ikuti, seperti pertunjukan memperingati almarhum, sesudah itu kami pengungsi. Suasana seperti ini mungkin
Ilmu Sosial,
Seberapa Ilmiah?
>>John Roosa
P
elajar di Indonesia cukup banyak menerapkan ketrampilan logika kita kritis tentang “kebijakan penyesuaian
mencurahkan waktu untuk yang terbaik, maka kita akan mampu struktural” – yang juga berlaku di In-
belajar ilmu sosial. Sejak SD merumuskan kebijakan pemerintah donesia sekarang (kenaikan pajak,
murid sekolah diajar Ilmu Pengetahu- yang tepat dan tindakan sosial untuk sumberdaya untuk ekspor, pengurang-
an Sosial (IPS) dan sejarah, di memberantasnya. Ini mungkin pan- an pengeluaran pemerintah, dan
samping mata pelajaran lainnya. Di dangan tentang ilmu sosial sebagai seterusnya). Alih-alih memperhatikan
perguruan tinggi mahasiswa belajar dokter bagi penyakit yang diidap ma- studi-studi kritis itu, IMF membiayai
antropologi, sosiologi, psikologi dan syarakat. Ilmu sosial sepertinya sejumlah penelitian “ilmiah” untuk
bidang-bidang lainnya. Masalahnya memberi harapan bahwa penjelasan menyembunyikan kebenaran tentang
dalam pengajaran ilmu sosial ini mu- yang keliru tentang masalah-masalah kebijakan-kebijakannya yang salah.
rid atau mahasiswa diberi kesan sosial (misalnya bahwa kemiskinan
bahwa ilmu itu seolah-olah pasti disebabkan oleh persekongkolan Walau hasil dari penelitian sosial
adanya. Karena itu kita mendapat kelompok etnik atau agama tertentu) mungkin tidak meyakinkan mereka
kesan salah seolah ada kesepakatan dapat dikikis dan kita, sebagai masya- yang berkepentingan untuk menolak
umum di kalangan ilmuwan sosial rakat, dapat mengenali kebenaran hasil-hasilnya, kita tetap harus mela-
akan tujuan dasar, fungsi metodenya. serta memecahkan masalahnya kukan penelitian. Kita tidak bisa
Seperti bidang lainnya, ilmu sosial bersama-sama. berkesimpulan bahwa ilmu sosial
diajarkan sebagai deretan rumus atau pada dasarnya tidak jelas. Bahwa ada
kesimpulan yang harus diingat, dan Harapan ini tentunya naif bagi dunia sekelompok orang yang menolak
bukan sebagai rangkaian pertanyaan yang penuh dengan kepentingan dan temuan kita, tidak berarti bahwa
yang seharusnya muncul dari para tidak tertarik pada ilmu sosial jika ilmu semua orang akan menolaknya.
murid atau mahasiswa sendiri. Dalam itu bertentangan dengan kepentingan- Mungkin ada banyak orang yang
esei ini saya ingin mengangkat nya. Misalnya saja ada sekumpulan terdorong oleh informasi dan temuan
sejumlah masalah dasar dalam ilmu ilmuwan sosial yang melihat bahwa kita, akan berjuang untuk mengubah
sosial dan menawarkan jawaban dari kebijakan IMF (yang notabene me- kebijakan tertentu. Mari kita lihat IMF
saya sendiri. Tentu saja tidak semua nguasai perekonomian Indonesia se- lagi sebagai contoh. Saat ini ada
bisa kita bahas di dalamnya, tapi apa karang) ternyata membuat kemiskin- banyak organisasi yang dibentuk un-
yang diuraikan lebih banyak bertujuan an semakin parah, maka temuan itu tuk menekan IMF agar mengubah
menantang kita semua untuk berpikir tidak akan ada pengaruhnya terhadap kebijakan-kebijakannya. Mereka
tentang masalah-masalah tertentu. IMF sendiri karena para pejabatnya mengadakan demonstrasi di berbagai
berkepentingan untuk jalan terus de- kota di dunia. Demonstrasi semacam
Tujuan Ilmu Sosial ngan kebijakan itu. Apalagi IMF ini itu tak akan ada gunanya jika tidak ada
mewakili kepentingan bank-bank studi-studi ilmiah yang membuktikan
Ilmu sosial biasanya dianggap seba- besar di Amerika Serikat, Eropa dan bahwa kebijakan IMF menghasilkan
gai metode untuk memperbaiki ma- Jepang, yang didirikan untuk mencari kemiskinan. Kekuatan politik memang
syarakat. Jika kita memahami kebe- untung, bukan untuk mengatasi ke- perlu untuk mendorong perubahan
naran masyarakat kita secara ilmiah, miskinan. IMF sudah tentu akan lembaga-lembaga seperti IMF, tapi
maka kita akan tahu cara memperba- mengabaikan temuan studi ilmiah kekuasaan yang tak bersandar pada
ikinya. Jika kita mempelajari sebuah yang tidak membenarkan kebijakan ilmu adalah kekuasaan sewenang-
masalah sosial dengan seksama, yang sudah mereka tetapkan. Dalam wenang yang hanya menguntungkan
misalnya kemiskinan, dan menelusuri kenyataan kita lihat bahwa IMF terus- pemegang kuasanya.
penyebabnya dengan mengumpulkan menerus mengabaikan studi-studi
semua data yang kita miliki dan Ketika esei ini ditulis, ada puluhan ribu
JJ Kusni
Negara Etnik:
Fuspad
Membangun
Solidaritas Kemanusiaan
>>Mahendra
Pertikaian berdarah antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal tahun 2001 ini sekali
lagi memperlihatkan betapa rapuh dan tak bermaknanya kehidupan berbangsa dan bernegara
di Indonesia. Setelah sebelumya diguncang oleh rangkaian pertikaian serupa di Kalimantan
Barat, lalu pertikaian bernuansa agama di Ambon, Maluku dan di Poso, Sulawesi Tenggara,
tragedi Sampit kembali menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam
hubungan antaretnis dan antaragama di Indonesia yang multikultur ini.Tragedi Sampit sekali-
gus juga menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi di
Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah sehingga etnis Dayak yang merupakan penduduk
asli, menjadi sedemikian marah dan mengambil “jalan merah” terhadap etnis Madura.
B
erbagai pemberitaan media masih menunjukkan betapa budaya setempat dan harus
mengenai pertikaian tersebut pemberdayaan budaya antara etnis membayar denda adat serta wajib
masih melihat tragedi yang Madura dan Dayak merupakan faktor minta maaf kepada seluruh
menewaskan ribuan nyawa dan utama yang menjadi penyebab masyarakat Kalimanatan Tengah
puluhan ribu lainnya terpaksa kerusuhan. Hal itu secara tersurat melalui DPR setempat (Kompas 8 juni
mengungsi dengan sterotype dan ditunjukkan dengan dikeluarkannya 2001). Yang menjadi pertanyaan
stigma etnis. Sering kali diungkapkan pernyataan mengenai “nasib” dan sekarang adalah apakah memang
bahwa penyebab utama pertikaian “status” etnis Madura di Kalimantan perbedaan budayalah yang menjadi
berdarah antara etnis Dayak dan Tengah. Kongres menetapkan bahwa penyebab utama kerusuhan? Adakah
Madura adalah perbenturan budaya etnis Madura yang mengungsi boleh hal lain yang sebetulnya justru
dan adat-istiadat di antara mereka. kembali ke Kalimantan Tengah dengan menjadi substansi yang menyebabkan
Bahkan dalam Kongres Rakyat sejumlah persyaratan. Di antaranya, pertikaian?
Kalimantan yang berlangsung di mereka adalah orang Madura yang
Palangka Raya pada 7 Juni 2001 lalu sudah mampu beradaptasi dengan Buku ini mencoba menjawab
Ninotchka Rosca:
“...yang ingin saya bangun adalah persamaan hak
istimewa
di antara bangsa-bangsa di dunia.”
Ninotchka Rosca adalah salah seorang aktivis politik exile Filipina yang pindah ke Amerika Serikat
sejak rezim Marcos menyelenggarakan keadaan darurat di negerinya tahun 1970-an. Novel-novelnya
menggambarkan bagaimana bangsa Filipina juga seperti bangsa lainnya yang pernah mengalami
penjajahan, pada zaman globalisasi harus menjadi budak. Pandangan-pandangannya terutama menyoroti
suatu fenomena yang dialami oleh bangsa-bangsa dunia ketiga sekarang, yakni perempuan-perempu-
an mencari uang di negeri-negeri kaya dengan menjadi buruh migran, pelayan-pelayan di bar dan pekerja
seks. Bagi Rosca, ini merupakan kenyataan-kenyataan konkrit yang perlu diangkat, karena hampir seluruh
bangsa-bangsa bekas jajahan dipaksa dan diharuskan menghadapi kenyataan ini.
P
ara buruh migran yang kebanyakan lembaga jual beli perempuan dibawah yang menjadi tulang punggungnya adalah
adalah perempuan perlu memperju payung euphisme “kerja”—pekerja peneri- perempuan-perempuan miskin. Masalah-
angkan dan mendapatkan hak-hak ma tamu, budaya hiburan, budaya tari dan masalah seperti ini yang diangkat Rosca
yang mereka miliki. Rosca begitu marah sebagainya—hal ini menjadi sulit untuk kedalam karya novelnya, karya seni yang
ketika pemerintah Singapura mengumum- dibedakan antara perempuan digunakan se- mempunyai kekuatan pencerahan dengan
kan Flora Contemplacion, salah seorang bagai buruh murah dengan perempuan memasukkan kebudayaan dan negeri yang
buruh migran, harus dihukum gantung. dipakai sebagai barang dagangan. Mereka sedang mengalami konflik. Karya-karya
Rosca bersama organisasi massa di Filipina dipergunakan sebagai pasar untuk produk- Ninotcska Rosca adalah Bitter Country and
melakukan demonstrasi besar-besaran un- produk non-esensial dan jasa.” Other Stories , The Moonsoon Collection,
tuk menentang keputusan pemerintah Si- Ninotchka Rosca dengan tegas menunjuk State of War dan sebuah karya non-fiksi
ngapura. Peristiwa ini telah menjadi gejala bahwa Bank Dunia dan IMF telah melaku- Endgame: Fall of Marcos.
universal bagi negara-negara terbelakang. kan eksploitasi berganda terhadap perem- Dua redaktur Media Kerja Budaya, Ayu Ratih
Sehingga pada ceramahnya di PBB dalam puan dengan lembaga keuangan internasio- dan John Roosa mewancarai Rosca di Uni-
rangka memperkuat Convention to Elimi- nal ini mendesain “tiga pilar pembangunan” versity of Wisconsin, Amerika Serikat. Di-
nate all forms of Discrimination (Cedaw) untuk negeri-negeri terbelakang. Salah satu bawah ini petikan hasil wawancara tersebut.
Rosca dengan lantang mengucapkan “se- pilar itu adalah turisme (untuk memperoleh Bagaimana anda mulai menjadi penulis
karang ini dinegeri-negeri terbelakang seper- mata uang asing dengan cepat agar segera dan aktivis politik?
ti Filipina dan Indonesia telah dibangun membayar bunga pinjaman Bank Dunia) Saya dibesarkan tepat setelah Perang