Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. Definisi
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau
seseorang yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai
status epileptikus.2

2.2. Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian
kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala
yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien
yang

didiagnosa

epilepsi,

biasanya

karena

ketidakteraturan

dalam

memakan

obat

antikonvulsan.Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10
persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada
neonatus, anak-anak dan usia tua.2
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan
sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara
miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang
paling tinggi.

2.3. Etiologi
Penyebab status epileptikus sangat bervariasi tiap individu. Pada orang dewasa, penyebab
utama adalah antiepileptikus potensi rendah (34 %) dan penyakit serebrovaskular (22%),
termasuk akut atau remote stroke dan perdarahan. Penyebab lain status epileptikus adalah
hipoglikemia, hipoksemia, trauma, infeksi (meningitis, ensefalitis, dan abses otak), alkohol,
penyakit metabolik, toksisitas obat, dan tumor.2
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset) atau
dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anakanak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:4
1. Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a.

Tonik klonik

b. Tonik
c.

Klonik

d. Mioklonik
2.

Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status
epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.

3. Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)


a.

Simple motor status epilepticus

b. Sensory status epilepticus


c.

Aphasic status epilepticus

4. Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)


a.

Petit mal status epilepticus

b. Complex partial status epilepticus.


2.5. Patofisiologi
Patofisiologi status epileptikus terdiri dari banyak mekanisme dan masih sangat sedikit
diketahui. Beberapa mekanisme tersebut adalah adanya kelebihan proses eksitasi atau inhibisi
yang inefektif pada neurotransmiter, dan adanya ketidak seimbangan aktivitas reseptor eksitasi
atau inhibisi di otak. Neurotransmiter eksitatorik utama yang berperan dalam kejang adalah
glutamat. Faktor faktor apapun yang dapat meningkatkan aktivitas glutamat akan menyebabkan
terjadinya kejang.
Neurotransmiter inhibitorik yang berperan dalam kejang adalah GABA. Antagonis
GABA seperti penisilin dan antibiotik dapat menyebabkan terjadinya kejang. Selain itu, kejang
yang berkelanjutan akan menyebabkan desensitisasi reseptor GABA sehingga mudah
menyebabkan kejang.5
Kerusakan CNS dapat terjadi oleh karena ketidakseimbangan hormon dimana terdapat
glutamat yang berlebihan yang akan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel neuron dan
akhirnya menyebabkan apoptosis (eksitotoksik). Selain itu, juga dapat disebabkan oleh GABA
dikeluarkan sebagai mekanisme kompensasi terhadap kejang tetapi GABA itu sendiri

menyebabkan terjadinya desensitisasi reseptor, dan efek ini diperparah jika terdapat hipertermi,
hipoksia, atau hipotensi.5
Terdapat dua fase dalam status epileptikus yaitu fase pertama ( 0 30 menit) dan fase
kedua (> 30 menit). Pada fase pertama, mekanisme kompensasi masih baik dan menimbulkan
pelepasan adrenalin dan noradrenalin, meningkatnya aliran darah ke otak, meningkatnya
metabolisme, hipertensi, hiperpireksia, hiperventilasi, takikardi, dan asidosis laktat. Pada fase
kedua, mekanisme kompensasi telah gagal mempertahankan sehingga autoregulasi cerebral gagal
dan menimbulkan odem otak, depresi pernafasan, aritmia jantung, hipotensi, hipoglikemia,
hiponatremia, gagal ginjal, rhabdomiolisis, hipertermia, dan DIC.
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel. Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus
selama tahap keempat, ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme
ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.5
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal
pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,

hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari
glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.5

2.6. Manifestasi Klinis


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal

dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti

oleh hyperpnea retensi

CO2.Adanya

takikardi

dan

peningkatan

tekanan

darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi
yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas
kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

A. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)


Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
B. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.

A. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari status
epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
B. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer
atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.

C. Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa
kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak
seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
D. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang
menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral
dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik
ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral
yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

E. Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan

keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

BAB III
PENATALAKSANAAN STATUS EPILEPTIKUS
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Protokol penatalaksanaan status epileptikus pada makalah ini
diambil berdasarkan konsensus Epilepsy Foundation of America (EFA). Lini pertama dalam
penanganan status epileptikus menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering
digunakan adalah Diazepam (Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga
obat ini bekerja dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.

Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien yang
mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada tabel di bawah),
dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang berhasil menghentikan kejang
sebanyak 65 persen.

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian

antikonvulsan

masa

kerja

lama

seharusnya

dengan

menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek
samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang
besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak

seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain-tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru
kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan
yang berespon terhadap terapi lini pertama.
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan Valproat
atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi dengan
kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini dimonitor
oleg EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika berlanjut akan
diulang dengan dosis awal.

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus


Pada : awal menit
1. Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu intubasi)
a.

Periksa tekanan darah

b. Mulai pemberian Oksigen


c.

Monitoring EKG dan pernafasan

d.

Periksa secara teratur suhu tubu

e.

Anamnesa dan pemeriksaan neurologis

2. Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa, hitung darah
lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa AGDA (Analisa Gas
Darah Arteri)
3. Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4. Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg IV atau IM
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty

5.

Lakukan rekaman EEG (bila ada)

6.

Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena dengan
kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika kejang tetap terjadi
berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan kecepatan 150 mg per menit,
dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika kejang berhenti, berikan Fosfenitoin
secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral
atau NGT jika pasien sadar dan dapat menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung

1. Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature


2. Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan 100 mg per
menit
Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung
Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus intravena hingga
kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg per jam; kecepatan
infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah berhenti. Pertahankan
tekanan darah stabil.
-atauBerikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg per
menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-

Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG.

1.

DAFTAR PUSTAKA
Nia Kania, dr., SpA., MKes,Kejang pada Anak, Disampaikan pada acara Siang Klinik
Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital Bandung, 12 Februari 2007.

2.

Penatalaksanaan status epileptikus, Available at : http://owthey.blogspot.com/ diakses 1 April


2011.

3. Darto Saharso,Status Epileptikus. Divisi Neuropediatri Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU
Dr. Soetomo Surabaya

4.

Huff, Steven. Status Epilepticus. Available from: http://emedicine.medscape.com/ diakses 3


April 2011

5.

Appleton PR, Choonara I, Marland T, Phillips B, Scott R, Whitehouse W. The treatment of


convulsive status epilepticus in children. Arch Dis Child 2000; 83:415-19.

6. Hanhan UA, Fiallos MR, Orlowski JP. Status epilepticus. Pediatr Clin North Am 2001;48:68394.

Anda mungkin juga menyukai