PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini terdapat peningkatan prevalensi pasien trauma yang datang ke rumah
sakit setiap tahunnya. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada usia 1
sampai 44 tahun. Pada kondisi yang kritis, perdarahan dapat mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik. Syok hipovolemik menyebabkan 80% kematian di
kamar operasi dan mencapai 50% kematian pada 24 jam pertama setelah kejadian
trauma. Di dunia, hanya 16% dari rumah sakit yang menggunakan pedoman
penatalaksanaan perdarahan masif. Managemen dari perdarahan masif merupakan
satu-satunya komponen dari managemen pasien dengan keadaan kritis. Hal ini
ditujukan untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terkait dengan penetapan
prioritas pada situasi yang spesifik.2,3
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena
metabolisme tubuh membutuhkan perubahan yang tetap dalam berespons terhadap
stressor fisiologis dan lingkungan. Keseimbangan cairan dan elektrolit saling
bergantung satu dengan yang lainnya, jika salah satu terganggu maka akan
berpengaruh pada yang lainnya.4,5
Gangguan cairan dan elektrolit adalah hal yang sangat sering terjadi dalam
masa perioperatif maupun intraoperatif. Sejumlah besar cairan intravena sering
dibutuhkan
untuk
mengkoreksi
kekurangan
cairan
dan
elektrolit
serta
mengkompensasi hilangnya darah selama operasi. Oleh karena itu, seorang klinisi
harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang fisiologi normal cairan dan
elektrolit serta gangguannya.1,14 Gangguan yang besar terhadap keseimbangan cairan
dan elektrolit dapat secara cepat menimbulkan perubahan terhadap fungsi
kardiovaskular, neurologis, dan neuromuscular.
1,,2
2.
3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pergeseran
kurva
disosiasi
oxyhemoglobin
ke
kiri
dapat
tekanan darah. Peningkatan ini diatur untuk lebih selektif pada jaringan otak dan
jantung daripada organ lain seperti kulit, usus, otot dan ginjal. Peningkatan
katekolamin juga menyebabkan efek inotropik positif dan kronotropik positif
pada jantung yang mendukung terhadap peningkatan cardiac output.5
Penurunan volume intravaskuler menstimulasi axis renin-angiotensinaldosteron
yang
berkontribusi
pada
peningkatan
cardiac
output
dan
preload
jantung.
Perdarahan
akut
berhubungan
dengan
redistribusi dari air dari ruang ekstravaskuler menuju ruang intravaskuler, dan
hal ini terjadi bersamaan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin. Saat
volume intravaskuler diperbaiki, konsentrasi hemoglobin dan hematokrit akan
mengalami penurunan, dan menyebabkan terjadinya penurunan viskositas darah.
Pada kondisi dimana perdarahan terjadi terlalu parah atau pada kondisi dimana
terjadi gangguan pada fungsi jantung (misalnya pada kardiomyopati), kebutuhan
jaringan akan oksigen akan tidak terpenuhi dan akan menyebabkan produksi
asam laktat dan penurunan dari pH arteri. Pada kondisi ini akan terjadi asidosis
yang
menurunkan
afinitas
hemoglobin
terhadap
oksigen
yang
akan
adalah
penurunan
stroke
volume,
sehingga
untuk
tetap
Kadar prolaktin juga meninggi terutama pada wanita dibandingkan dengan lakilaki.8
2.2.2 Gangguan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Pada Pembedahan
Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal
yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor
preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.8,10,11
A. Faktor-faktor preoperatif
1. Kondisi yang telah ada
Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat
diperburuk oleh stres akibat operasi.
2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker
intravena dapat menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang
tidak normal karena efek diuresis osmotik.
3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi
eksresi air dan elektrolit
4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air
dan elekrolit dari traktus gastrointestinal.
5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada
6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat
kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat
meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan
abnormal cairan.
7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya
Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari
anestesi.
B. Faktor-faktor intraoperatif
1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia
preoperatif karena hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia
dan vasokonstriksi.
2. Kehilangan darah yang abnormal.
3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya
kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi).
4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka
operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)
C. Faktor-faktor postoperatif
1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi.
2. Peningkatan katabolisme jaringan.
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif.
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif.
2.2.3 Kehilangan Cairan Saat Pembedahan
a. Perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari:
1.Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah
(suction pump).8
2.Kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang
penuh darah (ukuran 4x4 cm) mengandung 10 ml darah, sedangkan
tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap darah 10-100 ml.8
Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya
bias ditentukan berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan
keadaan klinis penderita yang kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan
kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang (serial). Pemeriksaan kadar
hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma terhadap
eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah
bila pada luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya
darah yang mengenai kain penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.11
Cairan
tubuh
(60%)
Intraselular
(40%)
Ekstraselular
(20%)
Interstitial
(15%)
Plasma
Darah (5%)
11
natrium
(muntah,diare)
sedangkan
pemasukkan
12
Anion
Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan
bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion
fosfat (PO43-).
Tabel 2. Kandungan Elektrolit dalam Cairan Tubuh 1
(mEg/l)
Plasma
(mEq/L)
13
Cairan
Interstitia
Cairan
Intracellula
Kation
Anion
Na
K
Ca
Mg
Total
Cl
HCO3
HPO4
SO4
Asam Orgaik
Protein
Total
l (mEq/L)
145
4
2,5
1,5
152
114
30
2
1
5
0
152
142
4
5
3
154
103
27
2
1
5
16
154
r (mEq/L)
15
150
2
27
194
1
10
100
20
0
63
194
membutuhkan
energy
sedangkan
mekanisme
transpor
aktif
14
b. Difusi
Difusi ialah gerakan molekul yang terus menerus diantara molekul
yang satu dengan yang lainnya dalam cairan, maupun dalam gas. Ion-ion
berdifusi dengan cara yang sama seperti semua molekul, bahkan partikel
koloid tersuspensi berdifusi dengan cara yang sama juga kecuali bahwa
proses difusinya berlangsung sangat lambat dibandingkan dengan zat-zat
molekular akibat ukurannya yang sangat besar.8
Difusi melalui membran sel terbagi atas difusi sederhana dan difusi
yang dipermudah.8 Difusi sederhana dapat terjadi melalui membran sel
dengan dua cara yaitu:
1. Melalui celah pada lapisan lipid ganda, khususnya jika bahan
yang berdifusi terlarut-lipid
2. Melalui saluran licin pada beberapa protein transfor.
15
16
17
Keterangan:
Na
Na1
Na0
18
c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi
akut kalium dari cairan ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan
kronis kadar total kalium tubuh. Tanda dan gejala hipokalemia dapat berupa
disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen melebar, ST segmen
depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam
(untuk mild hipokalemia > 2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40
mEq/jam dengan monitoring oleh EKG (untuk hipokalemia berat < 2 mEq/L
disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang hebat).8
Rumus untuk menghitung defisit kalium:
K = K1 K0 x 0,25 x BB
Keterangan:
K
K1
K0
BB
d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAID,
ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama
melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia
dapat berupa intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium
bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10 menit, atau diuretik, hemodialisis.8
19
20
kulit) dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water
losses. Digunakan rumus Haliday Segar 4:2:1, yaitu:
Table 3 Rumus Haliday Segar
21
komponen darah).
Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen
darah).
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha)
(kehilangan cairan tubuh dan komponendarah).
4. Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam
dan diare).
5. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan
tubuh dan komponen darah).
2.4.3 Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES =
CEF). Cairan kristaloid bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan
koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di
ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.10
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling
banyak digunakan untuk resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan
susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat yang
terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati
menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan
adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan
asidosis
hiperkloremik
(delutional
hyperchloremic
acidosis)
dan
diabetik.
Komplikasi
yang
membahayakan
adalah
23
24
25
kemungkinan
meningkatnya
insensible
water
loss
akibat
Jumlah Kebutuhan
(ml/Kg/Jam)
Dewasa
1,5 2
Anak
24
Bayi
46
Neonatus
muntah.
Penderita
dengan
hiperventilasi
atau
pernapasan
melalui
27
penggunaan
komponen
darah:
(1)lebih
efisien,
ekonomis,
28
therapy sehingga darah yang diberikan haruslah safety blood. Kelebihan terapi
komponen dibandingkan dengan terapi darah lengkap: (1)disediakan dalam
bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi, (2)resiko reaksi
imunologik lebih kecil, (3)pengawetan, (4)penularan penyakit lebih kecil,
(5)aggregate trombosit dan leukosit dapat dihindari, (6)pasien akan memerlukan
komponen
yang
diperlukan
saja,
(7)masalah
logistic
lebih
mudah,
lain-lain.
Pada keadaan anemia karena perdarahan biasanya digunakan batas Hb
7-8 g/dL. Bila telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai
kepada fase yang membahayakan dan tranfusi harus dilakukan secara hatihati.12,17
2.5.3
2.5.4
29
diberikan
untuk
meningkatkan
kapasitas
oksigen
dan
30
31
sudah tersedia konsentrat faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku
segar tidak dianjurkan untuk koreksi hipovolemia atau sebagai terapi
pengganti imunoglobulin karena ada alternatif yang lebih aman, seperti
larutan albumin atau imunoglobulin intravena.14,16
f.
factor VIII, prokoagulan, yang diperoleh dari kumpulan (pooled) plasma dari
sekitar 2000-30.000 donor. Hasil dimurnikan dengan teknik monoclonal, dan
dilakukan penonaktifan virus melalui misalnya pemanasan (heattreated).
Pengemasan dalam botol berisi 250 dan 1.000 unit. Dosis pemberian sama
dengan kriopresipitat.14,16,17
32
g.
Kompleks factor IX
Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung factor
Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara
Imunoglobulin
Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari
plasma, dan yang baku diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma.
Komponen yang hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap
penyakit seperti varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan
untuk mengatasi imunodefisiens, pengobatan infeksi virus tertentu, atau
infeksi bakteri yang tidak dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain.
Dosis yang digunakan adalah 1-3 ml/kgBB.17
2.5.5
33
34
Pemberian
antihistamin
dapat
menghentikan
reaksi
tersebut.12,13
c. Reaksi anafilaktik
Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila
timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang
mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan
cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi
komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas
vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang
dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya
adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat
pernapasan, hipotensi, dan renjatan.13,15
Penatalaksanaannya adalah :
(1) menghentikan transfusi dengan segera,
(2) tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid,
(3) berikan antihistamin dan epinefrin.
Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan.
Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau
masker atau bila perlu melalui intubasi.
2. Komplikasi Transfusi Massif
35
bila
darah
yang
digunakan
tidak
dihangatkan,
36
BAB III
KESIMPULAN
Trauma merupakan penyebab kematian utama pada usia 1 sampai 44 tahun.
Salah satu akibat trauma adalah perdarahan, baik itu langsung maupun tak langsung
hingga
mengakibatkan
terjadinya
syok
hipovolemik.
Syok
hipovolemik
menyebabkan 80% kematian di kamar operasi dan mencapai 50% kematian pada 24
jam pertama setelah kejadian trauma.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama
pembedahan ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien
bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.
Cairan tubuh sangat penting perannya dalam homeostasis tubuh. Cairan
tubuh berada di beberapa ruangan intraselular 40%, ekstraseluler 20% dibagi menjadi
antarsel (intertitial) 15% dan plasma 5%. Gangguan cairan tubuh baik itu kuantitatif
maupun kualitatif dapat mengganggu sistem homeostasis tubuh, hingga berakibat
kematian.
Syok hipovolemik adalah penurunan cardiac output akibat berkurangnya
jumlah cairan intravaskular. Penatalaksanaan syok hipovolemik membutuhkan
kecepatan dan ketepatan dalam mengganti cairan tubuh yang hilang.
Tranfusi darah adalah suatu rangkain proses pemindahan darah donor ke
dalam sirkulasi dari resipien sebagai upaya pengobatan hingga upaya untuk
menyelamatkan kehidupan.
Tujuan tranfusi darah adalah :
a. Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal
b. Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah
c. Meningkatkan oksigenasi jaringan
d. Memperbaiki fungsi homeostasis
e. Tindakan terapi khusus
37
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective
Procedures: An Updated Report by The American Society of
Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters.
USA: Lippincott Williams & Wilkins.
2. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M.
C. 2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.
3. Butler A. Shock Recognition, Pathophysiology, and Treatment. 2010.
Available at : http://www.dcavm.org/10oct.html. Accessed on July 3th,
2013.
4. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,
Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins.
5. Garner K. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient.
2013
6. Hoffbrand, A.V. Kapita selekta Hematologi; oleh A.V Hoffbrand dan J.E.
Pettit; alih bahasa, Iyan Darmawan. Ed.2.-Jakarta:EGC 1996.
7. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 2012. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview#a0104.
Accessed on July 3th, 2013.
8. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI
9. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR
Harrison, eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York,
NY: McGraw Hill, 2008: chap 264.
10. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009.
Millers Anesthesia 7th ed. US : Elsevier
11. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical
Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
38
39