Tinjauan Pustaka
2.1 Pernikahan dan Keluarga
2.1.1 Definisi pernikahan dan keluarga.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, didalam bab 1 pasal 1 dinyatakan definisi perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Olson dan DeFrain (2006) mendefinisikan
pernikahan adalah komitmen yang terkait dengan emosi dan hukum dari dua orang
untuk berbagi keintiman emosional dan fisik, bermacam-macam tugas, dan sumber
ekonomi.
Strong, DeVault, dan Cohen (2008) mendefinisikan pernikahan sebagai
pengakuan secara hukum penyatuan antara dua orang, umumnya laki-laki dan
perempuan, yang mana mereka bersatu secara seksual, bergabung dalam
keuangan, dan mungkin melahirkan, mengadopsi, atau membesarkan anak.
Keluarga menurut Winch (dalam DeGenova, 2008) adalah sekumpulan orang yang
terkait satu sama lain melalui hubungan darah, pernikahan, atau adopsi yang tinggal
bersama dan merupakan penganti fungsi dasar bermasyarakat.
Dari definisi pernikahan dan keluarga di atas, dapat digambarkan bahwa
pernikahan jika dikaitkan dengan keluarga berarti sebuah proses yang mengikat dua
orang yang lazimnya adalah pria dan wanita secara hukum dan agama sehingga
ikatan tersebut membuat mereka disebut sekumpulan yang tinggal bersama dan
yang berguna untuk memerankan fungsi dasar bermasyarakat dengan cara melebur
secara emosional, fisik, keuangan, seksual dan pengasuhan.
pasangan) yang dibawa atau yang diperoleh saat menikah oleh masing-masing
pasangan terkadang bisa menjadi beban bagi pasangan untuk mengartikan
hubungan tersebut bagi diri mereka sendiri.
3. Menjadi orang tua dan keluarga dengan kehadiran anak
Tahapan ini menjadikan seseorang berpindah generasi menjadi pengasuh anak
yang paling awal. Masuk tahap yang paling panjang ini membutuhkan komitmen
sebagai orang tua, pemahaman tentang peran orang tua, dan bersedia
menyesuaikan dengan perkembangan anak. Dalam tahap ini pasangan akan
mengalami banyak permasalahan tentang tanggung jawab sebagai orang tua.
4. Keluarga dengan anak remaja
Remaja adalah masa dimana seseorang ingin menjadi mandiri dan mencari
pengembangan jati diri. Proses ini berlangsung lama setidaknya 10 sampai 15
tahun. Pendekatan paling baik dalam mengatasi masa remaja ini adalah fleksibel
dengan cara menyesuaikan dengan keadaan anak. Terkadang anak butuh untuk
ditekan dan disisi lain dibebaskan.
5. Keluarga di masa pertengahan
Pada tahap ini maka pasangan harus melepas anaknya, untuk masuk dalam
generasi baru, dan menyesuaikan dengan perubahan. Dengan melepaskan anak
yang sudah dewasa dapat membuat kehidupan masa pertengahan lebih bebas
untuk melakukan berbagai aktifitas lainnya.
6. Keluarga di masa terakhir
Pensiun mengubah gaya hidup keluarga, sehingga pada tahap ini diperlukan
adaptasi. Ciri dari tahapan ini salah satunya adalah pasangan akan masuk
ketahapan menjadi kakek-nenek.
konflik.
Pada
satu
tahun
pertama,
pasangan
sudah
dapat
menunjukkan kasih sayangnya lebih dalam yaitu terutama terkait dengan seksual.
Frekuensi dan intensitas terjadinya konflik juga berkurang, karena ketika
pertengkaran terjadi maka pasangan diawal pernikahan ini akan menunjukkan kasih
sayangnya, sehingga muncul adanya rasa bersalah.
2.1.4.1 Menetapkan peranan dan tugas sebagai suami-istri.
Penetapan peran ini biasanya diharapkan berdasarkan peran gender dan
pengalaman. Weitzman (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) mengungkap ada
empat asumsi tradisional mengenai tanggung jawab suami-istri: suami adalah
kepala rumah tangga, suami bertanggung jawab mendukung keluarga, istri
bertanggung jawab untuk pekerjaan rumah tangga, dan istri bertanggung jawab
untuk mengurus anak. Namun, asumsi tradisional ini tidak selalu digambarkan dalam
realitas pernikahan.
Pasangan awal memulai dengan sejumlah tugas untuk suami-istri agar
pernikahannya terbangun dan sukses. Tugas untuk penyesuaian yang terutama
termasuk:
Menetapkan peranan suami-istri dalam pernikahan dan keluarga
Menyediakan dukungan emosional bagi pasangan
Menyesuaikan kebiasaan pribadi
Negosiasi peran gender
Menetapkan prioritas keluarga dan pekerjaan
mengekspresikan
kasih
sayang,
tingkat
kenyamanan
rumah
tangga
ataupun
kerja
yang
dimiliki
bersama
dapat
situasi
dapat
mengambil
keputusan
sehingga
mencapai
kesepakatan bersama.
4. Keterbukaan
Bersedia mengungkapkan informasi tentang diri, pikiran, dan perasaan
secara terbuka terhadap pasangan, termasuk didalamnya perencanaan
keuangan dan gaji.
5. Keintiman
Waktu dihabiskan dengan pasangan untuk melakukan aktifitas bersamasama, tanpa ada kehadiaran dari pihak yang lain.
6. Keintiman sosial dalam relasi
Perasaan
nyaman
sebagai
pasangan
untuk
secara
bersama-sama
Williams, Sawyer, dan Wahlstrom (2006) ada perubahan yang terjadi 2-3 tahun
sebelum kehadiran seorang anak:
1. Perundingan identitas mengartikan bahwa dalam pernikahan pasangan
diharuskan menyesuaikan harapan yang ideal diantara satu dengan yang
lain. (Blumstein dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006)
2. Hilangnya kemandirian bahwa terkadang membuat pasangan menjadi sangat
frustasi karena tanggung jawab dan kekangan yang ada dalam pernikahan.
Namun, meskipun keseluruhannya tidak setara, pasangan muda selalu
menganggap kehidupan pernikahannya memiliki persamaan (KnudsonMartin & Mahoney dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006)
3. Teman dan keluarga baru merupakan hal yang ditemukan ketika
memutuskan untuk menikah karena kita juga diharuskan mengenal keluarga
dan teman pasangan kita. Hal ini bisa menjadi beban karena seorang istri
tidak lagi bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya lagi, tetapi harus hadir
dalam upacara dan bersama dengan sanak keluarga.
4. Karir dan peranan ibu rumah tangga salah salah satu penyebab konflik
dalam kehidupan pertama pernikahan pasangan, karena harapan dari
masing-masing individu atas perananya. Secara tradisional suami bekerja
dan istri mengurus rumah tangga, Namun sekarang banyak istri yang bekerja
(Fustenberg dalam Williams, Sawyer, & Wahlstrom, 2006).
Beberapa penelitian menemukan bahwa kepuasan pernikahan akan
berkurang dari waktu ke waktu. Melalui penelitian yang panjang pada pasangan
yang baru menikah, Lawrence Kurdek (dalam Olson & DeFrain, 2006) menemukan
bahwa diawal 4 tahun pertama, suami dan istri mengalami penurunan kepuasan
dalam angka yang mirip. Kepuasan pernikahan ini turun terutama karena deperesi
yang dialami terutama oleh wanita akibat pembagian peran yang tidak seimbang.
2.3 Waktu luang bersama keluarga dan fungsi keluarga
Waktu luang adalah waktu yang tidak digunakan untuk bekerja dan secara
bebas mengikutsertakan pilihan kegiatan yang memuaskan (Williams, Sawyer, &
Wahlstrom, 2006). Gordon,dkk (dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006)
mendefinisikan waktu luang sebagai kegiatan yang dipilih dengan kebebasan, yang
termasuk didalamnya bersantai, bersenang-senang, pencarian kreatifitas, dan
kepentingan untuk menyampaikan nafsu. Hawks; Holman dan Epperson; Orthner
dan Mancini (dalam Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012) menghasilkan
penelitian yang konsisten bahwa terdapat hubungan positif pada waktu luang
bersama keluarga dan variabel-variabel fungsi keluarga dalam beberapa tahun.
Olson (dalam Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010) menyatakan bahwa fungsi
keluarga adalah keseimbangan antara kesatuan atau kedekatan keluarga dan
penyesuaian keluarga dalam menghadapi tantangan dan perubahan di lingkungan.
Orthner dan Mancini (dalam Dodd, Zabriskie, Widner, & Egget, 2009) mendefinisikan
fungsi keluarga sebagai penilaian dan interpretasi melalui perspektif teoritis sistem
keluarga. Teori sistem keluarga sendiri berfokus pada kedinamisan keluarga yang
termasuk didalamnya kekuasaan, hubungan, struktur, batasan, pola dan peran
komunikasi (Rothbaum, Rosen, Ujiie, & Uchida dalam Dodd, Zabriskie, Widner, &
Egget, 2009).
Core and Balance Model of Family Leisure Functioning mengindikasikan
terdapat dua kategori dasar atau pola waktu luang bersama keluarga, yaitu: core
and balance. Model ini menunjukkan tentang bagimana keluarga bersatu untuk
menemukan kebutuhan untuk stabilitas dan perubahan, dan memfasilitasi fungsi
keluarga. Waktu luang jenis core adalah yang bersifat umum, setiap hari, murah,
mudah diakses, merupakan aktifitas rumah tangga yang sering dilakukan. Kegiatankegiatan yang dilakukan dalam jenis ini bersifat konsisten, tidak berbahaya dan
selalu bersifat positif dimana hubungan keluarga dapat dicapai dan kedekatan dalam
keluarga dapat meningkat. Aktifitas yang termasuk dalam jenis core adalah makan
malam keluarga, menonton televisi/video di rumah, permainan, dan aktifitas di taman
(Zabriskie & McCormick dalam Agate, Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger,
Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell, Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).
Waktu luang jenis balance meliputi aktifitas yang di luar dari keseharian dan
jenisnya bukan bersifat pekerjaan rumah serta memberikan elemen yang baru.
Kegiatan ini cenderung keluar dari kebiasaan sehari-hari dan bersifat tidak dapat
diprediksi atau baru, serta mengharuskan anggota keluarga bernegosiasi dan
beradaptasi dengan pengalaman dan hal baru. Selain itu merupakan kegiatan yang
keluar dari kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan tambahan waktu, usaha
atau biaya yang lebih. Aktifitas yang termasuk di dalam waktu luang jenis balance
adalah acara komunitas, aktifitas di luar rumah, aktifitas berhubungan dengan air,
aktifitas menantang, dan pariwisata/bepergian (Zabriskie & McCormick dalam Agate,
Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell,
Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).
Waktu luang jenis core cenderung memfasilitasi kedekatan perasaan,
keterikatan personal, identitas keluarga dan keterikatan antar keluarga. Jenis waktu
luang
balance
menyediakan
kebutuhan-kebutuhan
yang
menantang,
terkait erat dengan penyesuaian keluarga (Zabriskie & McCormick dalam Agate,
Zabriskie, Agate, & Poff, 2009; Hornberger, Zabriskie, & Freeman, 2010; Buswell,
Zabriskie, Lundberg, & Hawkins, 2012).
Model core dan balance merupakan kerangka yang dapat menyediakan
pengetahuan untuk memahami hubungan antara jenis waktu luang pasangan dan
kepuasan pernikahan (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006). Model core dan balance
mengusulkan pada keluarga untuk secara teratur berpartisipasi pada dua jenis
aktifitas waktu luang tersebut yang membuat fungsi keluarga menjadi lebih baik dan
memiliki kepuasan keluarga yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak
berpartisipasi dalam sejumlah besar atau kecil salah satu dari kedua kategori
tersebut (Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006).
2.4 Inisiasi berhubungan seksual
Inisiasi berhubungan seksual dapat didefinisikan sebagai langkah awal yang
diambil oleh pasangan untuk menyampaikan perhatian atau gairah untuk aktifitas
seksual secara verbal atau non-verbal, meskipun pada akhirnya nanti bisa diakhiri
dengan kegiatan seksual ataupun tidak (Gossmann, Mathieu, Julien, & Chartrand,
2003). Olson dan DeFrain (2006) memaparkan hasil bahwa 50% suami memulai
untuk melakukan hubungan seksual, namun hanya 12% istri yang memulai
melakukan hubungan seksual. Hal ini diperkuat oleh pernyataan OSullivan dan
Byers (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) bahwa pola peran gender secara
tradisional mengharapkan laki-laki yang memiliki inisiatif untuk berhubungan
seksual, seperti mencium, petting, atau intercourse.
Sesuai dengan pola peran gender tersebut, Cupach dan Metts (dalam Hill,
2008) memaparkan bahwa secara tradisional laki-laki yang memberikan inisiatif dan
wanita yang berhak menolak atau menerima, namun dalam kenyataanya wanita juga
(dalam
DeGenova,
2008)
menyatakan
dari
penelitiannya
menghasilkan ada perbedaan antara wanita yang bekerja di luar rumah dengan
yang tidak. Wanita yang tidak bekerja di luar rumah akan fokus pada pekerjaan
rumah tangga dan kehidupan seksualnya. Wanita yang bekerja separoh waktu maka
memiliki anak lebih banyak dan tinggal dalam rumah tangga yang pemasukannya
rendah. Wanita yang bekerja waktu penuh akan memiliki pendidikan yang lebih
tinggi, memiliki sedikit anak, dan pemasukannya paling besar diantara yang lainnya.
DeGenova (2008) menyatakan alasan ibu untuk bekerja bisa disebabkan
karena masalah ekonomi maupun tidak. Alasan utama adalah kebutuhan finansial
sehingga menyebabkan kedua pasangan harus bekerja. Faktor-faktor yang
berpengaruh adalah inflansi, tingginya biaya hidup, dan keinginan untuk hidup lebih
baik. Alasan yang bersifat non-ekonomi adalah pemenuhan pribadi, sehingga alasan
ini muncul sebagai motif utama dari dalam diri.
Blair; Pina dan Bengston; Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008)
menyatakan bahwa kepuasan pernikahan hanya diperoleh ketika ada ikatan yang
adil dalam pembagian tugas rumah tangga. Hochschild; Perry-Jenkins dan Folk;
Suitor (dalam Strong, DeVault, & Cohen, 2008) menyarankan untuk pasangan yang
keduanya bekerja, seharusnya membagi pekerjaan rumah tangga secara adil
sehingga memperoleh kesuksesan.
Meskipun keikutsertaan ayah dalam merawat anak memang bertambah,
namun pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan oleh istri lebih mengarah pada
pekerjaan yang tidak menyenangkan (seperti: mencuci, mengepel, menggosok, dan
memasak). Hal ini membuat pembagian kerja dalam mengurus rumah tangga belum
seimbang. Maka, yang utama perlu diperhatikan bahwa pekerjaan rumah tangga
dan mengurus anak adalah dua hal yang berbeda (Strong, DeVault, & Cohen, 2008).
2.6 Dewasa Muda
Papalia, Olds, dan Feldman (2007) dalam menjelaskan perkembangan
psikososisal dewasa muda (20-40 tahun) memaparkan tahap ke-enam dari delapan
tahap perkembangan psikososial milik Erick Erikson. Pada tahapan ini, dewasa
muda mengalami intimacy versus isolation. Dewasa muda yang pada tahap
sebelumnya yaitu remaja, tidak memiliki komitmen, maka akan mengalami perasaan
terasing, sedangkan yang menemukan identitasnya akan lebih muda menyatukan
identitasnya dengan orang lain. Pada tahap ini dewasa muda diharapkan dapat
mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan keintiman, persaingan, dan jarak
dengan orang lain. Intimasi yaitu pengorbanan dan persetujuan bersama. Dewasa
muda yang dapat menyelesaikan tahapan ini akan mendapatkan virtue: cinta
dalam hal kesetiaan diantara pasangan yang memilih tinggal bersama, memiliki
anak, dan menjaga perkembangan anak.
dibanding yang tidak. Baldwin,dll (dalam Johnson, Zabriskie, & Hill, 2006)
menyatakan bahwa bahkan ketika pasangan tidak memiliki komitmen yang sama
pada suatu aktivitas, dorongan yang muncul dari pasangan dapat membantu
menguatkan peranan pasangan lain dan menghasilkan kepuasan pernikahan.
Dorongan ini bisa ditunjukkan dalam berbagai cara, seperti berbincang-bincang
tentang partisipasi apa yang dilakukan pasangan, mengatur waktu, atau memberi
peralatan yang terkait dengan aktivitas.
2.7.2 Inisiasi berhubungan seksual dan kepuasan pernikahan.
Untuk dapat melakukan hubungan seksual yang terus berlanjut maka,
Harvey,
Wenzel,
dan
Sprecher
(2004)
menyarankan
pasangan
harus
mengkomunikasikan apa yang disukai dan kurang disukai terkait dengan hubungan
seksual kepada pasangannya. Komunikasi tersebut dapat disampaikan dengan cara
pasangan menunjukkan inisiasi berhubungan seksualnya. Byers dan Heinlein
(dalam Harvey, Wenzel, & Sprecher, 2004) menyatakan bahwa kepuasan seksual
yang tinggi akan diperoleh ketika penerimaan terhadap inisiasi juga tinggi dan diikuti
peningkatan kepuasan pernikahan. Sebaliknya, ketika penolakan akan inisiasi tinggi
maka akan mengurangi kepuasan seksual dan pada akhirnya juga merendahkan
kepuasan pernikahan. Oleh karena itu ketiga hal ini sebenarnya saling
mempengaruhi. Ketika pasangan merasa puas akan hubungan seksual dan
pernikahannya maka akan lebih tinggi dalam penerimaan inisiasi berhubungan
seksual, dan begitu juga sebaliknya ketika pasangan tidak puas dengan pernikahan
dan seksualnya maka akan cenderung tinggi dalam penolakan inisiasi berhubungan
seksual.
Gossmann, Mathieu, Julien, dan Chartrand (2003) menyatakan bahwa
banyak literatur yang menyatakan inisiasi hubungan seksual selain merupakan