Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Definisi penyakit ginjal kronik (PGK) berdasarkan National Kidney
Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI)
Guidelines update tahun 2002 adalah kerusakan ginjal >3 bulan, berupa kelainan
struktural ginjal, dapat atau tanpa disertai penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG) yang ditandai dengan kelainan patologi dan adanya pertanda kerusakan
ginjal, dapat berupa kelainan laboratorium darah atau urine atau kelainan
radiologi. LFG <60mL/menit/1,73 m2 selama> 3 bulan, dapat disertai atau tanpa
disertai kerusakan ginjal.1
Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan masyarakat di
seluruh dunia, insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika
Serikat, dari 340.000 orang pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun
2010. Pada penelitannya, Bliwise dkk2 menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap
tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima terapi hemodialisis dengan tingat
kematian tiap tahunnya sekitar 20%.1
Berdasarkan data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia, diperkirakan
insiden PGK berkisar 100-150/juta penduduk dan prevalensinya 200-250/juta
penduduk pada tahun 2005.3 Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering
terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya
dan pada hampir semua pasien PGK. Anemia sendiri juga dapat meningkatkan
risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari PGK. Adanya anemia pada
pasien dengan PGK dapat dipakai sebagai prediktor risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular dan prognosis dari penyakit ginjal sendiri. Menurut data dari The
Third National Health and Examination Survey (NHANES III), yang dikutip oleh
penelitian Ayu Nyoman dkk4 kejadian anemia yang ditandai dengan kadar
hemoglobin < 11g/dl sebesar 80.000 orang. Pada pasien pradialisis dengan LFG
kurang dari 60ml/mnt/1,73 (PGK stadium 3-5), kejadian anemia dengan kadar
hemoglobin kurang atau sama dengan 12 g/dl adalah sebesar 50%. Anemia pada
PGK ditandai dengan morfologi normokrom normokromik normositer, setelah
1

disingkirkan kemungkinan anemia karena sebab lain seperti anemia karena


hemodialisis, kekurangan zat besi, asam folat atau B12 dan keganasan, baik
keganasan hematologi maupun bukan hematologi.2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Ginjal

Gambar 2.1 Anatomi Ginjal1

Gambar 2.2 Anatomi Nefron1

2.2 Fisiologi
3

Organ yang paling paling penting untuk menjamin komposisi yang tepat
dari darah dan cairan ekstraseluler adalah ginjal. Kedua ginjal dengan jumlah
glomerulus dan tubuli 2,4 x 106 mempunyai cadangan fungsi yang cukup besar.
Jika oleh karena suatu sebab salah satu ginjal diangkat oleh ahli bedah,ginjal
lainnya akan mengambil alih tugas dari ginjal yang diangkat, sehingga ia akan
bekerja untuk memenuhi fungsi kedua ginjal. Fungsi ginjal yang tinggal akan
segera membaik sehingga seolah-olah penderita masih tetap mempunyai 2 buah
ginjal. Ahli patologi menyatakan bahwa berat ginjal yang tinggal akan bertambah
yang pada keadaan normal 150gr menjadi paling sedikit 200-250gr dalam waktu
beberapa bulan. Proses otomatis ini disebut hipertropi kompensasi.1
Ginjal, organ yang, bersama dengan masukan hormonal dan saraf yang
mengatur fungsinya, terutama berperan dalam mempertahankan stabilitas volume
dan komposisi elektrolit CES.1 Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan
fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang di satukan
satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua
daerah khusus-daerah sebelah luar yang tampak granuler,korteks ginjal, dan
daerah bagian dalam yang berupa segitiga-segitiga bergaris-garis, piramida ginjal,
yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal.2
Setiap nefron terdiri dari komponen vaskular dan komponen tubulus, yang
keduanya secara structural dan fungsional berkaitan erat. Bagian dominan pada
komponen vaskular adalah glomerulus, suatu berkas (tuft) kapiler berbentuk bola
tempat filtrasi sebagian air dan zar terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan
yang sudah terfiltrasi ini, yang komposisinya nyaris identik dengan plasma,
kemudian mengalir ke komponen tubulus nefron, tempat cairan tersebut di
modifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang mengubahnya menjadi urin.2
Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang
sebagian besar ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan
internal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES
3. Memelihara volume plasma yang sesuai

4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh


5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut)
6. Mengekskresikan

(eliminasi)

produk-produk

sisa

(buangan)

dari

metabolism tubuh
7. Mengekskresikan banyak senyawa asing
8. Mensekresikan eritropoetin, suatu hormone yang dapat merangsang
pembentukan sel darah merah
9. Mensekresikan rennin, suatu hormone enzimatik yang memicu reaksi
berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.2
2.3 Penyakit Ginjal Kronik
2.3.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu
keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungi ginjal yang ireversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis
atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang
terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal
kronik. 1
Table 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik1
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:
-

Kelainan patologis

Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3bulan, dengan
5

atau tanpa kerusakan ginjal

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG
sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal
kronik.2
2.3.2 Klasifikasi3
Klasifikasi ginjal kronik didasarkan atas dua hal,yaitu, atas dasar derajat
(stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.3
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung
dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :
LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada wanita dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit3

Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi3


Penyakit

Tipe Mayor ( contoh )

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit

ginjal

non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,

diabetic

neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit

pada Rejeksi kronik

transplantasi

Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)


Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

2.3.4 Epidemiologi
Diperkirakan paling sedikit 6% dari populasi dewasa U.S. mempunyai
kerusakan ginjal kronis dengan LFG >60 (stage 1 dan 2), dan diambang resiko
penurunan progresif yang lebih jauh pada LFG. Tambahan mendekati 4,5% dari
populasi U.S. ada di stage 3 dan 4. Diabetes dan hipertensi adalah etiologi dasar
dari CRD dan ESRD.4
2.3.5 Patofisiologi
Sejumlah penyakit ginjal akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan
ginjal. Jika jaringan ginjal yang tersisa tidak dapat memenuhi fungsinya, akan
muncul gambaran kegagalan ginjal. Penurunan ekskresi ginjal terutama sangat
bermakna. Penurunan GFR secara berbanding terbalik meningkatkan kadar
kreatinin di plasma. Konsentrasi plasma terhadap zat yang direabsorbsi juga
meningkat, tetapi tidak terlalu tinggi karena reabsorpsi di tubulus ginjal juga
terganggu pada gagal ginjal. Pada gagal ginjal, reabsorpsi Na+ dan air dihambat
7

oleh berbagai faktor, seperti hormone natriuretik, PTH, dan vanadat. Penurunan
reabsorpsi Na+ di tubulus proksimal juga secara langsung atau tidak langsung
menurunkan reabsorpsi zat lainnya, seperti fosfat, asam urat, HCO 3- , Ca 2+, urea,
glukosa, dan asam amino. Reabsorpsi fosfat juga dihambat oleh PTH.4
Penurunan reabsorpsi NaCl di bagian asendens ansa Henle mengganggu
mekanisme pemekatan urin. Suplai volume dan NaCl yang besar dari nefron
bagian proksimal meningkatkan reabsorpsi Na+ dibagian distal serta membantu
sekresi K+ dan H+ di nefron distal dan duktus koligentes. Akibatnya, konsentrasi
elektrolit di plasma dapat tetap normal, meskipun GFR sangat menurun
(insufisiensi ginjal terkompensasi). Gangguan baru terjadi jika penurunan GFR
lebih rendah daripada seperempat nilai normal. Namun, kompensasi ini terjadi
dengan mengorbankan rentang pengaturan, yang artinya ginjal yang rusak tidak
mampu meningkatkan ekskresi air, Na+, K+, H+, fosfat, dll.(missal, jika asupannya
meningkat) secara adekuat.3
Diduga bahwa gangguan pada ekskresi air dan elektrolit,berperan paling
tidak sebagian, terhadap munculnya sebagian besar gejala gagal ginjal kronis.
Volume yang berlebihan dan perubahan konsentrasi elektrolit menimbulkan
edema, hipertensi, osteomalasia, asidosis, pruritus, dan arthritis, baik secara
langsung maupun melalui pengaktifan hormone. Hal diatas juga bisa
menimbulkan gangguan pada sel eksitatorik (polineuropati, kehilangan kesadaran,
koma, kejang, edema serebri), fungsi pencernaan (mual, tukak lambung, diare),
dan sel darah (hemolisis, gangguan fungsi leukosit, gangguan pembekuan darah).3
Pada konsentrasi yang tinggi, asam urat dapat mengendap, terutama
disendi, sehingga menyebabkan gout. Namun konsentrasi asam urat yang sangat
tinggi jarang terjadi pada pada gagal ginjal. Peranan berkurangnya pembuangan
zat, yang disebut toksin uremia (misal, aseton, 2,3-butileneglikol, asam
guanidinosuksinat, metilguanidin, indol, fenol, amin aromatik dan alifatik, dll)
dan molekul berukuran sedang (lipid atau peptide dengan berat molekul antara
300 2000 Da), dalam menimbulkan gejala gagal ginjal masih menjadi
perdebatan. Konsentrasi urea yang tinggi dapat membuat protein menjadi tidak
stabil sehingga terjadi penyusutan sel. Tetapi pengaruh ini sebagian dapat diatasi

melalui

pengambilan

sejumlah

osmolit

penstabil

(terutama

betain,

gliserofosforikolin) oleh sel.4


Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan anemia,
sementara

penurunan

pembentukan

kalsitriol

menimbulkan

gangguan

metabolisme mineral. Pembentukan renin dan prostaglandin di ginjal dapat


meningkat atau menurun (kematian sel penghasil rennin dan prostaglandin),
bergantung pada penyebab dan lamanya penyakitnya. Pembentukan rennin yang
meningkat, mendorong terjadinya hipertensi, sangat sering ditemukan pada gagal
ginjal, sedangkan penurunan pembentukannya menghambat terjadinya hipertensi.
Prostaglandin sebaliknya sebaliknya menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Hilangnya inaktivasi hormone di ginjal dapat memperlambat siklus
pengaturan hormonal. Namun, peranan hal ini terhadap timbulnya gejala pada
gagal ginjal masih belum jelas.5
2.4 Anemia
2.4.1 Definisi
World Health Organization (WHO) mendefinisikan anemia dengan
konsentrasi hemoglobin < 13,0 mg/dl pada laki-laki dan wanita postmenopause
dan < 12,0 gr/dl pada wanita lainnya. The European Best Practice Guidelines
untuk penatalaksanaan anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik
mengatakan bahwa batas bawah hemoglobin normal adalah 11,5 gr/dl pada
wanita, 13,5 gr/dl pada laki-laki dibawah atau sama dengan 70 tahun dan 12,0
gr/dl pada laki-laki diatas 70 tahun.6
Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (1) kecepatan
timbulnya anemia, (2) usia individu, (3) mekanisme kompensasi, (4) tingkat
aktivitasnya, (5) keadaan penyakit yang mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.7
Eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang dari ruas tulang belakang
(vertebrae), trokanter femur dan pada tulang-tulang gepeng. Sel-sel eritrosit ini
mengalami pematangan di dalam sumsum tulang. Pada mulanya eritrosit
mempunyai inti yang disebut normoblas. Hemoglobin dibentuk di dalam
protoplasma normoblas ini. Kemudian inti sel akan menghilang dan sesudahnya
9

akan ditransportasikan ke peredaran darah. Di dalam darah eritrosit akan hidup


kira-kira 120 hari, kemudian akan dirusak di limpa dimana zat besi dari
hemoglobin dikembalikan ke peredaran darah, sedangkan gugus hem akan
dipecah menjadi pigmen empedu. Pigmen empedu kemudian diekskresi ke dalam
empedu dan dibuang melalui feses, yang memberikan warna coklat pada feses.6
Sebagian dari pigmen empedu dirubah menjadi sterkobilin oleh bakteri
usus, yang diserap kembali dan diekskresi dalam bentuk urobilin dalam urin.
Selama 2 hari pertama dalam aliran darah, eritrosit masih mengandung benangbenang yang halus dari RNA(untuk membentuk hemoglobin). Benang-benang ini
hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus pada sel yang hidup yaitu
pewarnaan brilliant cresyk blue. Sel eritrosit yang muda ini disebut retikulosit dan
dapat dihitung dengan mudah. Pada orang normal jumlahnya 16 dari eritrosit.1
Erythropoietin adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol
produksi erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin
adalah ginjal, walaupun disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel
ginjal yang mensekresi adalah sekumpulan cell di interstitium. Stimulus dari
pengsekresian erythropoietin adalah berkurangnya tekanan parsial oksigen pada
ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial, dan tidak adekuatnya aliran darah
ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang untuk meningkatkan produksi
erythrocytes. Penyakit ginjal bisa menyebabkan penurunan sekresi erythropoietin,
dan memicu penurunan aktivitas sumsum tulang adalah faktor penyebab penting
dari anemia pada penyakit ginjal kronik.6
Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah
pucat. Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah,
berkurangnya hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman
O2 ke organ-organ vital. Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat
dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman
serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku, telapak tangan, dan membrane
mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indicator yang lebih baik untuk
menilai pucat. Jika lipatan tangan tidak lagi berwarna merah muda, hemoglobin
biasanya kurang dari 8 gr.6
2.4.2 Klasifikasi
10

Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) faktor-faktor morfologik SDM


dan indeks-indeksnya atau (2) etiologi. Pada klasifikasi morfologik anemia,
mikro- atau makro- menunjukkan ukuran SDM dan kromik untuk menunjukkan
warnanya. Sudah dikenal tiga kategori besar. Pertama, anemia normositik
normokrom, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung jumlah
hemoglobin normal (mean corpuscular volume [MCV] dan mean corpuscular
hemoglobin concentration [MCHC] normal atau normal rendah). Penyebabpenyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit
kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan
sumsum tulang, dan penyakit-penyakit infiltrative metastatic pada sumsum
tulang.8,9
Kategori utama yang kedua adalah anemia makrositik normokromik, yang
memiliki SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi
hemoglobin normal (MCV meningkat, MCHC normal). Keadaan ini disebabkan
oleh terganggunya atau terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti
yang ditemukan pada defisiensi B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia
normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi kanker karena agen-agen
mengganggu sintesis DNA.7
Kategori ketiga adalah anemia mikrositik hipokromik. Mikrositik berarti
sel kecil, dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna
berasal dari hemoglobin, sel-sel ini mengandung hemoglobin, dalam jumlah yang
kurang dari normal (penurunan MCV dan penurunan MCHC). Keadaan ini
umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi,
seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan kehilangan darah
kronis, atau gangguan sintesi globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia
menyangkut ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengan
demikian tidak dapat terbentuk molekul hemoglobin tetramer normal.7
Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama
yang dipikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau
kelainan pembentukan sel. Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh
perdarahan atau oleh penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma
atau ulkus atau akibat perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan,
11

hemoroid atau menstruasi. Penghancuran SDM didalam sirkulasi dikenal sebagai


hemolisis, terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri memperpendek siklus
hidupnya (kelainan instrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan
penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik). Keadaan-keadaan yang SDM-nya itu
sendiri mengalami kelainan adalah :6
1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, seperti, penyakit
sel sabit
2. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia
3. Kelainan membrane SDM, seperti sferositosis herediter dan eliptositosis
4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD)
dan defisiensi piruvat kinase
Klasifikasi etiologic utama yang kedua adalah berkurangnya atau
terganggunya

produksi

SDM

(diseritropoiesis).

Setiap

keadaan

yang

memengaruhi funsi sumsum tulang termasuk di dalam kategori ini. Termasuk di


dalam kelompok ini adalah (1) keganasan jaringan padat metastatic, leukemia,
limfoma dan myeloma multiple; pajanan terhadap obat-obat dan zat kima toksik;
serta iradiasi dapat mengurangi produksi efektif SDM; dan (2) penyakit-penyakit
kronis yang mengenai ginjal dan

hati, serta infeksi dan defisiensi endokrin.

Kekurangan vitamin-vitamin penting, seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat
besi dapat mengakibatkan pembentukan SDM tidak efektif, menimbulkan anemia.
Untuk menentukan jenis anemia, baik pertimbangan morfologik dan etiologic
harus digabungkan.7

2.4.3 Patofisiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik


Anemia pada penderita gagal ginjal berat disebabkan oleh 2 mekanisme:8
a. Darah mengalami pengenceran oleh cairan yang berlebihan sehingga
konsentrasi hemoglobin turun.
12

b. Untuk produksi eritrosit di dalam sumsum tulang, diperlukan bahan yang


khusus, yaitu suatu protein yang disebut eritropoetin. Oleh karena eritropoetin
hanya dibuat oleh ginjal, maka pada gagal ginjal kronik produksi eritropoetin juga
sangat kurang (pada keadaan ini berat jaringan ginjal yang biasanya 300gr, dapat
berkurang menjadi hanya 30gr). Karena itu tidak ada gunanya memberikan zat
besi (Fe) atau preparat-preparat vitamin pada penderita anemia yang disebabkan
uremia. Jika terjadi anemia yang berat, maka jantung harus memompa darah lebih
banyak untuk mencukupi jumlah kebutuhan oksigen pada jaringan. Ini merupakan
beban tambahan terhadap jantung.1
Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada
penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi ertiropoietin. Hal-hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi,
kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit
yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan
sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik.3
2.4.4 Diagnosis Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin 10 gr% atau
hematokrit 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum /
Serum Iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron Binding Capacity, feritin serum),
mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
dan lain sebagainya.3,9
Sebuah anemia, normositik normokromik disebabkan PGK diamati mulai
pada tahap 3 PGK dan hampir universal pada tahap 4. Jika tidak diobati, anemia
dari PGK berkaitan dengan sejumlah kelainan fisiologis, termasuk penurunan
pengiriman dan pemanfaatan oksigen jaringan, meningkatkan output jantung,
pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel, angina, gagal jantung kongestif,
penurunan kognisi dan ketajaman mental, perubahan siklus haid, dan gangguan
pertahanan host terhadap infeksi. Selain itu, anemia mungkin memainkan peran
dalam keterbelakangan pertumbuhan anak-anak dengan PGK. 4,9
2.4.5 Tatalaksana Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

13

Anemia dari PGK ini disebabkan beberapa faktor, termasuk kehilangan


darah kronis, hemolisis, penekanan sumsum oleh tertahannya faktor-faktor uremic
dan berkurangnya produksi EPO ginjal. Ketersediaan rekombinan EPO manusia,
epoetin alfa, telah membuat salah satu kemungkinan kemajuan yang sangat besar
dalam perawatan pasien ginjal sejak diperkenalkannya dialisis dan transplantasi.
Baru-baru ini, sebuah protein novel eritropoiesis-stimulating telah diperkenalkan
untuk pengobatan anemia pada pasien PGK. Protein ini, darbopoetin alfa, adalah
analog hyperglycosylated rekombinan EPO manusia yang memiliki aktivitas
biologis yang lebih besar dan perpanjangan waktu paruh. Dengan demikian,
interval dosis dapat diperpanjang dan masih efektif memperbaiki anemia ginjal
pada pasien predialysis dan dialisis. Pedoman penggunaan epoetin dan alfa
darbopoetin untuk manajemen anemia pada PGK disediakan di tabel.8,10,11
Status zat besi pasien dengan PGK harus dinilai, dan kadar zat besi harus
memadai sebelum pengobatan dengan EPO dimulai. Tablet zat besi biasanya
penting untuk memastikan respon yang memadai untuk EPO pada pasien dengan
PGK, karena kebutuhan besi oleh sumsum erythroid sering melebihi jumlah besi
yang segera tersedia untuk eritropoiesis (diukur dengan kejenuhan persen
transferrin) serta kadar besi (yang diukur dengan feritin serum). Dalam
kebanyakan kasus, besi intravena diperlukan untuk mencapai dan / atau
mempertahankan zat besi yang memadai. Namun, terapi besi yang berlebihan
mungkin

terkait

dengan

sejumlah

komplikasi,

termasuk

hemosiderosis,

aterosklerosis dipercepat, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan mungkin


suatu kecenderungan meningkatnya kemunculan keganasan. Selain besi, pasokan
yang cukup dari substrat utama lainnya dan kofaktor untuk produksi eritrosit
harus terjamin, terutama vitamin B12 dan folat. Anemia resisten terhadap dosis
EPO yang direkomendasikan pada awal ketersediaan memadai faktor besi dan
vitamin sering menunjukkan dialisis tidak memadai; hiperparatiroidisme yang
tidak terkendali; toksisitas aluminium; kehilangan darah kronis atau hemolisis;
hemoglobinopati terkait, malnutrisi, infeksi kronis, multiple myeloma, atau
keganasan lain. Transfusi darah dapat berkontribusi untuk penekanan eritropoiesis
di PGK, karena mereka meningkatkan risiko hepatitis, hemosiderosis, dan

14

sensitisasi transplantasi, mereka harus dihindari kecuali anemia gagal untuk


merespon erythropoietin dan pasien bergejala.4,8

Pedoman Manajemen Untuk Memperbaiki Anemia Pada Penyakit Ginjal


Kronik7,10,11
Eritropoietin
Dosis permulaan :

50150 units/kg/minggu IV atau SC (1, 2, atau 3


kali/minggu)

Target Hb :
Tingkat koreksi optimal :

11-12 gr%
Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4
minggu

Darbopoietin alfa
Dosis permulaan :

0.45 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC


1X/minggu

15

Target Hb :
Tingkat koreksi optimal :

0.75 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC


1X/2 minggu
12 gr%
Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4
minggu

Zat Besi
1. Monitor kadar zat besi dari saturasi transferin (TSat) dan serum ferritin
2. Jika pasien kekurangan zat besi (TSat <20% ; serum feritin <100 mcg/L),
beri zat besi 50 100 mg IV 2X/minggu selama 5 minggu, jika indeks zat
besi masih rendah, ulangi
3. Jika indeks zat besi normal,Hb masih tidak mencukupi, berikan zat besi
seperti yang di uraikan diatas, monitor Hb, TSat, dan ferritin
4. Tahan terapi zat besi saat TSat >50% dan/atau ferritin >800mcg/L

16

Anda mungkin juga menyukai