Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN REFRAT

BLOK AKUPUNKTUR
AKUPUNKTUR PADA MIASTENIA GRAVIS

Disusun oleh:
KELOMPOK A10
Alifa Rizka A

(G0011011)

Arina Setyaningrum

(G0011039)

Dyah Tantry Desiana

(G0011077)

Gisti Respati Riyanti

(G0011101)

Reyhana M. B.

(G0011167)

Daniel Satyo N.

(G0011061)

Hermawan Andhika K.

(G0011107)

M. Syukri Kurnia R.

(G0011129)

Sanda Puspa Rini

(G0011189)

Aryanda Widya T. S.

(G0011041)

Pembimbing: Balqis, dr., MSC, CM-FM, Sp.AK


PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
2014

BAB I
Latar Belakang
Miastenia gravis adalah suatu penyakit kelainan autoimu yang disebabkan
oleh antibodi otot pada neuromuscular junction yaitu acetylcholine receptors
(AChRs). Kekurangan dari reseptor ini dapat menyebabkan kelainan pada
transmisi neuromuskuler yang ditandai dengan kelemahan otot dan kecapekan.
Myasthenia gravis telah dikenal sejak seorang dokter dari Oxford Thomas Willis
menggambarkan seorang wanita dengan nyeri sendi pada 1672, dengan gangguan
pada sinaptik dan autoimunnya (Vincent et al, 2001). Pengobatan miastenia gravis
memperlukan jumlah obat yang banyak dan jangka waktu yang lama sehingga
pengobatan konvensional miastenia gravis perlu diawasi secara terus menerus
oleh tim dokter (Koch et al., 2013)
Penggunaan akupunktur semakin meningkat setiap harinya, dengan
munculnya bukti ilmiah dari cara kerja dan manfaat akupunktur sekarang
akupunktur dipandang sebagai pengobatan komplementer dan integratif di dunia
modern (Chon et al, 2013). Akupunktur yang merupakan terapi dengan
menusukkan jarum ke kulit pada titik tertentu telah dikenal dan dipelajari ribuan
tahun yang lalu bahkan sebelum anatomi, fisiologi dan patofisiologi dikenal
(Ernst, 2010). Miastenia gravis merupakan salah satu penyakit yang telah
dibuktikan secara ilmiah dapat disembuhkan dengan menggunakan akupunktur.
Maka dari itu perlu didalami lebih lanjut bagaimana akupunktur dapat membantu
dalam penyembuhan myasthenia gravis.

BAB II
Tinjauan Pustaka
A.

Miastenia Gravis
1. Etiologi
Latar belakang patogenetik Miastenia gravis melibatkan terutama
antibodi (selain jenis lain, terutama asetilkolin antibodi reseptor (AChR)),
yang merusak neuromuskuler transmisi (Juel, 2007). Pada kebanyakan
pasien hiperplasia timus (70% -85%) dan, dalam beberapa kasus, thymoma
(10% -15%) dapat ditemukan. Miastenia gravis disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor asetilkolin pascasinaps pada sambungan
neuromuskuler, yang menurunkan kapasitas neuromuskuler end-plate
untuk mengirimkan sinyal saraf. Awalnya, dalam menanggapi stimulus
yang menghasilkan depolarisasi, asetilkolin dilepaskan presynaptically
yang menghasilkan dalam potensial aksi otot. Pada Miastenia gravis,
jumlah postsynaptic yang diaktifkan reseptor mungkin tidak cukup untuk
memicu potensial aksi otot. Selanjutnya, dengan berulang-ulang stimulasi,
penurunan pelepasan asetilkolin berkorelasi dengan karakteristik kelelahan
(Vincent et al, 2001).
2. Patofisiologi
Miastenia gravis adalah gangguan sistem saraf perifer yang ditandai
dengan pembentukan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin yang
terdapat di daerah motor end-plate (membran postsinap) otot rangka.
Autoantibodi IgG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin,
mencegah pengikatan asetilkolin ke reseptor sehingga mencegah kontraksi
otot. Akhirnya, reseptor di taut neuromuskular rusak (Corwin, 2009).
Miastenia gravis memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan kelainan
autoimun diperantarai antibodi, antara lain: (1) antibodi kompetitif
reseptor asetilkolin dapat ditemukan pada 80-90% pasien, (2) IgG
ditemukan pada taut neuromuskular, tempat terjadinya kelainan, (3)
pemberian IgG dari pasien miastenia gravis ke hewan coba menghasilkan
tampilan klinis seperti pada penyakit, (4) terapi yang menurunkan

konsentrasi

serum

antibodi

kompetitif

reseptor

asetilkolin

dapat

meningkatkan kelemahan yang terjadi, (5) miastenia gravis dapat diinduksi


ke binatang dengan imunisasi reseptor asetilkolin yang dimurnikan, yang
mendukung konsep bahwa respon imun langsung yang melawan reseptor
asetilkolin adalah penyebab penyakit ini terjadi.
Kebanyakan pasien miastenia gravis memiliki antibodi kompetitif
reseptor asetilkolin nikotinergik subunit alfa pada otot rangka, yang dapat
menyebabkan kehilangan reseptor dan kerusakan membran post sinap
(Schneider-Gold dan Toyka, 2007). Sub unit alfa ini juga merupakan
tempat pengikatan asetilkolin (Shah et al., 2014). Penghambatan
pengikatan antibodi terjadi di sekitar tempat pengikatan asetilkolin dan
biasanya tidak terdeteksi dengan tes laboraturium standar (Schneider-Gold
dan Toyka, 2007).
Autoantibodi kompetitif reseptor asetilkolin diproduksi di timus dan
sistem limfatik oleh limfosit T autoreaktif spesifik asetilkolin reseptor dan
juga limfosit B, dimana terjadinya adalah saat pematangan timus
(Schneider-Gold dan Toyka, 2007).
Pada miastenia gravis, terjadi pengurangan reseptor asetilkolin yang
tersedia pada motor end-plate otot dan pendataran dari lipatan post sinap.
Oleh karena itu, walaupun jumlah asetilkolin yang dilepaskan normal,
hanya sedikit potensial end-plate yang akan dihasilkan, yang nilainya jauh
dibawah ambang batas terjadinya potensial aksi. Pada akhirnya transmisi
neuromuskular

tidak

dapat

terjadi

secara

maksimal.

Transmisi

neuromuskular yang tidak maksimal, disertai dengan aktivitas pre sinap


yang masih normal akan menyebabka penurunan progresif serabut otot
yang diaktivasi oleh impuls saraf sehingga menyebabkan kelelahan pada
pasien (Shah et al., 2014).
Penurunan jumlah

reseptor asetilkolin post sinap dipercayai

disebabkan oleh proses autoimun, dimana anti reseptor asetilkolin


diproduksi dan menghambat reseptor target. Hal ini menyebabkan
peningkatan pergantian reseptor dan kerusakan membran post sinap.

Pengikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin dapat


menyebabkan gangguan pada transmisi neuromuskular, seperti degradasi
molekul reseptor asetilkolin, kerusakan lipatan membran post sinap
sehingga menurunkan tempat ikatan asetilkolin dengan reseptor, serta
hambatan pengikatan asetilkolin pada reseptor (Shah et al., 2014).
Pada penderita miastenia gravis, secara makroskopis otot-ototnya
tampak normal (Muttaqin, 2009). Gejala pada pasien timbul ketika jumlah
reseptor asetilkolin berkurang sampai 30% dari jumlah normalnya. Otot
polos dan otot jantung memiliki antigenisitas yang berbeda dengan otot
rangka, dan biasanya tidak terpengaruh oleh penyakit (Shah et al., 2014).
Jika ada atrofi, hal ini diakibatkan otot yang tidak dipakai. Sedangkan
secara mikroskopis, pada beberapa kasus ditemukan infiltrasi limfosit
dalam otot dan organ-organ lain, tetapi pada otot rangka tidak ditemukan
kelainan yang konsisten (Muttaqin, 2009).
Miastenia gravis memberikan gambaran yang bervariasi pada
kelompok otot yang terkena. Kelemahan pada otot ekstraokuler dan levator
palpebra adalah tanda awal pada kebanyakan kasus miastenia gravis,
terjadi hampir pada semua kasus, dan dapat bertahan terus di otot tersebut
pada 10-15% kasus. Beberapa faktor tertentu menyebabkan otot
ekstraokuler memiliki risiko lebih terkena miastenia gravis. Karakteristik
fisiologis yang unik dari sistem okulomotor mungkin berperan penting
dalam peningkatan risiko ini. Sistem saraf okuler memiliki frekuensi
transmisi yang sangat tinggi, sehingga dapat memperburuk kecacatan
transmisi. Otot ekstraokuler diinervasi oleh serabut saraf tunggal yang
menyebabkan rentan terkena blok transmisi neuromuskular. Serabut
sarafnya juga memiliki lebihs sedikit lipatan tonjolan sinap, sehingga
hanya akan memproduksi reseptor asetilkolin dan kanal natrium yang lebih
sedikit pada membran post sinapnya (Hughes et al., 2004)

Berikut merupakan bagan patofisiologi miastenia gravis:

Gangguan autoimun yang


merusak reseptor asetilkolin
Jumlah reseptor asetilkolin berkurang
pada membran postsinap
Kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel-sel otot
karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membran postsinap pada taut neuromuskular
Penurunan hubungan
neuromuskular
Kelemahan otot-otot

Otot-otot
okular
Gangguan
otot levator
palpebra

Otot wajah, laring, faring

Otot volunter

Otot pernapasan

Regurgitasi makanan ke
hidung pada saat menelan,
suara abnormal,
ketidakmampuan menutup
rahang

Kelemahan
otot-otot
rangka

Ketidakmampuan
batuk efektif,
kelemahan otototot pernapasan

Ptosis danGambar 1. Patofisiologi Miastenia GravisHambatan


(Muttaqin, 2009) Ketidakefektifan
mobilitas
diplopia
pola napas,
Risiko tinggi aspirasi,
fisik,
Ketidakefektifan
3. Manifestasi
Gangguan pemenuhan
Intoleransi
bersihan jalan
nutrisi,
dikarakteristikan melalui
adanya kelemahan napas
yang
GangguanMiastenia gravis
aktivitas
Kerusakan
komunikasi
citra diri
berfluktuasi pada otoverbal
trangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila

sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya


Krisis sangat lemah pada
siang hari dan kelemahan ini akan berkurang miastenia
apabila penderita beristirahat.
Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot
Kematian

ekstraokular atau ptosis dan diplopia. Ptosis yang merupakan salah satu
gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini
disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada

miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya
otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut
kelumpuhan 6 otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis
miastenia gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, dikuti dengan
kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Sewaktu- waktu dapat pula
timbul kelemahan dari otot maseter sehinga mulut penderita sukar untuk
ditutup. Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara
akibat kelemahan dari otot faring, lidah, palatum mole, dan laring sehinga
timbulahparesis dari palatum mole yang akan menimbulkan suara sengau.
Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari
hidungnya.
Pada 85 % pasien, Miastenia gravis menjadi menyeluruh, biasanya
membutuhkan waktu 3 tahun, mempengaruhi esktremitas-khususnya
bagian proksimal, otot-otot bagian aksial tubuh seperti otot leher, otot
wajah dan mata menyebabkan pasien kehilangan ekspresi wajah. Ketika
otot-otot pernafasan melemah, Miastenia gravis dapat mengancam jiwa.
4. Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam
berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal
dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks
tendon biasanya masih ada dalam batas normal. Miastenia gravis biasanya
selalu disertai dengan adanya kelemahanpada otot wajah. Kelemahan otot
wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face dengan
adanya ptosis dan senyum yang horizontal (Howard , 2008).
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan
miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot
palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung
(nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat
cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan

mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga


dapat terjadi aspirasi cairan

yang menyebabbkan penderita batuk dan

tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada myasthenia gravis


menyebabkan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu
penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga
mengalami kelemahan, sehinga terjadi gangguan pada saat fleksi serta
ekstensi dari leher ( Howard, 2008 ).
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota
tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot
anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot
pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.
Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada
ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi
panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantar fleksi jari-jari kaki (Howard, 2008).
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal
napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan
tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal
serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan
berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat
terhadao fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan (Howard, 2008).
Biasanya kelemahan otot-ototekstraokular terjadi secara asimetris.
Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan
tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis.
Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis
akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,
yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata

yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi (Howard ,


2008).
Menurut Ngurah (1991) untuk penegakan diagnosis miastenia gravis,
dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
a.

Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras.


Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan

b.

menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.


Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terusmenerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita
menjadi parau, maka penderita disuruh istirahat. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.
Menurut Ngurah (1991) untuk memastikan diagnosis miastenia gravis,

dapat dilakukan beberapa tes antara lain :


a.

Uji Tensilon (edrophonium chloride)


Uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak

terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara


intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
b. Uji Prostigmin (neostigmin),
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.
c. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian
diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan

itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan berttambah berat.
Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti.
Pemeriksaan Laboratorium
a.

Anti-asetilkolin reseptor antibody


Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu

miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.
80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita
dengan miastenia ocular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering
kali terjadi false positive anti-AChR antibody ( Howard, 2008 ).
b.

Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan

adanya antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot


rangka dan otot jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop
pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu
dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia
muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan miastenia
gravis.
Radiologi
a.

Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi


anteroposterior dan lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat
diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian anterior mediastinum.

b.

Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya


thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ctscan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia
gravis, terutama pada penderita dengan usia tua.

c.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai


pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia

gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya


dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.
Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui 2 teknik :
a. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis
terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS
tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.
b. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum
single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi
dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

5. Tatalaksana
Miastenia Gravis bisa dikontrol dengan beberapa terapi yang ada,
yang dirasakan cukup efektif untuk membantu para penderita Miastenia
Gravis. Terapi-terapi tersebut bisa berupa obat-obatan maupun beberapa
tindakan medis, yaitu:
a.

Anticholinesterase
Anticholinesterase (contohnya mestinon) memperkenankan asetilkolin

untuk tinggal pada persimpangan neuromuskular lebih lama dari biasanya


sehingga dengan begitu, lebih banyak tempat penerima yang bisa
diaktifkan. Neostigmin dapat menginaktifkan atau menghancurkan
kolinesterase sehingga asetilkolin tak segera dihancurkan. Akibatnya,
aktivitas otot dapat dipulihkan mendekati normal, sedikitnya 80-90 % dari

kekuatan dan daya tahan semula. Selain neostigmin (Prostigmin), dapat


juga digunakan piridostigmin (Mestinon) dan ambenonium klorida
(Mytelase), yang merupakan obat-obat analog sintetik lain dari fisostigmin
(Eserine). Obat-obat ini tidak melakukan apapun untuk menyembuhkan
MG, tapi obat-obatan ini dapat memberikan pertolongan sementara untuk
menolong pasien menjadi lebih baik. Beberapa otot mungkin membaik
untuk beberapa jam ketika yang lainnya mungkin tidak merespon atau
bahkan bertambah lemah dengan obat-obatan ini.
b.

Corticosteroid dan Immunosuppressant


Kortikosteroid

(contohnya

prednisone)

dan

immunosupresan

(contohnya imuran) bisa digunakan untuk menekan reaksi abnormal dari


sistem imun yang terjadi pada MG. Di antara preparat steroid, prednisone
paling sesuai untuk Miastenia Gravis, dan diberikan sekali sehari selangseling untuk menghindari efek samping.Pada kasus yang berat, prednisone
dapat diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan
memperhatikan efek samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat
segera memperoleh perbaikan klinis. Disarankan agar diberi tambahan
preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis, maka dosis
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisone secara
mendadak harus dihindari.
c.

Immunoglobulin
Immunoglobulin (IVIg) dimasukkan ke dalam pembuluh darah

terkadang digunakan juga untuk mempengaruhi fungsi atau produksi dari


antibodi

yang

tidak

normal.Penggunaan

immunoglobulin

melalui

pembuluh darah, sama dengan pertukaran plasma, yakni untuk


menghasilkan perbaikan yang lebih cepat untuk menolong pasien melalui
periode sulit dari kelemahan Miastenia atau sebelum menjalani
pembedahan.Pengobatan ini memiliki keuntungan yaitu tidak memerlukan
peralatan khusus untuk jalan masuk ke pembuluh darah. Dosis yang umum
adalah 400 mg/kg per hari untuk 5 hari berturut-turut (total dosis = 2 g/kg).

Perbaikan terjadi pada sekitar 70 % dari pasien, dimulai sekitar 4 sampai 5


hari setelah pengobatan dan dilanjutkan beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Pengobatan ini tidak memiliki pengaruh yang konsisten pada nilai
atau kadar sirkulasi antibodi AChR.
d.

Plasmapheresis
Plasmapheresis atau pertukaran plasma mungkin juga berguna pada

pengobatan MG. Cara ini memindahkan atau mengangkat antibodi tidak


normal dari plasma darah. Kemajuan pada kekuatan otot mungkin terlihat
jelas tetapi biasanya tidak bertahan lama karena produksi antibodi yang
tidak normal masih terus berlanjut. Ketika plasmapheresis dilakukan, ini
akan memerlukan pertukaran yang berulang-ulang. Pertukaran plasma
mungkin khususnya berguna pada saat kelemahan MG yang sangat hebat
atau sebelum menjalani pembedahan.
Plasmapheresis (penarikan plasma) adalah sebuah pengobatan jangka
pendek yang mahal, dimana beberapa liter dari darah diangkat dari
pembuluh darah pasien, diolah dalam sebuah mesin, dan sel darah merah
dikembalikan melalui pembuluh darah ke dalam plasma tiruan (albumin
dan larutan garam). Plasmapheresis dilakukan berulang-ulang untuk 2
minggu ketika manfaat pengobatan jangka pendek sangat diperlukan bagi
pasien, seperti ketika sedang mengalami krisis pernafasan atau sebelum
menjalani pembedahan atau penyinaran. Beberapa pasien menjadi lebih
kuat beberapa hari setelah menjalani proses ini, tapi manfaatnya hanya
berlangsung beberapa minggu saja.
e.

Thymectomy
Thymectomy (pembedahan menghilangkan kelenjar thymus) adalah

pengobatan lain yang digunakan pada sebagian pasien. Kelenjar thymus


terletak di belakang tulang dada dan ini adalah bagian penting dari sistem
imun. Ketika ada tumor pada kelenjar thymus (10-15 %), akan dilakukan
pengangkatan dikarenakan resikonya yang berbahaya. Thymectomy
seringkali mengurangi kehebatan dari kelemahan MG setelah beberapa
bulan. Pada beberapa orang, kelemahan mungkin hilang sepenuhnya. Ini

disebut masa remisi. Tingkat sampai dimana thymectomy bisa dikatakan


menolong, adalah bervariasi pada setiap pasien.
Dalam sebuah bukunya, Harrison mengatakan bahwa harus dibedakan
antara pembedahan untuk menghilangkan thymoma, dengan thymectomy
sebagai

pengobatan

menghilangkan

bagi

thymoma

Miastenia

Gravis.

Pembedahan

diperlukan karena adanya

untuk

kemungkinan

menyebarnya tumor lokal, walaupun banyak thymoma jinak. Dengan


ketidak adaan tumor, fakta-fakta yang ada memperkirakan hingga 85 %
pasien mengalami perbaikan setelah thymectomy, dan karena ini sekitar 35
% mencapai remisi bebas obat. Tetapi, perbaikan ini biasanya berjalan
lambat hingga hitungan bulan atau tahun.
Keuntungan dari thymectomy yaitu menawarkan manfaat jangka
panjang, dalam beberapa kasus terjadi berkurangnya kebutuhan untuk
meneruskan pengobatan medis. Dalam tinjauan dari potensi manfaat dan
resiko, tidak berarti di tangan yang ahli, thymectomy memperoleh
penerimaan yang cukup luas sebagai pengobatan bagi MG. Dengan
kesepakatan bahwa thymectomy harus dilakukan pada pasien-pasien MG
umum antara usia puber dan kurang dari 55 tahun, apakah thymectomy
direkomendasikan untuk anak-anak dan orang dewasa diatas 55 tahun, dan
apakah thymectomy juga perlu dilakukan pada pasien yang kelemahannya
terbatas hanya pada mata saja, hal ini masih merupakan perkara yang
diperdebatkan. Thymectomy harus dilakukan di rumah sakit yang sudah
terbiasa melakukannya dan memiliki staf yang berpengalaman dalam
proses sebelum dan sesudah pembedahan, pembiusan serta teknik
pembedahan thymectomy.
B.

Akupunktur
1. Definisi
Kata Acupuncture terdiri dari dua kata Latin: acus: jarum dan
puncture: tusukan. Ini adalah prosedur pengobatan dengan cara

menusukkan jarum baja, perak atau emas ke poin akupuntur spesifik


(Caboglu, 2006).
Teori umum akupuntur ialah adanya suatu pola aliran energi (Qi) di
seluruh tubuh yang esensial bagi kesehatan. Gangguan aliran Qi diyakini
menyebabkan penyakit. Qi mengalir pada meridian yaitu suatu sistem
saluran yang melintang dan membujur yang dilalui Qi. Meridian terdiri
atas jalur internal dan eksternal. Meridian jalur eksternal meliputi kulit
dimana titik akupuntur berada dan jalur internal terhubung dengan 12
organ viscera, selain itu juga terdapat 8 meridian istemewa (Ma, 2009).
Salah satu pendapat tentang bagaimana akupuntur berfungsi adalah
serabut saraf pada titik akupuntur terstimulasi, menghasilkan sinyal yang
dihantarkan sepanjang jalur saraf dan menghasilkan efek terapeutik
melalui dua kemungkinan mekanisme yaitu:
a. Efek lokal yaitu sistem saraf menghantarkan sinyal secara langsung dari
titik akupuntur ke organ yang diterapi.
b. Efek sentral yaitu sistem saraf menghantarkan sinyal ke otak terlebih
dahulu kemudian otak menghasilkan respon yang berpengaruh terhadap
organ target (Dharmananda, 2001).

2. Fisiologi
Terdapat dua hal yang sangat berbeda dalam menentukan titik
akupunktur yang dipilih dalam pengobatan nyeri pada umumnya yaitu:
a. Pemilihan titik akupunktur yang lokasinya berada di luar pembagian
segmen miotom, neurotom dan dermatom disebut akupuntur
heterosegmental.
b. Pemilihan titik akupunktur yang lokasinya berada di segmen
dermatom yang sama disebut akupuntur segmental.
Kedua metode pemilihan titik di atas memiliki mekanisme kerja yang
berbeda. Pada akupuntur non segmental terdapat tiga mekanisme
penekanan nyeri yaitu mekanisme serotonergik, mekanisme noradrenergik

dan mekanisme diffuse noxious inhibitory controls (DNIC). Pada


akupunktur segmental melalui mekanisme enkefalinergik (Filshie, 1998).
Akupuntur Heterosegmental
a. Mekanisme Serotonergik
Rangsangan tusukan jarum akan diteruskan dari sel marginal kornu
posterior medulla spinalis ke nukleus ventroposterior lateral thalamus yang
akan diproyeksikan ke kortex dan dapat dikenali di kortex, tetapi di otak
tengah (mid brain) akson ini membuat kolateral ke periaqueductal grey
matter (PAG). PAG meneruskan rangsang ke bawah menuju nukleus raphe
magnus (NRM) di tengah medulla oblongata. Hal ini memicu serabut
serotonergik mengirim rangsang ke stalked cells (St) yang akhirnya
menghambat

sel

substansia

gelatinosa

(SG)

dengan

mekanisme

enkephalinergik (ENK) dan menghambat rangsang nyeri yang dihantarkan


oleh serabut C.
b. Mekanisme Noradrenergik
Jalur perangsangan akupunktur yang menuju ke nukleus ventral
posterior lateral thalami memberi kolateral ke :
1.) Nukleus paragigantocellularis lateralis

(PGC)

melepaskan

neurotransmitter inhibisi noradrenergik di tingkat spinal cord.


2.) Lokus coeruleus (LC) di pertemuan antara medulla oblongata dan
pons merupakan akson-akson yang melepaskan noradrenergik
(NAD), secara langsung menghambat spinal neuron yang masuk ke
c.

kontak sinaptik.
Diffuse Noxious Inhibitory Controls (DNIC)
Subnukleus retikularis dorsalis (R) di kaudal medulla oblongata.

Kemudian turun dengan menghambat rangsang nyeri yang sampai di


medulla spinalis.
Mekanisme Akupunktur Spinal Segmental
C primary afferen polymodal nociceptor meneruskan rangsang ke selsel substansia gelatinosa (SG) di kornu dorsalis superfisial (lamina II
Rexed), kemudian diteruskan ke sel-sel wide dynamic range (WDR) yang
akson-aksonnya berlanjut ke otak melalui traktus spinoretikularis yang
akhirnya diterima sebagai rasa nyeri. Reseptor A primary afferent

pinprick meneruskan rangsang ke sel-sel marginal (M) ( lamina I Rexed )


yang meneruskannya ke otak melalui traktus spinothalamikus dan
membuat rangsang tusukan jarum dapat dirasakan, serta melalui
interneuron meneruskan rangsang ke stalked cells yang bersifat
enkephalinergik (St) yang akan melepaskan enkephalin yang menghambat
sel-sel SG. Hal ini menghambat informasi rangsang nyeri yang datang
kemudian karena tidak diteruskan (Bowsher, 2001).
3. Teknik Stimulasi Rangsang terhadap Titik Akupunktur
Pengobatan akupunktur tidak terbatas pada tusuk jarum, tetapi juga
dapat mencakup: akupresur, elektro-akupunktur, akupunktur laser,
moxibustion, cupping, menggores dan magnetotherapy (WHO, 1999).
Stimulasi rangsang terhadap titik akupunktur dapat dilakukan dalam
berbagai cara, diantaranya:
a. Akupresur
Akupresur memiliki akar dalam pengobatan Cina dan merangkul
filosofi Yin dan Yang, meridian energi, lima unsur dan konsep Ki, atau
energi. Konsep yang mempengaruhi keseimbangan energi melalui titik
akupuntur pada meridian mirip dengan akupunktur di mana jarum atau
panasan diterapkan untuk acupoints (Gach, 1993). Dalam beberapa bukti
kaitannya akupresur dengan nyeri umumnya konsisten dan positif. Ada
juga bukti akupresur memberikan dampak terhadap tidur yang
menguntungkan untuk orangtua. Studi akupresur untuk mual dan muntah
kadang-kadang tidak konsisten dengan bukti kuat untuk mual pascaoperasi, dan mungkin perlu penelitian lebih lanjut. Bukti untuk nyeri, mual
dan

muntah

dan

tidur

mendukung

pendekatan

terpadu

dengan

menggunakan akupresur untuk kondisi bermasalah sebagai terapi


konvensional (Robinson et al., 2011).
b. Akupunktur konvensional
Teknik akupunktur konvensional adalah teknik akupunktur yang
menggunakan jarum sekali pakai. Dokter akan menentukan lokasi titik-

titik akupunktur kemudian sejumlah jarum di tusukkan pada titik-titik


tersebut dan dibiarkan antara 20-3- menit sebelum nantinya jarum tersebut
dicabut kembali (AACP, 2011).
c. Elektrik: disebut Elektro Akupunktur
Electroacupuncture (EA) adalah teknik di mana dua jarum
dimasukkan sebagai elektroda untuk melewatkan arus listrik. Setidaknya
salah satu jarum terletak pada acupoint. Meskipun electroacupuncture
(datang kurang dari 50 tahun) semakin populer, teknik akupunktur yang
lebih umum digunakan, akupunktur manual (MA) melibatkan penyisipan
jarum halus ke dalam titik akupuntur, diikuti oleh manipulasi manual
(datang lebih dari 2.000 tahun) seperti memutar jarum atau mengangkat
dan menyodorkan. Salah satu keuntungan utama dalam menggunakan EA
dalam praktek klinis atau penelitian akupunktur adalah kemampuannya
untuk mengatur frekuensi dan intensitas stimulasi obyektif dan
quantifiably (Napadow et al., 2005).
Dalam penelitian Napadow et al. (2005) menyampaikan bahwa EA
menghasilkan peningkatan sinyal yang lebih luas daripada MA dan hasil
ini mendukung hipotesis bahwa sistem limbik merupakan pusat efek
akupunktur.
d. Moxa dan cupping
Adalah teknik yang digunakan dengan memberikan efek kehangatan
pada titik akupunktur, baik pada pangkal jarum (moxabustion) atau ke
daerah-daerah yang memerlukan peningkatan stimulasi aliran Qi
(cupping).

Efek yang dihasilkan berupa peningkatan sirkulasi,

mengeluarkan sisa hasil metabolisme tubuh dan mengurangi kejag pada


otot serta rasa nyeri (AACP, 2011).
e.

Laser: disebut Laser Akupunktur


Prinsip laser dengan pancaran energi tinggi sangat ideal untuk

melakukan terapi bebas dari rasa sakit dan efek samping. Akupunktur laser
telah ada selama lebih dari 20 tahun, namun kesetaraan jarum dan

stimulasi pengobatan yang sebelumnya tidak diketahui. Mungkin


akupunktur laser klasik sebaiknya disebut "laser pen treatment" karena
metode ini hanya mencakup mengobati titik tunggal bergantian dan tidak
secara bersamaan. Selain itu, output energi secara tepat membuat efektif
stimulasi yang mendalam dari titik akupunktur mustahil, atau yang hanya
dapat diwujudkan melalui mekanisme refleks (Weber et al, 2007).
Karena kurangnya bukti ilmiah, perangkat laser akupunktur apapun
telah ditolak oleh US Food and Drug Administration. Banyak ilmuwan
menolak untuk mempertimbangkan metode ini sebagai metode akupunktur
asli karena. Bahkan upaya untuk membuktikan efek yang dihasilkan dari
laser pen treatment dengan neuromonitoring dari sistem saraf pusat tetap
tidak memuaskan (Weber et al, 2007).
Solusinya mungkin bisa terdiri dari apa yang disebut jarum laser, yang
harus mengarah pada stimulasi simultan dengan pasokan energi terukur
dan hasil yang dapat diukur. Untuk tujuan ini, "needles" menggambarkan
ujung cahaya yang mengandung serat yang membawa pancaran yang
dihasilkan dalam dioda laser untuk tubuh, dan memperkenalkan mereka
dengan cara konatak langsung. Hanya sinar yang sangat terfokus yang
menembus tubuh seperti jarum untuk memastikan stimulasi akupunktur
yang memadai. Dengan demikian, laser jarum akupunktur lahir (Weber et
al, 2007).
Laser jarum akupunktur dapat menjadi alternatif yang potensial untuk
akupunktur jarum klasik, termasuk keuntungan untuk rangsangan pada
beberapa titik, bersamaan tanpa efek trauma, nyeri, atau samping (Endres
et al., 2007; Litscher dan Schikora, 2004).
Sementara itu, menurut Chernyak et al (2006), stimulasi terhadap
titik akupunktur secara garis besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
a. metode invasif
1) Dry needle
Yang termasuk metode invasif yaitu, metode jarum manual dan
elektroakupunktur.
2) Wet needle, misalnya aquakupunktur (injeksi).

b. metode non-invasif.
Yang termasuk dalam metode non-invasif adalah akupresur, laser,
moxibustion serta penerapan berbagai patch dan pelet perangsang pada
titik akupunktur.
C.

Akupunktur pada Myastenia Gravis


Di tengah masyarakat sekarang ini banyak di jumpai pasien dengan

kelumpuhan, apakah kelumpuhan pada seluruh badan atau separuh badan yang
dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas pasien. Rangkaian sel saraf berjalan
dari otak melalui batang otak keluar menuju otot yang disebut motor pathway.
Fungsi otot yang normal membutuhkan hubungan yang lengkap disepanjang
semua motor pathway. Adanya kerusakan pada ujungnya menurunkan
kemampuan

otak

untuk

mengontrol

pergerakan

pergerakan

otot.

Penatalaksanaan kelumpuhan atau kelemahan otot yang disebut juga program


rehabilitasi terdiri dari : terapi fisik, terapi kerja, akupuntur, terapi wicara,
Constain

Induce

Treatment

Therapy,

Functional

Electrical

Stimulation,

elektroterapi (Sunardi; 2013).


Miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling dapat
diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis. Antikolinesterase
biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien
dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang
rutin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat dilakukan dengan obat-obatan,
timomektomi ataupun dengan imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang
dapat memberikan prognosis yang baik pada kesembuhan miastenia gravis (Anom
Arie W et al., 2013).
Menurut Wang ( 2012) ada tiga pilihan terapi untuk miastenia gravis
menggunakan metode pengobatan china (akupunktur). Ketiga terapi tersebut
diantaranya:
1.

Qi-deficiency in the spleen and stomach

2.

Yang-deficiency in the spleen and kidneys

3.

Yin-deficiency in the liver and kidney

4. Deficiency in both qi and blood.

Menurut Wang, stimulasi jalur meridians yang berhubungan langsung


dengan organ dalam dapat menghasilkan stimulasi yang mengakibatkan aktifasi
dari qi dan blood, regulasi yin dan yang, menguatkan tendo dan tulang serta
memberikan cairan lubrikan pada sendi. Akupunktur dapat digunakan sebagai
terapi utama maupunterapi adjuvan. Pengobata diberikan setiap hari selama 10
hari dengan memilih 4-5 titik akupunktur pada setiap pengobatan dan
mempertahankannya selama 20-30 menit. Teknik penjaruman bisa dilakukan
berdasarkan tujuan. Untuk kelemahan kelopak mata dapat dipilih titik akupunktur
pada wajah diantaranya: zanzhu, yangbai, yuyzo, sibai, dan jingming. Sedangkan
untuk kelemahan anggota gerak dapat dipilih titik akupungktur diantaranya: iagu,
neiguan, waiguan, sanyinjiao, taichong, dazhui, piyu, yushen, dan zusanli.
Selain penelitian di atas terdapat juga penelitian yang dilakukan oleh Cui
et al (2007) yang menyatakan dalam penelitiannya bahwa terapi pemanasan
menggunakan elektro akupnunktur pada titik Tanzhong (CV17), Shimen (CV5),
Guanyuan (CV4), Zhongwan (CV12), Yanglingquan (GB34) disertai pemberian
pengobatan barat memberikan nilai yang signifikan terhadap efek terapi pada
miastenia gravis dimana salah satu mekanismenya karena adanya reaksi dengan
meregulasi IL-4.
Penelitian lain mengenai akupunktur menyebutkan bahwa terdapat
beberapa teori yang mengatakan akupuntur dapat digunakan sebagai terapi
analgesia atau antinyeri (Wijaya, 2013) :
1.

Teori endorfin yang menyatakan bahwa akupuntur menstimulasi sekresi


endorphin di dalam tubuh, terutama enkephalin yang mempunyai efek
analgesia.

2.

Teori sistem saraf otonom yang mengungkapkan akupunktur mempengaruhi


susunan saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan parasimpatis yang berperanan
dalam patofisiologi nyeri.

3.

Teori neurotransmitter yang menyatakan akupunktur dapat mempengaruhi


kadar neurotransmitter spesifik, seperti serotonin dan noradrenalin yang
terlibat dalam proses timbulnya nyeri.

4.

Teori Gate Control yang menyatakan bahwa persepsi nyeri diatur oleh bagian
dari sistem saraf yang mengatur impuls yang akan diinterpretasikan sebagai
nyeri.
Permasalahan nyeri merupakan problema yang menyangkut seluruh
umat manusia. Akupunktur sejak ribuan tahun lalu telah menunjukkan
keberhasilannya untuk mengurangi bahkan membebaskan manusia dari
penderitaan nyeri. Sejak tahun 1985 World Health Organization (WHO)
merekomendasikan akupunktur sebagai satu indikasi untuk pengobatan nyeri.
Dengen diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1186 tahun 1996
tentang Pemanfaatan Akupunktur di Sarana Pelayanan Kesehatan, maka perlu
ditunjukkan manfaat akupunktur unruk terapi mengurangi nyeri, baik nyeri
akut maupun kronis. frekuensi elektroakupunktur yang paling optimal untuk
menurunkan nyeri adalah frekuensi rendah yaitu 2 Hz (Sudirman S dan
Hargiyanto, 2011).
Akupunktur dapat menghilangkan frustasi, kaku otot, keram perut dan
kaki, kelelahan, lemah, sensasi kolaps, dan kesulitan bernapas akibat gangguan
emosi melalui stimulasi titik khusus untuk melepaskan emosi yang berlebihan
(Anom Arie W et al., 2013).

BAB III
Penutup
A.

Simpulan
Akupunktur terbukti dapat digunakan sebagai terapi utama maupun
adjuvan pada kasus kelemahan otot seperti pada miastenia gravis.
Stimulasi terhadap titik akupunktur zanzhu, yangbai, yuyzo, sibai, dan
jingming dapat digunakan untuk terapi kelemahan kelopak mata.
Sedangkan untuk kelemahan anggota gerak dapat dipilih titik
akupungktur

diantaranya:

iagu,

neiguan,

waiguan,

sanyinjiao,

taichong, dazhui, piyu, yushen, dan zusanli.


Jenis elektroakupunktur juga dapat digunkan sebagai terapi pada kasus
B.

miatenia gravis.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait titik-titik akupunktur
lainnya yang dapat berfungsi sebagai terapi khususnya untuk terapi
miastenia grafis.
Kegiatan refrat dapat terus dilanjutkan keberlangsungannya agar
mahasiswa dapat memiliki pengetahuan lebih tentang terapi akupunktur
serta memberikan informasi terkini bagi masyarakat terkait metode
akupunktur khususnya sebagai terapi pilihan bagi miatenia gravis.

Daftar Pustaka
Acupuncture association of Chartered Physiotherapists (AACP) (2011). What is
acupuncture?.
http://www.aacp.org.uk/public-sp-31531/what-isacupuncture - diakses Oktober 2014
Anom Arie WAA, Adnyana MO, Widyadharma IPE (2013). Diagnosis dan
tatalaksana miastenia gravis. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana.
Bowsher
David
(2001).
Mechanisms
of
Acupuncture.
https://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780443049
767/9780443049767.pdf -- Diakses Oktober 2014.
Caboglu, M.T. (2006). The Mechanism of Acupuncture and Clinical
Applications. Turki: Taylor & Francis LLC.
Chernyak GV, Sessler DI (2005). Preoperative acupunktur and related techniques.
Anesthesiology, 102 (5): 1031-1078.
Chon TY, Lee MC (2013). Acupuncture. Mayo Clinic Proceeding, 88 (10): 11411146.
Corwin EJ (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC, p: 264.
Dharmananda.
(2001).
Zusanli
(Stomach-36).
http://www.itmonline.org/arts/pc6.htm -- Diakses Oktober 2014
Endres G, Diener H, Maier C, Bwig G, Trampisch H, Zenz M (2007).
Acupuncture in chronic headache. Dtsch Med J. 104(3):114-122.
Ernst E (2010). Acupuncture. The Lancet, 11: 2.
Filshie J, White A (1998). Medical Acupuncture : a Western Scientific Approach.
Edinburgh: Churchill Livingstone.
Gach M (1993). Acupressure: How to Cure Common Ailments the Natural
Way. London: Piatkus Books.
Harrison. Priciple of Internal Medicine Fourteenth Edition. New York : McGrawHill.
Howard, JF (2008). Myasthenia Gravis. Dalam: Rosyid FN. Mengenal tentang
miastenia gravis dan penatalaksanaannya. Surabaya: Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surabaya, pp: 16-31.

Hughes BW,De Casillas MLM, Kaminski HJ (2004). Pathophysiology of


myasthenia gravis. Seminars in Neurology, 24(1).
Juel V, Massey J (2007). Myasthenia gravis. Orphanet J of Rare Dis, 2:44.
Koch JA, Steele MR, Koch LM (2013). Myasthenia gravis. Journal of
Gerontological Nursing, 39 (12) : 11-15.
Litscher G, Schikora D (2004). Laserneedle-Acupuncture. Pabst Science
Publishers.
Ma Ling. (2009). Acupuncture as complementary therapy in chemoterapy-induced
nausea and vomiting. Baylor Univ Med Center. 22 (2) : 138-141.
MGFA, Inc (2001). Facts About Autoimmune Myasthenia Gravis for Patients &
Familie. www.myasthenia.org.
Muttaqin A (2009). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persarafan. Jakarta: Salemba Medika, p: 229.
Napadow V, Makris N, Liu J, Kettner NW, Kwong KK, Hui KKS (2005). Effects
of Electroacupuncture versus Manual Acupuncture on the Human Brain
as Measured by fMRI. Human Brain Mapping. 24:193205.
Price, Sylvia Anderson dan Wilson, Lorraine McCarty. Fisiologi Proses-Proses
Penyakit. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Robinson L, Lorenc A, Liao X (2011). The evidence for Shiatsu: a systematic
review of Shiatsu and acupressure. BMC Complement Altern Med. 11:
88.
Romi F, Gilhus NE, Aarli JA (2005). Myanthenia gravis: cliical, immunological,
and therapeutic advances. Acta Neurol, 111: 134-141.
Schneider-Gold C, Toyka KV (2007). Myasthenia gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl, 104 (7): A 420-426.
Shah AK, Goldenberg WD, Lorenzo N, Lopate G, Talavera F (2014). Myasthenia
gravis.
http://emedicine.medscape.com/article/1171206overview#aw2aab6b2b4. diakses Oktober 2014
Sudirman S, Hargiyanto (2011). kajian teknologi kesehatan atas perbedaan efek
analgesia dari elektroakupunktur dengan frekuensi rendah, kombinasi,
dan tinggi, pada nyeri punggung bawah. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan Vol. 14 No. 2: 203208
Vincent A, Palace J, Hilton-Jones D (2001). Myasthenia gravis. The Lancet, 357:
2122-2128

Wang K (2012). Myasthenia gravis. http://acuherb.us/myasthenia-gravis/ - diakses


oktober 2014.
Wang SH, Cui X, Feng J(2007). [Electroacupuncture warming therapy combined
with western medicine for treatment of myasthenia gravis and effect on
IL-4 level in the patients]. Chinese Acupuncture & Moxibustion, 27 (12):
901-903.
Weber M, May TF, Wolf T (2007). Needles of Light: A New Therapeutic
Approach. Medical acupuncture. 19(3): 141-151.
WHO (1999). Guidelines on basic training and safety in acupuncture. World
Health
Organization.
http://whqlibdoc.who.int/hq/1999/WHO_EDM_TRM_99.1.pdf - Diakses
Oktobr 2014.
Wijaya, Surya (2013) akupunktur, metode penghilang nyeri dari masa ke masa.
scripta: Jurnal Ilmiah Kedokteran Universitas Sumatera Utara, 1 (2). pp.
59-62. ISSN 2088-8686
.

Anda mungkin juga menyukai