Anda di halaman 1dari 9

RESILIENSI PEREMPUAN DEWASA MUDA YANG PERNAH

MENGALAMI KEKERASAN SEKSUAL DI MASA KANAK-KANAK


Hyu Sisca1
Clara Moningka2
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Tanjung Duren Raya No. 5, Jakarta 11470
2
clara_moningka@goggo.com.au

Abstrak
Kekerasan seksual yang terjadi di masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial
karena membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Angka
kasus kekerasan seksual pada anak meningkat setiap tahunnya. Kemampuan resiliensi
dibutuhkan anak agar dapat tumbuh kembali rasa percaya dari individu yang sudah
dirusak oleh pelaku kekerasan seksual tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik
kualitatif dalam menganalisa data. Data yang diperoleh melalui proses wawancara
mendalam. Jumlah subyek penelitian adalah 3 orang sesuai dengan kriteria subyek
penelitian yang sudah ditentukan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kemampuan
resiliensi yang diperoleh dari lingkungan serta dari segi spiritual, yaitu melakukan
pendekatan diri kepada Tuhan. Hal ini membawa dampak seperti diterimanya nilai-nilai
atau ajaran-ajaran yang positif dan juga menjadikan Tuhan sebagai pegangan hidup
yang kokoh untuk mencari kebermaknaan dalam peristiwa kekerasan seksual yang
dialami. Sementara itu, subyek yang tidak mengalami resilien dikarenakan faktor
internal dirinya sendiri yang cenderung menyalahkan keadaan dan orang lain di
sekitarnya sehingga sulit untuk dapat menerima masa lalunya. Penelitian ini
menunjukkan gejolak dalam jiwa korban kekerasan seksual dalam menghadapi dampak
negatif yang dihasilkan untuk memiliki kemampuan resiliensi. Apa dan bagaimana cara
subyek melangkah ke proses resiliensi dapat menjadi pembelajaran bagi korban
kekerasan seksual yang sangat banyak jumlahnya.
Kata Kunci: perempuan dewasa muda, kekerasan seksual pada anak-anak, resiliensi

RESILIENCE IN YOUNG ADULT WOMAN


WITH SEXUAL COERCION IN HER CHILDHOOD
Abstract
Child Sexual Abuse (CSA) is a crucial event because it caused a long term negative effect
on childs live during adulthood. CSA has increasing each and every year, while the
prevalence shown that woman more vulnerable to be a victim than man. This fact has
been an interest subject for researcher because of the sleeper-effect that formed during
CSA and make woman struggling to overcome the traumatic. The ability to overcome
traumatic and the negative effect of CSA is called resiliency. Resiliency can be formed
from the internal and also external factor. This research is using qualitative technique.
Data gathered from in-depth interview. The subject is 3 people according to the
researchs criteria. The result shown that resiliency not only fundamentally formed from
environment, but also from spiritually involvement. Religious has impact positive effects
on victims lives. It strengthened the resiliencys aspects. Meanwhile, victim that not
successfully resilience is because of internal factors that involved distorted belief that
made victim is find uneasy to accept CSA on their live. This research described the

Sisca, Moningka, Resiliensi Perempuan ...

61

struggling and turmoil in victims psyche to overcome negative traumatic effects until
they are fully resilience. What and how victims resilience can be a model for other
victim to learn so that they can be resilience as well.
Key Words: womans young adult, child sexual abuse, resiliency

PENDAHULUAN
Di Indonesia saat ini, kasus kekerasan terhadap anak mulai mendapat perhatian yang terekspos oleh media. Pada
kuartal pertama tahun 2009, yakni dari
bulan Januari Maret, diperoleh data dari
Komnas Perlindungan Anak terdapat 602
kasus kekerasan pada anak-anak. Menurut Seto Mulyadi, 62% dari kasus kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual.
Menurut data demografis berdasar
jenis kelamin diketahui bahwa 81.43 %
korban adalah anak perempuan, sementara 18.57% adalah anak laki-laki (Komnas
PA, 2006). Irwanto (2004) menyatakan
bahwa hal ini memang dapat dipahami
karena posisi sosial perempuan dalam
budaya Indonesia memang lebih rendah
daripada laki-laki sehingga menjadi lebih
rentan.
Kekerasan seksual pada anak memberikan dampak traumatis yang berbedabeda pada seseorang dan dapat menjadi
sangat mengkhawatirkan sebab dapat
menimbulkan dampak jangka panjang di
sepanjang kehidupan anak. Pada tahun
1993, Kendall-Tackett, Williams, dan
Finkelhor (dikutip oleh Santrock, 2004)
menemukan bahwa dampak terbesar yang
akan terus berlanjut hingga pada kehidupan dewasanya adalah ketakutan dan
rendahnya harga diri. Whitffen dan
MacIntosh (2005) menemukan bahwa
pengalaman kekerasan seksual di masa
anak-anak berhubungan dengan stress
emosional di masa dewasa dan kesulitan
menjalin relasi intim saat dewasa (Rice,
1999).
Kemampuan seseorang untuk dapat
berhasil dalam mengatasi atau bangkit
kembali dari pengalaman hidup yang
menyakitkan disebut dengan kemampuan

62

resiliensi. Pembentukan resiliensi akan


menghasilkan 3 aspek utama, yakni I
have, I can, dan I am (Grotberg,
1999)..
Resiliensi dapat terjadi pada masa
dewasa dimana seseorang memiliki banyak kesempatan, sumber-sumber, dan
perubahan-perubahan sosial. (Parton dan
Wattam, 1999). Adaptasi pada dewasa
muda dapat terjadi sebagai respon atas
tanggungjawab dan tuntutan yang baru,
kejadian-kejadian traumatis, atau transformasi kebudayaan yang besar. Oleh
karena itu, peneliti menganggap bahwa
usia yang baik untuk melihat kemampuan
resiliensi seseorang adalah di usia dewasa
muda.
METODE PENELITIAN
Peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif sebab menggambarkan
suatu proses dan menekankan pada kedalaman suatu kasus tertentu. Subyek
penelitian ini berjumlah 3 orang dengan
kriteria perempuan dewasa muda yaitu
berusia 19-40 tahun, yang pernah mengalami kekerasan seksual pada masa
kanak-kanak.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan wawancara mendalam. Data
yagn dikumpulkan adalah gambaran
umum subjek, derajat trauma, aspek resiliensi, dan faktor risiko dan protektif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Subyek
Subyek yang diteliti berjumlah 3
orang. Subyek diberi inisial untuk menjaga kerahasiaannya. Masing-masing subjek berinisial A, B, dan F. Untuk kete-

Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008

rangan lebih jelas dapat dilihat pada


Tabel 1.
Faktor demografi (Tabel 1) sangat
penting untuk dilihat dalam hubungannya
dengan pengalaman dan trauma yang
dialami subjek. Ketiga subjek berusia 23,
24, dan 26 tahun. Beberapa karakteristik
subjek sama, yaitu status perkawinan,
agama, pendidikan, dan suku bangsa.
Urutan dalam keluarga dan pekerjaan
berbeda pada ketiganya, meskipun subjek
B dan F sama sebagai anak kedua.
Tabel 2 menunjukkan derajat trauma subjek A. Pelaku kekerasan seksual
pada subjek A adalah tetangga yang
sudah cukup dekat dengannya. Kekerasan seksual terjadi lebih dari tiga (3)
kali dan berlangsung sekitar 30 menit.
Kekerasan seksual ini dialami saat subjek
masih sangat kecil, yaitu berumur 4 atau
5 tahun (subjek tidak mengingat umurnya

secara tepat saat mengalami kekerasan


seksual). Pada umur 4 atau 5 tahun subjek
belum mampu untuk membela diri
bahkan
mungkin
belum
mampu
membedakan yang salah dan yang benar,
apalagi tidak terjadi kekerasan fisik. Hal
ini mungkin salah satunya yang menyebabkan subjek mengalami kekerasan
seksual sampai lebih dari satu kali.
Korban menceritakan pengalamannya sama ibu korban, tapi sayangnya
korban malah merasa disalahkan. Tanggapan ibu korban mungkin menjadi
penyebab rasa pesimis, mementingkan
diri sendiri, mudah tersinggung, dan
rendah diri. Tetapi subjek masih bersedia
mengungkapkan pengalaman pahit yang
dialaminya. Subjek bercerita saat pertama dia menyingkap kekerasan yang
dialami sama orang yang signifikan, dia
merasakan emndapatkan respon baik.

Tabel 1. Gambaran Umum Subyek


Keterangan
Usia
Status
Agama
Pendidikan
Suku
Urutan dalam
keluarga
Pekerjaan

A
24 tahun
Single
Katolik
Sarjana
WNI keturunan Cina
Anak ke 3 dari 3
bersaudara
Karyawan administrasi

Jenis
Pelaku
Durasi
Onset
Keadaan dimana korban
menceritakan pengalamannya
Struktur kepribadian
Gambaran kekerasan
Reaksi pertama dari orang
yang
signifikan
saat
melakukan penyingkapan

B
23 tahun
Single
Kristen
Sarjana
WNI keturunan Cina
Anak ke 2 dari 5
bersaudara
Pemasaran

F
26 tahun
Single
Kristen
Sarjana
WNI keturunan Cina
Anak ke 2 dari 2
bersaudara
Guru privat

Tabel 2. Derajat Trauma pada A


Extrafamilial
Tetangga; hubungan cukup dekat dengan korban.
Lebih dari 3 kali, selama + 30 menit
Usia preschool (4 atau 5 tahun)
Tidak kondusif karena kondisi lingkungan keluarga terutama ibu yang
suka menyalahkan korban.
Pesimis, mementingkan diri sendiri, mudah tersinggung, rendah diri
Tidak ada kekerasan fisik
Baik, tidak menunjukkan sikap mengasihani, cukup empati saat
mendengarkan cerita, tidak bersikap menghakimi, dan membuat korban
ingin melakukan penyingkapan pada orang lain seperti pada teman
baiknya.

Sisca, Moningka, Resiliensi Perempuan ...

63

Dampak dari kekerasan yang


dialami dapat dilihat dari aspek resiliensi,
seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Dari dalam diri subjek, dia merasa tidak
disukai orang di sekitarnya, merasa tidak
berharga, merasa tidak ada yang menyayangi, tidak percaya diri, tapi masih yakin
bahwa segala sesuatu akan berakhir
dengan baik. Harapan ini tentunya dapat
menjadi modal bagi subjek untuk bertahan hidup dan berperstasi dalam pekerjaannya.
Dilihat dari sumber daya eksternal,
subjek seakan-akan hidup sendiri dan
tidak mempercayai keluarga dan orang
lain. Subjek merasa tidak memiliki keluarga yang dapat diandalkan; meskipun
memiliki teman, subjek membatasi hubungan sosialnya dengan temannya;
subjek tidak memiliki seseorang yang
bisa membimbing atau mengarahkannya;
dan subjek merasa tidak memiliki orang
yang memahami dirinya. Dampak dari
kekerasan ini pada keahlian ditunjukkan
dengan tidak mampunya subjek terbuka
pada orang lain, tidak dapat menerima

dirinya, dan tidak dapat emnjalani


hubungan dekat dengan orang lain.
Faktor risiko dan protektif dapat
dilihat pada Tabel 4. Risiko yang bisa
membuat subjek melakukan hal yang
buruk adalah adanya permasalahan keluarga, kekerasan seksual di masa kanakkanak, dan pergaulan buruk. Sedangkan
faktor protektif yang mungkin dapat
melindungi subjek dari hal yang tidak
baik adalah adanya teman yang memberikan dukungan sosial dan harapan
akan amsa depan.
Kekerasan pada subjek B lebih
menyedihkan, seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 5. Pelaku bahkan lebih dari
satu orang, dan merupakan anggota keluarga dekat, yaitu sepupu dan paman.
Kekerasan seksual dialami berkali-kali,
bahkan sampai lupa frekuensi dan lamanya. Usia subjek saat mengalami kekerasan sudah lebih tinggi dibandingkan
subjek A, yaitu antara 9-11 tahun. Pada
kisaran umur ini seharusnya subjek sudah
lebih paham tentang hal baik dan salah.

Tabel 3 Aspek-aspek Resiliensi A


I am
(Sumber Daya Internal)
A merasa tidak disukai
orang-orang sekitarnya
A merasa tidak berharga

A merasa tidak ada yang


menyayanginya
A tidak percaya diri

I have
(Sumber Daya Eksternal)
A tidak memiliki keluarga yang
dapat diandalkan
A memiliki teman yang memberi
dukungan sosial namun A
membatasi hubungan sosialnya ini
A tidak memiliki seseorang yang
membimbing atau mengarahkan
A merasa tidak memiliki orang yang
memahami dirinya

I can
(Keahlian)
A tidak mampu terbuka dengan
orang lain
A tidak dapat menerima dirinya

A tidak dapat menjalin hubungan


yang dekat dengan orang lain

A yakin bahwa segala sesuatu


akan berakhir dengan baik

Tabel 4. Faktor-faktor Risiko dan Protektif pada A


1.
2.
3.

64

Faktor-faktor Risiko
Ada permasalahan dalam keluarga
Kekerasan seksual pada masa kanakPergaulan yang buruk

1.
kanak
2.

Faktor-faktor Protektif
Memiliki teman yang memberi dukungan
sosial
memiliki harapan akan masa depan

Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008

Tabel 5. Derajat Trauma pada B


Jenis
Pelaku
Durasi
Onset
Keadaan dimana korban menceritakan
pengalamannya
Struktur kepribadian
Gambaran kekerasan
Reaksi pertama dari orang yang
signifikan saat melakukan disclosure

Familial
Sepupu dan paman
Berkali-kali
Usia SD (antara 9-11 tahun)
Negatif karena hubungan yang terjalin dengan
pelaku membuat B sulit untuk melakukan
disclosure.
Suka menolong, optimis, memiliki harapan akan
masa depan
Tidak ada, tidak ada paksaan saat peristiwa itu
terjadi
Baik, tidak menunjukkan sikap mengasihani,
memberi dukungan spiritual pada korban.

Subjek B lebih sulit untuk menyingkapkan kekerasan yagn dialami


karena pelaku adalah keluarga sendiri dan
karena tidak adanya unsur paksaan.
Subjek juga tidak mengalami kekerasan
fisik yang mengakibatkan semakin sulitnya untuk menyingkap perbuatan sepupu
dan pamannya. Positifnya, subjek masih
memiliki sifat positif, yaitu suka menolong, optimis, dan memiliki harapan.
Reaksi pertama dari orang yang signifikan saat subjek menyingkap kekerasan
seksual yang dialaminya adalah baik.
Orang yang signifikan tidak menunjukkan
sikap mengasihani dan member dukungan
spiritual pada korban.
Subjek B memiliki aspek resiliensi
yang baik, seperti yagn dapat dilihat pada
Tabel 6. Subjek menempatkan dirinya
sebagai seseorang yang disukai oleh
orang lain, mendahulukan kepentingan
orang lain darip pada kepentingan sendiri,
sebagai pribadi yang berharga, dan
menghargai orang lain. Dari luar dirinya,

subjek B merasa memiliki Tuhan, keluarga, teman, dan kakak pembina rohani
yang dapat diandalkan. Subjek B juga
memiliki cita-cita, visi hidup, dan akses
untuk mencari pertolongan ketika dibutuhkan. Dari sisi keahlian, subjek B
mampu belajar untuk bertahan hidup dalam keadaan sulit, mampu menceritakan
masalah pada orang yang dekat dengan
dirinya, dan mampu mencari orang lain
ektika dibutuhkan.
Tabel 7 menunjukkan faktor risiko
dan protektif pada subjek B. Faktor risikonya adlaah perceraian orang tua,
kekerasan seksual, dan hubungan ayahanak yang kurang dekat. Faktor protektifnya adalah inteligensi yang baik, ikatan
yang aman denagn ibu, dukungan sosial
dari teman-teman, suka menolong, berprestasi di sekolah, keterlibatan dalam
komunitas gereja, berpartisipasi dalam
kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, dan
berpaling dari situasi yang berisiko tinggi.

Tabel 6. Aspek-aspek Resiliensi B


I am
(sumber daya internal)
B adalah seseorang yang disukai orangorang
B adalah orang yang mendahulukan
kepentingan orang lain daripada
kepentingan diri sendiri
B adalah seorang yang berharga
B menghargai orang lain

I have
(sumber daya eksternal)
B memiliki Tuhan, keluarga,
teman dan kakak pembina rohani
yang dapat diandalkan
B memiliki cita-cita

B memiliki visi hidup

I can
(keahlian)
B mampu belajar untuk bertahan
dalam keadaan yang sulit
B mampu menceritakan masalah
pada orang-orang yang dekat
dengannya
B mampu mencari orang lain ketika
membutuhkan

B memiliki akses untuk mencari


pertolongan ketika dibutuhkan

Sisca, Moningka, Resiliensi Perempuan ...

65

Tabel 7. Faktor-faktor risiko dan protektif pada B


1.
2.
3.

Faktor-faktor risiko
Perceraian orangtua
Kekerasan seksual
hubungan ayah-anak yang kurang
dekat

Faktor-faktor protektif
Inteligensi yang baik
Ikatan yang aman dengan ibu
Dukungan sosial dari teman-teman
suka menolong
prestasi dalam sekolah
keterlibatan dalam komunitas gereja
berpartisipasi dengan kegiatan ekstrakulikuler di
sekolah yaitu di dalam OSIS
8. berpaling dari situasi yang berisiko tinggi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Derajat trauma pada subjek F adalah paling rendah, seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 8. Pelaku kekerasan
seksual adalah karyawan percetakan milik
ibu korban tetapi sudah cukup dekat.
Kekerasan yang dialami hanya sekali saat
subjek berumur 6 tahun. Keadaan yang
subjek rasakan saat menceritakan kekerasan yang dialami negatif, karena kondisi lingkungan yang tidak dipercayai
korban dan karena struktur kepribadian
korban yang merasa tidak membutuhkan
orang lain dalam menyelesaikan masalah.
Struktur kepribadian subjek berjiwa sosial, tidak egois, pendiam, agak tertutup,
dewasa, lebih memikirkan orang lain
daripada diri sendiri, mandiri, dan sangat
menolong. Sama dengan kedua subjek
sebelumnya, subjek F tidak mengalami
kekerasan fisik, karena tidak ada unsur
paksaan. Reaksi pertama dari orang signi-

fikan saat subjek mengungkap kekerasan


seksual yang dialaminya dalah baik.
Orang yang signifikan tidak menunjukkan
sikap mengasihani, memberi dukungan
spiritual pada korban.
Aspek resiliensi subjek F juga
cukup bagus, sama dengan subjek B. Dari
dalam diri subjek, dia adalah seseorang
yang disukai orang lain, unik, dan mempunyai pengharapan. Secara eksternal,
subjek merasa memiliki Tuhan, keluarga,
dan teman-teman yang mengasihinya,
memiliki teman-teman yang mendukung
dan menjaganya, memiliki tubuh yang
sempurna, memiliki masa depan yang
cerah dan memiliki Tuhan sebagai panutan dalam hidup. Dari keahlian, subjek
F mampu bersyukur dalam keadaan yang
sulit, mampu menerima diri apa adanya,
dan mampu menemukan kekuatan ketika
menghadapi masalah.

Tabel 8. Derajat Trauma pada F


Jenis
Pelaku
Durasi
Onset
Keadaan dimana korban
menceritakan pengalamannya
Struktur kepribadian
Gambaran kekerasan
Reaksi pertama dari orang
yang
signifikan
saat
melakukan penyingkapan

66

Extrafamilial
Karyawan pabrik percetakan milik ibu korban. Hubungan pelaku dengan
korban cukup dekat.
1 kali
6 tahun
Negatif karena kondisi lingkungan yang tidak dipercayai korban dan
karena struktur kepribadian korban yang merasa tidak membutuhkan
orang lain dalam menyelesaikan masalah.
Berjiwa sosial, tidak egois, pendiam, agak tertutup, dewasa, lebih
memikirkan orang lain daripada diri sendiri, mandiri, menolong.
Tidak ada, tidak ada paksaan saat peristiwa itu terjadi
Baik, tidak menunjukkan sikap mengasihani, memberi dukungan
spiritual pada korban.

Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008

Tabel 9. Aspek-aspek Resiliensi F


I am
(sumber daya internal)
F adalah seseorang yang disukai
orang-orang
F adalah orang yang unik
F merupakan orang yang
berpengharapan
F adalah seorang yang berharga
dan mulia
F mengasihi diri sendiri

I have
(sumber daya eksternal)
F memiliki Tuhan, keluarga, dan
teman-teman yang mengasihi
saya
F memiliki teman-teman yang
mendukung dan menjaga F
F memiliki tubuh yang sempurna

I can
(keahlian)
F mampu bersyukur dalam
keadaan yang sulit
F mampu menerima diri F apa
adanya
F mampu menemukan kekuatan
ketika menghadapi masalah

F memiliki masa depan yang


cerah
F memiliki Tuhan sebagai
panutan dalam hidup

Faktor risiko yang mungkin dialami subjek F adalah kekerasan seksual


di masa kecil dan kematian orang tua dan
kakaknya, seperti yang dapat dilihat pada
Tabel 10. Faktor protektifnya adalah dukungan sosial dari teman dan keluarga,
keterlibatan dalam kegiatan keagamaan,
memiliki harapan akan masa depan, optimis, suka menolong,d an memiliki tanggungjawab sebagai pembina rohani.
Derajat trauma
Dari ketiga subyek, ada ketidakpercayaan yang terbentuk. Umumnya
pelaku adalah orang yang memiliki kedekatan dengan korban. Kedekatan ini menciptakan rasa tidak percaya, dikhianati,
dan dikecewakan.
Durasi dan frekuensi kekerasan
seksual tidak terlalu mempengaruhi tingkat trauma seseorang. Demikian juga
dengan onset kekerasan seksual. Hal ini
dikarenakan bahwa yang mempengaruhi
perkembangan psikologis seseorang ada-

lah justru pada saat anak sadar bahwa


dirinya pernah mengalami kekerasan
seksual (Cahill dkk., 1991; Whiffen dan
MacIntosh, 2005).
Keadaan kondisi lingkungan dan
respon pertama dari orang signifikan
mempengaruhi terjadinya penyingkapan.
Sementara, penyingkapan terjadi ketika
korban mulai meyadari bahwa dirinya
mengalami gangguan karena peristiwa
kekerasan seksual yang dialaminya. Alasan korban tidak segera melakukan
penyingkapan adalah karena rasa malu.
Selain itu, korban juga merasa takut
dengan reaksi atau respon orang yang
diceritakan. Kejadian kekerasan seksual
yang mereka alami sudah menginjak
harga diri mereka sehingga biasanya
korban cenderung untuk mempertahankan
harga diri mereka dengan cara tidak
membiarkan orang lain merenggutnya
kembali misalnya dengan ejekan atau
cemooh (Rellini dan Meston, 2006;
Schiller, 2006).

Tabel 10. Faktor Risiko dan Protektif pada F


Faktor-faktor Risiko
1. Kekerasan seksual di masa
kecil
2. Kematian orangtua dan
kakaknya

Sisca, Moningka, Resiliensi Perempuan ...

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Faktor-faktor Protektif
Dukungan sosial dari teman dan keluarga
Keterlibatan dalam kegiatan keagamaan
memiliki prestasi akademik
memiliki harapan akan masa depan
optimis
suka menolong
memiliki tanggungjawab sebagai pembina rohani

67

Dampak Kekerasan Seksual


Dampak secara emosi menunjukkan
bahwa korban merasa benci pada pelaku.
Selain benci pada pelaku, korban juga
merasa benci pada dirinya sendiri. Secara
kognitif, korban mengalami distorsi kognitif. Umumnya mereka memiliki cara
pikir yang irasional misalnya dengan
mengatakan bahwa adanya peristiwa
kekerasan seksual ini adalah salah mereka
dan bukan salah pelaku (Ferrara, 2002).
Dampak secara sosial adalah adanya
masalah hubungan dengan lawan jenis.
Kecemasan serta persepsi negatif tentang
diri sendiri dan orang lain membuat
mereka memiliki tipikal hubungan yang
hanya sebatas di permukaan saja, tidak
membangun hubungan yang terlalu dalam
secara emosi (Parton dan Wattam, 1999).
Aspek-aspek Resiliensi
Pembentukan aspek resiliensi dimulai dari aspek I have. Ketiga subyek
memiliki gambaran keluarga yang negatif
sehingga membuat mereka merasa rendah
diri, tidak aman, tidak dicintai, tidak
didukung, tidak bebas mengembangkan
minat dan talentanya.
Namun, adanya Tuhan dan temanteman dapat membentuk perasaan bahwa
ada orang yang mencintainya (aspek I
am), ada orang yang dapat diandalkan
ketika dibutuhkan (aspek I have) sehingga dapat mencari pertolongan ketika
dibutuhkan (aspek I can), ada seseorang
yang menjadi panutan yang baik sehingga
mempengaruhi perkembangan kepribadiannya. Adanya teman-teman yang baik
membuat mereka dapat berkomunikasi
dengan baik sehingga dapat mengutarakan perasaan dan pikirannya. Adanya
ajaran agama juga mempermudah dalam
mencapai identitas diri serta memiliki
batasan dalam mengendalikan perilaku
mereka (Luthar, 2003).

68

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Di dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan mediasi terpenting dalam mengetahui apakah
korban kekerasan seksual anak dapat
mengatasi dampak yang ditimbulkan atau
tidak. Dampak kognisi mencakup cara
pandang korban kekerasan seksual anak
mengalami distorsi. Hal ini terjadi karena
korban menjadikan diri mereka sebagai
orang yang bertanggungjawab atas kekerasan seksual yang dialaminya. Penelitian
ini menemukan bahwa dengan melakukan
restrukturisasi kognitif maka dapat membuat proses resiliensi menjadi lebih
mudah.
Pengatasan secara spiritual seperti
mendekatkan diri pada Tuhan dapat memudahkan proses resiliensi. Kehidupan
beragama mengajarkan nilai-nilai positif
dalam hidup misalnya tentang pengampunan. Pengampunan yang tidak hanya
ditujukkan kepada pelaku namun juga
kepada diri sendiri. Menemukan makna
dalam peristiwa kekerasan seksual pada
anak ini turut menentukan keberhasilan
resiliensi. Faktor penghalang terjadinya
resiliensi dalam penelitian ini ditemukan
bahwa sumber internal berupa cara
berpikir korban sangat penting dalam
menentukan resiliensi.
Saran
Saran praktis yang dapat diterapkan
adalah dengan mengajar pendidikan seksualitas kepada anak sehingga dapat
menjadi langkah preventif bagi praktek
kekerasan seksual anak.
DAFTAR PUSTAKA
Cahill, C., Llewelyn, S.P., and Pearson,
C. 1991 Long-term effects of sexual
abuse which occurred in childhood: A
review British Journal of Clinical
Psychology vol 30 pp. 117-130.

Jurnal Psikologi Volume 2, No. 1, Desember 2008

Ferrara, F.F. 2002 Childhood sexual


abuse: Developmental effects across
the lifespan Brooks/Cole Thomson
Learning, Inc Boston.
Luthar, S.S. 2003 Resilience and
vulnerability: Adaptation in the
context of childhood adversities
Cambridge University Press New
Jersey.
Parton, N., and Wattam, C. 1999 Child
sexual abuse: Responding to the
experiences of children. John Wiley
dan Sons Ltd. London.
Rellini, A.H., and Meston, C.M. 2006
Psychophysiological Sexual Arousal

Sisca, Moningka, Resiliensi Perempuan ...

in Women with a History of Child


Sexual Abuse Journal of Sex dan
Marital Therapy vol 32 pp 5-22.
Schiller, U. 2006 Addressing revictimization
during
forensic
prosedures when working with
sexually abused children. University
of Pretoria Pretoria
Whiffen, V.E., and MacIntosh, H.B. 2005
Mediators of the link between
childhood sexual abuse and emotional
distress: A critical review Trauma,
Violance, and Abuse vol 6 pp 24-39

69

Anda mungkin juga menyukai