TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengetahuan
2.1.1. Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Sikap
2.2.1. Pengertian Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasan-batasan di atas dapat
disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya
dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial, menyatakan
bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
dewasa normal masih dapat dengan baik mengatasi gangguan fungsional yang
ditimbulkan oleh kehilangan 10% isi darah, 20% kemampuan membawa oksigen
atau kehilangan 40% faktor pembekuan. Kehilangan sebanyak dua kali jumlah
tersebut di atas masih belum mengakibatkan kematian walaupun menimbulkan
gejala yang cukup berat (Rodman, 1988).
2.3.2. Pengertian
Menurut Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1980, definisi transfusi darah
adalah tindakan medis memberikan darah kepada seorang penderita yang
darahnya telah tersedia dalam botol kantong plastik. Usaha transfusi darah adalah
segala tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk memungkinkan penggunaan
darah bagi keperluan pengobatan dan pemulihan kesehatan yang mencakup
masalah-masalah pengadaan, pengolahan, dan penyampaian darah kepada orang
sakit. Darah yang digunakan adalah darah manusia atau bagian-bagiannya yang
diambil dan diolah secara khusus untuk tujuan pengobatan dan pemulihan
kesehatan. Penyumbang darah adalah semua orang yang memberikan darah untuk
maksud dan tujuan transfusi darah (PMI, 2002).
tersebut ditransfusikan. Untuk skrining donor darah yang aman maka pemeriksaan
harus dilakukan secara individual (tiap individual bag atau satu unit darah). Jenis
pemeriksaan yang digunakan sesuai dengan standard WHO, dalam hal ini
meliputi pemeriksaan atas sifilis, hepatitis B, hepatitis C dan HIV. Metode tes
dapat menggunakan uji cepat khusus (rapid test), automated test maupun ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay). Laboratorium yang menguji 1-35 donasi
per minggu sebaiknya menggunakan rapid test. Laboratorium yang menguji 35-60
donasi per minggu sebaiknya menggunakan metoda uji aglutinasi partikel dan
yang menguji lebih dari 60 donasi per minggu sebaiknya menggunakan EIA.
Metode yang umum digunakan di UTD cabang adalah rapid test (Depkes RI,
2001).
Dalam mempertimbangkan berbagai pengujian, perlu disadari data yang
berkaitan dengan sensitivitas dan spesifitas masing-masing pengujian. Sensitivitas
adalah suatu kemungkinan adanya hasil tes yang akan menjadi reaktif pada
seorang individu yang terinfeksi, oleh karena itu sensitivitas pada suatu pengujian
adalah kemampuannya untuk melacak sampel positif yang selemah mungkin.
Spesifisitas adalah suatu kemungkinan adanya suatu hasil tes yang akan menjadi
non-reaktif pada seorang individu yang tidak terinfeksi, oleh karena itu spesifitas
suatu pengujian adalah kemampuannya untuk melacak hasil positif non-spesifik
atau palsu (Depkes RI, 2001).
Dalam mempertimbangkan masalah penularan penyakit melalui transfusi
darah, perlu diingat bahwa seorang donor yang sehat akan memberikan darah
yang aman. Donor yang paling aman adalah donor yang teratur, sukarela, dan
tidak dibayar. Jelasnya bahwa para donor yang berisiko terhadap penyakit infeksi
harus didorong agar tidak menyumbangkan darahnya (Depkes RI, 2001).
melakukan transfusi darah harus selalu berdasarkan penilaian yang tepat dari segi
klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium. Pada tabel 2.1 tersedia
macam-macam daftar bentuk darah yang dipisahkan, indikasi pemberian
komponen darah dan masa simpannya.
Tabel 2.1. Bentuk Darah, Indikasi Pemberian dan Masa Simpan Darah
No.
Bentuk Darah
Indikasi
Masa
Simpan
Keterangan
1. Pendarahan
2. Anemia
1.
Darah lengkap
3. Renjetan Oligonemik
4. Kelainan darah seperti
21 hari
anemia aplastik
Khususnya untuk
pasien jantung,
2.
Eritrosit
terkonsentrasi
anemia berat,
21 hari
bertambah
sepsis, pasien
sangat muda
ataupun sangat
tua
3.
Darah lengkap
segar
Pendarahan dengan
trombositopenia
12 jam
(trombosit <40.000/mL
Bila kadar kalim
pasien masih
Darah baru
neonatus
2 hari
rendah
No.
5.
Bentuk Darah
Indikasi
Masa
Simpan
Keterangan
6 jam
Leukosit belum
noktrunal paroksimal
dapat hilang
2. Resipien yang
seluruhnya
memiliki antibody
terhadap
leukosit/trombosit
3. Reaksi transfusi
terhadap antigen plasma
4. Pasca transplantasi
organ
5. Pasien dengan
defisiensi imunitas
6.
Eritrosit beku
6 jam
setelah
Pembuatan mahal
dicairkan
7.
Plasma kering
1. Untuk meningkatkan
8 tahun
volume sirkulasi
Umur 3 jam
setelah dicairkan
2. Luka bakar
8.
Plasma beku
Defisiensi faktor
segar
pembekuan seperti
Harus segera
dipakai setelah
hemofilia, pasca
dicairkan
transfuse masif,
kelebihan dosis coumarin
dan antikoagulan
indandione
9.
Konsentrasi
Fraksi Protein
plasma kering
plasma
2 tahun
Tidak
mengandung
fibrinogen
No.
Bentuk Darah
10.
Albumin
Indikasi
Hipoalbuminemia
Masa
Simpan
3 jam
Keterangan
setelah
preparasi
11.
Fibrinogen
Afibrinogenemia
3 jam
setelah
preparasi
12.
Kripresipitat
13.
Faktor VIII
Hemofilia
kering
3 jam
setelah
preparasi
14.
Konsentrat
Trombositopenia karena
Trombosit
2-3 hari
Sumber: James, D.C., 1981. Blood Transfusion and Notes on Realted Aspects of
Blood Clotting and Heamoglobinopathies. In: James, D.C., Scientific Foundation
of Anesthesia. London :WB Saunders, 375-91.
2.3.8. Pemeriksaan Golongan Darah Donor
Karl Landsteiner, seorang ilmuwan asal Austria yang menemukan 3 dari 4
golongan darah dalam sistem AB0 pada tahun 1900 dengan cara memeriksa
golongan darah beberapa teman sekerjanya. Percobaan sederhana ini pun
dilakukan dengan mereaksikan sel darah merah dengan serum dari para donor.
Hasilnya adalah dua macam reaksi (menjadi dasar antigen A dan B, dikenal
dengan golongan darah A dan B) dan satu macam tanpa reaksi (tidak memiliki
antigen, dikenal dengan golongan darah 0). Kesimpulannya ada dua macam
antigen A dan B di sel darah merah yang disebut golongan A dan B, atau sama
sekali tidak ada reaksi yang disebut golongan 0.
Kemudian Alfred Von Decastello dan Adriano Sturli yang masih kolega
dari Landsteiner menemukan golongan darah AB pada tahun 1901. Pada golongan
darah AB, kedua antigen A dan B ditemukan secara bersamaan pada sel darah
merah sedangkan pada serum tidak ditemukan antibodi (PMI, 2002). Menurut
sistem AB0, golongan darah dibagi menjadi 4 golongan seperti yang tertera pada
Tabel 2.2.
Untuk menentukan golongan darah seseorang tidak diperlukan biaya yang
besar dan relatif mudah karena hanya memerlukan beberapa tetes dari sampel
darah. Sebuah serum anti-A dicampur dengan satu atau dua tetes sampel darah.
Serum lainnya dengan anti-B dicampurkan pada sisa sampel. Penilaian dilakukan
dengan memperhatikan apakan ada penggumpalan pada salah satu sampel darah
tersebut. Sebagai contoh, apabila sampel darah yang dicampur serum anti-A
tersebut menggumpal namun tidak menggumpal pada sampel darah yang
dicampur serum anti-B maka antigen A ada pada sampel darah tersebut. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa sampel darah tersebut diambil dari orang
dengan golongan darah A (Palomar College Behavioral Sciences Department,
2009).
Tabel 2.2. Pembagian Golongan Darah Sistem ABO
Golongan
Darah
A
B
0
AB
Antigen A
Antigen B
+
+
+
+
Antibodi
Anti-A
+
+
-
Antibodi
Anti-B
+
+
-
syphilis
dikenal
dengan
nama
penyakit
raja
singa.
sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat
pengambilan darah yang tidak diketahui (Canadian Medical Association, 1997).
Jumlah
kontaminasi
bakteri
meningkat
seiring
dengan
lamanya
penyimpanan sel darah merah atau plasma sebelum transfusi. Penyimpanan pada
suhu kamar meningkatkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa
organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6C dan dapat bertahan
hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan
Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4C. Stafilokokus tumbuh
dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit
pada suhu 20-40C. Oleh karena itu, risiko meningkat sesuai dengan lamanya
penyimpanan (Moore, 1997). Gejala klinis akibat kontaminasi bakteri pada sel
darah merah timbul pada 1 : 1 juta unit transfusi. Risiko kematian akibat sepsis
bakteri timbul pada 1 : 9 juta unit transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat
selama tahun 1986-1991, kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak
16%; 28% di antaranya berhubungan dengan transfusi sel darah merah. Risiko
kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi darah autolog.