Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1

Nanoteknologi
Kata nano berasal dari kata Yunani nanos, yang berarti kerdil. Secara

ilmiah, nano berarti satu per miliar unit. Satu nanometer (nm) adalah skala panjang
yang setara dengan salah per milar meter. Dengan demikian, bahanbahan nano
adalah bahan-bahan yang memiliki dimensi skala mini. Menurut ISO TS 27687,
nanomaterials didefinisikan sebagai bahan-bahan yang memiliki karakteristik skala
nano yaitu sebesar 10-9 nm (Tsuzuki, 2013).
Nanoteknologi meliputi mulai dari penggabungan atom atau ion menjadi
molekul untuk membentuk struktur dalam orde nanometer yang berguna untuk
menghasilkan barang-barang dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja nanoteknologi
melakukan proses-proses seperti reaksi kimia untuk membentuk zat cair atau padat
seperti keramik, polimer, dan logam yang diatur (dimanipulasi) sedemikian rupa
sehingga menghasilkan sifat-sifat kimia atau fisika yang baru. Bahkan lebih jauh lagi
nanoteknologi mengkombinasikan semua zat padat seperti keramik, logam, dan
polimer untuk membentuk material baru yang tak ada di alam. Material baru ini
menjadi material campuran dua atau tiga bahan dan dinamakan komposit. Bila

struktur dari bahan-bahan campuran material dalam orde nanometer terbentuklah


nanokomposit (Poli, 2006).
2.2

Nanofiber
Salah satu bidang nanoteknologi yang sedang banyak dikembangkan adalah

pembuatan nanofiber. Secara umum, nanofiber didefinisikan sebagai sesuatu material


yang mempunyai diameter kurang dari 1 mikron. Nanofiber dari suatu bahan polimer
dibuat dan diteliti oleh banyak peneliti umumnya karena memiliki sifat serta
karakteristik seperti luas permukaannya yang tinggi, ukuran pori yang kecil dan
kemungkinannya untuk dibentuk struktur tiga dimensi sehingga berpotensi
diaplikasikan untuk industri-industri berteknologi tinggi seperti, aerospace, kapasitor,
transistor, drug delivery, fuel cells, teknologi informasi, dan dapat juga sebagai media
filtrasi, serat optik, katalis, sistem penghantaran obat (drug delivery) dalam dunia
farmasi, superhidrofobik dalam pelapisan logam, tissue scaffolds dalam dunia medis,
dan pakaian/tekstil pelindung (protective clothing) (Maddu et al, 2008).
Secara umum, nanofiber didefinisikan sebagai sesuatu material yang
mempunyai diameter kurang dari 1 mikron. Karakteristik (sifat-sifat) nanofiber yang
sangat istimewa sangat cocok untuk digunakan dalam berbagai rentang aplikasi yang
sangat luas (Wallace, 2004).
Dalam dunia perdagangan serat nano adalah serat yang lebih kecil dari serat
makro, yaitu serat yang mempunyai diameter kurang dari 0,5 mikron atau kurang dari

500 nanometer, sedangkan serat yang telah diproduksi dan diperdagangkan


mempunyai diameter antara 50 sampai 300 nm (Muchlian, 2013).
2.2.1

Karbon Nanofiber
Karbon nanofiber didefinisikan sebagai filamen linier yang memiliki ikatan

sp2 dengan diameter 100 nm yang memiliki fleksibilitas dan aspek rasionya. Material
ini berbentuk serat praktis yang baik dan kepentingan ilmiah. Kombinasi pada
permukaan yang tinggi, fleksibilitas, dan kekuatan mekanik yang tinggi yang
memungkinkan karbon nanofiber ini digunakan dalam pembuatan komposit yang
dapat diaplikasikan ke dalam bidang industri kendaraan bermotor dan dirgantara
(Kim et al., 2011).
2.3

Polimer
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang

sederhana. Bahan-bahan seperti plastik, serat, film dan sebagainya yang biasanya
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai berat molekul di atas 10.000.
Bahan dengan berat molekul yang besar itu disebut polimer, mempunyai struktur dan
sifat yang rumit disebabkan oleh jumlah atom pembentuk yang lebih besar
dibandingkan senyawa yang berat atomnya rendah. Umumnya polimer dibangun oleh
satuan struktur tersusun secara berulang diikat oleh gaya tarik-menarik yang disebut
ikatan kovalen, dimana ikatan setiap atom dari pasangan menyumbangkan satu
elektron untuk membentuk sepasang elektron, (Surdia T. , 1995).

Klasifikasi senyawa-senyawa polimer didapatkan dengan dua cara, yaitu


yang berasal dari alam (polimer alam) dan polimer yang sengaja dibuat oleh manusia
(polimer sintetis). Polimer yang sudah ada di alam (polimer alam), seperti (Ratna
dkk., 2010):
1. Amilum dalam beras, jagung dan kentang
2. Selulosa dalam kayu
3. Protein terdapat dalam daging
4. Karet alam diperoleh dari getah atau lateks pohon karet
Karet alam merupakan polimer dari senyawa hidrokarbon, 2-metil-1,3-butadiena
(isoprena). Ada juga polimer yang dibuat dari bahan baku kimia disebut polimer
sintetis seperti polyetena, polipropilena, polyvynil chloride (PVC), dan nylon.
Kebanyakan polimer ini sebagai plastik yang digunakan untuk berbagai keperluan
baik untuk rumah tangga, industri, atau mainan anak-anak.
2.3.1

Poliakrilonitril (PAN)
Poliakrilonitril telah sering digunakan untuk elektrospinning untuk preparasi

karbon nanofiber. Salah satu contohnya, karbon nanofiber yang dipreparasi dari 8%
massa larutan PAN/N,N-dimetilasetamida (DMF) melalui karbonisasi 11000 C,
mempunyai diameter rata-rata 110 nm dan spasi interlayer d2, 0,368 nm. Dari
penggambaran Scanning dan Transmission Electron Microscopy (SEM dan TEM)
memiliki penggambaran permukaan yang heterogen, lapisan karbon berorientasi

sejajar pada serat permukaan. Karbon nanofiber berbasis PAN disusun melalui
larutan PAN/DMF 10% wt dengan penambahan aseton 5% wt, dan
dodesiletildimetilamonium bromide 0,01% wt. Larutan tersebut dikumpulkan di plat
kemudian ditutupi dengan aluminium foil dan kemudian dipanaskan
( Inagaki et al., 2012).
2.4

Tembaga Asetat
Tembaga (II) asetat, atau kupriasetat adalah senyawa kimia dengan

rumus Cu(CH3COO)2, atau disingkat Cu(OAc)2 dimana AcO- adalah ion asetat
(CH3CO2-). Secara komersial senyawa ini biasanya tersedia dalam bentuk hidratnya,
yang mengandung dua molekul air. Cu(OAc)2 berwujud padatan kristal berwarna
hijau gelap, sedangkan hidratnya Cu(OAc)2.2H2O berwarna hijau-kebiruan. Sejak
dahulu kala, beberapa senyawa tembaga asetat digunakan sebagai fungisida dan zat
warna hijau. Sekarang Cu(OAc)2 digunakan dalam sintesis anorganik dan sebagai
katalis maupun agen oksidator pada sintesis organik. Senyawa ini memiliki warna
nyala biru-hijau. Dulunya senyawa ini disintesis di tempat pembuatan anggur,
mengingat asam asetat merupakan salah satu produk samping fermentasi. Namun
metode ini menghasilkan produk yang tidak begitu murni. Tembaga (II) asetat dengan
kemurnian tinggi dapat disintesis di laboratorium melalui serangkaian reaksi (3
tahap). persamaan totalnya adalah sebagai berikut:
CuSO4 + 2NH3 + 2CH3COOH Cu(OAc)2.2H2O + (NH4)2SO4

Reaksi ini menghasilkan tembaga(II) asetat dalam bentuk hidrat. Untuk


mendehidrasinya, hasil reaksi dipanaskan dalam suhu 100 C di vakum.
Cu(OAc)2.2H2O Cu(OAc)2 + 2 H2O
(kirchner & Fernando, 1980).
Tembaga (II) asetat lebih banyak digunakan sebagai katalis atau agen pengoksidasi
dalam sintesis-sintesis organik. Contohnya Cu(OAc)2 digunakan untuk memasangkan
dua alkuna terminal (alkuna yang memiliki ikatan rangkap 3 pada atom C ujung)
untuk membentuk 1,3-dibutuna
2Cu (OAc)2 + 2 RCCH 2 Cu(OAc)2 + RCC-CCR + 2 HOAc
Reaksi tersebut berjalan melalui zat antara tembaga (I) asetat yang kemudian
teroksidasi menjadi tembaga (II) asetat serta menghasilkan radikal asetilida
(Vogel & Srogl, 2005).
Molekul Cu2(OAc)4 memiliki struktur seperti Rh(II) dan Cr(II) tetraasetat.
Atom tembaga terikat pada satu atom oksigen dari tiap asetat dengan panjang 1,97.
Pola koordinasi ini dilengkapi dengan dua ligan air dengan jarak Cu-O sebesar 2,20
. Dua atom ini memiliki 5 koordinasi berjarak 2,65 yang hampir sama dengan
jarak Cu-Cu dari molekul ini (Kirchner & Fernando, 1980).

2.5

Sintesis Karbon Nanofiber


Ada metode yang berbeda dari sintesis karbon nanofiber (CNF). Yang paling

umum adalah perlakuan termal serat polimer dan pengendapan uap secara kimia
(CVD). Metode sintesis ini hanya digunakan dalam skala laboratorium. Salah satu
metode yang paling menjanjikan dalam pembuatannya adalah elektrospinning,
metode elektrospinning ini mampu memperoleh nanofiber terus-menerus dalam skala
yang besar dan mudah penyesuaian seperti, diameter serat dari nanometer ke
micrometer, orientasi serat, dan distribusi komponen yang berbeda dalam struktur
(Kim et al., 2011).
2.6.1

Karbonisasi Nanofiber
Karbonisasi adalah penghilangan suatu residu senyawa volatil

yang biasanya digunakan dalam prekursor organik. Prekursor


dipanaskan dalam lingkungan inert dengan suhu dapat bervariasi
tergantung sifat prekursor tertentu dan dapat mencapai 1.300 0C.
Sebagai hasilnya, setelah proses yang mencakup reaksi material
organik berubah menjadi residu karbon yang berharga, sementara
senyawa volatil keluar dari sistem. Kandungan residu karbon ini
berbeda tergantung sifat prekursor dan suhu pirolisis, tetapi
biasanya dalam kisaran 90-99 wt %. Aspek penting dari karbonisasi
adalah hasil karbon, yang merupakan rasio antara berat material

10

karbon setelah dan sebelum karbonisasi. Hasil ini dipengaruhi oleh


tingkat suhu ruangan, suasana karbonisasi dan tekanan. Biasanya
menghasilkan karbon tidak melebihi 60 %. Untuk menghindari
gangguan dan pecahnya jaringan karbon difusi senyawa volatil
harus lambat. Durasi karbonisasi tergantung pada struktur yang
diinginkan produk, jenis prekursor, dan ketebalan bahan. Pada akhir
karbonisasi, karbon amorf diperoleh. Difraksi sinar-X menunjukan
bahwa urutan panjang kristal dan deviasi kerapatan jarak antar
atom, atom karbon dari kristal grafit yang baik lebih dari 5% di
kedua bidang basal dan antara bidang-bidang yang lain. Untuk
mendapatkan sebuah struktur karbonisasi karbon seharusnya
dilakukan pada tekanan tinggi atau dengan menggunakan katalis
(Kuzmenko, 2012).
2.6

Teknik Elektrospinning
Elektrospinning menggunakan sumber elektrik untuk membentuk suatu garis-

garis halus dalam ukuran nano atau mikro dari suatu cairan. Proses ini sangat menarik
untuk membuat material polimer menjadi nanofiber. Teknik ini juga digunakan untuk
mengontrol tingkat ketebalan dan komposisi nanofiber serta porositasnya dengan
suatu cara yang relatif sederhana. Dalam proses elektrospinning, rentang ukuran serat
ini berkisar antara 50 nm-1000 nm, sedangkan untuk ukuran yang lebih besar dapat

11

diperoleh dengan cara menghubungkan suatu tegangan dengan larutan polimer,


tegangan dalam proses elektrospinning sangat diperhatikan karena akan
mempengaruhi fiber yang dihasilkan (Ding, 2008).

Pembuatan nanofiber dapat dilakukan dengan cara memilih system pelarut yang
sesuai
Tabel 2.1 Pelarut polimer yang bisa digunakan untuk nanofiber
POLIMER

PELARUT

Nilon 6 dan nilon 66

Asam Formiat

Polyacrylonitrile

Dimethyl formaldehyde

PET

Trifluoroaceticacid/Dimethyl chloride

PVA

Air

Polystyrene

DMF/Toluene

Nylon-6-co-polyamide

Asam Formiat

Polybenzimidazole

Dimethyl acetamide

Polyramide
Polyimides

Asam Sulfat
Fenol
(Huang, 2006)

2.6.1 Prinsip Elektrospinning


Prinsip kerjanya ialah larutan polimer atau lelehan polimer
disiapkan pada tabung semprot (syringe) dengan kecepatan
penyemprotan yang dapat diatur oleh pompa secara konstan
(metering pump). Polimer dilewatkan melalui lubang spinneret

12

(Pancaran) dan selanjutnya ditarik menggunakan energi


elektrostatik dengan tegangan listrik arus searah (direct
current / DC) yang berkekuatan sekitar 30 KVA dan seratnya
ditampung pada Collector screen (Peter et al., 2004).
Struktur dan bentuk serat nano yang dihasilkan sangat
dipengaruhi oleh parameter bahan, proses, dan kondisi ambient,
seperti tegangan listrik yang digunakan, jarak antara pancaran
dan collector, konsentrasi larutan polimer, sifat konduksi dan faktor
penguapan dan pelarutnya. Selain itu, yang juga dapat berpengaruh
ialah diameter lubang pancaran, suasana gas disekitar serat, sifat
konduktivitas collector (Raghavendra et al., 2005).
2.6.2 Parameter Elektrospinning
Parameter yang paling penting yang mempengaruhi proses
elektrospining dapat dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu 1)
karakteristik larutan (termasuk viskositas larutan atau konsentrasi,
kerapatan muatan larutan, tegangan permukaan, berat molekul
polimer, momen dipol, dan konstanta dielektrik), 2) kontrol variabel
(tegangan, jarak dari ujung spinneret ke kolektor, laju alir, kolektor
dan desain ujung jarum), 3) faktor lingkungan (suhu, kelembaban,
kecepatan udara). Cara terbaik untuk mendapatkan keseragaman,

13

serat yang halus dengan mencoba men-spin dengan variasi


parameter sampai tercapai kesempurnaan ( Doshi, 1995).
2.6.3 Karakteristik Larutan
Karakteristik konsentrasi larutan polimer berbanding lurus dengan viskositas
larutan, yang memiliki pengaruh terbesar pada ukuran dan morfologi dari serat
electrospun. Pada pengalaman sebelumya elektrospinning polimer menunjukkan
bahwa konsentrasi rendah mengarah pada cacatnya pembentukan nanofiber seperti
manik-manik dan tetesan karena viskositas yang terlalu rendah untuk membuat serat
tipis yang kuat. Akibatnya, seratnya tidak cukup membentang ke kolektor, melainkan
disemprotkan ke atasnya. Hal ini juga dimungkinkan beberapa pelarut sampai ke
kolektor dan menyebabkan serat basah sehingga membentuk persimpangan dan
bulatan. Peningkatan viskositas larutan secara signifikan mengurangi cacat ini,
menghasilkan serat yang lebih seragam. Namun, larutan terlalu kental proses
elektrospin tidak mungkin bisa dilakukan karena terjadi penyumbatan di ujung jarum
(pelarut menguap lebih cepat). Diameter serat elektrospun juga dipengaruhi oleh
konsentrasi polimer. Viskositas yang terlalu tinggi dari larutan menghasilkan serat
yang lebih tebal. Larutan yang konduktivitas atau kerapatan muatannya lebih tinggi
umumnya membantu untuk menghasilkan serat yang lebih seragam sehingga cacat
lebih sedikit. Konduktivitas dapat ditingkatkan dengan penambahan volatil garam
(tidak akan tinggal dalam produk akhir), alkohol, atau surfaktan ( Lin et al., 2004).

14

2.6.4

Kontrol Variabel
Tegangan yang diberikan memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur

serat halus. Pertama dan yang paling penting dari semua, medan listrik harus cukup
kuat untuk mengatasi tegangan permukaan untuk menginduksi spining. Di sisi lain,
spining pada tegangan rendah memungkinkan untuk menghasilkan serat berbentuk
manik bebas. Tegangan yang lebih tinggi menyebabkan pancaran dari permukaan
cairan dalam ujung (tanpa kerucut Taylor sedang terbentuk) menghasilkan manikmanik ( Matthews et al., 2002).
Peningkatan lebih lanjut dalam medan listrik bahkan dapat dibagi menjadi
beberapa pancaran. Laju aliran yang lebih rendah memungkinkan mendapatkan serat
seragam dengan diameter yang lebih kecil, sementara laju aliran yang terlalu tinggi
menghasilkan serat manik-manik karena ketidakmampuan pelarut menguap sebelum
mencapai kolektor. Jarak antara ujung dan kolektor (jarak antara dua elektroda) harus
cukup untuk membiarkan serat mengering sebelum mencapai tujuan akhir yaitu
mencapai kolektor. Jarak juga mempengaruhi bentuk dan diameter serat yang
diperoleh. Jarak paling cocok harus ditemukan dengan eksperimen untuk setiap
pengaturan elektrospinning ( Dalton et al., 2005).
Desain dari ujung jarum dan kolektor juga memainkan peran penting dalam
elektrospinning. Keanekaragaman saat ini memungkinkan mendapatkan serat dengan
struktur benar-benar unik. Misalnya, koaksial spinning dengan dua-kapiler spinneret

15

memungkinkan untuk menghasilkan serat berongga. Spinneret dengan multiple tips


dapat menghasilkan serat dengan rasio bobot berbagai polimer dengan control
distribusi. Kolektor logam dengan permukaan yang konduktif umumnya membantu
untuk membentuk serat dengan struktur yang seragam tanpa menyusut atau
pembengkakan. kolektor non-konduktif dapat menyebabkan tolakan antara serat yang
dihasilkan dengan rendahnya kerapatan pengemasan ( Dalton et al., 2005).

2.6.5 Faktor Lingkungan


Beberapa penyelidikan sebelumnya menunjukkan bahwa
diameter serat berbanding terbalik dengan suhu. Hal ini dapat
dijelaskan oleh hubungan antara suhu dan viskositas dari suatu
larutan. Meningkatkan kelembaban menghasilkan penampilan
melingkar pori-pori kecil di permukaan serat (Casper et al., 2004).

2.7 Karakterisasi Karbon Nanofiber


2.7.1

SEM
Mikroskop elektron adalah alat deteksi yang menggunakan sinar elektron

berenergi tinggi untuk melihat objek pada skala yang sangat kecil. Scanning
electrone microscope (SEM) memberikan penjelasan yang detail dari permukaan,

16

memberikan informasi mengenai ukuran dan bentuk yang homogen atau tidak dari
magnetik nanopartikel. Pemercepat elektron (electron gun) menghasilkan pancaran
elektron monokromatis. Lensa pemfokus pertama menghasilkan pancaran dan batas
arus, pada celah lensa berfungsi untuk mengurangi pembelokan sudut. Lensa
pemfokus kedua membentuk pelemahan (pancaran sinar koheren), celah lensa
dikendalikan untuk mengurangi pembelokan sudut dari pancaran lensa pertama.
Pancaran yang dilewatkan lensa kedua dan mengalami proses scan oleh koil
penyearah untuk membentuk gambar dan diteruskan ke lensa akhir untuk difokuskan
ke sampel. Interaksi pancaran elektron dengan sampel dan elektron yang dipantulkan
diterima oleh detektor. Detektor akan menghitung elektron-elektron yang diterima
dan menampilkan intensitasnya ( Affandi, 2006).
2.7.2 XRD
Penentuan struktur kristal digunakan XRD (X-ray Diffraction) untuk
menentukan kisi kristal pada sampel. Struktur kristal terdiri atas bagian yang simetri
sepanjang bidang, sumbu atau pusat perpotongan dengan bidang pada sumbu simetri
di definisikan sebagai nilai resiprok dari perpotongan, hkl, yang dikenal sebagai
indeks miller. Sinar-X ditembakan pada material sehingga terjadi interaksi dengan
elektron dalam atom. Ketika foton sinar-X bertumbukan dengan elektron, beberapa
foton hasil tumbukan akan mengalami pembelokan dari arah datang awal. Jika
panjang gelombang hamburan sinar -X tidak berubah (foton sinar-X tidak kehilangan

17

banyak energi) dinamakan hamburan Thompson dan terjadi transfer momentun dalam
proses hamburan. Sinar-X ini yang digunakan untuk pengukuran sebagai hamburan
sinar-X yang membawa informasi distribusi elektron dalam material. Gelombang
yang terdifraksikan dari atom-atom berbeda dapat saling mengganggu dan distribusi
intensitas resultannya termodulasi kuat oleh interaksi ini. Syarat terjadinya difraksi
harus memenuhi hukum Bragg yaitu : 2d sin = n . Jika atom-atom tersusun
periodik dalam kristal, gelombang terdifraksi akan terdiri dari interferensi maksimun
tajam (peak) yang simetri, peak yang terjadi berhubungan dengan jarak antar atom
(Affandi, 2006).
2.7.3

Spektrofotometri Raman
Hamburan Raman adalah teknik spektroskopik yang sangat berguna untuk

mempelajari dan mengidentifikasi berbagai alotrop karbon. Ikatan karbon-karbon (CC) dapat membentuk struktur molekular dan kristalin merupakan hal yang
menakjubkan, karbon akan membentuk ikatan sp, sp2 atau sp3. Dalam hal kristal
tunggal diamond, atom-atom karbon diikat dengan tetangganya dengan ikatan
kovalen sp3 yang kuat, membentuk struktur kubus dengan grup, terutama
dibandingkan dengan elemen lain didalam susunan berkala. Ikatan antar atom ruang
O7h (Fd3m). Kristal diamond hanya memiliki satu moda optik degenerasi - lipat
tiga pada pusat daerah Brillouin (simetri T2g) (Priyanto et al., 2006).
Gambar 2.1 Karakteristik spektra Raman untuk bahan berbasis karbon

18

(Priyanto et
al.,2006).

19

Anda mungkin juga menyukai