Anda di halaman 1dari 10

WAYANG; Upaya Nenek Moyang Menggapai Kesadaran

Rahsa Sejati
Feb 27
Posted by SABD
WAYANG
KARYA ASLI LELUHUR BANGSA
Sebagai Falsafah Gumlaring-Bawn
Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki beberapa jenis
antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau,
Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu, Wayang Golek terbuat
dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling
aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia
hidup-hidup hii..!!
Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti bayangan. Ditinjau dari
perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau
cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur
angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang
digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita
kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam
gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri
penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh
gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang
menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama
jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua
kru-nya untuk melebur dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan
yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara
semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending
atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang
dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam
pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang
berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke
arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan
wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan,
ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di
sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria
pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah
kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria
pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain
karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang)
layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis.
Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan

berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai


simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar
di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam
gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng,
kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar.
Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan
sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya.
Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun
bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama
pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8
jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik
gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara
lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan
slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana
digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis
putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut
penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang.
Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang
sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga
dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi
penggerong.
Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon
Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang, seorang dalang tidak
bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon apa yang akan
dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.
Di antaranya adalah sbb:
1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan.
2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.
3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.
Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang penanggap
wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon sesuai
wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah
dilakukan kegiatan nayuh atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya
jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang
melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau
gambaran akan suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini,
maupun gambaran futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar
dalang masa kini, salah satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan
seseorang memiliki spiritualitas relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia
lagi, masyarakat sering mengukur tingkat kesaktian (spiritualitas)
seorang dalang bilamana ia sudah mampu membawakan lakon
Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan disegani bila ia
mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara ruwat bumi.
Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak
kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM,

yakni Ki Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering


disebut-sebut pula sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali
melakukan ruwatan bumi Yogya-Sala atas permintaan dari kraton
Yogyakarta.
Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa digelar. Seperangkat
wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceriteraceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai
untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek
tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh
yang ada dalam jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan
lakon-lakon tertentu.
Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada tradisi dan adat
istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai pantanganpantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Misalnya
beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk
dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara
pribadi berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat
akibatnya di kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi,
kesehatan atau keselamatannya. Maka orang tidak berani melanggar
pantangan ini, karena percaya bahwa keluarganya akan mengalami
kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota keluarga yang
meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau
malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita
jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan
wayang. Untuk suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan
harus disesuaikan pula. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan
sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi
Sri atau Pulangnya Dewi Sri, sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya
adalah Bathara Kala.
Asal-usul Wayang
Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai
pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut
kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan
peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga
sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau
diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain
sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita
pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan
hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di
Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan
Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu
bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang

berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju


Gusti Murbeng Dumadi (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara
wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon
disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang
digelar mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara
ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah
nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan
restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas,
demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat.
Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum,
atau pada tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya,
upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang
sudah profesional, yakni Dalang.
Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal
Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian
terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan
fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim
kepercayaan dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara
turun temurun. Untuk mempertahankan kesenian asli warisan nenekmoyang nusantara, kraton Mataram Yogyakarta telah memberikan tempat
hidup yang subur bagi kesenian wayang terutama wayang purwa/kulit,
sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habirand pada
tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang lulusan
sekolah Habirand banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap
dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya.
Pertunjukan dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di
desa-desa, serta di media elektronik. Sebagai salah satu penggemar
kesenian wayang kulit, hampir setiap malam antara jam 23.00 hingga
jam 03.00 terkadang jam 04.00, siaran wayang kulit melalui berbagai
radio di Yogyakarta selalu setia menemani kami dalam kegiatan metani
keyboard*. Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng,
Petruk Kanthong Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwaraga ini dari rasa kantuk fisik dan kantuk batin. Nuwun Gong, Truk,
Reng, Mar..!
Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam tesisnya,
wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan
banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik)
karena konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di
dalamnya. Etika berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang
buruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, harus dapat
diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia
kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas pagelaran kesenian wayang
memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan
dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan

pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam,


dan kodrat Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan
tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam
filsafat Jawa akan diukur dengan realitas tertinggi. Dalam wayang
dituntut harus ada semangat, grengseng dan greget, yang semua itu
merupakan proyeksi dari keindahan nilai realitas tertinggi.
1. Struktur Pergelaran
Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran
akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher
counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili
dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet
manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya
menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan,
baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi
ketiga. Patet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria
untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar
atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas
kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral
(dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan
tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang
baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang
masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A Ciptoprawiro,
dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)
2. Garap tokoh
Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang mempunyai tingkat
kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu
menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau
tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan tokoh,
yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat
pengajaran dari sang guru.
3. Garap Catur
Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis dalam
melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan
cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem
Pewayangan)
Dalang Legendaris dan Asalnya:
Ki Narto Sabdo
asal Semarang Jateng
Ki Hadi Sugito
asal Kulonprogo Yogya
Ki Gita Sewaya
asal Blitar jatim
Ki Gondo Buwono
asal Madiun
Ki Anom Suroto
asal Solo jateng
Ki Panut Darmoko
asal Nganjuk Jatim
Ki Manteb Sudarsono
asal Karanganyar Solo

Ki Timbul Cermomenggolo asal Bantul Yogyakarta


Ki Murdi Kandhamurdiyat
asal Tulungagung Jatim
Ki Pringga Darsono
asal Sragen
Ki Rusman S Hadikusumo asal Semarang
Ki Sunaryo
asal Surabaya
Ki Asep Sunandar S asal Bandung Jabar (wayanggolek)
Masih banyak lagi para profesional Dalang dari wilayah Banyumas, serta
dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket, Dalang
Jemblung, dan yang lain-lainnya.
Peralatan
Blencong
Dalang
Kelir

Dalam Pagelaran Wayang


: Lampu minyak kelapa untuk menerangi layar.
: Orang yang menjalankan lakon wayang.
: Gedebok pisang digunakan untuk
menancapkan wayang.
Wayang
: Sejenis boneka dua dimensi yang
digerakkan oleh dalang.
Gamelan : Alat musik tradisional Jawa untuk
mengiringi pementasan.
Niyaga
: Orang yang menabuh gamelan.
Lakon
: Jalan cerita atau judul.
Sabetan
: Gerak gerik wayang yang dijalankan
Ki Dalang.
Beber
: Layar untuk menangkap bayangan wayang
dalam ajang sabetan.
Waranggana : Tim vokalis tembang dalam
pentas wayang.
Panyumping : Asisten dalang yang bertugas membantu
menyiapkan ubo rampe dan membantu
mengurutkan wayang.
Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang
yang belum dan sudah ditampilkan.
KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG
Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang
kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh
kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman
(tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para
santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak
bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma
tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak,
namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu

mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain
semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca
secara verbal.
Gatholoco Bertanya
Gatholoco nuly ngucap, dalang wayang lawan klir, lan balncong
ngndi kang tuw, badnn cangkriman iki. Yn sir nyt wasis, msthi
wruh ingkang spuh, Ahmad Arif ambatang klir kang tuw pribadi,
Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuw dw. Abdulmanap kanthi
wicak ambatang, mnw tuw dw ora liy wayang.
Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong
mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai
pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak,
kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah
dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain
adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut
belumlah tepat.
Jawaban Versi Gatholoco :
Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir
sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun
bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan pementasan
wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa
wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah
dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir.
Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa
berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih
wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar
kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok.
Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan
karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya. Semua itu bisa
berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam
pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua.
Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.
Makna Di Balik Ucapan Gatholoco
Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita
sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan
dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan,
dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi.
Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya,
berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki
Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar
mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.

Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco


sebagai Kyai Sepi, artinya spi tanp n, nn ginlar ykti, langgeng
tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanp rh tanpa guna,
ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa
ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta,
tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna,
yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.
Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap
wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati,
semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum
lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.
Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk
rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam
pementasan wayang sbb;
Bbr
Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercpd
atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun
tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci.
Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor,
sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya
yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran
bumi, menjadi panggung pementasan sandiwara kehidupan wayang.
Klir
Klir adalah gdbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk
menancapkan wayang, maka klir akan dibuang menjadi barang busuk
berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Klir ibarat
raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya
sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat
berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag mrcapada (bumi).
Wayang
Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya
dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam
si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwngg, jiw ing ngg yakni jiwa
yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik bbr atau
layar ibaratnya guru sejati atau sukma sjati.
Pthi
Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau
wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti
meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pthi.
Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan,
karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya

pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi lorong atau pintu
masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan
menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk
baik saya nggak tahu).
Dalang
Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita
(lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang
harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok
tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang
menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh
tim yang bersama-sama menjalankan pementasan sandiwara kehidupan
wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan
asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon,
menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama
melakonkan wayang.
Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban
dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang
hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai
tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon
kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa
menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya,
setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah
di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya
hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak
ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi
manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah
bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa
agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa
jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama,
sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak
keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala
tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.
Blencong
Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki
dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak
kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum
dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atm sejati
yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahy
sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam
pagelaran wayang. Blencong asale sk wahananing Gusti Kang Murbeng
Dumadi. Cahaya blencong adalah cahy sejati, yang menerangi seluruh
pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahy
sejati, menyinari wayang (sukm sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir.

Blencong dan sinarnya ibarat tej lan cahy. Yakni umpama Bethara
Nurrada dan Bethr Teja (Antg). Chy sejati, cahaya kehidupan
merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas,
berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang
Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora n PR
Mh Tunggal kajb kang NYAWIJI Mh Tunggal.
Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :
..Yn wayang mari tinanggap, wayang kalawan klir sinimpn sajroning
kothak, balncong pisah lan klir, dalang pisah lan ringgit, marang ndi
paranipun, sirnaning balncong wayang, upayann dn kpanggih, yn
tan wruh sir urip ky rc
Bilamana pertunjukan wayang telah usai,
wayang dan kelir disimpan dalam kotak,
blencong terpisah dengan kelir,
dalang terpisah dengan wayang,
di manakah tujuannya,
hilangnya blencong wayang,
carilah sampai ketemu,
bila tak mengerti
kamu ibarat hidup seperti arca.
Bnjang yn sir palastr, uripmu n ing ngndi, saikine sir gsang,
patimu n ing ngndi, uripmu bakal mati, pati nggw urip iku, ing
ngndi kuburir, sir gw wira-wiri, tuduhn dunung panggonanir..
Besok bila kamu mati,
hidupmu ada di mana,
sekarang ini kamu hidup,
kematianmu ada di mana,
hidupmu bakal mati,
kematian membawa kehidupan,
di mana kuburanmu,
kamu bawa kesana-kemari,
tunjukkan di manakah tempatmu.
Apa jawabannya?
Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut
merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin.
Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun
lebih cenderung kiasan. Misalnya: besok bila kamu mati. Maksudnya
yang mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama

Anda mungkin juga menyukai