SUPERVISOR :
dr. H. Abdul Razak D. Sp.A
Disusun oleh:
Honesti Trijuniarni
H1A 007 022
1
1
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam sumsum
tulang dan limfa (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi tidak teratur atau
akumulasi sel darah putih dalam sumsum tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal.
Proliferasi juga terjadi di hati, limpa, dan nodus limfatikus. Terjadi invasi organ nonhematologis seperti meninges, traktus gastrointestinal, ginjal, dan kulit 1
Leukemia atau kanker darah adalah sekelompok penyakit neoplastik yang beragam, ditandai
oleh perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di
sumsum tulang dan jaringan limfoid. Sel-sel normal di dalam sumsum tulang digantikan oleh sel
tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari sumsum dan dapat ditemukan di dalam
darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia mempengaruhi hematopoiesis atau proses
pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh penderita 2
Kata leukemia berarti darah putih, karena pada penderita ditemukan banyak sel darah putih
sebelum diberi terapi. Sel darah putih yang tampak banyak merupakan sel yang muda, misalnya
promielosit. Jumlah yang semakin meninggi ini dapat mengganggu fungsi normal dari sel
lainnya.
Klasfikasi
Leukemia dapat diklasifikasikan atas dasar:1,2
Dasar klasifikasi
1. Perjalanan
penyakit
jenis
alamiahAkut
Keterangan
hingga hari.
kronis
terlibat
ditemukan
dan
padamieloid
darah
leukemik
Leukemia
subleukemik,
Leukemia
aleukemik
3
3
LEUKEMIA
lebih sering terjadi pada dewasa daripada anak-anak.Tipe ini dahulunya disebut leukemia nonlimfo
AML
CML
sering terjadi pada orang dewasa. Dapat juga terjadi pada anak-anak, namun sangat sedik
merupakan tipe leukemia paling sering terjadi pada anak-anak. Penyakit ini juga terdapat pada dewasa yang terutama te
ALL
sering diderita oleh orang dewasa yang berumur lebih dari 55 tahun. Kadang-kadang juga diderita oleh dewasa muda, dan
CLL
4
4
anak. Di RSU dr. Sardgito LLA 79%, LMA 9% dan sisanya leukemia kronik, sementara itu di
RSU dr. Soetomo pada tahun 2002 LLA 88%, LMA 8% dan 4% leukemia kronik. 3
Rasio laki-laki dan prempuan adalah 1,15 mendekati 1 utuk LMA. Puncak kejadian 2-5
tahun, spesifik untuk anak kulit putih ALL, hal ini disebabkan banyaknya kasus pre B-LLA pada
rentan usia ini. Kejadian ini tidak tampak kulit hitam. Kemungkinan puncak tersebut merpakan
pengaruh factor-faktor lingkungan di Negara industri yang belum diketahui. 3
Etiologi
Penyebab leukemia belum diketahui namun anak-anak dengan cacat genetic (trisomi 21,
sinrom Blooms, anemia. fanconi dan ataksia telangiektasia) mempunyai lebih tinggi untuk
menderita leukemia mozigot. 3
Studi faktor lingkungan difokuskan pada inutero dan pascanetal. Mosko melakukan studi
kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal atau maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko pada keturunannya. 3
Penggunaan marijuana maternal jika menunjukan hubungan yang signifikan. Radiasi dosis
tinggi merupakan leukemoginik, seperti dilaporkan di Hirosima dan Nagasaki sesudah ledakan
bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi inutero secara signifikan tidak
mengarah pada peningkatan insiden leukemia, demikian juga halnya dengan radiasi dosis rendah.
Namun hal ini masih merupakan perdebatan. Pemeriksaan X-ray abdomen selama trimester 1
kehamilan menunjukkan peningkatan kasus sebanyak 5 kali. 3
Kontroversi tentang paparan elektromagnetik masih tetap ada. Beberapa studi tidak
menemukan tingkatan tapi studi terbaru menunjukan peningkatan 2x diantara anak-anak yang
tingga dijalur listrik tegangan tinggi. Namun tidak signifikan karena jumlah anak yang terpapar
sedikit. Hipotesis yang menarik saat ini mengenai etiologi leukemia pada anak-anak adalah
serangan infeksi virus dan bakteri. 3
5
5
Faktor Prognostik
Faktor-faktor prognostik LLA sebagai berikut: 3
1. Jumlah leukosit awal yaitu pada saat diagonis di tegakkan, mungkin merupakan faktor
prognosis yang bermakna tinggi. Ditemukan hubungan linier antara jumlah leukosit awal
dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit
>50.000 ul mempunyai pronosis yang buruk.
2. Ditemukan pula adanya hubungan antara umur pasien saat diagonis dan hasil pengobatan.
Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih
buruk dibandingkan dengan pasien yang berumur diantara itu. Kasusu pasien dibawah
umur 1 tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk.
Hal ini dikatakan karena mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu.
3. Fenotip imunologis dari limfoblast saat diagonis juga mempunyai nilai prognostik.
Leukemia sel-B (L3 pada kasus FAB) dengan antibodi kappa dan lambda pada
permukaan blast diketahui mempunyai prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol
spesifik untuk sel B prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai
prognosis yang jelek, dan diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, selT leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai mempunyai
prognosis yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatas dengan protokol
resiko tinggi.
4. Anak perempuan mempunyai prognosis yang lebih baik dari anak laki-laki. Hal ini
dikatakan karena timbulnya relaps testis dan kejadian leukemia sel-T yang tinggi di
hiperleukositosis dan organomegali serta massa mediatinum pada anak laki-laki.
Penyebab pastinya belum diketahui, tatapi diketahui pula perbedaan metabolisme
merkaptorin dan metotreksat.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur daru jumlah sel blast di darah tepi setelah satu
minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blast pada sum-sum tulang pada
induksi hari ke-7 atau 14 menunjukan prognosis buruk.
6. Kelainan
jumlah
kromosom
juga
mempengaruhi
prognosis.
LLA
hiperloid
(>50/kromosom) yang bias ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis yang baik.
6
6
LLA haploid (3-5%) memiliki prognosis intermediate seperti t (1;19). Translokasi t (9;22)
pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan tdengan prognosis buruk.
Patofisiologi
Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang berproliferasi secara klonal sampai mencapai
sejumlah populasi sel yang dapat terdeteksi. Diperkirakan agen penyebab leukimia mempunyai
kemampuan melakukan modifikasi nucleus DNA, dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
suatu kondisi (mungkin suatu kelainan) genetik tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan
mutasi onkogen seluler. 3
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian
besar LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Oleh
karena itu homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk lebih
memudahkan pemakaian dalam klinik sebagai berikut :
L-1
terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak inti
umumnya tidak nampak dan sitoplasma sempit.
L-2
pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukuran bervariasi, kromatin lebih kasar
dengan satu atau lebih anak inti.
L-3
terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
anak
Akibat terbentuknya populasi sel leukimia yang makin lama makin banyak akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal dan bagi faal tubuh maupun dampak
karena infiltrasi sel leukimia ke dalam organ tubuh. Kegagalan hematopoisis normal merupakan
akibat yang besar pada patofisiologi leukimia akut, walaupun demikian patogenesisnya masih
sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan
populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran
sumsum tulang yang justru hiposeluler.
7
7
Anemia
Sitopeni
Sel mieloid
Leukopenia
Sel limfoid
Trombositopenia
Gangguan hematopoeisesis
Blokade Maturitas
8
8
Imunofenotip
Sel leukemia adalah hasil dari mutasi pada tahap perkembangan awal hemopoitik.
Klasifikasi imuninofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahaptahap maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan, LLA
dalam prekursor sel-B atau prekusor sel-T.prekusor sel-B termasuk CD19, CD20, CD21 dan
CD79. 3
Diagnosis Banding
-
Anemia aplastik
Gangguan mieloproleferatif
ITP
Keganasan lain
Penyakit reumatologi
Penyakit vaskular
Induksi virus
Infeksi mononukleosis
Reaksi leukemoid
Sepsis
Pengobatan
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (dexametasol
vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai remisi
komplit, remisi parsial, atau gagal. Intensifikasi merupakan kemoterapi intensif tambahan setelah
remisi komplit dan untuk profilaksi leukimia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan
adalah tercapainya perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien resiko
sedang dan tinggi induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95%
9
9
pasien akan mendapatkan remisi pada pasien ini. Tetapi SSP yaitu secara langsung diberikan
melalui remisi intratekal dengan obat metotreksak sering dikombinasi dengan infus berulang
metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 g/m 2). Dibeberapa
pasien resiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan radiasi
cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi. 3
Terapi lanjutan lumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metotresak
setiap minggu, secara oral dengan sitostartika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya
terapi lumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-21/dua tahun dan tidak ada keuntungan jika
perawatan selama tiga tahun. 3
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukimia.
Pada aspirasi sumsum tulang jumlah sel blast <5% dari sel berinti, Hb >12 gr/dl tanpa transfusi,
jumlah leukosit >300/ul dengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit >6.000/ul,
jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan cerebrospinal normal. 3
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya
bagi anak-anak dengan leukimia sel-T yang setelah relaps yang mempunyai prognosis yang
buruk dengan terapi sitostatika konvensional. 3
Di negara maju seperti Amerika Serikat, LMA merupakan 32% dari seluruh kasus
leukemia.
Penyakit ini lebih sering ditemui pada dewasa (85%) daripada anak (15%).
10
10
Insidensi LMA umumnya tidak berbeda dari masa anak-anak hingga masa dewasa muda.
Sesudah usia 30 tahun, insidensi LMA meningkat secara exponensial sejalan dengan
meningkatnya usia.
Insidensi LMA pada orang yang berusia 30 tahun adalah 0,8%, pada orang yang berusia
50 tahun adalah 2,7 %, sedangkan pada orang berusia>65 tahun adalah sebesar 13,7%
Secara umum tidak didapatkan adanya variasi antar etnik tentang insidensi LMA.
3. Etiologi 3
11
11
Patognesis
Patognesis utama LMA pada setiap tahapan umur secara umum tidak berbeda yaitu
akibat adanya blockade maturitas yang menyebabkan proses diferensiasi sel-sel seri
myeloid terhenti pada sel-sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. 3
Selain itu, sel-sel blast yang terbentuk juga punya kemampuan untuk migrasi keluar
sumsum tulang dan berinfiltrasi ke organ-organ lain seperti kulit, tulang, jaringan lunak
dan SSP serta merusak organ-organ tersebut dengan segala akibatnya. 3
Banyak cirri-ciri klinik dari AML yang mirip dengan gambaran pada ALL.
Ciri-ciri morfologi dari myeloblas dan cirri-ciri cytokimia dari AML dapat dilihat pada
table dibawah ini;
Diagnosis
Klasifikasi 3
FAB klasifikasi dari AML
AML FAB classification
AML subtype
AML-M0
AML-M1
AML-M2
AML-M3
AML-M4
AML-M4eo
AML-M5a
AML-M5b
AML-M6
Acute erythroleukemia
AML-M7
Terapi 3
Tujuan pengobatan pada pasien LMA adalah untuk mengeradikasi sel-sel klonal leukemik
dan untuk memulihkan hematopoesis normal didalam sumsum tulang.
Survival jangka panjang hanya didapatkan pada pasien yang mencapai remisi komplit
Dosis kemotrapi tidak perlu diturunkan karma alas an adanya sitopenia, karma dosis yang
diturunkan ini akan tetap menimbulkan efek samping berat berupa supresi sumsum tulang,
tanpa punya efek yang cukup untuk mengeradikasi sel-sel leukemik maupun untuk
mengembalikan fungsi sum-sum tulang.
13
13
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang diperlukan
untuk sintesis hemoglobin.4
2. KLASIFIKASI
IA
ANEM
idapat
lastik d
p
a
a
i
Anem
onal
a nutriti
i
m
e
n
A
aH
Anemi
emoliti
semia
im thala
z
n
e
t
i
enyak
erkait p
T
i
s
e
b
i
ens
a defisi
Anemi
a defisi
Anemi
. B12
ensi Vit
aS
Anemi
onal
a nutriti
Anemi
m
Post he
ak
oragik
ut
el sabit
itik he
Hemol
Folat
fisiensi
e
d
a
i
Anem
k lain
Aplasti
la
rediter
in
apat
itik did
l
o
m
e
H
ronis
yakit k
n
e
p
m
Dala
a
Lainny
lain
14
14
3. ETIOLOGI
Secara umum anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen5:
a.
Berkurangnya produksi sel darah merah
Anemia disebabkan karena kecepatan produksi sel darah merah lebih rendah dari
destruksinya. Penyebab berkurangnya produksi sel darah merah1:
Kekurangan nutrisi: Fe, B12, atau folat; dapat disebabkan oleh kekurangan
diet, malaborpsi (anemia pernisiosa, sprue) atau kehilangan darah (defisiensi
Fe)
Kelainan sumsum tulang (anemia aplastik, pure red cell aplasia,
mielodisplasia, infiltrasi tumor)
Supresi sumsum tulang (obat, kemoterapi, radiasi)
Rendahnya trophic hormone untuk stimulasi produksi sel darah merah
(eritropoietin pada gagal ginjal, hormon tiroid [hipotiroidisme] dan androgen
[hipogonadisme])
Anemia penyakit kronis/anemia inflamasi, yaitu anemia dengan karakteristik
berkurangnya Fe yang efektif untuk eritropoiesis karena berkurangnya
absorpsi Fe dari traktus gastrointestinal dan berkurangnya pelepasan Fe dari
makrofag, berkurangnya kadar eritropoietin (relatif) dan sedikit
berkurangnya masa hidup erirosit.
b.
Meningkatnya destruksi sel darah merah
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan karena berkurangnya masa
hidup sel darah merah (kurang dari 100 hari). Pada keadaan normal, umur sel darah
merah 110-120 hari.4 Anemia hemolitik terjadi bila sumsum tulang tidak dapat
mengatasi kebutuhan untuk menggganti lebih dari 5% sel darah merah/hari yang
berhubungan dengan masa hidup sel darah merah kira-kira 20 hari.5
Kehilangan darah.
15
15
4. PATOFISIOLOGI.
darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah
terjadi perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
Tabel. Perbandingan ketiga tahapan ADB 4
Tahap 1
normal
Tahap II
Sedikit menurun
Tahap 3
Menurun jelas
(mikrositik/hipokromik)
<100
Fe serum (g/dL)
normal
<60
<40
TIBC ((g/dL)
360-390
>390
>410
20-30
<15
<10
<20
<12
<12
40-60
<10
<10
>30
>100
>200
Normal
Normal
Menurun
Sideroblas (%)
FEP ((g/dL SDM)
MCV
5. DIAGNOSIS
a. Manifestasi klinis
Gejala yang umum terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan kadar Hb 6-10 g/dL terjadi
mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala anemi hanya ringan saja. Bila kadar
Hb turun menjadi <5 g/dL gejala iritabel dan anoreksia akan mulai tampak lebih jelas.
Bila anemia terus berlanjut dapat terjadi takikardi, dilatasi jantung dan murmur sistolik.
Namun kadang-kadang pada kadar Hb <3-4 g/dL pasien tidak mengeluh karena tubuh
sudah mengadakan kompensasi sehingga beratnya gejala ADB sering tidak sesuai dengan
kadar Hb. 4
Gejala lain yang dapat muncul yaitu:
17
17
Intoleransi terhadap latihan: penurunan aktifitas kerja dan daya tahan tubuh
Termogenesis yang tidak normal: ketidakmampuan untuk mempertahankan suhu
tubuh normal pada saat udara dingin
Daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun hal ini terjadi karena fungsi leukosit
yang tidak normal. Pada penderita ADB neutrophil mempunyai kemampuan untuk
fagositosis tetapi kemampuan untuk membunuh E.coli dan S.aureus menurun.
Pada ADB dapat dijumpai kondisi yang disebut sebagai pika yaitu kegemaran
memakan makanan yang tidak biasa seperti es batu, kertas, tanah dan rambut.
Perlu digali informasi mengenai riwayat terinfeksi malaria, infestasi aprasit seperti
ankylostoma dan schistosoma. 5
b. Pemeriksaan fisik 4
Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
Tanpa organomegali
Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis, takikardi, gagal
jantung, protein-losing enteropathy
Gangguan pertumbuhan
c. Laboratorium 2,6
1. Pemeriksaan darah rutin
Jumlah leukosit biasanya normal tetapi pada ADB yang berlangsung lama
dapat terjadi granulositopenia.
Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali normal.
Nilai indeks eritrosit, MCV, MCH, MCHC menurun sejajar dengan penurunan
kadar Hb
Eosinophilia dapat ditemukan pada kondisi yang disebabkan oleh infestasi
cacing.
Nilai RDW tinggi >14,5% pda defisiensi besi, bila RDW normal (<13%)
ditemukan pada talasemia trait
2. Morfologi darah tepi: didapatkan keadaan hipokromik, mikrositik, anisositosis, dan
poikilositosis (dapat ditemukan sel pensil, sel target, ovalosit, dan sel fragmen).
3. Retikulosit
4. Pemeriksaan status besi
Fe serum menurun dan TIBC meningkat.
Saturasi transferrin: jika <16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat
untuk mendukung eritropoisis, kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
18
18
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau
pemeriksaan lainnya. Jika ST <7: diagnosis ADB dapat ditegakkan.
FEP untuk mengetahui kecukupan suplai besi ke eritorid sumsum tulang. Nilai
FEP >100 g/dL erirrosit menunjukkan ADB. Meningkat FEP disertai ST
yang menurun menandakan ADB yang progresif.
Serum transferring receptor (STfR), sensitive untuk menentukan defisiensi
besi, memiliki nilai tinggi untuk membedakan ADB dengan anemia akibat
penyakit kronik.
5. Apusan sumsum tulang: gambaran khas ADB adalah hyperplasia sistem eritropoetik
dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada tidaknya besi dapat diketahui
dengan pewarnaan Prussian blue.
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO: 4
Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata31% (N:32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 g/dL (N: 80-180 g/dL)
4. Saturasi transferrin <15% (N:20-50%)
Catatan: kriteria ini harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1,3 dan 4. Tes yang paling
efisien untuk mengukur cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum.
Kriteria diagnosis ADB menurut Lanzowsky yaitu: 4
1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokromik mikrositik yang dikonfirmasi dengan kadar
MCV, MCH, dan MCHC yang menurun
2. RDW >17%
3. FEP meningkat
4. Ferritin serum menurun
5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST<16%
6. Respon terhadap pemberian preparat besi
Retikulosit mencapai puncak pada hari ke 5-10 setelah pemberian besi
Kadar Hb meningkat rata-rata 0,25-0,4 g/dL/hari atau PCV meningkat
1%/hari.
7. Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada pewarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi kurang.
1.
19
19
6. DIAGNOSIS BANDING
Keadaan yang sering memberi gambaran klinis dan laboratorium yang hampir sama dengan
ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis. Keadaan lainnya adalah
keracunan timbal dan anemia sideroblastik. 4
Pemeriksaan Lab
ADB
Talasemia minor
Anemia penyakit
kronis
MCV
N,
Fe serum
TIBC
Saturasi transferrin
FEP
N atau
Ferritin serum
7. TERAPI
Prinsip penatalaksanaanya ADB yaitu mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. 4
a. Pemberian preparat besi
1) Peroral
Garam ferrous diabsorbsi 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang
tersedia berupa ferrous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah
ferrous sulfat karena harganya lebih murah. Ferrous glukonat, ferrous fumarat dan
ferrous suksinat diabsorbsi sama baiknya.
Untuk mendapat respon pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi
elemental/KgBB/hari.
Respon terhadap pemberian besi pada ADB 4
Waktu setelah pemberian besi
Respons
12-24 jam
36-48 jam
48-72 jam
4-30 hari
Kadar Hb meningkat
1-3 bulan
2) Parenteral
Pemberian besi secara intramuscular akan menimbulkan rasa sakit dan harganya
mahal. Dapat menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibanding peroral
Preparat yang dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/mL. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg)= BB (kg) X kadar Hb yang diinginkan (g/dL) x 2,5
b. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang
disetai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan
transfusi tidak perlu secepatnya karena akan membahayakan akibat hypervolemia dan
dilatasi jantung. Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb <4
g/dL hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/KgBB/per satu kali pemberian disertai
pemberian diuretic seperti furosemide. 4
8. PENCEGAHAN
21
21
9. PROGNOSIS
Prognosis baik bila penyebab anemia hanya karena kekurangan zat besi saja dan diketahui
penyebabnya serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. 4
22
22
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 5 bulan
Agama
:Hindu
Alamat
: Monjok Griya-Selaparang
MRS
: 07 Mei 2013
RM
: 081081
II. ANAMNESIS (Heteroanamnesis didapatkan dari ibu & ayah kandung pasien)
Keluhan Utama: demam
Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang ke poli anak RSUP NTB dengan keluhan demam
sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian obat demam. Pasien
dikeluhkan sering mengalami demam berulang yang hilang timbul sejak beberapa minggu ini.
Keluhan batuk (-), pilek (-), sesak (-), kejang (-), diare (-), mimisan (-), gusi berdarah (-), ruam
kulit (-), berak hitam (-). Selain demam pasien juga dikeluhkan tampak pucat terutama pada
tangan dan kaki. Orang tua pasien tidak memperhatikan sejak kapan pasien mulai tampak pucat.
Ibu pasien mengatakan pasien masih kuat menyusu, banyak makan bubur dan tidak tampak
23
23
lemas. Selama 2 bulan terakhir ini berat badan pasien tetap bertambah namun lebih sedikit
dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Riwayat Penyakit Dahulu: sebelum ini pasien tidak pernah opname di rumah sakit. Pasien juga
tidak pernah dikeluhkan demam.
Riwayat Penyakit Keluarga: riwayat keluhan pucat yang sama pada keluarga disangkal,
penyakit kanker, malaria, sakit kuning, gangguan pembekuan darah, sering transfusi, asma,
gangguan ginjal, gangguan jantung, seluruhnya disangkal.
Riwayat Pengobatan: pasien sudah dibawa berobat ke praktek dokter swasta, diberikan sirup
dan puyer namun keluhan belum berkurang.
Riwayat Alergi: makanan (-), obat (-).
Riwayat Pribadi & Sosial:
Riwayat Nutrisi:
Sampai saat ini pasien masih mendapat ASI. Pasien mulai mendapat makan makanan
pendamping berupa bubur buatan sendiri pada usia 3 bulan. Selama ini pasien masih
kuat menyusu dan nafsu makan pasien dirasa normal
Riwayat Imunisasi:
Sampai saat ini pasien sudah mendapakan imunisasi DPT, HB dan polio.
Riwayat Tumbuh-Kembang:
24
24
Saat ini pasien sudah bisa telungkup sendiri dan mengangkat kepala. Pasien bisa
mengambil barang yang diarahkan kepadanya. Pasien mengikuti gerakan benda yang
diarahkan padanya. Pasien mampu mengucapkan kosakata yang belum terdengar jelas.
: tampak aktif
Keadaan sakit
: sakit ringan
Kesadaran/GCS
: compos mentis/E4V5M6
Tekanan Darah
: tidak dievaluasi
Nadi
Pernafasan
Suhu
: 36,6o C
Berat Badan
: 6,5 kg
Panjang Badan
: 66 cm
Status Gizi
: Z-score
a. BB/U -1,1
b. PB/U0,04
25
25
c. BB/PB -1,3
Status Lokalis
Kepala :
Rambut : normal
Udema (-)
Mata :
Kornea : normal
Telinga :
Bentuk : normal
Simetris
Leher :
Simetris (-)
Pemb.KGB (-)
Trakea : ditengah
Thorax
Inspeksi :
-
Bentuk: simetris
Ukuran: normal
Permukaan kulit : petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider nevi (-), vena
kolateral (-), massa (-), sikatrik (-)
Iga dan sela antar iga: Pelebaran ICS (-), retraksi (-)
Palpasi :
-
Perkusi :
-
Sonor +/+
Batas paru jantung: o batas kanan jantung : SIC II linea parasternal dextra
27
27
Paru: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), suara gesek pleura (-/-)
Abdomen
Inspeksi :
- Bentuk : distensi (+)
- Umbilicus : mendatar
- Permukaan Kulit : sikatrik (-), pucat (+), sianosis (-), vena kolateral (-), caput meducae
(-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-)
Auskultasi :
- Bising usus (+) normal
- Metallic sound (-)
- Bising aorta (-)
Palpasi :
- Abdomen teraba supel
- Turgor : normal
- Tonus : normal
- Nyeri tekan (-)
- Hepar tidak teraba
- Lien teraba Schuffner 1, Hackett 1
- Ren dextra-sinistra tidak teraba.
Perkusi :
- Timpani pada seluruh lapang abdomen.
-
Extremitas :
Ekstremitas atas :
28
28
Deformitas : -/-
Edema: -/-
Sianosis : -/-
Ptekie: -/-
Koilonikia -/-
Ekstremitas bawah:
Deformitas : -/-
Edema: -/-
Sianosis : -/-
Ptekie: -/-
Columna Vertebra :
Tidak ada kelainan, nyeri tekan (-)
Genitourinaria :
-
IV. RESUME
29
29
demam sejak 4 hari yang lalu. Demam dirasakan naik turun dengan pemberian obat
demam.
Keluarga dengan keluhan yang sama atau keluarga dengan keganasan dan gangguan
darah, seluruuhnya disangkal.
Riwayat kelahiran di rumah sakit secara SC, mendapat makanan pendamping ASI pada
usia 3 bulan.
Ditemukan splenomegali.
V. DIAGNOSIS KERJA
1. Febris H-4
2. Anemia e.c DD:
Thalasemia
Leukemia
30
30
Diagnostik
o Laboratorium:
UL
o Radiologis:
Ro thoraks
VIII. PENUNJANG
DL:
Jenis
Hb (g/dL)
6 Mei 2013
6,3
7 Mei 2013
6,3
8 Mei 2013
9,0
(post transfusi)
RBC (106/microL)
4,38
4,36
5,17
Hct (%)
23,9
24
30,7
MCV (fL)
54,6
55
59,4
MCH (pg)
14,4
14,4
17,4
MCHC (g/dL)
26,4
26,3
29,3
RDW
22,4
22,8
28,9
WBC (103/microL)
17,6
20,46
13,13
Neutrofil
33
15,1
13,5
Limfosit
50,1
71,5
74,1
Monosit
15,,6
10,6
8,8
Eosinofil
1.0
3,1
3,1
Basofil
0,3
0,5
0,5
425
266
436
platelet
31
31
UL
o BJ: 10,5
o Lekosit: 1-3/lpb
o pH: 5,0
o Eritrosit: 0-2/lpb
o Protein: +1
o Epitel: 2-3/lpb
o Darah: +1
o Kristal: -
o Bakteri: +
o Ca ozalat: -
o Jamur: -
DDR: -
Retikulosit: 2,2
MDT:
o Eritrosit: mikrositik hipokromik, Sel pensil, sel sigar, sedikit tear drop cell.
o Leukosit: Jumlah meningkat. Limfositosis absolut, curiga blast <5%
o Trombosit: jumlah cukup, trombosit besar.
o Kesimpulan: menunjukkan anemia mikrositik hipokromik kemungkinan anemia
defisiensi besi serta kemungkinan keganasan hematologi belum dapat
disingkirkan.
32
32
X. PLANNING
Terapi:
o IVFD D51/4 NS650 cc/hari
o ASI on demand
o Paracetamol drop 0,8 cc (K/P)
o Transfusi PRC 60 cc
Diagnostik:
Rontgen thoraks
BMP
X. PROGNOSIS
34
34
BAB III
PEMBAHASAN
Pada anamnesis pasien, didapatkan keluhan wajah pucat, telapak tangan dan kaki pucat.
Kondisi tersebut mengarah pada gejala-gejala umum anemia. Gejala dan tanda anemia
bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya anemia, juga kebutuhan oksigen penderita.
Pasokan oksigen dapat dipertahankan pada keadaan istirahat dengan mekanisme kompensasi,
peningkatan volume sekuncup, denyut jantung dan curah jantung pada kadar Hb mencapai 5 g%
(Ht 15%). Gejala timbul bila kadar Hb turun di bawah 5 g%, pada kadar Hb lebih tinggi selama
aktivitas atau ketika terjadi gangguan mekanisme kompensasi jantung karena penyakit jantung
yang mendasarinya.3
Untuk memastikan diagnosis, Terdapat dua pendekatan untuk menentukan penyebab anemia
yaitu pendekatan kinetik dan pendekatan morfologi, pendekatan kinetik dapat dilakukan dengan
pemeriksaan darah lengkap, sementara pendekatan morfologi dengan pemeriksaan hapusan darah
tepi.3
Berdasarkan hasil pemeriksaan DL didapatkan kadar Hb 6,3 g/dL, RBC 4,38, MCV 54,6 fL,
MCH 14,4 pg, MCHC 26,4 g/dL. Data tersebut menunjukkan pasien menderita anemia
mikrositik hipokromik. Penyakit-penyakit yang menyebabkan kondisi tersebut antara lain anemia
defisiensi besi, talasemia, anemia sideroblastik dan anemia penyakit kronis. Dengan
ditambahkan data mengenai RDW 22,4 % dan retikulosit 2,2. Indekx Mentzer (rasio MCV/RBC)
pada kasus ini adalah 12,46, indeks RDW (MCV/RBC X RDW) 279 maka meningkatkan
kecurigaan pada ADB namun pada ADB biasanya tidak dijumpai adanya organomegali. Hasil
DL lainnya didapatkan leukositosis dengan hitung jenis leukosit didapatkan neutropenia,
limfositosis dan jumlah platelet normal. Kelainan pada hitung jenis leukosit memunculkan
kecurigaan adanya suatu keganasan hematologi yaitu leukemia. Kecurigaan pada leukemia
didukung juga oleh usia pasien, temuan organomegali dan pada morologi darah tepi dimana
didapatkan limfositosis absolut, curiga adanya blast <5%. Meskipun
Kelainan hitung jenis leukosit dapat menjelaskan kondisi demam yang mengarah infeksi
pada pasien. Kelainan tersebut menyebabkan gangguan imunitas pada pasien sehingga
selanjutnya akan sering mengalami infeksi.
Gejala anemia juga dapat ditemukan pada leukemia. Pada anak-anak kasus leukemia yang
terbanyak adalah jenis ALL. Berikut adalah perbandingan manifestai klinis dan laboratorium
setiap jenis leukemia.
35
35
AML
Perlahan-lahan atau biasanya
ALL
Perlahan-lahan atau biasanya
mendadak
+
+ (dapat menjadi parah),
mendadak
+
+
penyebab)
retikulosit, destruksi SDM)
Tanda-tanda perdarahan (gusi ++
berdarahan, paketekie,
epistaksis, perdarahan GI, GU,
CNS)
Splenomegali, hepatomegaly +
Limfadenopati
+
Sternal tenderness
+
Infiltrasi sel muda leukemik ke + (saat diagnosa)
+
+
bone tenderness
++ (memiliki kecendrungan
jaringan)
infiltrat
Jenis pemeriksaan
Hitung darah tepi
-
AML
ALL
Anemia
+
Trombositopenia
+ (50 % pasien : <50.000/L)
Granulositopenia
Leukosit
+
(normal: 4000-10.000/L)
Rata-rata: 15.000/L
Sel blast
Rerikulosit
+
Rata-rata: 10.000 12.000/L
0,5 2
- Sitoplasma mengandung
granul primer (tidak spesifik)
-
Kromati n bergumpal
36
36
tidak terlihat.
- Auer-rod (-)
Hiperseluler
tulang
Hiperurisemia
Berdasarkan pada penjelasan di atas maka belum dapat ditentukan diagnosis pasti pasien
pada kasus ini apakah menderita leukemia akut atau ADB sehingga diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut berupa aspirasi sumsum tulang. Penanganan yang diberikan saat ini adalah untuk
mengatasi kondisi yang ditemukan sekarang berupa anemia. Kadar Hb pada pasien yaitu 6,3
g/dL sehingga dilakukan transfusi berupa pemberian PRC sejumlah 60 cc sehingga kadar Hb
post transfusi menjadi 9 g/dL.
5
37
37
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Ruspati, Harry dkk.,2010. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Permono dkk., Buku Ajar
Hematologi-Onkologi Anak. Badan Penerbit IDAI
Budi A.F. Pengaruh Pemberian Terapi Besi terhadap Perubahan Nilai Indeks Mentzer dan
Indeks RDW (Red Cell Distribution Width) pada Anak Sekolah Dasar Usia 9-12 Tahun
yang Menderita Anemia Defisiensi Besi. Thesis. Universitas Sumatera Utara: Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. 2008; 1-40
Lubis, Bidasar, dkk., 2010. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pudjaji, Antonius H.,
Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
38
38