PENDAHULUAN
Pada masa yang lalu pneumonia diklasifikasikan sebagai pneumonia tipikal yang
disebabkan oleh Str.pneumonia dan atipikal yang disebabkan kuman atipik seperti halnya
M.pneumoniae. kemudian ternyata manifestasi dari pathogen lain seperti H.influenzae, S.aureus
dan bakteri gram negative memberikan sindrom klinik yang identik dengan pneumonia oleh
str.Peneumoniae, dan bakteri lain dan virus dapat memberikan gambaran yang sama dengan
pneumoniae oleh M.pneumoniae. sebaliknya Legionella spp. Dan virus dapat memberikan
gambaran pneumonia yang bervariasi luas. Karena itu istilah tersebut tidak lagi dipergunakan.
Pada perkembangannya pengelolaan pneumonia telah dikelompokkan pneumonia yang
terjadi di rumah sakit (pneumonia nosokomial) kepada kelompok pneumonia yang berhubungan
dengan pemakaian ventilator (PBV) (ventilator associated pneumonia -VAP) dan yang di dapat
di pusat perawatan kesehatan (PPK) (health care associated pneumonia-HCAP) (2005). Dengan
demikian pneumonia saat ini dikenal dua kelompok utama yaitu pneumonia dirumah perawatan
(PN) dan pneumonia komunitas (PK) (2001) yang didapat di masyarakat. Di samping kedua
bentuk utama ini terdapat pula pneumonia bentuk khusus yang masih sering dijumpai.
Kejadian PN di ICU lebih sering daripada PN di ruangan umum, yaitu dijumpai pada
hamper 25% dari semua infeksi di ICU, dan 90% terjadi pada saat ventilasi mekanik. PBV
didapat pada 9-27% dari pasien yang diintubasi. Resiko PBV tertinggi pada saat awal masuk ke
ICU.
BAB.II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi
jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Pada pemeriksaan histologis terdapat
pneumoitis atau reaksi inflamasi berupa alveolitis dan pengumpulan eksudat yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi.
Pneumonia adalah penyakit klinis, sehingga didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda
klinis, dan perjalanan penyakitnya, yaitu: sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), bahan kimia, radiasi, aspirasi, obat-obatan dan
lain-lain. Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk
(Soedarsono, 2010).
Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik
yang ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran infiltrat
pada foto polos dada.
Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang lebih sama.
Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses
infeksi sedangkan keradangan paru yang disebabkan oleh penyebab non infeksi (bahan kimia,
radiasi, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis (Soedarsono, 2010). Pneumonitis adalah
inflamasi paru non infeksi. Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli (Retno AS
dan Landia S, 2006)
2.2 Etiologi
Kemungkinan kuman penyebab
Pneumonia Nosokomial (PN)
pneumoniae,
S.
aureus,
H.
Ps.
Aeruginosa
Pneumonia Aspirasi
,klebsiella
pneumoniae,
stafilococcus,
Fusobacterium
Bacteriodes
nucleatum,
melaninogenicus,
Peptostreptococcus
mikobakterium,
dan protozoa
b.
Bila
beberapa
bulan
(saluran napas atas). Ig A merupakan salah satu bagian dari sekret hidung (10 % dari total
protein sekret hidung). Penderita defisiensi IgA memiliki risiko terjadi infeksi saluran
napas atas berulang. Kuman yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran napas atas
sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA. Kuman Gram negatif
(P.aeruginosa, E.colli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.pneumoniae) mempunyai
kemampuan untuk merusak IgA. Defisiensi dan kerusakan dari setiap komponen
pertahanan saluran papas atas akan menyebabkan kolonisasi kuman patogen yang
mempermudah terjadinya infeksi saluran napas bawah.
3.
Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa komponen SP-A, SP-B,
SP-C, SP-D yang berfungsi memperkuat daya fagositosis terhadap bakteri oleh
makrofag
Aktifitas anti bakteri (non spesifik) : FFA, lisozim, iron binding protein.
d. Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (pada infeksi GNB, P aeruginosa)
e. Mediator biologi
Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a, produksi dari
makrofag alveolar, sitokin, dan leukotrein
mengalami kolonisasi di pipa endotracheal. PN terjadi akibat proses infeksi bila pathogen yang
masuk saluran napas bagian bawah tersebut mengalami kolonisasi setelah dapat melewati
hambatan mekanisme pertahanan inang berupa daya tahan tubuh mekanik (epitel silia dan
mukus), humoral (antibody dan komplemen) dan selular (lekosit, makrofag, limfosit, dan
sitokinnya). Kolonisasi terjadi akibat adanya berbagai factor inang dan terapi yang telah
dilakukan yaitu adanya penyakit penyerta yang berat, tindakan bedah, pemberian antibiotic, obatobatan lain, dan tindakan invasive pada saluran pernapasan. Mekanisme lain adalah pasasi
bakteri pencernaan ke paru, penyebaran hematogen, dan akibat tindakan intubasi.
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspixasi patogen, kadangkadang
terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung
dari interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat
mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat
terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan
cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu
akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis
oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui
perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena
bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak
dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan
direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan
karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan
edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn).
Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang
terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah) (Retno AS dan Landia S, 2006).
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh
lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi
enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel
paru. Proses ini akan mengakibatkan kabumya struktur seluler paru (Retno AS dan Landia S,
2006).
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan lekosit
PIVINT meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan debris.
Sepanjang struktur retikular part masih intak (tidak terjadi keterlibatan instertitial),
parenkim part akan kembali sempurna dan perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi
berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minim (Retno AS dan Landia S, 2006).
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan
langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini
tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan
frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dispnea dengan tanda-tanda
inspiratory effort. Akibat penurunan ventilasi m aka rasio optimal antara ventilasi perfusi
tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang disebut ventilation perfusion mismatch, tubuh berusaha
meningkatkannya sehingga terjadi usaha nafas ekstra dan pasien terlihat sesak. Selain itu
dengan berkurangnya volume paru secara fungsional karena proses inflamasi maka akan
mengganggu proses difusi dan menyebabkan gangguan pertukaran gas yang berakibat
terjadinya hipoksia. Pada keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas. (Retno AS dan
Landia S, 2006)
2.5 Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat sampai > 40C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadangkadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. (Soedarsono, 2010)
b. Pemeriksaan fisis
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi fremitus dapat
mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi dapat terdengar suara napas
(bronkovesikuler) sampai bronkial, dapat disertai ronki basah halus, yang kemudian
menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. (Soedarsono, 2010)
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi
dengan "air bronchogram", penyebaran bronkogenik dan interstisial serta gambaran
kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya
merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Pseudomonas aeruginosa sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela
pneumoniae sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lo-bus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus. (Soedarsono, 2010)
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah lekosit, biasanya
lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitung jenis lekosit
terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis
etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat
positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan
hipoksemia dan hipokarbia, dan pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
(Soedarsono, 2010)
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif
pada 10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada
penanganan kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus
yang tidak menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal.1 Kultur darah juga
direkomendasikan pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3
bulan. (Retno AS dan Landia S, 2006)
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat untuk diagnosis
Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal,
tidak tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal
pneumonia sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan (Retno AS dan Landia S,
2006).
Pemilihan antibiotik : diagnosa tepat, pemilihan AB tepat, dosis dan cara pemberian
tepat, jangka waktu tepat, berdasarkan patogenesa yg tepat
Pemberian AB berdasarkan perkiraan empiris obat yg paling ampuh dan cocok untuk
pasien
Kelanjutan terapi ditentukan oleh respons terapi, keadaan pasien, dan hasil bakteriologis
I. Pneumonia Komunitas
a. Rawat jalan usia <60 thn : makrolid atau tetrasiklin, untuk S. pneumoniae, M.
pneumoniae, Chlamydia, H. Influenzae
b. Rawat jalan usia >60 thn : sefalosporin gen 2 PO (sefuroksim aksetil),
kotrimoksazol, amoksisilin + as. Klavulanat, untuk S. pneumoniae, H. influenzae,
Staphylococcus pneumoniae
c. Rawat inap : sefalosporin gen 2 atau 3 IV, amoksisilin + as. Klavulanat IV
d. Rawat inap sakit berat : kombinasi makrolid dg AB antipseudomonas (beta
laklam, sefalosporin gen 3, atau yg lain)
II. Pneumonia Nosokomial
Sama seperti terapi rawat inap pd pneumonia komunitas, dg catatan :
a. AB diberikan parenteral, khususnya pada kasus sedang/berat.
b. Pada kecurigaan infeksi ganda diberikan terapi kombinasi.
c. Pada px yg dirawat di ruang ICU (pemakaian ventilator/ kecurigaan Pseudomonas
aeruginosa) diberikan kombinasi 2 AB antipseudomonas.
III. Pneumonia Khusus
Pneumonia aspirasi (PA) biasanya diberikan penisilin 5-10 juta U/hr, atau klindamisin
600 mg iv/8 jam, bila tidak mempan atau alergi terhadap penisilin.
Di RS, biasanya diberikan AB spektrum luas thd kuman aerob dan anaerob, misal :
aminoglikosida + penisilin (sesuai pola dan resistensi kuman di rumah sakit tersebut).
AB perlu diteruskan hingga kondisi px baik, dan gambaran radiologisnya bersih atau
stabil selama 2 mggu (biasanya membutuhkan wkt 3-6 mggu)
Bila pada foto thorax menunjukkan gambaran abses paru yg diduga disertai penyumbatan
saluran napas, perlu dilakukan bronkoskopi terapeutik. Tidak diperlukan bedah abses,
kecuali vila respons terapi kurang, atau terjadi relaps.
Terapi AB Lanjutan
Evaluasi dilakukan dlm 24-72 jam berdasarkan gambaran klinis, dan bila mungkin,
bakteriologis, untuk memutuskan apakah pemberian AB perlu diteruskan, ditambah, atau
diganti.
2.7 Komplikasi
Komplikasi pneumoni
1. Pneumonia ekstrapulmoner( meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis, peritonitis,
dan empiema)
2. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius (gagal ginjal, gagal jantung, emboli paru tau
infark paru dan IMA)
3. Lain2 (ARDS, gagal organ jamak, pneumonia nosokomial)
Pneumonia aspirasi
Gagal nafas akut dengan atau tanpa disertai reaksi saluran nafas, empiema, abses paru dan
superinfeksi paru
Komplikasi infeksi
A. Komplikasi infeksi
Abses paru-paru sebaiknya terapi disertai dengan drainase endokronkial;
drainase postural harus dianjurkan
Sumbatan bronkus . Gx : demam secara tiba2 dengan t sangat tinggi (spiking
fever), toksisitas sistemik, sputum - . Tx : bronkoskopi, jika tidak berhasil :
drainase perkutan
Akumulasi cairan pleura
Perikarditis akut (jarang)
B. Komplikasi noninfeksi
Mencakup efusi parapneumonik yang steril, ileus, sindrom sekresi hormon antidiuresis
yang tidak tepat dan insufisiensi pernapasan
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Z. 2007. Pneumonia In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. Edisi
IV. Balai penerbit FKUI, Jakarta, pp. 974-981.
Retno Asih S dan Landia S. 2006. Pneumonia in: Naskah Lenagkap Continuing
Education Ilmu Kesehatan Anak XXXVI Kapita Selekta Ilmu Kesehatan
Anak VI. Viewed 24 Juni 2010.
< http://www.pediatrik.com/pkb/061022023132-f6vo140.pdf>
Soedarsono. 2010. Pneumonia In. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Departemen
Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. Pp. 149179.