Anda di halaman 1dari 16

Danita Dwi Maryana 1102011070

Skenario 3 MPT : Rona Merah di Pipi


L.I. 1. Memahami dan mempelajari penyakit autoimun.
L.O.1.1. Definisi
Autoimun ialah reaksi sistem imun terhadap antigen jaringan sendiri. Antigen tersebut
disebut autoantigen sedang antibodi yang dibentuk disebut autoantibodi. Penyakit autoimun
yaitu ketidakmampuan mengenal dan memberikan respons terhadap antigen asing tetapi tidak
terhadap antigen sendiri (self-nonself discrimination). Ketidakmampuan sistem imun untuk
memberikan respons terhadap antigen tubuh sendiri disebut toleransi diri (self-tolerance).
Kresno, S.B. 2003. Imunologi:Diagnosis dan Produser Laboratorium. Edisi keempat.
Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
Bratawidjaja, K.G. 2001. Imunologi Dasar. Edisi keempat. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
L.O.1.2. Etiologi
a. Faktor genetik
Dasar dari autoimunitas adalah predisposisi genetik. Hubungan genetik dengan
predisposisi penyakit autoimun yang paling jelas adalah hubungannya dengan MHC.
Hubungan ini karena penyakit autoimun bergantung pada sel T sedangkan seluruh respons
imun diperantai sel T bergantung pada MHC.
b. Ketidakseimbangan sitokin
Ketidakseimbangan sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 dan Th2 yang disebabkan
defek dalam struktur, transkripsi dan fungsi gen sitokin atau gen reseptor sitokin.
c. Sequestered antigen
Antigen sendiri yang karena letak anatominya tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari
sistem imun. Pada keadaan normal, antigen sekuester dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem
imun. Perubahan anatomik dalam jaringan, seperti inflamasi atau infeksi dapat memajankan
antigen sekuester dengan antigen, yang mengakibatkan terbentuknya autoantibodi karena
antigen sekuester tersebut dianggap benda asing oleh sistem imun.
d. Aktivasi dan kelainan pada sel-sel T autoreaktif
Yang mengakibatkan aktivasi sel T autoreaktif adalah respons sel Th1 dan
pembentukan berbagai jenis epitop atau peptida baru yang tidak pernah diekspresikan
sebelumnya oleh sel dendritik kelenjar thymus. Kelaianan pada sel T autoreaktif yaitu tidak
memiliki gen yang menyandi CTL-4 (Cytotoxic T lymphocyte antigen-4).
e. Rangsangan molekul poliklonal
Terjadi karena molekul poliklonal seperti virus Epstain-Bar dapat merangsang sel B
secara langsung dan menimbulkan autoimunitas.
1

Danita Dwi Maryana 1102011070

f. Reaksi silang dengan antigen bakteri


Reaksi autoimun diduga terjadi akibat respons terhadap antigen yang mempunyai
reaksi silang dengan mikroorganisme yang masuk badan.
g. Kadar sitokin menurun
h. Gangguan MHC
i. Gangguan terhadap respons IL-2
L.O.1.3. Klasifikasi
Penyakit autoimun menurut organ :
a. Penyakit autoimun organ spesifik
Terbentuknya antibodi terhadap jaringan alat tubuh. Contoh alat tubuh yang menjadi
sasaran yaitu kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, lambung dan pankreas.
Yang termasuk penyakit autoimun spesifik :

Tiroiditis Hashimoto

Tirotoksikosis

Anemia pernisiosa

Gastritis atrofi autoimun

Penyakit addison

b. Penyakit autoimun non-organ spesifik


Penyakit autoimun yang non-organ spesifik terjadi karena dibentuknya antibodi
terhadap autoantigen yang tersebar luas di dalam tubuh, misalnya DNA. Pada
penyakit autoimun yang non-organ spesifik sering juga dibentuk kompleks imun yang
di endapkan pada dinding pembuluh darah, kulit, sendi dan ginjal serta menimbulkan
kerusakan.
Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik
Organ Spesifik
Antigen

Non-organ spesifik

Terdapat di dalam alat Tersebar di seluruh tubuh


tubuh tertentu

Kerusakan

Antigen dalam tubuh

Penimbunan
sistemik

kompleks

dalm

ginjal,

sendi dan kulit


Tumpang tindih

Dengan antibodi organ Dengan

antibodi

non-

spesifik dan penyakit lain

spesifik

dan

organ

penyakit lain.
2

Danita Dwi Maryana 1102011070

Penyakit autoimun menurut mekanisme :


a. Penyakit autoimun melalui antibodi

Anemia hemolitik autoimun


Salah satu penyebab menurunnya jumlah sel darah merah dalam sirkulasi ialah
destruksi oleh antibodi terhadap antigen pada permukaan sel tersebut.
Destruksi sel dapat terjadi akibat aktivasi komplemen dan opsonisasi oleh
antibodi dan komponen komplemen. Antibodi yang dapat menimbulkan
anemia hemolitik autoimun dibagi dalam 2 golongan berdasarkan sifat
fisiknya yaitu antibodi panas dan dingin.

Miastenia gravis
Timbulnya miastenia gravis berhubungan dengan timus. Pada umumnya
penderita menunjukkan timoma atau hipertrofi timus dan bila kelenjar timus di
angkat, penyakit kadang-kadang dapat menghilang.

Tirotoksikosis
Pada tirotokosis, autoantibodi dibentuk terhadap reseptor hormon. Disini
dibentuk antibodi terhadap reseptor thyroid stimulating hormon (TSH).

b. Penyakit autoimun melalui kompleks imun

Lupus erimatosus sistemik


Agrerat kompleks imun akan disaring di ginjal dan mengendap di membran
basal glomerulus. Kompleks lainnya mungkin mengendap di dinding arteri
dan sendi dan membentuk endapan lumpy-bumpy. Kompleks tersebut
mengaktifkan komplemen dan menarik granulosit dan menimbulkan refleks
inflamasi sebagai glomerulonefritis. Derajat gejala penyakit dapat berubahubah sesuai dengan kadar kompleks imun.

Artritis reumatoid
Pada penyakit ini dibentuk imunoglobin yang berupa IgM (disebut reumatoid
factor), yang spesifik terhadap fraksi Fc dari molekul IgG. Kompleks RF dan
IgG ditimbun di sinovia sendi dan mengaktifkan komplemen yang melepas
mediator dengan sifat kemotaktik terhadap granulosit. Respon inflamasi dan
peningkatan permeabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan sendi.

c. Penyakit autoimun melalui sel T

Hashimoto thyroiditis
3

Danita Dwi Maryana 1102011070

d. Penyakit autoimun melalui komplemen


L.O.1.4. Mekanisme
a. Kerusakan akibat destruksi sel
Kerusakan jaringan ini disebabkan reaksi autoantibodi dengan struktur permukaan sel
terhadap komponen seluler tertentu. Destruksi biasanya terjadi bila ada komplemen
seperti yang tampak pada anemia hemolitik autoimun, atau melalui sitoktosisitas
seluler dengan bantuan antibodi.
b. Kerusakan akibat pembentukan kompleks imun
Kompleks imun berperan dalam autoimunitas sistemik. Kerusakan jaringan diawali
dengan pembentukan kompleks imun yaitu kompleks autoantibodi-autoantigen yang
menimbulkan aktivitas komplemen, granulosit dan monosit. Aktivasi komplemen
ditandai dengan penurunan kadar komplemen antara lain C4. Selanjutnya proses ini
menyebabkan kerusakn jaringan sistemik.
c. Kerusakan akibat reaksi imunologik selular
Kerusakan jaringan terjadi karena sel T sitotoksik yang tersensitisasi merusak sel atau
jaringan secara langsung atau melalui produksi limfokin oleh sel T yang menyulut
respons inflamasi.

L.I.2. Memahami dan mempelajari systemic lupus eritomatosus.


L.O.2.1. Definisi
Systemic lupus eritomatosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.
Jenis-jenis lupus

Cutaneus Lupus : Seringkali disebut discoid yang mempengaruhi kulit.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) yang menyerang organ tubuh seperti


kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak,
dan syaraf.

Drug Induced Lupus(DIL), timbul karena menggunakan obat-obatan tertentu.


Setelah pemakaian dihentikan, umumnya gejala akan hilang.

Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing

Danita Dwi Maryana 1102011070

L.O.2.2. Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, systemic lupus eritomatosus (SLE) telah menjadi salah satu
penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda
bervariasi antara 2.9/100.000-400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu
seperti bangsa negro, Cina dan mungkin Filipina. Faktor ekonomi dan geografis tidak
mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tepai
paling banyak pada usia produktif. Frekuensi terkena penyakit SLE lebih banyak pada wanita
dibandingkan pria.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
L.O. 2.3. Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti. Faktor genetik diduga berperanan penting
dalam predisposisi penyakit ini. Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamushipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE.
Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan
sel-sel apoptosis dan kompleks imun. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban
antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun
dari T helper 1 ke sel T helper 2 yang menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik.
Respon imun yang terpapar faktor eksternal yaitu lingkungan seperti radiasi
ultraviolet bisa menyebabkan disregulasi sistem imun.
Alwi, I., Setiati, S., Setiyohadi, B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Interna Publishing.
L.O.2.4. Patogenesis

Danita Dwi Maryana 1102011070

Adanya faktor genetik memegang peranan yang penting dalam kerentanan serrta
ekpresi penyakit. Gen yang terutama berperan yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
Diantaranya MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta dengan komponen
komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen yaitu ; C1q, C1r,,C1s,C4dan
C2).
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong yang abnormal terhadap sel T
CD4+. Mengakibatkan hilangnya toleransi sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi
serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun berupa sel memori.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (antinuclear antibodi ).dengan antigennya
yang spesifik,ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.
Kompleks imun akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Hal ini menyebabkan aktifasi komplemen
yang menghasilkan substansi penyebab radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
timbul gejala pada organ yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,pleura, pleksus koroideus ,
dan kulit.
Isbagio, H. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta : Balai penerbit
FKUI.
L.O. 2.5 Manifestasi Klinis
Gejala konstitusional
a. Kelelahan
b. Penurunan berat badan
c. Demam
d. Hilangnya nafsu makan
e. Sakit kepala

Manifestasi muskiloskeletal : mialgia (nyeri otot), artralgia (nyeri sendi)

Manifestasi kulit : seborea kongestifa, herpes esthimones dan lesi muko-kutaneus

Manifestasi paru : pneumonitis (radang insterstitial parenkim paru), emboli paru,


hipertensi pulmonum, perdarahan paru atau shrinking lung syndrome.

Manifestasi kardiologis : perikarditis, miokarditis, penyakit jantung kororner, gagal


jantung kongesif, bising jantung

Manifestasi renal : proteinuria, glomerulonefritis

Danita Dwi Maryana 1102011070

Manifestasi gastrointestinal : disfagia,

hepatomegali, pankreatitis akut, nyeri

abdominal, dispesia

Manifestasi neuropsikiatrik : sepsis, uremia, dan hipertensi berat, epilepsis, lesi batang
otak, neuropati perifer, myasthenia gravis.

Manifestasi hemik limfatik : splenomegali, anemia

L.O. 2.6 Diagnosis dan diagnosis banding

Danita Dwi Maryana 1102011070

Diagnosis banding :

Sumber gambar 2 dan 3 : google.com


L.O. 2.7. Pencegahan dan penatalakasanaan
Pencegahan systemic lupus eritematosus
Untuk mencegah kekambuhan SLE, pasien sebaiknya melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Hindari stress dan trauma fisik.
Stress dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memliki kecenderungan akan
penyakit ini.
b. Hindari merokok.
c. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi.
d. Cukuplah beristirahat.
Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa memicu kambuhnya SLE.
e. Diet sesuai kelainan.
f. Hindari infeksi
Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini
kambuh setelah infeksi.
g. Hindari pajanan sinar ultraviolet
Sinar ultraviolet dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak
kemerahan yang menonjol atau menebal.
h. Hindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen.
http://buletinsehat.com/obat/sistemik-lupus-eritematosus-sle/. Sistemik Lupus Eritematosus.
22 Mei 2012. 20:31

Danita Dwi Maryana 1102011070

Penatalaksanaan non-farmako :
a. Edukasi
Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan
penyakit yang kronis. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup tentang berbagai
macam manifestasi klinis yang dapat terjadi, tingkat keparahan penyakit yang
berbeda-beda sehingga penderita dapat memahami dan mengurangi rasa cemas yang
berlebihan. Pada wanita usia reproduktif sangat penting diberikan pemahaman bahwa
bila akan hamil maka sebaiknya kehamilan direncanakan saat penyakit sedang remisi,
sehingga dapat mengurangi kejadian flare up dan risiko kelainan pada janin maupun
penderita selama hamil.
b. Dukungan sosial dan psikologis.
Hal ini bisa berasal dari dokter, keluarga, teman maupun mengikut sertakan peer
group atau support group sesama penderita lupus. Di Indonesia ada 2 organisasi
pasien Lupus, yakni care for Lupus SD di Bandung dan Yayasan Lupus Indonesia di
Jakarta. Mereka bekerjasama melaksanakan kegiatan edukasi pasien dan masyarakat
mengenai lupus. Selain itu merekapun memberikan advokasi dan bantuan finansial
untulk pasienyang kurang mampu dalam pengobatan.
c. Istirahat
Penderita SLE sering mengalami fatigue sehingga perlu istirahat yang cukup, selain
perlu dipikirkan penyebab lain seperti hipotiroid, fibromialgia dan depresi.
d. Tabir surya
Pada penderita SLE aktifitas penyakit dapat meningkat setelah terpapar sinar
matahari, sehingga dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari yang
berlebihan dan menggunakan tabir surya dengan SPF > 30 pada 30-60 menit sebelum
terpapar, diulang tiap 4-6 jam.
e. Monitor ketat
Penderita SLE mudah mengalami infeksi sehingga perlu diwaspadai bila terdapat
demam yang tidak jelas penyebabnya. Risiko infeksi juga meningkat sejalan dengan
pemberian obat immunosupresi dan kortikosteroid. Risiko kejadian penyakit kejadian
kardiovaskuler, osteoporosis dan keganasan juga meningkat pada penderita SLE,
sehingga perlu pengendalian faktor risiko seperi merokok, obesitas, dislipidemia dan
hipertensi.
Penatalaksanaan secara farmakologis :
a. Siklofosfamid
9

Danita Dwi Maryana 1102011070


Merupakan obat utama pada gangguan sistem organ yang berat, terutama nefropati lupus.
Pengobatan dengan kortikosterod dan siklofosfamid (bolus iv 0,5-1 gram/m2) lebih efektif dibanding
hanya kortikosteroid saja, dalam pencegahan sequele ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan
menginduksi remisi ginjal. Manifestasi non renal yang efektif dengan siklofosfamid adalah sitopenia,
kelainan sistem saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.
Pemberian per oral dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB dapat ditingkatkan sampai 2,5-3 mg/kgBB
dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit > 3500/mm3. Monitoring jumlah leukosit
dievaluasi tiap 2 minggu dan terapi intravena dengan dosis 0,5-1 gram/m2 setiap 1-3 bulan.
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah, kadang dapat ditemukan rambut
rontok namun hilang bila obat dihentikan. Leukopenia dose-dependent biasanya timbul setelah 12 hari
pengobatan sehingga diperlukan penyesuaian dosis dengan leukosit.Risiko terjadi infeksi bakteri,
jamur dan virus terutama Herpes zoster meningkat. Efek samping pada gonad yaitu menyebabkan
kegagalan fungsi ovarium dan azospermia.Pemberian hormon Gonadotropin releasing hormone atau
kontrasepsi oral belum terbukti efektif. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami
kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
b.

Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversibel inosine monophosphate dehydrogenase, yaitu suatu enzim
yang penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan T serta mengurangi
ekspresi molekul adhesi. MMF secara efektif mengurangi proteinuria dan memperbaiki kreatinin
serum pada penderita SLE dan nefritis yang resisten terhadap siklofosfamid.
Efek samping yang terjadi umumnya adalah leukopenia, nausea dan diare. Kombinasi MMF
dan Prednison sama efektifnya dengan pemberian siklosfosfamid oral dan prednison yang dilanjutkan
dengan azathioprine dan prednisone. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg dua kali sehari
sampai adanya respons terapi dan dosis obat disesuaikan dengan respons tersebut. Pada penderita SLE
dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan.
c.

Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi
imun seluler dan humoral. Pada SLE obat ini digunakan sebagai alternatif siklofosfamid untuk
pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manifestasi non renal seperti
miositis dan sinovitis yang refrakter.
Pemberian mulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dapat dinaikkan dengan interval
waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan
metrofil > 1000. Jika diberikan bersamaan dengan allopurinol maka dosisnya harus dikurangi menjadi
60-75%.
Efek samping yang terjadi lebih kuat dibanding siklofosfamid, yang biasanya terjadi yaitu
supresi sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan
hipersensitifitas dengan manifestasi demam, ruam di kulit dan peningkatan serum transaminase.
10

Danita Dwi Maryana 1102011070


Keluhan biasanya bersifat reversibel dan menghilang setelah obat dihentikan. Oleh karena
dimetabolisme di hati dan dieksresikan di ginjal maka fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara
periodik. Obat ini merupakan pilihan imunomodulator pada penderita nefropati lupus yang hamil,
diberikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari karena relatif aman.
d. Leflunomide (Arava)
Leflunomide merupakan suatu inhibitor de novo sintesis pyrimidin yang disetujui pada
pengobatan rheumatoid arthritis. Beberapa penelitian telah melaporkan keuntungan pada pasien SLE
yang pada mulanya diberikan karena ketergantungan steroid.Pemberian dimulai dengan loading dosis
100 mg/hari untuk 3 hari kemudian diikuti dengan 20 mg/hari.
e.

Methotrexate

Methotrexate diberikan dengan dosis 15-20 mg peroral satu kali seminggu, dan terbukti efektif
terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping yang biasa terjadi adalah peningkatan serum
transaminase, gangguan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer, sehingga perlu dimonitor ketat fungsi
hati dan ginjal. Pada penderita SLE dengan nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat
golongan ini sebaiknya dihindarkan.
f.

Siklosporin

Pemberian siklosporin dosis 2,5-5 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan
menimbulkan perbaikan yang nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi (C3, C4,
anti-ds DNA) dan aktifitas penyakit.
Jika kreatinin meningkat lebih dari 30% atau timbul hipertensi maka dosisnya harus disesuaikan
efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hiperplasia gusi, hipertrikhosis, dan peningkatan
kreatinin serum. Siklosporin terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma
nefrotik yang refrakter, sehingga monitoring tekanan darah dan fungsi ginjal harus dilakukan secara
rutin. Siklosporin A dapat diberikan pada penderita nefropati lupus yang hamil, diberikan dengan
dosis 2 mg/kgBB/hari karena relatif aman.

Hormon Seks
Bromokriptin yang secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin
terbukti bermanfaat mengurangi aktifitas penyakit SLE. Dehidroepiandrosteron (DHEA)
bermanfaat untuk SLE dengan aktifitas ringan sampai sedang. Danazole (sintetik steroid)
dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaatuntuk mengontrol sitopenia autoimun terutama
trombositopeni

dan

anemia

hemolitik. Estrogen

replacement

therapy (ERT)

dapat

dipertimbangkan pada pasien-pasien SLE yang mengalami menopause, namun masih terdapat
perdebatan mengenai kemampuan kontraseptif oral atau ERT dalam menimbulkan flare
SLE. Untuk itu terapi ini harus ditunda pada pasien dengan riwayat trombosis.
Kortikosteroid

11

Danita Dwi Maryana 1102011070

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan
topikal atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intra artikular digunakan untuk
artritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian per oral
dosisnya bervariasi dari 5-30 mg prednison (metilprednisolon) per hari secara tunggal atau
dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan
serositis.

Seringkali

kortikosteroid

diberikan

bersamaan

dengan

antimalaria

atau

imunomodulator dengan tujuan untuk mendapatkan induksi yang cepat kemudian diturunkan
dosisnya. Adanya keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi
atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednison dosis tinggi (1-2 mg/kgBB/hari).
Kortikosteroid parenteral juga dapat digunakan pada keadaan yang sangat berat, mengancam
jiwa, dengan dosis metilprednisolon bolus 1000 mg selama 3 hari berturut-turut.
Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian glukokortikoid lama antara lain habitus
cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler, akne, hirsutism,
percepatan osteoporosis, nekrosis iskemi tulang, katarak, glaucoma, diabetes mellitus,
myopati, hipokalemia, menstruasi yang tidak teratur, iritabilitas, insomnia, dan psikosa. Oleh
karenanya setelah aktifitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan
atau kalau mungkin dihentikan atau diberikan dalam dosis terkecil selang sehari.
Untuk meminimalisasi osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/ hari pada
pasien dengan eksresi kalsium urin 24 jam lebih dari 120 mg. Diberikan pula vitamin D
50.000 unit 1-3 kali seminggu (monitor hiperkalsemia). Dalam mencegah osteoporosis dapat
pula diberikan kalsitonin dan bifosfonat (alendronat, didronel atau actonel). Kortikosteroid
pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik selama kehamilan meskipun dapat
menimbulkan eksaserbasi diabetes dan hipertensi. Tidak terdapat bukti bahwa kortikosteroid
menyebabkan defek kongenital tetapi mungkin dapat menyebabkan berat badan bayi lahir
rendah dan ketuban pecah dini.
NSAID (Non Steroid Anti Inflammatory Drug)
NSAID digunakan untuk mengatasi keluhan nyeri muskuloskeletal, pleuritis,
perikarditis dan sakit kepala. Efek samping NSAID pada ginjal, hati, sistem saraf pusat harus
dibedakan dengan aktifitas lupus yang menghebat. Adanya proteinuria yang baru timbul atau
perburukan fungsi ginjal dapat disebabkan oleh aktifitas SLE atau efek NSAID. NSAID juga
dapat menyebabkan meningitis aseptik, sakit kepala, psikosis dan gangguan kognitif,
meningkatkan serum transaminase secara reversibel. Gangguan gastrointestinal merupakan
efek samping paling sering ditimbulkan oleh inhibitor COX non-selektif. Inhibitor COX-2
selektif lebih sedikit efek sampingnya pada gastrointestinal. Pada penderita SLE dengan
12

Danita Dwi Maryana 1102011070

nefropati lupus yang mengalami kehamilan obat golongan ini sebaiknya dihindarkan karena
dapat mengakibatkan kelainan kongenital dan dieksresikan dalam air susu.
Plasmaferesis
Peranan plasmaferesis pada nefropati lupus masih kontroversi. Indikasinya adalah kasus
lupus

disertai

krioglobulinemia,

sindroma

hiperviskositas

dan

TTP

(Thrombotyc

Thrombocytopenic Purpura).
Immunoglobulin Intravena
Immunoglobulin intravena (IV Ig) adalah imunomodulator dengan mekanisme kerja yang
luas, meliputi blokade reseptor Fc, regulasi komplemen dan sel T. Tidak seperti
immunosupresan, IV Ig tidak mempunyai efek meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Dosis
400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut memberikan perbaikan pada trombositopeni,
artritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang
terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala dan artralgia, serta kadang meningitis aseptik.
Kontraindikasi diberikan pada penderita SLE dengan defisiensi IgA.
http://internershs.com. Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik
L.O. 2.8. Prognosis
Beberapa tahun terakhir ini prognosis lupus semakin membaik, banyak penderita yang
menunjukkan penyakit yang ringan. Wanita hamil penderita lupus dapat bertahan sampai melahirkan
bayi yang normal. Angka harapan hidup 10 tahun meningkat sampai 85%. Prognosis yang paling
buruk ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan otak, paru-paru, jantung dan penyakit
jantung yang berat.

L.I. 3. Memahami dan mempelajari pemeriksaan fisik dan penunjang untuk systemic lupus
eritematosus.
L.O.3.1. Menjelaskan pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum lemah, kurus (kakeksia),


b. Rambut kepala dan alis mudah rontok,
c. Urtikaria pada wajah,
d. Ulkus mucosa mulut,
e. Bercak hiperpigmentasi pada kulit tangan dan kaki, terutama pada daerah yang
terpapar sinar matahari.
http://penelitian.unair.ac.id
L.O. 3.2. Menjelaskan pemeriksaan penunjang

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter untuk membuat
diagnosa SLE , yaitu :
13

Danita Dwi Maryana 1102011070

1. Pemeriksaan anti-nuclear antibodi (ANA)


yaitu : pemeriksaan untuk menentukan apakah autoantibodi terhadap inti sel sering
muncul di dalam darah.
2. Pemeriksaan anti ds DNA ( Anti double stranded DNA ).
yaitu : untuk menentukan apakah pasien memiliki antibodi terhadap materi genetik di
dalam sel.
3. Pemeriksaan anti-Sm antibodi
yaitu : untuk menentukan apakah ada antibodi terhadap Sm (proteinyang ditemukan
dalam sel protein inti).
4. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan immunecomplexes(kekebalan) di dalam
darah
5. Pemeriksaan untuk menguji tingkat total dari serum complement (kelompok protein
yang dapat terjadi pada reaksi kekebalan) dan pemeriksaan untuk menilai tingkat spes
ifikdari C3 dan C4 dua jenis protein dari kelompok pemeriksaan ini.
6. Pemeriksaan sel LE (LE cell prep)
Pemeriksaan darah untuk mencari keberadaan jenis sel tertentu yang dipengauhi
membesarnya antibodi terhadap lapisan inti sel lain pemeriksaan ini jarang digunakan
jika dibandingkan dengan pemeriksaan ANA, karena pemeriksaan ANA lebih peka
untuk mendeteksi penyakit Lupus dibandingkan dengan LE cell prep.
7. Pemeriksaan darah lengkap, leukosit, thrombosit
8. Urine Rutin
9. Antibodi Antiphospholipid
10. Biopsy Kulit
11. Biopsy Ginjal
Hasil pemeriksaan ANA positif pada hampir semua pasien dengan sistemik lupisdan ini
merupakan pemeriksaan diagnosa terbaik yang ada saat ini untukmengenali sistemik
lupus.
Hasil pemeriksaan ANA negatif merupakan bukti kuat bahwa lupus bukanlah penyebab
sakitnya orang tersebut walaupun sangat jarang terjadi dimana SLE muncul tanpa
ditemukannya ANA.
Kemungkinan seseorang mempunyai pemeriksaan ANA positif akan meningkat seiring
dengan meningkatnya usia. Pola dari hasil pemeriksaan ANA sangat membantu dalam
menentukan jenispenyakit auto imun yang muncul dan menentukan program pengobatan
seperti apa yang cocok bagi seorang pasien Lupus. Hasil pemeriksaan ANA bisa positif
14

Danita Dwi Maryana 1102011070

pada banyak keadaan, oleh karenaitu dalam pemeriksaan ANA harus di dukung dengan catat
an kesehatan pasien serta gejala-gejala klinis lainnya.
Karena itu apabila hasil tes laboratorium ANA positif (hanya ANA saja) tidak cukup untuk
mendiagnosa lupus. Lain halnya jika ANA negatif merupakan bantahan terhadap lupusakan
tetapi tidak sepenuhnya mengesampingkan adanya penyakit tersebut.
Bagaimanapun juga jika hasil pemeriksaan ANA positif, bukanlah bukti keberadaan Lupus,
karena hasil pemeriksaan juga bisa positif terhadap :
Orang - orang dengan penyakit jaringan connective lainnya.
Pasien yang sedang diobati dengan obatobatan tertentu, misal menggunakan obatprokrainamid, hidralazin, isoniazid
klorpromazin. dan
Orang-orang dengan kondisi selain dari lupusseperti skeloderma, sjogrenssyndrome,
rematik arthritis, penyakit kelenjar gondok (thyroid), penyakit hati (liver).
http://mandumna.webuda.com/1_30_8-Pemeriksaan-Laboratorium.htm

L.I.4. Memahami dan mempelajari sabar dalam mengahadapi musibah dalam perspektif
Islam.
L.O.4.1. Menjelaskan sabar
Ash-Shabr (sabar) secara bahasa artinya al-habsu (menahan), dan diantara yang
menunjukkan pengertiannya secara bahasa adalah ucapan: qutila shabran yaitu dia terbunuh
dalam keadaan ditahan dan ditawan. Sedangkan secara syariat adalah menahan diri atas tiga
perkara: yang pertama: (sabar) dalam mentaati Allah, yang kedua: (sabar) dari hal-hal yang
Allah haramkan, dan yang ketiga: (sabar) terhadap taqdir Allah yang menyakitkan.
Ayat Al-Quran :
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah
bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.
(Aali Imraan:200)
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.
(Az-Zumar:10)

Hadist :
Sabar yang sebenarnya ialah sabar pada saat bermula (pertama kali) tertimpa musibah. (H.R.
Bukhari)

15

Danita Dwi Maryana 1102011070

Dari Suhaib ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sungguh menakjubkan perkaranya orang
yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak
akan terdapat kecuali hanya pada orang mumin: yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia
bersyukur karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan
jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan
hal terbaik bagi dirinya. (H.R. Muslim)
http://wikaprima.wordpress.com/2011/07/21/sabar-menurut-alquran-dan-hadits/
http://yasirmaster.blogspot.com/2011/06/ayat-ayat-al-quran-tentang-sabar.html

16

Anda mungkin juga menyukai