Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PEENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum alam adalah hukum yang terbentuk secara alamiah. Dengan kata lain, hukum
alam adalah hukum yang berkaitan dengan segala hal yang terbentuk secara alamiah. Tetapi
hal yang paling sulit adalah menetukan pengertian dari alam tersebut. Apa yang dimaksud
dengan alam? Apakah itu berarti alam secara fisik atau secara biologis atau alam manusia
atau alam fisik-psikologi? Para pemikir dari berbagai jaman telah menginterpretasikan
pengertian alam dalam berbagai cara dan memperoleh hasil yang berbeda-beda.
Pengertian lain dari alam adalah suatu kesadaran bagaimana seseorang harus
berprilaku. Manusia mencoba menggambarkan kebiasaan sebagai apa yang dapat ia lakukan
dengan apa ia amati di alam. Ini menimbulkan yang seharusnya dari tidak logis dan tidak
relevan atau tidak rasional. Mill menetapkan suatu pandangan bahwa manusia harus
bertindak untuk memperbaiki fenomena alam daripada meniru atau menerima apapun yang
terjadi. Seluruh perkembangan moral manusia adalah hasil dari usaha pribadi, atau
berlawanan dengan insting dan kepentingan alamiah.
Sebelum kita melakukan pendekatan terhadap pandangan dari para pemikir hukum
alam, penting kiranya untuk menunjukkan bahwa hukum alam memainkan peranan yang
penting dalam penjabaran hukum. Ide dari hukum alam dapat ditemukan dalam setiap sistem
legal yang berlaku. Sebagai contoh dalam hukum Inggris, Blackstoen menulis dalam
kmomentar-komentarnya: Hukum alam ini telah berusia sama dengan manusia dan
ditentukan oleh Tuhan sendiri, tentu saja, berkuasa diatas segala-galanya. Hukum ini
mengikat seluruh dunia, di semua Negara dan disetiap waktu, tidak ada satupun pengesahan

hukum manusia yang sebanding dengannya- diatas dua pondasi dari hukum alam dan hukum
pengabsahan inilah tergantung seluruh hukum yang dibuat oleh manusia.
Selain pemikiran dari Blakcstone, satu hal dapat ditemukan dari pengaruh hukum
alam dalam prinsip yang sangat spesifik dari hukum, sebagai contoh prinsip dari keadilan
alam, adalah pemahaman penilaian pihak luar dan pemahaman budaya. suatu budaya tidak
akan diakui jika tidak masuk akal. Timbul pertanyaan apakah hak untuk melindungi anak
bukanlah dasar dari hukum alam? Thomas Aquinas bahwa hal tesebut merupakan hal dasar
dari keinginan manusia dan berkaitan dengan hukum alam. Dia telah mengidentifikasi
manfaat dari hukum alam dalam pendekatan yang berbeda-beda oleh para pemikir yang
berbeda pula.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Yunani dan Romawi


Dalam filsafat sebelum Aristoteles hukum alam merupakan aturan semesta alam, dan
sekaligus aturan hidup bersama melalui undang-undang. Dalam filsafat kaum sofis hukum
alam ditafsirkan sebagai hukum dari yang paling kuat, yang sebetulnya tidak dapat disebut
hukum; yang disebut hukum alam disini, tidak lain daripada kekuasaan dan
kekerasan.1Aristoteles merupakan orang yang pertama kali membedakan antara hukum alam
dan hukum positif. Menurutnya, hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di
mana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum ini tidak pernah berubah, tidak
pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya. Hukum alam ini dibedakan dari hukum positif,
yang seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.2 Bagi kaum sofis, alam merupakan
sesuatu yang bersifat eksternal, sesuatu yang berada diluar manusia. Sedangkan Aristoteles,
dalam bukunya logikamemandang bahwa dunia sebagai totalitas yang meliputi seluruh
alam. Manusia adalah bagian dari alam, diberkahi dengan akal yang aktif yang
membedakannya dari semua bagian lain dari alam. Manusia hanya mampu membentuk
kehendaknya sesuai dengan pengertian akalnya.3 Tesis Aristoteles ini menjadi dasar konsepsi
hukum alam para filsuf Stoa.
1 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm.29.
2 Ibid, hlm. 29.
3W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh Muhammad Arifin, CV.
Rajawali, Jakarta, 1990, Susunan I. hlm.52-53.

Aliran filsafat yang paling mempengaruhi pandangan orang Romawi mengenai


hukum adalah aliran Stoa. Ide dasar Stoa ialah, bahwa semuanya yang ada merupakan suatu
kesatuan yang teratur (kosmos), berkat suatu prinsip yang menjamin kesatuan itu, yakni jiwa
dunia (logos). Logos itu tidak lain dari Budi Ilahi, yang menjiwai segala.4 Aliran ini
berpendapat bahwa hidup bersama manusia mempunyai hubungan dengan logos yakni
melalui hukum universal (lex universalis) yang terdapat dalam segala-galanya. Hukum
universal itu terkandung dalam logos, dan sebagai demikian disebut hukum abadi (lex
aeterna). Sejauh hukum abadi itu menjadi nyata dalam semesta alam, hukum itu disebut
hukum alam (lex naturalis). Hukum alam ini tidak tergantung dari orang, selalu berlaku dan
tidak dapat diubah. Hukum alam ini merupakan dasar segala hukum positif.5 Para filsuf Stoa,
membedakan antara cita-cita hukum alam yang nisbi dan absolut. Pada masa kegemilangan
hukum alam, tidaklah terdapat keluarga, perbudakan, hak milik, maupun pemerintahan.
Tetapi lembaga-lembaga ini menjadi penting dengan merosotnya moral umat manusia.
Hukum alam nisbi menuntut dari pembentuk perundang-undangan, adanya undang-undang
yang dituntun oleh akal, dan sedekat mungkin pada hukum alam mutlak. 6 Sasaran tertinggi
manusia ialah menjadi manusia yang adil, dengan tunduk kepada hukum alam (nomos)
sebagai pernyataan Budi Ilahi (logos). Undang-undang negara ditaati karena sesuai dengan
hukum alam. Bahkan pemikir-pemikir Stoa berpendapat bahwa masyarakat manusia
dipertahankan dan dikembangkan karena ketaatan akan hukum alam.7

4Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm. 32
5Ibid, hlm, 32.
6W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh Muhammad
Arifin, CV. Rajawali, Jakarta, 1990, Susunan I, hlm, 54.
7Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kansius, Yogyakarta, 1986, hlm.33

2. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Abad Pertengahan


St. Thomas Aquinas adalah filsuf terbesar dari aliran Scholastic di abad pertengahan. Ia
menerima pengaruh dari Aristoteles tetapi menyatakannya dengan dogma agama Kristen
sehingga merupakan suatu sistem pemikiran tersendiri. Thomas Aquinas merumuskan hukum
sebagai peraturan yang berasal dari akal untuk kebaikan umum yang dibuat oleh seorang
yang mempunyai kewajiban untuk menjaga masyarakatnya dan mengundangkannya. Oleh
karena dunia ini diatur oleh tatanan Ketuhanan, seluruh masyarakat dunia ini diatur oleh akal
ketuhanan. Hukum ketuhanan adalah yang tertinggi. Thomas Aquinas membedakan empat
macam hukum, yaitu: lex aeterna, lex naturalis, lex divina dan lex humana.8
Lex aeterna adalah akal keilahian yang menuntun semua gerakan dan tindakan dalam alam
semesta. Hanya sebagian kecil saja dari lex aeterna yang bisa ditangkap oleh manusia melalui
akal pikiran yang dianugrahkan Tuhan kepadanya. Bagian yang bisa ditangkap ini disebut
sebagai lex naturalis, yang memberikan pengarahan kepada kegiatan manusia melalui
petunjuk-petunjuk umum. Petunjuk yang paling dasar adalah, bahwa yang baik harus
dilakukan, sedang yang buruk dihindari. Mengenai apa yang disebut baik, Thomas Aquinas
mengaitkannya kepada apa yang merupakan kecendrungan alamiah pada manusia. Pertama,
adalah insting manusia yang alamiah untuk mempertahankan hidupnya. Kedua, daya tarik
antara kedua jenis kelamin dan hasrat untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Ketiga,
manusia mempunyai hasrat alamiah untuk mengenal Tuhan dan kecendrungan untuk menolak
ketidaktahuan. Keempat, manusia ingin hidup dalam masyarakat dan oleh karena itu adalah
8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm.264

suatu hal yang alamiah pada manusia untuk menghindari perbuatan yang merugikan orangorang yang hidup bersamanya. Sementara lex divina adalah apa yang tercantum dalam kitabkitab suci dan lex humana apa yang tercantum dalam perjanjian-perjanjian baru serta Lama.9
Dengan demikian hukum alam menurut Thomas Aquinas tidak lain adalah bagian dari hukum
Tuhan, bagian yang diungkapkan dalam fikiran alam. Manusia sebagai makluk yang berakal,
menerapkan bagian dari hukum Tuhan ini terhadap kehidupan manusia, karenanya ia dapat
membedakan yang baik dan yang buruk. Hal tersebut berasal dari prinsip-prinsip hukum
abadi, sebagaimana terungkap dalam hukum alam, yang merupakan sumber dari semua
hukum manusia.10
Lebih lanjut, Thomas Aquinas membagi konsep hukum alamnya atas dua jenis sebagai
berikut:
1. Principia prima, yaitu asas-asas yang dimiliki oleh manusia sejak lahir dan tidak
dapat diasingkan daripadanya. Oleh karena itu, principia prima tidak dapat berubah
menurut tempat dan waktu.
2. Principia secundaria, yaitu asas yang bersumber dari principia prima, sebaliknya
tidak bersifat mutlak dan dapat berubah pada setiap waktu dan tempat. Seringkali asas
ini dikatakan sebagai penafsiran manusia dengan menggunakan rasionya terhadap
principia prima. Penafsiran ini bervariasi, dapat baik atau buruk. Suatu penafsiran
dapat mengikat umum jika hukum positif memberikan pada asas-asas ini kekuasaan
mengikat, misalnya dalam bentuk undang-undang.11

9 Ibid.,hlm.264-265
10 W. Friedmann, Op.cit.,hlm.62

3. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Renaissance


Pada zaman renaissance ajaran mengenai hukum alam tidak lagi didasarkan pada paham
ketuhanan (scholastik), melainkan didasarkan pada rasio manusia. Pendasar daripada hukum
alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius. Ia menulis dua buku yang terkenal
yaitu De Jure Belli ac Pacis (tentang hukum damai dan perang) dan Mare Liberium (tentang
hukum laut bebas). Grotius dipandang sebagai peletak dasar hukum internasional dengan
menyebutnya sebagai hukum bangsa-bangsa (ius gentium). Ius gentium ini menurut Grotius
merupakan hukum alam yang dipraktekkan oleh segala bangsa.
Menurut Grotius, hukum alam itu bersumber dari rasio manusia, yaitu merupakan pencetusan
dari pikiran manusia apakah sesuatu tingkah laku manusia itu dipandang baik atau buruk,
apakah tindakan manusia itu dapat diterima atau ditolak atas dasar kesusilaan alam. Sebab
penilaian terhadap tingkah laku manusia itu satu dengan lainnya harus didasarkan atas
kesusilaan alam tersebut.12 Hukum alam yang didapati manusia berkat kegiatan rasionalnya
dipandang oleh Grotius sebagai hukum yang berlaku secara real sama seperti hukum positif.
Dalam hal ini Grotius menurut tradisi Skolastik. Namun ia menyimpang dari pandangan
Skolastik dengan memastikan, bahwa hukum alam tetap berlaku, juga seandainya Allah tidak
ada. sebabnya ialah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari
hakekatnya. Dilain fihak Grotius tetap mengaku, bahwa Allah adalah pencipta semesta alam.

11 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2007, hlm.105
12 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.52

Oleh karena itu secara tidak langsung Allah tetap merupakan pondamen hukum alam.13
Dengan demikian Grotius juga mengakui bahwa disamping hukum alam yang bersumber
pada rasio manusia, ada hukum alam yang bersumber dari rasio Tuhan, misalnya yang
terdapat dalam Kitab Suci. Terhadap hal ini Apeldoorn melihat bahwa Grotius tidak
konsekuen dengan pendapatnya. Dalam De Jure Belli ac Pacis, Grotius mengatakan bahwa
Tuhan adalah pencipta dari alam semesta. Jadi hukum alampun secara tidak langsung
merupakan ciptaan Tuhan juga.14
Grotius mengemukakan prinsip rasional pertama dalam bidang hukum ialah setiap orang
mempunyai kecendrungan untuk hidup bersama orang lain secara damai. Kecendrungan ini
ada pada manusia lepas dari kemauannya. Oleh karena itu kecendrungan ini dapat menjadi
dasar yang objektif seluruh hukum.15 Sehubungan dengan prinsip ini Grotius mengemukakan
empat prinsip yang merupakan tiang dari seluruh sistem hukum alam yaitu: a) prinsip
kupunya dan kaupunya. Milik orang lain harus dijaga. Jika barang-barang yang dipinjam
membawa untung, untung itu harus diganjar; b) prinsip kesetiaan pada janji; c) prinsip ganti
rugi, yakni kalau kerugian itu disebabkan karena kesalahan orang lain; dan d) prinsip
perlunya hukuman karena pelanggaran atas hukum alam dan hukum-hukum lain. Keempat
prinsip ini ditemukan secara a priori sebagai prinsip segala hukum. Akan tetapi prinsip itu
dapat juga ditemukan secara aposteriori, yakni sebagai kenyataan pada semua bangsa yang
beradab.16

13 Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.60


14 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat, Loc.cit.
15 Theo Huijbert, Loc.cit.
16 Ibid.,hlm.60-61

Selanjutnya Grotius membagi hukum alam dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti
sempit adalah hukum yang sesungguhnya oleh karena menciptakan hak untuk menuntut,
supaya diberikan apa yang termasuk padanya (facultas). Keadilan yang berlaku dalam bidang
ini ialah keadilan yang melunasinya (penulis: keadilan komutatif). Sementara hukum alam
dalam arti luas ialah hukum yang tidak menciptakan hak yuridis, melainkan hanya suatu hak
berupa kepantasan (aptitudo). Keadilan yang berlaku dibidang ini ialah keadilan yang
memberikan (penulis: keadilan distributif).17
Mengenai hubungan hukum alam dan hukum positif Grotius berpendapat bahwa hukum
positif adalah hukum yang berlaku dalam negara sebab disetujui dan disahkan oleh yang
berwibawa. Hukum ini (positif) tidak boleh melawan hukum alam, yakni tidak boleh
menyuruh sesuatu yang terlarang oleh hukum alam. Tetapi hukum alam sebagai batas hukum
positif boleh dilewati, jika dituntut oleh kepentingan umum negara.18
Berlawanan dengan Grotius, Thomas Hobbes tidak menerima adanya kecendrungan untuk
hidup bersama pada manusia. Menurut Hobbes manusia sejak zaman purbakala seluruhnya
dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Oleh
karena dalam situasi asli belum terdapat norma-norma hidup bersama, maka orang primitif
mempunyai hak atas semuanya. Maka timbullah apa yang disebut Hobbes bellum omnium
contra omnes, manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Lama
kelamaan orang mulai sadar akan keuntungan untuk mengamankan hidupnya dengan
menciptakan suatu aturan hidup bersama bagi semua orang yang termasuk kelompok yang
sama. Untuk mencapai aturan semacam itu semua orang harus menyerahkan hak-hak asli
mereka atas segala-galanya dan harus menuruti beberapa kecendrungan alamiah yang oleh
17 ]Ibid.,hlm.62
18 Ibid

Hobbes disebut hukum alam (leges naturales). Hukum-hukum alam ini bukan hukum dalam
arti yang sesungguhnya, tetapi hanya merupakan petunjuk yang harus diikuti jika tujuan
hendak dicapai, seperti petunjuk carilah damai, serahkanlah hak aslimu, berlakulah terhadap
orang lain sebagaimana kau ingin orang lain berlaku terhadapmu, dan tepatilah janjijanjimu.19 Pentingnya prinsip bahwa janji harus ditepati paling menyolok dalam suatu
persetujuan yang oleh Hobbes disebut kontrak asli, yaitu persetujuan orang-orang dalam
suatu kelompok untuk membentuk suatu hidup bersama dan teratur. Persetujuan sosial yang
asli inilah menjadi asal mula dari negara.20
4. Ajaran Hukum Alam Pada Zaman Pencerahan
John Locke, seperti halnya Hobbes juga menerangkan timbul negara dan hukum dengan
melukiskan situasi pada zaman primitif. Namun Locke merupakan penentang teori
absolutisme dari Hobbes, dengan mengemukakan teori tentang hak-hak individu yang tidak
bisa dicabut.21 Pada zaman primitif itu orang-orang hidup menurut hukum-hukum alam.
Hukum-hukum alam meliputi macam-macam bidang, yakni bidang kehidupan, kesehatan,
kebebasan, milik. Dalam bidang kehidupan orang-orang memiliki hak untuk hidup, dalam
bidang-bidang lain mereka memiliki hak atas kesehatan, hak atas kebebasan, hak milik dan
hak untuk menjadi waris. Pelanggaran hak-hak itu dapat dihukum oleh tiap-tiap individu,
sebab pada zaman itu tiap-tiap orang mempunyai kekuasaan hukum alam yang eksekutif (the
executive power of the law of nature).22 Pada suatu ketika orang-orang primitif itu beralih dari

19 Ibid.,hlm.65-66
20 Ibid.
21 W. Friedmann, Op.cit.,hlm.79
22 Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.81

keadaan asli kepada keadaan sipil. Dengan beralihnya manusia kepada keadaan sipil hukum
alam primitif tidak lenyap. Hukum itu tetap berlaku, pun pula dalam hubungan antara negara.
Buktinya ialah bahwa semua kontrak hanya berlaku berdasarkan suatu prinsip hukum alam:
janji harus ditepati (keeping of faith). Namun supaya negara dapat berfungsi sebagai
pengawal hukum, orang-orang perlu menyerahkan sebagian dari hak-hak primitif mereka
kepada negara, yakni pelaksanaan hak untuk menghukum secara pribadi. Sejak berdirinya
negara bukan orang-orang yang bertugas untuk mengawal agar hak-hak pribadi
dipertahankan, melainkan negara dan tata hukum. Sehingga tujuan negara tidak lain daripada
menjamin hak-hak pribadi orang-orang. Negara tidak mempunyai kekuasaan untuk mencabut
hak-hak alam dari pribadi manusia.23
John Locke menyebutkan ada tiga kekuasaan negara yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan
federatif. Kekuasaan yang tertinggi adalah kekuasaan legislatif. Oleh karena kekuasaan itu
adalah yang tertinggi, maka dalam membentuk undang-undang pemerintah hanya harus
tunduk pada hukum alam saja. Kekuasaan legislatif tidak hanya ditemukan dalam negara.
Sekelompok orang dapat membuat undang-undang untuk hidup bersama mereka. Tetapi
undang-undang itu baru menjadi sah sebagai hukum karena kekuasaan legislatif negara, yang
mampu menentukan sanksi, kalau undang-undang itu dilanggar. Namun dilaih fihak
kekuasaan legislatif pemerintah negara dibatasi, oleh karena rakyat memiliki kekuasaan yang
melebihi kekuasaan legislatif. Rakyat berhak untuk merebut kembali kebebasan asli, kalau
pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya dengan bertindak melawan tujuan negara.
Kekuasaan itu terikat pada hukum alam, yang tetap ada pada rakyat. Dengan demikian teori
hukum alam John Locke mengandung suatu tendensi revolusioner: bilamana syarat-syarat
tertentu tidak dipenuhi oleh pemerintah, revolusi diperbolehkan.24

23 Ibid.,hlm.82

Dalam bukunya De l Esprit de Lois yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris
menjadi the spirit of laws, Montesquieu menyatakan bahwa sebelum terdapat semua hukum
ini, sudah ada hukum alam. Hukum alam ini berlaku sepenuhnya dalam keberadaan wujud
kita sendiri. Untuk mendapatkan pengetahuan yang sempurna mengenai hukum ini, kita harus
membayangkan manusia sebelum terbentuknya masyarakat: hukum-hukum yang berlangsung
dalam keadaan itulah yang merupakan hukum alam.25 Yang paling penting, meskipun bukan
yang pertama, dari hukum alam adalah hukum yang membekas dalam pikiran kita yang telah
dijadikan oleh Sang Pencipta agar kita condong kepadanya. Manusia dalam keadaan alamiah
memiliki kecakapan untuk mengetahui sebelum ia mendapatkan pengetahuan yang diperoleh
dari belajar. Tentu saja ide-ide pertamanya sama sekali bukan ide-ide yang bersifat spekulatif;
ia berpikir untuk mempertahankan kelangsungan dirinya sebelum ia menyelidi asal mula
dirinya.26
Montesquieu mengemukakan generasi-generasi hukum alam, yang bertitik tolak pada
keadaan alamiah manusia. Dalam keadaan alamiah manusia merasa tidak berdaya dan rasa
lemah, rasa takut dan kekawatiran yang berlebihan, sehingga dalam kondisi itu mereka tidak
mungkin menyerang satu sama lain; dengan demikian perdamaian jelas merupakan hukum
alam yang pertama. Disamping adanya perasaan lemah ini manusia segera mendapati bahwa
dirinya memiliki kebutuhan-kebutuhan. Dari sini satu hukum alam lainnya mendorong
dirinya untuk mencari makanan. Disamping rasa takut membuat manusia menghindar satu
sama lain, namun rasa takut ini juga mendorong manusia untuk hidup berkelompok. Dalam
hidup berkelompok muncul ketertarikan diantara manusia dari jenis kelamin yang berbeda,
24 Ibid.,hlm.83-84.
25 Montesquieu, The Spirits of Law, diterjemahkan oleh M. Khoiril Anam,
Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 90-91
26 Ibid

dan kecendrungan alami yang mereka miliki satu sama lainnya ini merupakan hukum alam
yang ketiga. Sementara hukum alam yang keempat muncul dari hasrat untuk hidup dalam
masyarakat.27
Di dalam bukunya De lEsprit des Lois (1748) Montesquieu seringkali menunjukkan dirinya
sebagai seorang pembela hukum alam. Kendatipun demikian ia lebih meletakkan tekanan
pada evolusi historis beraneka ragam tatanan hukum nasional;setiap bangsa mempunyai
hukumnya masing-masing, yang terbentuk dari keadaan masa silamnya, kebiasaan-kebiasaan
dan kesusilaannya, maupun oleh lingkungan alam sekitarnya (lingkungan geografis, iklim
dan sebagainya). Dalam soal ini ia menyimpang dari hukum alam, dengan menyatakan bahwa
hukum semua bangsa terdiri dari sejumlah aturan-aturan yang diilhami oleh Rasio dan oleh
sebab itu berlaku universal dan tidak berubah-ubah yang ingin dijabarkan sesuai dengan
kodrat segala sesuatu didunia ini.28 Walaupun demikian Montesquieu tetap melihat adanya
hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkrit suatu bangsa. Hukum alam adalah
suatu hukum yang berlaku bagi manusia sebagai manusia. Tetapi bagaimana hukum alam
dikonkretkan dalam bentuk negara dan hukum tergantung dari situasi historis, psikis dan
kultural suatu bangsa. Maka undang-undang yang paling baik adalah undang-undang yang
paling cocok dengan suatu bangsa tertentu.29
Berbeda dengan Hobbes, Locke dan Montesquieu, Jean Jacques Rousseau sama sekali tidak
bicara mengenai suatu hukum alam pada manusia primitif. Hukum alam itu baru terdapat
pada orang-orang yang sudah masuk masyarakat sipil. Melalui kontrak sosial manusia
27 Ibid.,hlm.91-92
28 John Gilisen dan Frits Gorle, Historische Inleiding tot het Recht, di sadur oleh
Freddy Tengker dengan terjemahan Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2005, hlm.119
29 Theo Huijbert, Op.cit.,hlm.87

menerima pengesahan dari hak-haknya sebagai manusia, baik secara moral maupun secara
yuridis. Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari kehendak semua
orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita individualnya. Tetapi sesudah timbulnya
masyarakat baru cita-cita individual itu diganti oleh cita-cita umum, yang berasal dari
kehendak baru, yakni kehendak umum (volonte generale) yang kemudian melahirkan tujuan
umum yaitu kepentingan umum. Sehingga kalau dalam masyarakat tertentu dibentuk undangundang yang tidak mencerminkan kepentingan umum, sebab berlakunya tidak sama bagi
semua orang, maka undang-undang itu harus dianggap tidak adil.30
Immanuel Kant mempunyai pandangan lain mengenai hukum alam. Menurutnya hukum alam
tidak lain adalah hukum sebab akibat, yang menentukan alam secara deterministis. Latar
belakang pandangan Kant ini ialah perpisahan antara bidang ada dan bidang harus, bidang
akal budi teoretis dan bidang akal budi praktis. Prinsip-prinsip aturan hukum termasuk bidang
akal budi praktis, dan karenanya mewajibkan secara otonom. Tetapi aturan hukum sendiri
termasuk bidang akal budi teoretis, oleh karena dialami sebagai gejala alam. Dalam bidang
teoretis ini tidak terdapat kewajiban. Disini hanya berlaku hukum-hukum alam. Bila hukum
termasuk alam, dan dengan ini berada di luar bidang moralitas, maka dapat dimengerti pula,
bahwa kekerasan dan ancaman boleh digunakan untuk menjaga aturan hukum. Dengan
ditegakkannya aturan hukum secara demikian, maka dengan tidak langsung aturan moral juga
ditunjang. Menurut filsafat Kant undang-undang harus dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip
umum hukum, sebagaimana ditangkap oleh akal budi praktis. Peraturan-peraturan negara
adalah konkretisasi dari prinsip-prinsip umum itu. Sehingga ia menegaskan bahwa hukum
hanya menjadi hukum oleh karena berasal dari yang berhak untuk membentuk hukum, yakni
pemerintah.31

30 Ibid.,hlm.89

5. Ajaran Hukum Alam Neo-Kantian


Beberapa penganut Kant yang dikenal dengan Neo-Kantian, seperti Hans Kelsen dan Rudolf
Stammler memberikan pendapat mengenai hukum alam secara berbeda. Dalam menjelaskan
peraturan hukum dan hukum alam, Hans Kelsen menyatakan bahwa peraturan hukum
merupakan bentuk logis dari hukum alam (the rule of law is the logical form of the law of
nature). Seperti halnya peraturan hukum, hukum alampun menghubungkan dua fakta satu
sama lain seperti kondisi dan konsekuensi. Yang dimaksud dengan kondisi disini adalah
sebab, konsekuesi adalah akibat. Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas
(the fundamental form of the law of nature is the law of causality).32 Perbedaan antara
peraturan hukum dengan hukum alam tampaknya adalah bahwa peraturan hukum menunjuk
kepada manusia dan perbuatannya, sedangkan hukum alam menunjuk kepada kebendaan dan
reaksi-reaksinya. Namun demikian, perbuatan manusia, juga bisa menjadi kajian hukum alam
asalkan perbuatan manusia juga termasuk fenomena alam. Prinsip yang digunakan ilmu
(hukum) alam dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah kausalitas, sementara prinsip
yang digunakan ilmu hukum dalam mendeskripsikan objek-objeknya adalah norma-norma.33
Berbeda dengan Kelsen, Stammler sampai kepada suatu pemikiran hukum alam yang
bersifat tidak abadi. Hal ini disebabkan karena dasar dari hukum alamnya adalah kebutuhan
manusia. Karena kebutuhan manusia ini berubah-ubah sepanjang waktu dan tempat, maka
akibatnya hukum alam yang dihasilkannya juga berubah-ubah setiap waktu dan tempat.

31 Ibid.,hlm.99-100
32 Hans Kelsen, General Theory,Op.cit.,hlm.45-46
33 Ibid

Stammler berpendapat bahwa adil tidaknya sesuatu hukum terletak pada dapat tidaknya
hukum itu memenuhi kebutuhan manusia.34
6. Hukum Alam Menurut Mochtar Kusumaatmadja
Mochtar Kusumaatmadja35 mengemukakan bahwa hukum bertalian dengan kehidupan
manusia dalam masyarakat, bukan hukum dalam arti ilmu pasti dan alam yang objeknya
benda mati. Dalam hukum positif, objek yang diaturnya sekaligus merupakan subjek
(pelaku). Ini mempunyai akibat yang penting bagi metode keilmuannya dan penjelasan
tentang sebab-akibat (kausalitas). Hukum positif yang menjadi objek ilmu hukum positif
tidak sepasti hukum ilmu alam. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari hukum positif sebagai
suatu perangkat kaidah yang mengatur manusia dan masyarakat, ia tidak diatur oleh metode
ke-ilmuan ilmu pasti dan alam, melainkan oleh metode ke-ilmuan humanities (humaniora).36
Hukum positif yang mengatur perilaku (tingkah laku) manusia yang bukan benda mati
melainkan makluk hidup yang mempunyai pikiran dan kemampuan membedakan antara yang
baik dan buruk (etika), mempunyai konsekuensi tidak saja bagi metode keilmuannya tetapi
juga bagi kausalitas.37 Dari penjelasan Mochtar Kusumaatmadja tersebut jelas dapat dilihat
bahwa ia membedakan antara hukum positif dan hukum alam itu secara tajam dan yang
terpenting menurutnya bagi manusia adalah hukum positif.

34 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat, Op.cit.,hlm.55-56


35 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm 2
36 Ibid
37 Ibid, hlm 3

7. Hukum Alam Sebagai Metode dan Hukum Alam Sebagai Substansi.


Mengutip Dias, Satjipto Rahardjo38 mengemukakan berbagai anggapan atas hukum alam,
yaitu:
1. merupakan ideal-ideal yang menuntun perkembangan hukum dan pelaksanaannya;
2. suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan sampai terjadi
suatu pemisahan secara total antara yang ada sekarang dan yang seharusnya;
3. suatu metoda untuk menemukan hukum yang sempurna;
4. isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didedusikan melalui akal; dan
5. suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum.
Dari anggapan diatas, hukum alam dapat dibedakan atas hukum alam sebagai metode dan
hukum alam sebagai substansi. Sebagai metoda hukum alam merumuskan dirinya pada usaha
untuk menemukan metoda yang bisa dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang
mampu untuk menghadapi keadaan yang berlain-lainan. Dengan demikian ia tidak
mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memberi tahu tentang bagaimana
membuat peraturan yang baik. Sementara hukum alam sebagai substansi justru berisi normanorma. Dalam anggapan ini, orang bisa menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan

38 Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hlm.261

yang dialirkan dari beberapa asas yang absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi
manusia.39

39 Ibid.,hlm.261-262

Anda mungkin juga menyukai