Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh :
Atika Qisty Desmawan
1102010040
Pembimbing :
dr. Dewi, Sp. P
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex (PDPI, 2006). TB merupakan penyakit menular yang sebagian
besar menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes, 2006)
2.2.
Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus
BTA (Basil Tahan Asam) positif. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu
33 % dari seluruh kasus TB di dunia. Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat
tuberkulosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia
tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000
penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,
dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB
yang muncul.
Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001
didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian
kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi.
Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen
Kesehatan tahun, 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari
jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15
49 tahun.
2.3.
Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6 m. Penyusun utama dinding sel
basil TB adalah asam mikolat, lilin kompleks (complex waxes), trehalosa dimikolat yang
disebut cord factor. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri
ini bersifat tahan asam dan juga lebih tahan tehadap gangguan kimia dan fisis.
Proses terjadinya infeksi M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB
paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei,
khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung BTA.
2.4.
Patogenesis
3
Klasifikasi
2.5.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak/BTA, tuberkulosis paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil
BTA positif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif
dan biakan positif.
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis
aktif.
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan
biakan M. tuberculosis positif.
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru : pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
obat anti tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang
dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps) : pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
5
c.
d.
e.
f.
Diagnosis
2.6.1. Gejala Klinis
1. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik berupa batuk 2 minggu, batuk darah, sesak napas, dan
nyeri dada ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala
yang cukup berat tergantung dari luas lesi.
2. Gejala sistemik
Gejala sistemik lain berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun.
3. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis TB akan terlihat gejala
6
10
11
Terapi
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman
terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT)
lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan
Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
12
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di
Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). Kategori Anak:
2HRZ/4HR.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan
dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program
untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT
ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
(1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai
beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Paduan OAT dan peruntukannya.
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 1. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk kategori 1
13
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB
dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)
OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang
diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 3. Dosis KDT untuk sisipan
14
Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat atau
allopurinol.
Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis
rendah dan desensitisasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahanlahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan
terhadap obat lainnya.
Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau
gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan
nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis
karena thiacetazon.
Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
Pengobatan simtomatik :
Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain
OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
1. Penderita rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas
atau keluhan lain.
2. Penderita rawat inap
a. Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan atau komplikasi sebagai berikut:
Batuk darah
Keadaan umum buruk
Pneumotoraks
Empiema
Efusi pleura masif atau bilateral
Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa, TB paru milier, Meningitis TB
b. Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan
klinis dan indikasi rawat.
B. TERAPI PEMBEDAHAN
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak :
a. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif
b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. lndikasi relatif :
17
18
Keterangan :
* Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan :
- Lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan : lanjutkan pengobatan dulu
sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum akhir pengobatan harus diperiksa
dahak.
Hasil Pengobatan
Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang
dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up
sebelumnya
Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.
Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil
pengobatannya tidak diketahui.
Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
19
6.
7.
8.
9.
Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada
kulit. Obat suntik sebisa mungkin dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin.
Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV/AIDS (misalnya INH atau
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. INH diberikan
terus menerus seumur hidup. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi.
TB PARU PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI
Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB dengan kehamilan. Di
Eropa, OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping
streptomisin pada gangguan pendengaran janin. Di Amerika, OAT tetap diberikan
kecuali streptomisin dan pirazinamid untuk wanita hamil. Pada penderita TB
dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun beberapa OAT
dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan
OAT dan bayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui
bayinya, agar bayi tidak mendapat dosis berlebihan. Pada wanita usia produktif
yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin dianjurkan untuk tidak
menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi interaksi obat yang
menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi hormonal berkurang.
TB PARU DAN GAGAL GINJAL
Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin.
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin. Sedapat mungkin dosis disesuaikan
dengan faal ginjal (CCT, Ureum, Kreatnin). Rujuk ke ahli Paru.
TB PARU DENGAN KELAINAN HATI
Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal
hati sebelum pengobatan. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan.
Paduan Obat yang dianjurkan atau rekomendasi WHO : 2SHRE/6RH atau 2
SHE/10HE. Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru.
DRUG INDUCED HEPATITIS
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik.
Penatalaksanaannya adalah sebagai berikut :
Bila klinik (+) (Ikterik, mual dan muntah) : oat dihentikan.
Bila klinis (-), Laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin >2 OAT dihentikan
SGOT dan SGPT meningkat >5 kali : OAT dihentikan
SGOT dan SGPT meningkat >3 kali, gejala (+) : OAT dihentikan
SGOT dan SGPT meningkat >3 kali, gejala (-) : OAT teruskan
pengobatan, dengan pengawasan.
Paduan OAT yang dianjurkan :
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinik dan laboratorium
normal kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan H (INH)
desensitisasi sampai dengan dosis penuh (300 mg). Selama itu perhatikan
klinik dan periksa laboratorium saat INH dosis penuh, bila klinik dan
21
2.8.
-
KOMPLIKASI
Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura
2.9.
22
23
3. Semua pasien yang diduga tenderita TB ekstraparu (dewasa, remaja dan anak)
harus menjalani pemeriksaan bahan yang didapat dari kelainan yang dicurigai.
Bila tersedia fasiliti dan sumber daya, juga harus dilakukan biakan dan
pemeriksaan histopatologi.
4. Semua individu dengan foto toraks yang mencurigakan ke arah TB harus
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
5. Diagnosis TB paru, BTA negatif harus berdasarkan kriteria berikut :
Negatif paling kurang pada 3 kali pemeriksaan (termasuk minimal 1 kali
terhadap dahak pagi hari)
Foto toraks menunjukkan kelainan TB
Tidak ada respons terhadap antibiotik spektrum luas (hindari pemakaian
flurokuinolon karena mempunyai efek melawan M. tuberkulosis sehingga
memperlihatkan perbaikan sesaat).
Bila ada fasiliti, pada kasus tersebut harus dilakukan pemeriksaan biakan.
Pada pasien dengan atau diduga HIV, evaluasi diagnostik harus
disegerakan.
6. Diagnosis TB intratoraks (paru, pleura,KGB hilus/mediastinal) pada anak dengan
BTA negatif berdasarkan foto toraks yang sesuai dengan TB dan terdapat riwayat
kontak atau uji tuberkulin/interferon gamma release assay positif. Pada pasien
demikian, bila ada fasilitas harus dilakukan pemeriksaan biakan dari bahan yang
berasal dari batuk, bilasan lambung atau induksi sputum.
7. Setiap petugas yang mengobati pasien TB dianggap menjalankan fungsi
kesehatan masyarakat yang tidak saja memberikan paduan obat yang sesuai tetapi
juga dapat memantau kepatuhan berobat sekaligus menemukan kasus-kasus yang
tidak patuh terhadap rejimen pengobatan. Dengan melakukan hal tersebut akan
dapat menjamin kepatuhan hingga pengobatan selesai.
8. Semua pasien (termasuk pasien HIV) yang belum pernah diobati harus diberikan
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional menggunakan obat
yang biovaibilitinya sudah diketahui.
Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
diberikan selama 2 bulan.
Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan rifampisin yang selama 4
bulan.
Pemberian INH dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif untuk
fase lanjutan pada kasus yan keteraturannya tidak dapat dinilai tetapi terdapat
angka kegagalan dan kekambuhan yang tinggi dihubungkan dengan pemberian
alternatif tersebut diatas kususnya pada pasien HIV. Dosis obat antituberkulosis
ini harus mengikuti rekomendasi internasional. Fixed dose combination yang
terdiri dari 2 obat yaitu INH dan rifampisin, yang terdiri dari 3 obat yaitu INH,
rifampisin, pirazinamid dan yang terdiri dari 4 obat yaitu INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol sangat dianjurkan khususnya bila tidak dilakukan
pengawasan langsung saat menelan obat.
9. Untuk menjaga dan menilai kepatuhan terhadap pengobatan perlu dikembangkan
suatu pendekatan yang terpusat kepada pasien berdasarkan kebutuhan pasien dan
hubungan yang saling menghargai antara pasien dan pemberi pelayanan.
Supervisi dan dukungan harus memperhatikan kesensitifan gender dan kelompok
usia tertentu dan sesuai dengan intervensi yang dianjurkan dan pelayanan
dukungan yang tersedia termasuk edukasi dan konseling pasien. Elemen utama
pada strategi yang terpusat kepada pasien adalah penggunaan pengukuran untuk
24
menilai dan meningkatkan kepatuhan berobat dan dapat menemukan bila terjadi
ketidak patuhan terhadap pengobatan. Pengukuran ini dibuat khusus untuk
keadaan masing masing individu dan dapat diterima baik oleh pasien maupun
pemberi pelayanan. Pengukuran tersebut salah satunya termasuk pengawasan
langsung minum obat oleh PMO yang dapat diterima oleh pasien dan sistem
kesehatan serta bertanggungjawab kepada pasien dan sistem kesehatan.
10. Respons terapi semua pasien harus dimonitor. Pada pasien TB paru penilaian
terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x) paling kurang pada saat
menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima dan pada akhir pengobatan.
Pasien dengan BTA+ pada bulan ke lima pengobatan dianggap sebagai gagal
terapi dan diberikan obat dengan modifikasi yang tepat (sesuai standar 14 dan
15). Penilaian respons terapi pada pasien TB paru ekstraparu dan anak-anak,
paling baik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks untuk evaluasi tidak
diperlukan dan dapat menyesatkan (misleading).
11. Pencatatan tertulis mengenai semua pengobatan yang diberikan, respons
bakteriologis dan efek samping harus ada untuk semua pasien.
12. Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.
Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV.
13. Semua pasien TB-HIV harus dievaluasi untuk menentukan apakah mempunyai
indikasi untuk diberi terapi antiretroviral dalam masa pemberian OAT.
Perencanaan yang sesuai untuk memperoleh obat antiretroviral harus dibuat bagi
pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat terdapat kompleksiti pada pemberian
secara bersamaan antara obat antituberkulosis dan obat antiretroviral maka
dianjurkan untuk berkonsultasi kepada pakar di bidang tersebut sebelum
pengobatan dimulai, tanpa perlu mempertimbangkan penyakit apa yang muncul
lebih dahulu. Meskipun demikian pemberian OAT jangan sampai ditunda. Semua
pasien TB-HIV harus mendapat kotrimoksasol sebagai profilaksis untuk infeksi
lainnya.
14. Penilaian terhadap kemungkinan resistensi obat harus dilakukan pada semua
pasien yang berisiko tinggi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, pajanan
dengan sumber yang mungkin sudah resisten dan prevalens resistensi obat pada
komuniti. Pada pasien dengan kemungkinan MDR harus dilakukan pemeriksaan
kultur dan uji sensitifitas terhadap INH, rifampisin dan etambutol.
15. Pasien TB dengan MDR harus diterapi dengan paduan khusus terdiri atas obatobat lini kedua. Paling kurang diberikan 4 macam obat yang diketahui atau
dianggap sensitif dan diberikan selama paling kurang 18 bulan. Untuk
memastikan kepatuhan diperlukan pengukuran yang berorientasi kepada pasien.
Konsultasi dengan pakar di bidang MDR harus dilakukan.
16. Semua petugas yang melayani pasien TB harus memastikan bahwa individu yang
punya kontak dengan pasien TB harus dievaluasi (terutama anak usia dibawah 5
tahun dan penyandang HIV), dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi
internasional. Anak usia dibawah 5 tahun dan penyandang HIV yang punya
kontak dengan kasus infeksius harus dievaluasi baik untuk pemeriksaan TB yang
laten maupun yang aktif.
25
17. Semua petugas harus melaporkan baik TB kasus baru maupun kasus pengobatan
ulang dan keberhasilan pengobatan kepada kantor dinas kesehatan setempat
sesuai dengan ketentuan hukum dan kebijakan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Gerdunas TB. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Depkes RI
PDPI. 2006. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta.
26