Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai


pengurangan massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas
tulang yang meningkat, sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar
(Kaniawati, 2003; Hammett, 2004; Sennang, 2006).
Para ahli tulang Indonesia sepakat bahwa dengan meningkatnya
harapan hidup rakyat Indonesia penyakit kerapuhan tulang akan sering
dijumpai. Sejak tahun 1990 sampai 2025 akan terjadi kenaikan jumlah
penduduk Indonesia sampai 41,4% dan osteoporosis selalu menyertai usia
lanjut baik perempuan maupun laki-laki, meskipun diupayakan pengobatan
untuk mengobati osteoporosis yang sudah terlambat dan upaya pencegahan
dengan mempertahankan massa tulang sepanjang hidup jauh lebih dianjurkan
(Djokomoeljanto, 2003).
Kerapuhan tulang yang disebut sebagai penyakit osteoporosis adalah
pengurangan massa dan kekuatan tulang dengan kerusakan mikroarsitektur
dan fragilitas tulang, sehingga menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah.
Osteopenia menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan volume tulang
(Djokomoeljanto, 2003; Hammett, 2004; Setyohadi, 2006).
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki
dan merupakan problema pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di
klinik menjadi penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang

disertai trauma yang jelas maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma
yang jelas (Djokomoeljanto, 2003).

BAB II
OSTEOPOROSIS
1. Definisi
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh
penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang
sehingga tulang menjadi mudah patah dan rapuh ( setiyohadi, 2006).
Osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang atau disebut juga
penyakit tulang rapuh atau tulang keropos. Osteoporosis diistilahkan juga
dengan penyakit silent epidemic karena sering tidak memberikan gejala
hingga akhirnya terjadi fraktur (patah) (Dalimartha, 2002).

2. Etiologi
Ada 2 penyebab utama osteoporosis, yaitu pembentukan massa puncak
tulang yang selama masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa
tulang setelah menopause. Massa tulang meningkat secara konstan dan
mencapai puncak sampai usia 40 tahun, pada wanita lebih muda sekitar 30-35
tahun. Walaupun demikian tulang yang hidup tidak pernah beristirahat dan
akan selalu mengadakan remodelling dan memperbaharui cadangan
mineralnya sepanjang garis beban mekanik. Faktor pengatur formasi dan
resorpsi tulang dilaksanakan melalui 2 proses yang selalu berada dalam
keadaan seimbang dan disebut coupling. Proses coupling ini memungkinkan
aktivitas formasi tulang sebanding dengan aktivitas resorpsi tulang. Proses ini
berlangsung 12 minggu pada orang muda dan 16-20 minggu pada usia
menengah atau lanjut. Remodelling rate adalah 2-10% massa skelet per tahun
3

(Setyohardi,., 2006). Proses remodelling ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,


yaitu faktor lokal yang menyebabkan terjadinya satu rangkaian kejadian pada
konsep Activation Resorption Formation (ARF). Proses ini dipengaruhi
oleh protein mitogenik yang berasal dari tulang yang merangsang
preosteoblas supaya membelah membelah menjadi osteoblas akibat adanya
aktivitas resorpsi oleh osteoklas. Faktor lain yang mempengaruhi proses
remodelling adalah faktor hormonal. Proses remodelling akan ditingkatkan
oleh hormon paratiroid, hormon pertumbuhan dan 1,25 (OH)2 vitamin D.
Sedang yang menghambat proses remodelling adalah kalsitonin, estrogen dan
glukokortikoid. Proses-proses yang mengganggu remodelling tulang inilah
yang menyebabkan osteoporosis (Sinnathamby, 2010).
Selain gangguan pada proses remodelling tulang faktor lainnya adalah
pengaturan metabolisme kalsium dan fosfat. Walaupun terdapat variasi
asupan kalsium yang besar, tubuh tetap memelihara konsentrasi kalsium
serum pada kadar yang tetap. Pengaturan homeostasis kalsium serum
dikontrol oleh organ tulang, ginjal dan usus melalui pengaturan paratiroid
hormon (PTH), hormon kalsitonin, kalsitriol (1,25(OH) 2 vitamin D) dan
penurunan fosfat serum. Faktor lain yang berperan adalah hormon tiroid,
glukokortikoid dan insulin, vitamin C dan inhibitor mineralisasi tulang
(pirofosfat dan pH darah). Pertukaran kalsium sebesar 1.000 mg/harinya
antara tulang dan cairan ekstraseluler dapat bersifat kinetik melalui fase
formasi dan resorpsi tulang yang lambat. Absorpsi kalsium dari
gastrointestinal yang efisien tergantung pada asupan kalsium harian, status

vitamin D dan umur. Didalam darah absorpsi tergantung kadar protein tubuh,
yaitu albumin, karena 50% kalsium yang diserap oleh tubuh terikat oleh
albumin, 40% dalam bentuk kompleks sitrat dan 10% terikat fosfat
(Sinnathamby, 2010).

3. Faktor Risiko Osteoporosis


1. Usia
Tiap peningkatan 1 dekade, resiko meningkat 1,4-1,8
2. Genetik

Etnis (kaukasia dan oriental > kulit hitam dan polinesia)

Seks (wanita > pria)

Riwayat keluarga

3. Lingkungan

Defisiensi kalsium

Aktivitas fisik kurang

Obat-obatan

(kortikosteroid,

anti

konvulsan,

heparin,

siklosporin)

Merokok, alkohol

Resiko terjatuh yang meningkat (gangguan keseimbangan,


licin, gangguan penglihatan)

4. Hormonal dan penyakit kronik


a. Defisiensi estrogen, androgen

b. Tirotoksikosis, hiperparatiroidisme primer, hiperkortisolisme


c. Penyakit kronik (sirosis hepatis, gangguan ginjal, gastrektomi)
5. Sifat fisik tulang
a. Densitas (massa)
b. Ukuran dan geometri
c. Mikroarsitektur
d. Komposisi
6. Faktor resiko faktur panggul yaitu,:
a. Penurunan respons protektif

Kelainan neuromuscular

Gangguan penglihatan

Gangguan keseimbangan

b. Peningkatan fragilitas tulang

Densitas massa tulang rendah

Hiperparatiroidisme

c. Gangguan penyediaan energi

Malabsorpsi

4. Klasifikasi Osteoporosis
1. Osteoporosis primer
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause.
Pada masa menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi

hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Estrogen berperan


dalam proses mineralisasi tulang dan menghambat resorbsi tulang
serta pembentukan osteoklas melalui produksi sitokin. Ketika
kadar hormon estrogen darah menurun, proses pengeroposan
tulang

dan

pembentukan

mengalami

ketidakseimbangan.

Pengeroposan tulang menjadilebihdominan (Wirakusumah, 2007).


b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang
biasanya terjadi lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi
akibat dari kekurangan kalsium berhubungan dengan makin
bertambahnya usia (Hortono, 2000).
c. Osteoporosis primer tipe III adalah osteoporosis idiopatik
merupakan

osteoporosis

yang

penyebabnya

tidak

diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan pria yang


masih dalam usia muda yang relative jauh lebih muda (Hortono,
2000).
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis

sekunder

terjadi

kerana

adanya

penyakit tertentu yang dapat mempengaruhi kepadatan


massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor
pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di
bawa ( Wirakusumah, 2007) :
a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme

b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi kalsium.fosfor.


vitamin D) terganggu.
c. Penyakit keganasan ( kanker)
d. Konsumsi obat obatan seprti kortikosteriod
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.
Tabel 1. Karakteristik osteoporosis tipe 1 dan 2
Sumber Setyohardi,, 2006
Umur

Tipe 1
50-75

Tipe 2
>70

Perempuan:laki-laki

6:1

2:1

Tipe kerusakan tulang

Terutama trabekular tinggi

Trabekular dan kortikal rendah

Born turnover

Tinggi

Rendah

Lokasi fraktur

Vertebra, radius distal

Vertebra, colum femuralis

Fungsi paratiroid

Menurun

Meningkat

Efek esterogen

Terutama skeletal

Terutama ekstraskeletal

Etiologi utama

Defisiensi esterogen

Penuaan, defisiensi esterogen

5.

terbanyak

Patogenesis
Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang
terus menerus. Pada osteoporosis, massa tulang berkurang,
yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang pasti

melebihi laju pembentukan tulang. Pembentukan tulang


lebih banyak terjadi pada korteks (Setyohardi,, 2006).
A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium
Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang
yang terdiri dari substansi organik (30%) dan substansi
mineral

yang

paling

banyak

terdiri

dari

kristal

hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%)


seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr dan Pb. Substansi organik
terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan
osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe
I (95%) dan protein nonkolagen (5%) seperti osteokalsin,
osteonektin, proteoglikan tulang, protein morfogenik
tulang,

proteolipid

tulang

dan

fosfoprotein

tulang.

(Djokomoeljanto, 2003).
Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai
perancah, proses mineralisasi tulang tidak mungkin dapat
berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul
yang sangat bersifat anionik dan berperan penting dalam
proses kalsifikasi dan fiksasi kristal hidroksi apatit pada
serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis
dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf, yaitu setiap
perubahan fungsi tulang akan diikuti oleh perubahan

tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan


penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika.
Dengan kata lain, hukum Wolf dapat diartikan sebagai
bentuk akan selalu mengikuti fungsi. (Djokomoeljanto,
2003)
B. Patogenesis Osteoporosis primer
Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama
pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama
fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan
menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan
sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan
meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan kadar estrogen
akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut
sehingga aktivitas osteoklas meningkat. (setyohardi,, 2006)

Gambar 1. Gambaran mikroskopik tulang osteoporosis


(Sumber: Ikawati, 2011)

10

Selain

peningkatan

aktivitas

osteoklas,

menopouse

juga

menurunkan absorbsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium


di ginjal. Selain itu menopouse juga menurunkan sintesis berbagai protein
yang membawa 1,25 (OH)2D sehingga pemberian esterogen akan
meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D di dalam plasma. Tetapi pemberian
esterogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut
karena esterogen transdermal tidak diangkut melalui hati. Walau demikian
esterogen trandermal tetap dapat meningkatkan absrobsi kalium di usus
secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D. Untuk mengatasi
keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan
meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin
berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium
serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma,
meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan
kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk
garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat
penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik
(Setyohardi,, 2006).
C. Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya
sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade
ke-8 dan 9 kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang,
dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak
berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa
tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan resiko fraktur.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada
orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang
kurang, anoreksia, malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah.
Defisiensi vitamin K juga akan menyebabkan osteoporosis karena akan

11

meningkatkan karboksilasi protein tulang misalnya osteokalsin. Penurunan


kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan
osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause
(penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa
tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan
bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun
sedangkan kadar Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) akan meningkat.
Peningkatan SHBG akan meningkatkan pengikatan estrogen dan
testosteron membentuk kompleks yang inaktif (Setiyadi, 2006).
Penurunan hormon pertumbuhan (GH) dan IGF-1 juga berperan
terhadap peningkatan resorpsi tulang. Tetapi penurunan kadar androgen
adrenal (DHEA dan DHEA-S)

ternyata menunjukkan hasil yang

kontroversial terhadap penurunan masa tulang pada orang tua.


Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa
tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok,
alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus
diperhatikan adalah resiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua
dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan
penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural,
gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata. (Setyohardi, 2006)

6. Gambaran Klinis
Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal
ini disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur
tulang. Beberapa fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa

12

tahun kemudian. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada
vertebra, pergelangan tangan, pinggul, humerus, dan tibia. Gejala yang
paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri pada punggung dan
deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat kolaps
vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya
akut dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri
dapat meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik
ditempat tidur. Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk
sementara, tetapi akan berulang dengan jangka waktu yang bervariasi.
Serangan nyeri akut juga dapat disertai oleh distensi perut dan ileus (Broto,
2004).

Tulang normal

13

Osteoporosis
Gambar 2. Potongan transversal tulang
(sumber : http://medlib.med.utah.edu/, 2011)

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila


didapatkan :

Patah tulang akibat trauma yang ringan.

Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.

Gangguan otot (kaku dan lemah)

Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

7. Diagnosis
Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena
tidak ada rasa nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis
lanjut. Khususnya pada wanita-wanita menopause dan pasca menopause,
rasa nyeri di daerah tulang dan sendi dihubungkan dengan adanya nyeri
akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri jaringan lunak (wallaca
tahun1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah bekerja, memakai

14

baju, pekerjaan rumah tangga, taman, dan lain-lain. Jadi secara anamnesa
mendiagnosis osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang
terjadinya osteoporosis seperti (Lane, 2003)

Tinggi badan yang makin menurun.

Obat-obatan yang diminum.

Penyakit-penyakit

yang

diderita

selama

masa

reproduksi,

klimakterium.

Jumlah kehamilan dan menyusui.

Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.

Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan


matahari cukup.

Apakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.

Apakah sering merokok, minum alkohol

8. Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita
osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis,
deformitas tulang, nyeri spinal. Penderita dengan osteoporosis sering
menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi badan
(Setyohardi, 2006).
9. Pemeriksaan Penunjang

15

Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada
tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
(Setyohardi,, 2006)
Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)
Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko
fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan densitas tulang sebesar 1
standar deviasi di bawah rata-rata densitas mineral tulang orang dewasa
muda

akan

meningkatkan

terjadinya

fraktur

sebanyak

2-3

kali.

(setyohardi,2006)
Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai masa tulang
adalah single photon absorptiometry (SPA) dan single energy X-ray
absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit; dual-photon absorptiometri
(DPA) dan dual-energy X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan proximal
femur; dan quantitative computed tomography (QCT) (Setyohardi, 2006).
untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan
kriteria kelompok kerja WHO, yaitu:
1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas
massa tulang orang dewasa muda (T-score)
2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari
T-score.

16

3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.


4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.
Pada vertebra densitas tulang yang biasanya dilihat adalah nilai ratarata densitas tulang L2-L4 dan pada sendi panggul yang dihitung adalah
kolumna femoralis, segitiga ward dan trochanter mayor (setyohardi, 2006).
Indikasi densitometri tulang (setyohardi,, 2006) :
1. Wanita premenopouse dengan resiko tinggi, misalnya hipomenorea,
atau amenore, menopouse akibat pembedahan atau anorexia nervosa.
2. Laki-laki dengan satu atau lebih faktor resiko, misalnya
hipogonadisme (testoteron rendah), pengguna alkohol, osteoporosis
pada radiografi atau fraktur karena trauma ringan.
3. Imobilisasi lama (lebih dari 1 bulan)
4. Masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun
5. Arthritis Reumatoid atau ankylosing spondylitis sselama lebih dari 5
tahun terus-menerus
6. Awal pengobatan kortikosteroid atau metotreksat dan setiap 1-2 tahun
pengobatan
7. Menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau fenobarbital
selama lebih dari 5 tahun.
8. Kreatinin klirens <50 milmenit atau penyakit tubular ginja
9. Osteomalasia dengan kalsium serum yang rendah
10. Hiperparatiroidisme
11. Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahin.
12. DM tipe 1
Tabel 2. Tindakan berdasarkan hasil T-score
T-score
Risiko fraktur
Tindakan
>+ 1
Sangat rendah
Tidak ada terapi
0 s/d 1
-1 s/d 0

Rendah

Ulang densitometri tulang bila ada indikasi


Tidak ada terapi

Rendah

Ulang densitometri tulang setelah 5 tahun


Tidak ada terapi
17

Ulang densitometri tulang setelah 2 tahun


-1 s/d 2,5

Sedang

Tindakan pencegahan osteoporosis

<-2,5

Tinggi

Ulang densitometri tulang setelah 1 tahun


Tindakan pengobatan osteoporosis

tanpa

Tindakan pencegahan dilanjutkan

fraktur

Ulang densitometri tulang dalam 1-2tahun

<-2,5

Tindakan pengobatan osteoporosis

dengan

Tindakan pencegahan dilanjutkan

fraktur

Ulang densitometri tulang dalam 6 bulan 1


tahun
Sumber Setyohardi,, 2006

10. Penatalaksanaan
Terapi pada osteoporosis harus mempertimbangkan 2 hal, yaitu terapi
pencegahan yang pada umumnya bertujuan untuk menghambat hilangnya
massa tulang. Dengan cara yaitu memperhatikan faktor makanan, latihan
fisik ( senam pencegahan osteoporosis), pola hidup yang aktif dan paparan
sinar ultra violet. Selain itu juga menghindari obat-obatan dan jenis
makanan yang merupakan faktor resiko osteoporosis seperti alkohol, kafein,
diuretika, sedatif, kortikosteroid (Broto, 2004). Selain pencegahan, tujuan
terapi osteoporosis adalah meningkatkan massa tulang.
Osteoporosis dapat

diobati dengan menghambat kerja osteoklas

(antiresorptif) dan/atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).


Yang termasuk golongan obat antiresorptif adalah esterogen, anti esterogen,

18

bifosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang


adalah Na-fluorida PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak
mempunyai efek anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan
untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi ole osteoblas
(Setyohardi, 2006).
Esterogen
Beberapa preparat esterogen yang dapat dipakai dengan dosis
untuk antiresorptifnya adalah esterogen terkonjugassi 0,625mg/hari, 17
estrradiol oral 1-2mg/hari, 17-estradiol transdermal 50g/hari, 17estradiol perkutan 1,5mg /hari dan 17-estradiol subkutan 25-50mg setiap
6 bulan (Setyohardi, 2006).
Raloksifen
Raloksifen merupakan anti esterogen yang mempunyai efek seperti
eserogen di tulang dan lipid,tetapi tidak menyebabkan perangsangan
endometrium dan payudara. Cara kerjanya diduga melibatkan TGF3 yang
diihasilkan osteoklas dan osteoblas dan berfungsi menghambat diferensiasi
osteoklas dan kehilangan masa tulang. Dosis yang direkomedasikan untuk
mencegah osteoporosis adalah 60mg/hari (Setyohardi, 2006).
Bisofosfonat
Bisofosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas
dengan cara berikatan pada permukaan tulang dan meghambat kerja

19

osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal di


bawah osteoklas.
Beberapa preparat bifosfonat
1. Etidronat
Diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 2minggu dilanjutkan
dengan suplementasi kalsium 500mg/hari selama 76 hari.siklus ini
diulang tiap 3bulan.
2. Klodronat
Diberikan dengan dosis 400mg/hari selama 1 bulan dilanjutkan
suplementasi kalsium selama 2 bulan.
Natrium Fluorida
Natrium fluorda merupakan stimulator tulang yang samp[ai
sekarang belum disetujui oleh FDA. Berdasarkan data terbatas, efek
terapetik fluorida akan tercapai bila kadar fluorida di dalam serum
mencapai 0,1-0,25 mg/l. Efek samping lain selain peningkatan resiko
fraktur perifer adalah iritasi lambungdan artralgia (Setyohardi, 2006).
12. Pencegahan
Pencegahan osteoporosi meliputi:
1. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dengan
mengonsumsi kalsium yang cukup
Mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup sangat efektif,
terutama sebelum tercapainya kepadatan tulang maksimal (sekitar
umur 30 tahun). Minum 2 gelas susu dan tambahan vitamin D setiap

20

hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang pada wanita setengah baya


yang sebelumnya tidak mendapatkan cukup kalsium. Akan tetapi tablet
kalsium dan susu yang dikonsumsi setiap hari akhir - akhir ini menjadi
perdebatan sebagai pemicu terjadi osteoporosis, berhubungan dengan
teori osteoblast (Hammett, Stabler CA, 2004).
2. Melakukan olah raga dengan beban
Olah raga beban (misalnya berjalan dan menaiki tangga) akan
meningkatkan kepadatan tulang. Berenang tidak meningkatkan
kepadatan tulang (Hortono M, 2000).
3. Mengkonsumsi obat (untuk beberapa orang tertentu).
Estrogen membantu mempertahankan kepadatan tulang pada
wanita dan sering diminum bersamaan dengan progesteron. Terapi
sulih estrogen paling efektif dimulai dalam 4-6 tahun setelah
menopause; tetapi jika baru dimulai lebih dari 6 tahun setelah
menopause, masih bisa memperlambat kerapuhan tulang dan
mengurangi

risiko

patah

tulang.

Raloksifen

merupakan

obat

menyerupai estrogen yang baru, yang mungkin kurang efektif daripada


estrogen dalam mencegah kerapuhan tulang, tetapi tidak memiliki efek
terhadap payudara atau rahim. Untuk mencegah osteroporosis,
bisfosfonat (contohnya alendronat), bisa digunakan sendiri atau
bersamaan dengan terapi sulih hormon (Hortono M, 2000).

21

BAB III
RINGKASAN

Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang


secara nyata yang berakibat pada rendahnya kepadatan tulang. Dua
penyebab osteoporosis adalah pembentukan massa puncak tulang selama
masa pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah
menopause. Faktor resiko terjadinya osteoporosis, yaitu usia, genetik,
lingkungan dan faktur panggul. Osteoporosis terbagi menjadi primer dan
sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis pasca menopause dan
sekunder biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Tanda klinis utama
dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan tangan,
pinggul, humerus, dan tibia. Terapi osteoporosis memepertimbangkan 2
hal, yaitu menghambat hilangnya massa tulang dan peningkatan massa
tulang. Pencegahan osteoporosis adalah mengkonsumsi kalsium yang
cukup, olahraga beban dan mengkonsumsi obat contohnya estrogen.

22

DAFTAR PUSTAKA
1. Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis.
Dexa Media No. 2 Vol 17: 47 57
2. Dalimartha, S, 2002. Resep Tumbuhan
Osteoporosis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Obat

Untuk

Penderita

3. Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis. Patofisiologi dan


dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis Postmenopausal. Semarang:
p.1-12
4. Hammett, Stabler CA, 2004. Osteoporosis from pathophysiology to
treatment. In: Washington American Assosiation for Clinical Chemistry
Press.p. 1-86
5. Hortono, M, 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Puspa Swara.
Jakarta.
6. Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk
Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational
Services. No 1: hal. 118
7. Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
8. Sennang AN, Mutmainnah, Pakasi RDN, Hardjoeno, 2006. Analisis
KadarOsteokalsin Serum Osteopenia dan Osteoporosis. Dalam Indonesian
Journal of clinical pathology and medical laboratory, Vol.12, No.2: hal 4952
9.

Sinnathamby, Hemanath. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan


Sikap Terhadap Osteoporosis Dan Asupan Kalsium Pada Wanita
Premenopause Di Kecamatan Medan Selayang Ii. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

10. Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam . Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
11. Wirakusmah, E.S., 2007. Mnecegah Osteoporosis Lengkar Dengan 39 Jus
dan 38 Resep. Available at url : http://books.google.co.id/books?
id=voPEmYEwjXwC&pg=PA1&dq=osteoporosis#PPP1M1.[Diskses
5
agustus 2012]

23

Anda mungkin juga menyukai