Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Bibir sumbing adalah cacat lahir kraniofasial yang paling umum terjadi,
terjadinya bibir sumbing atau labioskisis merupakan kegagalan penyatuan
tonjolan maksila dan tonjolan hidung medial, bisa terjadi unilateral atau medial.
Bila tonjolan hidung medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara
maksila gagal menyatu terjadi celah yang disebut palatoskisis.1,2
Kasus bibir sumbing dan celah langit-langit merupakan cacat lahir yang
masih menjadi masalah di tengah masyarakat. terutama penduduk dengan status
sosial ekonomi yang rendah. Akibatnya tindakan yang akan dilakukan terlambat.1,2
Presentasi bibir sumbing bervariasi, anak dapat lahir dengan bibir sumbing
unialteral atau bilateral dengan langit-langit yang normal, sumbing (soft atau
hard) dengan bimbing normal, atau unilateral/bilateral dengan sumbing langitlangit. Presentasi yang paling umum terjadi adalah bibir sumbing unilateral sisi
kiri dengan sumbing celah langi-langit. Kejadian ini juga lebih banyak terjadi
pada bayi laki-laki dibandingkan bayi perempuan. Sebagian besar bayi yang
terkena tidak mempunyai masalah kesehatan dan normal secara intelektual.
Namun , terdapat kejadian 25% dengan anomali tambahan, termasuk neurologis
dan kelainan jantung serta club foot.
Insiden ini terjadi pada populasi Kaukasia adalah 1-1.5/1000 kelahiran
hidup, di Afrika dan Afrika-Amerika adalah <0.5/1000 kelahiran hidup, dan di
Asia dan Hispanik, 2-3/1000 kelahiran hidup.
Secara anatomik, kelainan ini mencakup organ-organ antara lain labium
oris, gnathum yang melibatkan gigi-geligi, palatum, nasal bahkan maksila.
Etiologi bibir sumbing dan celah langit-langit adalah multifaktor. Selain faktor
genetik juga terdapat faktor non genetik atau lingkungan. Faktor faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing dan celah langit-langit adalah usia
ibu waktu melahirkan, perkawinan antara penderita bibir sumbing, defisiensi Zn
saat hamil dan defisiensi asam folat.3-5
Selain masalah rekonstruksi bibir yang sumbing, masih ada masalah lain
yang perlu dipertimbangkan yaitu masalah gangguan bicara, gigi geligi dan
psikososial. Masalah -masalah ini sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis
dan pada akhirnya hasil fungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan
juga
dipengaruhi
oleh
masalah-masalah
tersebut.
Dengan
pendekatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi
Pada awal perkembangan, wajah janin adalah daerah yang dibatasi di
sebelah cranial oleh lempeng neural, di cauda oleh pericardium, dan di lateral oleh
processus mandibularis arcus pharyngeus pertama kanan dan kiri. Di tengahtengah daerah ini, terdapat cekungan ectoderm yang dikenal sebagai stomodeum.
Pada dasar cekungan terdapat membrane buccopharyngeal. Pada minggu keempat,
membrane buccopharyngeal pecah sehingga stomodeum berhubungan langsung
dengan usus depan (foregut).4,6,7
Perkembangan wajah selanjutnya bergantung pada menyatunya sejumlah
processus penting (teori fusi processus), yaitu processus frontonasalis, processus
maxillariss, dan processsus mandibularis. Processus frontonasalis mulai sebagai
proliferasi mesenchym pada permukaan ventral otak yang sedang berkembang,
menuju ke arah stomodeum. Sementara itu, processus maxillaris tumbuh keluar
dari ujung atas arcus pertama dan berjalan ke medial, membentuk pinggiran
bawah orbita. Processus mandibularis arcus pertama kini saling mendekat satu
dengan yang lain di garis tengah, di bawah stomodeum dan bersatu membentuk
rahang bawah dan bibir bawah.6,7
medialis
dan
processus
nasalis
lateralis.
Dengan
berlanjutnya
labioschizis,
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari : lidah
bagian oral (dua pertiga bagian anterior dari lidah), palatum durum (palatum
keras), dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir, mukosa bukal, alveolar
ridge, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang
membatasi rongga mulut
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas
dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada
bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas
dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari bagian
atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke bagian
mandibula pada bagian inferior.
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis,
jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun
dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion
merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitelepitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan
warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga
menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar
sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak
ditemukan pada bagian vermilion.
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di
bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat
melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otototot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan
berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga
memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.
molle
berperan
memisahkan
10
mengalami
(ibu,
ayah,
saudara
kandung)
mempunyai
riwayat
labiopalatoschizis.
Pada penderita bibir sumbing terjadi trisomi 13 atau Sindroma Patau
dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga
jumlah total kromosom pada setiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal
seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan
gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun
kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi
yang lahir.
2. Faktor usia ibu
Semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula
risiko ketidak sempurnaan pembelahan meiosis.
3. Faktor lingkungan
Zat kimia (rokok dan alkohol) karena zat toksik yang terkandung pada
rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ selama
masa embrional. Gangguan metabolik seperti diabetes mellitus dan
penyinaran radioaktif juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ
selama masa embrional.
11
4. Insufisiensi zat.
Untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi
asam folat, vitamin C dan Zn) serta penggunaan vitamin A dalam bentuk
13-cis-retinoic acid dapat menigkatkan risiko melahirkan anak dengan
labio / palatoschizis.
5. Zat Kimia.
Penggunaan obat teratologi termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal.
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat berpengaruh pada janin.
Akan tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital ini
masih belum jelas. Kontrasepsi hormonal pada ibu hamil terutama
hormone estrogen yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
hipertensi
sehingga
berpengaruh
terhadap
sirkulasi
fetomaternal.
12
penyatuan prosesus nasalis media dan prosesus maksilaris. Celah palatum muncul
akibat terjadinya kegagalan dalam mendekatkan atau mefusikan lempeng
palatum.Cacat ini berupa celah pada bibir atas yang dapat meneruskan diri sampai
ke gusi, rahang dan langitan, sehingga besarnya cacat bervariasi. Juga dapat
terjadi pada dua sisi. Diagnosis dalam bahasa latin tergantung dari cacatnya,
misalnya
bila
mengenai
bibir,
gusi
dan
rahang
disebut
Labiognatopalatoschizis.2,9,11
Dua teori yang muncul tentang embryogenesis bibir sumbing :9-11
a. Teori klasik
Kegagalan fusi processus maksila dan processus nasalis medialis
selama interval waktu menghasilkan celah palatum primer.
b. Teori penetrasi mesodermal (dikemukakan oleh Stark)
Penutupan palatum didasari oleh penetrasi mesodermal, tanpa
migrasi dan penguatan oleh mesodermal ini, akan terjadi kerusakan epitel
dan bagian yang telah menyatu (proses nasalis dan maksilaris) pecah
kembali sehingga terjadi pemisahan yang berakibat adanya celah bibir /
palatum.
Masalah yang ditimbulkan cacat ini adaah psikis, fungsi dan estetik,
ketiganya saling berhubungan. Masalah psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai langitlangit, bayi tak dapat menghisap. ASI harus dimanfaatkan dengan cara lain,
dipompa dulu dan diberikan per sendok atau dengan botol yang lubang dotnya
cukup besar. 9-11
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Karena sfingter pada muara tuba
eustachii kurang normal maka lebih mudah terjadi infeksi di ruang telinga tengah.
Kemungkinan ini harus selalu diingat supaya tidak sampai terjadi otitis media
perforata. Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasikan
suara non asal dan sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem
lainnya yang membutuhkan nasal coupling.
13
14
15
16
biasanya
dapat
menyusui,
namun
pada
bayi
dengan
17
otot tersebut di atas untuk menutup ruang / rongga nasal pada saat bicara
mungkin tidak dapat lagi kembali sepenuhnya normal.
Anak mungkin mempunyai kesulitan berbicara atau memproduksi suara /
kata p, b, d, t, h, k, g, s, sh dan ch dan terapi bicara (speech therapy)
biasanya sangat membantu.2,4,9
Selain pemeriksaan fisik yang dapt dilakukan saat bayi lahir, Labioschizis
juga dapat dideteksi selama kehamilan dengan USG rutin.12
18
komplikasi
yang
terjadi
pada
anak
yang
mengalami
labiopalatoschizis yaitu:2
a. Labioschizis dapat menyebabkan masalah kosmetik, serta susunan gigi
yang tidak beraturan
b. Palatoschizis dapat menyebabkan mudahnya mengalami penyakit ISPA
(infeksi saluran pernapasan akut) serta berbicara sengau
c. Otitis media berulang dan ketulian sering kali terjadi, jarang dijumpai
kasus karies gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik dibutuhkan apabila
terdapat kesalahan penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi.
d. Cacat bicara bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomi telah dilakukan dengan baik. Cacat wicara
yang demikian
19
20
22
7. Setelah jahitan terpasang, lekuk atap dan lengkung atas atap lubang
hidung lebih simetris. Kolumela dan rangka tulang rawan dan
vomer yang miring dari depan ke belakang sulit diperbaiki,
sehingga masih miring.
8. Luka dipinggir dalam atap nares dijahit, kemudian mukosa oral
mulai dari cranial, menghubungkan sulkus ginngivo labialis.
Jahitan diteruskan sampai ke dekat merah bibir.
9. Setelah itu, otot dijahit lapis demi lapis. Jahitan kulit dimulai dari
titik yang perlu ditemukan yaitu ujung busur Cupido. Diteruskan
ke atas dan ke mukosa bibir. Jaringan kulit atau mukosa yang
berlebihan dapat dibuang.
10. Terakhir luka operasi ditutup dengan tulle dan kasa lembab selama
1 hari, untuk menyerap rembesan darah / serum yang masih akan
keluar. 1 hari sesudahnya, barulah luka dirawat terbuka dengan
pemberian salep antibiotik.
23
pengisapan
nasofaring
yang
dilakukan
secara
lembut
25
26
27
28
gusi
juga
terbelah
(gnatoschizis)
kelainannya
menjadi
29
bicara
yang
baik.
Terapi
bicara
yang
berkesinambungan
2.2.11 Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya bibir sumbing
adalah:
1. Menghindari Merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor resiko lingkungan terkait
untuk terjadinya celah. Ibu yang menggunakan tembakau selama kehamilan
secara konsisten terkait dengan peningkatan resiko terjadinya plate.
2. Menghindari Alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat mempengaruhi
tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing telah dijelaskan
memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak 10% kasus pada
sindrom alkohol fetal.
3. Nutrisi
30
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang yang normal bagi fetus.
a. Asam Folat
Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu,
ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah
terjadinya anemia dalam kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah
defek kongenital selama tumbuh kembang embrionik
b. Vitamin B6
Diketahui bahwa Vitamin B6 dapat melindungi terhadap induksi terjadinya
celah pada penelitian terhadap binatang. Namun penelitian pada manusia
masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B6 dalam terjadinya
celah.
c. Vitamin A
Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin A
pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek
kelahiran lainnya pada mamalia. Penelitian klinis pada manusia
menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin
A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.
BAB III
KESIMPULAN
Bibir sumbing (labiopalatoschizis) adalah merupakan kongenital anomali
yang berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Labiopalatoschizis
merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, celah bibir dan
atau palatum untuk menyatu selama perkembangan embrio, hal ini dapat
disebabkan oleh faktor genetic dan berbagai faktor lingkungan yang terjadi pada
trimester pertama kehamilan karena tidak terbentuknya suatu jaringan di daerah
tersebut.
Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi
cukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkat kerusakan sesuai organ
yang mengalami kecacatannya yang dapat menyebabkan terjadinya masalah
asupan makan, dental, mudah terjadinya infeksi di rongga hidung, tenggorokan
31
dan tuba eustachius (saluran penghubung telinga dan tenggorokan) serta gangguan
bicara.
Pengelolaan bibir sumbing langitan merupakan pengelolaan terpadu
(multidisipliner) yang melibatkan tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah
atau bedah plastik, ahli THT, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan
rahang dan giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara. Kelainan ini sebaiknya secepat mungkin diperbaiki dengan
berbagai teknik operasi labioplasty seperti teknik Millard untuk dan teknik
palatoplasty seperti teknik Von Langenbeck, V-Y palatoplasty, Bardach two flap
serta Furlow Z Plasty.
32
DAFTAR PUSTAKA
Tenggara
Timur.
Diunduh
dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18.ht.ml
4. Widjoseno, Gardjito. Kelainan Bawaan Kepala dan Leher. Dalam : R
Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke 2.
Jakarta: EGC; 2004. 344 345.
5. Shenaq SM, JYS Kim, A Bienstock. Plastic and Reconstructive Surgery.
Dalam : Schwartzs Principles of Surgery. FC Brunicardi, DK Andersen,
TR Billiar, DL Dunn, JG Hunter, RE PUllock. Edisi ke 8. Volume 2.
Library of Congress Cataloging in Publication Data; 1999. 1796 1800.
6. Snell RS. Perkembangan Wajah dan Kelainana Kongenital. Dalam :
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke 6. Jakarta:
EGC. 2006. 714 - 716.
7. Sadler TW. Wajah Dalam : Embriologi Langman. Edisi ke 7. Jakarta:
EGC; 1997. 334 - 338
8. Sacharin, Rosa M. Text Book of Pediatric. Edisi ke 12. Jakarta: EGC.
2002
9. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan.
Dalam : Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aeusculapius. FKUI. 2005
10. Muhammad AH. Cleft Lip and Palate :Etiological Factos, a Review.
Indian J Adv (serial online) 2012 June (diakses 25 Oktober 2013); 4(2): (8
layar).
33
11. Bisono. Sumbing Bibir / Langitan. Dalam : Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS dr.
Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Binarupa Aksara. 393 396.
12. The Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service. Cleft Lip and
Palate. Dalam : Neonatal Network Handout. Januari 2013.
13. Karmacharya J. Cleft Lip Workout (online). Dalam: Medscape. Juli 2013
(diakses
25
Oktober
2013).
Diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/
14. Seattle Children Hospital, research and foundation Cleft lip and palate.
Diunduh dari : http://www.seattlechildren.org/
34