Oleh:
Teffi Widya Jani
1102010278
Pembimbing:
dr. Dadan S.,SpOG
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah sekelompok penyakit yang berasal dari
khorion janin, suatu spektrum dari dua kondisi premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan
complete mola hidatidosa, hingga tiga kondisi tumor ganas yaitu; invasive mola,
koriokarsinoma gestasional, dan placental site hrophoblastic tumor (PSTT) yang nantinya
ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia trofoblastik gestasional.1
Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional dan dapat
mengalami transformasi menjadi bentuk ganasnya yaitu koriokarsinoma. Koriokarsinoma
tidak selalu berasal dari mola hidatidosa namun tidak jarang berasal dari kehamilan normal,
prematur, abortus maupun kehamilan ektopik yang jaringan trofoblasnya mengalami konversi
menjadi tumor trofoblas ganas. Bila seorang wanita menderita koriokarsinoma dan
mempunyai riwayat kehamilan biasa dan mola sebelumnya, maka dengan pemerikasaan DNA
kita dapat menentukan apakah koriokarsinoma ini berasal dari mola atau kehamilan biasa.
Tumor trofoblastik di tempat implantasi plasenta merupakan
tumor trofoblas
gestasional yang berasal dari sel-sel trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan memiliki
gambaran klinik yang berbeda dengan tumor trofoblas gestasional lain. Tetapi penelitian
sitogenetik, imunohistokimia menunjukkan perbedaan yang jelas dalam etiologi morfologi
dan perilaku klinis. Dari berbagai penelitian dan laporan klinisi menunjukkan pentingnya
klasifikasi histologis yang seragam untuk memastikan penanganan klinis yang sesuai. Namun
istilah penyakit trofoblas ganas (PTG) tetap memiliki kegunaan klinis karena prinsip
monitoring hCG dalam follow up dan kemoterapi dari penyakit metastatik yang serupa.
Di negara-negara yang sudah maju pengelolaan mola hidatidosa dan tumor trofoblas
gestasional tidak merupakan masalah karena sebagian besar telah terdiagnosis pada stadium
dini, sebaliknya dinegara-negara yang sedang berkembang pada umumnya diagnosis
terlambat maka penyulit-penyulit seperti perdarahan, tirotoksikosis, invasi dan metastasis
tumor masih menjadi salah satu penyebab kematian ibu.
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi & Gambaran Umum
Penyakit trofoblas gestasional atau Gestational trophoblastic disease (GTD) adalah
suatu kelompok (spektrum) penyakit, yang pada umumnya dimulai dengan suatu kegagalan
kehamilan, terdiri dari MH (Mola Hidatidosa) yang jinak & TTG (Tumor Trofoblas Ganas)
yang ganas7, sebuah spektrum tumor-tumor plasenta terkait kehamilan, termasuk mola
hidatidosa, mola invasif, placental-site trophoblastic tumor dan koriokarsinoma, yang
memiliki berbagai variasi lokal invasi dan metastasis.
Menurut FIGO,2006 istilah Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) atau Penyakit
tropoblas ganas (PTG) menggantikan istilah istilah yang meliputi chorioadenoma destruens,
metastasizing mole, mola invasif dan koriokarsinoma.2
Molahidatidosa, berdasarkan morfologi, histopatologi dan kariotyping dibedakan
menjadi
molahidatidosa
komplet
dan
molahidatidosa
parsial.Sejumlah
15-28%
juga karena kelangkaan penyakit dan kesulitan untuk membedakan secara klinis antara
khoriokarsinoma postmolar dengan mola invasif. Di Eropa dan Amerika Utara,
khoriokarsinoma mengenai 1 dari 40.000 kehamilan dan 1 dari 40 mola hidatidosa,
sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang khoriokarsinoma mengenai 9,2 dan 3,3 per 40.000
kehamilan. Insidensi mola hidatidosa dan khoriokarsinoma menurun dalam 30 tahun
belakangan.6
Beberapa faktor risiko yang berpotensi sebagai etiologi mola hidatidosa parsial dan
komplit telah dievaluasi. Dua faktor risiko yang telah ditetapkan adalah usia maternal yang
ekstrim dan kehamilan mola sebelumnya. Usia maternal yang lanjut atau sangat muda
berkorelasi dengan peningkatan kejadian mola hidatidosa komplit. Dibandingkan dengan
wanita usia 21-35 tahun, risiko mola komplit 1,9 kali lebih tinggi pada wanita usia >35 tahun
dan <21 tahun serta 7,5 kali lebih tinggi pada wanita usia >40 tahun. Kehamilan mola
sebelumnya merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya kehamilan mola berikutnya.
Risiko pengulangan kehamilan mola setelah satu kali mola adalah 1%, atau sekitar 10-20
kali pada populasi umum.6
Kelompok familial biparental mola hidatidosa komplit berhubungan dengan mutasi gen
missense NLRP7 pada kromosom 19q. Risiko obstetrik lain yang telah dilaporkan adalah
riwayat abortus spontan, 2-3 kali meningkatan risiko terjadinya kehamilan mola
dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keguguran. Meskipun beberapa kemungkinan
faktor lingkungan yang mempengaruhi mola komplit sudah banyak diteliti, hubungan yang
konsisten adalah hubungan terbalik antara beta karoten dan lemak hewani dengan insidensi
kehamilan mola. Induksi ovulasi untuk fertilitas dapat pula berhubungan dengan peningkatan
kehamilan yang mengandung sebuah fetus normal, beberapa fetus dan kehamilan mola.6
Faktor risiko khoriokarsinoma meliputi mola hidatidosa komplit sebelumnya, etnik, dan
usia maternal lanjut. Khoriokarsinoma mengenai hampir 1000 kali mola komplit sebelumnya
dibandingkan dengan kejadian kehamilan lainnya. Risiko meningkat pada wanita Asia dan
Indian Amerika dan menurun pada Afrika Amerika. Sama halnya dengan kehamilan mola,
median usia wanita dengan khoriokarsinoma lebih tinggi daripada kehamilan normal.
Terdapat pula peningkatan risiko khoriokarsinoma pada wanita dengan penggunaan
kontrasepsi oral jangka panjang dan golongan darah A.6
2.3 Klasifikasi Dan Terminologi
2. Mola invasif
Suatu tumor atau proses seperti tumor yang menyerbu ke dalam miometrium
dan bercirikan hiperplasia trofoblas dan tetap adanya struktur vili plasenta. Berupa
gambaran hyperplasia trofoblas dan gambaran yang menyerupai jaringan plasenta
Biasanya timbul dari molahidatidosa komplit tapi dapat juga dari
molahidatidosa parsial. Jarang berkembang menjadi koriokarsinoma. Dapat
bermetastasis tapi tidak menunjukkan perkembangan dari suatu kanker dan dapat
mengalami regresi spontan.
Pada pemeriksaan imnuhistokimia dapat diketahui bahwa mayoritas adalah
sel trofoblas intermediet.Mola invasif dibedakan dari koriokarsinoma dari adanya
gambaran vili.
3. Koriokarsinoma gestasional :
Suatu karsinoma yang timbul dari epitel trofoblas yang menunjukkan elemen
sitotrofoblas dan sinsisiotrofoblas. Dapat timbul dari suatu konsepsi yang berakhir
dengan suatu kelahiran hidup, lahir mati, abortus, kehamilan ektopik atau
molahidatidosa.
4. Placental site trophoblastic tumor (PSST) :
Suatu tumor yang timbul dari trofoblas pada tempat implantasi plasenta dan terdiri
terutama dari sel-sel sitotrofoblas.
B. Klasifikasi Klinis
Walaupun diketahui bahwa mola invasif dan koriokarsinoma menunjukkan perbedaan
biologik dan prognostik yang penting, penatalaksanaan klinis dari kelainan-kelainan ini
sering
terminologi yang mencakup kedua keadaan ini. Namun demikian, adalah penting bahwa
terminologi ini sedekat mungkin menggambarkan kelainan histopatologik dan bila
mungkin perjalanan penyakitnya.
1.
3.
janin. Secara mikroskopik tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hyperplasia
dari kedua lapisan trofoblas.
Kadang kadang pembuahan terjadi oleh dua buah sperma 23 X dan 23 Y (dispermi)
sehingga terjadi 46 X atau 46 Y. Disini MHK bersifat heterozigot, tetapi tetap androgenetik
dan bisa terjadi, walaupun sangat jarang terjadi hamil kembar dizigotik yang terdiri dari satu
bayi normal dan satu lagi MHK.
Secara makroskopis MHK mempunyai gambaran yang khas, yaitu berbentuk kista atau
gelembung-gelembung dengan ukuran antara beberapa mm sampai 2-3cm, berdinding tipis,
kenyal, berwarna putih jernih, berisi cairan seperti cairan asites atau edema. Kalau ukurannya
kecil, tampak seperti kumpulan telur katak, tetapi kalau besar tampak seperti serangkaian
buah anggur yang bertangkai. Oleh karena itu MHK disebut juga kehamilan anggur. Tangkai
tersebut melekat pada endometerium. Umumnya seluruh endometerium dikenai, bila
tangkainya putus terjadilah perdarahan. Kadang-kadang gelembung-gelembung tersebut
diliputi oleh darah merah atau coklat tua yang sudah mengering. Sebelum ditemukan USG,
MHK dapat mencapai ukuran besar sekali dengan jumlah gelembung melebihi 2.000 cc.
Faktor Resiko
1. Faktor Umur : risiko MH paling rendah pada kelompok umur 20-35 tahun.
risiko MH naik pada kehamilan remaja < 20 tahun,Naik sangat tinggi pada
kehamilan remaja < 15 tahun, kira-kira 20 x lebih besar. tinggi pada umur
>40tahun,naikan sangat menyolok pada umur = 45 tahun
2. Faktor Riwayat Kehamilan MH Sebelumnya : Wanita MH sebelumnya,
punya
Faktor
toksoplasmosis.
Etiologi
Etiologi penyakit trofoblas sampai saat ini belum juga diketahui dengan pasti. Oleh
karena itu pengetahuan tentang faktor risiko menjadi penting. Namun ada beberapa teori yang
mencoba menerangkan terjadinya penyakit trofoblas yaitu teori desidua, teori telur, teori
infeksi dan teori hipofungsi ovarium.
1.
Teori desidua
Menurut teori ini terjadinya molahidatidosa ialah akibat perubahan-perubahan degeneratif
sel-sel trofoblas dan stroma vili korialis. Dasar teori ini adalah selalu ditemukan desidual
endometritis, pada binatang percobaan dapat terjadi molahidatidosa bila pembuluh darah
uterus dirusak sehingga terjadi gangguan sirkulasi pada desidua.
2. Teori telur
Menurut teori ini molahidatidosa dapat terjadi bila terdapat kelainan pada telur, baik
sebelum diovulasikan maupun setelah dibuahi.
3. Teori infeksi
Bagshawe, melaporkan bahwa ada sarjana yang dapat mengisolasi sejenis virus pada
molahidatidosa.
10
Karzafina melaporkan
bahwa
60%
penderita
molahidatidosa yang ditelitinya berumur 1821 tahun, disertai oleh hipofungsi ovarium.
Smalbreak melaporkan bahwa dari hasil penelitiannya ditemukan angka kejadian
molahidatidosa yang tinggi pada perempuan
imatur.
estrogen, yang didukung oleh data-data penelitian yang melaporkan bahwa 60% penderita
molahidatidosa berumur 1821 tahun dan disertai hipofungsi ovarium. Serta insidens
molahidatidosa yang tinggi pada perempuan muda dan pada perempuan tua dimana
fungsi ovarium telah menurun.
4. Faktor lain
Selain teori-teori tersebut di atas, masih ada beberapa teori lain yang menghubungkan
dengan faktor-faktor yang diduga mempunyai peranan dalam etiologi penyakit trofoblas.
Faktor-faktor tersebut ialah faktor malnutrisi, faktor golongan darah dan faktor sitogenetik.
A. Faktor nutrisi
Penelitian-penelitian awal yang dilakukan pada tahun 1960 di Meksiko dan
Filipina menggambarkan bahwa frekuensi penyakit trofoblas gestasional yang
terjadi diantara kelompok sosial rendah di negara-negara berkembang dapat
dijelaskan dengan keadaan malnutrisi dan terutama rendahnya asupan protein.
Dikatakan bahwa malnutrisi memegang peranan dalam terjadinya molahidatidosa.
Terlihat di negara-negara miskin dimana banyak kasus defisiensi protein, angka
kejadian molahidatidosa jauh lebih tinggi. Tetapi penelitian-penelitian di Iran,
Alaska, Jepang dan Malaysia mendapatkan angka kejadian molahidatidosa yang
tinggi dengan makanan sehari-hari mereka yang tinggi protein, atas dasar ini maka
diragukan defisiensi protein sebagai faktor yang berperan dalam timbulnya
molahidatidosa. Akhir-akhir ini diduga bahwa penderita molahidatidosa kurang
mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber vitamin A dan lemak hewani.
11
perempuan dengan konsumsi beta karoten di atas rata-rata adalah 0,6 kali.
Andrijono dkk, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa walaupun secara statistik
tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna, terbukti bahwa persentase
defisiensi vitamin A pada penderita molahidatidosa (43,33%) lebih tinggi
dibanding
kelompok
kontrol
(23,33%).
Juga
dikatakan
bahwa
risiko
molahidatidosa akan meningkat 6,29 kali jika terjadi pada perempuan kurang dari
24 tahun, hamil dan mengalami defisiensi vitamin A yang berat.
B. Faktor golongan darah
Bagshawe mengemukakan bahwa perempuan
Ovum
Kosong
46 XX
13
endoreduplikasi
23
X
Homozigot
Ovum
Kosong
Ovum
Kosong
23
X
23
X
46 XX
Heterozigot
23
X
46 XY
23 Y
46 YY
Nonviable
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan
membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk
bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban, dll) secara seimbang. Karena tidak ada unsur
ibu, pada MHK tidak ada bagian embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional
yang paologis berupa vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik seperti anggur.
Mengapa ada ovum kosong? Hal ini bisa terjadi karena gangguan pada proses meosis,
yang seharusnya diploid 46 XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi peristiwa yang disebut
nondysjunction, dimana hasil pemecahannya adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK ovum inilah
yang dibuahi. Gangguan proses meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural
kromosom, berupa balance translocation.
MHK dapat terjadi pula akibat pembuahan ovum kosong oleh 2 sperma sekaligus
(dispermi). Bisa oleh dua haploid 23X, atau satu haploid 23 X dan atu haploid 23Y.
Akibatnya bisa terjadi 46 XX atau 46 XY, karena pada pembuahan dengan dispermi tidak
terjadi endoreduplikasi. Kromosom 46 XX hasil reduplikasi dan 46 XX hasil pembuahan
dispermi, walaupun tampak sama, namun sesungguhnya berbeda, karena yang pertama
berasal dari satu sperma (homozigot) sedangkan yang kedua berasal dari dua sperma
14
2.
Hiperemesis gravidarum
3.
4.
5.
6.
7.
Tidak dirasakan tanda-tanda adanya gerakan janin, tidak teraba bagian janin
(balottement), kecuali pada mola parsial
Mola hidatidosa parsial biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang
didiagnosis sebagai abortus inkomplit atau missed abortion.
12. Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan keluhan obstetri,
seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal, dekompensasi kordis, perdarahan
intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan hemoptoe.
Hipertiroidisme pada mola hidatidosa dapat berkembang dengan cepat menjadi
tirotoksikosis. Berbeda dengan tirotoksikosis pada penyakit tiroid, tirotoksikosis pada
mola hidatidosa muncul lebih cepat dan gambaran klinisnya berbeda. Mola yang disertai
15
tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
Pemicu tirotoksikosis pada mola hidatidosa adalah tingginya kadar hCG.
Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola. Kariadi
menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola
sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat
bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis
terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan
Indeks Wayne. Tirotoksikosis merupakan salah satu penyebab kematian penderita mola.
Kariadi menemukan bahwa kadar -hCG serum (RIA) > 300.000 ml pada penderita mola
sebelum jaringan molanya dievakuasi. Hal ini merupakan faktor risiko yang sangat
bermakna untuk terjadinya tirotoksikosis. Hipertiroid dapat diketahui secara klinis
terutama bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan T3 dan T4, yaitu dengan menggunakan
Indeks Wayne.
Untuk membantu masalah ini Sri Hartini Kariadi (1992) mengajukan rumus fungsi
diskriminan diagnosa tirotoksikosis pada mola hidatidosa sebagai berikut:
1. D = - 8,376128 + 0,52505870 FU 0,01926897 Nadi
FU = fundus uteri dalam minggu
Nadi = dalam kali/menit
Bila D< 0 atau kalau D hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya menunjukkan
tirotoksikosis. Derajat ketepatannya 87,5%
2. D = +3552928 0,4749675 FU + 0,003115562 Nadi + 0,01638073 Khol
Khol = Kholesterol darah dalam mg%
Bila D< 0 atau kalau hasilnya negatif, berapapun nilai angkanya, menunjukkan
tirotoksikosis. Derajat ketepatan 90,63%
Dasar Diagnosis
1. Anamnesis
16
dan luas, kantong amnion kosong atau terisi janin. Janin masih hidup
dengan
d). Kista Teka Lutein Ovarium (KTLO), biasanya besar, multilokuler, dan sering
bilateral.
17
kadar HCG yang tetap tinggi & naik cepat setelah hari ke 100 (dihitung sejak gestasi
18
Sebelum dilakukan tindakan evakuasi jaringan mola, keadaan umum penderita harus
distabilkan dahulu. Tergantung pada bentuk penyulitnya, kepada penderita harus diberikan :
1. Tranfusi darah, untuk mengatasi syok hipovolemik
2. antihipertensi/konvulsi, seperti pada terapi Th/preeklamsi/eklamsia
3. Obat anti tiroid, bekerja sama dengan penyakit dalam
2.Evakuasi Jaringan
Karena MHK itu adalah suatu bentuk kehamilan yang patologis yang disertai dengan
penyulit, pada prinsipnya gelembung harus dievakuasi secepat mungkin
Ada 2 cara yaitu :
a. Kuret vakum
Setelah sebagian besar jaringan dikeluarkan dengan vakum, sisanya dibersihkan dengan
kuret tajam. Tindakan kuret hanya dilakukan satu kali. Kuretase berikutnya harus ada
indikasi.
b. Histerektomi
Hanya dilakukan pada penderita umur 35 tahun ke atas dengan jumlah anak hidup tiga
atau lebih. Yang sering menyulitkan ialah bahwa status eutiroid klinis tidak selalu
tercapai secara sempurna setelah pemberian OAT (obat anti tiroid) karena jaringan mola
belum dikeluarkan, sehingga hCG tetap tinggi dan tetap bertindak sebagai stimulator.
3.Profilaksis
Ada dua cara :
1. histerektomi totalis
2. kemoterapi diberikan pada GRT yang menolak atau tidak bisa dilakukan HT, atau
wanita muda dengan hasil PA yang mencurigakan.
Caranya :
1. MTX 20 mg/hari, IM, Asam folat 10 mg 3dd1 dan cursil 35mg 2dd1, selama 5 hari
berturut-turut.
Profiklaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bemanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, cursil sebagai hepatoprotektor
2. Actinomycin D 1 flacon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu antidote
ataupun hepatoprotektor
19
4.Follow Up
Seperti diketahui, 15-20% dari penderita pasca MHK bisa mengalami transformasi
keganasan menjadi TTG. Menurut hertig, keganasan bisa dalam waktu satu minggu
sampai tiga tahun pasca evakuasi.
Tujuan dari follow up ada dua :
1. untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal. Baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar -hCG dan
kembalinya fungsi haid.
2. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan terutama pada tingkat yang sangat
dini.
- Follow up bertujuan menentukan secara dini adanya transformasi keganasan.
- Dalam tiga bulan pertama pasca evakuasi,Dimana dilakukan pemeriksaan kadar -hCG.
- Lamanya adalah satu tahun dengan jadwal 3 bulan pertama setiap 2 minggu, 3 bulan
kedua setiap 1 bulan dan 6 bulan terakhir setiap 2 bulan.
Dengan syarat selama follow up tidak boleh hamil dan kontrasepsinya adalah kondom
atau bila haid sudah teratur dapat digunakan pil.
- Bagaimanapun juga, prosedur follow up yang membutuhkan pemeriksaan berkala dalam
masa 1 atau 2 tahun mungkin tidak menjadi masalah pada negara-negara yang telah
maju tetapi sulit dilakukan pada negara-negara berkembang.
Pengawasan lanjut
Tujuan pengawasan lanjut yaitu untuk mengetahui sedini mungkin adanya perubahan
keganasan, Lamanya berkisar antara 6 bulan sampai 3 tahun
1. ANAMNESIS
kunjungan ulang: Perdarahan pervaginam yang tidak teratur, Perdarahan dari tempat
lainnya, Kelainan susunan saraf pusat dan Gejala kelainan paru-paru.
2. PEMERIKSAAN PERUT & PANGGUL
20
Untuk mencari adanya subinvolusi uterus, kista teka lutein ovarium, dan metastasis ke
vagina. Adanya perdarahan, Dalam keadaan normal harus tidak ada perdarahan 7 atau 8
hari setelah evakuasi MH. Uterus tetap besar/sub involusi, atau bertambah besarnya uterus
yang tidak normal. Dalam keadaan normal uterus harus involusi sempurna pada akhir
minggu ke 4 setelah evakuasi. Adanya massa di panggul. Adanya benjolan berwarna ungu
(purplish nodule") di vagina.
3.PEMERIKSAAN HCG,
Setelah evakuasi MH, terjadi penurunan cepat kadar HCG.
Jika HCG tidak turun dlm 3 minggu berturut2 atau naik, dpt diberi kemoterapi;
kecuali
pasien tidak menghendaki, dlm hal ini dilakukan histerektomi
Penderita tidak boleh hamil selama dilakukan pmx HCG. Pemberian pil
kontrasepsi, untuk:
1. Mencegah kehamilan baru
2. Menekan pembentukan LH oleh hipofisis yg dpt mempengaruhi pmx kadar
HCG
Komplikasi
21
MHP harus dipisahkan dari MHK, karena keduanya terdapat perbedaan yang mendasar,
baik dilihat dari segi patogenesisnya (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PAnya.
Pada MHP hanya sebagian dari vili korialis yang mengalami degenerasi hidropik
sehingga unsur janin selalu ada. Perkembangan janin akan tergantung kepada luasnya
plasenta yang mengalami degenerasi, tetapi janin biasanya tidak dapat bertahan lama dan
akan mati dalam rahim, walaupun dalam kepustakaan ada yang melaporkan tentang kasus
MHP yang janinnya hidup sampai aterm.
Secara epidemiologi klinis, MHP tidak sejelas MHK, kita tidak mengetahui dengan
tepat berapa insidensinya, apa yang menjadi faktor resikonya dan bagaimana penyebaran
penyakitnya.
Patogenesis
Secara sitogenetik MHP terjadi karena ovum normal dari ibu (23 X) dibuahi secara dispermi.
Bisa oleh dua haploid 23 X, satu haploid 23 X san satu haploid 23Y atau dua haploid 2 Y.
Hasil konsepsi bisa berupa 69 XXX, 69 XXY, 69 XYY. Kromosom 69 YYY tidak pernah
ditemukan. Jadi MHP mempunyai satu haploid ibu dan dua haploid ayah sehingga disebut
Diandro Triploid. Karena disini ada unsur ibu, ditemukan bayi. Tetapi komposisi unsur ibu
dan unsur ayah tidak seimbang, satu berbanding dua. Unsur ayah yang tidak normal itu
menyebabkan pembentukan plasenta yang tidak wajar, yang merupakan gabungan dari vili
korialis yang normal dan yang mengalami degenerasi hidropik. Oleh karena itu fungsinya
pun tidak bisa penuh sehingga janin tidak bisa bertahan sampai besar. Biasanya kematian
terjadi sangat dini
Gejala-Gejala
23
Berbeda dengan MHK, pada MHP sama sekali tidak ditemukan gejala maupun tandatanda yang khas. Keluhannya pada permulaan sama seperti kehamilan biasa. Kalau ada
perdarahan sering dianggap seperti abortus biasa. Jarang sekali ditemukan MHP dengan besar
uterus yang melebihi tuanya kehamilan. Biasanya sama atau lebih kecil. Dalam hal terakhir
disebut Dying Mole.
Gambaran USG tidak selalu khas, tapi menurut Fine C. Et al., MHP dapat didiagnosis
bila ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pada jaringan plasenta tampak gambaran yang
menyerupai kista-kista kecil disertaipeningkatan diameter transversa dari kantong janin.
Kadar -hCG juga meninggi, tetapi biasanya tidak setinggi MHK. Hal ini mungkin
disebabkan pada MHP masih ditemukan vili korialis normal. Kadar yang tidak terlalu tinggi
ini tidak menyebabkan rangsangan pada ovarium. Pada MHP jarang sekali ditemukan kista
lutein. Di samping itu, MHP jarang sekali disertai penyulit seperti PEB, tiroktosikosis atau
emboli paru.
Diagnosis
Dengan tidak ditemukannya tanda-tanda yang khas, maka sulit untuk membuat
diagnosis kerja, kecuali pada kehamilan yang cukup besar, yang diagnosisnya dapat
ditentukan oleh hasil USG, dimana kita akan melihat gambaran vesikuler yang khas di
samping kantong janin, dengan atau tanpa janin.
Biasanya diagnosis dibuat secara tidak sengaja, setelah dilakukan tindakan dan
diperkuat dengan hasil pemeriksaan PA, dimana ditemukan gambaran khas sebagai berikut.
1. vili korialis dari berbagai ukuran dengan degenerasi hidropk, kavitasi, dan hiperplasia
trofoblas
2. scalloping yang berlebihan dari vili
3. inklusi stroma trofoblas yang menonjol
4. ditemukan jaringan embrionik atau janin
Terapi
24
Karena diagnosis umumnya dibuat secara kebetulan pascakuret, biasanya evakuasi dilakukan
dengan kuret biasa. Selanjutnya tidak perlu tindakan apa-apa. Histerektomi dan upaya
profilaksis lainnya tidak dianjurkan.
Prognosis
Dibandingkan dengan MHK, prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh
tidak adanya penyulit dan derajat keganasannya rendah (4%). Walupun demikian, dalam
kepustakaan ditemukan laporan tentang kasus MHP yang disertai metastase ke tempat lain.
Penderita pasca-MHP harus difollow up sama ketatnya seperti MHK.
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas. Hal ini biasa terjadi dari hasil konsepsi yang
berakhir dengan lahir hidup, lahir mati ( still birth ), abortus, kehamilan ektopik, mola
hidatidosa atau mungkin oleh sebab yang tidak diketahui.
26
Adanya perbedaan istilah dan klasifikasi ini menimbulkan berbagai kesulitan, antara lain
dalam membandingkan hasil pengelolaan.Keadaan seperti ini disebut oleh Goldestein
sebagai: World Wide controversies in gestational trophoblastic neoplasm.Untuk mengatasi
masalah ini, WHO Scientific Group, mengusulkan klasifikasi sebagai berikut :
1.Mola Invasif (MI)
2.Koriokarsinoma (Kg)
3.Placental Site Trophoblastic Tumour (PSTT)
+
4.Persistent Trophoblastic Disease (PTD)
Nyeri perut
Batuk darah
Melena
hemiplegia
Kadar hCG paska mola tidak menurun, tapi meningkat lagi. Dengan pemeriksaan
radiologi foto thorak dapat ditemukan adanya lesi metastase. Pada pemeriksaan histopatologi
27
dapat ditemukan villus, namun demikian dengan tidak memperlihatkan gambaran patologik
tidak dapat menyingkirkan suatu keganasan.
Diagnosa
Diagnosa kemungkinan PTG bila didapatkan perdarahan pervaginam yang
menetap.Titer hCG yang tetap atau meninggi setelah terminasi kehamilan, mola atau
abortus. Namun demikian masih memerlukan pemeriksaan USG terhadap kasus PTG oleh
karena masih kurang sensitif dan spesifik terhadap peninggian kadar hCG.
Pemeriksaan foto torak juga dapat menentukan diagnosa. Kadang kadang metastase
juga ditemukan pada vagina, serviks, paru - paru atau otak.
Dengan ditemukannya gambaran villus pada sediaan histopatologik maka diagnosa
pasti PTG dapat ditegakkan. Tetapi tindakan kuretase sering tidak dapat memastikan adanya
keganasan. Oleh karena itu jika lesi berada pada miometrium atau proses pada paru paru
terjadi primer, sudah pasti histopatologik akan negatif. Lagipula tindakan kuretase dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak, perforasi dinding uterus dan dapat memudahkan
penyebaran sel sel trofoblas ganas.
Staging klinik menurut Hammond menyatakan PTG terbagi 2 yaitu PTG tidak
bermetastasis dan PTG bermetastasis. PTG bermetastasis terbagi risiko rendah dan risiko
tinggi. Faktor risiko tinggi bila kadar HCG urin >100.000 u/ml atau kadar HCG serum
>40.000 u/ml, interval lebih dari 4 bulan, bermestastasis ke otak atau hati, kegagalan
kemoterapi
sebelumnya,
kehamilan
sebelumnya
adalah
kehamilan
aterm.
28
tidak dimungkinkan karena penderita pada umumnya berusia muda yang masih
membutuhkan fungsi organ reproduksi.
Stadium dan Skoring Prognosis
Pembagian staging FIGO 1982 bersifat sederhana, mengacu pada hasil pemeriksaan klinis
dan pencitraan, misalnya foto thorak.5
Tabel I : Staging klinis menurut FIGO
Stadium 1
Stadium II
Stadium III
Stadium IV
Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit trofoblas ganas.
Semua sistem mengkorelasikan antar gejala klinik pasien dan risiko kegagalan pada
kemoterapi. Sistem Skoring FIGO tahun 2000 merupakan modifikasi sistem skoring WHO.
Perhitungang faktor prognostic dengan skor 0-6 dianggap sebagai pasien dengan resiko
rendah, sedangkan dengan skor >7 maka dianggap sebagai beresiko tinggi.5,6
Tabel II : Skoring faktor risiko menurut FIGO (WHO) dengan staging FIGO
Skor faktor risiko menurut 0
>=40
Abortus
Aterm
dengan
< 40
Mola
kehamilan
<4
4-6
7-12
>12
tersebut (bulan)
Kadar hCG sebelum terapi < 103
(mIU/mL)
Ukuran
tumor
terbesar,-
103-104
3-4
>104-105
> 5 cm
>105
-
termasuk uterus
29
Traktus
uterus
Jumlah
ginjal
1-4
gastrointestinal
5-8
>8
metastasis
diidentifikasi
Kegagalan
yang-
kemoterapi-
Otak, hepar
sebelumnya
Penanganan
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan operasi.
indikasi kemoterapi :
1. Meningkatnya hCG setelah evakuasi
2. Titer hCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat
5. Metastase ke paru paru, vulva, vagina kecuali bila hCG nya turun
6. Metastase kebagian organ lainnya ( hepar, otak )
7. Perdarahan pervaginam yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif, merupakan tindakan utama dalam penanggungan dini PTG, walaupun tumor
sudah lama, namun bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik
dilakukan. Pasien pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus atau resisten
terhadap kemoterapi akan dilakukan histerektomi.
Follow up
Standar follow up dari sebagia penulisan adalah sebagai berikut
1.
Pemeriksaan hCG serum / urine
Diperiksa setiap minggu sampai dinyatakan negatif selama 3 kali
pemeriksaan. Selanjutnya setiap bulan selama 12 bulan kemudian setiap 2
bulan selama 12 bulan dan selanjutnya tiap 6 bulan. Setelah kemoterapi
titer hCG akan turun pada batas yang tidak dapat dideteksi selama 2
bulan awal pengobatan
2.
Pemeriksaan pelvic
30
perubahan
Thorak foto
Jika terapi sempurna telah selesai ternyata masih tampak sisa tumor di
paru paru diperlukan pemeriksaan radiologi selama 2 tahun, intuk
melihat bukti apakah sisa tumor hilang.
Pencegahan
Pada kasus resiko tinggi bila jumlah anak yang diinginkan sudah mencukupi supaya
dilakukan histerektomi. Memberikan kemoterapi terhadap kasus kasus kehamilan ektopik
untuk mencegah penyakit trofoblas.
Bila titer hCG paska mola tidak turun selama 3 minggu berturut turut atau malah
semakin naik dapat diberikan kemoterapi, kecuali anak sudah cukup dapat dilakukan
histerektomi.
Prognosis
Makin dini diagnosa dibuat dan makin dini pengobatan dimulai makin baik
prognosanya. Prognosa penyakit trofoblas ganas jenis villosum lebih baik daripada jenis non
villosum.
Prognosa memburuk dijumpai pada :
1. Masa laten antara mola dan timbulnya keganasan panjang
2. hCG yang tinggi
3. Pengobatan tidak sempurna
4. Adanya anak sebar pada otak dan hepar
5. Daya tahan tubuh penderita menurun
6. Diagnosa terlmabat dibuat dengan akibat terapi terlambat diberikan.
2.2.2 Koriokarsinoma
Koriokarsinoma merupakan salah satu jenis dari Penyakit Trofoblastik Gestasional
(PTG) dimana ia merupakan suatu tumor ganas yang berasal dari jaringan trofoblas yaitu dari
sel-sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang menginvasi miometrium, merusak jaringan di
sekitarnya termasuk pembuluh darah sehingga menyebabkan perdarahan. Koriokarsinoma
bersifat agresif dan sering ditandai dengan metastase hematogenous yang cepat terutama ke
paru-paru.
Salah satu ciri khusus dari kanker ini adalah menghasilkan hormon human chorionic
gonadotropin (hCG) dalam kadar yang tinggi. Koriokarsinoma dapat menyerang semua
wanita yang pernah hamil termasuk wanita yang pernah mengalami kehamilan mola. Tidak
seperti mola hidatidosa, koriokarsinoma bisa menyerang banyak organ dalam tubuh seperti
hati, limpa, paru-paru, tulang belakang dan otak.
Umumnya diketahui secara kebetulan dari hasil kuret, histerekopi, dan histerektomi.
-hCG),USG
dan
tanda-tanda
metastasis
lainnya.
Pada permulaan ini ingin menggambarkan kasus MH yang tidak berinvolusi secara tuntas,
setelah dilakukan lagi evakuasi ,baik secara klinis maupun laboratoris.
Jadi kelainan trofoblas itu masih ada, belum hilang, tetapi tidak lagi dalam bentuk
MH yang jinak, seperti sebelumnya, melainkan telah menjadi penyakit trofoblas yang
ganas.Menurut pakar setuju bahwa adanya keganasan itu dibuktikan dengan masih adanaya
aktivitas sel trofoblas yang dapat diukur dengan menghitung kadar hormon yang dihasilkan,
terutama -hCG.
Bab III
Kesimpulan
Penyakit trofoblastik gestasional (PTG) adalah suatu spektrum dari dua kondisi
premaligna yaitu; partial mola hidatidosa dan complete mola hidatidosa, hingga tiga kondisi
tumor ganas yaitu; invasive mola, koriokarsinoma gestasional, dan placental site
hrophoblastic tumor (PSTT) yang nantinya ketiga keadaan ini lebih dikenal dengan neoplasia
trofoblastik gestasional.
Jaringan trofoblastik gestasional terbentuk dari sel perifer blastokista beberapa hari
setelah konsepsi. Jaringan tersebut dibagi menjadi 2 lapisan yaitu; lapisan luar
sinsitiotrofoblas yang dibentuk oleh sel-sel besar multinucleated dan lapisan dalam dari sel
mononuclated yang membentuk sitotrofoblas. Sinsitiotrofoblas menginvasi endometrium
secara agresif membentuk suatu hubungan antara fetus dan ibu yang dikenal sebagai plasenta.
Normalnya pertumbuhan trofoblas diatur secara ketat oleh mekanisme yang belum bisa
ditentukan untuk mencegah perkembangan metastasis lebih lanjut. Penyakit trofoblastik
33
gestasional ganas muncul ketika mekanisme pengontrol ini gagal, menghasilkan invasi dari
jaringan trofoblas yang mencapai miometrium, yang mengizinkan penyebaran secara
hematogan dan pembentukan emboli tumor.
Pemeriksaan pada penyakit trofoblas gestasional meliputi pemeriksaan USG, kadar
hCG, dan diagnosis patologi. Penatalaksanaan dari penyakit trofoblas gestasional meliputi
terapi pembedahan, kemoterapi, dan terkadang membutuhkan radioterapi pada penyakit
trofoblastik neoplasia.
Daftar Pustaka
1. Kenny L, Seckl JM. Treatments for gestational trophoblastic disease. Diunduh dari :
http://medscape.com/viewarticle/718375 , 2 Mei 2010
2. Cunnigham F.G, Gant N.F, Leveno K.J, Gilstrap III L.C, Hauth J.C, Wenstrom KD.
Williams Obstetrics 23rd ed. 2010. USA : The McGraw-Hill Companies.
3. Bangun TP, Agus S, editor. Ilmu kandungan sarwono prawirohardjo. Edisi ke-2.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;2009.
4. Hernandez E. Gestational trophoblastic neoplasia. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/279116-overview, 13 Juni 2014.
5. Berkowits RS, Goldstein DP. Gestational trophoblastic disease. Diunduh dari:
www.scribd.com, 13 Juni 2014.
6. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology, pathology, clinical
presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and management of
hydatidiform mole. Diunduh dari http://www.journalsconsultapp.elseviereprints.com/uploads/articles/ajog1.pdf, 13 Juni 2014.
34
7. Martadisoebrata D. Penyakit Serta Kelainan Plasenta dan Selaput Janin. Dalam : Ilmu
Kebidanan. Editor Wiknjosastro H. Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Edisi ketiga,
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 200 .
8. Mochtar R. Penyakit Trofoblas. Dalam : Sinopsis Obstetri. Editor Lutan D. Jilid I.
Edisi2.Jakarta : EGC ; 1998.p.238-45.
9. Kariadi SH. Identifikasi Penduga Potensial untuk Diagnosis Tiroktosikosis Pada Penderita
Mola Hidatidosa. Disertasi UNPAD 1992.
10. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF et al. Williams Obstetrics, 20th ed. Philadelphia :
Appleton and Lange, 1997 : 948.
35