Anda di halaman 1dari 40

KALAIDOSKOP KINERJA

KONSERVASI TAHUN 2013

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam


Nusa Tenggara Timur

KALAIDOSKOP KINERJA
KONSERVASI TAHUN 2013
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam
Nusa Tenggara Timur
TIM PENYUSUN :
Ir. Wiratno, M.Sc
Maman Surahman, S.Hut, M.Si
Ora Yohanes
Silfiana Nugrahaeni, S.Hut
Natu Agustina Nuban
EDITOR :
Suer Suryadi
KONTRIBUTOR :
Dadang Suryana, S.Hut.T, M.Sc
Elisa Iswandono, S.Pi, M.P
Isai Yusidarta,ST, M.Sc
Wantoko, S.Hut.T
Juna Mardani
Rio Duta Triwijaya
Ardi Ismanto, S.Hut

ii

Kata Pengantar

epanjang tahun 2013 ini Balai Besar KSDA NTT telah mengalami
berbagai peristiwa yang secara umum berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan kawasan konservasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Arah dalam menentukan kebijakan pengelolaan ini tentunya sejalan
dengan arah dan strategi konservasi yang dikembangkan berupa
perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan potensi sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya secara lestari untuk sebesar besarnya
kesejahteraan masyarakat.
Sejalan dengan konsep tersebut kebijakan pengelolaan yang
telah dan perlu terus dikembangkan adalah membangun komunikasi
yang harmonis baik dengan masyarakat maupun stakeholder terkait
dan melakukan berbagai kajian terhadap potensi sumberdaya alam
hayati dan ekosistemnya pada setiap kawasan. Berbagai kegiatan
yang telah dilaksanakan yang harus terus dikembangkan dan patut
diberikan apresiasi setinggi-tingginya adalah ditemukannya sponge
sebagai materi anti cancer di perairan TWL Teluk Kupang oleh Tim
Peneliti dari 3 (tiga) universitas (Universitas Diponegoro, Universitas
Lampung dan Universitas Ryusyu Jepang). Hasil kajian telah
mengidentifikasi 60 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat di TWA
Ruteng serta terinventarisirnya populasi satwa purba Biawak Komodo
(Varanus komodoensis) di sepanjang pantai Flores. Hal menarik adalah
terobosan baru dalam membangun konsep kolaborasi pengelolaan
kawasan konservasi dalam penyelesaian berbagai persoalan melalui
konsep kolaborasi para pihak, khususnya masalah sosial budaya di
TWA Ruteng dan penyelesaian konflik penggunaan lahan di CA Watu
Ata melalui evaluasi fungsi.

iii

Pencapaian keberhasilan pengelolaan kawasan ini adalah berkat


keterpaduan pikiran dan tenaga serta dukungan dari berbagai pihak.
Melalui kalaidoskop tahun 2013 ini diharapkan semua informasi
mengenai pencapaian yang telah dilakukan Balai Besar KSDA NTT
selain menjadi sebuah cerminan dalam menentukan langkah ke
depan dalam tata kelola kawasan konservasi juga dapat memberikan
andil besar dalam meningkatkan pembangunan daerah dan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

Kupang, Januari 2014

Drs. Tamen Sitorus, M.Sc

iv

Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Daftar Gambar vi
Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 Balai BKSDA NTT 1
1.
Pengelolaan Potensi Kawasan 2
Konflik Buaya 3
2.
Fenomena Hotspot di Provinsi NTT 6
3.
Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng 9
4.
5.
Komodo ada Dimana-mana 11
6.
Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem Esensial 15
7.
Sponge sebagai Materi Anti Cancer 17
8.
Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat 20
9.
Spirit Kembali ke Lapangan 23
10. Evaluasi Fungsi CA Watu Ata 24
11. Restorasi SM Kateri 25
12. Potret Kesehatan TWA 17 Pulau 27
Penutup 29

Daftar Gambar
1.

Potensi Satwa Liar di Kawasan Balai Besar KSDA NTT 3

2.

Penanganan Buaya yang akan dilepasliarkan ke habitatnya 5

3.

Kebakaran di TWA Menipo (Kiri) dan Kebakaran di CA Mutis (Kanan) 9

4.

Lontoleok Hari Bersejarah 12-12-2012, Konsep Telu Siri Disepakati di


Rumah Gendang Colol 10

5.

Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau 12

6.

Dari Kiri ; Kepala Balai Besar KSDA NTT, Bupati Manggarai Timur dan Kepala
Dinas Kehutanan Manggarai Timur Saat Membuka Rapat Koordinasi
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial HL. Pota di Borong 17

7.

Sponge yang ditemukan di Perairan TWL Teluk Kupang, yang belum


teridentifikasi 18

8.

Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng 22

9.

Pendampingan UPT dalam Pelaksanaan RBM 24

10. Penjelasan Pengelolaan CA. Watu Ata di Kantor DPRD Kabupaten Ngada
oleh Kepala Balai Besar KSDA NTT yang dihadiri oleh Wakil Bupati, Ketua
Dewan dan Anggota, Ketua LAPMAS, Kepala Desa Sekitar CA. Watu Ata,
Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat 25
11. Kondisi Kawasan SM. Kateri yang perlu di Restorasi 27
12. Keragaman Jenis Ikan Karang di TWA 17 Pulau 28

vi

KALAIDOSKOP KINERJA
KONSERVASI TAHUN 2013

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam


Nusa Tenggara Timur

Sepanjang tahun 2013, Balai Besar KSDA NTT telah melakukan


berbagai upaya konservasi alam. Upaya-upaya yang dinilai
penting untuk diketahui oleh publik, antara lain : a) Terkait dengan
pengelolaan potensi kawasan, b) Penyelesaian konflik satwa liarmanusia, c) Pengendalian kebakaran hutan dan lahan di kawasan
savana, d) Inisiatif baru pengelolaan di TWA Ruteng dengan
membangun kerjasama Tiga Pilar, e) Survey, inventarisasi dan
identifikasi Satwa Purba Komodo (Varanus komodoensis) dan satwa
mangsa di sepanjang pantai utara Flores dengan camera trap
bersama Komodo Survival Program dan Yayasan Burung Indonesia,
f ) Penetapan kawasan Ekosistem Esensial di Hutan Lindung Pota, g)
Risert sponge (karang lunak) untuk anti cancer bersama Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang, h)
Peningkatan kapasitas staf melalui kegiatan in-house training untuk
keberlanjutan RBM, i) Penyelesaian penggunaan lahan di kawasan

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

CA. Watu Ata melalui evaluasi fungsi, j) Penyelesaian warga baru


yang menggarap di SM Kateri dan inisiatif dukungan JICS untuk
restorasi SM Kateri, k) Dukungan bagi Marine Diving Clubs dalam
pemantauan kesehatan karang di TWA 17 Pulau. Dari 11 kegiatan dan
atau peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2013 yang kami nilai
perlu untuk diketahui oleh publik tersebut dapat kami gambarkan
sebagai berikut :

(1) Pengelolaan Potensi Kawasan


Secara umum pengelolaan potensi kawasan diarahkan pada
target pencapaian Indikator Kinerja Utama Kementerian Kehutanan
yang terkait bidang tugas Ditjen PHKA di Provinsi NTT, sebagaimana
telah dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja
(Renja) Balai Besar KSDA NTT untuk jangka waktu lima tahun. Upayaupaya yang dilakukan berupa kegiatan dalam rangka memperkuat
kelembagaan Balai Besar KSDA NTT serta pelaksanaan dari tugas
pokok dan fungsi Balai Besar KSDA NTT.
Sejalan dengan renstra dan renja Balai Besar KSDA NTT, dalam
rentang waktu selama satu tahun (tahun 2013), pengelolaan
potensi kawasan diarahkan pada kegiatan : Inventarisasi Satwa
Purba Komodo (Varanus komodoensis), Inventarisasi burung kakatua
kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), Inventarisasi rusa (Rusa
timorensis), Pembinaan habitat, Pembinaan penangkaran satwa,
Pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan, Pemberdayaan
masyarakat, Penyadartahuan kepada masyarakat, Perlindungan dan
pengamanan hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan, Penyusunan
blok/zonasi, Penyusunan desain tapak dan Koordinasi pengelolaan
hutan lindung dan TAHURA.

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Gambar 1. Potensi Satwa Liar di Kawasan Balai Besar KSDA NTT

(2) Konflik Buaya


1. Dari 29 kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT,
terdapat beberapa kawasan perairan yang merupakan habitat
buaya, di antaranya adalah TWL Teluk Kupang, TWA Menipo
dan TB Bena (Kab Kupang), serta CA Maubesi di Kab Malaka.
Banyak laporan masyarakat tentang adanya gangguan buaya
ke kantor Balai Besar KSDA atau ke petugas resort, mulai dari
yang hanya sekedar penampakan pada daerah wisata seperti
di Pantai Lasiana, Pantai Manikin, Pantai Tablolong (ketiganya
masuk wilayah TWL Teluk Kupang di Kabupaten Kupang),
Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ngada serta di Teluk
Kalabahi (Kabupaten Alor), hingga peristiwa diterkamnya warga
masyarakat yang mengakibatkan luka sebagian atau meninggal
dunia. Pada Tahun 2013, peristiwa konflik buaya antara lain
terjadi pada :
3

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

1. Tanggal 6 Januari 2013, buaya muara yang selama ini meresahkan


masyarakat di lokasi wisata Pantai Manikin Kabupaten Kupang,
ditangkap oleh masyarakat yang selanjutnya diserahkan kepada
BBKSDA NTT. Buaya sepanjang sekitar 3,5 meter tersebut telah
dilepasliarkan di Teluk Manipo yang merupakan habitat buaya
pada kawasan TWA Manipo, Kabupaten Kupang pada tanggal 9
Januari 2013 oleh Tim Penyelamat Satwa Balai Besar KSDA NTT.
2. Tanggal 30 Mei 2013; seorang warga masyarakat Kelurahan
Merdeka, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang bernama
Sam Sem Ledo (53 tahun) tewas diterkam buaya. Ayah 11 anak
ini tidak kembali ke rumahnya setelah izin pergi memancing.
Keluarga melapor ke polisi dan melakukan pencarian ke sungai.
Polisi mengatakan mereka awalnya menemukan keranjang
kepiting milik Sam dan alat-alat pancing serta sandalnya. Dalam
penyusuran selanjutnya, polisi dan keluarga terkejut saat melihat
kepala Sam mengapung di air. Organ tubuhnya, termasuk usus,
ditemukan berceceran di dekat lokasi kepala tersebut. Pada kasus
ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak untuk menemukan,
menangkap dan merelokasi buaya tersebut .
3. Tanggal 14 September 2013, setelah meresahkan masyarakat
di sekitar Pasar Oeba Kota Kupang selama beberapa hari,
seekor buaya akhirnya berhasil dijerat oleh masyarakat nelayan
setempat. Buaya sepanjang 362 Cm selanjutnya diserahkan
kepada BBKSDA NTT. Pelepasliaran dilakukan ke habitat alam
buaya pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena,
Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tanggal 16 September
2013xxxx
4. Tanggal 29 September 2013, sekor buaya muara sepanjang 392
cm masuk di areal pesawahan sekitar kawasan CA Maubesi,
Kabupaten Malaka. Buaya tersebut kemudian ditangkap oleh

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

masyarakat dan dilaporkan ke petugas Resort Wilayah CA


Maubesi. Sehari setelah ditangkapnya buaya tersebut, petugas
dengan dibantu masyarakat setempat melakukan pelepasliaran
ke habitatnya di CA. Maubesi. Dalam proses pelepasliaran pada
awal Oktober 2013 terjadi kecelakaan yang mengakibatkan
putusnya jari tengah tangan kiri petugas lapangan An. Joni
Karya, Polhut pada Resort Konservasi Wilayah CA Hutan Bakau
Maubesi akibat tergigit satwa.
5. Tanggal 17 Oktober 2013, seekor buaya muara sepanjang 425
cm memasuki tambak masyarakat di sekitar TWA Bipolo di
Kabupaten Kupang. Pada tanggal 20 Oktober 2013, Petugas
BBKSDA NTT telah menangkap dan langsung merelokasi buaya
tersebut pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena,
Kabupaten Timor Tengah Selatan
6. Tanggal 16 November 2013; Amarsing (39 thn), warga
Kelurahan Solor, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, diduga
tewas diterkam buaya di Pantai Namosain, Kupang. Tim dari
Badan SAR Nasional (Basarnas) Kupang yang mencari jenazah
Amarsing hingga Sabtu malam belum berhasil menemukannya.
Terhadap peristiwa ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat
banyak mengingat penanganan buaya di perairan memerlukan
prasarana dan sarana berupa kapal serta perlengkapan yang
lebih lengkap.

Gambar 2. Penanganan Buaya yang akan dilepasliarkan ke habitatnya

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

(3) Fenomena Hotspot di Provinsi NTT


Berdasarkan data dari mailing-list Sistem Informasi Kebakaran
Hutan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Situs InfoFire,
dan NASA Firms, para periode Januari s/d November 2013, di
Provinsi NTT terdapat 2.287 hotspot. Hotspot atau titik panas adalah
parameter yang diperoleh dari data satelit dan diindikasikan sebagai
lokasi kebakaran hutan dan lahan. Dari 2.287 hotspot di seluruh
NTT, hanya 16 hotspot yang berada di kawasan konservasi di bawah
pengelolaan BBKSDA NTT, yaitu CA Wae Wuul (1 titik), CA Wolo Tado
(4 titik), CA Riung (2 titik), SM Kateri (3 titik), TWA Ruteng (1 titik), TWA
Pulau Besar (1 titik), dan di TWA Tuti Adagae (4 titik).
Kebakaran di kawasan konservasi umumnya terjadi di savana,
sebagai peristiwa yangalami maupun disengaja. Kejadian kebakaran
seperti ini sangat penting bila dikaitkan dengan ketersediaan pakan
khususnya bagi satwa rusa. Hal ini dikarenakan setelah terjadi
kebakaran, beberapa saat kemudian akan tumbuh rumput baru
sebagai pakan segar bagi satwa mamalia seperti rusa dan kerbau
liar. Namun demikian kejadian kebakaran di kawasan konservasi
tetap harus dikendalikan karena akan berdampak kepada kerusakan
habitat satwa lainnya terutama sebagai tempat berlindung, bersarang
maupun mencari makan. Kebakaran yang terjadi di TWA Menipo pada
17 September 2012 seluas 30 Ha, telah kembali pulih (suksesi) dalam
waktu kurang dari satu bulan dan menjadi sumber pakan bagi rusa.
Hampir sama dengan TWA Menipo, savana di CA Wae Wuul
pun kerap kali mengalami kebakaran hutan dan lahan, dan akan
mengalami suksesi setelah terbakar berupa tumbuhnya rumput
baru. Kondisi ini akan berbanding lurus dengan ketersediaan
pakan bagi biawak komodo, karena populasi rusa bertambah
seiring dengan rumput yang tumbuh subur. Namun yang harus
diwaspadai adalah keberadaan para pemburu rusa, mereka akan

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

memanfaatkan kejadian ini sehingga dengan mudah menembak


rusa yang keluar dari persembunyian untuk menikmati rumput baru.
Hal ini merupakan salah satu faktor penurunan jumlah satwa mangsa
komodo, yaitu rusa.
Kebakaran di kawasan CA Wae Wuul, terjadi di daerah Gunung
Warloka (1,5 Ha) dan Gunung Menjerite (50 Ha), pada tanggal 20
Agustus 2013. Kebakaran di Gunung Menjerite sulit dipadamkan
karena lokasinya sangat jauh dan tidak ada akses. Petugas belum
mengetahui penyebab terjadinya kebakaran di kedua tempat ini.
Pada tahun 2013, telah terjadi dua kali kebakaran hutan di CA
Mutis. Kebakaran terjadi pada bulan-bulan kering yaitu pada Oktober
dan November 2013. Kebakaran pertama terjadi pada tanggal 03
Oktober 2013 di dalam kawasan CA Mutis, lokasi Uknonin - Desa
Bonleu Kec. Tobu Kab. TTS. Pada pukul 13.00 WITA, Tim pemadam
dari BBKSDA NTT melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan
tokoh masyarakat Desa Bonleu. Dengan mempertimbangkan
masukan-masukan, kondisi medan serta ketersediaan tenaga
masyarakat untuk membantu memadamkan, maka pemadaman
baru bisa dilakukan keesokan harinya pada hari Jumat tanggal 04
Oktober 2013. Pukul 06:00 WITA. Tim pemadam bersama masyarakat
bergerak ke lokasi yang terbakar. Lokasi kebakaran terletak pada titik
koordinat (S 090 3426.0 E 12401439.0). Kebakaran masih termasuk
dalam tipe kebakaran permukaan, karena kebakaran sebagian besar
hanya membakar semak dan tumbuhan bawah. Dengan dibantu
hujan gerimis yang turun pada malam sebelumnya (03 Oktober 2013)
kebakaran akhirnya dapat dipadamkan oleh tim pada sore hari. Luas
areal yang terbakar 5 Hektar. Penyebab kebakaran diduga akibat
aktifitas masyarakat yang berburu kus-kus. Masyarakat membakar
hutan untuk memudahkan menggiring kus-kus. Sehingga kebakaran
ini mengakibatkan terbakarnya seresah (bawah) dan pohon ampupu.

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

Kebakaran kedua terjadi pada tanggal 12 November 2013


selama tiga hari dan berhasil dipadamkan pada tanggal 14 November
2013. Informasi terjadinya kebakaran diterima oleh petugas RKW
CA Mutis dari masyarakat Desa Tutem pada tanggal 12 November
2013 di malam hari . Keesokan harinya pada tanggal 13 November
2013 petugas melakukan koordinasi dengan Kepala Desa, Tokoh
masyarakat dan Tokoh Agama Desa Tutem dan Desa Pusabu (Desa
pemekaran dari Desa Tutem) untuk melakukan aksi pemadaman.
Kebakaran terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pemadaman pertama
dilakukan di lokasi Telli Desa Tutem (S 090 38 40,24 E 12401623,77)
dengan ketinggian 1.099 mdpl. Sedangkan pemadaman kedua
dlakukan pada hari berikutnya di lokasi Oepah Desa Tutem (S 090 38
31,25 E 12401537,55) dengan ketinggian 1.295 m dpl. Jarak antara
kedua lokasi 3 Km, tapi dengan kondisi medan yang berbukit-bukit
membuat jangkauan ke lokasi semakin sulit. Kebakaran di kedua
lokasi berhasil dipadamkan pada hari Kamis tanggal 14 November
2013 pukul 15:00 WITA. Aksi pemadaman sangat tertolong dengan
turunnya hujan lebat di lokasi-lokasi kebakaran sehingga api dapat
cepat padam. Luas yang terbakar di lokasi Telli seluas 8 Ha dan di
lokasi Oepah seluas 12 Ha. Kebakaran termasuk kategori kebakaran
permukaan karena tidak sampai membakar pohon-pohon yang
ada di lokasi, dan hanya membakar tumbuhan bawah serta semak
belukar.
Penyebab kebakaran hutan di CA Mutis diduga akibat aktivitas
masyarakat sekitar yang membakar lahan pertanian mereka untuk
persiapan lahan tanam, yang kemudian merambat ke dalam
kawasan. Untuk usaha ke depannya perlu dilakukan sosialisasi
pencegahan kebakaran hutan di desa tersebut, sehingga tidak
lagi terjadi kebakaran di kawasan CA Mutis akibat persiapan lahan
masyarakat sekitar kawasan dan juga perlu dilakukan patroli intensif
pada area-area rawan kebakaran.
8

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Kesulitan yang dihadapi petugas lapangan pada saat melakukan


pemadaman adalah berupa kurangnya petugas lapangan di setiap
resort, kurang tersediannya sarana pemadaman, sulitnya akses
dengan kondisi topografi yang terjal dan batu karang, kesadaran
masyarakat yang rendah, budaya masyarakat yang membakar lahan
untuk persiapan pananaman saat musim hujan, kebiasaan pemburu
yang membakar rumput untuk memancing satwa rusa keluar.

Gambar 3. Kebakaran di TWA Menipo (Kiri) dan Kebakaran di CA Mutis (Kanan)

(4) Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng


Ketidaksepahaman masyarakat adat Colol dan Balai KSDA
NTT II mengenai batas TWA Ruteng pada awal tahun 2000an,
telah menimbulkan berbagai konflik. Salah satunya adalah upaya
penegakan hukum pada tahun 2004 yang menimbulkan korban 7
orang warga Colol meninggal dan puluhan cacat permanen. Sejak
saat itu, hingga akhir 2011, tidak pernah terjadi komunikasi antara
Balai KSDA di Ruteng dengan masyarakat di Colol. Tiga Pilar adalah
inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi, melalui duduk bersama, atau
lonto leok, dan telah dicapai kesepahaman awal pada 12 Desember
2012 di Rumah Gendang Induk di Colol. Musyawarah Besar di Kisol,
Manggarai Timur pada 29-30 Mei 2013 dan di Manggarai pada 1819 Juni 2013 telah mengkristalkan kesepahaman para pihak (Gereja,
Masyarakat Adat, Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, Desa dan
9

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

Balai Besar KSDA NTT) untuk menyelamatkan dan melindungi TWA


Ruteng demi kepentingan bersama, dengan simpul ikatan air untuk
kehidupan. Semua masalah harus diselesaikan bersama Tiga Pihak
tersebut.

Gambar 4. Lontoleok Hari Bersejarah 12-12-2012, Konsep Telu Siri Disepakati di


Rumah Gendang Colol

Pada prinsipnya, Tiga Pilar adalah suatu Lembaga Dialog,


dimana berbagai konflik dan persoalan diselesaikan bersamasama secara damai. Demikian pula potensi kawasan harus bisa
dimanfaatkan dengan pola musyawarah Tiga Pihak. Terbangunnya
mekanisme komunikasi dan dialog untuk memecahkan masalah dan
mengembangkan potensi ini diharapkan menjadi suatu kesadaran
bersama para pihak. Akhir Desember 2013, telah dilaksanakan
cek batas secara bersama (Adat, Gereja, Pemerintah Desa) untuk
mengetahui batas yang sebenarnya dan batas yang disepakati. Era
baru pengelolaan kolaboratif Tiga Pihak dimulai di TWA Ruteng dan
akan terus dikawal pada tahun 2014 dan seterusnya.

10

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

(5) Komodo ada Dimana-mana


a. Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau
Pemantauan populasi satwa liar merupakan salah satu
komponen yang sangat penting dalam upaya konservasi, terutama
satwa yang terancam punah. Kegiatan pemantauan yang efektif
haruslah dapat menentukan dan menggunakan metode-metode
yang menghasilkan data yang akurat dengan biaya yang rendah dan
efisien secara logistik.
Pada tanggal 26 September 2012 s/d 6 Oktober 2012, Tim
BBKSDA NTT dibantu oleh Komodo Survival Program (KSP) telah
melakukan survey awal sebaran populasi Komodo di Pulau Ontoloe.
Metode yang digunakan adalah dengan bantuan camera trap
(kamera pengintai) untuk mengamati kehadiran satwa Biawak
Komodo.
Berdasarkan data dari foto-foto yang dihasilkan oleh camera
trap, diperkirakan terdapat 6-8 ekor biawak Komodo di Pulau
Ontoloe, sedangkan berdasarkan hasil perhitungan site occupancy
menunjukkan nilai indeks populasinya adalah 0,80 0.14. Biawak
Komodo di Pulau Ontoloe tergolong sehat, hal ini ditunjukkan
melalui foto-foto yang didapatkan bahwa pada umumnya bagian
pangkal ekor masing biawak Komodo tersebut terlihat gemuk
(cembung) tidak cekung.
Pada tahun 2013 ini, kegiatan survey populasi Biawak Komodo
dan mangsanya di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau kembali dilakukan,
tepatnya pada tanggal 26 Oktober 2013 s/d 5 November 2013.
Berdasarkan perhitungan menggunakan metode Mark-Recapture,
populasi biawak Komodo di dalam area kajian Pulau Ontoloe seluas
2,14 km2 diperkirakan sebanyak 16 ekor atau memiliki nilai kepadatan
7,5 individu per kilometer persegi .

11

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

Ukuran tubuh Biawak Komodo bervariasi dari Komodo yang


terkecil sepanjang 109,1 cm (SVL=44,6) dengan berat 10 kg, hingga
yang terbesar berukuran 219,5 cm (SVL=100,7) dengan berat
mencapai 18,4 kg. Komodo yang terkecil diperkirakan baru berumur
2 tahun. Namun untuk penentuan kelas umur Biawak Komodo di
Flores masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu telah
ditemukan dua sarang Biawak Komodo di Pulau Ontoloe, sehingga
perlu diadakannya monitoring yang lebih intensif pada waktu
musim reproduksi, untuk memastikan apakah sarang tersebut aktif
atau digunakan Komodo betina untuk meletakkan telurnya.

Gambar 5. Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau

b. Tanjung Watu Pajung


Menerapkan Pola Tiga Pilar, pada tanggal 7 November 2013
dilakukan Lonto Leok (duduk bersama) dengan metode diskusi
terbatas yang dipimpin langsung oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah
II (Ora Yohanes) dengan narasumber dari KSP (Achmad Ariefiandy

12

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Husen, M.Phil dan Deni) di Tanjung Watu Pajung, Kecamatan Sambi


Rampas, Kabupaten Manggarai Timur.
Lonto Leok dihadiri oleh para tokoh masyarakat dan Kepala
Desa dari lima desa (Kel. Pota, Kel. Baras, Ds. Nampar Sepang, Ds.
Nanga Mbaur, Ds. Nanga Mbaling), Camat Sambi Rampas beserta
staf, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Manggarai Timur
beserta staf, Kepala Bidang PHKA Dinas Kehutanan Kab. Manggarai
Timur beserta staf RPH Sambi Rampas, dan Kepala Bidang KSDA
Wilayah II beserta jajarannya. Lonto Leok tersebut menghasilkan
beberapa rekomendasi yang ditanda-tangani oleh semua pihak,
diantaranya adalah :
-

Lokasi sebaran utama komodo adalah Nanga Baras dan Watu


Pajung (Ds. Nanga Mbaur dan Ds. Nampar Sempang), Perisai
(Kelurahan Pota), Golo Lijun/Nanga Lok sehingga untuk
kepastian tempat diperlukan survey lokasi sebaran komodo
oleh BBKSDA NTT, KSP dan masyarakat setempat.

Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur mengupayakan


pembangunan Pos Pengamanan Hutan di Watu Pajung.

Komodo yang selama ini dipelihara di Tompong akan dilepaskan


kembali ke habitatnya di Watu Pajung, oleh Kepala Desa Nampar
Sepang bersama masyarakat disaksikan oleh petugas lapangan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur.

Balai Besar KSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan


survey awal sebaran populasi Komodo di Pota dan sekitarnya pada
Tahun 2014. Selain survey lanjutan di tahun 2014, BBKSDA NTT bersama
KSP berencana akan melakukan tes DNA komodo yang ada di CA Wae
Wuul dan Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau. Tes DNA tersebut
dilakukan untuk memastikan apakah Komodo yang berada di Pulau
Flores (CA Wae Wuul dan P. Ontoloe) dan Komodo di Pulau Komodo
dan Rinca (TN. Komodo) merupakan jenis (spesies) yang berbeda atau
13

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

jenis yang sama atau dapat dikelompokkan menjadi dua anak jenis
(sub-spesies). Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jawaban
atas keingintahuan kelompok scientist, masyarakat dan khususnya
pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Selain itu, hasil tes DNA itu
merupakan kontribusi penting dalam ilmu biologi dan biogeografi.
Tes DNA Komodo itu menggunakan sampel darah yang telah
diambil pada saat kegiatan survey komodo di tahun 2013. Sampelsampel darah tersebut telah diberikan perlakuan dan disimpan di
Kantor Balai Besar KSDA NTT. Berkaitan dengan hal tersebut, Balai
Besar KSDA NTT bersama dengan KSP meminta bantuan Puslitbang
Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan
tes DNA di Laboratorium LIPI. Sebanyak 11 tabung sampel darah dari
11 individu komodo di Ontoloe sedang dilakukan pemeriksaan di
Laboratorium LIPI Biologi.
c. Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese
Komodo di Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese disurvey oleh
KSP, Yayasan Burung Indonesia, dan BBKSDA NTT. Survey di Golo Mori
dilakukan pada tanggal 30 Juni s/d 3 Juli 2013, sedangkan survey di
Tanjung Kerita Mese dilakukan pada tanggal 24 s/d 27 September 2013.
Berdasarkan pengamatan terhadap morfologi (ukuran tubuh
dan pola warna) serta berdasarkan waktu tertangkap kamera
dan pertimbangan jarak dan waktu pergerakan Biawak Komodo,
diperkirakan sekurangnya ada lima ekor Biawak Komodo di hutan
pesisir Desa Golo Mori dan tujuh ekor Biawak Komodo di Tanjung
Kerita Mese, yang terekam oleh kamera. Angka tersebut merupakan
perkiraan minimal berdasarkan rekaman camera trap, sedangkan
untuk perkiraan jumlah Biawak Komodo di lokasi-lokasi tersebut
perlu penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan pengamatan terhadap foto hasil camera trap
menunjukan bahwa pada kedua lokasi kajian itu terdapat Biawak
14

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Komodo dari semua ukuran kelas umur, yaitu: anak, remaja dan
dewasa. Biawak Komodo terbesar ditemukan di lembah Lajar,
Desa Golo Mori. Untuk memastikan ukuran dan kelas umur Biawak
Komodo diperlukan penelitian yang lebih mendalam, termasuk
pengukuran secara langsung morfologi Biawak Komodo tersebut.
Hal lain yang menjadi catatan penting dari hasil survey adalah
bahwa kondisi tubuh Biawak Komodo yang dapat terekam oleh
camera trap di pesisir Golo Mori dan di Tanjung Kerita Mese, hampir
seluruhnya dalam kondisi yang ideal. Kondisi tersebut dinilai dari
bentuk dan lingkar pangkal ekor dari masing-masing individu. Biawak
Komodo yang sehat umumnya pangkal ekor mereka relatif bundar
dan padat berisi. Pangkal ekor merupakan tempat penyimpanan
cadangan lemak, sehingga bagian tubuh ini merupakan indikator
kesehatan Biawak Komodo.

(6) Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem Esensial


Upaya pengelolaan kawasan ekosistem esensial menjadi salah
satu perhatian dalam isu pembangunan yang berkeadilan. Instruksi
Presiden RI No 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang
berkeadilan mengamanatkan untuk meningkatkan pengelolaan
dan pendayagunaan ekosistem esensial sebagai sistem penyangga
kehidupan melalui program konservasi keanekaragaman hayati dan
perlindungan.
Untuk mencapai target indikator tersebut, langkah-langkah
pencapaian pelaksanaan Inpres 3/2010 yang telah dilaksanakan
sebagai berikut : (a) Identifikasi, Inventarisasi dan Validasi Data
Ekosistem, (b) Sosialisasi dan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem
Esensial, (c) Penyusunan kesepakatan Pengelolaan Ekosistem
Esensial, (d) Pembentukan Forum Kerjasama/Kolaborasi Pengelolaan,
(e) Penyusunan Rencana Strategis/Aksi akan dilaksanakan oleh

15

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

Forum Kolaborasi pada Tahun 2013, dan (f ) Monitoring dan Evaluasi


Implementasi oleh Ditjen PHKA cq.Direktorat KKBHL pada Tahun
2013 dan 2014.
Kawasan ekosistem esensial (EE) di Kabupaten Manggarai Timur
yang dipilih adalah Hutan Lindung Pota di Kecamatan Sambi Rampas
. Mengapa hutan lindung ini penting dan dipilih menjadi kawasan
EE? Tidak lain karena ditemukannya biawak komodo dan bahkan
ditemukan banyak jejaknya sampai ke Pantai Watu Panjung. Luas
Hutan Lindung Pota ini adalah 10.641 Ha (RTK.101). Bupati Manggarai
Timur telah menetapkan Forum Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem
Esensial HL Pota, yaitu keputusan Nomor : HK/83.A/2013 tanggal 4
September 2013. Salah satu tugasnya adalah menyusun Rencana
Aksi Pengelolaan HL Pota sebagai Ekosistem Esensial. BBKSDA NTT
akan mendukung dimulainya survey awal komodo pada tahun 2014,
bekerjasama dengan Komodo Survival Program (KSP). Keberadaan
biawak komodo juga dilaporkan oleh masyarakat berada di HL Sawe
Sange, di sebelah timur HL Pota. Hutan lindung ini memiliki luas
7.259 Ha, dan sebaiknya perlu dikelola sebagai perluasan kawasan
EE pada Hutan Lindung Pota.

16

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Gambar 6. Dari Kiri ; Kepala Balai Besar KSDA NTT, Bupati Manggarai Timur dan
Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Timur Saat Membuka Rapat Koordinasi
Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial HL. Pota di Borong

(7) Sponge sebagai Materi Anti Cancer


Pengelolaan kawasan konservasi tidak hanya mengatasi
masalah. Kelola kawasan konservasi harus mampu mengungkap
rahasia di balik keindahan kawasan-kawasan konservasi tersebut.
Hanya dengan penguasan IPTEK, ilmu dan teknologi atau science,
dan membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang
terpendam di dalam kawasan konservasi itu dapat diungkap secara
bertahap. Riset sponge sebagai bahan anti kanker dimulai pada tahun
2009-2010, dimana Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus
Trianto, M.Sc., Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D
dan Idam Setiawan, ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof.
Kobayashi Dekan Kimia Bahan Hayati Laut, Prof. Junichi Tanaka dan
DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.
Tujuan kerjasama adalah mengeksplorasi jenis-jenis sponge di
TWL Teluk Kupang. Telah berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge

17

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

dengan satu jenis di antaranya belum dapat diidentifikasi, yang


kemungkinan adalah spesies baru.

Gambar 7. Sponge yang ditemukan di Perairan TWL Teluk Kupang, yang belum
teridentifikasi

Tahun 2011, menggunakan sampel sponge dengan tagging


K09-02 yang diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang
merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun
2009 yang dibekukan, mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang
mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus
putih) dengan lC50 sebesar 0,1/mL. Pemurnian ekstrak tersebut
menghasilkan senyawa candidaspongiolide beserta dua derivat
baru yang sangat kuat menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar
37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL (nanogram/mililiter). Keunikan dan potensi
candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer
Institute, AS) terus menerus mengembangkan senyawa tersebut.
Tahun 2012, dilakukan marine culture secara in-situ dan ex-situ
untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide.
18

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Diperoleh kesimpulan bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ)


lebih banyak daripada yang non budidaya (langsung diambil dari
alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang Jepara, budidaya tidak
berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah endemik di
TWL Teluk Kupang.
Tahun 2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel
mikroba simbion di TWA 17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah
diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis pada kedalaman
10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan
inokulasi mikroba simbion yang bertujuan untuk mendapatkan
isolat murni mikroba yang bersimbiose pada sponge. Isolat murni
tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit kultur massal
mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan
senyawa anti kanker, (2) penyerahan bahan dan peralatan
laboratorium dari BBKSDA NTT kepada Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge
di TWL Teluk Kupang sebagai bahan antikanker, yaitu Malt Extract
Agar (MEA), Malt Extract Broth (MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient
Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast Extract, Aceton Hexane,
Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat, adalah bahan laboratorium
untuk kultur simbion sponge; peralatan berupa petri disk,
magneting stiring rod, pasteur pipet, filter paper watham, vanilin,
rak kultur, yang mendukung ekstraksi sponge hasil eksplorasi di TWL
Teluk Kupang, dan (3) kegiatan lapangan eksplorasi sponge di TWL
Teluk Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp
yang telah dilakukan tahun 2012 di sekitar Dermaga Polair NTT di
dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung monitoring parameter
perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat, densitas, dan
kenaekaragaman bakteri dan plankton.

19

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

(8) Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat


Riset S2 dengan tema tumbuhan yang memiliki potensi obat
yang dimanfaatkan oleh masyarakat, telah dilakukan oleh Elisa
Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60 jenis tumbuhan
yang berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013,
BBKSDA telah mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan
dari TWA Ruteng dan 26 jenis tumbuhan dari TWA Camplong ke
Laboratorium Farmaka IPB, untuk dilakukan uji fitokimia. Fitokimia
merupakan studi mengenai tumbuhan yang berkaitan dengan
kandungan senyawa kimia aktif farmakologis. Penelitian dasar ini
penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaan tumbuhan yang
meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk
mengetahui senyawa kelompok obatnya.
Hasil uji fitokimia tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk
pengembangan lebih lanjut penangkaran di tingkat masyarakat,
sebagai bagian dari pengembangan daerah penyangga dalam
upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng.
Upaya-upaya pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh
melalui pendekatan Tiga Pilar, sehingga peran Gereja, dan pemerintah
kabupaten dengan SKPDnya akan semakin jelas dan dapat dipadukan
dnegan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA NTT.
Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia
aktif yang berkhasiat obat. Komponen-komponen tersebut berupa
senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid,
flavonoid dan saponin.Hasil kajian dari Lab Biofarmaka IPB terhadap
tumbuhan obat di TWA Ruteng adalah sebagai berikut :

20

Alkaloid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan


dalam: (1) Kulit kayu dan akar boto (Tabernaemontana
sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai
digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam,

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

(2). Kulit kayu wuhar (Cryptocarya densiflora) yang dalam


pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam
pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan
yang menakjubkan bahwa orang Manggarai seakan mengerti
ada kesamaan manfaat untuk pengobatannya.

Steroid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukan


pada 36 sampel atau 90% dari sampel tumbuhan obat kecuali
pada kulit kayu redong (Trema orientalis), rebak (Macaranga
tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp). Banyaknya
sampel yang mengandung steroid ini mungkin dalam
pengobatan tradisional berdampak pada pereda nyeri atau
sakit sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh.

Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensial


sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai
obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai antioksidan
sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat
flavonoid adalah melindungi struktur sel, meningkatkan
efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang
dan sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih
dari 50% sampel mengandung flavonoid. Beberapa sampel
yang mengandung flavomoid adalah kulit kayu puser, waek,
kenda lagkok, redong, ndingar, ara, garit, sita; daun cawat,
wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, mulu, nangker,
renggong, ngelong, sandal urat, cangkar, randiawang, ntila,
puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; akar boto.

Kegunaan tanin dalam pengobatan modern adalah sebagai


anti septik pada jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu
dengan cara mengendapkan protein, campuran obat cacing
dan anti kanker. Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA
Ruteng mengandung tanin, yaitu: kulit kayu puser, waek, kenda
langkok, redong, ndingar, ara, mulu, garit; daun cawat, wua,
21

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, renggong,


ngelong, sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger,
sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi.

Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luas


diantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti
inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerangkerangan, hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga
mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya: terasa manis,
ada yang pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan
emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya
saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai
untuk membuat minuman beralkohol, dalam industri pakaian,
kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat
tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng, sebanyak
36 dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang
ditemukan dalam kulit kayu puser, lui, waek, redong, ndingar,
boto, teno, rebak, wuhar, ara, mulu, ajang, garit, sita; daun cawat,
wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, cangkar,
randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus,
garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi; akar boto.

Gambar 8. Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng

22

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

(9) Spirit Kembali ke Lapangan


Resort Based Management (RBM) adalah upaya membangun
sistem kerja yang lebih berorientasi di lapangan yang didukung
dengan sistem informasi yang akurat sehingga data diolah dan
dijadikan informasi sebagia bahan perencanaan yang lebih rasional,
dan secara bertahap berbagai persoalan dapat diselesaikan dan
potensi dapat dikembangkan. RBM di BBKSDA NTT dimulai pada
awal Maret 2012 dengan workshop RBM, yang melibatkan seluruh
resort. Pada tahun 2013, telah dilaksanakan pelatihan GIS, GPS,
dan Sistem Informasi bagi 40 staf muda dari seluruh Resort/Seksi/
Bidang Wilayah. Dengan demikian, pada tahun 2014 seluruh staf
telah mampu melakukan update data dan informasi dari lapangan
ke dalam peta, SIM RBM, dan update Situation Room, yang telah
diserahkan dari Balai Besar kepada Bidang Wilayah di Soe dan Ruteng.
Bahkan, setiap Kepala Seksi, sebaiknya dapat melakukan update
data dan informasi dalam Situation Room, sehingga perkembangan
di lapangan dapat didokumentasi dengan rapi dan mudah untuk
dipakai sebagai bahan untuk laporan dan pengambilan keputusankeputusan yang cepat dan akurat.
RBM dengan fokus pendataan kondisi pal-pal batas di lapangan
telah terbukti membantu ketika data tersebut diperlukan, misalnya
untuk cek pal batas secara partisipatif di wilayah Colol TWA Ruteng,
cek kondisi batas di CA Watu Ata dalam evaluasi fungsi kawasan
tersebut. Manfaat lainnya adalah untuk bahan negosiasi dengan BPKH
dalam rangka membuat skala prioritas rekonstruksi batas kawasankawasan konservasi yang menjadi prioritas. Secara umum, spirit kerja
di lapangan meningkat, kinerja staf dapat dipantau dengan lebih
cermat dan tepat. Dengan demikian, berbagai persoalan lapangan
dapat dipotret dengan lebih cermat dan berdasarkan kondisi faktual
yang ada.

23

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

Gambar 9. Pendampingan UPT dalam Pelaksanaan RBM

(10) Evaluasi Fungsi CA Watu Ata


Cagar alam ini terletak di Kabupaten Ngada, dengan luas 4.800
Ha, yang semula berstatus sebagai hutan lindung RTK 142. Sejak
penetapannya pada tahun 1992, telah menimbulkan berbagai
pertentangan, karena masyarakat merasakan lahannya diklaim dan
masuk ke dalam wilayah cagar alam. BBKSDA NTT melakukan evaluasi
fungsi secara reguler untuk mengetahui perubahan-perubahan yang
telah terjadi selama hampir 20 tahun terakhir. Fakta menunjukkan
bahwa seluas 1.977 Ha atau 40% dari kawasan CA Watu Ata sudah tidak
layak lagi sebagai cagar alam, karena kondisi tutupan vegetasinya
bukan lagi asli, tetapi berupa kopi, dengan berbagai bentuk tanaman
peneduh, seperti jarak, dan sengon; tanaman subsisten seperti
jagung dan juga berkembang sayur-sayuran. Berdasarkan data 2012,
jumlah petani yang bekerja penggarap sebanyak 1.824 KK. Hasil
kerja Tim Evaluasi Fungsi ini akan disampaikan kepada Tim Revisi
Tata Ruang Provinsi NTT, yang akan bekerja mulai Januari 2014. Pihak
Pemkab menghendaki kawasan tetap sebagai hutan negara, namun
masyarakat masih diperkenankan menggarap di dalamnya.
Kondisi ini tentu tidak bisa dipenuhi apabila sebagian kawasan
yang telah berubah tersebut berfungsi sebagai cagar alam.
Kemungkinannya adalah diturunkan kembali sebagai hutan lindung,
24

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

dan selanjutnya dapat dikelola melalui skema Hutan Kemasyarakatan


(HKm). Tanpa penyelesaian yang saling menguntungkan, maka
persoalan CA Watu Ata akan terus menggantung dan tidak
pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Hasil evaluasi fungsi yang
dilakukan oleh BBKSDA NTT akan dilaporkan kepada Dirjen PHKA
dan disampaikan kepada Ketua Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT,
agar dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menyusun
rekomendasi.

Gambar 10. Penjelasan Pengelolaan CA. Watu Ata di Kantor DPRD Kabupaten
Ngada oleh Kepala Balai Besar KSDA NTT yang dihadiri oleh Wakil Bupati, Ketua
Dewan dan Anggota, Ketua LAPMAS, Kepala Desa Sekitar CA. Watu Ata, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Adat

(11) Restorasi SM Kateri


Setelah terjadinya jajak pendapat Timor Timur pada tahun
1999, telah terjadi eksodus pengungsi Timor Timur ke Provinsi NTT.
Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Belu tahun 2008, jumlah
pengungsi yang bermukim di Kabupaten Belu sebanyak 12.792
KK (60.049 jiwa). Sebanyak 504 KK (3,6 %) bermukim di sekitar SM
Kateri. Bahwa sampai dengan tahun 2012, berdasarkan analisis

25

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

kami lebih dari 60 % kawasan SM Kateri mengalami kerusakan. Hal


ini disebabkan adanya penggarapan yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat eks pengungsi dari Timor-Timur sejak tahun 1999
sampai dengan saat ini. Mereka terpaksa menggarap lahan tersebut
untuk penanaman tanaman pangan terutama jagung. Pemerintah
sudah membantu penyediaan rumah bagi eks pengungsi termasuk
pengungsi sebanyak 504 KK. Mereka terkonsentrasi pada 7 (tujuh)
titik lokasi pemukiman yang berbatasan langsung dengan SM Kateri,
yaitu di Wematek 40 KK, Waebua 90 KK, Kakaeknuan 130 KK, Benain
112 KK, Wehali 48 KK, Wemalae 45 KK dan Kamanas 39 KK.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2003 tanggal
5 Mei 2003 tentang Pendataan eks Penduduk Provinsi Timor Timur,
disebutkan bahwa penduduk bekas Provinsi Timor Timur yang tetap
setia pada NKRI diproses status kependuduannya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar Keppres tersebut,
seluruh pengungsi telah mendapatkan Kartu Tanda Penduduk
(KTP), dengan demikian maka status mereka adalah Warga Negara
Indonesia.
Dampak dari kerusakan kawasan tersebut, yang dirasakan saat
ini adalah banjir di lokasi Desa Kamanasa dan Desa Lakekun Barat,
tanah longsor yang mengakibatkan putusnya ruas jalan AtambuaBetun (lokasi Wemer), menurunnya debit air dari beberapa sumber
mata air yang berasal dari dalam kawasan (antara lain mata air
Lamela, Tubaki, Weserasa, Wemaama, Wekalae).
Pada tahun 2013 dilakukan sensus terhadap warga eks pengungsi
Timor-Timur yang kehidupannya tergantung pada penggarapan di
SM Kateri. Telah diperoleh data sebanyak 1.311 KK (6.283 jiwa, tersebar
di 16 lokasi pemukiman) sebagai penggarap aktif di SM Kateri. Rapat
koordinasi yang difasilitasi oleh Pusdalbanghut Regional II pada
tanggal 25-26 November 2013, menghasilkan kesimpulan perlu
26

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

segera dilakukan rapat koordinasi yang melibatkan Menko Kesra dan


Menpera. Sedangkan Kemenhut perlu fokus pada pencarian solusi
lahan untuk eks warga Timtim tersebut, di kawasan hutan produksi,
yang dimungkinkan melalui skema hutan tanaman rakyat. Japan
International Corporation System (JICS) telah mengirimkan Tim
Kajian untuk melakukan cek lapangan, kemungkinan dilakukannya
rehabilitasi SM Kateri, pada areal seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat
utama dari bantuan ini adalah selesainya persoalan eks warga Timtim
yang saat ini menggarap di dalam SM Kateri.

Gambar 11. Kondisi Kawasan SM. Kateri yang perlu di Restorasi

(12) Potret Kesehatan TWA 17 Pulau


Marine Diving Clubs (MDC) dari Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang,
telah bekerjasama dengan BBKSDA NTT untuk melakukan monitoring
di kawasan perairan TWA 17 Pulau. Monitoring dilakukan pada 12
titik penyelaman antara tanggal 11-15 April 2013. Keragaman hayati
27

K AL AIDO S KO P K I N E R J A KO N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

laut dinilai masih baik. Banyak ditemukan ikan butana (Surgeonfish)


dan kambing-kambing (Angelfish). Ditemukan pula ikan Napoleon
(Cheilinus undulatus), yang panjangnya mencapai satu meter dan
Kerondong (belut laut) raksasa yang panjangnya sekitar dua meter
dengan diameter kepala sepuluh sentimeter.

Gambar 12. Keragaman Jenis Ikan Karang di TWA 17 Pulau

Hasil kajian tersebut menunjukkan kondisi tutupan karang


yang mengkhawatirkan, yaitu di bawah 50%. Masih ditemukan
penggunaan bom, potasium, dan pukat. Walupun demikian telah
ditemukan lokasi yang mulai pulih kembali, seperti di North Bakau
Island, yang didominasi oleh soft coral. Tutupan hard coral life yang
rendah membawa akibat sedikitnya kelimpahan ikan karang bernilai
ekonomis. Kondisi hard coral life berperan aktif terhadap density
dan biomass ikan, seperti dibuktikan di South Tiga Island, dengan
biomass tertinggi (719 biomass/ha (kg) dengan density kedua
terbanyak, yaitu 3.406 density/ha (individu).

28

K A L A I D O S KOP KINER JA KONSERVASI TAHUN 2013

Penutupan lamun meningkat untuk spesies Enhaus acorides


namun terjadi penurunan pada spesies Cymodocea rotundata.
Sementara itu kondisi mangrove dengan kerapatan cukup tinggi.
MDC menyarankan dilakukannya peningkatan upaya pengamanan
kawasan dari pemboman dan penggunaan potas serta pukat.

Penutup
Semoga dengan dipublikasikannya Kalaidoskop 2013 BBKSDA
NTT ini, pimpinan di tingkat Jakarta, baik pada level Direktur, Dirjen,
dan Menteri Kehutanan dapat mengetahui secara cepat, tetapi jelas
dan fokus tentang peristiwa-peristiwa dan upaya-upaya konservasi
yang telah dikerjakan dan menjadi prioritas di wilayah kerja BBKSDA
NTT. Bagi masyarakat luas, khususnya yang berada di Provinsi NTT,
diharapkan dapat membantu mendapatkan informasi yang tepat
dari sumber pertama, karena masyarakat berhak mendapatkan
informasi tentang berbagai persoalan maupun potensi sumberdaya
alam di wilayahnya.
Dengan demikian, diharapkan dukungan masyarakat untuk
meningkatkan upaya konservasi tersebut dalam arti luas, menjadi
suatu kesadaran kolektif sebagai syarat untuk membangun suatu
gerakan kolektif. From collective awareness to collective action.
Dengan membangun jaringan kerja kepakaran dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi, kita ungkap rahasia alam bumi
Nusa Tenggara Timur, baik yang di gunung maupun di bawah laut.
Bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai
tingkatannya, kawasan konservasi dapat dijaga dan dikelola secara
bersama, lebih bertanggungjawab, dalam semangat perdamaian
yang didukung oleh nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional yang
dimiliki oleh masyarakat di NTT.

29

Disusun oleh Tim BBKSDA NTT

Kantor : Jl.SK Lerik, Kelapa Lima, Kode Pos 85228, Kupang


Tlp/Fax: 0380-832211/0380-825318
Email : bbksda_ntt@yahoo.co.id; bbksdantt@gmail.com

Anda mungkin juga menyukai