Anda di halaman 1dari 51

ANALISIS PROKSIMAT, EKSTRAKSI, DAN UJI FITOKIMIA PADATUMBUHAN API-API

(Avicennia spp.)
Prisca Sari Paramudhita (C34100004)
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor

Tanggal: 13 Maret-17 April 2012

ABSTRAK
Tumbuhan api-api adalah salah satu jenis tumbuhan mangrove yang umum
dijumpai di Indonesia. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk keperluan
pengobatan dan farmasi. Praktikum analisis proksimat, ekstraksi, dan uji
fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) bertujuan untuk mengetahui
komposisi kimia pada tumbuhan api-api dan senyawa bioaktif yang terdapat di
dalamnya, serta membandingkan komposisi tumbuhan api-api dengan tumbuhan
mangrove lainnya. Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada
hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa,
17 April 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil
Perairan. Hasil analisis proksimat menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki
kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8
%, dan kadar protein sebesar 3,42 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar
air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan
kadar protein sebesar 2,9115 %. Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api
menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol
hidrokuinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki
hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan
tanin. Hasil ekstraksi yang diperoleh sebesar 4,3812 gram untuk daun dan
3,0163 gram untuk kulit batang tumbuhan api-api.

Kata kunci: ekstraksi, fitokimia,kadar lemak, proksimat, tumbuhan api-api

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki jenis mangrove yang beragam. Menurut Wibowo et


al. (2009) Indonesia memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis
pohon,
5 jenis palma, 19 jenis pemanjat,
44 jenis herba tanah, 44 jenis
epifit dan 1 jenis paku. Sebanyak 202 dari jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya
33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati
(true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dikenal
sebagai asociate mangrove.

Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai di Indonesia adalah api-api
(Avicennia spp.). Data Ditjen INTAG pada tahun 1984 menyebutkan Indonesia
memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha. Hasil interpretasi
citra landsat tahun 1992 luas mangrove yang tersisa sebesar 3,812 juta ha
(Martodiwirjo 2004). Hasil penelitian Ditjen RRL pada tahun 2005 mengatakan
luas hutan mangrove Indonesia tersisa sebanyak 9,2 juta ha. Produksi tumbuhan
api-api dalam luas hutan mangrove di Indonesia mencapai setengah dari total
keseluruhan luas hutan mengrove (Wiroatmodjo et al. 2000). Peranan api-api
adalah sebagai tumbuhan pioneer atau perintis yang menempati zonasi terluar
dari hutan mengrove (Zamroni dan Rohyani 2008). Klasifikasi Avicennia spp.
menurut Wibowo et al. (2009) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Kelas

: Dycotyledone

Ordo

: Myrtales

Famili

: Verbenaceae

Genus

: Avicennia

Spesies

: Avicennia spp.

Tumbuhan Avicennia spp. memiliki nama lokal diantaranya api-api putih, apiapi abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, dan pai. Avicennia spp.
berbentuk belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dengan
ketinggian pohon bisa mencapai 30 meter. Mangrove ini memiliki sistem
perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (berbentuk asparagus),
akar nafas tegak. Kulit kayu memiliki tekstur halus dengan burik hijau-abu dalam
bagian kecil (Wiroatmodjo et al. 2000). Tumbuhan api-api memiliki kemampuan
untuk menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di
tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang
paling umum ditemukan di habitat pasang-surut (Zamroni dan Rohyani 2008).
Beberapa jenis Avicennia spp. dapatmenghasilkan bahan untuk keperluan
pengobatan dan farmasi
(Wibowo et al. 2009). Hal ini yang membuat perlu
dilakukannya analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada
tumbuhanAvicennia spp. untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung
dalam Avicennia spp. melalui pengujian fitokimia. Analisis proksimat yang
dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein,
karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat
memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada
standar zat makanan (Tilman et al. 2001).
Tujuan praktikum ini adalah melakukan analisis proksimat, ekstraksi, dan uji
fitokimia kualitatif pada tumbuhan Avicenniaspp. serta membandingkan
komposisi senyawa bioaktif yang terkandung dalam daun dan kulit
batang Avicennia spp.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret
2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 pada
pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan
Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum estraksi dan uji
proksimat Avicennia spp. adalah tumbuhan Avicennia spp., asam sulfat 2N,
pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan metanol. Bahan
yang diperlukan pada analisis kadar lemak Avicennia spp. adalah K2SO4, HgO,
H2SO4, H2O2, asam borat, dan HCl.
Alat yang digunakan adalah rotary vacuum evaporator, erlenmeyer 250 ml,
gelas ukur, pisau, telenan, alumunium foil, timbangan analitik, kapas, cawan
porselen, oven, desikator, timbangan analitik, kertas saring, kapas, selongsong
lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, kompor listrik, tanur pengabuan, orbital
shaker, dan alat tulis.
Prosedur Kerja
Praktikum pada Avicennia spp. dimulai dengan analisis proksimat bahan.
Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar
protein dan kadar abu pada Avicennia spp. Analisis kadar lemak, dilakukan
dengan pemasukan sampel ke dalam kertas saring yang pada kedua ujung
bungkusnya ditutup dengan kapas bebas. Setelah ditutup, kertas saring
kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak. Labu lemak dimasukkan ke dalam
tabung Soxhlet dan direfluks selama 6 jam. Setelah proses refluks labu lemak
kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 105 oC. Diagram alir analisis
kadar lemak disajikan pada Gambar 1.

Pemasukkan dalam labu lemak, ruang ekstraktor soxhlet, dan penyiraman


dengan n-heksana

Perefluksan selama 6 jam

Pengeringan labu lemak dan pendinginan di desikator

Penghancuran Avicennia spp.

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Analisis proksimat

Pemasukkan dalam kertas saring dan selongsong lemak

Kadar lemak

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar lemak kulit batang dan


daun Avicennia spp.
Ekstraksi Avicennia spp. dilakukan dengan penimbangan masing-masing sampel
sebesar
25 gram. Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer. Sampel ditambahkan pelarut metanol 1:3. Labu erlenmeyer
kemudian ditutup dengan kapas dan alu. Maserasi dilakukan selama 48 jam
dengan kecepatan 150 rpm. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan
kertas saring. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 2.

Sampel

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Penghancuran sampel

Pemasukan dalam erlenmeyer

Penambahan pelarut 75 ml

Penutupan dengan kapas

Maserasi 48 jam 150 rpm

Penyaringan kertas saring Whatman 42

Hasil ekstraksi

Gambar 2 Diagram alir ekstraksi Avicennia spp.


Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.
Alkaloid
Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan
3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan
pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif
pada pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif
pereaksi Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.
Steroid/Triterpenoid
Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan
10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang
terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan
hasil positif terhadap uji.
Flavonoid
Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna
merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.
Saponin (Uji Busa)
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air
yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada
penambahan sebanyak
1 tetes HCl 2 N. Hasil positif menunjukkan adanya
saponin pada suatu bahan.

Fenol hidrokuinon
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70 %. Larutan yang
dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5 %. Warna hijau atau hijau biru
yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.
Uji Molish
Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi
molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel
menunjukkan uji positif molish.
Uji Benedict
Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan
benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau
yang terbentuk menunjukkan uji positif.
Uji Biuret
Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi
biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya
ikatan peptida pada sampel.
Uji Ninhidrin
Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan
ninhidrin 0,1 %, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna
biru menunjukkan hasil positif asam amino.
Uji Tanin
Prosedur kerja uji tanin yaitu sampel yang ada ditambahkan tetes demi tetes
larutan FeCl3 hingga didapatkan perubahan warna larutan menjadi merah yang
menandakan uji positif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Analisis proksimat dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi kimia dari
tumbuhan api-api (Avicennia spp.). Analisis proksimat memiliki beberapa
keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui
komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang
canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar,
dapat menghitung nilai total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan
penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis
proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat
menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara tepat, tidak dapat
menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan (Utomo
2000).
Analisis proksimat saat praktikum dilakukan pada daun dan kulit
batang Avicennia spp. Hasil analisis proksimat daun dan batang tumbuhan apiapi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil analisis proksimat daun

dan batang Avicennia spp.

Jaring
an

Lemak
(%)

Protei
n
(%)

Air

Abu

(%)

(%)

Kulit
batan
g

0.8

2.911
5

55

6.7

Daun

13.8

3.417
9

69.35

5.3

Tabel 1 menunjukkan kulit batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar
55 %, kadar abu 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar
2,9115 %. Daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu
sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,4179
%.
Pengujian kadar lemak menunjukkan tumbuhan api-api mengandung lemak
dalam kadar yang cukup rendah yaitu 0,8 % pada kulit batang dan 13,8 % dalam
daun. Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan kandungan air tumbuhan apiapi yang sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak
akan turun secara drastis.
Yunizal et al. (1998) dalam
Erliza (2006)
mengatakan kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak.
Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila
kadar air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi. Kadar lemak di daun
tumbuhan api-api lebih tinggi dibanding di batang. Hidayat (2002) mengatakan
hal ini disebabkan adanya lapisan lilin yang terdapat di daun. Kadar lemak
tumbuhan api-api Avicennia marina (0,34 %) lebih rendah dibanding Avicennia
alba (0,60 %). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor,
yaitu umur, hbitat, ukuran dan makanan.
Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa batang tumbuhan api-api
memiliki protein dalam jumlah
2,9115 % dan daun 3,4 %. Jumlah ini lebih
rendah dibandingkan daun tumbuhan api-api Avicennia lanata yang mengandung
protein sebesar 9,08 % (Wibowo et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu hbitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme,
laju pergerakan, dan laju perkembangan.
Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang
terdapat dalam suatu bahan. Tumbuhan terdiri dari 96 % bahan organik dan air,
sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Proses pembakaran akan
membakar bahan organik namun komponen anorganik tidak terbakar
(Winarno 2008). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan tumbuhan
api-api mengandung kadar abu sebesar 6,7 % pada batang dan sekitar 5,3 %
pada daun. Menurut Handayani (2006) batang memiliki kadar abu yang lebih
tinggi karena bersifat salt accumulation,sedangkan daun bersifat salt
accumulation dan
salt filtration. Tinggi rendahnya kadar abu dapat
disebabkan oleh perbedaan hbitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap
lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda
bagi organisme yang hidup di dalamnya. Setiap organisme juga memiliki
kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral,

sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu
dalam masing-masing bahan.
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Jumlah kadar air
dalam suatu bahan ikut menentukan kestabilan dari bahan tersebut. Kadar air
yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk
berkembang biak (Winarno 2008). Kadar air pada tumbuhan api-api sangat tinggi
(>50 %). Air pada tumbuhan api-api lebih banyak terdapat di daun
dibanding di batang.
Ekstraksi adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh
dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan (Erliza 2006). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan
padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat
memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda.
Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan
tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan
untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini
didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut,
dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi
masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah
tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe
pelarut (Tohir 2010).
Metode akstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal.
Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum tumbuhan apiapi Avicennia spp. menggunakan pelarut polar yakni metanol. Handoko
(1995)dalam Hidayat (2002) mengatakan pemilihan metanol sebagai pelarut
didasarkan beberapa pertimbangan yakni selektivitas, kelarutan, kerapatan,
reaktivitas, dan titik didih. Metanol memiliki beberapa keunggulan sebagai
pelarut yakni memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar, beda
kerapatan yang signifikan dengan tumbuhan api-api sehingga mudah dipisahkan.
Metanol tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak
korosif, dan mudah didapatkan. Pelarut metanol memiliki titik didih yang tidak
begitu tinggi yakni 65 oC sehingga mudah larut dalam panas. Metanol memiliki
massa jenis 0,791 g/ml, dan konstanta dielektrik sebesar 33.
Hasil ekstraksi yang diperoleh pada saat praktikum sebesar
4,3812 gram
untuk daun dan
3,0163 gram untuk kulit batang. Hasil ekstraksi menurut
Harborne (1984) dalam Erliza (2006) sangat bergantung pada beberapa faktor
antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan,
ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi,
serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel.
Jenis ekstraksi bahan alam yang umum dilakukan adalah ekstraksi secara panas
dengan cara melakukan refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara
dingin dengan cara maserasi, perkolasi, dan alat soxhlet (Harbone
1987 dalamErliza 2006).
Prinsip ekstraksi secara soxhletasi dengan melakukan ekstraksi secara
berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari

akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin
tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Cairan
penyari jika mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat
dan terjadi proses sirkulasi, demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat
dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat
pada tabung sifon (Erliza 2006).
Ekstraksi secara perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia
dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian
cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam.
Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan
penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka
dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat
dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat
terlindung dari cahaya (Tohir 2010).
Ekstraksi secara maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian
simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan
penyari 75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya
sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi
kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna
lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang
tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan (Erliza 2006).
Ekstraksi secara refluks pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan.
Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas
bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak yang dididihkan. Cairan
penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak
dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian
seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali selama 4 jam (Harbone
1987 dalamErliza 2006)
Ekstraksi secara penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk
simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang
tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi
kerusakan zat aktifnya (Dirjen POM 2012).
Prinsip Rotavapor dilakukan dengan proses pemisahan ekstrak dari cairan
penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas
bulat, cairan penyari dapat menguap 5-10 C di bawah titik didih pelarutnya
disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan. Uap larutan penyari akan
menguap naik ke kondensor dengan bantuan vakum evaporator dan mengalami
kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam
labu alas bulat penampung.
Digestimerupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) yang
dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan
pada suhu 40 C 50 C. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus
sampel (khususnya simplisia) pada suhu 90 oC.
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan
(Wibowo 2009). Uji fitokimia yang dilakukan pada batang dan daun tumbuhan
api-api disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Uji fitokimia pada kulit batang dan daun Avicennia spp.
Uji

Batang

Daun

Alkaloid

Dragendrof

Meyer

Wagner

Steroid

Flavonoid

Saponin

Tanin

Molisch

Bannedict

Fenol H.

Ninhidrin

Biuret

Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji
alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidroquinon sedangkan hasil uji
fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish,
fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin.
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010).
Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik
(menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran
darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal.
Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam
kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada
tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya pakupakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987 dalam
Tohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme
dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal
dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi
alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika
penyimpanan berlangsung dalam waktu lama
(Lenny 2006 dalam Tohir 2010).
Daun tumbuhan api-api positif terhadap alkaloid sementara batang tumbuhan
api-api menunjukkan hasil yang negatif. Wibowo et al. (2009) mengtakan batang

dan daun tumbuhan mangrove jenis Avicennia alba positif terhadap alkaloid.
Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan perbedaan hbitat, makanan
yang didapat, dan kesalahan praktikum.
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain
minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa
dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai
pengatur pertumbuhan, karotenoid sebagai pewarna dan memiliki peran
membantu fotosintesis. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid.
Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.
Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu
lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan obat (Harborne 1987dalam Tohir 2010). Daun tumbuhan apiapi menunjukkan hasil negatif pada uji steroid/triterpenoid sedangkan batang
tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan
tumbuhan mangrove Avicennia alba, Avicennia lanata,dan Avicennia
marina menunjukkan hasil positif pada uji steroid. Perbedaan hasil yang
didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat, umur tanaman, makanan
yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.
Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid
terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan
akar. Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai
penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat
aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir
2010). Hasil praktikum menunjukkan daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil
negatif pada uji flavonoid sedangkan batang tumbuhan api-api menunjukkan
hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove seperti
Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil
positif pada uji flavonoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan
oleh perbedaan hbitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan,
dan konsentrasi reagen yang digunakan.
Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai
ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil.
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan
identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan
daun dan kulit batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji fenol
hidrokuinon. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove
seperti Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan
hasil positif pada uji fenol hidrokuinon kecuali pada daun. Perbedaan hasil yang
didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat, umur tanaman, makanan
yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.
Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat
dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua
(dikotil). Monomer tanin adalah digallic acid dan
D-glukosa. Tanin

diharapkan mampu mensubstitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehida yang
berguna untuk mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak
terbarukan. Tanin dapat menghambat aktivitas beberapa enzim pencernaan
seperti tripsin, kimotripsin, amilase, dan lipase. Tanin juga terbukti dapat
menghambat absorpsi besi
(Tohir 2010). Hasil praktikum menunjukkan
daun tumbuhan api-api negatif pada uji tanin dan kulit batang menunjukkan hasil
positif. Menurut Wibowo et al. (2009) tumbuhan Avicennia alba, Avicennia
lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji tanin kecuali
pada kayu. Perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan oleh perbedaan hbitat,
umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen
yang digunakan.
Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika
dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis
sel darah merah (Erliza 2006). Hasil praktikum menunjukkan daun dan batang
tumbuhan api-api negatif terhadap uji saponin. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Wibowo et al. (2009) yang mengatakan tumbuhan api-api positif
mrngandung saponin. Perbedaan dalam praktikum disebabkan perbedaan
varietas tumbuhan api-api, perbedaan habitat, dan perbedaan perlakuan.
Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetehui ada tidaknya gula
pereduksi. Hasil uji molish menunjukkan daun dan kulit batang tumbuhan api-api
positif mengandung gula pereduksi. Hasil uji benedict negatif terhadap batang
tumbuhan api-api. Hal ini menunjukkan batang mengandung gula pereduksi
ketosa karena gula pereduksi ketosa tidak dapat terdeteksi oleh uji benedict.
Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
ikatan peptida dalam bahan. Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif dapat daun
dan batang. Hasil positif ditunjukkan oleh warna larutan yang berubah menjadi
biru. Hasil yang didapat sesuai dengan hasil uji proksimat, karena daun dan
batang memiliki kadar protein berkisar antara 2,9 % sampai 3,4 %. Hasil uji
biuret tidak sesuai dengan percobaan lainnya. Kesalahan dalam praktikum dapat
disebabkan oleh kontaminasi bahan, kesalahan prosedur, dan ketidaktelitian
dalam percobaan.

SIMPULAN DAN SARAN


Hasil analisis proksimat yang dilakukan pada tumbuhan api-api
(Avicennia spp.) menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar
69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar
protein sebesar 3,4179 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar
55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein
sebesar 2,9115 %. Ekstraksi pada tumbuhan api-api digunakan memisahkan
bahan padat dan bahan cair dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi
digunakan sebagai sampel uji fitokimia tumbuhan api-api. Daun tumbuhan apiapi menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan
fenol hidroquinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api
memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid,
flavonoid, dan tanin.

Pengujian fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) perlu menggunakan


bagian lain dalam tumbuhan tersebut agar perbandingan komposisi kimia
Avicennia spp. dapat diketahui. Diperlukan pengujian kuantitatif pada uji
fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA
Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.
Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 2005. Inventarisasi dan Identifikasi
Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Jakarta: PT Insan Mandiri
Konsultan.

Erliza N. 2006. Ekstraksi Giberalin dari Akar Eceng Gondok. [skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Handayani T. 2006. Bioakumulasi logam berat dalam mangrove Rhizophora


mucnata dan Avicennia marina di Muara Angke Jakarta. Teknik Lingkungan 7(3):
266-270

Hidayat R. 2002. Kajian Ritme Pertumbuhan Tanaman Manggis (Garcinia


mangostana L.) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Martodiwirjo, S. 2004. Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan


Mangrove dalam Pelita VI. [Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove]
Denpasar: Mangrove Center, 26-28 Oktober 2004.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S.


2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk
menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik
Pertanian 15 (1): 37-40.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas


Peternakan UGM

Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan


Pohon Mangrove Api-Api (Avicenniaspp.) sebagai bahan Pangan dan Obat.

[Prosiding Seminar Hasil-Hasil penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut


Pertanian Bogor.

Zamroni Y dan Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di perairan
Teluk Sepi, Lombok Barat. BiodiversitasIX(4): 284-287.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

Wiroatmodjo P, Alrasyd H, Salim S, Mlia F, Meity S. 2000. Pemanfaatan dan


Rehabilitasi Hutan Mangrove Indonesia.Prosiding seminar strategi nasional
pengelolaan hutan mangsrove. Hal 84-96.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Morfologi tumbuhan api-api (Avicennia spp.)
Lampiran 2 Perhitungan kadar air tumbuhan api-api (Avicennia spp.)
DAUN
Pengulangan 1:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

= 29,07

gram

Pengulangan 2:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

= 26,99

gram

Hasil Perhitungan
Pengulangan 1

= 69,40%

Pengulangan 2

= 69,00%

Kadar air total

= 69,35%

= 27,54

gram

= 25,44

gram

KULIT BATANG
Pengulangan 1:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

= 21,87

gram

Pengulangan 2:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

= 27,23

gram

= 19,64

gram

= 24,96

gram

Hasil Perhitungan
Pengulangan 1

=55,4%

Pengulangan 2

=54,6%

Kadar air total

=55,0%

Lampiran 3 Perhitungan kadar abu tumbuhan api-api (Avicennia spp.)


DAUN
Pengulangan 1:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

= 28,96

gram

Pengulangan 2:

cawan kosong

Sampel awal

= 5,00

Berat cawan + sampel kering

= 27,81 gram

Kadar abu

= 28,69

gram

= 27,55

gram

gram

= berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan
Pengulangan 1= 5,4%
Pengulangan 2= 5,2%

KULIT BATANG
Pengulangan 1:

cawan kosong

=29,66

Sampel awal

=5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

=29,99

gram

gram

Pengulangan 2:

cawan kosong

=24,63

Sampel awal

=5,00

gram

Berat cawan + sampel kering

=24,97

gram

Kadar abu

gram

= berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan
Pengulangan 1=6,6%
Pengulangan 2=6,8%

Lampiran 4 Perhitungan kadar protein tumbuhan api-api (Avicennia spp.)


DAUN
Labu awal

: 76,99 gram

Labu akhir

: 77,68 gram

N HCl

: 0,1446 N

FP
V HCl

: 10
: 0,27 ml

KULIT BATANG
N HCl
FP
V HCl

: 0,1446 N
: 10
: 0,23 ml

Lampiran 5 Perhitungan kadar lemak tumbuhan api-api (Avicennia spp.)


DAUN
Labu awal

: 76,99 gram

Labu akhir

: 77,68 gram

Berat Sampel : 5

gram

Kadar lemak %= 13,8 %


KULIT BATANG
Labu awal

: 77,65 gram

Labu akhir

: 77,69 gram

Berat Sampel : 5

gram

Kadar lemak %= 0,8 %


Lampiran 6 Hasil uji fitokimia
Tabel hasil uji fitokimia tanaman api-api (Avicennia spp.)
Hasil Uji (+/-)

Warna

Batang

Daun

Batang

Daun

a. Dragendroff

jingga

Kuning

b. Meyer

kuning

kuning

c. Wagner

cokelat

hita

Steroid

kuning

Hijau kemerahan

Flavonoid

Abu-abu

kuning

saponin

Tidak ada busa

Tidak ada busa

Fenol hidrokuinon

Hijau pekat

Hijau

Tanin

hitam

Merah

molisch

Cincin ungu

Cincin ungu

benedict

Merah bata

Hijau

ninhidrin

cokelat

Biru kehijauan

Uji

Alkaloid

PBB Belut
Posted: Agustus 8, 2012 in pbb
0

Laporan Praktikum IV

Asisten: Euis Nur Aisyah

m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan

PENGUKURAN RENDEMEN DAN ANALISIS KADAR ABU PADA BELUT SAWAH


(Monopterus albus)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)


Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor

8 Mei 2012

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber
daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia
tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu
sumberdaya perairan yang potensial di Indonesia adalah belut sawah
(Monopterus albus). Belut sawah merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis
tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di
Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun
2008 berdasarkan buku laporan statistik perikanan budidaya provinsi Jawa Barat
sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton.
Praktikum analisis proksimat pada belut sawah (Monopterus albus) bertujuan
untuk mengetahui komposisi kimia pada belut sawah. Praktikum analisis
proksimat pada hari Selasa, 8 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan
Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil perhitungan rendemen menunjukkan
ikan belut memiliki berat rata rata 56 gram, rendemen daging sebesar 44,11%,
tulang 13,89%, kepala 17,30%, kulit 6,65%, dan jeroan sebesar 18,05%. Analisis
proksimat yang dilakukan pada belut menunjukkan ikan belut mengandung
kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar
lemak sebesar 0,12%.

Kata kunci: analisis proksimat, belut sawah, rendemen

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan


sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki

Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya.
Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di negara Indonesia adalah ikan
belut sawah (Monopterus albus). DJPB (2012) menyatakan belut adalah salah
satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena
telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah
satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar
123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Sarwono (2003)
menyatakan belut merupakan salah satu komoditas ekspor yang mendapat
devisa tinggi di Taiwan dan RRC.
Belut sawah tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Organisme ini di Pulau Jawa
dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut, sedangkan di Madura dikenal
dengan nama beludi, dan di Sumatera disebut belan. Belut merupakan
komoditas ekspor yang tempat hidupnya berada di daerah berlumpur seperti
sawah, rawa dan sungai-sungai. Klasifikasi belut sawah menurut Saanin
(1984) dalam Santoso (2001) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Ordo

: Synbranchoidae

Famili

: Synbranchidae

Genus

: Monopterus

Spesies

: Monopterus albus

Ikan belut sawah mempunyai bentuk tubuh panjang dan bulat seperti ular, tapi
tidak bersisik dan memiliki mata yang kecil. Sirip dubur dan sirip punggung
berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari. Belut tidak memiliki sirip
perut dan sirip dada. Kulitnya licin karena mengeluarkan lendir. Bagian dada
pada belut lebih panjang dari bagian ekor. Tinggi badan belut kurang lebih 1/20
kali panjang tubuhnya. Belut memiliki punggung berwarna kehijauan dan bagian
perut kekuningan, lengkung insang terdiri dari tiga pasang, bibirnya berupa
lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulut, dan gigi belut kecil runcing berbentuk
kerucut (Sundoro 2005)
Ikan belut betina umumnya berukuran panjang antara 10-29 cm, dengan
warna kulit lebih cerah atau lebih muda (hijau muda pada punggung dan putih
kuning pada perutnya) dibanding ikan belut jantan. Belut betina umumnya
memiliki umur kurang dari sembilan bulan. Ikan belut jantan rata-rata memiliki
panjang lebih dari 30 cm, berumur lebih dari sembilan bulan dan memiliki warna
kulit lebih gelap atau abu-abu (Sarwono 1994 dalam Santoso 2001) Morfologi
ikan belut dapat dilihat pada Lampiran 1.
Warna kulit belut terlihat berkilau dengan gurat sisi yang tampak jelas untuk
menjaga keseimbangan belut. Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau
sedikit lebih tinggi daripada tubuhnya. Belut sawah termasuk hewan karnivora,
memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis. Hasil analisis isi lambung
belut mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan
makan utama annelida yang umumnya ditemukan di persawahan dataran

rendah dan larva insekta yang umumnya ditemukan di daerah persawahan


dataran tinggi (Sarwono 2003).
Belut berbeda dengan sidat. Sidat memiliki sirip dada, punggung, dan sirip dubur
yang sempurna. Sidat memiliki sisik-sisik kecil yang berkumpul dalam kumpulan
kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap
kumpulan-kumpulan di sampingnya (Wang et al. 2009). Perbedaan belut dengan
sidat adalah belut tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi. Ciri
khas belut yang lain adalah tidak bersisik, dapat bernafas dari udara, bukaan
insang sempit, tidak memiliki kantung renang, dan tulang rusuk. Belut
merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut,
walaupun ada pula yang di air tawar (Qing et al. 2008).
Belut sawah dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh
permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi
dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang
masih terikat pada kulit. Pembersihan lendir pada belut membutuhkan tiga kali
pemberian abu gosok. Pengkulitan daging belut dapat dilakukan bagi yang ahli
(Sundoro 2005).
Komposisi kimia dan kegunaan suatu bahan dapat diketahui dengan
menggunakan analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende
Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865,
dengan menggolongkan komponen yang ada pada makanan (Utomo 2000).
Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan
nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan.
Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan
terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung dalam
makanan (Tilman et al. 2001). Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah
mengetahui rendemen dan analisis proksimat pada belut sawah.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Praktikum analisis proksimat dan rendemen pada belut sawah (Monopterus
albus) dilakukan pada hari Selasa, 8 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai
pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri
Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu belut sawah (Monopterus albus), es batu, dan abu
gosok. Alat yang digunakan untuk preparasi dan perhitungan kadar abu belut
sawah adalah wadah, telenan, pisau, tissue, alumunium foil, cawan porselen,
oven, desikator, tanur, timbangan analitik, dan alat tulis.
Prosedur Kerja
Praktikum ikan belut sawah (Monopterus albus) dimulai persiapan sampel berupa
2 ekor belut yang telah mati. Belut kemudian ditimbang dengan timbangan
analitik. Belut dipreparasi dengan dilumuri abu gosok. Pemberian abu gosok

berguna untuk menghilangkan lendir pada belut. Belut di fillet sepanjang tulang
punggung dan di-skinless untuk menghilangkan kulit. Bagian belut berupa
kepala, daging, tulang, kulit dan jeroan kemudian dipisahkan untuk ditimbang.
Hasil perhitungan kemudian diolah untuk mendapatkan nilai rendemen belut.
Analisis kadar abu pada belut sawah dimulai dengan pencacahan sampel yang
kemudian dibungkus dengan alumunium foil. Sampel kemudian ditimbang.
Cawan kosong dikeringkan ke dalam tanur lalu didinginkan di dalam desikator
dan ditimbang. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan ditanurkan
pada suhu 600 oC. Cawan yang berisi abu kemudian didinginkan dalam desikator
dan ditimbang dengan timbangan analitik. Diagram alir prosedur kerja kadar abu
disajikan pada Gambar 1.
Pemasukkan sampel dalam cawan, pemijaran, pemasukan 1 jam dalam tanur
600 oC

Penimbangan

Sampel belut sawah

Pengeringan 1 jam dalam oven 105 oC

Pendinginan dalam desikator 15 menit

Penimbangan

Kadar abu

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar abu ikan belut


HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Utomo
2000). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen
dihitung untuk memperkirakan persentase bagian tubuh ikan yang dapat
dimanfaatkan. Hasil pengukuran rendemen ikan belut sawah disajikan pada
Lampiran 3.
Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging ikan belut sawah rata-rata yang
didapat sebesar 44,11%. Penelitian yang dilakukan
Sulistyarini (2002)
menyatakan rendemen daging belut adalah
60,25%. Jumlah tersebut
termasuk kategori yang cukup besar karena menurut Tanikawa
(1971) dalam
Sulistyarini (2007) rendemen ikan secara umum sekitar 40%.
Menurut Sulistyarini (2007) semakin kecil ukuran ikan maka proporsi berat yang
dapat dimakan semakin besar. Persentase rendemen yang bervariasi antar jenis
ikan ditentukan oleh bentuk tubuh, makanan, dan umur yang dimiliki ikan.
Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 17,30%, rendemen kulit
sebesar 6,65%, rendemen kepala sebesar 17,29% dan rendemen tulang sebesar
13,89%. Rendemen terbesar terdapat pada daging yakni 44,11%. Rendemen
terkecil terdapat pada kulit sebesar 6,65%. Diagram pie rendemen ikan belut
disajikan pada Lampiran 4.
Pemanfaatan belut umumnya digunakan sebagai ikan konsumsi. Menurut
Sulistyarini (2007) belut berpotensi dijadikan kerupuk kulit dan kamoboko. Belut
juga dapat dijadikan sosis ikan, bakso, dan berbagai variasi makanan lain. Hal ini
disebabkan kandungan protein belut yang tergolong tinggi sekitar 14 gram
dalam 100 gr belut. Kepala belut berpotensi untuk dijadikan obat kuat, jeroan
belut dapat dimanfaatkan sebagai pakan, kulit belut dapat dijadikan bahan baku
pembuatan kerupuk, dan tulang belut dapat dijadikan tepung ikan.
Analisis proksimat bertujuan mengidentifikasi komposisi kimia belut sawah
(Monopterus albus). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni
merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia
suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam
pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat
menghitung total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian
secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga
memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari

suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta
testur dari suatu bahan pangan (Utomo 2000).
Analisis proksimat yang dilakukan menunjukkan ikan belut sawah mengandung
kadar protein sebesar 15,76%, kadar lemak sebesar 0,12%, kadar air sebesar
78,81%, dan kadar abu sebesar 0,33%. Komposisi kimia belut tiap 100 gram
menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) mengandung protein sebesar 14
gram, lemak 27 gram, kalori 303 kal, kalsium 20 mg, forfor 200 mg, besi 1 mg,
vitamin A 1600 SI, dan kadar air sebesar 58 gram.
Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi
komponen organik bahan pangan. Proses pembakaran menyebabkan bahanbahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu
(Winarno 2008). Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang
terkandung dalam bahan pangan tersebut. Mineral yang paling penting dalam
bahan pangan diantaranya kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), mangan
(Mn), kobalt (Co), besi (Fe), tembaga (Cu), natrium (Na), klor (Cl), kalium (K),
yodium (I), dan flour (F). Prinsip pengujian kadar abu (total mineral) dalam bahan
pangan ditentukan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan
organik pada suhu sekitar 550 oC 600 oC
(Muchtadi dan Ayustaningwarno
2010). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan kadar abu yang terdapat
pada belut sawah sebesar 0,33%. Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010)
menyatakan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi kandungan kadar mineral
sebesar 7%. Hal ini menunjukkan kadar abu yang dimiliki belut sawah tergolong
rendah. Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) menyatakan belut memiliki
kandungan kalsium sebesar 20 mg/100 gram, fosfor sebesar 200 mg/100 gram,
dan zat besi sebesar 1 mg/100 gram. Jika dalam dinyatakan dalam bentuk
persentase, total mineral yang dikandung belut
< 0,33% dari total berat
bahan.
Hasil kadar abu yang didapat jauh lebih tinggi dibandingkan hasil dari Sarwono
(1994) dalam Santoso (2001). Hal ini dapat disebabkan pengaruh pemberian abu
gosok pada belut. Rahman (2004) menyatakan abu gosok merupakan sisa bahan
anorganik yang didapat dari pembakaran suatu bahan, sehingga abu gosok juga
mengandung sejumlah mineral.
Proses preparasi ikan belut sawah yang tidak memperhatikan aspek sanitasi
memungkinkan mineral dalam abu gosok turut tercampur dalam daging belut.
Hal ini dapat terlihat dari persentase kadar abu yang didapat. Kadar abu yang
didapat dari praktikum sebesar 0,33% sementara kadar abu belut sawah
menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) <0,25%. Tinggi rendahnya kadar
abu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ozogul dan Ozogul
(2005) dalam Sulistyarini (2007) komposisi kimia suatu bahan pangan ditentukan
oleh jenis spesies, makanan, musim, letak geografis, tingkat kematangan gonad,
dan ukuran ikan. Kadar mineral merupakan salah satu komposisi kimia bahan
pangan, sehingga faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi kadar mineral
suatu bahan. Santoso (2001) menyatakan setiap lingkungan perairan dapat
menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di
dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang
berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini
nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing
bahan.

SIMPULAN DAN SARAN


Belut sawah merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dapat
dibudidayakan. Saat ini belut sudah menjadi komoditas ekspor ke beberapa
negara. Belut memiliki kandungan gizi yang baik. Analisis proksimat pada belut
dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar protein , kadar lemak, dan kadar
abu belut. Belut sawah (Monopterus albus) memiliki kadar air sebesar 78,81%,
kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.
Praktikum analisis proksimat belut perlu menggunakan belut dari spesies yang
berbeda agar dapat mengetahui perbandingan komposisi kimia dari spesies yang
berbeda tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
[DJPB] Ditjen Perikanan Budidaya. 2012. Belut, komoditas ekspor yang sudah
dapat dibudidayakan.http://www.kkp.go.id. (13 Mei 2012).

Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan


Pangan. Bandung: Alfabeta.

Qing H, Li L, Tao W, Daming Z, Qing-Yin Z. 2008. Purification and partial


characterization of glutathione transferase from the teleost Monopterus albus.
Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology. Vol
147 (1): 96-100.

Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga


vitalitas. htpp://www.kompas.co.id. (13 Mei 2012).

Sarwono B. 2003. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

Santoso HB. 2001. Belut Pemeliharaan dan Pembesaran.Yogyakarta: Kanisius.

Sulistyarini D. 2007. Pemanfaatan belut (Monopterus albus) dalam pembuatan


keripik. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian
Bogor.

Sundoro RMS. 2005. Belut Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta: Agromedia.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S.


2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas


Peternakan UGM

Wang X, Gong H, Yang J, Lin T. 2009. Purification of Anguilla anguilla serum


imunoglobulin by euglobulin precipitation.Fujian Journal of Agricultural
Sciences; Vol 9 (03): 103-108.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

LAMPIRAN
Lampiran 1 Morfologi belut sawah (Monopterus albus)
Sumber : Koleksi pribadi (2012)
Lampiran 2 Perhitungan kadar abu belut sawah (Monopterus albus)
Pengulangan 1:

cawan kosong

Sampel awal

= 3,10

gram

Berat cawan + sampel kering

= 23,86

gram

Pengulangan 2:

cawan kosong

Sampel awal

= 3,06

Berat cawan + sampel kering

= 40,22 gram

Kadar abu

= 23,85

gram

= 40,19

gram

gram

= berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan
Pengulangan 1
Kadar abu =
Kadar abu = 0,32%

Pengulangan 2
Kadar abu =
Kadar abu = 0,33%
Kadar abu rata-rata

= (0,32% + 0,33%)/ 2

Kadar abu rata-rata

= 0,325% 0,33%

Lampiran 3 Hasil rendemen belut sawah (Monopterus albus)


Berat
Kelompok Ulangan awal
(gr)
1

68

Rendemen
Daging Tulang
(%)
(%)

Kepala
(%)

Kulit
(%)

Jeroan
(%)

47,06

11,77

8,82

22,06

10,29

Rata-rata

47

55,32

17,02

10,64

6,38

10,64

57

49,12

12,28

12,28

7,02

19,30

42

52,38

11,90

11,90

4,76

19,00

55

50,90

12,7

7,27

9,09

20,04

62

43,50

14,51

4,83

8,06

29,03

42

47,60

14,28

11,90

4,76

21,46

54

50,00

9,25

9,25

7,40

24,00

72

51,39

25,00

6,94

8,33

8,34

49

51,03

28,57

8,16

6,12

6,12

46

54,34

15,22

8,70

6,52

15,22

57

50,80

14,04

12,28

8,77

14,04

65

46,20

12,30

6,20

6,20

29,10

63

41,30

14,30

7,90

7,90

28,60

46

47,83

10,87

6,52

4,35

30,43

74

54,05

10,81

10,81

10,81

3,52

56

44,11

13,89

17,29

6,65

18,05

Lampiran 4 Diagram pie rendemen belut sawah (Monopterus albus)

Keterangan: (
) rendemen kulit ; (
) rendemen jeroan; (
daging; (
) rendemen tulang dan kepala

) rendemen

PBB Cobia
Posted: Agustus 8, 2012 in pbb
0
Laporan Praktikum II

Asisten : Tri Kalbu Ardiningrum S.

m.k. Pengetahuan Bahan Baku


Industri Hasil Perairan

PENGUJIAN KADAR PROTEIN IKAN COBIA


(Rachycentron canadum)
Prisca Sari Paramudhita (C34100004)
Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor

28 Februari 2012

ABSTRAK
Ikan cobia (Rachycentroncanadum) merupakan ikan ekonomis penting di Asia.
Ikan cobia belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Ikan cobia
merupakan salah satu komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Analisis proksimat
dilakukan pada ikan cobia bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia dari ikan
cobia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.
Praktikum pengujian parameter kimia pada ikan cobia dilakukan pada Selasa, 28
Februari 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil
Perairan. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah perhitungan
morfometrik, penghitungan rendemen, dan analisis proksimat. Hasil uji
morfometrik menunjukkan panjang total ikan cobia adalah 54,5 cm dan tinggi

total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen daging ikan cobia sebesar
29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit 7,06%, dan rendemen kepala
dan tulang sebesar 46,73%. Analisis proksimat ikan cobia yang dibahas meliputi
kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu yang terkandung pada ikan
cobia. Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata
sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1%, dan
kadar abu sebesar 1,09%, dengan bobot utuh 1967,55 gram.

Kata kunci :analisisproksimat,ikan cobia,kadar protein, morfometrik, rendemen

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut yang besar. KKP
(2010) mengatakan Indonesia memiliki luas laut sekitar 5.176.800 km2dengan
volume produksi perikanan tangkap sebesar 5.384.418 ton pada tahun 2010.
Besarnya luas laut membuat Indonesia kaya akan sumberdaya perairan laut.
Salah satunya adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum).
Ikan cobia dikenal dengan nama Ling, Lemonfish, Crebeater dan Cobio. Ikan
ini termasuk ikan pelagis yang hidup di perairan tropis dan sub tropis. Ikan cobia
banyak ditemukan di Samudra Pasifik, Atlantik dan sebelah barat daya Meksiko.
Ikan cobia di Indonesia umumnya dijumpai di perairan Bali (Priyono et al. 2005).
Klasifikasi ikan cobia menurut Saanin (1984) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum

: Chordata

Kelas

: Actinopterygii

Ordo

: Perciformes

Famili

: Rachycentridae

Genus

: Rachycentron

Spesies

: Rachycentroncanadum

Ikan cobia memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo serta memiliki kepala dan
mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sisik berukuran kecil dan
terbenam dalam kulit yang tebal. Sirip punggung panjang dengan duri dan
memiliki jari-jari dengan rumus D VIIX, 30-33. Ikan cobia memiliki 6-9 duri
keras pendek yang terpisah satu dengan lainnya di depan sirip punggung. Sirip
dubur cukup panjang dengan duri dan jari-jari berumus A IIIII, 23-25 (Ditty
2002).
Badan ikan cobia berwarna coklat gelap dengan bagian bawah badan berwarna
kekuning-kuningan. Ikan cobia memiliki dua garis tebal keperakan sepanjang

tubuhnya pada ikan yang masih muda. Ukuran ikan di alam yang ditemukan
sekitar 80-100 cm dengan panjang maksimum 180 cm (FAO 2012).
Ikan cobia memiliki rasa yang sangat lezat dan mudah diolah menjadi masakan.
Warna daging ikan cobia putih dan banyak diminati di mancanegara. Hal ini yang
membuat budidaya ikan cobia mulai diminati masyarakat. Harga jual ikan cobia
untuk pasar ekspor mencapai 7-8 USD (Kaiser dan Holt 2004).
Tingginya potensi yang dimiliki ikan cobia membuat perlu dilakukannya
pengamatan komposisi kimia ikan cobia sehingga pemanfaatannya dapat
dilakukan secara maksimal. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah
analisis proksimat. Tujuan dilakukannya analisis proksimat pada ikan cobia
adalah mengetahui komposisi kimia dari ikan cobia, termasuk analisis kadar air,
kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Praktikum pengujian kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum),
dilakukan pada hari Selasa, 28 Februari 2012. Praktikum dilaksanakan pada
pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan
Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada praktikum pengujian parameter kimia (analisis
proksimat) adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum). Bahan lain yang
digunakan adalah H2SO4, asamborat dan HCl. Alat yang digunakan adalah
wadah tempat ikan, pisau bedah, tissue, lap, timbangan digital, cawan proselen,
kertas saring, alat destilasi lengkap, burret, kompor listrik, labu Kjeldahl, pipet
ukur, penggaris, penghitung waktu dan alat tulis.
ProsedurKerja
Praktikum pengujian kadar protein dilakukan dengan pematian ikan cobia
dengan cara ditusuk pada bagian medula oblongata. Ikan yang telah mati
kemudian ditimbang bobotnya. Pengukuran morfometrik kemudian dilakukan
pada ikan cobia meliputi panjang total dan tinggi badan. Ikan cobia kemudian
dihitung nilai rendemennya. Bobot utuh ditimbang dengan timbangan digital.
Jeroan, kulit, serta tulang dan kepala masing-masing dipisahkan dan ditimbang,
lalu dilakukan perhitungan nilai rendemen.
Analisis proksimat dilakukan pada ikan cobia meliputi analisis kadar air, kadar
lemak, kadar protein dan kadar abu. Perhitungan kadar protein ikan cobia
dilakukan dengan penimbangan 5 gram daging ikan cobia yang telah dicacah.
Analisis kadar protein dibagi menjadi tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan
titrasi. Tahap awal, sampel didestruksi dengan H2SO4pada suhu 410 oC hingga
sampel berwarna hijau bening. Filtrat hasil destruksi kemudian didestilasi dengan
penambahan larutan NaOH hingga sampel berubah warna menjadi hijau. Filtrat
hasil destilasi, dititrasi sampai terjadi perubahan warna menjadi merah seperti

warna semula. Diagram alir pengujian protein kasar pada ikan cobia disajikan
pada Gambar 1.

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar protein ikan cobia

HASIL DAN PEMBAHASAN


Morfologi adalah ilmu tentang ukuran ataupun bentuk makhluk hidup (Nishida et
al. 2000). Hasil praktikum menunjukkan ikan cobia memiliki bentuk tubuh
menyerupai torpedo (streamline), memiliki kepala dan mulut relatif lebar
dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sirip pada ikan cobia yaitu sirip punggung
(dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal) dan sirip
ekor (kaudal). Sirip dorsal pertama berupa duri yang berjumlah 7. Menururt Faulk

& Holt (2008) ikan cobia memiliki duri 6-9 pada sirip dorsal pertama. Morfologi
ikan cobia disajikan pada Lampiran 1.
Morfometrik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagian dari tubuh ikan yang
dapat diukur (Turan 2000). Pengukuran morfometrik ikan cobia meliputi panjang
total dan tinggi badan. Panjang total diukur dari ujung mulut hingga ujung
terakhir dari sirip kaudal. Tinggi badan diukur dari tinggi terpanjang dari pangkal
sirip dorsal. Panjang total yang didapat adalah 54,5 cm dan tinggi badan
sebesar 16,8 cm. Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan ikan cobia
yang didapat adalah adalah 3:1. Hasil yang didapat sesuai dengan pendapat
FAO (2012) yang mengatakan ikan cobia mempunyai rumus jari-jari sirip
DVIIX, 30-33, A IIIII, 23-25 sisik LL 35-39, dan perbandingan panjang total
dan tinggi badan sekitar 3:1.
Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Sentosa
2004). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen
digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat
digunakan. Hasil pengukuran rendemen ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.
Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging yang dimiliki ikan cobia adalah
sekitar 29,50%. Menurut Faulk & Holt (2008) rendemen daging ikan cobia
berkisar antara 20% 40%. Persentase rendemen yang bervariasi antara jenis
ikan ditentukan oleh bentuk tubuh dan umur yang dimiliki ikan.
Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 13,28%, rendemen kulit
sebesar 7,06%, dan rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73%. Rendemen
tertinggi terdapat pada kepala dan tulang. Hal ini disebabkan saat filletingmasih
terdapat daging ikan cobia yang menempel sehingga mempengaruhi nilai akhir
pengukuran rendemen. Perbandingan persentase rendemen antar bagian tubuh
ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.
Pemanfaatan ikan cobia saat ini umum digunakan sebagai ikan konsumsi. Ikan
cobia merupakan ekspor unggulan di negara Vietnam. Hal ini dikarenakan ikan
cobia memiliki rasa yang lezat (FAO 2012).
Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi
kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat
makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan
pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung dalam
makanan (Tilman et al. 2001).
Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode
umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan,
tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan
hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung Total Digestible
Nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari
suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan
diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara,
tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan
pangan (Utomo 2000).
Pengujian kadar protein ikan cobia dilakukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini
dilakukan dengan tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi
sampel menggunakan asam kuat yakni H2SO4. Asam kuat menurut Utomo

(2000) digunakan untuk memutus ikatan makro molekul dari suatu bahan
menjadi unsur-unsur yang sederhana. Proses destruksi umumnya menggunakan
katalisator seperti Selenium untuk mempercepat laju reaksi. Selenium berfungsi
mempercepat proses oksidasi karena Selenium dapat menaikkan titik didih
H2SO4 dan mudah melakukan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah
ataupun sebaliknya. Reaksi yang terdapat pada proses destruksi adalah
CxHyOzN+H2SO4(NH4)2SO4+CO2+ H2O
Destilasi sampel menggunakan NaOH dan asam borat. Larutan NaOH digunakan
untuk memecah ikatan ammonium sulfat menjadi ammonia (NH3). Ammonia
yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh asam borat 4% dalam jumlah
yang berlebihan (Tilman et al. 2001). Reaksi pada tahap destilasi adalah
(NH4)2SO4+NaOHNH3+Na2SO4 +H2O
NH3 + H3BO3NH4H2BO3 + O2
Tahap titrasi menggunakan kelebihan H2SO4 dengan larutan HCl. Hasil titrasi
mengubah warna larutan dari biru menjadi biru kehijauan (Muray 2002). Reaksi
pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:
NH4H2BO3 + HCl NH4Cl + H3BO3
Metode Kjeldahl yang digunakan dalam perhitungan kadar protein memiliki
beberapa keunggulan yaitu merupakan metode umum yang digunakan dalam
perhitungan kadar protein, cocok digunakan secara semimikro karena hanya
memerlukan jumlah sampel dan pereaksi dalam jumlah kecil, tidak memerlukan
waktu analisis yang panjang dan tidak memerlukan alat yang rumit dalam
perhitungannya. Kelemahan yang dimiliki metode Kjeldahl yakni mengasumsikan
semua nitrogen bahan pangan adalah protein, kenyataannya tidak semua
nitrogen berasal dari protein. Kelemahan yang kedua yang adalah asumsi bahwa
kadar nitrogen dalam protein adalah 16 %. Kenyataannya tidak selalu kadar
nitrogen yang terdapat pada suatu bahan pangan (khususnya ikan) adalah 16%.
Kelemahan ketiga adalah menggunakan asam sulfat pekat pada suhu tinggi
dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar (Muray 2002).
Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata
sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan
kadar abu 1,09%. Menurut Faulk dan Holt (2008) ikan cobia mengandung total
protein sebesar 25,4%. Hasil pengujian kadar protein ikan cobia berbeda jauh
dengan pendapat yang disampaikan Faulk dan Holt (2008). Perbedaan kadar
protein yang diperoleh dapat disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan
praktikum, perbedaan ras ikan cobia yang digunakan, habitat, jenis kelamin,
umur dan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Ozogul & Ozogul 2005).
Menurut Nurjanah (2011) ikan yang memiliki daging merah mengandung protein
dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding ikan yang mengandung daging putih.
Ikan yang memakan makanan yang kaya protein akan memiliki kadar protein
yang lebih tinggi dibanding ikan yang memakan makanan rendah protein. Umur
juga menentukan kadar protein dari ikan. Jouvenile umumnya mengandung
kadar protein rebih rendah dibanding ikan dewasa, karena hampir seluruh makan
pada jouvenile digunakan untuk pertumbuhan, berbeda dengan ikan dewasa
yang menggunkan makanan untuk perkembangan.

Pengujian analisis proksimat pada ikan cobia dapat memberikan pengetahuan


mengenai komposisi kimia pada ikan tersebut sehingga pemanfaatan ikan cobia
dapat dilakukan secara maksimal. Ikan cobia berpotensi dimanfaatkan sebagai
suplemen perawatan kulit karena mengandung vitamin E yang tinggi. Menurut
Faulk dan Holt (2008) ikan cobia mengandung vitamin E sekitar 10,2%.
SIMPULAN DAN SARAN
Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasikan
kandungan nutrisi pada bahan pangan. Praktikum analisis proksimat pada ikan
cobia menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar
73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan kadar abu
sebesar 1,09%. Hasil uji morfometrik ikan cobia menunjukkan panjang total
sebesar 54,5 cm dan tinggi total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen
daging ikan cobia sebesar 29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit
7,06%, rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73 %.
Metode kjeldahl hanya dapat menghitung kadar protein berdasarkan jumlah
Nitrogen, sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur daya cerna
protein dari suatu bahan pangan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persentase
penyerapan protein yang dapat dilakukan oleh tubuh.

DAFTAR PUSTAKA
Ditty JG. 2002. Larval development, distribution, and ecology of
cobia Rachycentron canadum in the northern Gulf of Mexico. Fishery
Bulletin 90(1): 668-677.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Cultured Aquatic Species


Information Programme Rachycentroncanadum(Linnaeus,
1766). www.fao.go.id. (12 Maret 2012).

Faulk CK dan Holt. 2008. Biochemical composition and quality of captivespawned cobia Rachycentron canadum eggs.Aquaculture 279 (2008): 70-76.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Data Statistik Perikanan


Tangkap di Indonesia. www.kkp.go.id. (3 Maret 2012).

Kaiser JB dan Holt GJ. 2004. Cobia: a new species for aquaculture in the
US. World Aquaculture, 35:12-14.

Muray RK. 2002. Harpers Biochemistry. USA: Prentice Hall International.

Nishida T, Y. Hayashi, Hashiguchi, dan SS Mansjoer. 2000. Distribution and


identification of jungle fowl in Indonesia.The Origin and Phylogeny of Indonesian
Native Livestock. Vol. 2 pp. 85-95.

Ozogul Y dan Ozogul F. 2005 Fatty acid profiles of commercially important fish
spesies from the Mediterannean important fish species from the Mediterannean. J
Food Chem 100: 1634-1638.

Priyono A, Slamet B, Sutarmat T. 2005. Pengamatan Beberapa Aspek Biologi Ikan


Cobia (Rachycentron canadum) dari Perairan Bali Utara. [Prosiding]. Bali: Balai
Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

Sentosa G. 2004. Pengaruh Lama Penyulingan terhadap Rendemen dan Mutu


Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi. [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara.

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S.


2001. IlmuMakananTernakDasar.Yogyakarta: Gajah mada University Press.

Turan C. 2000. A Note on The Examination of Morphometric Differentiation


Among Fish Populations: The Truss System. Journal of The University of Mustafa
Kemal, Faculty of Fisheries, Hatay-Turkey Vol 2B: 123-130.
Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas
Peternakan UGM

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi ikan cobia (Rachycentron canadum)


Sumber: FAO (2012)

Lampiran 2 Data persentase rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Ikan utuh

Berat
jeroan

Berat
kepala dan Berat kulit
tulang

Berat
daging

2713

407

1303

200

741

2713

407

1303

200

741

2713

407

1303

200

741

2713

407

1303

200

741

1222,1

188,7

536

78

420

1222,1

188,7

536

78

420

1222,1

188,1

536

78

420

1222,1

188,1

536

78

420

Rata-rata

1967,55

261,267

919,5

139

580,5

13,2788

46,73325

7,064624

29,5037

Kelompok

Persentase

Bobot/

Lampiran 3 Contoh perhitungan rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)


Perhitungan rendemen daging

Lampiran 4 Diagram pie rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Keterangan: (
daging;
(

( ) rendemen tulang; (

) rendemen jeroan; (

) rendemen

) rendemen kulit

Lampiran 5 Diagram pie analisis proksimat ikan cobia (Rachycentron canadum)


Keterangan: (
daging;
(

( ) kadar lemak;

) kadar abu;

) rendemen

) kadar protein

Lampiran 6 Perhitungan kadar air ikan cobia (Rachycentron canadum)


Diketahui: Bobot cawan kosong 1 = 21,16 gram
Bobot cawan kosong 2 = 27,55 gram
Sampel 1

= 5,000 gram

Sampel 2

= 5,060 gram

Berat cawan setelah 1 = 22,45 gram


Berat cawan setelah 2 = 28,97 gram
Kadar Air 1 :
Berat setelah dikeringkan

= 22,45 21,16 = 1,29

Kehilangan berat

= berat sampel awal berat setelah dikeringkan

= 5 1,29
= 3,71
Kadar Air 1

= 3,71/5 x 100% = 74,2%

Kadar Air 2 :
Berat setelah dikeringkan

= 28,97 27,55 = 1,42

Kehilangan berat

= berat sampel awal berat setelah dikeringkan

= 5,06 1,42
= 3,64
Kadar Air 2

= 3,64/5,06 x 100% = 71,94%

Kadar Air rata-rata = = 73,07%

Lampiran 7 Perhitungan kadar abu ikan cobia (Rachycentron canadum)


Diketahui

: Sampel kering awal 1

= 22,45 gram

Sampel kering awal 2

= 128,97 gram

Sampel kering setelah 1

= 21, 22 gram

Sampel kering setelah 2

= 27,60 gram

Kadar Abu 1
Berat abu 1

=(berat sampel + cawan akhir) (berat cawan kosong)

= 21,22 21,16
= 0,06
Kadar abu

= berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,06/5 x 100%
= 1,2%
Kadar Abu 2
Berat abu 1

=(berat sampel + cawan akhir) (berat cawan kosong)

= 27,60 27,55
= 0,05
Kadar abu

= berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,05/5,06 x 100%
= 0,98%
Kadar abu rata-rata = = 1,09%

Lampiran 8 Perhitungan kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum)


Diketahui: ml HCl sampel
ml Blanko
N HCl

= 0,9500 ml

= 0,0000 ml
= 0,1013 N

Faktor pengenceran = 10,000 kali


Sampel

= 1,0400 gram

8,1007%
Lampiran 9 Perhitungan kadar lemak ikan cobia (Rachycentron canadum)
Diketahui:

Labu lemak

Labu akhir

= 74,87 gram

= 74,50 gram

Berat Sampel = 5 gram

PBB Genjer
Posted: Agustus 8, 2012 in pbb
0
Laporan Praktikum V

Asisten: Silvia Handayani

m.k. Pengetahuan Bahan Baku


Industri Hasil Perairan

PENGUJIAN KOMPONEN BIOAKTIF GENJER (Limnocharis flava)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

Tanggal: 22 Mei 2012

ABSTRAK
Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai jenis
tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Salah satunya adalah
genjer. Genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman terna, yang tumbuh di
rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Komposisi kimia
tanaman genjer tiap 100 gram bahan mengandung energi sebesar 33 kkal,
protein kasar sebesar 1,7 gram, lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat
sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar 62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi
sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar
3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg,
vitamin C sebesar 54 mg, dan air sebesar 90 gram. Pemanfaatan tanaman
genjer diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap
polusi air, tanaman penghias kolam, dan pupuk. Praktikum pengujian komponen
bioaktif genjer (Limnocharis flava) dilakukan untuk mengetahui komponen
bioaktif pada genjer. Praktikum dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 di
Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil uji
fitokimia pada daun tumbuhan genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid,
fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid,
flavonoid, saponin, molish, biuret, dan ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula
pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada tanaman genjer.

Kata kunci: bioaktif, fitokimia, genjer, sayuran, steroid

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai


jenis tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Sayur dan buah sangat
baik untuk dikonsumsi oleh tubuh, karena selain mengandung vitamin, sayur dan
buah juga mengandung kadar serat yang tinggi. Salah satunya jenis sayur
adalah genjer (Limnocharis flava). Genjer merupakan tanaman terna, yang
tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Genjer
berasal dari negara bagian di Amerika Serikat yang beriklim tropis. Tanaman
genjer diperkenalkan ke Indonesia lebih dari satu abad yang lalu. Tanaman
genjer merupakan tumbuhan rawa yang berakar dalam tanah, bergetah, dan
menghasilkan tanaman baru dengan membesarkan tangkai bunganya sehingga
terbentuk akar pada ujungnya. Genjer tumbuh di tempat-tempat yang terendam
air, di parit-parit, kolam-kolam air tawar, dan sawah-sawah yang berair. Sawah
merupakan tempat tumbuh genjer dalam jumlah yang sangat besar (Bergh

1994 dalam Rusydi 2010).


(2008) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Liliopsida

Ordo

: Alismatales

Family

: Limnocharitaceae

Genus

: Limnocharis

Spesies

: Limnocharis flava

Klasifikasi tanaman genjer menurut Plantamor

Tanaman genjer memiliki umur lebih dari 1 tahun. Proses penanaman genjer
dilakukan dengan perendaman bagian tanaman ke dalam lumpur. Jenis tanaman
ini tumbuh luas dengan merumpun, memiliki tinggi sekitar 30 80 cm. Genjer
memiliki daun berbentuk bulat telur, tebal, dan berisi, dengan tangkai daun yang
panjang, berwarna hijau muda, bersisi tiga, sisi di belakang ujung daun berpori
dengan tepi berwarna keunguan, dan panjang daunnya berkisar 7,5 27 cm
(Heyne 1997 dalam Alfa 2003)
Genjer di Indonesia lebih banyak ditemukan di pulau Sumatera dan Jawa.
Genjer di pulau Jawa terdapat di dataran rendah bagian barat sampai dengan
ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Reproduksi tanaman genjer dapat
dilakukan secara vegetatif dan biji. Reproduksi vegetatif dilakukan oleh kapsul
yang menekuk ke arah air. Reproduksi secara biji terkandung dalam kapsul
matang atau folikel (Alfa 2003)
Menurut Heyne (1987) dalam Alfa (2003) di daerah Toba, genjer
digunakan sebagai makanan ternak terutama babi. Tanaman genjer juga dapat
dibudidayakan sebagai tanaman hias, selain itu genjer juga dapat dimanfaatkan
sebagai salah satu jenis sayuran. Menurut Alfa (2003) di Jawa Barat, daun-daun
muda dan bunga majemuk yang belum mekar merupakan sayuran yang sering
dijual di pasar. Pemanfaatan tanaman genjer secara umum diantaranya sebagai
sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman
penghias kolam, dan sebagai pupuk (Abilash et al. 2009). Tanaman genjer diolah
menjadi makanan oleh masyarakat India dan sebagian besar Asia Tenggara
dimana daunnya mengandung protein sekitar 1-1,6 % sebagai alternatif
tanaman bayam (Haynes dan Les 2004).
Tanaman genjer termasuk tanaman liar yang menghasilkan beberapa zatzat metabolit sekunder yang dikenal sebagai zat bioaktif (Rosydi 2010).
Beberapa jenis tanaman genjer dapatdigunakan untuk mengurangi dampat
logam berat (Alfa 2003). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya pengujian
komponen bioaktif pada tanaman genjer. Tujuan praktikum ini adalah
mengetahui komponen bioaktif pada genjer (Limnocharis flava) seperti alkaloid,
steroid, flavonoid, saponin, fenol hidroquinon, molish, benedict, biuret, dan
ninhidrin.

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat
Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer (Limnocharis flava)
dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul
13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil
Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan pada praktikum adalah hasil ekstraksi tumbuhan genjer,
kloroform, anhidra asetat, magnesium, HCl, asam sulfat 2N, pereaksi
Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, pereaksi Molish, FeCl3, pereaksi
Benedict, pereaksi Biuret, pereaksi Ninhidrin, dan etanol.
Alat yang digunakan adalah erlenmeyer 250 ml, pipet tetes, tabung
reaksi, rotary vacuum evaporator, gelas ukur, alumunium foil, timbangan
analitik, timbangan analitik, kertas saring, kapas, kompor listrik, dan alat tulis.
Prosedur Kerja
Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer diawali dengan
ekstraksi bahan. Metode ekstraksi yang digunakan merupakan ekstraksi tunggal
dengan 1 jenis pelarut yakni etanol 95%. Penyaringan terhadap sampel
kemudian dilakukan sebanyak 3 kali. Evaporasi pada sampel dilakukan selama
kurang lebih 5 jam. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 1.

Ekstraksi dengan etanol 95%

Genjer segar

preparasi

Penyaringan sebanyak 3 kali

Evaporasi selama 5 jam

Uji Fitokimia

Gambar 1. Diagram alir ekstraksi genjer (Limnocharis flava)


Hasil ekstraksi genjer kemudian diuji komponen bioaktinya melalui uji fitokimia.
Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin,
fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.
Uji Alkaloid
Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan
3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan
pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif
pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif pereaksi
Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.
Uji Steroid/Triterpenoid
Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan
10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang
terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan
hasil positif terhadap uji.
Uji Flavonoid

Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna


merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.
Uji Saponin (Busa)
Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air
yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada
penambahan sebanyak
1 tetes HCl 2 N. Hasil positif menunjukkan adanya
saponin pada suatu bahan.
Uji Fenol hidrokuinon
Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru
yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.

Uji Molish
Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi
molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel
menunjukkan uji positif molish.
Uji Benedict
Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan
benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau
yang terbentuk menunjukkan uji positif.
Uji Biuret
Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi
biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya
ikatan peptida pada sampel.
Uji Ninhidrin
Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan
ninhidrin 0,1%, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna
biru menunjukkan hasil positif asam amino.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Genjer (Limnocharis flava) umumnya dimanfaatkan sebagai sayuran. Bagian
tumbuhan genjer yang dimanfaatkan adalah daun yang umumnya berusia muda,
karena daun genjer yang tua umumnya memiliki rasa yang pahit. Daun dan
bunga tanaman genjer berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Hal ini
disebabkan, tanaman genjer mengandung kardenolin, flavonoid, dan polifenol.
Komposisi kimia tanaman genjer tiap 100 gram bahan menurut Rosydi (2010)
yakni mengandung energi sebesar 33 kkal, protein kasar sebesar 1,7 gram,
lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar
62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar
3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg, vitamin C sebesar 54 mg, dan air
sebesar 90 gram.

Prosedur pengujian komponen bioaktif genjer diawali dengan ekstraksi. Ekstraksi


adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan
massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan (Ditjen POM 2012). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan
padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat
memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda.
Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan
tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan
untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini
didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut,
dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi
masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah
tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe
pelarut (Tohir 2010).
Metode ekstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal.
Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum yang dilakukan
pada tanaman genjer (Limnocharis flava) menggunakan pelarut polar yakni
etanol dengan 3 kali penyaringan. Pemilihan etanol sebagai pelarut menurut
Handoko (1995) dalam Tohir (2010) didasarkan beberapa pertimbangan
diantaranya selektivitas, kelarutan, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih. Etanol
memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut yakni memiliki kemampuan
melarutkan ekstrak yang besar, beda kerapatan yang signifikan dengan genjer
sehingga mudah dipisahkan. Etanol yang memiliki rumus molekul C2H5OH tidak
bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, dan
mudah didapatkan. Pelarut etanol umumnya digunakan pada pelarut parfum
atau pewangi ruangan. Pelarut etanol memiliki titik didih yang tidak begitu tinggi
yakni 78,4 oC sehingga mudah larut atau terbakar dalam panas. Metanol
memiliki massa jenis sekitar 0,789 g/ml (Myers dan Myers 2007).
Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan
(Tohir 2010). Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret. Uji
fitokimia yang dilakukan pada tumbuhan genjer disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1 Uji fitokimia pada genjer


Uji

Hasil

Alkaloid

Dragendrof

Meyer

Wagner

Steroid

Flavonoid

Saponin

Molisch

Bannedict

Fenol
Hidroquinon

Ninhidrin

Biuret

Uji fitokimia pada genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, benedict, dan
fenol hidroquinon. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin,
molish, ninhidrin, dan biuret.
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010).
Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik
(menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran
darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal.
Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam
kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada
tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya pakupakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne
1987 dalamTohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil
metabolisme dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa
padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi.
Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai
persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu lama
(Lenny
2006 dalam Tohir 2010). Hasil praktikum yang dilakukan menunjukkan tumbuhan
genjer negatif terhadap uji alkaloid. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusydi
(2010) yang menyatakan tumbuhan genjer tidak mengandung senyawa bioaktif
alkaloid. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20 %
dari spesies angiospermae. Ketersediaan metabolit nitrogen yang sedikit pada
tanaman diduga karena ketersediaan unsur dari metabolit nitrogen yang
terbatas.
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan
isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu
skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain
minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa
dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai
pengatur pertumbuhan (seskuitertenoid abisin dan giberelin), karotenoid sebagai
pewarna dan memiliki peran membantu fotosintesis. Steroid merupakan
golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin,

glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi
kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat
digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987 dalam Tohir
2010). Praktikum yang dilakukan pada tumbuhan genjer menunjukkan tumbuhan
ini positif terhadap uji steroid/triterpenoid. Hasil yang didapat tidak sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Rusydi (2010). Menurut Rusydi (2010) genjer
tidak mengandung steroid/triterpenoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat
disebabkan oleh perbedaan hbitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh
tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.
Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid
merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai penangkap
oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat aktivitas
enzim lipooksigenase dan enzim siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir 2010).
Flavonoid berperan sebagai bahan pemberi rasa dari rempah-rempah dan
sayuran. Zat ini juga dapat memberi efek anti oksidasi pada hewan (Ujowundu et
al.2008). Flavonoid yang termasuk dalam komponen fenol menunjukkan fungsi
bagi tanaman seperti pertahanan dari herbivora dan patogen, penyerapan
cahaya, penarik pollinator,penghambat pertumbuhan dari tanman pesaing
(Wildman 2001). Hasil percobaan menunjukkan genjer negatif terhadap uji
flavonoid. Hasil yang tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010), yang
menyatakan flavonoid adalah komponen biokatif utama dari tumbuhan genjer,
karena hampir ditemukan di seluruh bagian pada tumbuhan tersebut. Perbedaan
hasil yang didapat dapat disebabkan oleh perbedaan hbitat, umur tanaman,
makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.
Tanaman genjer diduga cenderung membentuk fenol hidroquinon dibanding
flavonoid dalam metabolit sekundernya. Sintesis komponen flavonoid menurut
Rusydi (2010) dapat terbentuk dari asam amino protein melalui shikimate.
Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai
ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil.
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan
identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan
tumbuhan genjer positif terhadap uji fenol hidroquinon. Hasil yang didapat sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Maisuthisakul et al. (2008) yang mengatkan
total fenol pada tanaman genjer sebesar 5,4 mgGAE/g BDD.
Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika
dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis
sel darah merah
(Tohir 2010). Hasil percobaan menunjukkan genjer
negatif terhadap uji saponin. Hal ini sesuai dengan penelitian Rusydi (2010) yang
mengatakan genjer tidak mengandung saponin. Komponen saponin tidak
terdeteksi pada tanaman genjer karema unsur pembentuk saponin sangat
terbatas pada tanaman genjer seperti aglikon.
Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gula
pereduksi. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada uji Molish dan hasil positif
pada uji benedict. Menurut Rusydi (2010) genjer memiliki gula pereduksi yang
kuat pada bagian daun dan batang. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula

lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksida (senyawa penerima elektron).


Winarno (2008) mengatakan perbedaan hasil yang didapat dapat dikarenakan
gula pereduksi yang terdapat pada sampel uji mengandung senyawa keton yang
umumnya positif pada uji benedict.
Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan
ikatan peptida dalam bahan. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada biuret dan
nihidrin. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010) yang
menyatakan genjer positif terhadap nihidrin dan negatif pada biuret. Genjer
mengandung protein kasar sebesar 1,7 gram tiap 100 gram bahan. Perbedaan
hasil yang didapat menurut Rusydi (2010) karena asam amino yang terkandung
dalam genjer dalam jumlah kecil. Asam amino yang terdapat di dalamnya diduga
lebih banyak merupakan asam amino non protein. Asam amino pada genjer
merupakan asam amino hidrofilik (menyukai air).

SIMPULAN DAN SARAN


Ekstraksi pada genjer digunakan memisahkan bahan padat dan bahan cair
dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi digunakan sebagai sampel uji
fitokimia tumbuhan genjer. Hasil uji fitokimia pada daun tumbuhan genjer
menunjukkan hasil positif pada uji steroid, fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil
negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, biuret, dan
ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder
utama pada tanaman genjer.
Pengujian fitokimia pada tumbuhan genjer perlu menggunakan bagian lain
dalam tumbuhan tersebut seperti buah atau batang agar perbandingan
komposisi kimia dalam genjer dapat diketahui. Diperlukan pengujian kuantitatif
pada uji fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

DAFTAR PUSTAKA

Alfa DF. 2003. Kemampuan genjer, kangkung air, dan selada air untuk
menurukan konsentrasi logam timbal (Pb) di dalam air. [skripsi] Bogor: Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Abilash PC. Pundey VC, Srivastava P, Rakesh PS, Chandran S, Singh N, Thomas
AP. 2009. Phytofiltration of cadmium from water by Limnocharis flava (l.) grown
in free-floating culture system. Journal of Huzurdous Materials. Vol. 170: 791-797.

Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.

Haynes RR dan Les DH. 2004. Alismates (water


plantains). http://www.els.net. (23 Mei 2012).

Maisuthisakul P, Pasuk S, Ritthiruangdej P. 2008. Relationship between


antioxydant properties and chemical composition of some Thai plants. Journal of
Food Composition and Analysis. 21(1): 229-240.

Myers RL dan Myers RL. 2007. The 100 most important chemical compounds: a
reference guide. Westport: Greenwood Press.

Plantamor. 2008. Genjer. http://www.plantamor.com. (23 Mei 2012.

Rusydi R. 2010. Analisis mikroskopis komponene bioaktif tanaman genjer


(Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor. [skripsi] Bogor: Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk
menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik
Pertanian 15 (1): 37-40.

Ujowundu CO, Igwee CU, Enemor VHA, Nwaogu LA, Okafor OE. 2008. Nutritive
and anti- nutritive properties of
Boerhavia diffusa and
Comnelina
nudiflora Leaves. Journal of Nutrion. &(1): 90- 92.

Wildman REC. 2001. Classfying nutraceuticals. Di dalam Wildman REC


editor. Handbook of Neutraceuticals and Fuctional Foods. New York: CRC Press.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

Anda mungkin juga menyukai