PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious
disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium
diphtheriae yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian
tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring.
Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar oleh carier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan
bersin penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini adalah
Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan
dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada umumnya
menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan
10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC,
Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah satu
penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Diperkirakan1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah
akibat PD3I. Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan
kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri
digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun
dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif rendah.
Lingkungan
buruk
merupakan
sumber
dan
penularan
penyakit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring
otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada kasuskasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher
dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan ditandai rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung kongestif yang
progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi pada difteri
kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang
lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo (Kadun, 2006)
2.2 Penyebab
Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheria. Berbentuk
batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman
sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin.
Toxin difteri ini, karena mempunayi efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit.
Ada tiga type varian dari Corynebacterium diphtheria ini yaitu : type mitis,
typeintermedius dan type gravis.
Corynebacterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan
gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tak bergerak.
Corynebacterium diphtheriae terdiri dari 3 biovar, yaitu gravis, mitis, dan
intermedius. Di alam, bakteri ini terdapat dalam saluran pernapasan, dalam lukaluka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang membawa bakteri.
Bakteri yang berada dalam tubuh akan mengeluarkan toksin yang aktivitasnya
menimbulkan penyakit difteri. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan,
terutama terutama laring, amandel dan tenggorokan. Penyakit ini sering kali
diderita oleh bayi dan anak-anak. Perawatan bagi penyakit ini adalah dengan
pemberian antitoksin difteri untuk menetralkan racun difteri, serta eritromisin atau
penisilin untuk membunuh bakteri difteri. Sedangkan untuk pencegahan bisa
dilakukan dengan vaksinasi dengan vaksin DPT.
Spesies Corynebacterium Diphteriae adalah kuman batang gram-positif
(basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora,
mati pada pemanasan 60C, tahan dalam keadaan beku dan kering. Dengan
pewarnaan, kuman ini bisa terlihat dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau
merupakan formasi mirip huruf China. Kuman tidak bersifat selektif dalam
pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu (yaitu sistin telurit
agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi, dan bila
direduksi oleh C. diphtheriae akan membuat koloni menjadi abu-abu hitam, atau
dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi
granul yang berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni
akan berwarna krem. Pada membran mukosa manusia C.diphtheriae dapat hidup
bersama-sama dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan
khusus dengan cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe garvis,
intermedius dan mistis namun dipandang dari sudut antigenitas sebenarnya basil
ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan mempunyai banyak tipe
serologik. Hal ini mungkin bias menerangkan mengapa pada seorang pasien biasa
mempunyai kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas C.diphtheriae
adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in-vivo maupun in-vitro,
toksin ini dapat diperagakan dengan uji netralisasi toksin in vivo pada marmut (uji
kematian) atau diperagakan in vitro dengan teknik imunopresipitin agar (uji Elek)
yaitu suatu uji reaksi polimerase pengamatan. Eksotoksin ini merupakan suatu
protein dengan berat molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas atau cahaya,
mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (amino-terminal) dan fragmen B
(karboksi-terminal).
Kemampuan
suatu
strain
untuk
membentuk
atau
diphtheria
dapat
diklasifikasikan
dengan
cara
bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6
termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas,
sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium
diphtheria ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat
ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang
berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar
mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah
disitu membaran putih keabu-abuan (psedomembrane).
Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini
bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang
memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada
disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin
dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai
jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan.
Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan
dapat timbul nefritis interstisial.
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringea
karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran
nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa
mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronco
pneumoni.
Preparat yang dibuat langsung dari specimen yang baru diambil dari
pasien, letanya bakteri seperti huruf huruf L, V, W, atau tangan yang
jarinya terbuka atau sering di kenal sebagian Susunan sejajar / paralel /
palisade / sudut tajam huruf V, L, Y / tulisan cina
Corynebacteria berdiameter 0,5-1 m dan panjangnya beberapa mikrometer,
tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, dan tidak tahan asam. C.
6
dari tiga tipe dapat dikaitkan dengan kemampuan relatif mereka untuk
memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan
masing-masing.
Strain gravis memiliki waktu generasi (in vitro) dari 60 menit; strain
intermedius memiliki waktu generasi dari sekitar 100 menit,dan mitis memiliki
waktu generasi dari sekitar 180 menit.. Dalam tenggorokan (in vivo),tingkat
pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras
pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan.
Klasifikasi
:
:
:
:
:
:
Bacteria
Actinobacteria
Actinomycetales
Corynebacteriaceae
Corynebacterium
C. diphtheria
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai
6 bulan.
Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. Ciri
khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa
reaksiradang lokal , dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel
darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran
putih keabu-abuan (psedomembran). Membran ini sukar diangkat dan mudah
berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini
mengeluarkan
Penderita yang paling berat didapatkan pada difteri fauncial dan faringeal
(Depkes,2007).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring
(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan
pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejalakomplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung)
paralisis
10
11
Diagnosis Banding
Difteria Hidung, penyakit yang menyerupai difteria hidung ialah
rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda asing dalam
hidung, snuffles (lues congenital).
Difteria Faring, harus dibedakan dengan tonsillitis membranosa akut yang
disebabkan oleh streptokokus (tonsillitis akut, septic sore throat),
mononucleosis infeksiosa, tonsillitis membranosa non-bakterial, tonsillitis
herpetika primer, moniliasis, blood dyscrasia, pasca tonsilektomi.
Difteria Laring, gejala difteria laring menyerupai laryngitis, dapat
menyerupai infectious croups yang lain yaitu spasmodic croup,
angioneurotic edema pada laring, dan benda asing dalam laring.
Difteria Kulit, perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus.
Manifestasi Klinis
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias
bervariasi dari tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai factor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas C. diphtheriae ( kemampuan kuman membentuk
toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit
sistemik penyerta dan penyakit pada daerah nasofaring yang sudah sebelumnya.
Difteria mempunyai masa tunas 2 hari. Pasien pada umumnya dating untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam jarang
melebihi 38,9C dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit
difteria.
Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (jangkauan, 1-10 hari). Untuk tujuan
klinis, akan lebih mudah untuk mengklasifikasikan difteri menjadi beberapa
manifestasi, tergantung pada tempat penyakit.
1. Anterior nasal difteri : Biasanya ditandai dengan keluarnya cairan hidung
mukopurulen (berisi baik lendir dan nanah) yang mungkin darah menjadi
kebiruan. Penyakit ini cukup ringan karena penyerapan sistemik toksin di
12
lokasi ini, dan dapat diakhiri dengan cepat oleh antitoksin dan terapi
antibiotik.
2. Pharyngeal dan difteri tonsillar : Tempat yang paling umum adalah infeksi
faring dan tonsil. Awal gejala termasuk malaise, sakit tenggorokan,
anoreksia, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Pasien bisa sembuh jika
toksin diserap. Komplikasi jika pucat, denyut nadi cepat, pingsan, koma,
dan mungkin mati dalam jangka waktu 6 sampai 10 hari. Pasien dengan
penyakit yang parah dapat ditandai terjadinya edema pada daerah
submandibular dan leher anterior bersama dengan limfadenopati.
3. Difteri laring : Difteri laring dapat berupa perpanjangan bentuk faring.
Gejala termasuk demam, suara serak, dan batuk menggonggong. membran
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, koma, dan kematian.
4. Difteri kulit : Difteri kulit cukup umum di daerah tropis. Infeksi kulit dapat
terlihat oleh ruam atau ulkus dengan batas tepi dan membran yang jelas.
Situs lain keterlibatan termasuk selaput lendir dari konjungtiva dan daerah
vulvo-vagina, serta kanal auditori eksternal.
Kebanyakan komplikasi difteri, termasuk kematian, yang disebabkan oleh
pengaruh toksin terkait dengan perluasan penyakit lokal. Komplikasi yang paling
sering adalah miokarditis difteri dan neuritis. Miokarditis berupa irama jantung
yang tidak normal dan dapat menyebabkan gagal jantung. Jika miokarditis terjadi
pada bagian awal, sering berakibat fatal. Neuritis paling sering mempengaruhi
saraf motorik. Kelumpuhan dari jaringan lunak, otot mata, tungkai, dan
kelumpuhan diafragma dapat terjadi pada minggu ketiga atau setelah minggu
kelima penyakit.
Komplikasi lain termasuk otitis media dan insufisiensi pernafasan karena
obstruksi jalan napas, terutama pada bayi. Tingkat fatalitas kasus keseluruhan
untuk difteri adalah 5% -10%, dengan tingkat kematian lebih tinggi (hingga 20%).
Namun, tingkat fatalitas kasus untuk difteri telah berubah sangat sedikit selama 50
tahun terakhir.
13
2.4 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital
dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput
lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai
ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke
pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara
menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk
dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar
melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh,
terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan
masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu
atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa
inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6
bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan.
Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf
lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu
pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan
pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara
perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan
buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
14
15
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf. Pada
miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan mitochondria,
dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis. Setelah terjadi
kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat akan terjadi, diikuti dengan
perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi pada
keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik lebih sering
terlibat dan lebih berat.
2.5 Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang
anak-anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di
bawah 15 tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan
penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta
kematian bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan
imunisasi. Tanpa imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal
karena penyakit campak, 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk
rejan. 1 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari
setiap 200.000 anak, 1 akan menderita penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat
sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber
dan penularan penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis
dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri
diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri
akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini.
16
3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak
mempunyai system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang
biak dan berpotensi untuk terjangkit penyakit difteri.
2.6 Diagnosis
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan
berdasarkan gejala-gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena
preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan
waktu beberapa hari.
Cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent
antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti
dengan isolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan
dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri,
karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi
membran pada difteri agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna
membran pada difteri lebih gelap dan lebih keabu-abuan disertai dengan lebih
banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di bawahnya. Bila diangkat terjadi
perdarahan. Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke uvula.
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberian
antitoksin
sangat
mempengaruhi
prognosa.
Diagnosa
harus
17
membengkak
seperti
leher
sapi
(bullneck),
disebabkan
serta
toksinogenesitas
(kemampuan
membentuk
toksin)
18
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke
distal ke laring dan trachea.
c. Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas.
d. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas
yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah
ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan
disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan
(spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada
anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL
Depkes,2003).
2.7 Patogenesis
Kuman Corynebacterium diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat
serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan
mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah. Efek
toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam
sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2 asam amino
yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
19
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain
untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA +
dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim traslokase (elongation factor-2) yang aktif.
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi
enzim translokase melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2
(inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan
proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida
yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah
kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-sama dengan
jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas.
Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu
kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain fibrin, membran
juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran
akan terjadi perdarahan. Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa
penyembuhan.
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous
dapat menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan
perluasan penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang
diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama
jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang
bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah
melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat
masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah
3-7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung
20
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan system
konduksi,. Apabila pasien tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.
Di alam, Corynebacterium diphtheria terdapat dalam saluran pernapasan,
dalam luka - luka, pada kulit orang yang terinfeksi, atau orang normal yang
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui droplet atau kontak dengan
individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit
yang lecet, dan bakteri mulai menghasilkan toksin. Pembentukan toksin ini secara
in vitro terutama bergantung pada kadar besi. Pembentukan toksin optimal pada
kadar besi 0,14 g/ml perbenihan tetapi benar-benar tertekan pada 0,5 g/ml.
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya toksin in vitro adalah tekanan osmotik,
kadar asam amino, pH, dan tersedianya sumber-sumber karbon dan nitrogen yang
cocok.
Toksin difteri adalah polipeptoda tidak tahan panas (BM 62.000) yang dapat
mematikan pada dosis 0,1 g/kg. Bila ikatan disulfidea dipecah, molekul dapat
terbagi menjadi 2 fragmen, yaitu fragmen A dan fragmen B. Fragmen B tidak
mempunyai aktivitas tersendiri, tetapi diperlukan untuk pemindahan fragmen A
ke dalam sel. Fragmen A menghambat pemanjangan rantai polipeptida (jika ada
NAD) dengan menghentikan aktivitas faktor pemanjangan EF-2. Faktor ini
diperlukan untuk translokasi polipeptidil-RNA transfer dari akseptor ke tempat
donor pada ribosom eukariotik. Fragmen toksin A menghentikan aktivitas EF-2
dengan mengkatalisis reaksi yang menhasilkan nikotinamid bebas ditambah suatu
kompleks adenosin di fosfat-ribosa-EF-2 yang tidak aktif. Diduga bahwa efek
nekrotik dan neurotoksik toksin difteria disebabkan oleh penghentian sintesis
protein yang mendadak.
Patogenisitas Corynebacterium diphtheriae mencakup dua fenomena yang
berbeda, yaitu :
1. Invasi jaringan lokal dari tenggorokan, yang membutuhkan kolonisasi dan
proliferasi bakteri berikutnya. Sedikit yang diketahui tentang mekanisme
21
22
tonsil,
faring,
atau
laring.
Setiap
usaha
untuk
membuang
23
24
25
aspirasi. Neuropati cranial khas terjadi pada minggu ke-5 dan menyebabkan
paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus,
pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi. Polineuropati simetris mulainya 1
hari sampai 3 bulan sesudah infeksi orofaring dan terutama menyebabkan deficit
motor dengan hilangnya refleks tendon dalam. Kelemahan otot proksimal tungkai
menyebar kedistal dan lebih sering. Tanda-tanda klinis dan cairan serebrospinal
pada yang kedua tidak dapat dibedakan dari tanda-tanda klinis dan cairan
serebrospinal polineuropati sindrom Landry-Guillain-Barre. Paralisis diafragma
dapat terjadi. Mungkin terjadi penyembuhan sempurna. 2 atau 3 minggu sesudah
mulai sakit jarang ada disfungsi pusat-pusat vasomotor yang dapat menyebabkan
hipotensi atau gagal jantung.
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah
toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan
nafas
3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin.
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut
menjadi
gagal
jantung.
Kerusakan
sistem
saraf
berupa
kelumpuhan
saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat
kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
2.9 Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran
membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan
perawatan umum. (8) Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik,
lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara
lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri.
26
sediaan
langsung
menunjukkan
tidak
terdapat
27
dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah
dosis kedua.
Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT
atau Td. Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia
1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri
(D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau
sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin
mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6
tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin
penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan
hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukan Corynebacterium diphtheriae,
penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya setelah seseorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak yang telah mendapat
imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi
tidak
mempunyai
antibody
terhadap
organismenya.
Keadaan
demikian
28
dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya
superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang
lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid
difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid
difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria.
Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada
penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Sebelum
pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
29
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan
untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan
untuk difteria digunakan eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G,
atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai
gejala.
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika
tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan Kontak
30
31
32
33
34
luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya
dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi
sumber
penularan
bagi
yang
lain.
Pengobatan
difteri
difokuskan
35
muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang
terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya
masih positif dan imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan
membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria
Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil
saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.
Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi
3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 3040mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis
Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan
tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi
DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri,
pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya
diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan ). DPT
pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya
yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya
diberikan pada anak Sekolah Dasar kelas 1 .
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat
menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakanulang
pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi
booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran
sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak.
36
Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40
tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
a. Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi
bakteri
difteri
akan
membentuk
membran
abu-abu
yang
dapat
37
vaksin,
vaksinasi kurang
artinya
pada
saat
proses
pemberian
Lingkungan,
artinya
lingkungan
yang
buruk
Letak
rumah
yang
berdekatan
sangat
mudah
sekali
tingkat
pengetahuan
ibu,
dimana
BAB III
38
PENUTUP
3.1 Keimpulan
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan
kuman penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri
faring, difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber
penularan
penyakit
difteri
ini
adalah
manusia,
baik
39
DAFTAR PUSTAKA
40
(Pedoman
41