1. Jelaskan oleh saudara apa yang menjadi ruang lingkup hukum pidana, dan hukum pidana
mengatur apa saja, serta diberlakukan untuk siapa saja?
2. Mengapa hukum pidana dikategorikan sebagai hukum public, dan dalam hal apa saja
hukum pidana mengatur mengenai persoalan privasi?
3. Jelaskan oleh saudara pengertian hukum pidana menurut pandangan minoritis dan
dualistis?
4. Jelaskan oleh saudara mengapa hukum pidana mempunyai fungsi sebagai Ultimum
Remedium?
5. Jelaskan oleh saudara masalah-masalah yang diatur dalam Pasal I, Pasal V, Pasal VI, dan
Pasal VIII, serta Pasal XVIII, disertai pandangan ahli (Doktrin) dan atau teori?
6. Jelaskan oleh saudara kedudukan KUHP sebagai sumber hukum pidana dalam hukum
pidana nasional dalam kerangka pembaharuan hukum pidana?
7. Kemukakan pendapat saudara apa yang menjadi batas-batas, problematic implementasi
berlakunya hukum pidana, baik menurut waktu (tempus) maupun menurut tempat
(Locus), disertai pula teori, doktrin dan contoh?
8. Jelaskan oleh saudara mengenai tindak pidana:
a. Pengertian, pandangan, Doktrin;
b. Unsur-unsur dan penerapannya;
c. Unsur yang selalu melekat dalam suatu tindak pidana, disertai ajaran/prinsip,
teori, doktrin dan yurisprudensi.
9. Jelaskan oleh saudara konsep ajaran melawan hukum dan bagaimana ajaran melawan
hukum materil dalam praktik?
10. Jelaskan oleh saudara teori-teori kausalitas dalam praktik dan apa permasalahanpermasalahannya?
11. Uraikan jawaban saudara mengenai subjek tindak pidana menurut KUHP, diluar KUHP
dan konsep Rancangan KUHP?
12. Jelaskan oleh saudara mengenai pertanggungjawaban pidana :
a. Unsur-unsur dan konsekwensinya;
b. Bentuk-bentuk kesalahan termasuk teori, doktrin dan permasalahannya.
13. Jelaskan oleh saudara mengenai alasan pembenar dan alasan pemaaf dan apa kaitannta
dengan pidana dan pemidanaan?
14. Jelaskan oleh saudara tujuan, teori pidana dan pemidanaan?
15. Berikan komentar saudara kasus dilihat dari perspektif hukum pidana?
Jawaban :
1. Hukum Pidana mempunyai ruang lingkup yaitu apa yang disebut dengan peristiwa pidana
atau delik ataupun tindak pidana, dan Sikap tindak yang dapat dihukum/dikenai sanksi .
Menurut Simons peristiwa pidana ialah perbuatan salah dan melawan hukum yang
diancam pidana dan dilakukan seseorang yang mampu bertanggung jawab. Hukum
pidana merupakan hukum publik yang mengatur tentang perbuatan-perbutan yang
dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap
pelanggarnya. Hukum pidana sekalipun memberikan sanksi hukuman yang bersifat
pembatasan maupun kenestapaan bagi orang yang melanggarnya, namun pada sisi lain
penegakan hukum pidana bertujuan untuk menegakkan nilai kemanusiaan (hak asasi
manusia) demi kepentingan yang lebih luas (umum).
Orang = Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 1921) mengatakan bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau subyek
di dalam hukum. Sebagaimana kami sarikan, seseorang dikatakan sebagai subjek hukum
(pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal. Bahkan, jika
diperlukan (seperti misalnya dalam hal waris), dapat dihitung sejak ia dalam kandungan,
asal ia kemudian dilahirkan dalam keadaan hidup.
Badan Hukum = Subekti (Ibid, hal 21) mengatakan bahwa di samping orang, badanbadan atau perkumpulan-perkumpulan juga memiliki hak dan melakukan perbuatan
hukum seperti seorang manusia. Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu
mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara
pengurusnya, dapat digugat, dan dapat juga menggugat di muka hakim.
2. Van Hamel mellihat hukum pidana termasuk pidana sebagai hukum publik dikarenakan
yang menjalankan hukum pidan itu sepenuhnya terletak di tangan pemerintah.
Sedangkan Simons berpendapat hukum pidana sebagai hukum publik karena hukum
pidana tersebut mengatur hubungan individu dengan masyarakatnya sebagai warga
masyarakat. Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat dan juga dijalankan
hanya dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya.
3. A.
Pandangan Monistis
Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat
untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan. Pandangan ini
memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa didalam pengertian perbuatan atau
tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan yang dilarang (criminal act) dan
pertanggung-jawaban pidana atau kesalahan (Criminal responbility).
Pada dasarnya pandangan ini tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai
perbuatan dengan unsur-unsur mengenai orangnya.
pengertian tidak pidana dari para sarjana yang menganut pandangan Monistis. Misalnya
menurut Simon. Dimana menurutnya tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum
yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan yang oleh undang-undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. Dengan batasan seperti ini, maka
menurut Simon, untuk adanya suatu tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
1) Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun
2)
3)
4)
5)
Dengan penjelasan seperti tersebut diatas, maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat
adanya pidana telah melekat pada perbuatan pidana. Simon tidak memisahkan antara
criminal act dan Criminal responbility.
B. Pandangan Dualistis
Berbeda dengan pandangan Monistis yang melihat kesalahan syarat adanya pidana
telah melekat pada perbuatan pidana, pandangan dualistis memisahkan antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Apabila menurut pandangan Monistis dalam
pengertian tindak pidana sudah tercakup di dalamnya baik usur perbuatan maupun unsur
orangnya. Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya mencakup
perbuatannya saja. Sedangkan pertanggung jawaban pidana tidak menjadi unsur tindak
pidana. Menurut pandangan dualistis, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila
telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau
pertanggungjawab pidana. Gambaran tentang bagaimana pandangan dualistis dapat
terlihat dari pandangan Moeljatno yang menyatakan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut, Dengan penjelan
untuk terjadinya perbuatan atau tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur sebagai
berikut:
1) Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusana dalam undangundang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1
(1) KUHP )
2) bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan
ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
Negatif)
Disamping pengertian tersebut, Moelyatno juga menegaskan bahwa untuk adanya
pidana tidak cukup hanya dengan telah terjadinya tindak pidana, tanpa mempersoalkan
apakah orang yang melakukan perbuatan itu mampu bertanggungjawab atau tidak. Jadi
peristiwanya adalah tindak pidana, tetapi apakah orang yang telah melakukan perbuatan
itu benar-benar dipidana atau tidak, akan dilihat bagaimana keadaan bathin orang itu dan
bagaimana hubungan bathin antara perbuatan yang terjadi dengan orang itu. Apabila
perbuatan yang terjadi itu dapat dicelakan kepada orang itu, yang berarti dalam hal ini
ada kesalahan dalam diri orang itu, maka orang itu dapat dijatuhi pidana, demikian
sebaliknya.
4. Dalam hukum pidana, kita mengenal istilah ultimum remidium. Artinya bahwa sanksi
pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan
perkataan lain, dalam suatu undang-undang sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi
yang terakhir,setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.
Mengapa mekanisme ini dipergunakan. Agar selain memberikan kepastian hukum juga
agar proses hukum pidana yang cukup panjang dapat memberikan keadilan baik terhadap
korban maupun terhadap pelaku itu sendiri.
Dalam perkembangan ilmu hukum pidana yang sudah jauh maju, upaya ultimum
remedium merupakan senjata terakhir dipergunakan. Senjata terakhir (ultimum
remedium) merupakan upaya-upaya lain sudah ditempuh. Baik gugatan perdata, sanksi
administrasi maupun upaya -upaya lain.
Tindak pidana korupsi juga memberikan ruang untuk menerapkan ketentuan ini. Baik
diatur didalam Keppres No. 80 Tahun 2003 maupun didalam Perpres No. 54 tahun 2010.
Pasal-pasal yang mengatur tentang upaya pidana dilakukan ditandai dengan teguran
kepada pejabat, penggantian kerugian negara dalam periode waktu dan kemudian
barulah diserahkan kepada penegak hukum.
Mekanisme ini didasarkan selain agar tercapainya hukum menciptakan keadilan,
memudahkan penagihan kerugian negara maupun menghemat biaya persidangan yang
cenderung lama-lama, rumit bahkan ketika akan dijatuhi eksekusi seringkali harus
bertete-tele, juga dengan prinsip hukum itu sendiri yaitu memberikan kepastian hukum
baik kepada negara maupun kepada pelaku itu sendiri.
5.
6. Kedudukan KUHP Nasional
Kehadiran Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional yang ideal sangat
ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena sebagian dari pasal-pasal KUHP
yang dipakai sekarang, tidak cocok dan sesuai lagi dengan kultur dan budaya kita. Oleh
karenanya, upaya pembaharuan dan penyempurnaan KUHP tersebut terus dilakukan
untuk mengganti KUHP warisan kolonial Belanda. Namun, upaya ini tidaklah mudah dan
membutuhkan bahan kajian komperatif yang kritis dan konstruktif.
Menurut sejarahnya, KUHP yang kini berlaku di Indonesia berasal dari Wet Boek
van Strafrecht Belanda tahun 1915 dan mulai berlaku sejak 1918. Setelah Indonesia
merdeka, buku tersebut tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 dan
dikukuhkan dengan UU No. 1 Tahun 1946. Dalam perjalanannya, ia mengalami
perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Sejak tahun 1977, pemerintah
Indonesia telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun konsep RUU KUHP
Nasional. Konsep RUU KUHP tersebut berasal dari KUHP lama, KUHP negara-negara
lain, hasil simposium, seminar, lokakarya, serta masukan dari berbagai kalangan.
7.
8. A. trafbaar feit merupakan istilah asli bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan berbagai arti diantaranya yaitu, tindak pidana, delik, perbuatan
pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat dipidana. Kata Strafbaar
feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai
terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum.
Perkataan baar diterjemahkan
dengan
dapat
dan
boleh,
sedangkan
untuk
secara
diam-diam
dianggap
Roni
Wiyanto mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan (handeling) yang diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig)
dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Van Hmamel juga sependapat dengan rumusan tindak pidana dari simons, tetapi
menambahkan adanya sifat perbuatan yang mempunyai sifat dapat dihukum. Jadi,
pengertian tindak pidana menurut Van Hamael meliputi lima unsur, sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
9. Salah satu unsur utama tindak pidana yang bersifat objektif adalah sifat melawan hukum.
Hal ini dikaitkan pada asas legalitas yang tersirat pada pasal 1 KUHP.Sifat melawan
hukum
materiil
Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undangundang (yang tertulis) saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang
tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata masuk dalam
rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga
berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (uber gezetzlich). Jadi menurut ajaran ini
melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis) dan
juga
bertentangan
dengan
hukum
yang
tidak
tertulis
termasuk
tata
susila
disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab
(causa) tidak ada perbedaan.
Dalam perkembangan teori Von Buri banyak menimbulkan kontra dari para ahli
hukum, sebab teorinya dianggap kurang memperhatikan hal-hal yang sifatnya
kebetulan terjadi ). Selain itu teori ini pun tidak digunakan dalam hukum pidana
karena dianggap sangat memperluas dasar pertanggungjawaban (strafrechtelijke
aansprakelijheid).
Van Hamel adalah satu penganut teori Von Buri. Menurut Von Hamel teori
conditio sine qua non adalah satu-satunya teori yang secara logis dapat
dipertahankan. Teori conditio sine qua non baik untuk digunakan dalam hukum
pidana,
asal
saja
didampingi
atau
dilengkapi
dengan
teori
tentang
dengan kata lain bagaimana mengukur kekuatan suatu syarat untuk menentukan
mana yang paling kuat, yang paling membantu pada timbulnya akibat). Apalagi
jika syarat-syarat itu tidak sejenis).
Sastrawidjaja
bahwa
sebab
adalah
syarat
penghabisan
yang
I. Teori Relevantie
Dikemukakan oleh Mezger. Menurut teori ini dalam menentukan hubungan sebab
akibat tidak mengadakan pembedaan antara syarat dengan sebab, melainkan
dimulai dengan menafsirkan rumusan tindak pidana yang memuat akibat yang
dilarang itu dicoba menemukan perbuatan manakah kiranya yang dimaksud pada
waktu undang-undang itu dibuat. Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan
itu berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam undang-undang.
J. Teori perdata
Teori ini berdasarkan Pasal 1247 dan 1248 KUHP Perdata (BW),yang
menyatakan bahwa pertanggungjawaban hanya ada, apabila akibat yang timbul
itu mempunyai akibat yang langsung dan rapat sekali dengan perbuatan-perbuatan
yang terdahulu atau dapat dibayangkan lebih dahulu. Teori ini boleh dikatakan
sama dengan teori adequate dari Von Kries. Beberapa sarjana hukum berpendapat
bahwa teori perdata ini dapat juga dipergunakan dalam hukum pidana.
K. Simon
Tindak pidana yaitu kelakuan yang dapat diancam dengan pidana, bersifat
melawan hukum, behubungan dengan melakukan kesalahan, dan dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung jawab.
Straftbar feit berisikan:
1) perbuatan bertentangan atau dilarang oleh hukum
2) diancam dengan hukuman
3) dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung jawabkan dengan
demikian dapat dipersalahkan
L. Prof. Moeljatno S.H
Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu pebuatan akan menjadi suatu tindak
pidana apabila perbuatan itu :
1) melanggar hukum
2) merugikan masyarakat
3) dilarang oleh undang-undang
4) pelakunya diancam dengan pidana
11. a
12. A. Menurut Prof. Moeljatno orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
pidana)
kalau
tidak
melakukan
perbuatan
pidana.
Agar
dapat
dimintai
pelaku menyadari
bahwa perbuatan yang dilakukannya mungkin akan membawa akibat lain selain akibat
utama.
Bentuk-bentuk kealpaan
kealpaan yang disadari (bewuste), seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang sudah
dapat di bayangkan akibat buruk akan terjadi, tapi tetap melakukannya, kealpaan yang
tidak disadari, bila pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatannya yang seharusnya di bayangkan.
Unsur-unsur kesalahan atau syarat seseorang dapat di ertanggungjawabkan dalam hukum
pidana:
1) adanya kemampuan bertanggungjawab
2) adanya hubungan bathin antara pelaku dengan perbuatannya (dolus atau ulpa)
3) tidak adanya alasan-alasan penghapus kesalahan (schuld uitsluitsground)
13. Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibedakan
menjadi tiga;
A. Alasan pembenar
masyarakat,
sebaiknya
tidak
dijadikan
penuntutan.
Yang
Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap
pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai
hukum,
sedangkan
pemidanaan
diartikan
sebagai
penghukuman.
Doktrin
membedakan hukum pidana materil dan hukum pidana formil. J.M. Van Bemmelen
(Leden Marpaung, 2005 : 2) menjelaskan kedua hal tersebut sebagai berikut :
Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan
umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan
terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana acara pidana
seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada
kesemptan itu.