Anda di halaman 1dari 24

KOMPLEKSITAS PENGELOLAAN PERBATASAN

Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan


Perbatasan Indonesia
Letjen TNI Moeldoko1

Abstract Policies on border management are facing serious challenges. The author came
across the most critical challenge in border policy of which the current policies are not yet
supporting each other and they are not linked to each other. For that reason, it is
recommended to have regulating policies that especially regulate Indonesias borders with
the bordering areas in the neighbouring countries. This includes the strengthening of the
National Border Management Agency (BNPP) as an institution in order to avoid the mistakes
already taken place in the establishment of a border management agency that is not
responding to the problems in the past.
Keywords : Policy, Border, Institutional.
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiri
atas pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan Dinas Hidro Oceonografi (Dishidros)
TNI AL pada tahun 1982 berjumlah 17.508 pulau.2 Pulau tersebut dihubungkan oleh laut
dan selat di Nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk

Letjen TNI Moeldoko adalah mahasiswa S3 Jurusan Administrasi Negara Universitas Indonesia. Saat ini
sedang menyelesaikan disertasi dengan judul Efektivitas dan Skenario Planning Kebijakan Pengelolaan
Kawasan Perbatasan di Indonesia: Studi Kasus Perbatasan Darat di Kalimantan. Penulis saat ini menjabat
Wakil Gubernur Lemhannas.
2

Perihal jumlah pulau, penulis memiliki kegelisahan mengapa sampai saat ini Indonesia tidak memiliki
jumlah akurat tentang pulau yang dimilikinya. Hal itu berdasarkan beberapa data yang cenderung lebih
sering menggunakan tanda kurang lebih (+) dan sering kali berbeda. Sebagai contoh, Ganewati Wulandari
menggunakan angka 17.504. Selain itu, berdasarkan data yang disampaikan oleh Dirjen Kelautan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (KP3K), Sudirman Saad, yang dikutip oleh Kantor Berita Antara, Selasa, 17 Agustus 2010,
ternyata jumlah pulau yang dimiliki Indonesia telah menyusut jauh hingga 13.000 pulau, berdasarkan survei
yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Oleh karena itu, penulis berpendapat
sebaiknya segera dilakukan survei dan perhitungan oleh lintas sektor instansi berwenang untuk
memperoleh data akurat tentang kepemilikan pulau Republik Indonesia.

sebuah negara kepulauan. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui oleh
dunia melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982).
Indonesia berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun di laut.
Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara, yaitu Malaysia di
Kalimantan, Papua Nugini di Papua, dan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Di laut,
Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura,
Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste.
Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara.
Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah
kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, serta menjaga keamanan dan keutuhan
wilayah. Perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik,
serta hukum nasional dan internasional.
Wilayah NKRI yang banyak berbatasan langsung dengan negara lain merupakan
suatu kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam
menjaga wilayah perbatasan. Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif (ideologi
dan sosial budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas negara (trans
nasional crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal (illegal fishing),
perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking), imigran ilegal (illegal
immigrants), penyelundupan manusia (people smuggling), peredaran narkotika, pintu
masuk teroris, perompakan, dan konflik sosial budaya yang berpotensi mengancam
stabilitas nasional harus dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Berdasarkan tinjauan geostrategis dan geopolitik, kawasan perbatasan merupakan
wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang
langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah
provinsi dan kabupaten/kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas negara
(wilayah negara).3 Selain kawasan perbatasan yang terletak di wilayah daratan, kawasan
perbatasan negara yang berada di lautan belum secara tegas ditetapkan norma
3

Menurut Undang-Undang Wilayah Negara, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6), batas wilayah negara
di darat terletak di kecamatan.

pengelolaannya dalam berbagai peraturan perundang-undangan, meskipun saat ini


wilayah perbatasan yang berada di lautan merupakan kawasan strategis nasional yang
mempunyai fungsi pertahanan dan keamanan negara, menyimpan potensi sumber daya
alam yang relatif besar, serta mencerminkan keutuhan NKRI yang harus dijaga dan
diprioritaskan pengelolaannya.
Sebanyak 12 dari 92 pulau kecil terluar yang menjadi titik batas negara Indonesia
rawan terhadap konflik perbatasan dengan negara tetangga. Kerawanan itu ditimbulkan
oleh beberapa faktor, seperti kondisi pulau yang umumnya tidak berpenghuni,
dimanfaatkan oleh nelayan asing sebagai tempat berlindung atau mencari ikan di perairan
sekitarnya, dan adanya kegiatan eksplorasi cadangan sumber daya. Bahkan, ada indikasi
yang mengarah pemanfaatan pulau sebagai basis aktivitas militer, antara lain
pengumpulan data intelijen, pengintaian, atau pengamatan.
Selain itu, pembangunan pulau kecil terluar berjalan sangat lamban, terutama
disebabkan kondisi masyarakat yang masih termarjinalkan akibat minimnya perhatian dari
pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, letak pulau kecil terluar tersebar dan
minimnya akses pasar dan komoditas ekonomi unggulan, serta sulitnya sarana
perhubungan dan komunikasi yang menghubungkan pulau tersebut dengan pusat
kegiatan.
Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan
Wilayah perbatasan merupakan salah satu kawasan yang strategis, yaitu kawasan yang
secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau dari sudut
kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, maupun pertahanan keamanan.
Wilayah perbatasan meliputi wilayah perbatasan yang ada di daratan, lautan, dan udara
yang bersinggungan dengan negara tetangga.
Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara hanya
merupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan pertahanan, terutama
berkenaan dengan keberlangsungan kerja sama atau ketegangan bilateral antara dua
negara yang memiliki kawasan perbatasan yang langsung bersinggungan. Namun, seiring
3

dengan perkembangan zaman, sensitivitas isu pengelolaan kawasan perbatasan negara


dapat berkembang menjadi permasalahan multilateral dan bahkan internasional. Di
samping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi
yang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah pihak yang lebih luas
melalui berbagai mekanisme internasional.
Stephen B. Jones dalam Sutisna merumuskan teori berkaitan dengan pengelolaan
perbatasan4 yang membagi ruang lingkup pengelolaan ke dalam empat bagian, yaitu
alokasi (allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation), dan administrasi
(administration). Dalam perkembangannya, lingkup administrasi telah bergeser ke arah
pengelolaan perbatasan atau manajemen perbatasan.
Apabila diselaraskan dengan teori yang dikemukakan oleh Jones, hasil dari berbagai
studi tentang kawasan perbatasan pada umumnya mengidentifikasi tiga isu utama
masalah pengelolaan kawasan perbatasan Indonesia, yakni: (1) masalah yang berkenaan
dengan penetapan garis batas (alokasi, delimitasi, dan demarkasi), baik darat (demarkasi)
maupun laut (delimitasi), (2) masalah pengamanan kawasan perbatasan, dan (3) masalah
pengembangan kawasan perbatasan (administration). Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, pemerintah telah melakukan perubahan paradigma pengelolaan perbatasan.
Hal itu dapat ditelusuri melalui perubahan cara pandang pemerintah terhadap kawasan
perbatasan yang semula cara pandang yang berorientasi ke dalam (inward looking)
menjadi cara pandang yang berorientasi ke luar (outward looking).5 Pengembangan

Sutisna, dkk., Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, dalam Ludiro Madu
(Ed.). Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, 2010,
hlm. 12.
5

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005-2025. Di dalam UU tersebut ditegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward
looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk di dalamnya
pendekatan kesejahteraan untuk pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya, disebutkan bahwa pengamanan
kedaulatan dan negara ke depan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di
wilayah perbatasan, pengembangan sistem MCS, optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau terdepan,
serta koordinasi penanganan pelanggaran laut. Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, dituangkan
amanah tentang arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu menjadikan kawasan
perbatasan sebagai beranda depan NKRI dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, serta memantapkan
ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan.

kawasan perbatasan dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda


depan yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan keamanan (security)
telah dilakukan oleh berbagai kementerian/lembaga dan instansi, tetapi masih bersifat
parsial dan belum menunjukkan implementasi kebijakan pengelolaan perbatasan yang
utuh dan terintegrasi.
Banyaknya kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah kementerian/lembaga yang
mencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72 program di tingkat satuan kerja (satker)
Eselon 1.6 Kompleksitas permasalahan perbatasan dapat ditunjukkan dengan beragamnya
dimensi permasalahan pengelolaan perbatasan, baik yang berdimensi imaterial maupun
materail. Pada aspek kelembagaan, lembaga pengelolaan perbatasan Indonesia masih
ditangani secara parsial oleh berbagai komite perbatasan yang bersifat ad hoc dan oleh
instansi pusat terkait secara sektoral.
Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk mengelola kawasan
perbatasan masih tampak tumpang-tindih. Begitu juga, terasa belum ada koordinasi yang
memadai antarinstansi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan pengawasan dan
pengelolaan kawasan perbatasan. Lembaga yang memiliki otoritas ternyata terpencarpencar atas berbagai induk institusi sehingga menyulitkan pengimplementasian sebuah
kebijakan yang memusat.
Sampai tahun 2010 Indonesia masih belum memiliki otoritas yang jelas dalam
mengelola kawasan perbatasan. Sistem pengelolaan perbatasan yang diterapkan
cenderung bersifat koordinatif dan bahkan tidak terintegrasi, tidak ada pemisahan
otoritas kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan sehingga terjadi tumpang-tindih
otoritas dalam mengelola perbatasan. Dalam konteks itu, pemerintah masih dapat
dikatakan belum serius dalam melaksanakan pengelolaan perbatasan.

Laporan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri (2009) yang dikutip dari Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan (Partnership). Rumusan Rekomendasi Kebijakan Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan
Barat, 2011.

Pada zaman Orde Baru, Presiden Soeharto pernah mengeluarkan kebijakan


pembentukan Badan Pengelola Perbatasan melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun
1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di
Kalimantan. Hal itu dimaksudkan untuk mendorong pembangunan kawasan perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia, khususnya di Kalimantan. Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, Keppres tersebut tidak menghasilkan sesuatu apa pun bagi pembangunan
kawasan perbatasan, bahkan tidak dalam bentuk konsep. Eksistensi tim atau badan itu
tidak memiliki pengaruh signifikan bagi pembangunan kawasan perbatasan. Oleh karena
itu, Pemerintahan B.J. Habibie kemudian mengeluarkan Keppres Nomor 63 Tahun 1999
untuk mencabut Keppres Nomor 44 Tahun 1994 sehingga fungsi pengelolaan kawasan
perbatasan negara dikembalikan kepada instansi terkait.
Upaya pengelolaan perbatasan yang lebih baik kemudian mendapatkan momentum
seiring dengan bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Daerah diharapkan lebih mampu
memberikan solusi inovatif bagi pemerataan kesejahteraan dan hasil pembangunan.
Namun, fenomena penguatan otonomi daerah sejak era Reformasi ternyata semakin
menyulitkan untuk mengefektifkan koordinasi antarlembaga dalam pengelolaan kawasan
perbatasan. Dengan konstelasi politik dalam negeri dewasa ini, bandul kekuasaan lebih
bergeser ke daerah melalui penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah7 dan pengelolaan kawasan perbatasan menjadi semakin kompleks
karena daerah memiliki kehendak diberikan kewenangan lebih besar dalam mengelola
perbatasan.
Sulitnya pengamanan sumber daya di kawasan perbatasan menjadi kendala lain
dalam pengelolaan perbatasan. Keinginan untuk menjalankan kewenangan dengan tidak
diiringi oleh langkah koordinasi yang baik telah menyebabkan ditangkapnya pegawai
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sedang melakukan tugas mengamankan

Undang-Undang itu merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Akan tetapi, dewasa ini telah berkembang pula wacana revisi yang bersifat incremental terhadap
UU Nomor 32/2004 ini, antara lain yang digagas oleh Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri. Terdapat 22
isu strategis yang mengemuka, antara lain pembagian urusan pemerintahan. Bahkan, beberapa saat
terakhir ini telah pula beredar naskah akademis tentang revisi UU tersebut.

sumber daya air dari tindak pencurian di wilayah perairan Indonesia oleh Polisi Diraja
Malaysia.8

Pernyataan tidak adanya koordinasi oleh pegawai KKP dinyatakan secara tegas oleh Menteri Koordinator
Politik Hukum dan Keamanan, Djoko Suyanto, di depan Komisi I DPR RI dengan menyatakan, Petugas KKP
memang tidak memiliki senjata, tetapi sebelum patroli seharusnya mereka lapor (tanda tebal dari penulis)
ke petugas Badan Koordinasi Kemanan Laut (Bakorkamla), dalam http://www. detik.com, 31 Agustus 2010.
Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan permasalahan itu kemudian diusulkan untuk menyelesaikan
permasalahan sengketa batas wilayah dengan Malaysia untuk diselesaikan melalui Mahkamah
Internasional. Namun, Hikmawanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas
Indonesia, menolak usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Menurut Hikmahanto Juwana, paling
tidak ada empat alasan mengapa Indonesia harus berkeras menolak usulan internasionalisasi masalah
perbatasan dengan Malaysia. Pertama, lemahnya kearsipan nasional sehingga tidak menyimpan bukti
dokumen yang kuat untuk mendasari klaim Indonesia terhadap batas wilayah bersangkutan. Itu terjadi
dalam sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan. Malaysia, menurut Hikmawanto Juwana, memahami betul
tentang hal itu. Kedua, Indonesia mungkin tidak memiliki dana memadai untuk menyewa para pengacara
internasional yang andal dan mahal. Tanpa pengacara yang andal, argumentasi yang dilakukan oleh
Indonesia akan mempunyai banyak kelemahan. Ketiga, lemahnya koordinasi antarinstansi terkait
penanganan laut dan perbatasan. Terakhir, Indonesia terkesan tidak mengurusi pulau-pulau terluar
meskipun sadar benar bahwa aset itu mempunyai arti strategis untuk dijadikan titik terluar dalam
penentuan batas laut. Itu semua yang akan dimanfaatkan Malaysia untuk mengargumentasikan Indonesia
telah melepas klaimnya atas pulau tersebut. Akibatnya, sejumlah pulau terluar tidak dapat dijadikan titik
terluar dalam penentuan batas. Lihat juga Sutisna, Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan
Indonesia, dalam Ludiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,
Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, hlm. 11, yang menyatakan bahwa permasalahan koordinasi menjadi
kendala yang serius dalam pengelolaan perbatasan. Ego sektoral dari para pemangku kepentingan
(stakeholders) juga berperan pada tidak optimalnya pengelolaan perbatasan yang dilakukan. Ada pula
indikasi terhadap kekurangtaatan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku justru oleh elemen
pemerintah sendiri.memang tidak memiliki senjata, tetapi sebelum patroli seharusnya mereka lapor (tanda
tebal dari penulis) ke petugas Badan Koordinasi Kemanan Laut (Bakorkamla), dalam http://www.
detik.com, 31 Agustus 2010. Perkembangan selanjutnya berkaitan dengan permasalahan itu kemudian
diusulkan untuk menyelesaikan permasalahan sengketa batas wilayah dengan Malaysia untuk diselesaikan
melalui Mahkamah Internasional. Namun, Hikmawanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia, menolak usulan tersebut dengan berbagai pertimbangan. Menurut
Hikmahanto Juwana, paling tidak ada empat alasan mengapa Indonesia harus berkeras menolak usulan
internasionalisasi masalah perbatasan dengan Malaysia. Pertama, lemahnya kearsipan nasional sehingga
tidak menyimpan bukti dokumen yang kuat untuk mendasari klaim Indonesia terhadap batas wilayah
bersangkutan. Itu terjadi dalam sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan. Malaysia, menurut Hikmawanto
Juwana, memahami betul tentang hal itu. Kedua, Indonesia mungkin tidak memiliki dana memadai untuk
menyewa para pengacara internasional yang andal dan mahal. Tanpa pengacara yang andal, argumentasi
yang dilakukan oleh Indonesia akan mempunyai banyak kelemahan. Ketiga, lemahnya koordinasi
antarinstansi terkait penanganan laut dan perbatasan. Terakhir, Indonesia terkesan tidak mengurusi pulaupulau terluar meskipun sadar benar bahwa aset itu mempunyai arti strategis untuk dijadikan titik terluar
dalam penentuan batas laut. Itu semua yang akan dimanfaatkan Malaysia untuk mengargumentasikan
Indonesia telah melepas klaimnya atas pulau tersebut. Akibatnya, sejumlah pulau terluar tidak dapat
dijadikan titik terluar dalam penentuan batas. Lihat juga Sutisna, Boundary Making Theory dan Pengelolaan
Perbatasan Indonesia, dalam Ludiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas:
Isu, Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan, hlm. 11, yang menyatakan bahwa permasalahan koordinasi menjadi
kendala yang serius dalam pengelolaan perbatasan. Ego sektoral dari para pemangku kepentingan
(stakeholders) juga berperan pada tidak optimalnya pengelolaan perbatasan yang dilakukan. Ada pula
indikasi terhadap kekurangtaatan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku justru oleh elemen
pemerintah sendiri.

Sebelum peristiwa tersebut, Indonesia pernah lebih dikejutkan oleh beredarnya


berita tentang Askar Wataniyah.9 Dalam merespons beredarnya berita itu, Dewan
Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengadakan kunjungan kerja ke perbatasan
Kalimantan untuk mengetahui dan memahami permasalahan perbatasan yang dapat
memengaruhi keamanan negara dan ketahanan nasional. Hal penting dari hasil kajian yang
berkaitan erat dengan pengelolaan perbatasan, antara lain, adalah pernyataan bahwa
program pembangunan perbatasan sudah mendesak untuk dilakukan karena kandungan
permasalahannya yang spesifik sebagai perbatasan daratan dengan ketimpangan
kesejahteraan yang mencolok sehingga pembangunan perbatasan Kalimantan perlu
diprioritaskan. 10
Kesimpulan Wantimpres atas kunjungan kerja di perbatasan Kalimantan yang
menyatakan bahwa pembangunan perbatasan Kalimantan perlu diprioritaskan, didukung
oleh beberapa fakta permasalahan yang mendesak untuk dituntaskan. Berdasarkan kajian
terhadap berbagai dokumen dan studi lapangan yang telah dilakukan, terdapat beberapa
permasalahan penting berkaitan dengan pengelolaan kawasan perbatasan, antara lain : (1)
permasalahan yang berkaitan dengan kedaulatan bangsa dan negara serta manajemen
pengelolaan kawasan perbatasan, dan (2) permasalahan yang berkaitan dengan
kepentingan langsung masyarakat di kawasan perbatasan.
Permasalahan yang berkaitan dengan kedaulatan bangsa dan negara serta
manajemen pengelolaan kawasan perbatasan meliputi (a) terdapat fenomena lunturnya
rasa nasionalisme, baik yang disebabkan oleh sulitnya jangkauan pembinaan maupun
didorong oleh orientasi dan peluang kegiatan ekonomi di negara tetangga, (b) kebijakan
pengelolaan kawasan perbatasan yang tidak komprehensif telah berdampak pada
9

Mengemukanya berita Askar Wataniyah berkisar pada Februari - Maret 2008. Askar Wataniyah adalah
sejenis resimen bela negara Diraja Malaysia, yang menurut berita yang beredar, ratusan warga negara
Indonesia yang tinggal di perbatasan Kalimantan telah menjadi anggota Askar. Lihat, pernyataan Anggota
Komisi Pertahanan DPR, Happy Bone Zulkarnaen, dalam Harian Waspada, 14 Februari 2008.
10

Dewan Pertimbangan Presiden, Laporan Hasil Kajian Masalah Perbatasan Kalimantan : Program Jangka
Pendek Pembangunan Wilayah Perbatasan, Jakarta, Oktober 2008, hlm. 6. Masalah ketimpangan
kesejahteraan di wilayah perbatasan Kalimantan umumnya menjadi temuan di berbagai kajian perbatasan
serupa,misalnya
Laporan
Penelitian
Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Kawasan Perbatasan di Era Otonomi Daerah :
Studi Kasus di Kalimantan Barat, DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2009.

melambatnya proses pembangunan daerah serta belum menjelaskan peran, fungsi, dan
kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan, (c) masih
minimnya kuantitas dan kualitas Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB) yang didukung oleh
sumber daya manusia yang memadai apabila dibandingkan dengan garis perbatasan yang
begitu panjang, (d) kesenjangan tingkat kesejahteraan penduduk perbatasan
dibandingkan dengan penduduk perbatasan negara tetangga, seperti yang terjadi di
perbatasan Kalimantan, (e) dampak pemekaran beberapa kabupaten membawa implikasi
diperlukannya penataan zona potensi yang ada, (f) belum tersusunnya tata ruang wilayah
perbatasan dan tata ruang kawasan pintu gerbang lintas batas, (g) masih adanya kegiatan
pelanggaran hukum, seperti pemindahan patok batas negara, penyelundupan kayu,
pengiriman TKI ilegal, dan perdagangan manusia (human trafficking), (h) belum
dimanfaatkannya potensi sumber daya alam, budaya, dan pariwisata, (i) minimnya sarana
dan prasarana untuk mendukung pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial serta
ketahanan budaya, dan (j) terjadinya degradasi hutan yang disebabkan oleh adanya
kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang dikelola secara ilegal.
Permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan langsung masyarakat di kawasan
perbatasan meliputi (a) masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat di kawasan
perbatasan dibandingkan dengan di negara tetangga, seperti di perbatasan Kalimantan,
(b) masih rendahnya kualitas sumber daya manusia di kawasan perbatasan, (c) masih
kurangnya informasi yang dimiliki masyarakat, terutama berkaitan dengan pengetahuan
tentang peraturan perundang-undangan, dan (d) terbatasnya infrastruktur dan fasilitas
umum untuk memenuhi pelayanan dasar sosial kepada masyarakat di kawasan
perbatasan.
Selain itu, terdapat permasalahan lain yang tidak dapat dilepaskan dalam
pengelolaan kawasan perbatasan, yakni belum disepakatinya penetapan wilayah negara
di beberapa segmen batas darat dan laut melalui kesepakatan dengan negara tetangga.
Kerusakan atau pergeseran sebagian patok batas darat sering menyebabkan demarkasi

batas di lapangan menjadi kabur.11 Perlu diperhatikan pula eksistensi pulau terluar yang
menjadi lokasi penempatan titik dasar/titik referensi sebagai acuan dalam menarik garis
pangkal kepulauan Indonesia.
Permasalahan lain yang mengemuka hingga saat ini adalah masih belum optimalnya
koordinasi dan sinergitas antarpelaku yang menyebabkan lambannya upaya pengelolaan
kawasan perbatasan. Hal itu disebabkan oleh belum optimalnya manajemen pengelolaan
kawasan perbatasan yang terintegrasi, baik dalam aspek perencanaan maupun
pelaksanaannya.
Berbagai fakta dan fenomena tersebut telah dapat menunjukkan bahwa pengelolaan
perbatasan mengandung permasalahan yang cukup rumit dan kompleks. Pusat Kajian
Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, bahkan menengarai bahwa
penanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu
sehingga sering kali terjadi tarik-menarik kepentingan di antara berbagai pihak yang
menangani wilayah perbatasan, baik secara horizontal, sektoral, maupun vertikal, serta
kebijakan pengelolaan perbatasan negara tidak saling mendukung dan/atau kurang
sinergi antara yang satu dan yang lain.12
Selaras dengan hasil kajian Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga
Administrasi Negara, Hikmahwanto memberikan penilaian adanya kesan pemerintah tidak
mengurusi pulau terluar kendatipun sadar benar bahwa kedudukan pulau terluar memiliki
arti strategis dalam penentuan titik terluar dalam penentuan batas laut wilayah negara.
Hal itu berarti kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil menjadi nisbi. Penisbian kebijakan
tersebut menguatkan pertanyaan : (1) apakah kedua kebijakan tersebut belum cukup

11

Kasus terakhir yang mencuat adalah kasus Camar Bulan -- Tanjung Datu, yang menurut parlemen telah
terjadi pergeseran patok batas negara dan dianggap sebagai suatu kelalaian pemerintah, sedangkan
menurut pemerintah tidak ada pergeseran patok batas negara. Kondisi itu menurut Hikmawanto Juwana
dapat dikategorikan sebagai outstanding bounndary problem (OBP), yakni kekurangsepahaman atas titik
perbatasan yang telah ditetapkan untuk sementara.
12

Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara. Kajian Manajemen Wilayah
Perbatasan Negara, (Jakarta: LAN, 2004), hlm. iii.

10

menjawab kebutuhan pengelolaan pulau kecil terluar yang bermakna pula perbatasan, (2)
bagaimana implementasi kebijakan tersebut oleh sektor teknis terkait, apakah sektor
teknis terkait melakukan koordinasi secara terpadu atau tidak, dan (3) seberapa besar
komitmen pemerintah yang ditunjukkan dengan dukungan anggaran terhadap
kesungguhan pengelolaan pulau kecil terluar.13
Berkaitan dengan upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, kesungguhan pemerintah dengan menerbitkan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara seharusnya menjadi jawaban tegas atas
berbagai permasalahan pengelolaan perbatasan. Dengan mengacu aspek pertimbangan
diterbitkannya

Undang-Undang

tersebut,

terlihat

bahwa

pemerintah

berupaya

melindungi kedaulatan atas wilayah dan memanfaatkannya sebesar-besarnya bagi


kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal itu berarti pada
dasarnya pemerintah telah menunjukkan komitmen yang tinggi dalam melindungi wilayah
kedaulatan NKRI melalui diterbitkannya kebijakan tersebut. Dalam Pasal 14 ayat (1)
dinyatakan bahwa untuk mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di
tingkat pusat dan daerah, pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan
Pengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah. Badan Pengelola dimaksud harus sudah
terbentuk dalam waktu paling lambat enam bulan setelah undang-undang itu
diundangkan pada November 2008. Dalam Pasal 14 ayat(1) dinyatakan bahwa untuk
mengelola batas wilayah negara dan kawasan perbatasan di tingkat pusat dan daerah,
pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola Nasional dan Badan
Pengelola Daerah. Pada ayat (2) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
13

Masalah anggaran dapat menjadi salah satu indikator kesungguhan intervensi pemerintah dalam
pengelolaan wilayah perbatasan. Menurut data yang diperoleh dari Kompas.com., intervensi pemerintah ke
daerah perbatasan setiap tahun sangat terbatas. Tahun 2008 anggaran yang diarahkan untuk membangun
daerah tertinggal hanya Rp1,6 triliun. Tahun 2009 anggaran untuk membangun daerah tertinggal turun
menjadi Rp1,2 triliun Lihat, Kabupaten perbatasan Masih Tertinggal, Kompas, 19 Februari 2009, dalam
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/02/16/19342094/26.kabupaten.perbatasan.masih.tertinggal.
Lihat pula Matindas R.W. dan Sutisna. Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan Batas Wilayah NKRI
dan Pulau-Pulau Kecil Terluar. (Jakarta: Bakosurtanal. 2006). Perkembangan terakhir yang berkaitan dengan
anggaran pengelolaan perbatasan adalah pengajuan kenaikan anggaran hingga 2000% oleh BNPP. Lihat,
Koran Tempo, 22 Oktober 2011.

11

dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau
kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. Yang menarik adalah bahwa Badan
Pengelola Perbatasan di Daerah, seperti di Provinsi Papua (Badan Perbatasan Kerja Sama
Daerah) dan Provinsi Kalimantan Barat (Badan Pengelolaan Kawasan Perbatasan dan
Kerja Sama), sudah dibentuk jauh sebelum undang-undang itu ada, sedangkan di Provinsi
Kalimantan Timur dibentuk pada tahun 2009. Untuk tingkat nasional, justru baru dibentuk
pada tahun 2010 dengan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang
Badan Nasional Pengelola Perbatasan.
Dalam menindaklanjuti amanah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara dan sekaligus mengatasi permasalahan lemahnya koordinasi antarsektor
teknis terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan, pemerintah menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Badan itu
diharapkan mampu menjawab permasalahan pengelolaan batas wilayah negara dan
kawasan perbatasan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2008 tentang Wilayah Negara. Masalah kelembagaan pengelola perbatasan pada dasarnya
merupakan usulan dari berbagai kajian yang pernah dilakukan berkaitan dengan
permasalahan pengelolaan perbatasan.14
Berdasarkan pemaparan tentang kompleksitas masalah pengelolaan perbatasan,
tulisan ini mencoba menganalisis pengelolaan perbatasan berkaitan dengan landasan
kebijakan pengelolaan perbatasan di Indonesia.

14

Kajian yang merekomendasikan perlunya kelembagaan pengelola perbatasan ini, antara lain: (1) kajian
yang dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, pada tahun
2004, (2) kajian yang dilakukan oleh Rizal Darmaputra, Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor
Keamanan pada tahun 2009, dan (3) kajian yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Daerah RI bekerja sama
dengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Kawasan
Perbatasan di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kalimantan Barat) pada tahun 2009. Kajian yang telah
dilakukan oleh Pusat Kajian Administrasi Internasional, Lembaga Administrasi Negara, pada tahun 2004
perlu mendapatkan perhatian secara lebih serius karena secara jelas dinyatakan bahwa bagi kalangan yang
merasa bahwa pemerintah selama ini kurang serius dalam menangani masalah perbatasan memandang
perlu untuk dibentuk suatu Lembaga Pemerintah Nondepartemen (LPND) yang memiliki kewenangan
penuh (garis tebal dari penulis) dalam mengelola wilayah perbatasan (hlm. 92). Kajian yang telah dilakukan
oleh DPD RI bekerja sama dengan Untan, Pontianak, merekomendasikan, Pembentukan lembaga khusus
yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan secara penuh harus segera dilakukan sehingga
koordinasi antarantar departemen atau instansi di level pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat
dan daerah berjalan baik dan sinergis. (hlm. VI-2).

12

Analisis terhadap Landasan Kebijakan Pengelolaan Perbatasan


Terdapat sejumlah kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi
landasan dalam pengelolaan perbatasan negara. Menurut Wuryandari15, terdapat 23
peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan. Namun, penulis
cenderung menetapkan sembilan peraturan perundang-undangan sebagai produk
kebijakan publik yang berkaitan erat dengan pengelolaan perbatasan, yakni: 5 undangundang, 1 peraturan pemerintah, dan 3 peraturan presiden.
Undang-Undang yang memiliki keterkaitan erat dengan pengelolaan perbatasan
adalah : (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional 2005--2025, (2)
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, (3) Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan (5) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Peraturan pemerintah yang memiliki
kaitan erat dengan pengelolaan perbatasan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2008 tentang RTRW Nasional.
Selain itu, terdapat peraturan presiden yang memiliki kaitan erat dengan
pengelolaan perbatasan, yakni (1) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang RPJM
Nasional 2010--2014, (2) Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Pulau-Pulau Kecil Terluar, dan (3) Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan
Nasional Pengelola Perbatasan.
Di dalam tulisan ini, analisis terhadap landasan kebijakan pengelolaan perbatasan
hanya akan dibatasi pada landasan kebijakan di tingkat undang-undang. Apabila dalam
penjelasannya dikaitkan dengan peraturan perundangan yang berada di tingkat
bawahnya, yaitu peraturan pemerintah ataupun peraturan presiden, hal itu dimaksudkan
untuk memberi penjelasan secara lebih memadai.

15

Lihat, Ganewati Wuryandari, Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan Darat secara Terintegrasi dalam Perspektif Keamanan dan Kesejahteraan. Makalah yang
disampaikan dalam Seminar Menggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan sebagai Halaman Depan NKRI, (Jakarta: Bappenas, 8 Desember 2010).

13

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka


Panjang Nasional Tahun 2005--2025 memiliki rumusan yang cukup memadai berkaitan
dengan pengelolaan perbatasan. Di dalam Undang-Undang itu ditegaskan bahwa
pemerintah memiliki orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari cara pandang
yang berorientasi ke dalam menjadi cara pandang yang berorientasi ke luar sebagai pintu
gerbang ekonomi dan perdagangan. Hal itu tertuang dalam Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional Tahun 20052025, Bab IV.1.5, Mewujudkan Pembangunan yang Lebih
Merata dan Berkeadilan, butir (4) berbunyi:
Wilayah-wilayah perbatasan dikembangkan dengan mengubah arah kebijakan
pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam menjadi berorientasi
ke luar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan
perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan yang dilakukan,
selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan, juga diperlukan
pendekatan kesejahteraan. Perhatian khusus diarahkan bagi pengembangan pulaupulau kecil di perbatasan yang selama ini luput dari perhatian.
Sebagai suatu kebijakan umum yang bersifat visioner, sesuai dengan Penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025,
permasalahan berkaitan dengan pengelolaan perbatasan seharusnya dapat dijabarkan
lebih lanjut oleh peraturan perundang-undangan lain tentang bagaimana pengelolaan
perbatasan Indonesia agar dapat mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan
berkeadilan.
Landasan kebijakan yang lebih spesifik dalam pengelolaan perbatasan sebenarnya
terletak dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Di dalam
pasal Undang-Undang tersebut dijelaskan berbagai hal tentang pengelolaan perbatasan,
antara lain, sebagai berikut:
1.

Pasal 5 dan Pasal 6 ayat (1), ayat (2), serta ayat (3) tentang Batas Wilayah,

2.

Pasal 8 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tentang Batas Wilayah Yurisdiksi,

14

3.

Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), serta ayat (3) tentang Kewenangan
Pemerintah dalam Mengatur Pengeloalan dan Pemanfaatan Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan, dan

4.

Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tentang Kelembagaan Pengelolaan Perbatasan
di Pusat dan di Daerah.
Kelemahan kebijakan itu muncul ketika mencermati Pasal 10 tentang Kewenangan

Pemerintah dalam Pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan dikaitkan


dengan rumusan Pasal 14 ayat (1) dan dengan rumusan Pasal 17. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini dikutip rumusan pasal tersebut:
Pasal 10 ayat (1) berbunyi:
Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan, Pemerintah berwenang:
a.

menetapkan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan


Perbatasan;

b.

mengadakan perundingan dengan negara lain mengenai penetapan Batas Wilayah


Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional;

c.

membangun dan membuat tanda Batas Wilayah Negara;

d.

melakukan pendataan dan pemberian nama pulau dan kepulauan serta unsur
geografis lainnya;

e.

memberikan izin kepada penerbangan internasional untuk melintasi wilayah udara


teritorial pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan;

f.

memberikan izin lintas damai kepada kapal-kapal asing untuk melintasi laut territorial
dan perairan kepulauan pada jalur yang telah ditentukan dalam peraturan
perundang- undangan;

g.

melaksanakan pengawasan di zona tambahan yang diperlukan untuk mencegah


15

pelanggaran dan menghukum pelanggar peraturan perundang-undangan di bidang


bea cukai, fiskal, imigrasi, atau saniter di dalam Wilayah Negara atau laut teritorial;
h.

menetapkan wilayah udara yang dilarang dilintasi oleh penerbangan internasional


untuk pertahanan dan keamanan;

i.

membuat dan memperbarui peta Wilayah Negara dan menyampaikannya kepada


Dewan Perwakilan Rakyat sekurang-kurangnya setiap 5 (lima) tahun sekali; dan

j.

menjaga keutuhan kedaulatan dan keamanan Wilayah Negara serta Kawasan


Perbatasan.

Pasal 14 ayat (1) berbunyi:


Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada
tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan Pemerintah Daerah membentuk Badan
Pengelola Nasional dan Badan Pengelola Daerah.
Pasal 17 berbunyi:
Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dibantu oleh sekretariat tetap
yang berkedudukan di kementerian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemerintahan dalam negeri.
Kewenangan yang demikian luas, seperti yang dijelaskan dalam Pasal 10 tersebut,
dalam implementasinya akan dilaksanakan oleh badan pengelola seperti yang dituangkan
dalam Pasal 14 ayat (1) dan secara indikatif diarahkan untuk dilaksanakan oleh
kementerian dalam negeri, seperti yang dituangkan dalam Pasal 17.
Kemudian pemerintah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 sebagai lembaga yang memiliki
tanggung jawab utama mengelola perbatasan dengan sektor terdepan (leading sector)
Kementerian Dalam Negeri. Dalam hal itu Kementerian Dalam Negeri bersama-sama
dengan sejumlah instansi pemerintah lain, seperti Kementerian Luar Negeri, Pertahanan,
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Keuangan, Pekerjaan Umum, Perhubungan, Kehutanan,
Kelautan dan Perikanan, Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, serta Pembangunan Daerah Tertinggal, bertanggung jawab
16

dalam menjalankan lembaga tersebut. Bahkan, BNPP juga beranggotakan Menteri


Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Koordinator Perekonomian, serta
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, masing-masing sebagai Ketua Pengarah dan
Wakil Ketua Pengarah BNPP.
Mencermati struktur BNPP dan keterlibatannya sejumlah kementerian dalam
lembaga itu, penulis berpendapat bahwa BNPP cenderung hanya bersifat sebagai
lembaga koordinatif. Sampai saat ini masih belum terlihat strategi dan kebijakan BNPP
untuk mengoptimalkan segenap kewenangan yang demikian besar, seperti yang tertuang
dalam Pasal 10 Undang-Undang tentang Wilayah Negara, sehingga belum mampu
menggerakan alur koordinasi dan implementasi kebijakan pengelolaan perbatasan secara
komprehensif, baik dalam tataran konsepsional maupun operasional.
Dalam tataran konsepsional, BNPP masih belum dapat merealisasikan penetapan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah negara dan kawasan perbatasan seperti
yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang tentang Wilayah
Negara. Demikian pula, rencana induk dan rencana aksi pembangunan batas wilayah dan
kawasan perbatasan seperti yang diamanatkan oleh Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2010 belum dapat direalisasikan.
Menurut hemat penulis, keberadaan rencana induk dan rencana aksi pembangunan
batas wilayah dan kawasan perbatasan merupakan prioritas kerja utama BNPP, karena
berdasarkan dokumen tersebut akan tergambar seperti apa kebijakan program
pembangunan perbatasan dan bagaimana strategi pengoordinasian pelaksanaan
pembangunan perbatasan. Selain itu, dengan mencermati begitu banyaknya instansi
pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan perbatasan, tampaknya secara konsepsional,
tanggung jawab pengelolaan perbatasan yang dibebankan kepada BNPP yang merupakan
lembaga koordinatif yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri karena jabatannya (exofficio) diprediksikan sulit untuk dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan amanat
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010.
Dalam tataran operasional, adanya berbagai instansi yang selama ini merupakan
pemangku kepentingan bidang pengelolaan perbatasan kerap kali kesulitan dalam
17

melakukan koordinasi antara satu dengan yang lain. Hal itu, antara lain, disebabkan oleh
tumpang-tindihnya penanggung jawab persoalan perbatasan yang seharusnya dapat
didefinisikan dan dibagi tanggung jawabnya secara jelas berdasarkan ruang lingkup kerja
setiap instansi. Dengan dibentuknya BNPP, idealnya secara operasional hambatan
tersebut dapat diatasi melalui strategi peningkatan koordinasi antarinstansi dan
pendeskripsian tanggung jawab setiap instansi secara jelas dengan merujuk Rencana
Induk dan Rencana Aksi Pembangunan Perbatasan.
Keberadaan Rencana Induk dan Rencana Aksi Pengelolaan Perbatasan menjadi
semakin penting apabila dikaitkan dengan kewenangan seperti yang tertuang dalam
Pasal 10 ayat (1). Hal itu dimaksudkan untuk menghindari tumpang-tindih kewenangan
antara BNPP dan instansi teknis terkait lainnya. Sebagai contoh, kewenangan butir (a)
akan berbenturan dengan kewenangan Bappenas, kewenangan butir (b) akan
berbenturan dengan Kementerian Luar Negeri, sedangkan kewenangan butir (c) akan
berbenturan dengan kewenangan Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri,
dan pemerintah daerah. Kewenangan butir (d) akan berbenturan dengan Kementerian
Kelautan dan Perikanan serta Bakosurtanal.
Untuk itu, melalui tulisan ini dan berbagai kajian kebijakan mengenai pengelolaan
perbatasan, cukup tepat mengingatkan pemerintah agar dapat mengambil pelajaran
berharga terhadap berhentinya implementasi kebijakan Keputusan Presiden Nomor 44
Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan Pembangunan Wilayah Perbatasan di
Kalimantan dan dengan secara serius memperhatikan kajian akademik yang telah banyak
dilaksanakan yang merekomendasikan perlunya suatu lembaga pengelola perbatasan
yang memiliki kewenangan penuh (powerful) seperti yang direkomendasikan oleh kajian
yang dilaksanakan oleh Lembaga Administrasi Negara dan kajian yang telah dilakukan
oleh DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura, Pontianak, yang
merekomendasikan perlunya lembaga khusus yang menangani pengelolaan kawasan
perbatasan secara penuh. Dengan demikian, koordinasi antardepartemen atau instansi di
level pemerintah pusat serta antara pemerintah pusat dan daerah berjalan dengan baik
dan sinergis.

18

Peraturan perundang-undangan lain yang memiliki keterkaitan erat dengan


pengelolaan perbatasan adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur rancangan kerja dan pengembangan perbatasan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pembahasan mengenai pengelolaan perbatasan hampir tidak disinggung sama sekali.
Penggunaan kata perbatasan baru muncul di bagian Penjelasan, Pasal 8 ayat (1) huruf
(d). Untuk lebih jelasnya, berikut ini dikutip rumusan Pasal 8 ayat (1) huruf (d):
Kerja sama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antarprovinsi.
Penjelasan terhadap Pasal 8 ayat (1) huruf (d) berbunyi:
Kerja sama penataan ruang antarnegara melibatkan negara lain sehingga terdapat
aspek hubungan antarnegara yang merupakan wewenang Pemerintah. Yang
termasuk kerja sama penataan ruang antarnegara adalah kerja sama penataan ruang
di kawasan perbatasan negara.
Pemberian wewenang kepada pemerintah dalam memfasilitasi kerja sama penataan
ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerja sama penataan ruang memberikan manfaat
yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerja sama.
Penulis berpendapat bahwa sebagai suatu kebijakan yang bersifat memberikan
arahan pengelolaan dan penataan ruang secara nasional, seyogianya Undang-Undang
Penataan Ruang dapat memberikan arahan secara lebih jelas tentang pengelolaan
perbatasan. Penjelasan yang dipandang lebih memadai tentang pengelolaan perbatasan
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional,
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (22) yang berbunyi:
Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan
perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan
negara.
Menurut kebijakan itu, kawasan perkotaan di kawasan perbatasan akan didorong
menjadi pusat kegiatan strategis nasional atau PKSN. Hal itu berarti bahwa untuk ke
19

depan, Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat di Kalimantan Timur, Sanggau, Bengkayang,
Sambas, Sintang, dan Kapuas Hulu di Kalimantan Barat, Kabupaten Keerom, Kota
Jayapura, Boven Digul, Pegunungan Bintang, Merauke, Asmat, Sarmi, dan Supriori di
Papua, Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU), serta Kupang di Nusa Tenggara akan
menjadi pusat kegiatan yang memiliki keunggulan kompetitif dan sekaligus keunggulan
komparatif dibandingkan dengan daerah perbatasan negara tetangga.
Permasalahannya adalah bagaimana model PKSN tersebut? Bagaimana strategi
pencapaiannya? Siapa sektor terdepan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan hal
itu? Bagaimana pembagian peran antara pusat dan daerah dalam mewujudkan PKSN?
Apakah semangat pembentukan PKSN juga akan diadaptasi oleh BPPN dalam
pengelolaan perbatasan? Sejumlah pertanyaan lain akan muncul dalam kerangka
pengelolaan perbatasan. Pertanyaan itu patut dikedepankan untuk mengukur bahwa
kebijakan pengelolaan perbatasan dirumuskan untuk saling menguatkan dan sinergis
dalam kerangka pembangunan nasional.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil seyogianya membahas secara lebih memadai tentang pengelolaan
perbatasan. Hal itu beranjak dari pemikiran bahwa wilayah pesisir dan pulau kecil dalam
beberapa kasus identik sebagai perbatasan negara. Akan tetapi, di dalam Undang-Undang
tersebut pembahasan mengenai pengelolaan perbatasan tidak lebih jelas dibandingkan
dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penggunaan
kata perbatasan baru muncul dalam Penjelasan, Pasal 8 ayat (2). Untuk lebih jelasnya,
berikut ini dikutip rumusan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007.
Bagian Kedua : Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
RSWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan
kepentingan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Penjelasannya berbunyi:
Kepentingan pusat dan daerah merupakan keterpaduan dalam bidang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti pertahanan negara, wilayah
20

perbatasan negara, kawasan konservasi, alur pelayaran internasional, Kawasan


migrasi ikan, dan kawasan perjanjian internasional di bidang kelautan dan
perikanan.
Dengan mencermati Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, terlihat nyata bahwa kedua kebijakan tersebut cenderung belum
saling menguatkan dan cenderung mengabaikan pengelolaan kawasan perbatasan.
Kebijakan yang dapat memberikan arah pedoman pengelolaan perbatasan terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagai
respons positif terhadap arah perbaikan pelaksanaan pembangunan, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 seyogianya mewadahi pula perbaikan pengelolaan perbatasan
dalam berbagai aspeknya. Akan tetapi, setelah mencermati kebijakan tersebut, hanya
terdapat pengaturan secara umum fungsi pemerintahan yang menjadi kewenangan pusat
dan daerah dan belum menyentuh butir-butir yang eksplisit untuk kewenangan dan
mekanisme pengelolaan perbatasan negara, baik di darat, laut, maupun udara. Oleh
karena itu, dengan memanfaatkan momentum revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah yang sedang hangat bergulir, penulis, melalui tulisan ini,
mengingatkan kepada pemerintah bahwa sebaiknya perbaikan pengelolaan perbatasan,
baik perbatasan darat, laut, maupun udara, memperoleh perhatian memadai melalui
rumusan kebijakan yang saling menguatkan dan memperjelas peran dan fungsi masingmasing, antara pusat dan daerah, dalam pengelolaan perbatasan ke depan.
Kesimpulan
Permasalahan pengelolaan perbatasan merupakan permasalahan yang bersifat universal
dan hampir seluruh negara di dunia menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan
perbatasan negaranya. Pada dasarnya permasalahan pengelolaan perbatasan dapat
dibagi menjadi dua, yakni: (1) permasalahan berkaitan dengan penegasan batas negara
secara fisik; (2) pengelolaan daerah perbatasan.
Kebijakan pengelolaan perbatasan Indonesia sampai saat ini dinilai masih belum
komprehensif kendatipun telah dibentuk BNPP. Untuk itu, perubahan paradigma yang
21

menjadikan daerah perbatasan sebagai beranda depan negara perlu didukung oleh
sejumlah kebijakan lain agar pengelolaan perbatasan menjadi lebih optimal sekaligus
memperkuat kelembagaan BNPP.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.

Berbagai kebijakan yang ada pada saat ini cenderung belum saling menguatkan,
tetapi berdiri sendiri dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Untuk itu, diperlukan
kebijakan peraturan perundang-undangan pengelolaan perbatasan tersendiri yang
bersifat lex specialis de rogat legi generalis, yakni undang-undang khusus pengelolaan
perbatasan yang dapat mengesampingkan Undang-Undang Wilayah Negara dan/atau
undang-undang lain yang bersifat lebih umum, yang dalam proses penyusunannya
didahului oleh kajian mendalam yang dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan
karakteristik perbatasan yang dimiliki oleh Republik Indonesia, baik perbatasan darat
maupun perbatasan laut.

2.

Diperlukan perumusan dan penyusunan perencanaan skenario (scenario planning)


dan strategi kebijakan pengelolaan perbatasan di Indonesia hingga 25 tahun ke depan
yang dapat didudukkan sebagai cetak biru (blue print) pengelolaan perbatasan secara
komprehensif yang dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Dengan melalui perencanaan skenario, diharapkan terwujud pula
penyelarasan berbagai agenda kebijakan, program, dan kegiatan yang terkait dalam
pembangunan di daerah perbatasan sehingga mampu memperkecil kesenjangan
yang terjadi antara daerah perbatasan di Indonesia dan daerah perbatasan negara
tetangga lainnya.

3.

Diperlukan penguatan kelembagaan BNPP agar tidak mengulangi kesalahan


pembentukan suatu badan pengelolaan perbatasan yang tidak dapat menjawab
kebutuhan permasalahan pengelolaan perbatasan faktual.

4.

Diperlukan perbaikan dan penataan dokumen berkaitan dengan batas wilayah dan
kepemilikan pulau terluar.

5.

Diperlukan penetapan prioritas penyelesaian sejumlah sengketa perbatasan karena


setiap perselisihan perbatasan (dispute area) akan menjadi titik rawan bagi stabilitas
kawasan, baik dari sisi hubungan bilateral, multilateral, maupun dari aktivitas tindak
kejahatan lintas negara.
22

Daftar Pustaka
Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara. 2004. Jakarta: Pusat Kajian Administrasi
Internasional, Lembaga Administrasi Negara.
Kabupaten perbatasan Masih Tertinggal. Kompas, 19 Februari 2009. dalam
http://nasional.kompas.com/read/xml/2009/02/16/19342094/26.kabupaten.perbatasa
n.masih.tertinggal.
Laporan Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri (2009) yang dikutip dari Kemitraan
bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership). Rumusan Rekomendasi Kebijakan
Pengelolaan Perbatasan di Kalimantan Barat, 2011.
Laporan Hasil Kajian Masalah Perbatasan Kalimantan : Program Jangka Pendek
Pembangunan Wilayah Perbatasan 2008. Jakarta: Dewan Pertimbangan Presiden.
Laporan Penelitian Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Kawasan
Perbatasan di Era Otonomi Daerah : Studi Kasus di Kalimantan Barat. 2009.
Pontianak: DPD RI bekerja sama dengan Universitas Tanjungpura.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
R.W. Matindas dan Sutisna. 2006. Kebijakan dan Strategi Penataan dan Pemeliharaan Batas
Wilayah NKRI dan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Jakarta: Bakosurtanal.
Sutisna, dkk., Boundary Making Theory dan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, dalam
Ludiro Madu (Ed.). 2010. Mengelola Perbatasan Indonesia di Dunia Tanpa Batas: Isu,
Permasalahan, dan Pilihan Kebijakan. Graha Ilmu : Yogyakarta.
Undang-Undang Wilayah Negara, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (6).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005-2025.
Wuryandari, Ganewati. 8 Desember 2010. Mewujudkan Manajemen Pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan Darat secara Terintegrasi dalam Perspektif
Keamanan dan Kesejahteraan. Makalah yang disampaikan dalam Seminar
Menggagas Format Ideal Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan sebagai Halaman Depan NKRI. Jakarta: Bappenas.
Zulkarnaen, Happy Bone. WNI Jadi Tentara Malaysia, Menjaga Perbatasan Di Kalimantan.
Harian Waspada, 14 Februari 2008.
Hasil Survei Terbaru Jumlah Pulau Indonesia. Antara, Selasa, 17 Agustus 2010.
23

Menkopolhukam : 3 Pegawai DKP Tak Koordinasi dengan Patroli Laut.


http://www.detik.com. 31 Agustus 2010.
Anggaran Perbatasan Diusulkan Naik 2000 Persen (hal. A5). Koran Tempo, 22 Oktober 2011.

24

Anda mungkin juga menyukai