Anda di halaman 1dari 4

Penyebab Anemia pada Pasien yang menjalani Hemodialisis Kronik

Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya anemia pada pasien CKD yang menjalani
hemodialisis kronik, dan tak jarang ditemukan beberapa faktor sekaligus pada seorang pasien di
antaranya:
1. Defisiensi EPO (penyebab utama)
2. Defisiensi besi (sering terjadi & perlu perhatian khusus)
3. Kehilangan darah (phlebotomy berulang untuk pemeriksaan laboraturium, retensi darah pada dialiser
atau tubing, perdarahan GI)
4. Hiperparatiroid berat
5. Inflamasi akut atau kronik
6. Infeksi
7. Masa hidup sel darah merah pendek
8. Toksisitas aluminium
9. Defisiensi asam folat
10. Hemoglobinopati
11. Hipotiroid
Manifestasi Klinis Anemia
Kadar Hb dan Ht merefleksikan massa sel darah yang beredar di sirkulasi, fungsi utamanya
untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Defisiensi anemia menurut WHO adalah apabila kadar Hb
<12g%,>
Evaluasi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Evaluasi anemia dimulai bila kadar Hb <10g%,>
Hb, Ht, trombosit
Morfologi eritrosit: MCV, MCH, sediaan apus
Hitung retikulosit
Analisis status besi
Pemeriksaan feses darah samar
Pengajian status besi meliputi:
Saturasi transferin
ST =(SI/TIBC)*100%
SI = Serum Iron
TIBC = Total Iron Binding Capacity
Ferritin serum
Anemia pada CKD dibedakan 2 macam:
Anemia dengan status besi cukup
Status besi cukup bila: Ferritin Serum > 100 g/L dan Saturasi Transferin >20%
Anemia dengan status besi kurang ada 2 macam:
o Anemia defisiensi besi absolut: FS <>L dan ST <>
o Anemia defisiensi besi fungsional: FS > 100 g/L dan ST <>
Kadar ferritin serum menggambarkan jumlah cadangan besi tubuh, sedangkan saturasi transferin
menunjukkan jumlah besi yang beredar dalam sirkulasi.
Pengobatan Anemia pada Pasien Hemodialisis Kronik
I. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu sebelum diberikan terapi
EPO
1. Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan suntikan IM maupun oral, terutama pada
pasien yang mendapat EPO. Stimulasi eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO menyebabkan kebutuhan
besi meningkat dengan cepat yang tidak tercukupi oleh asupan besi oral. Contoh preparat besi untuk
suntikan intravena : iron Dextran, Sodium ferric gluconate complex, iron hydroxysaccharate.
a. Dosis uji coba (test dose) : dilakukan sebelum mulai terapi besi.

25 mg iron dextran di dalam 50 ml NaCl 0,9%, diberikan intravena selama 30 menit. Bila
tidak ada reaksi alergi, lanjutkan dengan terapi induksi besi.
b. Terapi induksi besi :
Tujuannya adalah untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi absolute dan fungsional, sampai
kadar feritin serum mencapai > 100 g/L dan ST >20%. Iron dextran 100 mg diencerkan
dengan 50 ml NaCl 0.9 % diberikan IV selama 1-2 jam pertama hemodialisis melaluivenous
blood line. Dosis ini diulang tiap hemodialisis sampai 10x(dosis mencapai 1000 mg).
Evaluasi status besi dilakukan 2 minggu pasca terapi induksi besi. Bila target status besi
sudah tercapai (FS>100 g/L dan ST >20%), lanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi.
Bila target belum tercapai, ulangi terapi induksi besi.
c. Terapi pemeliharaan besi
Efek samping terapi besi intravena adalah reaksi alergi dan shock anafilaktik. Kontraindikasi
terapi besi, antara lain bila terdapat reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat, dan
kandungan besi tubuh berlebih.
2. Terapi besi intramuskuler
Merupakan terapi besi alternative bila preparat IV tak tersedia. Jenis preparat yang tersedia adalah iron
dextran. Suntikan pada regio gluteus kuadran luar atas dengan teknik Z track injection. Dosis ujicoba
(0.5ml IM)
Dosis terapi induksi besi:
- Jika FS < 30 g/L diberikan 6 x 100 mg dalam 4 minggu
- Jika FS 31 g/L sampai <100>L diberikan 4 x 10mg dalam 4 minggu
Suntikan besi IM selain terasa sakit, juga dapat menyebabkan komplikasi abses, perdarahan, dan
kemungkinan terjadi myosarkoma pada daerah suntikan.
3. Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi besi yang tidak mendapat terapi EPO.
Akan tetapi sering hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena berbagai hal seperti absorpsi besi yang
tidak adekwat pada pasien hemodialisis dan kurangnya kepatuhan minum obat akibat rasa mual. Banyak
penelitian yang menunjukan bahwa terapi besi oral tidak memadai pada pasien yang mendapat EPO,
namun demikian tetap saja dapat diberikan bila preparat IV dan IM tidak tersedia. Dosis minimal 200mg
besi elemental perhari, dalam dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah reaksi alergi dan syok anafilaktik. Obatobat emergensi untuk mengatasi keadaan ini harus disediakan sebelum terapi dimulai. Kontraindikasi
terapi besi antara lain bila terdapat hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi
tubuh berlebih (iron overload).
II. Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb <>> 100 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada infeksi berat.
Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap EPO dan pada keadaan hipertensi
berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload
cairan.
1. Terapi induksi EPO.
Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4 minggu, Target respons yang diharapkan
adalah Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu atau Hb naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht dipantau
setiap 4 minggu. Bila target respons tercapai, pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL). Bila target belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu cepat, 8 g/dL dalam
4 minggu turunkan dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi EPO ini status besi di pantau setiap bulan.
2. Terapi pemeliharaan EPO.
Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL atau Ht > 30%. Angka ini lebih rendah dibanding
panduan DOQI (Dialysis Outcomes Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%.
Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht
diperiksa setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.
3. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis EPO diturunkan sebanyak
25%.
4. Terapi pemeliharaan besi

Bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk eriptropoiesis selama pemberian terapi EPO,
Target terapi menjaga nilai Feritin serum dalam batas >100 ug/L - <500>20% - <40%.>
Dosis terapi pemeliharaan besi:
- IV : Iron Dextran 50 mg/minggu
Sodium Ferric Gluconate Complex 62,5 mg 2x /minggu
- IM : Iron Dextran 80 mg setiap 2 minggu
Selama terapi pemeliharaan besi, status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila ditemukan:
- Status besi sesuai target: lanjutkan dosis terapi pemeliharaan besi
- FS > 500ug/L atau ST >40%, suplementasi besi di stop selama 3 bulan.
Bila setelah 3 bulan pemeriksaan ulang FS <500>
Respons Terapi EPO Tidak Adekuat:
Pada sebagian kecil pasien yang mendapat terapi EPO gagal mencapai kenaikan Hb atau Ht
yang dikehendaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi respons EPO. Sebab yang paling sering
dijumpai adalah defisiensi besi fungsional. Disamping itu keadaan hiperparatiroid sekunder dapat
menurunkan respons EPO karena hormon ini mengganggu eritropoeisis pada sumsum tulang. Sebab
lain misalnya intoksikasi Aluminium yang mengganggu absorbsi besi dan menurunkan respons seluler
besi. Adanya inflamasi, infeksi atau penyakit keganasan akan menurunkan respons terapi EPO.
Berbagai sebab lainnya adalah perdarahan kronik, dialisis tidak adekuat, malnutrisi, defisiensi folat,
hemoglobinopati, hemolisis dan penyakit mielodisplasia.
Efek samping terapi EPO berhubungan dengan hipertensi, kejang dan hipersensitivitas.
Hipertensi dan kejang lebih sering terjadi pada saat terapi induksi EPO, biasanya bila kenaikan Hb
terlalu cepat.
III. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan penyakit seperti
Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya kelebihan cairan (overload). Disamping
itu transfusi yang dilakukan berulangkali menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena
itu transfusi hanya diberikan pada keadaan khusus, yaitu:
Hb <>
Hb <>
Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang telah dapat terapi EPO
tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia. Untuk tujuan
mencapai status besi yang cukup sebagai syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan
dengan hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan target pencapaian Hb pada
terapi EPO. Transfusi diberikan dalam bentuk Packed Red Cell, untuk menghindari kelebihan cairan
diberikan secara bertahap bersamaan dengan waktu hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan
mortalitas.
Terapi Adjuvan yang dapat Meningkatkan Optimalisasi Terapi EPO
Beberapa obat di bawah ini dapat meningkatkan optimalisasi terapi EPO, yaitu:
Asam folat
Vitamin B6 dan Vitamin B12
Vitamin C, terutama bermanfaat pada anemia defisiensi besi fungsional yang mendapat terapi EPO
Vitamin D, mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid
Vitamin E, mencegah induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intra vena.
Preparat androgen: bersifat hepatotoksik, karena itu harus digunakan dengan hatihati,
Kesimpulan
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya anemia pada pasien CKD yang menjalani
Hemodialisis kronik. Defisiensi eritropoietin merupakan penyebab utama, selain itu adanya defisiensi
besi, kehilangan darah kronik, dll turut berperan dalam kejadian anemia. Pengelolaan anemia hendaknya
bersifat terpadu dengan memperhatikan berbagai aspek seperti mencari faktor penyebab anemia,

mengatasi defisiensi besi, terapi EPO yang optimal disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia,
Pemberian transfusi darah dibatasi pada keadaan tertentu saja, Petugas medis harus waspada terhadap
segala kemungkinan yang potensial timbul akibat efek samping obat-obat yang diberikan, Berbagai bukti
klinis menunjukkan bahwa pengeloaan anemia yang optimal akan meningkatkan kualitas hidup dan
menurunkankan morbiditas dan mortalitas pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Esbach JW: Anemia in chronic renal failure. In: Johnson RJ, Feehally J (ed). Comprehensive clinical
nephrology. London: Morby 2000: 71.1-71.6.
2. Nissenson AR: Introduction to anemia. Am J Kidney Dis 1998; 32 (suppl 4) : S131-S132.
3. Van Wijk SB, Stivelman J. Achieving an optimum hematokrit. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh
MH (ed). Dialysis and transplantation. Philadelphia: WB Saunders company 2000: 281-88.
4. Valderrabano F: Erythropoietin in chronic renal failure. Kidney Int 1996; 50 : 1373-91.
5. Konsensus manajemen anemia pada pasien GGK. PERNEFRI 2000.
6. National Kidney Foundation: Dialysis Outcomes Quality Initiative (DOQI). Clinical Practise
Guidelines. Am J Kidney Dis 1997; 30 (suppl 3): S192-S240.
7. Foley RN : The impact of anaemia in cardiomyopathy, morbidity and mortality in end-stage renal
disease. Am J Kidney Dis 1996;28: 53-61.
8. Macdougal IC : Strategies for iron supplementation: oral versus intravenous. Kidney Int 1999; 55
(suppl 69): S61-S66.
9. Esbach JW,Egrie JC,Downing MR et.al : Correction of the anemia of end-stage renal disease with
recombinan human erythropoietin: Result of combine phase I and II clinical trial, New Engl Med
1987; 316: 73-78.

Anda mungkin juga menyukai